SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jepang
Universitas Komputer Indonesia
YANTI ARYANTI 63802030
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA JEPANG
BANDUNG
▸ Baca selengkapnya: pesan moral pada cerpen bingkisan lebaran
(2)LEMBAR PENGESAHAAN
PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI...iii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...4
1.3 Batasan Masalah ...5
1.4 Tujuan Penelitian ...5
1.5 Manfaat Penelitian ...6
1.6 Metode Penelitian ...6
1.7 Sumber Data...7
1.8 Teknik Pengumpulan Data...7
1.9 Definisi Operasional...7
1.10 Penelitian Terdahulu ...8
1.11 Sistematika Pembahasan ...10
BAB II LANDASAN TEORI...12
2.1. Pendekatan Struktural ...12
2.2. Tokoh dan Penokohan...15
2.2.1. Pengertian dan Hakikat Penokohan ...15
2.2.2. Pembedaan Tokoh...16
2.2.2.1 Tokoh Utama...16
2.2.2.2 Tokoh Tambahan ...17
2.2.2.3 Tokoh Antagonis...18
2.2.2.4 Tokoh Protagonis ...18
2.2.2.5 Tokoh Tipikal...18
2.3. Plot/Alur...19
2.4. Latar ...19
2.4.1. Pengertian dan Hakikat Latar...19
2.5. Tema...19
2.5.1 Hakikat Tema ...20
2.6. Moral ...21
2.6.1. Unsur Moral dalam Sastra...21
2.6.2. Hakikat Moral Dalam Kesusastraan...22
2.6.3. Jenis Pesan Moral...23
2.6.4. Bentuk Penyampaian Pesan Moral ...23
2.6.5. Bentuk Penyampaian Langsung...23
2.6.6. Bentuk Penyampaian Tidak Langsung ...24
2.7. Cerpen ...25
BAB III STRUKTUR FISIK...26
3.1. Ringkasan Cerita ...26
3.2.1. Penokohan ...30
3.2.1.1 Tokoh Utama...31
3.2.1.2 Tokoh Tambahan ...33
3.2.2. Plot/Alur...34
3.2.3. Latar ...35
3.2.3.1 Unsur latar...35
3.2.3.1.1 Latar Tempat ...35
3.2.3.1.2 Latar Waktu...37
3.2.4. Tema...37
3.2.5. Amanat ...38
3.3. Sekilas Tentang Akutagawa Ryunosuke...38
BAB IV ANALISIS ...40
4.1 Pesan moral yang tercermin pada perilaku tokoh Kandata, tokoh Oshaka Sama dan tokoh Kumo yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito” ...41
4.3.1. Kandata...41
4.3.1. Oshaka Sama (Sang Budha) ...48
4.3.1. Kumo ...50
4.2. Pesan moral yang tercermin pada alur yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”...51
4.3. Pesan moral yang tercermin pada latar yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”...52
4.3.1. Latar Tempat ...52
no Ito”...54
BAB V SIMPULAN...55
5.1. Simpulan ...55
5.2. Saran...58
DAFTAR PUSTAKA...59
Sinopsis...60
Lampiran
1.1 Latar Belakang
Secara etimologi, sastra berasal dari bahasa latin, yaitu literatur
(litera=huruf atau karya tulis). Dalam bahasa Indonesia karya sastra berasal dari
bahasa sansakerta, sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, tra
-artinya alat atau sarana sehingga dapat disimpulkan bahwa sastra -artinya
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran
yang baik.
Sastra merupakan inspirasi kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk
keindahan batin yang dapat dinikmati melalui pikiran maupun perasaan kita.
Sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan.
Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan suatu kegiatan yang memiliki
unsur-unsur seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat, dan
lain-lain dari seorang pengarang yang diekspresikan dalam bentuk tulisan.
Karya sastra dapat dijadikan sebagai sarana dalam mengembangkan jiwa
humanitas, yaitu jiwa yang halus, berbudi dan manusiawi. Sehubungan dengan hal
itu, karya sastra mempunyai kemampuan yang dapat menyentuh pembaca agar
dapat menjadi manusia yang responsif terhadap hal-hal yang luhur dalam hidup
ini. Karena pada hakikatnya manusia selalu mencari nilai-nilai kebenaran,
kebaikan dan keindahan.
