• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pengertian Dasar Pajak

Pengertian pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1 adalah : Kontribusi kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan defenisi tersebut, maka ada 4 unsur yang melekat pada pengertian perpajakan yaitu :

a) paja

k dipungut berdasarkan undang-undang yang sifatnya dapat dipaksakan

b) dala

m pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah

c) paja

(2)

d) paja k digunakan untuk pembiayaan pengeluaran negara bagi kemakmuran rakyat.

Mengingat pajak merupakan pungutan wajib oleh negara kepada warga negara dan orang asing, maka ketidak patuhan Wajib Pajak membawa konsekuensi dapat diambilnya tindak pemaksaan (enforcement) sesuai dengan ketentuan berlaku.

2.1.2 Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Dengan demikian maka pajak memiliki beberapa fungsi, menurut Waluyo ( 2005) yaitu:

1. Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dan pembiayaan pembangunan.

2. Fungsi mengatur (regulerend)

Pajak digunakan untuk mengatur pertumbuhan ekonomi dan mencapai tujuan-tujuan tertentu.

(3)

Pertimbangan yang dilakukan dalam pemungutan pajak pada prinsipnya harus memperhatikan keadilan dan keabsahan dalam pelaksanaannya. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan keabsahan tersebut perlu diperhatikan asas-asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Waluyo (2005) yaitu :

1) Asas Equality, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan terhadap semua subjek pajak harus sesuai dengan batas kemampuan masing- masing, sehingga dalam asas equality untuk setiap orang yang mempunyai kondisi yang sama harus dikenakan pajak yang sama pula (tidak ada diskriminasi).

2) Asas Certainty, yaitu menekankan pentingnya kepastian mengenai pemungutan pajak yaitu kepastian mengenai hukum yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek pajak dan kepastian mengenai tata cara pemungutannya.

3) Asas Convenience of Payment, yaitu menekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu pada saat Wajib Pajak menerima penghasilan yang sudah memenuhi syarat objektifnya.

4) Asas Economy, yaitu secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak..

(4)

Kesadaran adalah perilaku atau sikap terhadap suatu objek yang melibatkan anggapan dan perasaan serta kecenderungan untuk bertindak sesuai objek tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan perilaku Wajib Pajak berupa pandangan atau perasaan yang melibatkan pengetahuan, keyakinan dan penalaran disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai stimulus yang yang diberikan oleh sistem dan ketentuan pajak tersebut.

Dari beberapa literatur dan hasil penelitian didapatkan beberapa faktor internal yang dominan membentuk perilaku kesadaran Wajib Pajak untuk patuh yaitu :

1. Persepsi Wajib Pajak

Kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya akan semakin meningkat jika dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Torgler (2008) menyatakan bahwa kesadaran pembayar pajak untuk patuh membayar pajak terkait dengan persepsi yang meliputi paradigma akan fungsi pajak bagi pembiayaan pembangunan, kegunaan pajak dalam penyediaan barang publik, juga keadilan (fairness) dan kepastian hukum dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Ketersediaan barang publik adalah masalah kepercayaan Wajib Pajak pada pemanfaatan pajak yang dibayar. Apabila Wajib Pajak merasa bahwa pajak yang dibayar tidak dapat dikelola dengan baik oleh Pemerintah, sehingga Wajib Pajak merasa tidak memperoleh manfaat yang nyata dari pajak yang dibayarnya,

(5)

maka Wajib Pajak akan cenderung tidak patuh.

2. Tingkat pengetahuan terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku.

Tingkat pengetahuan dan pemahaman pembayar pajak terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku berpengaruh pada perilaku kesadaran pembayar pajak. Wajib Pajak yang tidak memahami peraturan perpajakan secara jelas cenderung akan menjadi Wajib Pajak yang tidak taat, dan sebaliknya semakin paham Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan, maka semakin paham pula Wajib Pajak terhadap sanksi yang akan diterima bila melalaikan kewajiban perpajakannya. Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2006) memberikan hasil bahwa pemahaman Wajib Pajak terhadap peraturan perpajakan berpengaruh signifikan terhadap kesadaran Wajib Pajak dalam melaporkan pajaknya.

