• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI) DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH MAUREN WIRA NUGRAHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI) DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH MAUREN WIRA NUGRAHA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH EFISIENSI REPRODUKSI PADA TERNAK BETINA (SAPI)

DISUSUN OLEH DILLA YUSPITA LAODE KIKI MURDIASYAH

MAUREN WIRA NUGRAHA

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PAKUAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan reproduksi merupakan cermin keberhasilan suatu usaha peternakan. Berkembangnya populasi sangat tergantung pada induk dan bibit yang berkualitas serta jumlah kelahiran sapi yang banyak. Hal ini tentu sangat ditunjang oleh manajemen reproduksi yang optimal. Produksi dan reproduksi sangat berkaitan erat bagi berkembang dan tersedianya ternak sapi. Kegagalan seekor ternak untuk menjadi bunting pada satu atau lebih perkawinan akan menghilangkan produk konsepsi pada satu atau lebih periode kebuntingan (Salibury dan Vandermark, 1985).

Permasalahan yang dihadapi dunia peternakan Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah, pemeliharaan ternak dilakukan secara sambilan (bukan menjadi sumber ekonomi utama) dengan kepemilikan ternak 1-3 ekor. Rendahnya produktifitas ternak sapi ditandai dengan rendahnya pertambahan bobot badan harian yang rata-rata masih dibawah 0,4 kg/hari. Dari aspek reproduksi antara lain, panjangnya jarak beranak (calving interval) sapi betina produktif yang rata-rata diatas 18 bulan serta angka kelahiran (calving rate) yang masih dibawah 60 % dari sapi betina produktif yang akan berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi per tahun dan rendahnya pendapatan petani dari usaha ternak sapi.

Pengetahuan tentang reproduksi ternak sangat penting diketahui oleh seorang peternak. Dengan manajemen reproduksi yang baik peternak dapat meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunannya. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi praktis dan praktek-praktek manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. (Basyir, 2009). Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB) yang kini efisiensinya sudah puluhan tahun dinikmati. Dengan teknik IB dapat ditingkatkan perbaikan mutu genetik secara cepat, untuk pencegahan kemajiran ternak, pencegahan penyebaran penyakit. Teknik lainnya untuk meningkatkan efisiensi reproduksi adalah dengan embrio transfer (TE). Teknik ini dilakukan secara bersamaan dengan

superovulasi. Dengan teknik superovulasi, betina yang berkualitas baik yang dipakai sebagai donor embrio dipacu agar dapat mengovulasikan banyak sel telur, setelah sel-sel telur itu dibuahi dan berkembang menjadi zigot-zigot. Zigot-zigot tersebut

kemudian ditransfer pada beberapa resipien. Dengan cara ini berarti meningkatkan efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut.

Tujuan

1. meningkatkan produktifitas reproduksi pada ternak khususnya sapi 2. mendapatkan sapi jenis baru yang memiliki sifat unggul

(3)

BAB II ISI

A. Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Reproduksi 1. Bangsa

Setiap bangsa sapi membutuhkan jumlah perkawinan yang berbeda untuk

mendapatkan satu kebuntingan. Banyaknya kawin untuk setiap kebuntingan pada sapi potong sangat bervariasi dan berkisar antara 1,3–1,6 kali pada ternak betina yang dikelola dengan baik (Gurnadi, 1988). Pane (1993) menyatakan bahwa sapi Bali merupakan ternak yang sangat subur. Sapi Bali hanya membutuhkan 1,2 kali pelayanan untuk menghasilkan satu kebuntingan

2. Umur

Pada induk yang sudah tua, kondisi alat reproduksinya sudah menurun

diakibatkan kelenjar hipofisa anterior yang bertanggung jawab terhadap fungsi alat kelamin sudah menurun. Sebaliknya alat kelamin hewan yang masih muda, belum mampu sepenuhnya untuk menerima embrio sehingga proses implantasi juga terganggu, sehingga dapat diikuti kematian embrio dan terjadi kawin berulang(Hardjopranjoto,1995).

