• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Lingkungan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Suhu perairan Pulau Abang setiap waktu pengamatan berkisar antara 29.2 0C – 31.4 °C. Nilai suhu terendah dijumpai pada bulan Juli stasiun 7 sebesar 29.2 0C. Rendahnya nilai suhu pada stasiun 7 ini, diduga karena berada pada Bulan Juli serta letak daerah ini berada pada daerah berarus kuat. Massa air pada stasiun ini sering berganti sebagai akibat perpindahan massa air laut. Selain pengaruh perpindahan massa air dari laut tersebut, stasiun ini juga merupakan daerah celah karang/selat antara pulau Abang Besar dan pulau Abang Kecil. Menurut Effendi (2003) mengatakan suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Nilai suhu tertinggi terdapat pada stasiun 5 dan 6 dengan nilai 31,4 0C. Nilai temperatur yang tinggi tersebut karena berada pada bulan Mei yang bercurah hujan rendah serta diduga akibat pemanasan sinar matahari karena perairannya dangkal dan menjorok kedalam. Nilai suhu yang diperoleh ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang penelitian (CRITC- COREMAP, 2005) dimana suhu perairan Pulau Abang berkisar antara 29,64 0C – 30,20 0C. Suhu sangat menentukan laju reaksi kimia (metabolisme) pada semua kehidupan dan pada beberapa jenis ikan suhu sangat menentukan pola perkembangbiakkannya. Selain mempengaruhi kehidupan di laut, suhu juga menentukan parameter perairan lainnya seperti jumlah gas terlarut, viskositas air laut, dan densitas, yang juga menentukan distribusi kehidupan di laut (Widodo dan Suadi, 2006).

Dari hasil pengukuran suhu dan salinitas penelitian terlihat perbedaan nilai suhu dan salinitas dengan pengukuran yang dilakukan oleh beberapa orang peneliti pada penelitian larva dan juvenil ikan yang berbeda di tiap daerah di Indonesia. Berikut ini rangkuman data pengukuran suhu dan salinitas hasil penelitian larva dan juvenil ikan di Indonesia seperti pada Tabel 11 dibawah ini.

(2)

Tabel 11 Rangkuman kualitas air beberapa hasil penelitian Peneliti Suhu

(0C)

Salinitas (0/00)

Daerah Lokasi Tahun Asman 29 – 31 28 – 32. Pulau Abang L 2006 Gaspar 28 – 29 10 - 33 T. Likupang E, L 2005 Najamuddin 28 - 30 31 - 33 Tj. Mangkok P 2003 Nursid 28 - 33 00 - 33 Cilacap E 2002 Purwandayanti 26 - 29 33 - 34 Teluk Awur PL 2000 Sukiyati 24 - 29 31 -34 Teluk Awur PL 2000 Khoiriya 25 - 32 25 - 33 Tegal P, E, K 1999

Keterangan : L = Laut; P = Pantai; E = Estuaria; PL = Padang Lamun; K = Kanal

Nilai salinitas hampir relatif sama pada setiap bulannya dengan kisaran 28.7 ‰– 32.2 ‰. Nilai salinitas tertinggi pada bulan Mei ditemukan pada stasiun 5 dan 7 yaitu dengan nilai 32.2 ‰. Tingginya salinitas pada perairan ini diduga karena perairan ini merupakan perairan yang sering dilalui massa air laut terbuka. Sedangkan salinitas terendah ditemukan pada bulan Juli yaitu 28.7 ‰. Rendahnya salinitas pada bulan ini diduga pengaruh dari pola pergerakan arus, dimana pada bulan ini arus bergerak dari Timur menuju Barat. Nilai salinitas yang didapatkan masih dalam batas normal untuk kondisi perairan laut yang berkisar antara 30‰ – 40‰ (Effendi, 2003). Hasil penelitian (CRITC- COREMAP, 2005) salinitas perairan Pulau Abang berkisar 31,94 ‰– 32,65 ‰ dan kecepatan arus di perairan ini tertinggi mencapai 1.023 mm/detik pada kondisi surut dan 1.032 mm/detik pada kondisi menuju pasang.

pH merupakan parameter yang juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Konsentrasi pH yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,82 – 8,14. Nilai ini masih dalam kisaran normal untuk perairan laut dan sebagian besar biota akuatik di suatu perairan menyukai nilai pH dengan kisaran 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah (Effendi, 2003).

Kandungan oksigen terlarut (O2) dalam perairan turut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi dalam perairan. Sebagai contoh ikan yang hidup dalam

(3)

perairan yang kekurangan oksigen akan terganggu fungsi insangnya dan dapat menyebabkan insang itu berlendir (anoxia) dan mati. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai indikator senyawa-senyawa kimia di perairan. Sumbangan terbesar berasal dari adsorpsi udara bebas, sementara dari fitoplankton dan tumbuhan hijau lain yang berklorofil menyumbang oksigen sebagai produk fotosintesis (CRITC- COREMAP, 2005).

Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/liter. Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervarisi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan amosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Selain itu faktor kedalaman juga mempengaruhi kadar oksigen terlarut (Tijssen, 1990 dalam CRITC- COREMAP, 2005). Hasil pengukuran kadar oksigen di perairan Pulau Abang berkisar antara 3.18 mg/l – 5.95 mg/l. Kadar oksigen tertinggi ditemukan pada bulan Mei yang hampir mendominasi semua stasiunnya. Tingginya kadar oksigen diduga akibat faktor kedalaman perairan serta tingginya kecerahan yang berkisar antara 5 – 10 m. Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh (saturasi) sehingga perairan mengalami supersaturasi (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).

Padatan total (residu) adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan peneringan pada suhu tertentu (APHA, 1976 dalam Effendi, 2003). Residu dianggap sebagai kandungan total bahan terlarut dan tersuspensi dalam air. Selama penentuan residu ini, sebagian besar bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas lain yang menghilang pada saat pemanasan tidak tercakup dalam nilai padatan total (Boyd, 1988 dalam

(4)

Effendi, 2003). Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid atau TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1µm). TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kisaran tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Hasil pengukuran kadar TSS diperairan Pulau Abang berkisar antara 4 mg/l – 54 mg/ltr. Hasil ini menurut (Effendi 2003) sedikit berpengaruh terhadap kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan.

Dari hasil pengukuran beberapa parameter yang didapatkan pada setiap pengamatan (lampiran 6b, 6c, 6d) dapat menggambarkan keadaan parairan Pulau Abang yang masih cocok untuk kehidupan dan perkembangan larva, fitoplankton dan zooplankton.

5.2 Parameter Biologi

Kelimpahan jenis plankton di perairan Pulau Abang sangat bervariasi di setiap bulannya. Pada umumnya dapat diterangkan bahwa migrasi vertikal harian disebabkan oleh faktor internal misalnya dengan adanya jam biologis (biological clock) yang secara otomatis mengatur irama kegiatan harian tiap individu, dan faktor eksternal yang ditentukan oleh perubahan kondisi lingkungan perairan karena faktor cahaya, suhu, salinitas, kandungan oksigen, tekanan hidrostatik dan ketersediaan pakan (fitoplankton). Banyak yang menduga bahwa yang paling dominan berpengaruh adalah cahaya (Nontji, 2006). Migrasi vertikal harian merupakan fenomena universal yang dipicu oleh rangsangan cahaya dan suhu. Dengan mempertimbangkan kelompok taksonomi, ukuran atau kebiasaan makan, hanya sedikit generalisasi yang dapat dikemukakan untuk membandingkan zooplankton yang bermigrasi secara vertikal atau tidak (Nybakken, 1992). Selanjutnya Basmi (1999) dalam Krisnanti, A. A. I (2008) menyatakan bahwa distribusi horizontal fitoplankton tidak akan pernah mencapai hasil yang homogen. Hal ini dikarenakan kondisi perairan yang tidak homogen serta berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti aksi angin, perubahan kondisi parameter fisika-kimia perairan yang tidak sama antar lokasi, adanya arus dalam perairan, adanya pergantian musim sehingga muncul spesies baru, serta sifat zooplankton yang senang bergerombol.

Menurut Nontji (2006) ada hipotesis isolume (isolume hypothesis) yang menerangkan bahwa plankton bergerak mengikuti kedalaman yang mempunyai

(5)

intensitas cahaya yang paling cocok. Namun karena parameter-parameter fisik lautan tidak seragam dalam arah vertikal, diduga ada beberapa faktor yang dapat memodifikasi skema pengaturan cahaya misalnya suhu. Banyak migrasi dibatasi oleh perubahan suhu pada kedalaman yang akan dituju. Kedalaman maksimum dapat ditentukan oleh suhu yang dapat mengalahkan rangsangan cahaya (Nybakken, 1992).

Kelimpahan plankton setiap stasiun dalam setiap pengamatan sangat berbeda – beda. Perbedaan kelimpahan ini dapat disebabkan karena pengaruh faktor fisika dan kimia perairan seperti TSS, kecerahan, suhu, salinitas dan DO.