Karya sastra yang baik adalah karya yang mengangkat masalah manusia
dan kemanusian. Sesuatu yang mempunyai nilai moral, yaitu nilai yang
berpangkal dari nilai-nilai kemanusian, serta nilai-nilai baik dan buruk yang
universal.
Berdasarkan ragamnya karya sastra dibagi menjadi tiga yaitu, prosa, puisi,
dan drama. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks
naratif (narrative text), wacana naratif (narrative discource) (dalam pendekatan
strutural dan semiotik). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau
cerita khayalan. Hal ini di sebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya
tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams,1981:61 dalam Burhan
Nurgiyantoro,2005:2)
Sebagai karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan
manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Fiksi menurut Altenbernd &
Lewis (1966:14), dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif,
namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan
hubungan-hubungan antar manusia.
Yang akan penulis bahas dalam penelitian ini adalah salah satu karya
sastra yang berbentuk prosa, khususnya cerita pendek yang berupa fiksi. Cerita
pendek adalah kisahan pendek (kurang dari sepuluh ribu kata) yang memberikan
kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu
situasi.
Agar pengetahuan dan pemikiran kita terhadap karya sastra berkembang
untuk mampu mengapresiasi karya sastra, pembaca harus memiliki kepekaan
emosi dan berbekal pengalaman serta kemanusian seperti tentang psikologi,
filsafat, humanitas dan sebagainya. Selain itu pembaca harus memahami
unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut.
Unsur-unsur karya sastra terdiri dari unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, seperti
penokohan, latar, alur, tema, amanat. Dalam amanat terkandung pesan moral.
Pesan moral mengandung nasihat, ajaran baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya Sedangkan unsur
ekstrinsik adalah unsur diluar karya sastra tersebut, diantaranya psikologi
pengarang, sikap pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang dan
sebagainya. Karya sastra dapat dipahami dengan apresiasi, apresiasi secara sempit
berarti penilaian/penghargaan terhadap sesuatu. Dalam konteks yang lebih luas
istilah apresiasi mengandung makna yaitu pemahaman serta pengakuan terhadap
nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.
Untuk memahami maksud pengarang dari karya sastranya tersebut. Salah
satunya melalui pendekatan struktural. Analisis struktural bertujuan membongkar
dan memaparkan dengan cermat keterikatan semua anasir karya sastra semua
anasir karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Analisis struktural bukanlah penjumlahan anasir-anasirnya, melainkan yang
penting adalah sumbangan apa yang akan diberikan oleh semua anasir pada
keseluruhan makna dalam keterikatan dan keterjalinannya (Teew,1983:135-136).
seperti penokohan, latar dan sebagainya. Cerita yang akan penulis teliti melalui
pendekatan ini adalah cerpen fiksi yang berjudul “Kumo no Ito”
Cerita fiksi ini diawali dengan mengisahkan Oshaka Sama (Sang Budha)
yang sedang berjalan-jalan di pinggir kolam teratai Nirwana. Ketika dia melihat
ke bawah kolam teratai terdapatlah dasar neraka. Pandangan Sang Budha tertuju
kepada seorang penjahat bernama Kandata. Sang Budha menengok ke tengah
kolam tampaklah seekor laba-laba yang mencoba menolong penjahat tersebut
dengan cara mengurulurkan benang laba-laba, karena laki-laki yang bernama
Kandata itu pernah menolongnya. Dalam cerpen Kumo no Ito banyak
memberikan pesan moral, baik itu dalam hal penokohan, alur, latar, tema maupun
amanat.
Atas dasar pemikiran diatas penulis mencoba untuk menganalisis dan
memaparkan peristiwa yang mempunyai makna pesan moral yang terdapat dalam
cerpen “Kumo no Ito”, dengan judul “Analisis Pesan Moral Yang Tercermin
Dalam Cerpen “Kumo no Ito” (Melalui Pendekatan Struktural), sehingga kita
dapat mengambil hikmah dan menjadi renungan bagi kita dalam menghadapi
kehidupan.
1.2Rumusan Masalah
Penulis merumuskan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Apa pesan moral yang tercermin pada perilaku tokoh Kandata, tokoh Oshaka
2. Apa pesan moral yang tercermin pada alur yang terdapat dalam cerpen
“Kumo no Ito”.
3. Apa pesan moral yang tercermin pada latar yang terdapat dalam cerpen
“Kumo no Ito”.
4. Apa pesan moral yang tercermin pada tema yang terdapat dalam cerpen
“Kumo no Ito”.