3. Musim

Musim dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung

terhadap siklus estrus. Pada musim panas di daerah tropis seperti Indonesia yang curah hujannya rendah, menyebabkan kualitas hiijauan pakan menjadi sangat rendah. Pemberian pakan dengan kualitas rendah maka proses reproduksi dari ternak akan terganggu. Hal ini disebabkan terjadi ketidakseimbangan atau ketidaklancaran produksi dan pelepasan hormon (Lindsay, Entswistle and Winantea, 1982).

4. Perkandangan

Kandang yang sempit akan menyebabkan induk ternak berdesak-desakan,

ventilasi kurang akan menyebabkan pergerakan udara tidak lancar sehingga udara di dalam kandang menjadi panas apalagi disertai sanitasi yang kurang baik dapat menyebabkan timbulnya kasus anestrus (Hardjopranjoto, 1995).

5. Pakan

Pakan merupakan faktor yang penting, tanpa pakan yang baik dengan

jumlah yang memadai, maka meskipun bibit ternak unggul akan kurang dapat memperlihatkan keunggulannya. Agar proses reproduksi berjalan dengan normal, diperlukan ransum pakan yang memenuhi kebutuhan baik untuk pertumbuhan maupun untuk reproduksi. Ransum pakan disebut berkualitas baik dan lengkap bila didalamnya mengandung karbohidrat dan lemak sebagai sumber energi, protein sebagai zat pembangun tubuh, mineral dan vitamin sebagai zat pelengkap untuk pertumbuhan badan. Kekurangan salah satu zat makanan diatas dapat mendorong terjadinya gangguan reproduksi (Hardjopranjoto, 1995).

(4)

6. Ketrampilan Pengelola

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi fertilitas dan produktivitas ternak adalah peternak sebagai pengelola dan inseminator sebagai petugas kesehatan. Peternak sebagai pengelola harus menghindari kesalahan-kesalahan tatalaksana yang dapat menimbulkan kegagalan reproduksi antara lain :

a. Kegagalan mendeteksi estrus serta kegagalan melaporkan dan mengawinkan sapi betina pada saat yang tepat.

b. Terlalu cepat mengawinkan kembali setelah pertus 34

c. Kegagalan memeriksa kebuntingan sebelum sapi disingkirkan karena alasan majir

d. Kealpaan melaporkan kepada dokter hewan apabila ada tanda-tanda ketidakberesan reproduksi

e. Sering mengganti pejantan jka seekor betina tidak langsung menjadi bunting pada perkawinan pertama atau kedua (Toeliehere, 1981).

Ketrampilan inseminator sangat dituntut demi suksesnya suatu perkawinan atau IB. Umumnya, inseminator yang terampil akan menghasilkan kebuntingan yang lebih banyak dibandingkan inseminator yang kurang terampil (Ihsan, 1992).

7. Pengendalian Penyakit

Pengendalian penyakit sangat diperlukan, karena akan menurunkan

produktivitas ternak, terutama penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi. Penyakit yang dapat menimbulkan gangguan reproduksi dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, antara lain bakteri (Brucellosis, Vibriosis, Leptospirosis), virus (Bovine Viral Diarrhea atau BVD), infeksi Protozoa (Trichomoniasis) dan infeksi Jamur (Aspergillosis) (Pane, 1993 dan Hardjopranjoto, 1995).

Kesalahan-kesalahan pada pemeliharaan dapat menyebabkan infertilitas sehingga merugikan usaha peternakan. Kesalahan tersebut antara lain :

a. Kegagalan mengenali tanda-tanda estrus, sehingga perkawinan dilakukan saat yang tidak tepat

b. Terlalu cepat mengawinkan pasca beranak c. Kegagalan mengenali pejantan yang mandul 35

d. Perkawinan berulang dengan ganti-ganti pejantan berpeluang besar timbulnya penyakit veneris

e. Tidak dilakukan pemeriksaan kebuntingan secara teratur

f. Kurang cepat memberitahukan ke petugas kesehatan jika terjadi kelainan reproduksi, sehingga pertolongan biasanya sering terlambat dan tidak dapat ditolong lagi

g. Tidak adanya pencatatan yang teratur baik pencatatan estrus, perkawinan maupun partus (Ihsan, 1997).

