• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NASIONALISASI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING Nasionalisasi Terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NASIONALISASI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING Nasionalisasi Terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NASIONALISASI PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL ASING

2.1. Nasionalisasi Terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing 2.1.1. Pengertian Nasionalisasi

Nasionalisasi sering disamakan dengan konfikasi dan onteigening dan

pencabutan hak. Istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian

“Konfiskasi”, “Onteigening” dan “Pencabutan Hak”. L. Erades memberikan arti nasionalisasi, yakni suatu peraturan dengan mana pihak penguasa memaksakan

semua atau segolongan tertentu untuk menerima (dwingt te godegen), bahwa

hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam benda tertentu beralih kepada

negara.1 Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak

partekelir kepada negara secara paksa.

“Nasionalisasi merupakan refers to the process of a government taking control of a company or industry, which can occur for a variety of reasons. When nationalization occurs, the former owners of the companies may or may not be compensated for their loss in net worth and potential income. Nationalization is most common in developing countries subject to frequent leadership and regime changes. In these instances, nationalization is often a way for a government to expand its economic resources and power. The opposite of nationalization is privatization, when government-owned

companies are spun off into the private business sector.” 2

1. Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indonesia, Penerbitan

Universitas, Jakarta, 1960, hal. 6 dikutip dari L. Erades, 1954. Het rechseffecct van nationaliteit

maatregellen genomen door vreemde staten, Mededelingen van de Nederlandse Vereniging voor International recht, Nederland, hal 32.

2. Investopedia, “Nationalization”, URL: http://www.investopedia.com/terms/n/nationalization.asp,

diakses pada tanggal 16 Maret 2015.

(2)

Nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak

dan Onteigening. Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada pencabutan

hak dan onteigening pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”. Sementara

itu jika tidak disertai dengan ganti rugi maka dia dapat disebut dengan

"konfiskasi”. Konfiskasi ini mirip dengan pencabutan hak (semacam onteigening), tetapi dengan corak khusus tanpa ganti rugi.

Di Indonesia pada masa kabinet Karya Republik Indonesia ketentuan

tentang nasionalisasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958. Dalam

istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “Confiscatie”.

Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik negara. Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn

mengemukakan pendapatnya bahwa, “There is said to be nationalisation

principally if an expropriation forms part a more or less extensive reform of the social or economie structure of a country”, sedangkan Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley menegaskan bahwa “nationalitation is not a term of

art”, tetapi digunakan untuk menunjuk pada expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to strengthen, a nationally controlled industry. Nationalization differ in its scope and extent rather than in its judicial nature

from other types of expropriation. 3

3. Gouw Giok Siong, loc.cit, dikutip dari Wortley, 1980, The Foreign Investment in Indonesia, 1st,

(3)

Pelaksanaan nasionalisasi oleh suatu negara terhadap hak milik atau

benda-benda yang berkaitan dengan suatu perusahaan asing di negara yang hendak

melakukan tindakan hukum nasionalisasi harus memperhatikan prinsip “teritorialiteit”. Artinya Objek yang akan di nasionaliasasi berada di dalam batas-batas teritorial negara yang melakukan nasionalisasi. Prinsip tertitorialiteit pada

dasarnya telah dilakukan oleh Indonesia ketika menasionalisasi

perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia. Hal ini dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal

1 UU No. 86 Tahun 1958, bahwa “perusahaan-perusahaan milik Belanda yang

berada di Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.”

2.1.2. Tujuan Dan Manfaat Nasionalisasi

Apabila dikaji difinisi diatas, ada dua manfaat dari konsep Nasionalisasi:

1. Mendapatkan keuntungan; dan

2. Pengalihan kontrol terhadap jalannya perusahaan.4

Melihat dari pengertian diatas dari tindakan nasionalisasi yang dilakukan

oleh Pemerintah Indonesia, kita dapat menarik tujuan dari penyelenggaraan

Nasionalisasi terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing, antara lain:

a. Meningkatkan ekonomi nasional;

b. Menyelamatkan Penanam Modal Dalam Negeri;

c. Menciptakan iklim investasi yang kondusif;

d. Meningkatkan kepastian hukum terhadap investor asing;

(4)

e. Mendorong pengembangan ekonomi nasional;

f. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

Dengan demikian tindakan Nasionalisasi ini bertujuan untuk memberi

manfaat ekonomi kepada masyarakat Indonesia serta memperkokoh keamanan

dan pertahanan negara yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan investor asing.

2.2. Sejarah Nasionalisasi Perusahaan Penanaman Modal Asing

Secara historis penanaman modal asing dan tindakan nasionalisasi terhadap

perusahaan penanaman modal asing di Indonesia sebenarnya bukan merupakan

fenomena yang baru mengingat modal asing sudah hadir di Indonesia sejak zaman

kolonial dahulu. Namun tentunya kehadiran penanaman modal asing pada masa

setelah kemerdekaan, karena tujuan dari penanaman modal asing di masa kolonial

tentu didedikasikan untuk kepentingan pihak penjajah dan bukan untuk

kesejahterahan bangsa indonesia. 5

Pada tahun 1949 adanya penandatanganan perjanjian pemulihan kedaulatan

Indonesia pada tanggal 2 November 1949 telah membuka jalan bagi bangsa

Indoensia untuk menghidupkan kembali investasi asing yang sempat terbengkalai

hampir 10 tahun akibat Perang Dunia II dan perjuangan mempertahankan

kemerdekaann. Sesuai dengan isi perjanjian tersebut musalnya dibidang investasi

yang diwajibkan kepada indonseia antara lain sebagai berikut:

