• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan

Berbicara masalah pedesaan tidak terlepas dengan masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Kemiskinan terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan, kurangnya konsumsi kalori yang diperlukan oleh tubuh manusia dan melebarnya kesenjangan antara si kaya dengan si miskin.

Kemiskinan yang menimpa sekelompok masyarakat berhubungan dengan status sosial ekonominya dan potensi wilayah. Faktor sosial ekonomi yaitu faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri dan cenderung melekat pada dirinya seperti tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah, teknologi dan rendahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan yang ada. Kedua faktor tersebut menentukan aksesibilitas masyarakat miskin dalam memanfaatkan peluang-peluang ekonomi dalam menunjang kehidupannya. Kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang kait mengait antara suatu faktor dengan faktor yang lainnya. oleh karena itu untuk mengkaji kemiskinan harus diperhatikan jalinan antara faktor-faktor penyebab kemiskinan dan faktor-faktor-faktor-faktor yang berada di balik kemiskinan tersebut.

Todaro (1985: 93) memperlihatkan jalinan antara kemiskinan dan keterbelakangan dengan beberapa aspek ekonomi dan aspek non ekonomi. Tiga komponen utama sebagai penyebab keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat,

(2)

faktor tersebut adalah (a) rendahnya taraf hidup; (b) rendahnya rasa percaya diri dan; (c) terbatasnya kebebasan. Ketiga aspek tersebut memiliki hubungan secara timbal balik balik. Rendahnya taraf hidup disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, rendahnya pendapatan disebabkan oleh rendahnya produktivitas tenaga kerja, rendahnya produktivitas tenaga kerja disebabkan oleh tingginya pertumbuhan tenaga kerja, tingginya angka pengangguran, dan rendahnya investasi perkapita.

Tingginya angka pengangguran disebabkan oleh tingginya tingkat pertumbuhan tenaga kerja dan rendahnya investasi perkapita dan tingginya tingkat pertumbuhan tenaga kerja disebabkan oleh penurunan tingkat kematian dan rendahnya investasi perkapita disebabkan oleh tingginya ketergantungan terhadap teknologi asing yang hemat tenaga kerja. Selanjutnya rendahnya tingkat pendapatan berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan tenaga kerja dan investasi perkapita. Keterkaitan antara aspek-aspek tersebut terlihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.

(3)

Sumber: Todaro (1985).

Gambar 2.1. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan dan Keterbelakangan Suatu Negara

Pengurangan tingkat kematian

Ketergantungan terhadap teknologi asing yang hemat

tenaga kerja Tingkat pertumbuhan TK yang tinggi Tingginya angka pengangguran Rendahnya investasi per kapita Jeleknya kesehatan dan gizi Rendahnya produktivitas tenaga kerja Terbatasnya kesempatan pendidikan Rendanya tingkat pendapatan

1. Rendahnya taraf kehidupan a. Kemiskinan absolut

b. Kurangnya fasilitas kesehatan c. Kurangnya fasilitas pendidikan dan

sosial lainnya 2. Rendahnya taraf percaya diri a. Identitas b. Martabat c. Harga diri d. Penghargaan e. Pengakuan 3. Terbatasnya kebebasan

a. Pengaruh dan dominasi lainnya - Perdagangan

- Bantuan pemerintah dan swasta - Teknologi - Pendidikan - Tata nilai b. Untuk memilih - Mendapatkan materi - Waktu - Pemikiran - Keindahan - Gaya hidup

(4)

Secara lebih khusus studi Hayami (1985: 49-54) di Indonesia, Malaysia dan Thailand menemukan bahwa kemiskinan dan ketidakmerataan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) Produktivitas tenaga kerja rendah sebagai akibat rendahnya teknologi, penyediaan tanah dan modal jika dibanding tenaga kerja; (2) tidak meratanya distribusi kekayaan terutama tanah. untuk kasus Indonesia Ginanjar (1996: 240) mengemukakan empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut yaitu: (a) rendahnya taraf pendidikan, (b) rendahnya taraf kesehatan, (c) terbatasnya lapangan kerja, dan (d) kondisi keterisolasian.