1.3Batasan Masalah
Dari rumusan masalah tersebut diatas maka penulis batasi pada hal-hal
sebagai berikut:
Untuk mengungkap pesan moral yang terdapat dalam cerpen “Kumo no
Ito” penulis membatasi pada unsur-unsur instrinsik karya sastra seperti
penokohan, alur, latar, tema, dan amanat sebagai bahan penelitian melalui
pendekatan struktural.
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada perilaku
tokoh Kandata, tokoh Oshaka Sama, dan tokoh Kumo yang terdapat dalam
cerpen “Kumo no Ito”.
2. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada alur
3. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada latar
terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.
4. Untuk mengetahui dan memahami pesan moral yang tercermin pada tema
yang terdapat dalam cerpen “Kumo no Ito”.
1.5Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
Manfaat secara teoritis:
1. Untuk mengetahui pesan moral dalam cerpen “Kumo no Ito”melalui
pendekatan struktural.
2. Untuk menerapkan pendekatan struktural dalam mengetahui pesan dalam
cerpen “Kumo no Ito”.
Sedangkan manfaat secara praktis:
1. Dari pesan moral tersebut diatas kita dapat mengambil pelajaran berharga
sebagai bekal dalam menghadapi kehidupan ini.
2. Untuk memperkenalkan salah satu prosa sastrawan Jepang.
3. Memberikan tambahan pengetahuan bagi pembelajar bahasa Jepang dalam
bidang kesusastraan.
1.6Metode Penelitian
Metode adalah cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu
Penelitian adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan
metode-metode ilmiah (Sutrisno Hadi;1991;4)
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,
yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan
masalah yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau
mengklasifikasikannya, menganalisa dan memaparkannya.
1.7Sumber Data
Sumber Data dalam penelitian ini adalah:
Sumber data primer adalah cerpen “Kumo no Ito”
Sumber data sekunder adalah buku-buku yang relevan dengan penelitian ini.
1.8Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah studi
kepustakaan, yaitu menghimpun, meneliti dan mempelajari buku-buku sumber
yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
1.9Definisi Operasional
Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,
perbuatan dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
Pesan adalah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan
melalui orang lain.
Moral adalah ajaran tentang baik atau buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak;budi pekerti; susila.
Jadi analisis pesan moral adalah penyelidikan terhadap suatu persitiwa
untuk mengetahui dan memahami pesan, nasihat yang disampaikan melalui ajaran
tentang baik dan buruk yang diterima oleh universal mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban dan sebagainya.
Teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri
karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai
suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling
berjalinan (pradopo dkk,1985:6,Jabrochim,2005:54). Oleh karena itu untuk
memahami maknanya, karya sastra harus dikaji berdasarkan strukturnya sendiri,
lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula
dari efeknya pada pembaca (Beardsey via Teew,!983,Jabrochim,2005:54)
1.10 Penelitian Terdahulu
Sebelumnya cerpen “Kumo no Ito” pernah dilakukan penelitian dengan
judul Analisis framing dan perspektif interpersonal pembaca dalam cerpen “kumo
no Ito” sebagai jalinan komunikasi antara penulis dan pembaca melalui suatu
tinjauan struktural.
1. Ada 3 ide yang ingin disampaikan Akutagawa Ryuunosuke samapaikan dalam
cerpen ini, diantaranya:
a. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan ada balasannya, walaupun hal
yang kecil.
b. Kasih sayang sesama mahluk hidup, dan
c. Janganlah bersikap egois dan tenggang rasa terhadap sesama.
Dan ketiga tema tersebut dibangun berdasarkan tema-tema tradisional
yang biasa pengarang gunakan dalam dalam membangun suatu cerita.
Tema ini dipilih agar dapat dengan mudah diterima dan dipahami oleh
semua kalangan pembaca khususnya pembaca anak-anak.
2. Akutagawa Ryuunosuke sebagai pengarang telah berhasil mempengaruhi
pembacanya. Hal inidapat dilihat dari hasil dampak komunikasi interpersonal
pada pemabaca pada aspek kognitif tapi juga berhasil pada aspek afektif dan
behavioral.
3. Ada tiga tingkatan dampak komunikasi interpersonal yaitu aspek kognitif,
afektif, dan behavioral. Untuk menuju dampak tertinggi (dampak behavioral)
dalam komunikasi interpersonal tidaklah mudah. Hal ini dipengaruhi tingkat
usia dan pendidikan pembaca.