3. Kondisi keuangan Wajib Pajak

Kondisi keuangan merupakan faktor ekonomi yang berpengaruh pada kepatuhan pajak. Kondisi keuangan adalah kemampuan keuangan perusahaan yang tercermin dari tingkat profitabilitas (profitability) dan arus kas (cash flow). Profitabilitas perusahaan (firm profitability) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesadaran untuk mematuhi peraturan perpajakan. Perusahaan yang mempunyai profitabilitas yang tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur dari pada perusahaan yang mempunyai profitabilitas rendah. Perusahaan dengan profitabilitas rendah pada

(6)

umumnya mengalami kesulitan keuangan (financial difficulty) dan cenderung melakukan ketidakpatuhan pajak. Demikian juga halnya dengan kondisi arus kas dengan likuiditasnya.

2.3 Pelayanan Wajib Pajak

Studi Singh (2005) juga menunjukkan bahwa semakin Wajib Pajak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, Wajib Pajak akan merasa berkewajiban untuk patuh terhadap hukum, termasuk hukum perpajakan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kepuasan terhadap pelayanan pajak dapat menentukan kadar kepatuhan Wajib Pajak.

Pelayanan memiliki karakteristik tertentu yang membedakan dengan produk barang. Zemke (dalam Collins and McLaughlinm 1996) mengidentifikasi beberapa karakteristik pelayanan sebagai berikut:

1. Konsumen memiliki kenangan. Pengalaman atau memori tersebut tidak bisa dijual atau diberikan kepada orang lain.

2. Tujuan penyelenggaraan pelayanan adalah keunikan. Setiap konsumen dan setiap kontak adalah spesial.

3. Suatu pelayanan terjadi saat tertentu, yang tidak dapat disimpan atau dikirimkan contohnya.

(7)

5. Konsumen melakukan kontrol kualitas dengan cara membandingkan harapannya dengan pengalamannya.

6. Jika terjadi kesalahan, satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk memperbaiki adalah dengan meminta maaf.

7. Moral karyawan berperan sangat menentukan.

Macaulay and Cook (1997) mengatakan bahwa pelayanan merupakan citra organisasi. Pelayanan yang memuaskan terdiri atas tiga komponen, dan semuanya mencerminkan citra organisasi. Adapun ketiga komponen itu adalah: (a) kualitas produk dan layanan yang dihasilkan, (b) cara karyawan memberikan layanan, dan (c) hubungan pribadi yang terbentuk melalui layanan tersebut.

Pelayanan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, yakni: layanan dengan lisan, layanan melalui tulisan, dan layanan dengan perbuatan (Moenir, 2000). Layanan dengan lisan dilakukan oleh petugas-petugas di bidang hubungan masyarakat (humas), bidang layanan informasi dan bidang-bidang lain yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan. Supaya layanan lisan berhasil sesuai dengan yang diharapkan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku layanan, yaitu:

1) Memahami benar masalah-masalah yang termasuk dalam bidang tugasnya;

(8)

tetapi cukup jelas sehingga memuaskan bagi mereka yang ingin memperoleh kejelasan mengenai sesuatu;

3) Bertingkah laku sopan dan ramah-tamah;

4) Meski dalam keadaan sepi tidak ngobrol dan bercanda dengan teman, karena menimbulkan kesan tidak disiplin dan melalaikan tugas;

5) Tidak melayani orang-orang yang ingin sekadar “ngobrol” dengan cara yang sopan.

Ada beberapa jenis pelayanan yang dewasa ini cukup populer, di antaranya adalah:

a. Pelayanan Sepenuh Hati

Pelayanan sepenuh hati adalah pelayanan yang berasal dari dalam sanubari, yakni tempat bersemayamnya emosi-emosi, watak, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, sudut pandang dan perasaan-perasaan (Patton, dalam Boediono, 1999). Pelayanan sepenuh hati dilakukan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan logis (pikiran) dan sentimentalitas (perasaan). Untuk itu, dalam pelayanan sepenuh hati, menurut (Patton dalam Boediono, 1999) diperlukan:

1. Memahami perasaan-perasaan diri sendiri tentang siapa sebenarnya ia dan apa yang kita sumbangkan pada kehidupan profesional dan

(9)

pribadi.

