• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam gambaran penulis, Jepang adalah sebuah negara maju dalam berbagai hal seperti ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi dan lain-lain. Namun demikian, ada hal yang menarik dari Jepang sebagai negara maju, yaitu masih mempercayai tradisi yang dianggap sakral. Tradisi tersebut dikenal sebagai kebudayaan tradisional Jepang. Kebudayaan tradisional seperti festival tradisional dan gaya hidup sudah melekat sebagai ciri khas daerah-daerah di Jepang. Salah satu dari banyak tradisi bangsa Jepang, ada yang dianggap sakral dan dapat mengangkat pamor pariwisata negeri itu sendiri. Tradisi itu disebut matsuri. Matsuri dianggap sebagai kepercayaan bangsa

Jepang. Hal ini dapat dijelaskan bahwa matsuri pada dasarnya adalah upacara keagamaan untuk mengundang atau mendatangkan dewa atau peristiwa terjadinya pertemuan antara manusia dan dewa dengan tujuan untuk mendapatkan petunjuk dan berkah (Kunio Yanagita, 1980:22). Melalui matsuri ini masyarakat Jepang merasakan akan kehadiran dewa dalam kehidupan.

Dapat dikatakan juga bahwa matsuri terdiri atas upacara dan perayaan yang dipraktekkan dalam agama Shinto. Matsuri menjadi wujud dari perjanjian antara manusia dengan leluhurnya dan dewa yang disembahnya sehingga masturi tersebut tidak dapat diabaikan dalam kehidupan masyarakat Jepang (Matsuri dan Kebudayaan Korporasi Jepang, 2009:5).

Di dalam matsuri terkandung empat unsur dasar yaitu : harai atau penyucian,

shinsen atau persembahan, norito atau doa, naorai atau pesta suci (Shinto: The Kami Way, 1962:51). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa matsuri mengandung suatu

(2)

unsur yang sakral atau suci, ditandai dengan kegiatan yang berkaitan erat dengan

kami atau Dewa-dewa Shinto.

Selain mengandung empat unsur, matsuri di Jepang terdiri dari tiga kategori, yaitu Nenchuugyouji, Ninigirei dan Tsukagirei. Nenchuugyouji merupakan upacara yang dilakukan secara periodik dan pada waktu yang telah ditetapkan setiap tahunnya menurut penanggalan Jepang. Contohnya seperti hina matsuri yaitu perayaan setiap tanggal 3 Maret di Jepang yang diadakan untuk mendoakan pertumbuhan anak perempuan, tanabata matsuri, yaitu festival bintang yang dirayakan berkaitan dengan musim di Jepang, Tiongkok dan Korea. dan bon matsuri, yaitu serangkaian upacara dan tradisi di Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur.

Ninigirei merupakan upacara ritual yang diadakan pada saat tujuan dan kesempatan tertentu, diselenggarakan sesuai dengan keinginan atau tujuan-tujuan tertentu untuk memohon doa atau terimakasih kepada kami. Ninigirei bersifat accidental, artinya tidak berada dalam lingkaran hidup orang Jepang atau tidak semua orang melakukannya. Contohnya seperti sotsugyoiwai yaitu upacara kelulusan dan kenchiku girei, yaitu

upacara yang dilakukan pada saat sebelum membangun rumah. Dan terakhir adalah

tsukagirei.

Tsukagirei adalah upacara yang berhubungan dengan lingkaran hidup seseorang,

dimulai dari sejak si jabang bayi dalam kandungan sampai menjadi arwah atau mulai dari Obiiwai, Omiyamairi, Okuizome, Hatsu zekku, Hatsutanjou, dan Shichi Go San .

Obiiwai dilakukan oleh orang Jepang ketika si jabang bayi berusia 5 bulan di dalam

rahim ibunya. Ada ritual memakai obi „iwada’ yang disebut “obi iwai”, yaitu menyerahkan kepada ibu yang hamil, nampan yang di atasnya diletakkan obi dan batu kecil yang dianggap sebagai dewa, kemudian memakaikan obi tersebut di perutnya.

