• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN (SEBUAH STUDI DESKRIPTIF)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN (SEBUAH STUDI DESKRIPTIF)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIKAP LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TERHADAP

PRAKTIK KHITAN PEREMPUAN

(SEBUAH STUDI DESKRIPTIF)

AFRIGTHEA RAGIELTRINANDA – 1200989664

ABSTRAK

Ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan serta kekerasan perempuan secara perlahan menjadi suatu kebiasaan yang diawali dengan dibentuknya pelabelan sosial atau disebut constructivisme social. Khitan perempuan dianggap merupakan salah satu bentuk ketidaksetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan berupa kekerasan. Menanggapi spekulasi tersebut, penelitian ini ditujukan guna melihat sikap laki-laki dan perempuan terkait praktik khitan pada perempuan yang dianggap sebagai bentuk ketidaksetaraan jender.

Penentuan instrumen penelitian dilakukan dengan membuat dan menguji coba alat ukur sikap Afrigthea Ragieltrinanda’s Scale of Acceptance on Clitoridectomy (ARt-SAC). Art-SAC merujuk pada teori Banaji & Heiphetz (2010) dalam melihat sikap individu dengan memperhatikan tiga unsur indikator yaitu, indikator kognisi (cognitive), afeksi (affective), dan perilaku (behavior). ARt-SAC ditujukan guna melihat gambaran sikap laki-laki dan perempuan terhadap fenomena praktik khitan pada perempuan. Penelitian ini menggunakan teknik coincidence/incidental sampling yaitu berdasarkan pada kemudahan karakteristik yang ditemukan di lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan dari 100 partisipan yang menjadi sampel penelitian, ditemukan sebanyak 58 partisipan laki-laki dan perempuan tidak setuju terhadap pemberlakuan khitan pada perempuan. Sementara, 42 partisipan laki-laki dan perempuan memilih untuk setuju diberlakukannya khitan pada perempuan. Analisa data pada penelitian ini dikaji melalui perspektif emic dan etic. Perspektif emic dikaji dengan mempertahankan nilai subyektifitas yaitu menempatkan diri peneliti sebagai bagian dari perempuan serta korban khitan (Insider). Perspektif etic dikaji dengan mempertahankan nilai obyektifitas yaitu menempatkan diri peneliti sebagai bagian dari kaum laki-laki serta peneliti ilmiah (outsider).

(2)

DAFTAR ISI BAB 1 ... 5 PENDAHULUAN ... 7 1.1 Latar Belakang ... 7 BAB 2 ... 14 TINJAUAN PUSTAKA ... 14 2.1 Sikap ... 14

2.2 Pandangan Laki-laki dan Perempuan tentang Perempuan ... 15

2.3 Khitan Perempuan ... 16

2.4 Klasifikasi ... 17

2.5 Dampak ... 19

2.6 Pandangan Laki-Laki dan Perempuan tentang Khitan Perempuan ... 21

BAB 3 ... 24

METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Definisi Operasional ... 25

3.1.1 Sikap ... 25

3.1.2 Praktik Khitan Perempuan... 26

3.1.3 Laki-laki dan Perempuan ... 26

3.2 Subyek Penelitian ... 26

3.2.1 Populasi ... 26

3.2.2 Sampel ... 26

3.2.3 Teknik Sampling ... 27

(3)

3.3 Desain Penelitian ... 28

3.3.1 Perspektif Tipe Informasi ... 28

3.3.2 Perspektif Tujuan ... 29

3.3.3 Perspektif Aplikasi ... 29

3.4 Lokasi ... 29

3.4.1 Lokasi Penelitian ... 29

3.4.2 Waktu Penelitian ... 29

3.5 Prosedur Penelitian dan Pengukuran ... 30

3.5.1 Persiapan Penelitian ... 30

3.5.2 Pengumpulan data ... 35

3.5.3 Pengolahan data ... 35

3.5.4 Penyajian hasil penelitian ... 36

BAB 4 ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1 Hasil Pengukuran Sikap ARt-SAC ... 37