Wirasi dalam Hagul (1985: 4) mengemukakan bahwa masalah kemiskinan di pedesaan merupakan resultan dari beberapa faktor antara lain: pertumbuhan penduduk, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya produktivitas. Seterusnya Salim (1984: 40) menyatakan bahwa kemiskinan tersebut melekat atas diri penduduk miskin, mereka miskin karena tidak memiliki asset produksi dan kemampuan untuk meningkatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki asset produksi karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran kemiskinan tanpa ujung dan pangkalnya. Secara lebih konkrit Hadiwegono dan Pakpahan (1992: 25) berpendapat bahwa kemiskinan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1) sumber daya alam yang rendah; (b) teknologi dan unsur pendukung yang rendah; (3) sumber daya manusia yang rendah; (4) sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik.

Dengan rendahnya faktor-faktor di atas menyebabkan rendahnya aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dengan rendahnya aktivitas

(5)

ekonomi yang dapat dilakukan berakibat terhadap rendahnya produktivitas dan pendapatan yang diterima, pada gilirannya pendapatan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum yang menyebabkan terjadinya proses kemiskinan.

Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995: 10-30) yang dilakukan pada tujuh belas provinsi di Indonesia. Propinsi tersebut antara lain: Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan masyarakat pedesaan di Indonesia. Faktor tersebut antara lain: (1) rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hal ini ditujukan pada rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesehatan, kurangnya pekerjaan alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya keterampilan dan besarnya jumlah anggota keluarga; (2) rendahnya sumber daya fisik. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya dan jumlah asset produksi serta modal kerja; (3) rendahnya penerapan teknologi. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya penggunaan input dan mekanisme pertanian; (4) rendahnya potensi wilayah yang ditunjukkan oleh rendahnya potensi fisik dan infrastruktur. Kondisi fisik ditunjukkan oleh iklim, tingkat kesuburan dan topografis wilayah. Infrastruktur ditunjukkan oleh irigasi, transportasi, pasar, kesehatan, pendidikan, pengolahan komoditas pertanian pertanian, listrik dan fasilitas komunikasi; (5) kurang tepatnya kebijakan yang

(6)

dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan; (6) kurang berperannya kelembagaan yang ada kelembagaan tersebut antara lain: pemasaran, penyuluhan, perkreditan dan sosial.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian tersebut memiliki tujuan yang sama dengan penelitian yang penulis lakukan. Kesamaannya adalah sama-sama bertujuan untuk mengetahui penyebab kemiskinan pada sekelompok masyarakat. Perbedaannya terlihat pada objek penelitian dan teknik analisis yang digunakan. Penelitian tersebut memiliki objek pada tingkat makro yaitu pada Wilayah Tingkat II (Kabupaten) dan teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian yang penulis lakukan memiliki objek mikro (rumah tangga miskin) dengan teknik analisis kuantitatif. Dengan teknik analisis ini akan dapat diketahui seberapa jauh masing-masing variabel berpengaruh terhadap kemiskinan berbeda dengan analisis deskriptif yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian.

Untuk ruang lingkup yang lebih luas Both dan Firdausy (1994: 81) dalam studi empirisnya menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan masyarakat di pedesaan Asia. Faktor tersebut antara lain: (1) faktor ekonomi terdiri dari: modal, tanah, dan teknologi; (2) faktor sosial dan budaya terdiri dari: pendidikan, budaya miskin dan kesempatan kerja; (3) faktor geografis dan lingkungan; (4) faktor pribadi terdiri dari: jenis kelamin, kesehatan dan usia. Keempat faktor tersebut mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pasar, fasilitas umum dan kredit. Lebih lanjut Both dan Firdausy menyatakan tingkat

(7)

aksesibilitas masyarakat terhadap ketiga faktor tersebutlah yang mempengaruhi kemiskinannya.