(5)

a. Menjamin berlangsungnya iklim investasi di indonesia menghendaki

sebagaimana sebelum tahun 1942 termasuk pengakuan dan pemulihan

hak-hak investor asing.

b. Dalam hal kepentingan nasional, Indonesia menghendaki

diberlakukannya tindakan nasionalisasi, maka tindakan tersebut harus

dilakukan dengan cara memberikan ganti rugi yang layak.

c. Diperbolehkan adanya penanaman modal baru di Indonesia.6

Ketika kembali kepada negara kesatuan pada tahun 1950 dan

memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, mulai dilakukan

evaluasi terhadap peranan penanaman modal asing di Indonesia pada waktu-waktu

sebelumnya. Terhadap evaluasi tersebut, memunculkan berbagai mosi di DPR

yang menghendaki penghapusan kewajiban-kewajiban Indonesia di dibidang

penanaman modal asing sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pemulihan

kemerdekaan tahun 1949. Meskipun mosi-mosi tersebut dapat diatasi, namun

sentimen anti penanaman modal asing tampak makin kental. Disamping itu

dorongan untuk menalukan tindakan nasionalisasi juga cukup besar.

Pada Kabinet Sukiman tahun 1951, serangkai kebijakan yang anti terhadap

modal asing mulai diterapkan, yaitu sebagai berikut:

a. Mengimbangi modal asing mulai dengan modal dalam negeri yang

diseponsori leh negara dengan mengeluarkan peraturan yang disebut “Rencana Urgensi Industrialisasi”.

(6)

b. Memperluas hak eksklusif para pribumi dalam melakukan impor atau

barang-barang tertentu.

c. Memberlakukan hak-hak eksklusif lainnya bagi golongan pribumi secara

diskriminatif.

Sayang sekali kebijakan di atas tidak dapat mengangkat kaum pribumi

secara keseluruhan, tetapi hanya menguntungkan sebagian masyarakat karena

adanya praktik korupsi dan nepotisme dikalangan pemerintah. Di samping itu,

kebijakan tersebut menemui kegagalan berbagai faktor, seperti banyak

bermunculan perusahaan “Bodong”, munculnya golongan menengah baru yang diharapkan tidak tercapai, terjadinya inefisiensi secara administratif, tidak

berkembangnya kemampuan bisnis penguasa pribumi, serta gagalnya proses alih

teknologi. Sementara itu, sentimen anti modal asing menimbulkan berbagai

kerusuhan seperti kerusuhan Surabaya dan Tanjung Morawa tahun 1953.

Kerusuhan-kerusuhan tersebut tidak ditangani dengan baik, sehingga sangat

merugikan investasi asing, pemerintak pada saar itu ternyata tidak dapat

menegakkan hukum dengan baik.7

Ketika Kabinet Ali Sastroamidjojo berkuasa (1953-1955), dengan

indonesianisasi dalam kegiatan bisnis, kegiatan ini berkembang terus, termasuk

dengan memberikan beberapa faasilitas-fasilitas khususnya bagi kaum pribumi.

Pada Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956), pemerintah mulai

melakukan seringkaian tindakan untuk memulihkan kepercayaan asing dalam

rangka penanaman modal. Serangkaian kebijakan yang ditempuh untuk mencapai

(7)

tujuan tersebut dengan menurunkan harga minyak dan barang-barang impor,

menyaring importir pribumi. Kabinet Burhanuddin diganti dengan Kabinet Ali

Sastroamidjojo II yang memenangkan pemilu 1955. Pada tahun 1958 dengan

mempertimbangkan pentingnya investasi asing di Indoensia, maka

diundangkanlah Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 tentang Penanaman

Modal Asing (UU No. 78 Tahun 1958). UU ini sejalan dengan sepirit yang

menjiwai perjuangan kemerdekaan yang masih membara ketika itu, UU inipun

sangat kental dengan semangat kebangsaan.8

Dalam UU No. 78 Tahun 1958 debedakan secara tajam antara pengusaha

asing dengan pengusaha nasional berikut bidang-bidang yang diperbolehkan

untuk diusahakan dan adanya penawaran berbagai skema insentif bagi investor

asing seperti:

a. Pengurangan pajak impor,

b. Pengecualian atas materai (stamp duites),

c. Pencegahan pajak berganda,

d. Jaminan atas pengalihan keuntungan dan modal,

e. Diberikannya hak-hak atas tanah kepada investor asing, dan

f. Jaminan tidak akan dilakukannya tindakan nasionalisasi selama waktu

20-30 tahun.

Sedangkan kewajiban yang dibebankan kepada investor asing hanya

mencakup kewajiban untuk mendidik dan memperkerjakan tenaga seta sesedikit

(8)

mungkin menggunakan tenaga kerja asing dari segi substansi, isi Undang-Undang

Penanaman Modal Asing Nomor 78 Tahun 1958.

Meskipun memiliki perundang-undangan yang memberikan banyak fasilitas

terhadap investor asing, namun dalam kenyataannya pemerintah tetap melakukan

tindakan nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda yang semula sudah disita.

Tindakan nasionalisasi ini ialah upaya memasukan spirit nasionalis dengan

dilanjutkan lagi berkenaan melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 86

Tahun 1958 tentang Nasionalisasi, yang jiwanya bertentangan dengan dengan

UU Penanaman Modal Tahun 1958.9

Bagi investor asing momen-momen yang terjadi pada tahun 1985

mengandung dua makna yaitu kebangkitan kembali dan awal kebangkrutan.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 berarti investasi asing

memperoleh kedudukan yang kokoh pada era kemerdekaan dan kedaulatan

Indonesia, tetapi dengan adanya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 investor

asing tidak dapat berkutik, karena ancaman nasionalisasi merupakan momok yang

sangat menakutkan.

