• Tidak ada hasil yang ditemukan

Badaruddin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Badaruddin"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMBELAJARAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK DOSEN ILMU SOSIAL POLITIK (Telaahan Terhadap Reformasi Birokrasi Dan Good Governance Untuk Peningkatan Kinerja Pelayanan Kepada

Masyarakat Oleh Aparatur Pemerintah) Badaruddin

Email: badardaud@yahoo.com

Abstrak – Tujuan dari pelaksanaan pembelajaran administrasi pemerintahan bagi dosen ilmu sosial politik adalah sebagai bahan masukan dan kajian secara berkesinambungan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dosen sosial politik dalam memberikan wacana berpikir kepada mahasiswa sosial politik di universitas. Selanjutnya, pada paparan berikut adalah tinjauan pada konsep dan pelaksanaan birokrasi pada pemerintahan daerah.

Pandangan yang negatif terhadap birokrasi seperti pelaksanaan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya ekstra, pelayanan yang asal-asalan dan kurang ramah, masih sering terjadi praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lainnya masih sering terjadi khususnya pada pelayanan sektor publik. Sebagaimana konsep Weber, untuk mewujudkan good governance diperlukan Reformasi Birokrasi yaitu dalam bentuk reformasi kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Untuk lebih dapat meningkatkan pada pelayanan sektor publik, menurut Osborne dan Gaebler melalui konsep Reinventing Governmentnya, menekankan pada: Pemerintahan Katalis, Pemerintah milik masyarakat, Pemerintah yang kompetitif, Pemerintah yang digerakkan oleh misi, Pemerintah yang berorientasi pada hasil, Pemerintah berorientasi pada pelanggan, Pemerintahan wirausaha, Pemerintah antisipatif, Pemerintah desentralisasi, Pemerintah berorientasi pada pasar.

Kata Kunci: Good Governance, institusional reform, public management reform, pelayanan sektor publik, Reinventing Government.

PENDAHULUAN

Bagi sebagian besar orang menganggap bahwa birokrasi adalah sebagai sesuatu yang berkenaan dengan prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian lainnya, birokrasi dipahami sebagai perspektif yang positif yakni suatu upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih teratur dan tertib. Maksud dari tertib disini adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya yang dimiliki dan mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat dengan prinsip yang berkeadilan.

Berbagai bentuk keluhan yang berkaitan dengan apa yang disebut sebagian orang yaitu penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat, antara lain seperti ketika kita mengurus sesuatu di kantor pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya ekstra, pelayanan yang asal-asalan dan kurang ramah, masih sering terjadi praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lainnya yang tentunya menimbulkan persepsi yang kurang baik kepada masyarakat.

Kilas balik birokrasi di Indonesia, baik pada tatanan di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, sepanjang Orde Baru dan Orde Lama kerap mendapat sorotan dan kritikan, karena perilakunya yang tidak sesuai dengan amanah yang diembannya sebagai pelayan masyarakat. Dalam hal ini maka wajar saja, apabila masyarakat memandang istilah birokrasi dengan konotasi yang negatif. Birokrasi cenderung lamban, rumit, berbelit-belit, kontra produktif, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi, dan lebih pada tidak efisien.

Disamping itu, masih tampaknya permasalahan birokrasi dalam pemerintahan pada saat ini diantaranya: birokrasi pemerintah belum efisien, kebijakan belum stabil, dan masih ada praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang.

Bidang peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multi tafsir, pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain dan pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Disisi lainnya, birokrasi merupakan instrumen yang dipandang penting dalam masyarakat yang eksistensinya tidak mungkin terelakkan. Sedangkan Birokrasi adalah merupakan sebuah konsekuensi logis dimana harus menerima suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban yang mulia yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai perwujudan dari kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat langsung menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara harus berperan aktif dalam hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial rakyatnya. Oleh karena itu, maka negara berkewajiban untuk membangun suatu sistem administrasi yang bertujuan untuk memberi pelayanan yang sangat diperlukan oleh rakyatnya yang kemudian disebut dengan istilah birokrasi.

Hans Dieter Evers menyampaikan bahwa proses birokrasi yang ada di Indonesia saat ini adalah berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Maksud Birokrasi model Parkinson yaitu pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.

Bahkan pandangan para pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic policy di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan.

(2)

2

Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di

Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.