2.2. Hakikat dan Ukuran Kemiskinan

Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan standar yang berlaku. Seorang yang dikatakan miskin secara absolut jika tingkat pendapatannya lebih rendah dari standar kemiskinan yang ditetapkan. Saat ini sudah cukup banyak ukuran dan standar yang dikeluarkan oleh pakar lembaga mengenai batas garis kemiskinan. Menurut Sajogyo dalam Quibria (1996: 113) batas garis kemiskinan ditunjukkan oleh pendapatan perkapita setara dengan 320 kg beras untuk pedesaan dan setara dengan 480 kg beras untuk perkotaan.

Lebih lanjut Sajogyo mengklasifikasikan kemiskinan pedesaan ke dalam tiga kategori yaitu:

1. Rumah tangga paling miskin jika pendapatan perkapitanya di bawah 180 kilogram beras per tahun.

2. Rumah tangga miskin sekali, jika pendapatan perkapitanya setara dengan 180 kilogram – 120 kg beras per tahun.

3. Rumah tangga miskin, jika pendapatan perkapitanya setara dengan 240 kilogram

– 320 kilogram beras per tahun.

Dengan menggunakan beras garis kemiskinan tersebut akan dapat diketahui jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Namun dengan

(8)

menggunakan standar Sajogyo menurut Simatupang (1991: 23) pada tahun 1990 ditemukan sebanyak 38 juta rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo memiliki standar kemiskinan yang lebih tinggi dari batas kemiskinan Biro Pusat Statistik (1993: 23). Dengan menggunakan standar Sajogyo jumlah penduduk miskin cenderung lebih banyak jika dibandingkan dengan kriteria Biro Pusat Statistik tersebut. Kriteria tersebut memiliki kekuatan karena beras merupakan kebutuhan pokok pada umumnya rakyat Indonesia. bagi masyarakat ekonomi lemah pengeluaran untuk pembelian beras cenderung memiliki porsi yang cukup besar dari total pendapatan mereka. Dengan demikian perubahan harga beras akan sangat menentukan kesejahteraan masyarakat miskin. Oleh karena itu menggunakan standar beras sebagai ukuran kemiskinan memiliki validitas yang cukup baik jika dibandingkan dengan pendekatan pendapatan dan pengeluaran perkapita karena pendapatan tersebut tidak terpengaruh dengan laju inflasi yang ada.

Batas kemiskinan menurut Biro Pusat Statistik (1993: 23) ditunjukkan oleh pendapatan perkapita per bulan Rp.27.905 untuk perkotaan dan Rp.18.244,- untuk pedesaan. Dengan menggunakan kriteria ini pada tahun 1993 ditemukan sebanyak 25,9 juta rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan Biro Pusat Statistik didasarkan kepada kebutuhan kalori minimum perhari yaitu 2100 kalori ditambah dengan kebutuhan non makan seperti pakaian, pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain Both (1993: 24) menggunakan batas garis

(9)

kemiskinan berdasarkan konsumsi kalori perhari sebanyak 2000 kalori dan 40 gram protein.

Djoyohadikusumo (1996: 21) menggunakan standar kemiskinan berdasarkan pendapatan perkapita per tahun adalah US$50 untuk pedesaan dan US$ 75 untuk perkotaan. Standar yang dikemukakan Djoyohadikusumo relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar kemiskinan yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik apalagi dengan standar Sajogyo. Dengan menggunakan standar Djoyohadikusumo, berarti jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode yang sama cenderung lebih banyak. Standar kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Agraria dalam Nawi (1997: 12) adalah berdasarkan konsumsi sembilan bahan kebutuhan pokok yang dihitung atas dasar harga setempat. Standar kebutuhan minimum perorang per tahun: 100 kg beras, 60 liter minyak tanah; 15 kg ikan asin; 20 batang sabun; 6 kg gula pasir; 4 meter tekstil kasar; 6 kg minyak goreng; 2 meter batik kasar; 4 kg garam.