2. Memahami kekuatan batin kita, seperti: kepercayaan diri, harga diri, dan pematangan emosional.

3. Mempelajari selling-point emosional produksi kita untuk menambah kredibilitas dan daya tarik pada presentasi layanan.

4. Menitikberatkan pada kebutuhan pada konsumen dan perasaan mereka terhadap produk dan duta-duta perusahaan, serta membangun hubungan dan sikap saling menghargai dengan konsumen.

5. Menyesuaikan diri dengan produk, sehingga produksi itu tidak lain merupakan ungkapan diri kita sendiri, bukan sebaliknya

6. Menemukan kesenangan dan kegembiraan dalam peran kita sebagai duta-duta perusahaan, produksi atau pelayanan.

b. Pelayanan Publik

Pelayanan publik adalah pelayanan yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah atau lembaga lain yang tidak termasuk badan usaha swasta, yang tidak berorientasi pada laba (profit). Menurut Boediono (1999) pelayanan umum harus dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat: sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau. Salah satu bentuk pelayanan publik adalah pelayanan perpajakan terhadap Wajib Pajak. Menurut Zeithaml, Berry dan Parasuraman dalam Erief (2007)

(10)

mengemukakan hasil penelitian bahwa ada sepuluh kriteria atau dimensi (variable) yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pelayanan, yaitu Ten Dimensions of SERVQUAL,:

1. Fasilitas fisik (tangible) yang dirasakan yaitu bukti fisik dari jasa bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi fisik, meliputi:

a. kenyamanan ruangan ( udara sejuk, tempat duduk)

b. ketersediaan fasilitas penunjang (komputer , formulir dan lain-lain) c. ketersediaan tempat parkir

d. penampilan pegawai e. kebersihan toilet

2. Reliabilitas (reliability) keandalan mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti pemberian pelayanan secara tepat sejak awal dan sesuai jadwal yang disepakati, yang meliputi :

a. ketepatan dalam memenuhi janji yang diberikan b. keandalan proses pelayanan

3. Responsivitas (responsiveness) ketanggapan yaitu kemauan atau kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang

(11)

dibutuhkan pelanggan, meliputi hal-hal berikut : a. ketanggapan petugas dalam menangani masalah b. ketersediaan petugas menjawab pertanyaan konsumen

c. ketersediaan petugas keamanan (satpam) membantu konsumen

4. Kompetensi (competency) kemampuan artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu, meliputi hal-hal berikut :

a. pengetahuan pegawai tentang informasi b. keterampilan petugas dalm melayani c. kecepatan pelayanan

d. keakuratan data/informasi

3. Tata krama (courtesy) kesopanan meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian dan keramahan yang dimiliki para pegawai, yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. keramahan dan sopan santun pegawai dalam melayani konsumen. b. keramahan petugas keamanan

c. kesopanan penampilan pegawai dalam berpakaian

(12)

Kredibilitas mencakup nama instansi, reputasi, dan interaksi dengan pelanggan.

7. Keamanan (security) yaitu aman dari bahaya, resiko atau ketidak pastian 8. Akses (access), yaitu kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal

ini berarti lokasi mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, kemudahan untuk berkomunikasi dan kemudahan menemui pegawai.

9. Komunikasi (communication) memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat dimengerti, dan selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan, yang meliputi :

a. informasi yang cepat dan tepat b. adanya komunikasi dua arah

10. Perhatian pada pelanggan (understanding the customer), yaitu usaha untuk memahami kebutuhan yang meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. kemampuan pegawai dalam memberikan saran dan pendapat dengan kondisi pelanggan

b. pemahaman terhadap kebutuhan pelanggan c. perhatian terhadap pelanggan utama

(13)

Menurut Milgram ( dalam Nasucham 2004) kepatuhan terkait dengan ketaatan pada otoritas aturan-aturan. Dalam pengertian yang lebih rinci, Hasseldine ( dalam Nasucha, 2004) mengemukakan bahwa kepatuhan adalah melaporkan semua harta kekayaan Wajib Pajak yang tercatat pada waktu yang ditentukan dan pengembalian laporan pertenggungjawaban pajak yang akurat, sesuai dengan kode pemasukanm peraturan dan penerapan keputusan pengadilan pada waktu dilakukan pencatatan.