Dari hasil pengukuran beberapa parameter yang didapatkan pada setiap pengamatan (lampiran 6a, 6b, 6c) dapat menggambarkan keadaan parairan yang masih cocok untuk kehidupan dan perkembangan plankton. Menurut Riley dalam Junaedi (2002) suhu yang baik adalah 25 °C atau lebih, sedangkan salinitas yang cocok berkisar 30 – 40 ppt (Odum, 1993) karena umumnya organisme laut bersifat stenohaline. Nilai DO yang didapatkan dari hasil pengukuran sangatlah rendah, sedangkan plankton dapat hidup dan berkembang dengan baik pada kadar oksigen yang melebihi 5 ppm (Hutagalung dalam Zakiyah, 1996). Tetapi jika perairan tidak mengandung bahan beracun, maka kandungan oksigen terlarut minimal 2 mg/l cukup mendukung kehidupan komunitas akuatik secara normal di daerah tropis (Pescod dalam Junaedi, 2002).

Dari hasil penelitian diperoleh pada bulan Mei perbandingan antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang paling menonjol terdapat pada stasiun 4 dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 312.800 ind/m3 dan kelimpahan zooplankton sebesar 30.300 ind/m3 dan Stasiun 6 dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 18.550 ind/m3 dan kelimpahan zooplankton sebesar 26.100 ind/m3, dimana kelimpahan zooplankton lebih dominan dari fitoplankton. Pada bulan Juli kelimpahan fitoplankton cenderung melimpah dibandingkan dengan kelimpahan zooplankton. Nilai kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada stasiun 2 sebesar 1.044.800 ind/m3 dan kelimpahan zooplanktonnya sebesar 13.200 ind/m3 (Lampiran 6). Sedangkan kelimpahan zooplankton terkecil pada stasiun 8 sebesar 11.100 ind/m3 yang kelimpahan fitoplanktonnya sebesar 192.600 ind/m3. Sedangkan pada bulan Oktober perbandingan zooplankton dan fitoplankton yang

(6)

paling menonjol terdapat pada stasiun 7 dengan kelimpahan fitoplankton sebesar 46.250 ind/m3 sedangkan kelimpahan zooplankton 154.500 ind/m3, (Lampiran 6).

Perbedaan kelimpahan plankton dapat disebabkan kerena perbedaan faktor fisika-kimia lingkungan perairan serta keistimewaan biologi organisme tersebut. Michael dalam Makaminan (2000) mengatakan bahwa pola penyebaran suatu organisme akuatik dipengaruhi oleh sifat fisika-kimia yang mempengaruhi kehidupan dan sebaran plankton di laut seperti suhu, cahaya matahari, salinitas, oksigen terlarut, kadar ion hidrogen (pH), kecerahan, dan arus. Selain sifat fisika-kimia perairan, sebaran plankton juga dipengaruhi oleh daur pembiakan, tingkah laku spesies dalam populasi, dan persaingan diantara spesies.

Menurut Michael dalam Makaminan (2000), pada umumnya plankton dan larva planktonik menyebar dengan cara hanyut mengikuti arus. Kecepatan arus sangat mempengaruhi penyebaran fitoplankton dan unsur hara yang ada, sehingga berpengaruh besar terhadap penyebaran zooplankton. Selain sifat fisika-kimia perairan, sebaran zooplankton juga dipengaruhi oleh daur pembiakan, tingkah laku spesies dalam populasi, dan persaingan diantara spesies.

Pada umumnya, kelimpahan zooplankton harus lebih rendah dari pada kelimpahan fitoplankton karena produksi zooplankton yang lebih lambat dari produksi fitoplankton (Davis, 1955). Sebagai produsen yang paling utama di perairan, fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan di perairan. Perbandingan kelimpahan fitoplankton yang baik harus lebih melimpah dibandingkan kelimpahan konsumen I untuk mengimbangi jumlah zooplankton. Tetapi pada bulan Mei dan bulan Oktober terdapat kelimpahan zooplankton yang melampauhi kelimpahan fitoplankton (Gambar 6 dan 7 yaitu pada stasiun 6 dan 7). Hal ini dapat diduga karena adanya predasi dari zooplankton maupun hewan lain yang bersifat plankton feeder. Hal ini sesuai dengan teori dimakannya fitoplankton oleh zooplankton (Theory of grazing) yang menerangkan hubungan antara fitoplankton dengan zooplankton Davis (1955) dalam Yuningsih (2007) jika populasi zooplankton tinggi, maka fitoplankton akan sampai pada kecepatan pertumbuhan tertentu, sehingga kecepatan pertumbuhan fitoplankton tidak dapat mengimbangi kecepatan pertumbuhan zooplankton.