Klasifikasi kemiskinan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Agraria adalah sebagai berikut:

1. Miskin sekali, jika konsumsi perkapita pertahun sebesar 75% dari nilai total konsumsi sembilan bahan kebutuhan pokok yang ditetapkan;

2. Miskin, jika konsumsi perkapita pertahun sebesar 75% - 125% dari nilai total konsumsi sembilan bahan kebutuhan pokok yang ditetapkan;

3. Hampir miskin, jika konsumsi perkapita pertahun sebesar 125% - 200% dari nilai total konsumsi sembilan bahan kebutuhan pokok yang ditetapkan.

(10)

Di sisi lain Bank Dunia (1990: 36) untuk standar internasional memberikan batas garis kemiskinan yang lebih tinggi dari standar-standar lainnya yaitu dengan pendapatan perkapita sebesar US$ 275 per tahun. Dengan menggunakan kriteria tersebut pada tahun 1990 di India ditemukan sebanyak 250 juta rakyat berada di bawah garis kemiskinan, di Cina 80 juta, di Amerika Latin 50 juta dan di seluruh negara berkembang ditemukan sebanyak 633 juta jiwa rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan. Penetapan garis kemiskinan di Malaysia pendekatannya hampir bersamaan dengan Indonesia. Di samping ada batas kemiskinan untuk Malaysia secara keseluruhan dan ada pula batas kemiskinan berdasarkan masing-masing wilayah. Batas garis kemiskinan untuk negara Malaysia RM 92,39 sementara untuk masing wilayah sifatnya agak kondisional sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. Di wilayah Sabah umpamanya batas garis kemiskinannya sebesar RM 100.00, Paninsular RM 73,15 dan di Serawak RM 85,82. Pada masing-masing daerah tersebut dijumpai sebanyak 26,3%; 10,60%; dan 16,2% rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan (Hasyim, 1998: 177).

2.3. Distribusi Penguasaan Lahan dan Pendapatan

Distribusi penguasaan lahan sebagai faktor produksi dan distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi lahan dan pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Umpamanya jika sekelompok

(11)

masyarakat proporsinya sebesar 40% dari total penduduk, maka seharusnya mereka juga menguasai pendapatan sebesar 40% dari total pendapatan.

Untuk mengukur distribusi atau tingkat pemerataan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain Gini Ratio, Kuznet Index, Oshima Hidexs, Theil Decomposition dan kriteria Bank Dunia. Dari beberapa pendekatan tersebut Gini Ratio dan kriteria Bank Dunia merupakan ukuran tingkat pemerataan yang paling banyak digunakan oleh para peneliti. Di Indonesia kedua pendekatan tersebut telah lazim digunakan untuk mengukur berbagai bentuk pemerataan, terutama untuk mengukur pemerataan pendapatan dan penguasaan lahan.

Todaro (1985: 149) menyatakan bahwa Gini Ratio akan dapat dijelaskan dengan menggunakan Kurva Lorenz. Dengan menggunakan Kurva Lorenz tingkat pemerataan akan dapat diketahui dengan jalan membandingkan bidang yang terletak antara garis diagonal dengan Kurva Lorenz (bidang yang diarsir) dengan bidang setengah bujur sangkar (OBE0 sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2.

Sumber: Todaro (1985).

(12)

Di pedesaan distribusi penguasaan lahan dan distribusi pendapatan merupakan dua hal yang cenderung menjadi perhatian, karena distribusi penguasaan lahan cenderung mempengaruhi distribusi pendapatan. Lahan bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor produksi yang menentukan tinggi rendahnya pendapatan. Dengan demikian jika lahan terdistribusi dengan merata, maka pendapatan juga akan terdistribusi pula secara merata. Secara lebih luas Jhonston dan Clark (1985: 210) mengemukakan luas dan distribusi penguasaan tanah serta pilihan teknologi berpengaruh terhadap tingkat dan distribusi pendapatan masyarakat. Seterusnya tingkat dan distribusi pendapatan dan keputusan untuk menabung dan investasi berpengaruh pula terhadap tingkat dan distribusi penguasaan lahan.