Berdasarkan paparan di atas maka secara umum dapat ditarik satu kesimpulan bahwa birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi pemerintah saat ini masih belum efisien, kebijakan belum stabil, dan masih ada praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Disamping itu, dibidang peraturan perundang-undangan di bidang aparatur negara masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, masih multi tafsir, pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain dan pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Dengan gambaran terhadap berbagai jenis dan bentuk penyakit birokrasi tersebut menyebabkan kinerja birokrasi sampai dengan saat ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Perkembangan konsep birokrasi sebenarnya merupakan bagian dari jenis pemerintahan demokrasi dan aristokrasi sebagaimana yang dapat dilihat dari tulisan de Goumay dan Mill. Para pakar teoritisi pada abad ke-19 seperti Van Mohl, Olzewski dan Le Play lebih memfokuskan kepada ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah dan melihat birokrasi sebagai hasrat pegawai negeri yang digaji untuk selalu mencampuri urusan orang lain (Albrow, 1996:17).

Pada abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan teori birokrasi, diantaranya yaitu Gaetano Mosca dan Max Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang memerintah. Dalam sistem pemerintahan feudal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer atau administrasi. Setelah masyarakat berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah satu sama lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok pejabat yang digaji (Albrow, 1996:22).

Beberapa gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas melalui penelusuran berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ilmuan terdahulu seperti Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical

Framework for the analicys of Power and

Communication in Indonesia”. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan keterasingan kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan keputusan nasional. Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch tentang “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989) melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak patrimonial, di mana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar loyalitas dan dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil. Kedua penelitian di atas tersebut tidak tergolong sebagai penelitian yang baru, namun dalam konteks analisis tetap diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia dalam kurun

waktu dua dekade yang lalu yang bagaimanapun juga turut menentukan corak dan warna birokrasi saat ini.

Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang. Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik” (Istianto, 2011:75).

Gambaran terhadap birokrasi Indonesia ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan model organisasi birokratis adalah Max Weber. Dapat dikatakan bahwa konsep birokrasi yang diajukan oleh Weber masih menjadi acuan sampai dengan saat ini, walaupun mendapat kritik dari ilmuan-ilmuan lain. Weber membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat, dan mempertanyakan bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri yang dijumpai di Eropa pada akhir abad ke 19. Ia mencoba melukiskan sebuah organisasi yang ideal— organisasi yang secara murni rasional dan yang akan memberikan efisiensi operasi yang maksimum (Robbins, 1994:337).

Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi memiliki sejumlah makna, di antaranya adalah pemerintahan yang dijalankan oleh suatu biro yang biasanya disebut dengan officialism, badan eksekutif pemerintah (the executive organs of government), dan keseluruhan pejabat publik (public officials), baik itu pejabat tinggi ataupun rendah (Albrow, 1989:116-117). Diantara ketiga makna tersebut, karakteristik umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya sebagai suatu lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul karena lembaga pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi pemerintah yang besar dan sangat luas cakupannya mendorong mereka untuk memilih birokrasi yang memiliki karakteristik sebagai birokrasi Weberian.

Dalam konteks Indonesia, lembaga pemerintah pada umumnya memiliki hierarki yang panjang, prosedur dan standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang rinci, dan pajabat karier yang menjadi karakteristik birokrasi Weberian. Oleh karena itu, lembaga pemerintah sering disebut sebagai birokrasi pemerintah. Karena kinerja birokrasi pemerintah pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga pandangan masyarakat terhadap birokrasi

(3)

3

pemerintah cenderung negatif yang pada akhirnya

menimbulkan stereotif yang negatif tentang konsep birokrasi Weberian. Robbins (1994: 338) mengutip konsep birokrasi ideal dari Weber yang terdiri dari 7 elemen, sebagai berikut:

a. Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam kesederhanaan, rutinitas dan mendefinisikan tugas dengan baik.

b. Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih tinggi.

c. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam basis kualifikasi yang didemonstrasikan dengan pelatihan, pendidikan atau latihan formal.

d. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan, yaitu keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan atas kualifikasi teknis, kemampuan dan prestasi para calon.

e. Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi diterapkan secara seragam dan tanpa perasaan peribadi untuk menghindari keterlibatan dengan keperibadian individual dan freferensi peribadi para anggota.

f. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan mengejar karier dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan meskipun mereka “kehabisan tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.

g. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan peribadi, yaitu pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.