Omiyamairi merupakan upacara membawa bayi ke jinja untuk pertama kalinya

ketika ia berusia 31 hari untuk anak laki-laki atau 32 hari untuk anak perempuan. Dalam ritual ini, bayi digendong oleh nenek dari pihak ayah sang bayi dengan

(3)

dipakaikan kimono sesuai dengan jenis kelamin. Untuk bayi perempuan akan dipakaikan kimono berwarna cerah, sedangkan untuk bayi laki-laki dipakaikan kimono yang terbuat dari sutera berwarna hitam. Pakaian untuk ritual ini dikirim oleh pihak keluarga ibu sang bayi.

Okuizome adalah ritual pemberian makanan pertama bagi bayi setelah ia berusia

100 hari. Adapun Hatsu zekku adalah upacara selamatan bagi anak laki-laki ketika ia baru pertama kali melewati tanggal 5 Mei sejak bayi dilahirkan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan China kuno, di mana 5 Mei dianggap sebagai tanggal datangnya penyakit dan nasib jelek, maka tanggal 5 bulan Mei dijadikan hari untuk membuang hal jelek itu di China. Jepang yang banyak meniru Cina, juga mempercayainya sehingga pada tanggal itu, orang-orang Jepang menempelkan gambar shouki di pintu masuk rumah mereka, yang dipercaya dapat menangkal penyakit atau nasib jelek yang datang ke rumah, sedangkan bagi anak perempuan tanggal datangnya penyakit dan nasib jelek itu dipercaya ketika ia baru pertama kali melewati 3 Maret.

Dulu di China kuno, 3 Maret merupakan perayaan ‟air‟. Orang-orang pada hari itu membersihkan badannya dengan „air‟ untuk membersihkan penyakit dan nasib jelek yang menempel di badannya. Lalu di Jepang kuno, ada suatu kebiasaan untuk memindahkan penyakit atau nasib jelek yang menempel dibadan ke hitogata atau boneka sederhana, lalu mengalirkannya ke air. Hal ini dikenal dengan hinamasturi yaitu matsuri yang berhubungan dengan boneka yang dirayakan setiap 3 Maret.

Hatsutanjou merupakan ritual matsuri ketika bayi berumur 1 tahun. Pada saat

perayaan ulang tahun pertama ini, ada ritual menanak nasi merah, kemudian dibuat mochi ulang tahun. Setelah itu diletakkan di punggung sang anak, lalu menyuruhnya berjalan. Hal ini dianggap sebagai roh baru yang ditempelkan dan masuk kedalam tubuh sang anak (Saleha, 2010:12).

Shichi Go San adalah matsuri yang diadakan khusus untuk anak-anak yang

berusia tiga, lima dan tujuh tahun yang dilakukan 15 November setiap tahunnya. Shici Go San Matsuri juga dapat dikatakan sebagai upacara perayaan pertumbuhan anak-anak berusia tiga, lima, dan tujuh tahun. Perayaan Shici Go San yang dilakukan

(4)

setiap tahun sekitar 15 November ini awalnya bukan merupakan hari libur, namun pada zaman sekarang, waktu untuk membawa anak ke kuil sebagai Shichi Go San sudah disesuaikan dengan waktu libur orang tua. Anak boleh dibawa kapan saja ke kuil disepanjang bulan November pada akhir pekan, dan tidak harus persis pada 15 November. Di Hokkaido dan daerah-daerah dengan musim dingin yang sangat dingin, udara sudah dingin di sekitar 15 November sehingga perayaan sering dilakukan sebulan lebih awal pada 15 Oktober (https://id.wikipedia.org/wiki/Shichi- Go-San).