Kebangkrutan investasi asing pada akhirnya memang menjadi kenyataan

setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 78 Tahun 1958 dinyatakan tidak

berlaku berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959.

(9)

Alasan terpenting yang digunakan untuk membekukan tersebut adalah

bahwa penanaman modal asing merupakan penghisapam atas manusia dan

menghambat revolusi di Indonesia.10

Catatan sejarah dalam rentan waktu dari tahun 1511 sampai sekarang

memperlihatkan bahwa hampir setiap jengkal bumi busantara ini sudah dijamaah

oleh investasi, yang bertujuan mengubah kekayaan alam (kekuatan ekonomi

potensial) menjadi kekuatan ekonomi riil, pada akhirnya tampak lebih menonjol

kiprah penanaman modal asing (real dan direct invesment) sebagai bentuk dan

sarana investasi.

Berbagai kepustakaan sesuangguhnya telah berupaya mengungkap bahwa

indonesia juga memiliki catatan mengenai nasionalisasi perusahaan asing dan

sarana investasi lainnya yang dapat memperkaya pandangan dan pengetahuan

bahwa wacana mengenai nasionalisasi perusahaan asing yang berada di Indonesia.

Pada tanggal 1 Januari 1967, diberlakukanlah undang-undang baru yaitu

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).

Pada masa tahun 1967 pemerintah banyak melakukan langkah-langkah insentif di

bidang perpajakan, upaya untuk menarik investor terus dilakukan dengan

menetapkan kebijakan-kebijakan sebagai berikut:

a. Memperkenanakan pengelolaan perusahaan oleh personel asing.

b. Menjamin transfer modal dan keuntungan sesuai dengan mata uang yang

dikehendaki.

(10)

c. Jaminan untuk tidak nasionalisasi kecuali dalam keadaan khusus dan

dengan kompensasi yang layak, efektif dan segera.

UU Penamaman Modal Asing Pasal 21 menentukan bahwa “Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara

menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang

mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan,

kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan kepentingan Negara menghendaki

tindakan demikian”. Namun dalam Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal

Asing, pemerintah dapat melakukan tindakan nasionalisasi dengan wajib

memberikankompensasi/ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya

disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan asas-asas hukum internasional

yang berlaku.

Tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang diakibatkan oleh

perilaku bisnis yang kurang bertanggung jawab yaitu berperilaku buruk dalam

menjaga kekuatan perekonomian Indonesia. Krisis tersebut telah mengubah

keadaan dari krisis ekonomi menjadi krisis kepercayaan.

Untuk menyikapi hal tersebut pemerintah membuat program pembangunan

untuk meningkatkan iklim investasi di indonesia, seperti program Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2003-2004 dan

dilanjutkan prorgam tersebut sampai 2009. Dalam rangka pemenuhan program

pembangunan di bidang investasi tersebut, pada tahun 2007, pemerintah telah

mengesahkan dan mengundangkan undang-undang di bidang penanaman modal

(11)

Pengaturan ketentuan nasionalisasi dalam Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007, ada satu pasal yang mengatur tentang nasionalisasi yaitu Pasal 7 ayat

(1). Ketentuan ini berkaitan dengan kewenangan Pemerintah untuk tidak akan

melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam

modal, kecuali dengan undang-undang. Walaupun dalam ketentuan ini Pemerintah

tidak akan melakukan nasionalisasi dan divestasi modal, namun dalam ketentuan

ayat (2) ditegaskan bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan

masionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan, pemerintah akan

memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.11

Tindakan nasionalisasi atas perusahaan asing di satu pihak dengan kegiatan

investasi pada lain pihak, merupakan dua variabel yang saling bertentangan. Pada

variabel kegiatan investasi para investor memerlukan adanya suatu kepastian

hukum demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal

dengan dalih adanya kesenjangan ekonomi, dan alasan politis lainnya dapat

melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini

menjadikan problematika diseputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang

termasuk Indoneisa, mengapa perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap

perusahaan asing, dan apakah perbuatan itu tidak menghambat arus investasi ke

negara penerima modal asing.

(12)

2.3. Penanaman Modal Asing

2.3.1. Pengertian Penanaman Modal Asing

Untuk memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan termitologi

penanaman modal (penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing)

dalam UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 (UUPM) yang mengganti

UU yang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang

Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang

Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diganti dengan

Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968, maka kiranya diuraikan apa yang dimaksud dengan “modal” (capital) dan “penanaman modal” (investment) dalam konteks penanaman modal. pemahaman atas kerangka konsepsional sangat penting untuk

mengetahui kerangka yuridis pengaturan penanaman modal di indonesia.

“Penanaman Modal” diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUPM diartikan sebagai: “segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara

Republik Indonesia”.

Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa penanam

modal dalam negeri yaitu: “Kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal dalam

begeri dengan menggunakan nodal dalam negeri”.

Adapun angka 3 disebutkan, bahwa penanaman modal asing yaitu “Kegiatan menanam modal usaha untuk melakukan usaha di wilayah negara

(13)

Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal asing, baik yang

menggunakan asing sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanamn

modal dalam negeri”.