Selanjutnya hasil studi Mintoro (1983: 45) menyimpulkan bahwa pada desa-desa yang kesempatan kerja di luar pertanian sangat terbatas, distribusi penguasaan lahan berpengaruh nyata terhadap distribusi pendapatan. Sedangkan bagi desa-desa yang kesempatan kerja di luar pertanian sudah terbuka, distribusi penguasaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi pendapatan. Terbukanya kesempatan berusaha di luar pertanian menunjukkan bahwa penghasilan petani bukan hanya berasal dari sektor pertanian tetapi juga berasal dari kegiatan lain dengan demikian penguasaan lahan bukan satu-satunya sumber penghasilan bagi petani dan yang menentukan distribusi pendapatan mereka. Berdasarkan hasil Susenas tahun 1990 dapat diketahui bahwa rata-rata penguasaan lahan per rumah tangga di Indonesia 0,38 hektar sementara sebarannya cukup merata sebagaimana ditunjukkan oleh Gini Koefisien (0,3213).

(13)

Todaro (1985: 306) menyatakan di kebanyakan negara yang struktur pemilikan tanahnya tidak merata merupakan penyebab utama ketidakmerataan pembagian pendapatan dan kesejahteraan di pedesaan. Hal yang sama juga diungkapkan Syahruddin (1980: 36) bahwa terdapat hubungan yang berarti antara distribusi pemilikan tanah dengan distribusi pendapatan di pedesaan Sumatera Barat.

Hasil studi deskriptif yang dilakukan Hayami (1981: 46) di Desa Perbaungan menyimpulkan bahwa luas pemilikan lahan yang tidak merata menyebabkan besarnya pendapatan juga tidak merata. Tidak meratanya distribusi pendapatan disebabkan kegiatan pertanian merupakan satu-satunya pendapatan bagi masyarakat.

Syukur (1988: 54) di pedesaan Sulawesi Selatan menyimpulkan terdapat hubungan searah antara distribusi penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan. Dalam hal ini luas lahan mempunyai peranan penting dalam menciptakan arus masuk pendapatan masyarakat pedesaan. Dengan demikian distribusi pendapatan akan terefleksi oleh distribusi penguasaan lahan.

Colier dalam Hayami (1985: 280) mengemukakan bahwa pendapatan dari kegiatan di luar pertanian sangat penting sebagai tambahan pendapatan yang bersumber dari kegiatan pertanian. Selanjutnya, ia mengemukakan, pendapatan dari kegiatan non pertanian dalam perekonomian agraris secara teoritis dapat berpengaruh positif terhadap pemerataan pendapatan jika pola penguasaan lahan pertanian relatif tidak merata. Berpengaruh negatif jika pola penguasaan lahan relatif merata dan netral jika sumbangan penghasilan kegiatan luar pertanian relatif kecil terhadap pendapatan rumah tangga miskin.

(14)

Hasil studi yang dilakukan Sinaga dan White (1984: 145) di daerah aliran sungai Cimanuk memperlihatkan semakin besar proporsi pendapatan dan kegiatan non pertanian tidak memperkecil pemerataan tetapi sebaliknya memperbesar ketidakmerataan pendapatan yang berasal dari pertanian. Lebih lanjut studi tersebut menemukan golongan petani yang berlahan luas dan memperoleh pendapatan melebihi biaya hidupnya, mereka menginvestasikan surplus pendapatannya kepada usaha yang bersifat padat modal seperti alat pengolah hasil pertanian dan membuka warung. Di lain pihak petani kecil dan buruh tani yang penghasilannya tidak cukup untuk membiayai keluarganya, mereka terpaksa mencari pekerjaan yang bersifat padat tenaga kerja yang tidak membutuhkan modal besar seperti pedagang bakulan, kerajinan tangan, bidang jasa dan sektor informal lainnya.