B. Teknologi reproduksi

1. Inseminasi Buatan (Ib)

Inseminasi Buatan (IB) adalah proses pemasukan semen (mani) ke dalam saluran reproduksi (kelamin) betina dengan menggunakan alat buatan manusia. Tujuan

(5)

penerapan teknologi IB adalah untuk introduksi/ penyebaran pejantan unggul di suatu daerah yang tidak memungkinkan untuk kawin alam serta pelestarian plasma nutfah ternak jantan yang diinginkan.

2. Teknologi Transfer Embrio (Te)

Transfer Embrio (TE) merupakan generasi kedua teknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB). Teknologi IB hanya dapat menyebarkan bibit unggul ternak jantan, sedang pada teknologi TE dapat menyebarkan bibit unggul ternak jantan dan betina. Walaupun demikian, keuntungan utama yang dapat diperoleh adalah

meningkatkan kemampuan reproduksi ternak betina unggul. Aplikasi TE memerlukan waktu dan biaya yang relatif lebih singkat dan murah dalam pembentukan mutu genetika yang dikehendaki, sehingga teknologi ini dapat mempercepat perbaikan mutu ternak dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Kemajuan teknologi dibidang TE menyebabkan terjadinya perubahan perdagangan ternak dari ternak hidup menjadi embrio beku. Teknologi ini juga telah memungkinkan dihasilkannya anak kembar identik atau lahirnya anak kembar dari bangsa yang berbeda dan tipe yang berbeda, menghasilkan anak yang diketahui jenis kelaminnya, menghasilkan anak dari hasil pembuahan dalam tabung (in vitro fertilization), menghasilkan hewan chimera, kebuntingan interspesies, dihasilkannya ternak transgenik, pengobatan infertilitas dan pengendalian penyakit.

3. Pembentukan Ternak Transgenik

Transfer materi genetik dengan teknologi rekombinan DNA merupakan suatu metode penemuan baru untuk menghasilkan ternak transgenik. Ternak transgenik

memperlihatkan bermacam-macam fenotipe baru melalui ekspresi molekul DNA eksogen. Ternak transgenik dihasilkan dengan injeksimikro gen ke dalam pronukleus sesaat setelah fertilisasi dan sebelum terjadi pembelahan pertama zigot, selanjutnya ditanam di dalam rahim induk pengganti.

Para ilmuwan telah menggunakan teknologi tersebut mengembangkan ternak transgenik misalnya babi transgenik yang mempunyai laju pertumbuhan yang tinggi dan kualitas daging yang baik dan juga telah menghasilkan domba transgenik yang mempunyai bulu yang tebal. Di Inggris telah dihasilkan babi transgenik yang

genetiknya telah diubah sehingga mempunyai bahan-bahan genetik manusia. Embrio babi tersebut telah disuntik bahan genetik manusia, sehingga dapat menghasilkan protein manusia. Hal ini berarti bahwa suatu saat, organ babi dewasa dapat

ditransplantasikan ke manusia. Biasanya tubuh manusia akan menolak dengan cepat organ-organ yang bukan berasal dari tubuh manusia, tetapi dengan terdapatnya protein manusia akan memperkecil kemungkinan penolakan terhadap organ yang ditransplantasikan. Pada hewan menyusui, kelenjar mammae adalah target utama untuk teknologi transgenik ini. Laktoferin merupakan protein yang terdapat dalam air susu ibu merupakan bahan makanan bernutrisi bagi bayi. Laktoferin merupakan sumber zat besi dan protein terbaik dan juga mengakibatkan kekebalan alami terhadap penyakit. Air susu ibu tidak selalu tersedia bagi bayi, sehingga para peneliti

merancang untuk mengembangkan sapi perah jantan transgenik yang membawa gen laktoferin. Para peneliti tersebut berhasil menyisipkan gen laktoferin manusia ke dalam embrio sapi. Embrio tersebut berkembang menjadi “HERMAN “ sapi jantan transgenik dan telah menjadi bapak dari 8 ekor anak sapi betina transgenik yang dapat menghasilkan produksi air susu mirip dengan air susu ibu.