(7)

Sedangkan pada bulan Juli, kelimpahan fitoplankton sangat melimpah sementara kelimpahan zooplankton sangat sedikit. Dapat diduga akibat siklus pertumbuhan fitoplankton lebih cepat dibandingkan zooplankton, predasi zooplankton oleh predator, dan adanya migrasi diurnal zooplankton. Ini sesuai dengan teori Grazing Davis, (1955) dalam Yuningsih (2007) jika populasi zooplankton sedikit, maka fitoplankton akan berkembang dan menyebabkan jumlah fitoplankton berlimpah. Davis (1955) dalam Yuningsih (2007) juga menyatakan teori penyingkiran hewan (Theory of animal exlution) dan teori perbedaan laju pertumbuhan (Theory of different growth rate) (Nielsen dalam Davis, 1955) yaitu selama zooplankton melakukan migrasi vertikal harian, maka zooplankton akan menemui hambatan untuk mencapai permukaan jika bertemu dengan kelimpahan fitoplankton yang sangat padat. Meskipun zooplankton memakan fitoplankton, tetapi untuk mencapai populasi yang melimpah akan membutuhkan waktu yang lebih lama dari fitoplankton. Hal ini disebabkan zooplankton mempunyai siklus reproduksi yang lebih panjang dari pada fitoplankton.

5.3 Distribusi, Komposisi, dan Kelimpahan Larva

Migrasi dan distribusi suatu jenis ikan merupakan hal yang fundamental yang harus diketahui, karena dengan mengetahui pola migrasi dan distribusi suatu jenis ikan maka akan diketahui batas-batas daerah dimana stok atau sub populasi dari suatu jenis ikan hidup (Chusing, 1968 dalam Baskoro, Wahyu dan Effendy 2004). Demikian pula life history, serta mata rantai daur hidup dari suatu jenis ikan yang tidak dapat dipisahkan dari mata rantai sebelum dan sesudahnya (Nikolsky, 1963 dalam Effendie, 1997).

Ikan mengadakan migrasi dalam rangka : (1) pemijahan; (2) mencari makanan; dan (3) mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya, tidak terlepas dari beberapa faktor eksternal dan internal dari suatu jenis ikan. Faktor eksternal berupa faktor lingkungan yang secara langsung atau tidak langsung memegang peranan dalam migrasi ikan. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang terdapat didalam tubuh misalnya sekresi kelenjar hormon dan lain-lainnya yang berhubungan dengan faktor luar tadi (Baskoro, Wahyu dan Effendy 2004).

(8)

Ikan dapat merubah pola migrasi yang telah ada ke pola migrasi yang lain, dengan bergantung pada kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Selama tahap-tahap kehidupan ikan dalam bermigrasi, ikan yang hidup soliter dapat melakukan pola migrasi yang berbeda pada satu waktu (Baskoro, Wahyu dan Effendy 2004).

Secara umum komposisi jenis dan kelimpahan larva ikan yang tertangkap sangat bervariasi tiap musimnya, namun komposisinya lebih banyak larva tertangkap pada saat sampling malam, hal ini disebabkan oleh beberapa jenis ikan yang tertangkap adalah jenis ikan karang yang bersifat nocturnal (aktif pada malam hari) seperti jenis Apoginidae, Serranidae, Lutjanidae, dan Scombridae. Untuk jenis larva ikan yang bersifat diurnal, namun tertangkap pada malam hari seperti jenis Mullidae diduga disebabkan oleh faktor eksternal seperti suhu, salinitas dan arus dan pasang surut juga sangat menentukan distribusi dari larva ikan. Selain jenis ikan penghuni karang, ada beberapa jenis ikan tertangkap merupakan jenis larva ikan yang pemigrasi. Menurut Clemens (1961) dalam Effendie (1997) mengatakan bahwa penangkapan ikan pemigrasi ada hubungannya dengan suhu perairan.

Adanya variasi tangkapan larva ikan dapat pula disebabkan oleh adanya masa pemijahan genus tersebut yang terjadi di daerah perairan yang lebih dalam di dekat Pulau Abang dimana akibat adanya pergerakan arus yang kuat membawa larva dan juvenil ke sekitar perairan pulau, disamping itu adanya ledakan populasi genus tertentu akibat pemijahan sehingga berakibat fluktuasinya larva ikan yang tertangkap pada setiap bulannya di daerah penelitian serta daerah ini merupakan daerah yang banyak pulaunya yang dikelilingi oleh terumbu karang dan mangrove.

Fluktuasi tangkapan juga disebabkan adanya faktor internal yaitu efektivitas penangkapan, baik waktu sampling, alat tangkap, jarak sampling dan kemampuan larva ikan itu sendiri untuk menyebar. Hal ini dinyatakan oleh Leis (1983) bahwa banyak larva di perairan yang dangkal mempunyai kemampuan untuk menyebar secara luas dengan jarak sebaran ratusan kilometer.