Studi yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dalam Kustiah (1983: 77) menyimpulkan bahwa semakin miskin suatu daerah maka semakin merata distribusi pendapatannya dan demikian pula sebaliknya. Terjadinya hal tersebut karena kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat miskin pada umumnya adalah pertanian berlahan sempit dan cenderung mengandalkan tenaga kerja ketimbang modal. Penggunaan tenaga kerja di luar keluarga pada umumnya tidak dibayar karena adanya pertukaran tenaga kerja di antara mereka secara resiprokal. Berbeda dengan petani yang berlahan luas yang pada umumnya lebih mengandalkan faktor modal dan tenaga kerja bayaran dengan berprinsip efisiensi skala usaha. Dengan kondisi demikian pembagian pendapatan pada kelompok petani miskin cenderung akan lebih merata ketimbang petani mampu. Secara konkrit hasil studi

(15)

tersebut menunjukkan bahwa besarnya koefisien Gini untuk daerah hampir miskin sebesar 0,270 daerah miskin sebesar 0,234, daerah sedikit lebih miskin 0,213 dan daerah sangat miskin 0,161.

2.4. Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Studi empiris Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian (1995) yang dilakukan pada tujuh belas Provinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa ada enam faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu (1) rendahnya kualitas sumber daya manusia, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, tingginya angka ketergantungan, rendahnya tingkat kesehatan, kurangnya pekerjaan alternatif, rendahnya etos kerja, rendahnya keterampilan dan besarnya jumlah anggota keluarga; (2) rendahnya sumber daya fisik, hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kualitas dan jumlah asset produksi serta modal kerja; (3) rendahnya penerapan teknologi, ditandai oleh rendahnya penggunaan input dan mekanisasi pertanian; (4) rendahnya potensi wilayah yang ditandai oleh rendahnya potensi fisik dan infrastruktur. Kondisi fisik ini meliputi iklim, tingkat kesuburan, dan topografis wilayah, sedangkan infrastruktur meliputi irigasi transportasi, pasar, kesehatan, pendidikan, pengolahan komoditas pertanian, listrik dan fasilitas komunikasi; (5) kurang tepatnya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam investasi dan pengentasan kemiskinan, (6) kurang berperannya kelembagaan yang ada, kelembagaan tersebut meliputi pemasaran, penyuluhan, perkreditan dan sosial.

(16)

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Departemen Pertanian tersebut memiliki tujuan yang sama dengan penelitian yang penulis lakukan. Kesamaannya adalah sama-sama bertujuan untuk mengetahui penyebab kemiskinan pada sekelompok masyarakat. Perbedaannya terlihat pada objek penelitian dan teknik analisis yang digunakan.

Untuk ruang lingkup yang lebih luas Both dan Firdausy (1994) dalam studi empirisnya menyimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi kemiskinan masyarakat di pedesaan Asia. Faktor tersebut antara lain (1) faktor ekonomi terdiri dari modal, tanah dan teknologi; (2) faktor sosial dan budaya terdiri dari pendidikan, budaya miskin dan kesempatan kerja; (3) faktor geografis dan lingkungan; (4) faktor pribadi terdiri dari jenis kelamin, kesehatan dan usia. Keempat faktor tersebut mempengaruhi tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pasar, fasilitas umum dan kredit.

Penelitian yang dilakukan oleh Tumpal Butar-Butar (2005), yang dilakukan di Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Kabupaten Dairi, mengungkapkan bahwa pendidikan, luas lahan dan aksesibilitas berpengaruh terhadap pendapatan.

Todaro (1993) berpendapat, kemiskinan yang begitu luas telah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga masyarakat yang miskin tidak memperoleh akses terhadap perolehan kredit. Masyarakat ini juga tidak dapat membiayai pendidikan anak-anaknya, dan akibat ketiadaan peluang investasi secara fisik maupun keuangan, mereka memilih banyak anak sebagai sumber jaminan keuangan di hari tua mereka.