Berdasarkan uraian diatas maka jelas yang dimaksud dengan penanaman

modal khususnya PMA (foreign ivesment) tidak berarti modal tersebut berasal

dari luar negara semata, melainkan dapat juga yang sifatnya patungan (joint

venture), di mana terdapat penggabungan antara modal yang sumbernya berasal dari luar negeri (foreign capital) dan modal yang sumbernya berasal dari dalam

negeri (domestic capital).12

Lebih lanjut Pasal 1 angka 4 UU Penanaman Modal mengatur kerangka konseptual dari “penanam modal” sebagai perseroan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal baik PMDN maupun PMA. Yang menarik dari

definisi penanaman modal diatas ternyata UU Penanaman Modal mengartikan

penanaman modal tersebut perseorangan atau badan usaha (business entity), dan

tidak mencakupbadan yang non-usaha seperti yayasan (foundation). Padahal

dalam kenyataannya suatu badan non-usaha (non-pprofit organisation

organisation atau non-commercial entity) dapat saja melakukan penyertaan modal, contohnya yayasan (foundation) dan dana pensiun (pension fund).

Terminologi pananaman modal dalam UU Penanaman Modal juga menyebutkan

secara tegas bahwa negara sebagai suatu badan hukum juga dapat menjadi

investor atau penanam modal sebagaimana dilakukan pada Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) atau perusahaan yang tidak berstatus BUMN tetapi sebagian

(14)

sahamnya dimiliki oleh negara. Berdasarkan uraian diatas maka seharusnya

definisi “penanam modal” dalam UUPM juga mencakup badan usaha non-usaha dan negara sebagai suatu badan hukum sehingga seharusnya yang dimaksudkan

penanam modal adalah perseorangan atau badan hukum tertentu yang

diperbolehkan melakukan penanaman modal berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, baik berupa penanaman modal dalam negeri maupun

penanaman modal asing.13

Kerangka konseptual “penanam modal” dalam UUPM sebagaimana disebutkan di atas sebagaimananya juga tidak konsisten dengan kerangka

konsepsional “penanaman modal dalam negeri” (domestic investor) dan “penanaman modal asing (foreign invest) yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6. Penanam modal dalam negeri diartikan sebagai perseorangan

warga neara Indonesia, badan usaha indonesia, negara Republik Indonesia atau

dareah yang melakukan penanaman modal di wiayah Negara Republik Indonesia,

sedangkan “penanam modal asing” diartikan sebagai perseorangan warga negara asing yang melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia.

Jelas terminologi “penanam modal dalam negeri” dan “penanam modal asing”, sebagaimana disebut di atas tidak hanya mencakup perseorangan dan badan usaha

sebagaimana didefinisikan dalam terminologi “penanam modal”, tetapi juga mencakup negara atau daerah sebagaibadan hukum dalam hal ini tentunya

diwakilkan oleh pemerintah baik dalam konteksnya Pemerintah Republik

Indonesia, Pemerintah Daerah atau Pemerintah Asing. Namun demikian kerangka

(15)

konseptual “penanam modal dalam negeri” dan penanam modal asing” tidak secara tegas mengatur bahwa penanm modal mencakup juga badan usaha

non-usaha lainnya seperti yayasan.14

Mempertegas pengertian apa yang dimasudkan dengan penanaman modal,

Todung Mulya Lubis mengemukakan pengertian dari penanaman modal bahwa

kalau dibaca ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1967 jo.

UU Nomor 11 Tahun 1970 tentang PMA, maka pengertian penanman modal

khususnya modal asing agaknya berat ke equity, suatu fresh capital yang datang

dari luar negeri.15 Pengertian tersebut terlalu sempit sehingga diakuinya pula

termasuk juga equiqment, patent, dan teknologi baru. Dalam ketentuan Pasal 1

UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang sudah dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku lagi disebutkan bahwa:

“Pengertian penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perukasaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut”.16

Pengertian lain tentang penanaman modal diberikan oleh Organization

European Economic Coorporation (OEEC) yaitu “direct investment, is mean acquisition of sufficient interest in an undertaking to ensure its control by the investor”. Kesimpulan yang dapat ditarik dari perumusan tersebut adalah

14.Ibid, hal.24.

15. T. Mulya Lubis, 1992, Hukum Ekonomi, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 23. 16.Ibid.

(16)

penanaman modal diberi keleluasaan pengusahaan dan penyelenggaraan pimpinan

dalam perusahaan di mana modalnya ditanam, dalam arti bahwa penanaman

modal mempunyai penguasaan atas modal. Pengertian ini terlalu menitikberatkan

pada penguasaan perusahaan dan tidak memperhitungkan adanya kemungkinan

penanaman modal ini dalam bentuk portofolio investment.

Lain lagi, pengertian yang diberikan oleh Andean Pact yang menyangkut

Direct Foreigen Investment yaitu sebagai berikut:

Contribution coming from abroad, owned by individuals or concerns, to the capital of enterprise must be in freely conbertible currencies, industrial plants, machinery or equiqment with the right to re-export their value and to remit profit aboard. Also concidered as direct foreign investments are those investments in local currency originating from re-cources which have the right to be remitted aboard.

Arti penanaman modal menurut Andean Pact yang terdapat dalam Pasal 1

The Caetagena Agreement tersebut, pada pokoknya menekankan kepada pengertian modal asing yang dilakukan para penanam modal asing secara

perorangan.

Ismail Suny, lebih menegaskan lagi bahwa kiranya lebih tepat apabila

dibedakan modal asing dalam bentuk penanaman dan modal asing dalam bentuk

kredit.17

Perumusan sebagaimana yang di atas tentang apa yang dimaksudkan dengan

penanaman modal, khususnya modal asing pada prinsipnya mengandung beberapa

unsur pokok yakni:

17. Ismail Suny dan Rudioro Rochmat, 1967, Tinjauan dan Pembahasan UUMPA dan Kredit Luar

(17)

1) Penanaman modal secara langsung (direct investment)

2) Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia.

3) Resiko yang lansung ditanggung oleh pemilik modal.