(9)

Dugaan lainnya adalah daerah ini merupakan daerah migrasi dimana larva mempunyai kemampuan alamiahnya untuk menuju daerah asuhan (nursery ground). Menurut Drake dan Arias (1991) dalam Najamuddin (2004) yang melakukan penelitian di pantai barat daya Spanyol menyatakan bahwa daerah pantai merupakan daerah pembesaran bagi ikan-ikan pelagis dengan banyaknya di dapatkan dalam bentuk postlarva.

Lokasi penelitian yang berhadapan langsung dengan Selat Dempu dan sebelah Timurnya adalah Selat Abang dan Selat Pengalap sangat mempengaruhi pergerakan arus yang terjadi di daerah ini, sehingga keadaan perairan pantai dominan dipengaruhi oleh arus yang datang dari timur menuju barat dengan kecepatan 1430 mm/ detik (CRITC-COREMAP, 2005). Dikatakan pula oleh Leis (1986) bahwa zoogeografi sebaran larva adalah siklus hidup yang pendek atau akibat adanya kekuatan arus dimana dapat memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain.

Dilihat dari genus larva ikan yang tertangkap nampak genus yang merupakan ikan-ikan pelagis. Sedangkan tertangkapnya ikan karang, diantarannya genus Epinephelus, ini dimungkinkan karena lokasi penelitian ini merupakan daerah karang yang banyak terdapat karang penghalang/batu karang. Seperti yang dinyatakan Leis (1986) bahwa larva dan juvenil ikan karang secara reguler didapatkan di daerah pantai yang letaknya berdekatan dengan karang. Sedangkan ikan penghuni daerah mangrove, seperti Liza dan Valamugil, juga dimungkinkan tertangkap karena hampir sebagian besar di lokasi penelitian banyak terdapat tumbuhan mangrove. Hal ini dinyatakan oleh Mc.Lachlan (1983) dalam Najamuddin (2004) bahwa pasang surut menjadi media utama bagi larva dan juvenil ikan untuk bermigrasi ke pantai pada umumnya. Sedangkan Hayase dan Haron (2002) dalam Najamuddin (2004) mendapatkan juvenil ikan pelagis menggunakan mangrove yang ada di estuarin sebagai daerah pemeliharaan atau daerah makanan.

Berdasarkan banyaknya jumlah larva ikan yang banyak tertangkap setiap bulan pada setiap stasiun di perairan Pulau Abang didominasi oleh larva ikan dari famili Carangidae, Engraulididae, Clupeidae, Monacanthidae, Gobiidae, Sillaginidae dan Mugilidae. Dari 7 famili larva ikan yang mendominasi diduga

(10)

merupakan famili yang selalu melimpah setiap tahunnya disamping mempunyai kemampuan untuk menyebar secara luas. Disamping itu lokasi perairan Pulau Abang ini merupakan habitat yang cocok untuk perkembangbiakkan ke-7 famili larva ikan karena banyaknya terumbu karang dan mangrove di sekitar lokasi penelitian yang merupakan daerah potensial sebagai nursery ground (Bagarinao dan Taki, 1996 dalam Najamuddin, 2004).

Penelitian yang telah dilaksanakan selama 3 kali (sampling siang dan malam hari) ditemukan komposisi dan kelimpahan larva ikan terdiri dari 52 famili dan 84 genus dengan total individu sebesar (1.572 individu/m3) (Lampiran 2, 3, 4, dan 5). Total dari 1.572 individu/m3 tersebut mencakup hasil keseluruhan perhitungan selama 3 kali baik sampling siang dan malam hari pada 8 stasiun penelitian (Lampiran 3, 4 dan 5). Gambar 9, 10 dan 11 menunjukan diagram kelimpahan larva ikan pada setiap stasiun dan bulan.

Berdasarkan hasil sampling yang dilakukan, larva ikan yang banyak tertangkap adalah pada saat sampling malam hari. Hal ini disebabkan oleh pengaruh suhu serta aktifitas plankton yang banyak pada malam hari yang berpengaruh besar terhadap aktivitas dan kecepatan menjelajah. Kecepatan penjelajahan akan meningkat setelah stadia larva berkuning telur secara proporsional terhadap panjang. Blaxter dan Staines (1971) dalam Sulistiono, Rahardjo dan Effendie (2001) telah melakukan penelitian kecepatan menjelajah pada larva herring, yaitu meningkat dari 20 cm/min pada akhir stadia “ yolk sac” menjadi 80 cm/min. Selain itu pula faktor cahaya sangat berpengaruh terhadap distribusi vertikal larva ikan.