(17)

2.5. Kerangka Konseptual

Pedesaan dicirikan oleh kemiskinan dan keterbelakangan. Kemiskinan tersebut secara jelas terlihat dari rendahnya tingkat pendapatan, tidak meratanya distribusi pendapatan dan pemilikan faktor produksi antar kelompok masyarakat.

Faktor produksi yang dimiliki oleh masyarakat miskin sangat terbatas sekali sebagaimana ditunjukkan oleh luas lahan yang sempit, rendahnya tingkat teknologi, rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan dan kurangnya mata pencaharian alternatif. Rendahnya faktor tersebut mengakibatkan sangat terbatasnya kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

Terbatasnya faktor produksi yang dimiliki masyarakat miskin pada umumnya hanya melakukan kegiatan ekonomi yang memiliki produktivitas rendah. dengan demikian, masyarakat miskin kurang akses dalam memanfaatkan peluang ekonomi yang ada, akibatnya mereka hanya sekedar bertahan untuk hidup dan sangat kecil peluang bagi mereka untuk keluar dari kondisi kemiskinan tersebut.

Untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin, masyarakat desa cenderung melakukan kegiatan nafkah ganda (pencaharian alternatif) apalagi masyarakat miskin. Dengan pola nafkah ganda rumah tangga miskin akan dapat menutupi kekurangan penghasilannya. Di sisi lain pola nafkah ganda juga akan berpengaruh terhadap distribusi pendapatan, karena produktivitas usaha, yang dilakukan di luar bertani pada umumnya bervariasi. Demikian pula dengan tingkat pendapatannya. Dengan demikian, rumah tangga miskin yang memiliki mata

(18)

pencaharian alternatif akan memiliki distribusi pendapatan relatif timpang jika dibandingkan dengan rumah tangga miskin yang tidak memiliki mata pencaharian alternatif.

Kemiskinan relatif di pedesaan berhubungan erat dengan tidak meratanya distribusi penguasaan lahan dan pendapatan. Secara konkrit kemiskinan relatif akan dapat dideteksi dengan melihat tingkat pemerataan antar kelompok masyarakat dengan menggunakan Koefisien Gini. Ketidakmerataan distribusi penguasaan lahan akan berpengaruh pula terhadap distribusi pendapatan. Semakin merata penguasaan lahan akan merata pula distribusi pendapatan, karena lahan pertanian bagi masyarakat desa merupakan faktor produksi utama dan sebagai sumber penghasilan bagi rumah tangga miskin.

Rumah tangga yang memiliki lahan luas, akan dapat melakukan usaha tani relatif lebih besar dengan investasi yang cukup besar, sementara rumah tangga miskin yang memiliki lahan sempit hanya dapat melakukan kegiatan usaha tani relatif kecil dengan cara yang amat sederhana. Perbedaan skala usaha tersebut akan menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas demikian juga dengan penghasilan yang diterima oleh masing-masing rumah tangga miskin.

Rumah tangga miskin ditandai dengan luas lahan yang sempit, tapi distribusinya lebih merata, demikian juga dengan pendapatan yang diterimanya. Meratanya distribusi pendapatan pada rumah tangga miskin disebabkan oleh dua faktor: (a) distribusi penguasaan lahannya yang merata; (b) penggunaan tenaga kerja dalam usaha pertanian cenderung tidak dibayar karena ada pertukaran tenaga kerja

(19)

di antara mereka secara resiprokal. Berbeda dengan rumah tangga yang bukan miskin dengan lahan yang relatif luas, teknologi dan modal yang mencukupi akan dapat memilih kegiatan usaha tani yang relatif lebih menguntungkan.

Lahan adalah sumber pendapatan utama bagi masyarakat desa, karena pada umumnya mereka adalah sebagai petani. Rumah tangga miskin cenderung memiliki lahan yang sempit akibatnya pendapatannya relatif rendah tetapi distribusinya relatif merata. Demikian pula sebaliknya bagi rumah tangga yang bukan berstatus miskin cenderung memiliki lahan relatif luas tetapi distribusi pendapatannya cenderung tidak merata.