Weber dalam hal ini memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya, yaitu: (1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi dipandang sebagai kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu keluar dari fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal dari kelas sosial yang particular (Thoha, 2005:19). Konsep birokrasi pengikut Weber berasumsi bahwa birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia berada di luar atau di atas aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral, lebih mengutamakan kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan, sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah birokrat dan birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.

Kenyataan ini memberi suatu isyarat bahwa reformasi birokrasi memang perlu dilakukan dalam rangka perubahan yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Menurut Hughes alasan untuk melakukan reformasi adalah dalam rangka: (1) merealisasikan pendekatan baru untuk menjalankan fungsi pelayanan publik yang lebih baik ke arah manajerial daripada sekedar administratif, (2) sebagai

respon terhadap skala penanganan dan cakupan tugas pemerintah, (3) perubahan dalam teori dan masalah ekonomi, dan (4) perubahan peran sektor swasta dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Widaningrum, 2009: 355).

Dari konsep paparan terhadap tipe ideal birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan di Indonesia sebagaimana yang diharapkan pencetusnya. Bahkan Weber mempertegas dalam teorinya bahwa satu-satunya cara bagi masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif konsep ideal tersebut di atas ialah dengan mengorganisasikan spesialis-spesialis birokrasi yang fungsional dan terlatih. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh LeMay (2006:65), bahwa sebagai organisasi yang cenderung semakin besar, membutuhkan pembagian kerja yang lebih kecil atau bersifat khusus.

Bennis secara pesimistis menyampaikan bahwa yang menggambarkan kondisi-kondisi sebagai penyebab matinya birokrasi dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994:349-352) dengan mengajukan argumentasi tandingan, bahwa birokrasi dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah dan dinamis. Miewald menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan bahwa karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah menciptakan sebuah bentuk rasional dan efisien. Bentuk apapun yang diperlukan untuk mempertahankan rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi professional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik birokrasi yang dimodifikasi.

Salah satu pengkritisi terhadap birokrasi Weber adalah datang dari Fried W. Riggs. Dalam penelitiannya di beberapa negara berkembang, ia menemukan model birokrasi yang disebutnya sebagai “model sala” atau biasa disebut dengan “model prismatic”. Kata sala diambil dari bahasa Spanyol yang sering menunjuk arti kantor pemerintah di negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum ialah “ruangan”, bahasa Perancis menyebutnya “Salle” yang pada dasarnya masih serumpun. dalam penggunaan sehari-hari, kata sala mengandung arti ruangan pribadi dalam suatu rumah—keagamaan— ruangan pertemuan umum, tetapi juga dan bahkan terutama mengandung arti kantor pemerintah (Riggs, 1988:316).

Disisi lain, pandangan khususnya terhadap agenda utama yang harus dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya, adalah perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. Paradigma perilaku birokrasi harus diubah dari yang lebih kecenderungan menjadi abdi negara ketimbang abdi masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan sebagai abdi masyarakat ketimbang abdi negara. Hakekatnya, jika aparatur birokrasi sudah melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi masyarakat maupun sebagai abdi negara. Dengan perilaku aparatur birokrasi yang berorientasi pada kepuasan masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan partisipasi

(4)

4

masyarakat kepada birokrasi pemerintah dalam

menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian maka keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya dukungan legalitas formal, tetapi keberadaannya didukung dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi pengaturan. Fungsi ini mutlak terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaannya. Persoalan yang sering kali muncul dalam praktiknya, yaitu acapkali terjadi kekakuan pada saat implementasi aturan. Kekakuan ini dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah, padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan itu dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan situasional (Siagian, 2000: 147).

Beberapa jenis penyakit birokrasi dapat diidentifikasi dan sudah sangat dikenal dan dirasakan oleh masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu apapun yang berkatian dengan kantor pemerintah, pengurusannya sangat berbelit-belit, membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar, pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan lainnya. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik dengan sebutan yang diberikan diantaranya; politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).