Dengan demikian, pengertian penanaman modal, khususnya penanaman

modal asing sesuai dengan rumusan Pasal 1 tersebut hanyalah bersangkutan paut

dengan penanaman modal yang dilaksanakan secara langsung (direct invesment),

di mana pemilik modal hanya memiliki sejumlah saham dalam suatu perusahaan

tanpa ikut serta atau mempunyai kekuasaan langsung dalam pengelolaan

manajemen perusahaan tersebut. Perbedaan penting diketahui agar bisa dibedakan

secara tegas, yang termasuk dalam kategori penanam modal, khususnya asing dan

yang bukan sebagai penanaman modal asing meskipun di dalamnya terdapat unsur

asing.18

Perbedaan antara penanaman modal asing dan penanaman modal dalam

negeri jelas dikaitkan dengan pihak yang melakukan penenaman modal dan asal

dari modal tersebut. Modal tidak selalu berbentuk uang, tetapi dapat juga dalam berbentuk lain yang bikan uang sepanjang mempunyai nilai ekonomis. “Modal Asing” dalam Pasal 1 angka 8 UU Penanaman Modal didefinisikan sebagai modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha

asing, badan hukum asing dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau

seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) UU

Penanaman Modal mengatur bahwa “penanaman modal asing wajib dalam bentuk

18. Aminuddin Ilmar, 2010, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Cet. IV, Kencana Prenada

(18)

perseroan terbatas (limited liability company) berdasarkan hukum Indonesia dan

berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia kecuali ditentukan

lain oleh undang-undang”. Hal ini mengakibatkan perusahaan yang di dalamnya

terdapat unsur modal asing memiliki status sebagai perusahaan Penanaman Modal

Asing (PMA) untuk membedakannya dengan perusahaan yang berstatus

penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau juga perusahaan yang tidak

berstatus PMA ataupun PMDN atau yang sering dikenal sebagai swata nasional

atau perseroan terbatas biasa (PT Biasa). 19

Apabila ditinjau lebih jauh sebenarnya pemaknaan “modal asing” dalam Pasal 1 angka 8 UU Penanaman Modal tidak terlalu tepat, karena terminologi “modal asing” mencakup juga modal yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh asing atau dengan kata lain

modal yang dimiliki oleh perusahaan PMA. Modal asing yang telah

diinvestasikan secara langsung ke suatu perusahaan PMA memang merupakan

penanaman modal asing, dan karenanya perusahaan PMA tersebut menerbitkan

saham kepada pemodal asing yang bersangkutan. Uang yang diinvestasikan oleh

pemodal asing pada perusahaan PMA tersebut secara hukum dan akutansi

merupakan aset atau aktiva dari perusahaan PMA dalam bentuk cash dan tidak

dapat dikatakan lagi sebagai aset atau aktiva dari pemodal asing tersebut.

Hubungan antara pernyertaan modal atau investasi di perusahaan PMA tersebut,

di mana saham itulah yang menjadi aset atau aktiva dari penanaman modal asing

tersebut. Apabila uang tersebut kemudian digunakan oleh perusahaan PMA

(19)

tersebut sebagai penyertaan modal pada perusahaan lain, maka sebenarnya

penyertaan modal di perusahaan lain yang dilakukan oleh perusahaan PMA tidak

dapat dikategorikan sebagai penanaman modal asing.

Penyertaan modal perusahan PMA tersebut pada perusahaan lain

dikategorikan sebagai penanaman modal asing, maka sebaiknya ditentukan nilai

persentase penyertaan modal perusahaan PMA tersebut pada perusahaan lain

sangat kecil, maka seharusnya perusahaan lain tersebut tidak dapat serta merta

dikategorikan sebagai “modal asing”.20

Kejanggalan dari kerangka konseptual “modal asing” sebagaimana diaur dalam Pasal 1 angka (8) UUPM dapat diuraikan lebih jelas apabia diilustrasikan

dengan diagram dan contoh kasus sebagai berikut:

61.Ibid, hal 26. 10% 90% 10% PT C (PMA) PT D (PMA) 75% PT F (PMA) 25%

PT G (PMA) Jual Beli 10% Saham di PT G

10%

90%

Pemodal Asing A Limited

Permodalan Dalam Negeri PT B

(20)

Diagram di atas digambarkan contoh di mana PT A Limited sebuah

perushaan asing yang didirikan di Singapura bersama partner lokalnya PT B,

sebuah perusahaan Indonesia secara patungan mendirikan sebuah perusahaan di

Indonesia dengan nama PT C. PT A Limited memegang kepemilikan saham di PT

C sebesar 75%, sedangkan PT B memiliki saham 25% di PT C. Dengan demikian

dalam struktur permodalan PT C terdapat modal asing yang berasal dari A

Limited dan sebagai konsekuensinya PT C berstatus perusahaan PMA. Jika PT C

selanjutnya bersama dengan salah satu pemegang sahamnya, yaitu PT B,

mendirikan PT D denga struktur permodalan yaitu PT C memiliki saham sebesar

10%, sedangkan PT B sebesar 90%, maka berdasarkan UUPM status PT D

menjadi PMA, walaupun jumlah kepemilikan modal PT C selaku perusahaan

PMA hanya 10% dibandingkan dengan PT B selaku partner dalam kepemilikan

saham di PT D. Apabila dalam perkembangannya PT D berpatungan dengan PT

E, sebuah perusahaan yang berstatus PT non PMA dengan cara membeli saham

PT G yang sebelumnya dimiliki oleh PT F, maka berdasarkan pemahaman Pasal 1

angka (8) UUPM juncto Pasal 23 Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Nomor