Awal adanya Shichi Go San Matsuri dipercaya sejak zaman Heian. Matsuri ini terus berkembang hingga sekarang, namun seiring dengan perkembangan zaman, perayaan Shichi Go San terjadi perubahan dalam pelaksanaannya, di mana awalnya

Shichi Go San merupakan kegiatan sakral yang diselenggarakan di jinja dalam

suasana tenang dan khusyuk, menjadi penuh kemeriahan dan kemewahan (Tanaka Yoshio, 1988:15). Perubahan ini dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: munculnya penonton, munculnya selera akan keindahan yang meriah dan mewah, pembangunan desa menjadi kota, dan semakin pentingnya peranan kannushi dalam penyelenggaraan

matsuri (Kunio Yanagita, 1998: 543). Selanjutnya, hal ini dimanfaatkan oleh

sebagian orang untuk meraih keuntungan.

Para pencari keuntungan ini berusaha menjual berbagai macam barang dan jasa dalam menyemarakkan perayaan suatu matsuri. Praktek ini dilakukan mulai dari perayaan suatu matsuri sampai dengan berakhirnya hari pelaksanaan matsuri. Dengan demikian, sedikit demi sedikit mereka mulai meninggalkan komunikasi aktif dengan dewa atau kami dan lebih mementingkan mempersiapkan barang-barang untuk menyemarakkan matsuri. Gejala pemfokusan diri kepada persiapan aneka macam barang untuk menyambut suatu matsuri kemudian menimbulkan suatu bentuk komersialisasi (http://www.yoshinoantiques.com/matsuri.html).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang perubahaan perayaan Shici Go San matsuri yang awalnya suatu kegiatan sakral yang dilaksanakan di jinja, namun berubah menjadi penuh kemeriahan dan kemewahan

(5)

kemudian menjadi ajang mencari keberuntungan dalam komersialisasi dengan tema Perubahan Perayaan Shichi Go San sebagai Kegiatan Sakral Menjadi Kegiatan Komersil.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Di Jepang banyak diselenggarakan matsuri, salah satunya adalah Shichi Go San

2. Shici Go San Matsuri terus berkembang dari zaman Heian hingga sekarang

pada zaman Heisei.

3. Penyelenggaraan Shici Go San Matsuri awalnya merupakan suatu kegiatan sakral yang dilaksanakan di jinja dalam suasana yang tenang dan khusyuk kemudian berubah menjadi penuh kemeriahan dan kemewahan dan dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk meraih keuntungan atau komersil.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah perubahaan perayaan Shici Go San matsuri dari perayaan yang sakral menjadi kegiatan komersil.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, perumusan maslah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana awal penyelenggaraan Shichi Go San Matsuri di Jepang?

2. Mengapa perayaan Shichi Go San Matsuri berubah menjadi kegiatan komersil? 3. Bagaimana bentuk komersialisasi perayaan Shici Go San Matsuri?

(6)

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Awal penyelenggaraan Shichi Go San Matsuri di Jepang.

2. Penyebab perayaan Shichi Go San Matsuri berubah menjadi kegiatan komersil 3. Bentuk komersialisasi perayaan Shichi Go San Matsuri

F. Landasan Teori 1. Matsuri

Istilah matsuri dalam bahasa Inggris dapat diartikan dengan festival. Namun, matsuri bukanlah festival biasa, dalam matsuri terdapat berbagai bentuk ritual untuk ucapan terima kasih penyembahan kepada dewa atau kami (Masyrakat Jepang Memaknai Matsuri dalam Kehidupannya, 2011:3).

Menurut Miyake Hitoshi matsuri merupakan yang menunjukan hal-hal antara lain, menunggu kedatangan kami, menyuguhkan sesajen, memanggil kami serta memperoleh kekuataan kami (Miyake Hitoshi, 1994:50).

Lalu Kunio Yanagita menjelaskan pengertian matsuri dalam bukunya Nihon no Matsuri, yaitu matsuri merupakan suatu sikap menyambut kami dengan menyajikan segala sajian yang ada dan menunjukan sikap mengabdikan diri kepada kami (Kunio Yanagita, 1980:43).

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud matsuri adalah suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat Jepang untuk menyembah dewa atau kami dengan menyediakan sesajen dan menyambut kehadiran kami.