Dari penelitian yang dilakukan, hasil yang diperoleh merupakan yang terbanyak jenis dan jumlah individunya. Nursid (2002) menemukan 13.459 individu larva ikan dari 23 famili dan 38 genus di Estuari Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah. Najamuddin (2004) menemukan 5.272 individu larva dan juvenil ikan dari 17 famili dan 18 genus di Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan. Selanjutnya Manu (2005) menemukan 6.559 individu larva ikan dari 27 famili dan 34 genus di Estuari dan Laut Teluk Likupang, Sulawesi Utara.

(11)

Kelimpahan larva ikan yang banyak tertangkap menurut perhitungan setiap bulannya dari 8 stasiun adalah pada bulan Juli, yaitu 608 individu/m3 dan hasil tangkapan terendah adalah pada bulan Mei yaitu 439 individu/m3 (Lampiran 3, 4, dan 5).

Secara spasial kelimpahan larva ikan di bulan Mei, stasiun 2 lebih tinggi jika dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu sebesar 97 individu/m3 dan yang terendah terdapat pada stasiun 7 yaitu 33 individu/m3. Untuk kelimpahan larva ikan di bulan Juli, jumlah tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yaitu sebesar 117 individu/m3 dan yang terendah ditemukan pada stasiun 4 yaitu 31 individu/m3. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan larva ikan tertinggi ditemukan pada stasiun 1 yaitu 117 individu/m3 dan terendah pada stasiun 8 sebesar 22 individu/m3 (Tabel 7 dan Lampiran 6). Tingginya kelimpahan pada bulan Juli ini diduga disebabkan oleh kelimpahan plankton dan dukungan dari kondisi parameter lingkungan perairan, pola pergerakan arus yang bergerak dari utara (Lampiran 8).

Secara temporal kelimpahan larva ikan yang ditemukan setiap bulan pada setiap stasiun, terlihat bulan Mei pada stasiun 2, 6 dan stasiun 8 lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Oktober. Pada bulan Juli, kelimpahan tertinggi larva ikan pada stasiun 2, 3, 6, dan stasiun 8 lebih tinggi dibandingkan pada bulan Mei dan bulan Oktober. Sedangkan pada bulan Oktober kelimpahan tertinggi larva ikan stasiun 1, 4, 5 dan stasiun 7 lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan Juli dan bulan Oktober (Tabel 7 dan Lampiran 6). Tingginya kelimpahan pada bulan Oktober ini diduga disebabkan tingginya pasang dan pola arus yang membawa massa air diperairan ini yang bergerak mengalir dari timur keselatan, mendorong masuk kembali ke selat antara Pulau Abang Kecil dan Pulau Pengelap melalui sisi utara selat (Lampiran 8) (CRITC-COREMAP, 2005). Kelimpahan larva ikan cukup tinggi pada bulan Oktober ini juga diduga pada bulan ini merupakan musim pemijahan bagi ikan di Perairan Pulau Abang yang salah satunya dipengaruhi oleh datangnya massa air baru yang berasal dari hujan (Effendi, 1997).

(12)

Tidak semua larva memiliki kelimpahan yang tinggi pada bulan Oktober, misalnya kelimpahan pada stasiun 6 dan stasiun 8, bulan Mei dan bulan Juli lebih tinggi dari bulan Oktober. Hal ini disebabkan karena ada beberapa larva yang pemijahannya berlangsung sepanjang tahun misalnya famili dari Engraulididae jenis Stolephorus indicus (Prabu, 1956 dalam Effendie, 1997).

Hasil analisis Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (D) larva ikan menunjukkan nilai yang berfluktuatif seperti yang ditampilkan pada lampiran 7.

Nilai indeks keanekaragaman dari hasil perhitungan disetiap stasiun pada setiap bulan menunjukan keaneragaman populasi cukup tinggi dan nilai cukup seragam pada setiap bulannya, dengan nilai tertinggi didapatkan pada stasiun 1dan 2 (2.92) setiap bulan dan terendah ditemukan di bulan Oktober pada stasiun 8 (1.21). Najamuddin (2004) mendapatkan nilai keanekaragaman dari 8 bulan penelitian di Tanjung Mangkok Kalimantan Selatan dengan Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) adalah 0.31-1.62 (keanekaragaman populasi rendah). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Manu (2005) selama 6 bulan penelitian di Teluk Likupang Sulawesi Utara diperoleh nilai Indeks Keanekaraman (H’) adalah 1.47-2.33 (keanekaragan populasi sedang). Hasil penelitian di Pearairan Pulau Abang Batam selama 3 musim didapatkan nilai indeks keanekaragaman yang hampir seragam setiap bulannya yaitu berkisar 1.21 -2.92, terdiri 2 kriteria yaitu sedang dan tinggi. Dengan demikian indeks keanekaragaman dari larva ikan yang ada di Perairan Pulau Abang masih cukup baik dibandingkan dengan yang ada di Tanjung Mangkok dan Teluk Likupang untuk keseluruhan bulan pengamatan. Besarnya nilai indeks keanekaragaman ini menunjukan adanya peningkatan jumlah seluruh individu dan jumlah genus yang tertangkap, disaping itu memperlihatkan adanya daya dukung lingkungan perairan yang lebih baik.