Dalam penelitian ini secara empiris akan dicoba membuktikan kebenaran pernyataan di atas bahwa distribusi penguasaan lahan dan distribusi pendapatan pada rumah tangga miskin cenderung lebih merata jika dibandingkan dengan rumah tangga yang tidak berstatus miskin.

Saat ini pendapatan sebagian masyarakat desa tidak hanya berasal dari satu sumber pendapatan dari petani. Sebagai akibat kemajuan di berbagai bidang sudah banyak rumah tangga miskin yang memiliki pekerjaan alternatif seperti sebagai pedagang, buruh pabrik, buruh tani, tukang dan sebagainya menyebabkan terjadinya peningkatan pendapatan.

Namun pekerjaan alternatif yang dilakukan oleh masing-masing rumah tangga miskin cenderung berbeda demikian juga dengan penghasilan yang diterimanya. Oleh karena itu pada kelompok rumah tangga miskin yang memiliki pekerjaan alternatif akan terjadi ketimpangan pendapatan antar rumah tangga miskin sementara bagi

(20)

rumah tangga miskin yang tidak mempunyai pekerjaan alternatif distribusi pendapatannya cenderung lebih merata karena pendapatannya hanya berasal dari satu sumber. Dalam penelitian ini akan dibuktikan apakah benar distribusi pendapatan pada mereka yang tidak mempunyai mata pencaharian alternatif lebih merata dari pendapatan rumah tangga miskin yang memiliki mata pencaharian alternatif.

Bagi sebagian besar masyarakat desa bertani adalah pekerjaan utama mereka. Oleh karena itu keberadaan lahan amat menentukan variasi pendapatan yang mereka terima kasih, jika lahan terdistribusi secara merata maka pendapatannya akan cenderung terdistribusi secara merata pula, demikian pula sebaliknya, karena lahan merupakan sumber pendapatan utama bagi masyarakat desa. Dengan demikian secara empiris akan dibuktikan apakah benar distribusi penguasaan lahan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap distribusi pendapatan rumah tangga miskin.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konseptual penelitian sebagai berikut:

(21)

Gambar 2.3. Kerangka Konseptual Penelitian Luas lahan Tingkat Teknologi Tingkat Pendidikan Tingkat Kesehatan Akses terhadap kelembagaan Mata Pencaharian Alternatif Kemiskinan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan

(22)

2.6. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan pustaka dan kerangka konseptual penelitian yang telah dikemukakan dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Luas lahan pertanian, tingkat teknologi, tingkat pendidikan, aksesibilitas terhadap kelembagaan dan mata pencaharian alternatif berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga miskin di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara.

2. Tingkat kesehatan tidak berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga miskin di Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. 3. Kontribusi rumah tangga miskin berpengaruh positif terhadap pendapatan rumah

Gambar

Gambar  2.1.  Faktor-faktor  Penyebab  Kemiskinan  dan  Keterbelakangan  Suatu  Negara
Gambar 2.2. Kurva Lorenz dan Garis Kemerataan
Gambar 2.3. Kerangka Konseptual Penelitian Luas lahan Tingkat Teknologi Tingkat Pendidikan Tingkat Kesehatan  Akses terhadap kelembagaan Mata Pencaharian Alternatif Kemiskinan   Kebijakan  Pengentasan Kemiskinan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam sejarahnya sendiri, propaganda pada awalnya adalah mengembangkan dan memekarkan agama Khatolik Roma baik di Italia maupun negara-negara lain. Sejalan dengan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

The cost of land under development consists of the cost of land for development, direct and indirect real estate development costs and capitalized borrowing

Dari hasil observasi yang dilakukan oleh guru tentang kemampuan kognitif anak dalam mengenal bentuk geometri melalui bermain papan berpaku dengan kartu geometri,