Belum optimalnya perubahan pada tubuh birokrasi sampai dengan saat ini, dikarenakan secara internal masih menghadapi beberapa kendala antara lain; Pertama, dalam sudut pandang aparatur birokrasi, terutama pola karier tidak berjalan dengan semestinya yaitu masih banyak penempatan pejabat tidak menggunakan prinsip “knowledge and basic competention”, tetapi lebih kental dengan orientasi kedekatan atau nepotisme. Kedua, perkembangan dewasa ini cenderung semakin marak praktek “politisasi birokrasi”, yang menyebabkan terjadinya disorientasi terhadap professionalisme dan kompetensi. Ketiga, desain organisasi pemerintahan masih cenderung berbadan gemuk dan tidak efisien dan praktis, sehingga hal ini sudah pasti menyebabkan pemerintahan tidak efisien dan efektif. Keempat, struktur organisasi pemerintahan yang kecil dan ramping, berbentuk “flat” yang lebih mengandalkan keahlian dan kompetensi sebagai tenaga fungsional, sampai saat ini belum juga dilaksanakan sebagai kebijakan nasional dalam reformasi birokrasi bidang kelembagaan. Kelima, seiring dengan arah kebijakan perbaikan renumerasi pegawai, belum menunjukkan keseriusan pemerintah menetapkan perubahan renumerasi di setiap unit instansi pemerintah. Keenam, penataan alokasi fasilitas kerja pada semua jabatan negeri secara adil dan merata, belum menjadi landasan kebijakan yang komprehensif dalam mengelola sumber daya aparatur yang profesional dan kompeten (Istianto,2011:143).

Disamping itu, sebagai suatu gambaran terhadap birokrasi dan citra pemerintahan kita yaitu

perihal citra buruk birokrasi terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil penelitian lembaga ini menilai birokrasi Indonesia termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti (Soebhan, 2000). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan menggunakan sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi pelayanan, suap dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance Survey 2002 yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pelayanan publik di Indonesia yang masih sarat dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih cenderung dilayani daripada melayani.

Kini, apakah model birokrasi seperti sebagaimana yang diungkapkan di atas masih tetap melekat dalam birokrasi di Indonesia? Seharusnya secara teoritis sudah berubah yang tidak lagi seperti itu, tetapi harus menuju pada birokrasi ala Weber di mana birokrasi benar-benar menekankan pada aspek efisiensi, efektivitas, profesionalisme, merit system, dan pelayan masyarakat. Karena pada saat zaman yang telah berubah seperti sekarang ini, dengan terjadinya era reformasi dan penekanan pada otonomi daerah, maka sudah seharusnya birokrasi harus mengalami perubahan paradigma dimana birokrasi harus dapat memposisikan dirinya sebagai abdi masyarakat, efisien, efektif, dan lebih memberi penekanan pada kinerja yang lebih profesionalisme.

PENUTUP

Permasalahan birokrasi dan reformasi birokrasi itu sendiri sudah begitu banyan dibincangkan oleh para ahli, praktisi dan pemerintahan sendiri. Tidaklah begitu mudah untuk menjadikan pemerintahan yang baik, bersih dan mengutamakan kepentingan masyarakat luas sebagaimana yang tertuang dalam konsep di atas. Dalam hal ini masyarakat menaruh harapan dan menuntut kepada Pemerintah untuk dapat mewujudkan dan melaksanakan apa yang disebut dengan good

governance. Sudah pasti masyarakat sangat

menginginkan agar paradigma lama atau pola-pola lama dalam penyelenggaraan Pemerintahan yaitu “bad governance” harus sertamerta untuk ditinggalkan dan selanjutnya diganti dengan pendekatan baru atau pola-pola baru penyelenggaraan Pemerintahan berdasarkan pada penekanan terhadap prinsip-prinsip good governance.

Selanjutnya, agar dapat terlaksana dengan sepenuhnya untuk mewujudkan good governance diperlukan suatu upaya yang besar yaitu dalam bentuk reformasi kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Agar dapat tercapainya pelayanan yang memadai dan prima sebagaimana konsep Weber, maka perlu dilakukan pembenahan atau yang lebih dikenal dengan istilah Reformasi kelembagaan. Dalam Reformasi kelembagaan ini dilakukan dengan beberapa yang menyangkut dengan pembenahan seluruh alat-alat Pemerintahan, baik struktur maupun infrastrukturnya. Kunci reformasi kelembagaan tersebut adalah pemberdayaan masing-masing elemen, yaitu masyarakat umum sebagai stakeholders, Pemerintah

(5)

5

sebagai eksekutif dan lembaga perwakilan sebagai

shareholder. Dari Reformasi ini, tentunya diharapkan Pemerintah pada akhirnya melalui aparatur sebagai pelaksana pelayanan kepada masyarakat akan dapat melakukan pekerjaan yang lebih menekankan kepada efisiensi, efektifitas dan profesionalisme dan lebih mementingkan kepada kepentingan masyarakat luas dibandingkan terhadap birokrasi itu sendiri.