4. Keterjalinan unsur-unsur instrinsik sangat penting dalam membangun cerita.
Setiap unsur instrinsik harus memiliki katerkaitan satu dengan lainnya,
sehingga terjalin komunikasi antara penulis dan pembaca dapat terjalin dengan
1.11 Sistematika Pembahasan
Sistematika penulisan dalam menyusun laporan skripsi adalah sebagai
berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, sumber data, teknik pengumpulan
data, definisi operasioanal, penelitian terdahulu serta sistematika
pembahasan.
BAB II: LANDASAN TEORI
Dalam bab ini memuat tentang landasan teori yang dibagi menjadi
empat sub bab, yaitu tentang pendekatan struktural, unsur-unsur
instrinsik yang membangun karya sastra, moral dalam sastra, dan
cerpen. Sub bab pertama memaparkan tentang struktural yang
merupakan alat untuk menganalisis. Sub bab kedua memaparkan
tentang pengertian dan hakikat penokohan juga tentang pebedaan
tokoh, plot, pengertian dan hakikat latar, unsur latar, hakikat tema.
Sub bab ketiga memaparkan tentang gambaran umum moral dalam
sastra. Sub bab keempat memaparkan tentang cerpen sebagai salah
BAB III: STRUKTUR FISIK
Berisi tentang struktur fisik cerpen “Kumo no Ito” karya
Akutagawa Ryuunosuke, yang akan menjadi objek penelitian
penulis. Terdiri dari tiga sub bab. Sub bab pertama berisi
ringkasan cerita. Sub bab kedua mengulas tentang unsur-unsur
intrinsik cerpen “Kumo no Ito” yang terdiri dari penokohan, plot,
latar, tema, dan amanat. Sub bab ketiga berisi sekilas tentang
pengarang cerpen “Kumo no Ito”.
BAB IV: ANALISIS
Dalam bab ini penulis akan mengolah data yang diperoleh
kemudian menganalisis pesan moral yang tercermin pada perilaku
tokoh-tokoh utama, alur, latar, tema dan amanat yang terdapat
dalam cerpen “kumo no ito” melalui pendekatan struktural.
BAB V: SIMPULAN
Pada bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari hasil pelitian
Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah
suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata
lain, kegiatan sastra itu merupakan suatu kegiatan yang memiliki unsur-unsur
seperti pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat, dan lain-lain dari
seorang pengarang yang diekspresikan dalam bentuk tulisan.
Ada beberapa cara untuk bisa memahami maksud pengarang dari karya
sastranya tersebut. Salah satunya melalui pendekatan struktural.
2.1.Pendekatan Struktural
Hakikat karya sastra menurut Horatius adalah docere, delecrate, dan
movere. Artinya sastra haruslah memberikan ajaran, kenikmatan, dan
menggerakkan pembaca kepada kegiatan yang bertanggung jawab
(Teew,1984:23). Kita harus memahami makna karya sastra, agar dapat menerima
hakikat sastra. Dan cara untuk menuju kepada pemahaman tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan dalam sastra, salah satunya adalah
melalui pendekatan struktural.
Pendekatan struktural atau bisa juga disebut dengan pendekatan objektif
adalah pendekatan yang memberikan perhatian penuh pada karya sastra sebagai
struktur yang otonom dengan koherensi intrinsik. Dengan kata lain, pendekatan
ini memfokuskan diri pada unsur-unsur intrinsik karya sastra sebagai pusat
pengkajian dalam usaha memahami makna sastra.
Pendekatan Struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan
Strukturalisme Praha. Ia mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang
mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik (A.
Teew,2003:106). Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah
perkembangannya, melainkan pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan
hubungan antar unsur merupakan hal yang penting dalam pendekatan ini.(Burhan
Nurgiyantoro, 2005:36)
Sebuah karya sastra, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas
yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu
pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan
gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara
bersama membentuk kebulatan yang indah. (Abrams,1981:68 dalam Burhan
Nurgiyantoro,2005:36). Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada
pengertian hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling
menentukan, saling mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu
kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur,
atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian
akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan
bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana
Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi dapat dilakukan
dengan mengedintifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan
antar unsur intrinsik yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan
dideskripsikan misalnya; bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan
penokohan, latar, dan pesan moral. Setelah coba dijelaskan bagaimana fungsi
masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhannya, dan
bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah
totalitas kemaknaan yang padu.
Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat
mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara
bersama menghasilkan sebuah keseluruhan. Analisis struktural tidak cukup hanya
sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya sastra misalnya, plot, penokohan,
latar atau yang lainnya. Namun yang lebih penting adalah menunjukkan
bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap
makna keseluruhan yang ingin dicapai.
Pendekatan struktural dari segi tertentu membawa hasil yang gilang
gemilang; usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar
strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari berbagai
konsep metode dan teknik yang sebenarnya di luar jangkauannya sebagai ahli
sastra, seperti psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain, dan mengembalikannya
pada tugas utamanya, yaitu meneliti sastra. Malahan dapat dikatakan bahwa bagi
setiap peneliti sastra analisis struktur karya sastra yang ingin diteliti dari segi
satra sebagai “dunia dalam kata” mempunyai kebulatan kata makna intrinsik yang
hanya dapat kita gali dari karya itu sendiri. Dan makna unsur-unsur karya itu
hanya dapat kita pahami dan nilai sepenuh-penuhnya atas dasar pemahaman
tempat dan fungsi itu dalam keseluruhan karya sastra (A.Teew,1983:61).
2.2 Tokoh dan Penokohan
2.2.1 Pengertian dan Hakikat Penokohan
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak,
perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang
ditafsirkan oleh pembaca, lebih menujuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
Penokohan dan karakterisasi—karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan
karakter dan perwatakan—menujuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu
dengan watak(-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti yang dikatakan
oleh Jones(1968:33), penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorangyang ditampilkan dalam sebuah cerita (burhan Nurgiyantoro,2005:165).
Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam literatur bahasa
Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh
cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral yang dimilki tokoh-tokoh tersebut (Stanton,1965:17 dalam Burhan
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20), adalah orang(-orang)
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan
tersebut juga dapat diketahui bahwa antar seorang tokoh dengan kualitas
pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, pembacalah
sebenarnya yang memberi arti semuanya.
Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan
“perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan
sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam
sebuah cerita.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
pesan, amanat, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca
(Burhan Nurgiyantoro,2005:167).
2.2.2 Pembedaan Tokoh
Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari selalu diemban oleh tokoh atau pelaku tertentu. Para tokoh yang
terdapat dalam suatu cerita memilki peranan yang berbeda-beda, yaitu:
2.2.21 Tokoh Utama
Membaca sebuah cerita, biasanya kita akan dihadapkan pada sejumlah
ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita,
yaitu tokoh utama (central character, main character).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan
dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara
keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan
konflik. Tokoh utama dalam sebuah cerita mungkin saja lebih dari satu orang,
walau kadar keutamaannya tak (selalu) sama.
2.2.2.2 Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam
porsi penceritaan yang relatif pendek.
Tokoh tambahan adalah tokoh yang memiliki peranan tidak penting,
karena pemunculannya hanya melengkapi dan mendukung pelaku utama. Di pihak
lain, pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit,
tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama.
Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat
dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi
penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh
2.2.23 Tokoh Antagonis
Sebuah fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya konflik
dan ketegangan yang dialami oleh tokoh protagonis. Tokoh penyebab terjadinya
konflik disebut tokoh antagonis. Tokoh antagonis, barangkali bisa disebut
beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tak langsung,
bersifat fisik atau batin.
2.2.2.4 Tokoh Protagonis
Membaca sebuah cerita, pembaca sering mengidentifikasikan diri dengan
tokoh-tokoh tertentu, memberikan simpati dan empati, melibatkan diri secara
emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca
disebut sebagai tokoh protagonis (Altenbernd & Lewis,1966:59 dalam Burhan
Nurgiyantoro,2005:178).
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi—yang salah satu
jenisnya secara populer disebut hero—tokoh yang merupakan pengejawantahan
norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita (Altenbernd & Lewis,1966:59
dalam Burhan Nurgiyantoro,2005:178).
2.2.2.5 Tokoh Tipikal
Tokoh tipikal (typical character) adalah tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas
pekerjan atau kebangsaannya (Altenbernd &Lewis,1966:60 dalam Burhan
2.3 Plot/Alur
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang
menganggapmya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.
Untuk menyebut plot, secara tradisional orang sering mempergunakan istilah alur
atau jalan cerita.