(6)

4. Kloning

Cloning sebelumnya dihasilkan dari sel-sel yang diambil dari jaringan embrio dan janin. Pada Februari tahun 1997 telah lahir domba hasil cloning yang dilakukan oleh tim ilmuwan Roslin Institute di Scotlandia, domba ini diberi nama Dolly. Dolly tidak diproduksi secara normal (perkawinan antara domba betina dan domba jantan). Dolly dicloning dari satu sel yang berasal dari bukan organ reproduksi, akan tetapi berasal dari jaringan ambing (kelenjar mammae) domba betina yang berumur enam tahun. Teknologi ini menunjukkan bahwa sel dewasa yang telah berkembang menjadi sel yang telah mempunyai fungsi khusus seperti sel jaringan ambing (mammae) dapat dikembalikan ke bentuk semula dan sel tersebut tumbuh menjadi organisme. Dolly dihasilkan dari sel yang diambil dari ambing domba betina Finn Dorset,yang

kemudian dibiarkan tumbuh dan menggandakan diri di laboratorium. Sejumlah kecil dari sel itu digabungkan dengan telur yang telah dibuahi yang inti selnya telah

diambil. Sel telur yang telah direkonstruksi ini masing-masing dengan inti dari domba betina asal (Finn Dorset), lalu ditanamkan ke dalam induk titipan domba betina Scotish Blackface. Salah satunya melahirkan seekor domba hidup yang kemudian diberi nama Dolly, sekitar 148 hari kemudian. Domba Dolly yang lahir ini mirip/ identik dengan induknya Finn Dorset.

Teknologi cloning ini masih jauh dari sempurna. Dolly adalah anak domba yang satu-satunya lahir dari 227 oosit yang digabung dengan sel ambing. Untuk tujuan tertentu, kloning harus dapat diulang-ulang agar lebih ekonomis. Bila cloning ini dapat

diulang-ulang, dua kesempatan baru yang benar-benar tersedia. Pertama, dengan cloning dapat diperoleh sejumlah besar keturunan yang secara genetik sama yang diperoleh dari sel-sel hewan dewasa yang mempunyai sifat unggul. Hal ini

memungkinkan memproduksi sekelompok ternak dengan penampilan sama. Cloning ternak sangat berguna dalam penelitian terutama untuk mengeliminir variasi faktor genetik. Kedua, dengan cloning sementara sel masih dikultur, sangat

memungkinkanuntuk merubah/ menambah genetik yang dikehendaki (mis, tahan terhadap penyakit) sebelum sel digunakan untuk produksi clon. Dengan teknologi cloning, bila clon itu sempurna, ia kemudian akan bereproduksi dalam jumlah besar secara cepat dan murah dengan jaminan kualitas yang tidak berubah (Tappa, 1998b). Satu hal yang berbahaya yang dapat t bila teknologi cloning berkembang dan diadopsi pada skala besar, yaitu resiko bila sekelompok cloning tersebut mudah terkena infeksi oleh penyakit yang sama atau masalah yang lain.Keragaman merupakan suatu elemen yang diperlukan oleh alam, oleh sebab itu cloning tampaknya hanya akan digunakan untuk tujuan terbatas dalam hal pemuliaan untuk meningkatkan mutu genetik ternak.

5. Pembentukan Ternak Chimera

Ternak chimera dibentuk dengan cara meramu blastomer berbagai jenis ternak. Sel-sel dari beberapa embrio dapat digabungkan dalam suatu zona pelucida untuk menghasilkan seekor hewan yang merupakan kombinasi dari beberapa hewan yang telah digabung. Misalnya anak sapi chimera dihasilkan dengan menggabungkan blastomer dari Bos taurus (sapi Eropah) dan Bos indicus (sapi India), kemudian dialihkan ke resipien untuk dikandung sampai lahir. Demikian pula antara domba dan kambing, dengan prosedur yang sama telah dilahirkan turunan berbadan domba berwajah kambing. Komposisi tubuh maupun fenotipe ternak chimera ditentukan oleh jumlah blastomer dari masing-masing jenis yang telah diramu. Proses ini masih terus dalam proses penelitian, memerlukan biaya yang mahal, dan memakan waktu yang

(7)

panjang. Prosedurnya juga jauh lebih sulit dari pembelahan embrio, karena pada dasarnya melibatkan teknik bedah mikroskopis.