(7)

2. Shichi Go San

Shichi Go San secara harafiah dalam bahasa Jepang dapat diartikan tujuh, lima dan tiga, yaitu mengacu kepada usia anak-anak yang tiga tahun, lima tahun dan tujuh tahun. Namun demikian, Shici Go San juga mengacu pada sebuah matsuri

yang ada dalam lingkaran hidup anak orang Jepang, di mana pada saat anak-anak memasuki usia tersebut akan dirayakan dan perayaan atau upacara itulah yang disebut Shici Go San. Shici Go San merupakan matsuri yang diadakan khusus bagi anak-anak yang berusia tiga, lima dan tujuh tahun. Terutama untuk anak-anak perempuan tiga dan tujuh tahun dan juga untuk laki-laki yang berusia tiga dan lima tahun (http://zoomingjapan.com/culture/shichi-go-san/)

Shichi Go San matsuri yang diadakan setiap tanggal 15 November ini dikenal juga sebagai hari anak-anak. Angka tiga, lima, dan tujuh tahun merupakan tahun angka ganjil. Angka ganjil bagi orang Jepang merupakan angka keberuntungan. Pandangan seperti ini bersumber dari pemikiran yin dan yan dalam kebudayaan China atau in dan yo dalam tradisi Jepang (Kato Shuichi, 1981: 8).

Tanggal 15 November dipilih untuk dijadikan Shici Go San karena tanggal tersebut dianggap sebagai tanggal keberuntungan menurut kalander Jepang. Angka lima belas merupakan penjumlahan dari angka tujuh, lima dan tiga. Oleh karena itu, angka lima belas juga merupakan keberuntungan dan ditetapkan

sebagai hari keberuntungan

(http://yunipananda.blogspot.co.id/2011/10/festival-festival-menarik-di- jepang.html).

Walaupun Shici Go San Matsuri merupakan salah satu matsuri yang penting bagi anak-anak, tetapi tanggal 15 November tidak dijadikan sebagai hari libur nasional. Biasanya orang tua yang mempunyai anak-anak berusia tiga, lima dan tujuh tahun akan menggantinya dengan hari di akhir pekan sebelum atau sesudah tanggal 15 November (https://id.wikipedia.org/wiki/Shichi-Go-San).

(8)

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud Shici Go San adalah perayaan untuk anak yang berumur tiga, lima dan tujuh tahun yang diselenggarakan pada tangal 15 November.

3. Komersialisasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Komersialisasi diartikan perbuatan yang menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan atau menggunakan sesuatu untuk berdagang dalam mencari keuntungan. Sementara itu menurut Sokyo Ono dan William P. Woodard mengemukakan :

“commercial activities which are closely connected with the kami are good. Those that promote one’s own happiness, should also promote the happiness of society. But this is not enough. We are happiest when we make others happy” (Shinto: The Kami Way, 1962: 51)

Jadi dalam prespektif agama Shinto dibenarkan mencari keuntungan asalkan demi kebahagian ataupun kesejahteraan masyarakat. sedangkan Freddy Yuliharto mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Gejolak Kapitalisme, yaitu komersialisasi digunakan suatu istilah kritis yang mengacu kepada kecenderungan di dalam kapitalisme. Kecenderungan di dalam kapitalisme yaitu mengubah segala sesuatu yang ada di dalam kehidupan menjadi barang dan jasa yang dijual untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (Freddy Yuliharto, 1993:26).

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud komersialisasi adalah suatu perbuatan menjadikan barang dan jasa sebagai berdagang untuk memperoleh keuntungan.

4. Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang yang dimiliki bersama oleh sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya

(9)

terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, pakaian, bangunan, dan karya seni. Sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Jadi budaya dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan cara hidup yang selalu berubah dan

berkembang dari waktu ke waktu

(http://historikultur.blogspot.co.id/2015/02/pengertian-budaya-dan- kebudayaan.html).

Menurut Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, 1993: 9) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.

Menurut Budi Saranto kebudayaan adalah upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan sebagai manusia. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut perlu diciptakan sistem aturan maupun sistem nilai. Oleh karena itu, kebudayaan dapat pula sebagai acuan pedoman menyeluruh bagi manusia (Saranto Budi, 2005:53).