Stanton (1965:14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkab terjadinya peristiwa yang lain.
Kenny (1966) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang
ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang
menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab-akibat.
2.4 Latar
Pengertian dan Hakikat Latar
Berhadapan dengan karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan dengan
sebuah duni, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang sudah yang sudah
dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun, tentu saja, hal itu
kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kehidupannya itu
memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan
manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, disamping
membutuhkan tokoh, cerita, dan alur juga memerlukan latar.
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
Latar memberikan pijakan cerita secara kongkret dan jelas. Hal ini penting
untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu
yang seolah-seolah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Pembaca, dengan, merasa
dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya (Burhan Nurgiyantoro,
2005:217)
2.5 Tema Hakikat Tema
Setiap karya fiksi tentulah mengandung dan menawarkan tema, namun apa
isi tema itu sendiri tak mudah ditunjukkan. Ia haruslah dipahami dan ditafsirkan
melalui cerita dan data-data.
Tema (theme) menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966:88), adalah
makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang
dikandung dan ditawarkan oleh cerita (cerpen) itu, maka misalnya adalah: makna
khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra dan terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang
menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko &
Rahmanto, 1986:142). Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya
yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan
situasi tertentu.
Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, haruslah disimpulkan dari
keseluruhan cerita, tidak hanya bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit
merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan
“tersembunyi di balik cerita yang mendukungnya.
2.6 Moral
2.6.1 Unsur Moral dalam Sastra
Dalam karya sastra, pengarang sering menyelipkan pesan moral untuk
disampaikan kepada pembaca. Seperti yang dikemukakan oleh Burhan
Nurgiyantoro, bahwa “moral adalah sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang disarankan lewat
cerita.”(Burhan Nurgiyantoro,1995:321)
Moral kadang-kadang diidentikkan dengan tema. Moral dan tema, karena
keduanya merupakan sesuatu yang terkandung dapat ditafsirkan diambil dari
cerita, dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun, tema bersifat lebih
kompleks daripada moral, disamping tidak memilki nilai langsung sebagai saran
yang ditujukan kepada pembaca.
Moral dengan demikian dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema
dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral
(Kenny,1966:89 dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:321)
Secara umum moral adalah ajaran tentang baik atau buruk yang diterima
umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya; akhlak;budi pekerti;
susila. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002)
Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.
memperlakukan manusia lain dengan baik. Norma-norma moral adalah tolak ukur
untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi
baik-buruknya sebagai manusia (Franz Magnis-Suseno,1989:19)
Moral yang baik adalah moral yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, seperti menolong orang lain yang sedang membutuhkan, membalas
budi kebaikan orang lain, selalu bersikap jujur dan dapat dipercaya, bersikap
baik—bersikap baik berarti : memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya
sejauh berguna bagi kita (Franz Magnis-Suseno,1989:131). Sedangkan moral
yang buruk adalah perbuatan yang merugikan orang lain, seperti membunuh,
sikap serakah, sikap mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya.
2.6.2 Hakikat Moral Dalam Kesusastraan
Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca, moral merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya, makna
yang disarankan lewat cerita.
2.6.3 Jenis Pesan Moral
Tiap karya sastra masing-masing mengandung dan menawarkan moral,
yang ingin disampaikan oleh pengarang dan tentunya banyak sekali jenis dan
wujud ajaran moral yang dipesankan. Dalam sebuah karya fiksi pun, sering
terdapat lebih dari satu pesan moral—untuk tidak mengatakan terdapat banyak
pesan moral yang berbeda. Hal itu belum lagi berdasarkan pertimbangan dan atau
penafsiran dari pihak pembaca yang juga berbeda-beda baik dari segi jumlah
maupun jenis dan pesan moral yang terdapat dalam karya sastra yang bergantung
Jenis ajaran moral itu sendiri dapat mencakup masalah, yang boleh
dikatakan, bersifat tak terbatas.
2.6.4 Bentuk Penyampaian Pesan Moral
Dari sisi tertentu karya sastra, fiksi, dapat dipandang sebagai bentuk
manifestasi keinginan pengarang untuk mendialaog, menawar, dan
menyampaikan sesuatu. Sesuatu itu mungkin berupa pandangan tentang suatu hal,
gagasan, moral atau amanat. Dalam pengertian ini, karya sastra pun dapat
dipandang sebagai sarana komunikasi yang lain, tertulis ataupun lisan, karya
sastra yang merupakan salah satu wujud karya seni yang notabene mengemban
tujuan estetik, tentunya mempunyai kekhususan sendiri dalam menyampaikan
pesan-pesan moralnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk penyampaian
moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau sebaliknya tidak langsung.