6. Teknologi Criopreservasi Gamet (Spermatozoa Dan Ova)

Criopreservasi adalah suatu penyimpanan gamet dalam waktu lama yang dilakukan dalam bentuk beku pada suhu -196oC (dalam nitrogen cair) dalam media dengan penambahan crioprotectan. Pada saat tersebut sel dalam keadaan “ditidurkan”,

sehingga metabolisme sel terhenti, tetapi masih mempunyai kemampuan hidup setelah sel tersebut “dibangunkan” kembali dengan mencairkan dan mengkultur pada kondisi tertentu secara optimum.

7. Teknologi Prosessing Semen (Pemisahan Spermatozoa X Dan Y)

Pemanfaatan teknologi sexing spermatozoa merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak yang mampu meningkatkan efisiensi usaha peternakan baik dalam skala peternakan rakyat maupun dalam skala peternakan komersial. Salah satu sasaran dalam bidang reproduksi ternak adalah memproduksi anak yang mempunyai jenis kelamin sesuai dengan keinginan peternak. Sebagai contoh, peternak sapi perah lebih mengharapkan sapi betina dari suatu

kelahiran daripada sapi jantan, sebaliknya peternak sapi potong lebih mengharapkan kelahiran sapi jantan dari pada sapi betina. Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mengontrol jenis kelamin anak ternak dari suatu kelahiran agar sesuai dengan keinginan peternak. Penelitian dimulai dengan pengkondisian saluran reproduksi ternak betina agar lingkungan itu menjadi lebih baik bagi spermatozoa X daripada spermatozoa Y atau sebaliknya. Selanjutnya pemisahan spermatozoa X dan spermatozoa Y sebelum dilakukan IB atau IVF (In Vitro Fertilization).

C. Penyakit reproduksi

Beberapa penyakit reproduksi yang sering ditemui di lapangan adalah: 1. Brucellosis

Disebabkan oleh bakteri brucella abortus, bersifat zoonosis (dapat menular pada manusia) melalui lendir alat kelamin, lendir mata, makanan dan air yang tercemar, dan IB. gejala yang tampak adalah kematian janin pada 6-9 bulan kebuntingan. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan kandang, vaksinasi, pemberian antiseptic dan antibiotika pada ternak yang sakit, pengasingan ternak yang terinfeksi, fetus dan plasenta yang digugurkan dibakar dan dikubur.

2. Distokia (kesulitan melahirkan)

Merupakan suatu kondisi stadium pertama kelahiran (dilatasi cervik) dan kedua (pengeluaran fetus) lebih lama dan menjadi sulit dan tidak mungkin lagi bagi induk untuk mengeluarkan fetus. Penanganan dapat dilakukan dengan cara: 1) Mutasi, mengembalikan posisi fetus, memutar, dan menarik, 2) penarikan paksa, 3) operasi cecar.

3. Leptospirosis

Penyebabnya yaitu Leptospira pomona, Leptospira gripothyposa, Leptospira conicola, Leptospira hardjo. Cara penularannya melalui kulit terbuka/ selaput lendir (mulut,

(8)

pharynx, hidung, mata) karena kontak dengan makanan dan minuman yang tercemar. Gejala yang nampak diantaranya : anoreksia (tidak mau makan), produksi susu turun, abortus pada pertengahan kebuntingan.

4. Endometritis (radang uterus)

Merupakan peradangan pada endometrium (dinding rahim). Uterus (rahim) sapi biasanya terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme (bakteri) selama masa puerpurium (masa nifas). Gejalanya meliputi : leleran berwarna jernih keputihan sampai purulen (kekuningan) yang berlebihan, uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran). Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam uterusnya tertimbun cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilitas (pembuahan) adalah dalam jangka pendek, menurunkan kesuburan, Calving Interval dan S/C naik, sedangkan jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi perubahan saluran reproduksi. Faktor predisposisi (pendukung)

terjadinya endometritis adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar, infeksi bakteri serta penyakit metabolit. Penanganannya dengan injeksi antibiotik, hormon (PGF2α) dan irigasi/ pemasukan antiseptik intra uterina (Ratnawati et al, 2007).