2009, status PT G harus berubah menjadi Perusahaan PMA. Perubahan status PT

G menjadi perusahaan PMA tetap harus dilakukan walaupun penyertaan modal

PT D selaku perusahaan PMA hanya 10% dibandingkan penyertaan modal PT E

selaku pemegang saham lainnya di PT G.21

Berdasarkan contoh kasus di atas, jelas menjadi semakin absurd pengertian

“modal”asing apabila dikaitkan deengan “status perusahaan PMA”, karena starus

(21)

perusahaan PMA dapat terjadi walaupun sebenarnya penyertaan modal dari pihak

asing secara langsung di perusahaan tersebut sudah tidak ada. pemeberian status

perusahaan PMA pada sebuah perusahaan terkesan lebih menekankan formalitas

ketimbang substansi dari eksistensi dan besarnya modal pihak asing di dalam

perusahaan tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan misleading dalam

pendataan jumlah modal asing apabila dikaitkan dengan jumlah Perusahaan PMA

di Indonesia. Pemberian status terkesan lebih menegagkan formalitas ketimbang

substasi dari eksistensi dan besarnya modal pihak asing dalam perusahaan

tersebut.

Dianalisis lebih lanjut pengertian “penanaman modal asing” sebagaimana

diatur dalam Pasal 1 angka 3 UUPM, sebenarnya tidak memberikan penjelasan

bahwa apa yang dimaksud dengan penanaman modal asing adalah kegiatan

penanaman modal yang dilakukan oleh badan usaha Indonesia yang sebagian atau

seluruhnya dimiliki oleh pihak asing, melainkan oleh penanaman modal asing

sepenuhnya atau yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.

Dengan kata lain, penanaman modal asing sebenarnya adalah penanaman modal

yang dilakukan oleh pihak asing (pemodal asing) atau pihak asing yang

berpatungan dengan pihak lokal (penanam modal asing), di mana penanaman

modal asing itu bersifat langsung dan tidak mencakup penanaman modal asing

yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan usaha Indonesia.22

(22)

2.3.2. Tujuan Dan Manfaat Penanaman Modal Asing

Keberadaan investasi yang ditananamlam oleh investor, terutama modal

asing, ternyata memberikan dampak positif di dalam pembangunan nasional. Adi

Harsono mengemukakan manfaat dari adanya investasi asing atau perusahaan

asing, yaitu sebagai berikut:

1. Masalah gaji, perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi

dibandingkan gaji rata-rata nasional.

2. Perusahaan asing menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat

dibandingkan perusahaan domestik sejenis.

3. Perusahaan asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang

pendidikan, pelatihan dan di bidang penelitian (R&D) di negara di mana

mereka menanamkan modalnya.

4. Perusahaan asing cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan

perusahaan domestik.23

Jhon W. Head juga mengemukakan delapan manfaat investasi, khususnya

PMA. Kedelapan keuntungan PMA itu adalah sebagai berikut:

1. Menciptakan lowongan kerja bagi penduduk nega tuan rumah sehingga

mereka dapat meningkatkan penghasilan mereka dan standar hidup

mereka;

23.

H. Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta2010, (selanjutnya disingkat Salim HS III),hal 112, dikutip dari Jhon W. Head, 2002, Developing

Countries and the Frame work for Negotiations on Foreign Direct Investment in The World Trade Organitation, U.J.Intll.L, hal. 89.

(23)

2. Menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan

rumah, sehingga mereka dapat berbagai dari pendapatan

perusahaan-perusahaan baru;

3. Meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendatangkan

penghasilan tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai

keperluan untuk kepentingan kependudukannya;

4. Menghasilkan pengaihan pelatihan teknis dan pengetahuan, yang mana

dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan

industri lain;

5. Memperluas potensi swasembada negara tuan rumah dengan

memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor;

6. Menghasilkan pendapatan pajak yang dapat digunakan untuk berbagai

keperluan, demi kepentingan penduduk dari negara tuan rumah.

7. Membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam da

sumber daya manusia menjadi lebih baik pemanfaatannya daripada

semula.24

Berdasarkan teori pertumbuhan modal yang dikemukakan oleh Adam

Smith, yang berpendapat bahwa perkembangan ekonomi memerlukan PMA.

Pembagian kerja hanya bisa dilakukan setelah adanya akumulasi modal (capital

accumulation). Namun pengemban selanjutnya dari teori pertumbuhan modal ini adalah David Ricardo dan Oentoeng Soeropati. Ia mengemukakan sebagai

berikut:

(24)

“Pemerintah tidak boleh mencampuri kegiatan perdagangan dan investasi dan harus selalu mengupayakan pasar yang bebas. Mekasnisme pasarlah yang seharusnya menentukan bagaimana kinerja investasi asing dan kebebasan aliran akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi. Kebebasan persaingan seluas-luasnya antara pelaku bisnis domestik dan asing agar pasar bebas benar-benar efisien. Investasi dianggap sebagai suatu kegiatan pembentukan modal (capital formation). Artinya bahwa fungsi laba dalam perekonomian di mana pemerintah tidak menjadi investor atau partisipasipan penting. Investasi asing dapat dianggap sebagai pembentukan modal oleh perusahaan ke suatu negara asing”.25

Apablia kita analisis pandangan ini, keberadaan dari investasi asing di

dalam suatu negara akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan negara

penerima investasi. Hal yang sangat penting bagi investor adalah kepastian hukum

di negara ia melakukan usahanya di negara yang bersangkutan. Keberadaan

investasi asing, di tingkat regional atau lokal, akan menggerakan aktivitas

ekonomi yang cukup tinggi. Dunia usaha akan berkembang dengan dengan baik

begitu juga masyarakat lokal menjadi meningkat.26

Tujuan yang di dapatkan oleh PMA di kemukakan oleh William A. Fannel

dan Joseph W. Tyler, serta Eric. M Brut, yaitu:

1. Memberikan modal kerja;

2. Mendatangkan keahlian, manajerial, ilmu pengetahuan, modal dan

koneksi pasar;

3. Penanaman modal asing tidak melahirkan utang baru;

25.