(Burhan Nurgiyantoro,2005:335)
2.6.4.1 Bentuk Penyampaian Langsung
Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan
identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau
penjelasan. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan
perwatakan tokoh-tokoh cerita yang bersifat “memberi tahu” atau memudahkan
pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam
penyampaian pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan
kepada pembaca itu dilakukan secara langsung. Pengarang dalam hal ini tampak
bersifat menggurui pembaca, secara langsung memberikan nasihat dan
2.6.4.2 Bentuk Penyampaian Tidak Langsung
Jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya, bentuk penyampaian pesan
moral di sini tidak bersifat langsung. Pesan itu hanya tersirat dalam cerita,
berpadu secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul
pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya
secara serta-merta dan vulgar. Karya yang terbentuk cerita bagaimanapun hadir
kepada pembaca pertama-tama haruslah sebagai cerita, sebagai sarana hiburan
untuk memperoleh berbagai kenikmatan. Kalaupun ada yang ingin dipesankan—
dan yang sebenar-benarnya justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita
itu—hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca.
(Burhan Nurgiyantoro,2005:339).
2.4 Cerpen
Cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari sepuluh ribu kata) yang
memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh
dalam satu situasi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2002)
Perbedaan berbagai macam bentuk dalam karya fiksi pada dasarnya
terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita itu sendiri. Akan tetapi,
elemen-elemen yang dikandung oleh setiap karya fiksi maupun cara pengarang
memaparkan isi cerita memiliki kesamaan meskipun ada unsur-unsur tertentu
berbeda.
Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek. Akan tetapi, berapa
diantara pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe mengatakan bahwa cerita
pendek adalah sebuah cerita selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar
antara setengah sampai dua jam—satu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan
untuk sebuah novel.(Burhan Nurgiyantoro,1995:10)
Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada
cerpen yang (short short story), bahkan mungkin pendek sekali : berkisar 500-an
kata, ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen
yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa
puluh) ribu kata.
Bentuk cerpen adalah bentuk yang paling digemari dalam dunia kesustraan
Indonesia. Bentuk ini tidak saja digemari oleh para pengarang yang dengan
sependek itu bisa bisa menulis dan mengutarakan kandungan pikiran yang dua
puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya barangkali mesti dilahirkan dalam sebuah
roman, tetapi juga diskusi oleh para pembaca yang ingin menikmati hasil sastra
dengan tidak usah mengorbankan terlalu banyak waktu. Dalam beberapa bagian
saja dari satu jam seseorang bisa menikmati sebuah cerpen (Ajip
Rosidi,1993:175).
Ciri khas cerpen adalah singkat, padat, intensif. Bahasa cerpen haruslah
tajam, dan menarik perhatian. Sebuah cerpen harus mengandung interpretasi
pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Cerpen juga harus menimbulkan perasaan pada pembaca
bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, dan baru menarik
A. Teew, 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta : PT Gramedia.
A. Teew, 2003. Sastra dan Ilmu Sastera. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.
Daigakusyorin. Kamus Lengkap Jepang- Indonesia Indonesia-Jepang. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Depdiknas, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Jabrochim, Drs, 2003. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Graha
Luxemburg, Jan Van, 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Nelson. Andrew, 2002. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Jakarta: Kesaint Blanc.
Nihongo Gakushuusho, Nihongo Tokuhon 3. Kokusai Gakuyukai Nihongo gakōhen.
Nurgiyantoro, Burhan, 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada .
Ratna, Nyoman Kutha, 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. ogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip, 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang. Jakarta: Erlangga
Suseno, Franz Magins, 1989. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: kanisius.
Taniguchi, Goro, 1999. Kamus Standar Bahasa Jepang-Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Taniguchi, Goro, 1982. Kamus Standar Bahasa Indonesia-Jepang. Tokyo. Japan Indonesia Association, inc.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Oleh Melani Budianta. Jakarta. PT. Gramedia
Wibawarta, Bambang, 2005. AKUTAGAWA Kumo No Ito, Kappa, Imogayu, Shiro. Jakarta: Kalang.