(9)

BAB III PEMBAHASAN

Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dari tahun ke tahun bertambah maju dan berkembang sangat pesat yang ditandai dengan berbagai penemuan. Kemajuan IPTEK tersebut, juga berpengaruh terhadap kemajuan teknologi di subsektor peternakan. Perkembangan IPTEK di bidang reproduksi ternak misalnya telah memberikan dampak kemajuan di subsektor peternakan terutama dalam meningkatkan

produktivitas ternak. Perkembangkan teknologi di bidang reproduksi ternak diawali dengan pemanfaatan teknologi inseminasi buatan (IB), kemudian transfer embrio (TE), dan saat ini telah dikembangkan teknologi prosessing semen, fertilisasi in vitro, teknologi criopreservasi gamet, pembentukan ternak transgenik, cloning dan

pembentukan ternak chimera. Upaya pengembangan dan pemanfaatan teknologi reproduksi ternak tersebut perlu dukungan peralatan yang memadai dan dana yang cukup serta tenaga ahli yang terampil. Aplikasinya oleh petani peternak di Indonesia baru sampai pada tahap inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio (TE

Di negara maju telah lama di kembangkan teknologi reproduksi Inseminasi Buatan (AI, Artificial Insemination), Transfer Embrio (TE, Transfer Embryo), yang

kemudian terus berkembang ke teknologi prosessing semen (pemisahan spermatozoa X dan Y), Fertilisasi In Vitro (IVF, In Vitro Fertilization), teknologi Preservasi dan Criopreservasi gamet (spermatozoa dan ova) dan embrio. Saat ini sedang

dikembangkan teknologi rekayasa genetik untuk menghasilkan klon-klon ternak unggul yang meliputi transfer gen, pemetaan genetik, cloning, chimera, dll. Penemuan-penemuan teknologi di bidang reproduksi ternak tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi subsektor peternakan terutama dalam meningkatkan populasi, produksi dan

produktivitas ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang teknologi inseminsi buatan (IB), transfer embrio (TE), teknologi prosessing semen, fertilisasi in vitro, teknologi criopreservasi gamet, pembentukan ternak transgenik, cloning dan pembentukan ternak chimera.

(10)

BAB IV KESIMPULAN

1. Teknologi di indonesia mengenai efiensi reproduksi masih jauh tertinggal dengan negara maju lainnya

2. Pelatihan sangat di perlukan oleh para peternak untuk meningkatkan kemampuannya

3. Perlu dukungan dari berbagai sektor untuk kemajuan di bidang peternakan khususnya sapi

Referensi

Dokumen terkait

Mata kuliah ini memberikan bekal kepada kita untuk dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran anak didik kita, bahwa dunia yang luas ini perlu dipahami,

lewat Battle of Surabaya, rumah produksi yang bermarkas di Jogjakarta ini akan membuktikan bahwa film animasi anak bangsa tidak kalah jaudengan film animasi produksi

penyakit hernia berhadapan dengan pasien, dalam melakukan tugasnya dokter wajib untuk memenuhi standar dan kehormatan hak pasien, sebagaimana dijelaskan dalam

Berdasarkan hal- hal yang telah diuraikan di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai DNA barcoding tanaman daluga dari Kepulauan Sangihe berdasarkan urutan

Management System Berbasis Web danPembentukan Komunitas Praktisi Project Management ini bermaksud untuk memetakan dan mendokumentasikan serta sebagai sarana sharing

Baptisan juga tidak berfokus pada formalitas (“masuk Kristen”) atau pertobatan manusia (seperti ditekankan dalam baptisan dewasa), tetapi pada karya keselamatan Allah sendiri (yang

Seseorang yang melakukan tindak pidana bare boleh dihukum apabila sipelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat

Berdasarkan sumbernya • Modal sendiri yaitu Modal yang bersumber dari. perusahaan itu sendiri misalnya dari cadangan, laba dan