Berdasarkan uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya adalah cara hidup yang berkembang yang dimiliki oleh sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi dan dapat juga dijadikan sebagai acuan pedoman bagi manusia.

5. Perubahan

Perubahan, dalam Kamus Bahasa Indonesia perubahan dapat di artikan sebagai keadaan yang berubah. Jadi bisa kita definisi kan bahwa perubahan adalah peralihan keadaan yang sebelumnya, perubahan tersebut tidak hanya berupa keadaan saja melainkan bisa berupa perubahan pola pikir, dan perilaku suatu masyarakat.

(10)

Lalu menurut Abdulsyani, yaitu perubahan dalam kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tak terbatas. Perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan sosial dan kehidupan masyarakat yang lama dapat dibandingkan dengan tatanan dan kehidupan masyarakat yang baru (Abdulsyani, 2007:12).

Nanang Martono menyebutkan bahwa perubahan dapat mencakup aspek yang sempit maupun yang luas. Aspek yang sempit dapat meliputi aspek perilaku dan pola pikir individu. Aspek yang luas dapat berupa perubahan dalam tingkat struktur masyarakat yang nantinya dapat memengaruhi perkembangan masyarakat dimasa yang akan datang (Nanang Martono, 2012).

Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud perubahan adalah merupakan satu wujud nyata dari kehidupan yang mampu mendorong atau memotivasi sesorang untuk mengubah. Sesuatu menjadi bebeda dari sebelumnya melalui sebuah proses yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja. Perubahan dapat membuat sesorang mampu menciptakan atau merubah sesuatu sesuai dengan tuntutan situasi, lingkungan dan masyarakat setempat.

G. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini bagi penulis dapat menambah pengetahuan dan wawasan budaya Jepang tentang Shici Go San Matsuri, khususnya tentang perubahan matsuri yang awalnya bersifat sakral berubah menjadi ajang komerisialisasi. Bagi pembaca penelitian ini akan bermanfaat sebagai refrensi khususnya mahasiswa yang membuat penelitian tentang Shici Go San Matsuri.

H. Metode Penlitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan teknik pengambilan data menggunakan metode kepustakaan (library research). Data yang digunakan berupa buku, hasil penelitian (skripsi), website dan jurnal yang berasal dari situs resmi.

(11)

I. Sistematika Penulisan

Bab I, bab ini merupakan pendahuluan yang berisi, latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II, bab ini merupakan pengertian dan pemaparan sejarah awal Shichi Go San. Bab III, bab ini merupakan pembahasan tentang perubahaan perayaan Shichi Go San

matsuri dari perayaan yang sakral menjadi ajang mencari keberuntungan dengan

komersialisasi.

Referensi

Dokumen terkait

Model pembelajaran Student Facilitator and Explaining merupakan salah satu model pembelajaran dari pembelajaran siswa secara berkelompok yang dapat menciptakan suasana

Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

diantaranya,sebagai berikut: 1) enthusiastic atau antusiasme; 2) warm accepting atau tercipta suasana belajar yang hangat dan demokratis; 3) humorous ; 4)

Pembelajaran berbasis nilai-nilai karakter dengan memanfaatkan budaya akan membuat lingkungan belajar berubah menjadi lingkungan yang menyenangkan bagi guru dan siswa

Sehingga suasana dalam pembelajaran terlihat kurang aktif dan tidak menyenangkan bagi peserta didik, sedangkan dalam pembelajaran kimia terutama pada materi tatanama

dalam wikipedia.org wallpaper ini mengandung arti kertas dinding, karena awalnya adalah material yang digunakan untuk menutupi dan menghiasi dinding interior sebuah

Pada awalnya merupakan transaksi yang dilarang oleh Islam karena tidak sesuai dengan syara’ yakni pertukaran barang sejenis berupa uang rupiah dengan uang rupiah dengan

Higiene dan sanitasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Higiene lebih mengarah pada aktivitas manusia,