Indeks Keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui berapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu setiap genus pada tingkat komunitas (Odum, 1971) baik setiap stasiun maupun setiap bulan. Hasil analisis menunjukan bahwa nilai indeks keseragaman setiap stasiun memiliki nilai yang bervariasi untuk setiap bulannya (Gambar 14 dan Lampiran 7) yang berkisar 0.59 – 1.00

(13)

untuk keseragaman stasiun. Kisaran nilai berdasarkan stasiun tersebut dapat dipisahkan menurut kriteria Suryadiputra (1996), bahwa nilai indeks keseragaman pengamatan setiap stasiun masuk pada kriteria dengan kondisi labil dan stabil.

Dari kisaran nilai tersebut maka indeks keseragaman yang berdasarkan stasiun pada bulan Mei (Gambar 14) dapat dibagi menjadi 2 kriteria. Kriteria pertama dengan nilai 0.50 < E ≤ 0.75, yaitu terdiri dari 8 stasiun yaitu ekosistem labil. Sedang kriteria kedua yaitu dengan nilai indeks keseragaman 0.75 < E ≤ 1.00. Indeks keseragaman dengan kriteria yang demikian mencakup 8 stasiun pula. Dengan demikian indeks keseragaman pada delapan stasiun di bulan Mei ini memenuhi dua kriteria yaitu labil dan stabil. Begitupun juga untuk indeks keseragaman pada bulan Juli yang berkisar 0.59 – 0,95. Indeks terendah diperoleh pada stasiun 3 dan tertinggi terdapat pada stasiun 4. Nilai indeks ini kondisinya mencakup 2 kriteria yaitu labil dan stabil. Sedangkan untuk bulan Oktober pada setiap stasiunnya berkisar antara 0.63 – 1.00 dimana nilai indeks terendah terdapat pada stasiun 3 dan tertinggi terdapat pada stasiun 2. Nilai indeks keseragaman pada bulan ini kondisinya masih labil dan stabil pula.

Dari keseluruhan hasil indeks keseragaman yang diperoleh menunjukan adanya peningkatan jumlah genus tertentu sehingga penyebaran antar individu cukup merata.

Pada Gambar 14 dan Lampiran 7 ditampilkan nilai Indeks Dominansi (D) setiap bulan pada setiap stasiunnya. Hasil analisis indeks dominansi antar stasiun setiap bulan diperoleh nilai yang sama, dimana nilai indeks dominansi tertinggi pada stasiun 3 yaitu sebesar 0.17 dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0.06. Keseluruhan stasiun disetiap bulannya menunjukan nilai indeks dominansi yang mendekati nol. Dengan indeks dominansi yang mendekati 0 (Gambar 14 dan Lampiran 7) artinya tidak ada genus yang mendominasi setiap bulan pada setiap stasiunnya. Dengan demikian indeks dominasi antar bulan pada setiap stasiunnya tidak ada genus larva ikan yang mendominasi genus larva ikan yang lain.

(14)

Dari hasil keseluruhan pengamatan dapat dilihat bahwa tingginya nilai keseragaman dan rendahnya nilai dominansi menunjukan bahwa perairan Pulau Abang memiliki kondisi perairan yang masih stabil karena jumlah individu masih relatif sama di setiap stasiun pengamatan karena tidak terjadi tekanan ekologis pada biota yang hidup di perairan Pulau Abang tersebut.

5.4 Keterkaitan antara Larva dengan Parameter Lingkungan

Analisis Komponen Utama (Principal Component Analisys, PCA) dilakukan untuk melihat sebaran parameter bio-fisikakimia perairan selama penelitian berlangsung. Hasil PCA memperlihatkan bahwa sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1, 2, dan 3 (F1, F2, dan F3), dimana masing-masing sumbu menjelaskan 42,90 %, 19,12 %, dan 9,7 % (Gambar 12 dan 13). Total ragam yang terjelaskan dari ketiga komponen utama tersebut sebesar 71,65 %.