Oentoeng Soeropati, 1999, Hukum Investasi Asing, Fakultas Hukum Universitas Kreisten Satya Wacana, Salatiga, hal. 25.

(25)

4. Menbantu upaya-upaya pembangunan kepada perekonomian negara

penerima.27

Dampak positif PMA, keberadaan modal asing juga menimbulkan dampak

negatif bagi negara penerima, yaitu sebagai berikut:

1. Penanaman modal asing berdampak negatif bagi perekonomian negara

penerima.

2. Penanaman modal asing melahirkan sengketa dengan negara penerima

atau dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara-negara

berkembang.

3. PMA oleh Multinational Enterprise atau MNEdapat mengontrol atau

mendominasi perusahaan-perusahaan lokal. Sehingga akibatnya, mereka

dapat mempengaruhi ekonomi bahkan kebijakan politis negara penerima.

4. MNE banyak dikecam telah mengembalikan keuntungan-keuntungan dari

kegiatan-kegiatan bisnisnya ke negara tempat perusahaan induknya

berada. Praktik ini setidaknya telah mengurangi cadangan persediaan

mata uang asing (foreign exchange reserves) dari negara penerima.

5. Adanya tuduhan terhadap MNE yang kegiatan usahanya ternyata telah

merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya terutama negara-negara

yang sedang berkembang. Pasalnya MNE telah menggunakan zat-zat

27.

Huala Adolf, 2004, Perjanjian Penanganan Modal Dalam Hukum Perdagangan Internasional, Cetakan, I, Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 6, dikutip dari William A. Fenel and Joseph W. Tyeler, 1995, Trade and International Investment from the GAAT to the Multilateral Agreement on

(26)

yang membahayakan lingkungan atau menerapkan teknologi yang tidak

atau kurang memperhatikan lingkungan.

6. MNE telah dikritik telah merusak aspek-aspek positif penanaman modal

itu sendiri di negara-negara sedang berkembang. Misalnya, adanya

praktik MNE yang acap kali menerepkan kegiatan usaha yang bersifat

restriktif (restrctive bussiner practices).

Walaupun PMA berdampak negatif terhadap negara rumah tangga, setiap

negara tetap berkeinginan supaya negara pemilik modal dapat melakukan

penanaman modal di negata yang bersangkutan. Ini disebabkan keberadaan

penanaman modal, khususnya PMA terlihat lebih dominan dampak positif

daripada negatif.28

2.4. Perbedaan antara Nasionalisasi dan Divestasi terhadap Perusahaan Penanaman Modal Asing

Tindakan nasionalisasi atas perusahaan asing di satu pihak dengan kegiatan

investasi pada lain pihak, merupakan dua variabel yang saling bertentangan. Pada

variabel kegiatan investasi para investor memerlukan adanya suatu kepastian

hukum demi ketenangan untuk berusaha, dan di lain pihak negara penerima modal

dengan dalih adanya kesenjangan ekonomi, dan alasan politis lainnya dapat

melakukan tindakan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di negaranya. Hal ini

menjadikan problematika diseputar kegiatan investasi di suatu negara berkembang

termasuk Indoneisa, mengapa perlu diadakan tindakan nasionalisasi terhadap

(27)

perusahaan asing, dan apakah perbuatan itu tidak menghambat arus investasi ke

negara penerima modal asing.29

Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu cara peralihan hak dari pihak

partekelir kepada negara secara paksa. Dalam rangka tinjauan tersebut maka

nasionalisasi dipandang sebagai “Species” dari “Genus” pencabutan hak danOnteigening. Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada

“onteigening” pada prinsipnya harus diikuti dengan “ganti rugi”.

Di Indonesia ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam Undang-Undang

Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda. Dalam

istilah nasionalisasi termasuk didalamnya “expropriation” atau “confiscatie”.30

Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu perusahaan menjadi milik

negara. Perusahaan bersangkutan menjadi “a nation affair”. Dalam hal nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaan-perusahaan. Kollewijn

mengemukakan pendapatnya bahwa “There is said to be nationalisation

principally if an expropriation forms part a more or less extensive reform of the social or economie structure of a country”.

Sedangkan Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley

menegaskan bahwa “nationalitation is not a term of art”, tetapi digunakan untuk

menunjuk pada expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to

29. Gouw Giok Siong, op.cit, hal. 6. 30.Ibid, hal. 8.

(28)

strengthen, a nationally controlled industry. Nationalization different in its scope

and extent rather than in its judicial nature from other types of expropriation.31

Divestasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang penjualan saham

yang dimiliki oleh perusahaan atau cara mendapatkan uang dari investasi yang

dimiliki oleh seseorang. Sementara itu pengertian divestasi sendiri dapat

ditemukan dalam Pasal 1 anggka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008

tentang Investasi pemerintah dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Mentri Keuangan

Republik Indonesia Nomor 183/PMK.05/2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

Divestasi Terhadap Investasi Pemerintah. Divestasi adalah “ penjualan surat

berharga dan/atau kepemilikan pemerintah baik sebagian atau keseluruhan kepada pihak lain ”.