Menurut Safri Nurmantu (2003), kepatuhan perpajakan didefinisikan sebagai “ suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Terdapat dua macam kepatuhan menurut Safri Nurmantu, yakni: kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. Misalnya ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila Wajib Pajak telah melaporkan SPT PPh Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret maka Wajib Pajak telah memenuhi.

Dalam konteks Self Assessment System yang dianut Indonesia, kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan yang bersifat sukarela (voluntary compliance) dan bukan kepatuhan yang dipaksakan (compulsary compliance). Kepatuhan yang diminta oleh Pemerintah terhadap Wajib Pajak dalam sistem Self Assessment, tentu saja bukan kepatuhan yang tanpa pengawasan, sebab sangat riskan dan terjadi pada pengalaman di banyak Negara bahwa tidak semua Wajib

(14)

Pajak patuh, mereka dengan berbagai cara berusaha meminimalkan bahkan menghindarkan pajak, baik melalui tax avoidance, yaitu memanfaatkan celah-celah peraturan perpajakan karena tidak diatur atau memiliki banyak penafsiran yang berbeda, maupun melalui tindak pidana perpajakan yaitu penyelundupan pajak (tax evasion).

Dalam hal ini Brooks (1990) menyatakan terdapat tiga pendekatan yang lazim digunakan untuk menganalisis kepatuhan pajak yaitu:

1. Pendekatan Ekonomi.

Menurut pendekatan ekonomi kepatuhan perpajakan merupakan manifestasi perilaku manusia rasional yang membuat keputusan berdasarkan evaluasi antara manfaat dan biaya. Faktor-faktor yang menentukan kepatuhan dalam pendekatan ini adalah tingkat tarif, struktur sanksi, dan kemungkinan terdeteksi oleh hukum

2. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini menyatakan perilaku kepatuhan pajak dipengaruhi oleh faktor-faktor cara pandang seseorang mengenai moralitas penyeludupan pajak yang berkaitan dengan ide dan nilai-nilai yang dimilikinya, persepsi dan sikap terhadap probablitas kemungkinan terdeteksi, besarnya denda dan lain-lain, perubahan kebiasaan, kerangka subjektif atas keputusan pajak.

(15)

3. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan ini melihat sebab-sebab penyimpangan perilaku seseorang melalui kerangka sistem sosialnya. Menurut para ahli sosiologi, dorongan atau tekanan masyarakat akan membentuk perilaku yang sama efektifnya dengan sistem reward and punishment yang dibuat oleh Pemerintah. Oleh karena itu menurut pendekatan ini faktor-faktor yang mempengaruhi tax avoidance dan tax evasion adalah sikap terhadap pemerintah, pandangan mengenai penegakan hukum oleh pemerintah, pandangan mengenai keadilan dan sistem perpajakan, kontak dengan kantor pajak dan karakteristik demografi.

2.5 Pengertian Kinerja

Menurut Rivai dan Fawzi (2005) kinerja adalah merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Furtwengler (2000), mengatakan bahwa kinerja dapat diukur melalui empat aspek kinerja yaitu : aspek kecepatan, aspek kualitas, aspek layanan, dan aspek nilai. (Jewell & Marc : 1998) mengatakan bahwa penilaian kinerja adalah proses yang digunakan organisasi untuk menilai sejauh mana

(16)

anggotanya telah melakukan pekerjaannya dengan memuaskan. Penilaian kinerja dapat saja dilakukan terhadap kinerja perorangan dan sekelompok orang yang bekerja secara terorganisir.

Donnelly, Gibson and Ivancevich dalam Veithzal Rivai (2005) kinerja induvidu pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor : (a) harapan mengenai imbalan; (b) dorongan; (c) kemampuan; kebutuhan dan sifat; (d) persepsi terhadap tugas; (e) imbalan internal dan eksternal; (f) persepsi terhadap tingkat imbalan dan kepuasan kerja. Dengan demikian, kinerja pada dasarnya ditentukan oleh tiga hal, yaitu: (1) kemampuan, (2) keinginan dan (3) lingkungan. Oleh karena itu, agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus mempunyai kenginan yang tinggi untuk mengerjakan serta mengetahui pekerjaannya.