Pada akhirnya pelaksanaan reformasi manajemen pada sektor publik, yaitu yang berkaitan dengan perubahan dan penggunaan suatu model manajemen Pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, lebih luwes dan tidak kaku, karena perubahan bukanlah hanya sekedar pada perubahan paradigma baru dan tidak menyentuh pada substansinya yaitu yang menyangkut pada perubahan manajemen. Salah satu pendekatan model manajemen yang lebih dikenal dengan baik yaitu manajemen yang diperkenalkan oleh Osborne dan Gaebler dengan konsep Reinventing

Governmentnya. Mereka menyampaikan bahwa:

Pemerintahan Katalis, Pemerintah milik masyarakat, Pemerintah yang kompetitif, Pemerintah yang digerakkan oleh misi, Pemerintah yang berorientasi pada hasil, Pemerintah berorientasi pada pelanggan, Pemerintahan wirausaha, Pemerintah antisipatif, Pemerintah desentralisasi, Pemerintah berorientasi pada pasar.

DAFTAR PUSTAKA

Afadlal (Ed.), Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah, Jakarta: P2P LIPI, 2003.

Albrow, Martin,1989. Birokrasi.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana

Crouch, Harold, “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia,” dalam World Politics, Vol. 31, 1989.

Dwiyanto Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada. Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel,

Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan

tentang Negara, Birokrasi, dan

Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1990, hal, 228.

Istianto, Bambang.2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Lili Romli, “Otonomi Daerah dan Birokrasi Lokal: Kasus Kabupaten Pandeglang” dalam Syamsuddin Haris, “Sentralisasri Baru Dalam Birokrasi Lokal: Kasus Kabupaten Bima”, dalam, Afadlal (Ed.), Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah, Jakarta: P2P LIPI, 2003, hal. 64.

Fauziah Rasad, “Reformasi Birokrasi Dalam Perspektif Pemberantasan Korupsi”,

dikutip dari

http://www.transparansi.or.id/?pilih=li hatpopulerkolom&id=18.

Menpan: RUU Adiministerasi Pemerintahan Pryasyarat Reformasi Birokrasi”, dikutip dari http://www.gtzsfgg.or.id/index.php?

page=menpan-ruu-administrasi- Pemerintahan-prasyarat-reformasi-birokrasi&hl=en_EN

Jackson, Karl D., Bureaucratic Polity A Theoritical framework For The Analysis of Power and Communication in Indonesia, Berkeley: University of California, 1988.

LeMay, C. Michael, 2006. Public Administration : Clashing Values in the Administration of Public Policy.Thomson Wadsworth. Prof. Dr. Mustopa dijaya, Guru Besar Kebijakan

Publik, Mantan Ketua LAN periode 1998-2003,berjudul „Reformasi Birokrasi Sebagai Syarat Pem-berantasan KKN‟, yang disampaikandalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum oleh Badan.

Robbins, P.Stephen, 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan. ---, 2003. Perilaku Organisasi, (Jilid 1 dan 2).

Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia. Siagian, P. Sondang, 2000. Administrasi Penbangunan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT, RajaGrafindo Persada.

---.2002. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jilid II. Jakarta: PT Rajagrafindo persada.

Weber, Max, (terjmh), 2009. Sosilogi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, keyakinan masyarakat Desa Talang Petai akan kesaktian Puyang Muaro Danau yang bahkan mampu melakukan hal-hal yang luar biasa seperti menjaga anak

Alhamdulillah, atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah SWT yang selalu memberikan berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

Pada hari ini Senin tanggal Dua Puluh Sembilan bulan Agustus tahun Dua Ribu Enam Belas (29-08-2016) bertempat di Sekretariat ULP Kabupaten Sumbawa, Kelompok Kerja 43

[r]

Globalisasi merupakan proses dimana hubungan sosial dan saling ketergantungan antarnegara dan antarmanusia menjadi semakin tidak berbatas. Sedangkan menurut

1. Keuangan organisasi diperoleh tidak berasal dan tidak diperoleh dengan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai islam dan tidak bertentangan

Aspek kedua ialah aspek isi yang terdiri atas empat kriteria, kriteria pertama adalah buku saku memudahkan siswa untuk mengingat materi tumbuhan paku, diperoleh nilai CVR

Dalam pembuatan karya seni lukis ini, penulis memvisualisasikan ekspresi protes terhadap ketidak-adilan sosial menggunakan visualisasi yang metaforik dengan muatan