Jeff Madura memberikan pengertian divestasi, yaitu sebagai berikut: “pengurangan beberapa jenis aset baik dalam bentuk finansial atau barang, dapat pula disebut penjualan dari bisnis yang dimiliki ileh perusahaan, ini adalah

kebalikan dari investasi pada aset yang baru”.32 Sedangkan Setyo Wibowo

mendefinisikan divestasi:

“Sebagai suatu transaksi penjualan aset kepemilikan/saham suatu entilitas ekonomi yang dikuasai pemerintahan oleh intitusi yang ditunjuk seperti BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) atau PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).33

31.

Ibid.

32. Wikipedia, TT, „Divestasi‟, http://dd.wikipedia.org/wiki/Divestasi, diakses tanggal 19

Desember 2014.

33. Setyo Wibowo, 2006, “Divestasi dan Privatisasi Aset Negara ke Investor Asing – Antara Nasionalisme

Ekonomi dan Keniscayaan Globalisasi”, http://setyowibowo.wordpress.com/2006/07/05/7/, diakses tanggal 19 Desember 2014.

(29)

Abdul Moin juga memberikan pengertian divestasi, yaitu “menjual sebagian

unit bisnis atau anak perusahaan kepada pihak lain untuk mendapatkan dana segar

dalam rangka menyehatkan perusahaan secara keseluruhan”.34

Apabila berbagai definisi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah dan

pandangan para ahli tersebut dianalisis, ternyata divestasi dikonstruksikan sebagai

jual beli. Dikonstruksikan sebagai kegiatan jual beli dikarenakan jual beli

merupakan suatu persetujuan, dengan mana pihak satu mengikat dirinya untuk

menyerahkansuatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang

dijanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata). Pemerintah bertindak sebagai penjual,

sedangkan pihak lainnya, berupa Badan Usaha, Badan Layanan Umum (BLU),

Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD),

dan/atau badan hukum asing bertindak sebagai pembeli. Objek divestasi adalah

surat berharga dan aset. Surat berharga adalah:“saham dan/atau surat utang”.

Sementara itu, yang diartikan dengan saham adalah:“surat bukti pemilikan modal

perseroan terbatas yang memberikan hak atas deviden dan lainnya”.35

Nasionalisasi dan divestasi selalu menjadi polemik terutama bila dikaitkan

dengan keterlibatan investor asing. Pihak yang tidak setuju dengan penjualan

kepada pihak asing pada umumnya mendasarkan pendapatnya pada konsep

nasionalisme ekonomi, sedangkan pihak yang sebaliknya mendasarkan pada

konsep pasar bebas dan globalisasi. Walaupun mungkin merupakan implifikasi,

34. Abdul Moin, 2007, Merger, Akuisisi, & Divestasi, Edisi Kedua, Ekosina Kampus Fakultas

Ekonomi UII, Yogyakarta, hal. 332.

35. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

(30)

tindakan nasionalisme ekonomi akan dipandang sebagai antitesis dari pasar bebas

(liberalisme) dan globalisasi.

Tindakan Nasionalisasi akan menolak modal asing karena dipandang

sebagai alat bagi agen liberalisme dan globalisasi (negara-negara maju dan

lembaga-lembaga internasional pemilik modal) dalam mempertahankan

hegemoninya atas negara-negara berkembang dan terbelakang. Oleh nasionalisme

ekonomi, modal asing justru dipandang hanya menimbulkan ketergantungan

negara penerimanya terhadap negara donor. Setelah terjadi ketergantungan,

negara donor bisa memaksakan berbagai ketentuan yang hanya menguntungkan

pihaknya, seperti keharusan membuka pasar atau mengadopsi sistem ekonomi dan

politik tertentu. Secara singkat, modal asing dipandang akan membahayakan

kepentingan nasional.

Namun demikian, mau tidak mau atau suka tidak suka, globalisasi telah,

sedang, dan masih akan terus berlangsung dan menjadi sebuah keniscayaan.

Apalagi untuk negara yang posisi tawarnya sangat lemah seperti Indonesia yang

terdesak dengan masalah fiskal yang defisit, investasi dalam negeri yang sangat

rendah, pengangguran yang membengkak, sistem moneter yang rentan

goncangan, dan segudang masalah lainnya.36

Referensi

Dokumen terkait

Untuk itu telah dilakukan standarisasi ekstrak dan pengujian efek antikonvulsi ekstrak etanol daun ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) lam) pada mencit putih jantan yang diinduksi

nilai-nilai antikorupsi dalam pembelajaran masih belum maksimal adalah adanya keterbatasan pengembangan kurikulum, pemantapan guru, dan implementasi yang mengedepankan

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka tugas akhir ini dibuat dengan maksud untuk membuat aplikasi sistem pakar, agar dapat membantu mencari solusi yang

This permission does not extend to binding multiple chapters of the book, photocopying or producing copies for other than personal use of the person creating the copy, or

Sistem absensi bekerja dengan menggunakan inputan wajah ,sehingga dibutuhkan metode yang dapat mendeteksi dan mengenali wajah seseorang yang dimana metode

80,03% dari skor maksimal yang diharapkan dan penelitian Sukini (2012) dengan judul “Pembelajaran Tematik Di Sekolah Dasar Kelas Rendah Dan Pelaksanaannya”. Hasil dari

Untuk memudahkan dalam menganalisis data, maka variabel yang digunakan diukur dengan mempergunakan model skala 5 tingkat (likert) yang memungkinkan pemegang polis dapat

Pekerjaan yang bergengsi sebagai salah satu contoh komponen status sosial ekonomi, terdiri dari pendapatan dan pencapaian pendidikan.Status pekerjaan sesuai dengan tingkat