Menurut Ruky (2004), pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan menilai tingkat pencapaian target, inisiatif, loyalitas dan kerjasama dalam kelompok, disiplin dan kepatuhan, kesadaran atau pengembangan diri dan peningkatan pengetahuan. Kriteria umum yang digunakan untuk mengukur kinerja seseorang dapat dilihat dari segi : kualitas, kuantitas, waktu yang digunakan, jaminan, jabatan, absensi, dan keselamatan dalam menjalankan tugas (Rao dalam Muchsin, 2003). Kriteria-kriteria ini biasanya telah ditetapkan oleh perusahaan dan akan berkembang sesuai perkembangan kegiatan perusahaan.

(17)

Penelitian ini merupaka replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Suryadi ( 2006 ) kesadaran Wajib Pajak yang diukur dari persepsi Wajib Pajak, pengetahuan perpajakan, karakteristik Wajib Pajak dan penyuluhan perpajakan "tidak berpengaruh signifikan " terhadap kinerja penerimaan pajak. Pelayanan perpajakan yang diukur dari ketentuan perpajakan, kualitas SDM dan sistem informasi perpajakan "tidak berpengaruh signifikan " terhadap kinerja penerimaan pajak. Kepatuhan Wajib Pajak yang diukur dari pemeriksaan pajak, penegakan hukum dan kompensasi pajak "berpengaruh signifikan " terhadap kinerja penerimaan pajak.

(18)

Tabel 2.1

Review Peneliti Terdahulu

No Peneliti Nama Judul Peneliti Variabel Peneliti Hasil Penelitian 1 Suryadi

(2006)

Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Penerimaan Pajak Kasadaran, Pelayanan, kepathuan Wajib Pajak,

Hasil penelitian menunjukkan, kesadaran Wajib Pajak yang diukur dan persepsi Wajib Pajak, pengetahuan perpajakan, karakteristik Wajib Pajak dan penyuluhan perpajakan "tidak berpengaruh signifikan 2 Maria Karanta, (2000) et. al Mengkaji persepsi masyarakat terhadap kinerja Badan Perpajakan Nasional Swedia Persepsi

Masyarakat Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persepsi masyarakat yang

positif dapat mempengaruhi perilaku Wajib Pajak dalam membayar pajak sehingga secara siginifikan akan berpengaruh pada kinerja Badan Perpajakan Nasional Swedia.

3 Roades

(1979) aspek pentingnya kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan pendapatan bersih Kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak

Wajib Pajak seringkali tidak memberikan pelaporan

mengenai pendapatan bersihnya

Referensi

Dokumen terkait

// Den kadi duk jaman purwa / garwanta Sang Pandhusiwi / kang kocap layang wiwaha / lelima ayu linuwih / tiga putrining aji / kang kalih atmajeng wiku / pantes

Sesuai dengan definisi irigasinya, maka tujuan irigasi pada suatu daerah adalah upaya rekayasa teknis untuk penyediaaan dan pengaturan air dalam menunjang proses produksi

Keterampilan proses sains dapat meningkat melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan pembekalan pengetahuan awal karena model pembelajaran berbasis

Pada dasarnya Ls mengalami perasaan ketakutan yang sangat berlebihan terhadap laki-laki lain diakibatkan dirinya pernah melakukan hubungan badan dengan mantan calon

Dengan keadaan eksisting bahwa balok dan kolom berukuran besar sehingga penggunaan ruang gerak sedikit terbatas, diharapkan dari kelemahan struktur bangunan beton

a) Karya ilmiah yang diterbitkan dan ditulis memenuhi kaidah ilmiah dan etika akademik. c) Ditulis menggunakan Bahasa resmi PBB (Arab, Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol dan

Dalam proses akuntansi diidentifikasikan berbagai transaksi atau peristiwa yang merupakan kegiatan ekonomi perusahaan, yang dilakukan melalui pengukuran, pencatatan, penggolongan,

PSH adalah saluran pembelajaran sepanjang hidup yang utama bagi seseorang individu, oleh itu sistem pendidikan negara berjalan bermula daripada peringkat prasekolah, sekolah rendah,