Pengelompokan stasiun hasil PCA memperlihatkan adanya tiga kelompok bulan yaitu kelompok pertama bulan Juli, kelompok kedua bulan Mei dan kelompok ketiga bulan Oktober yang masing kelompok terdiri dari 8 stasiun. Kelompok pertama dicirikan oleh fitoplankton, kelompok kedua dicirikan oleh suhu, salinitas, dan oksigen sedangkan pada kelompok ketiga dicirikan oleh kecerahan, zooplankton, pH dan Nitrit. Dengan demikian ketiga kelompok tersebut memiliki masing-masing ciri parameter (Gambar 12 dan 13). Pengelompokan tersebut memperlihatkan bahwa parameter yang berhubungan dengan larva ikan adalah fitoplankton (Gambar 12). Akan tetapi pada (Gambar 13) parameter zooplankton Nitrit dan pH turut memberi andil terhadap keberadaan larva.

Pada Tabel 8 menampilkan matriks hubungan antara parameter bio-fisikakimia yang berpengaruh terhadap kelimpahan larva ikan. Parameter yang berhubungan positif terhadap keberadaan larva ikan adalah Fitoplankton (0,59), TSS (0,34), dan Nitrit (0,09). Selain memiliki korelasi yang positif, ada juga parameter yang memiki korelasi negatif. Parameter yang mempunyai korelasi negatif adalah parameter suhu (-0,22), DO (-0,35) dan Salinitas (-0,34).

Matriks pada Tabel 8 menjelaskan pula bahwa keberadaan larva ikan berhubungan dengan parameter yang memiliki nilai hubungan positif dan hubungan nilai negatif. Hubungan nilai positif menggambarkan bahwa setiap

(15)

perubahan nilai pada parameter yang bersangkutan secara positif akan mempengaruhi nilai dari larva ikan secara positif pula. Demikian halnya dengan parameter yang nilai hubungannya negatif. Apabila pameter yang memiliki nilai negatif berubah (bertambah), maka nilai larva (kelimpahan) akan menurun.

Hasil analisis PCA dijumpai kontribusi setiap parameter yang menujukan nilai komulatif pada sumbu utama (F1) hingga sumbu ketiga (F3) sebesar 71,65 % (Tabel 9). Tabel 9 menggambarkan persentase hubungan parameter bio-fisikakimia dan larva terhadap sumbu utama F1 hingga sumbu utama F3. Gugus data ini menunjukan bahwa nilai keragaman gugus data tersebut terdiri dari 42,90 %, 19,12 % dan 9,64 % oleh sumbu utama (F1) sampai sumbu utama F3, atau secara komulatif sebesar 71,65 %.

Selanjutnya pada Tabel 10 merupakan nilai koordinat dari masing-masing parameter terhadap sumbu utama. Koordinat yang mendekati nilai koordinat dari larva adalah fitoplankton untuk sumbu utama F1 (kolerasi positif), yaitu fitoplankton 0,79, TSS 0,77, nitrit 0,42, pH 0,31 dan zooplankton 0,05 (Gambar 12). Dengan demikian dilihat dari koordinat sumbu utama F1 yang paling dekat dengan larva ikan adalah fitoplankton. Sedangkan pada sumbu utama F2 hampir tidak ada parameter yang koordinatnya dekat dengan koordinat larva ikan.

Oleh karena analisis PCA adalah hubungan parameter terhadap sumbu F1 hingga F3, maka pada sumbu F3 parameter yang koordinatnya berkolerasi negatif dengan larva (-0,65) adalah kecerahan 0,65, salinitas 0,12, dan fitoplankton 0,02. Dilihat dari nilai koordinat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa parameter yang paling dekat dengan larva (sangat mendukung keberadaan larva) adalah fitoplankton untuk sumbu F1.

Referensi

Dokumen terkait

Di bab ini kita akan membahas mengenai transformasi Laplace, sifat transformasi Laplace, pole dan zero, transformasi balik, solusi persamaan diferensial, serta

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayahNya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul &#34;Upaya

Ekstraksi dilakukan menggunakan metode maserasi dengan menggunakan tiga jenis pelarut. Ekstraksi pertama digunakan pelarut non polar yakni n- heksan dengan cara

Tetapi ada beberapa aktivitas yang dapat menimbulkan biaya tetapi tidak di masukkan dalam penentuan harga pokok hal ini dapat mempengaruhi harga pokok produksi

Berdasarkan tabel 4.9 tentang tabulasi silang hubungan antara kualitas pelayanan kesehatan Posyandu dengan frekuensi kunjungan ibu balita di Posyandu XI

Berbagai persiapan dilakukan sebelum pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan (PPL) diantaranya melakukan observasi di lokasi yaitu di SMP Negeri 1 Mungkid Magelang.

Dengan adanya OS ini juga dapat merusak ponsel jika ada saja data dari rootnya atau partisi system pada komputer (tempat program file) yang terhapus terutama

Gambar 4 menunjukkan bahwa pakan dari tepung udang rebon memberikan nilai pertumbuhan panjang karavace tukik yang lebih baik hal ini diduga karena kandungan gizi