4.2 Hasil Pengukuran Indikator ARt-SAC ... 39

4.2.1 Hasil Indikator ARt-SAC pada Perempuan ... 40

4.2.2 Hasil Indikator ARt-SAC pada Laki-laki ... 43

4.3 Pandangan Emic dan Etic tentang Khitan Perempuan ... 46

4.3.1 Pandangan Emic tentang Khitan Perempuan ... 48

4.3.2 Pandangan Etic tentang Khitan Perempuan ... 51

BAB 5 ... 54

SIMPULAN, DISKUSI, SARAN ... 54

5.1 Simpulan ... 54

(4)

5.3 Saran ... 56 DAFTAR PUSTAKA ... 58                                    

(5)

DAFTAR TABEL  

 

No Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 3.5.1.2 Item untuk uji coba (try out) ARt-SAC 26 Tabel 3.5.1.3 Hasil Uji Korelasi Uji Coba Per Indikator ARt-SAC 28 Tabel 3.5.1.3 Item untuk Pengambilan Data ARt-SAC 29 Tabel 4.1 Persentase Hasil Keseluruhan Alat Ukur ARt-SAC 32 Tabel 4.1 Persentase Hasil Sikap Berdasarkan Jenis Kelamin Perempuan 33 Tabel 4.1 Persentase Hasil Sikap Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki 34 Tabel 4.2.1 Hasil Indikator ARt-SAC pada Perempuan yang Tidak Setuju

Praktik Khitan Perempuan 35

Tabel 4.2.1 Hasil Indikator ARt-SAC pada Perempuan yang Setuju Praktik

Khitan Perempuan 36

Tabel 4.2.2 Hasil Indikator ARt-SAC pada Laki-laki yang Tidak Setuju Praktik

Khitan Perempuan 37

Tabel 4.2.2 Hasil Indikator ARt-SAC pada Laki-laki yang Setuju Praktik Khitan

Perempuan 38              

(6)

DAFTAR GAMBAR  

No Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 2.4.1 Tipe I – Clitoridectomy 11

Gambar 2.4.2 Tipe II – Excision 12

Gambar 2.4.3 Tipe III – Infibulation 12

                                 

(7)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perilaku kekerasan terhadap perempuan marak ditemui di berbagai pelosok dunia. Dalam perspektif barat, sebagian besar bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan telah dikemas dan dikaburkan sehingga menjadi suatu bentuk tradisi atau keharusan untuk dilakukan sebagai anggota kelompok. World Health Organization (2000), mendefinisikan kekerasan sebagai penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman, atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan maupun sekelompok individu atau masyarakat yang mengakibatkan memar, trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan, dan perampasan hak.

Dalam perspektif timur, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010 mendefinisikan kekerasan,

“Setiap perbuatan secara melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang” (hal. 4).

Salah satu fenomena terhadap perempuan yang dapat menimbulkan bahaya bagi nyawa dan menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang, yaitu adanya praktik female genital mutilation dan khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan. Bentuk khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan inilah yang akan menjadi topik pembahasan penelitian ini. Dengan kata lain, dalam penelitian tentang khitan terhadap perempuan ini,

(8)

peneliti berangkat dari asumsi bahwa fenomena khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan merupakan sebuah produk ketidaksetaraan kedudukan khitan antara laki-laki dan perempuan yang melahirkan tindakan kekerasan yang dikenakan kepada perempuan. Female genital mutilation dikenal atau sudah ada sejak 2100 sebelum masehi (World Health Organization, 2004). Argumen ini diperkuat melalui penemuan dari beberapa ilmuwan anthropologi yang berhasil menemukan sosok mumi perempuan di Mesir. Mumi perempuan tersebut diduga merupakan rakyat golongan kaya dan berkuasa di Mesir yang menjadi salah satu obyek praktik khitan pada zaman itu, yaitu sekitar abad ke-16. Ahli anthropologi menduga bahwa pada zaman kuno praktik khitan perempuan dilakukan untuk mencegah masuknya roh jahat melalui vagina perempuan. Selain ditemukan pada bangsa Mesir, praktik khitan perempuan juga sudah menjadi tradisi bangsa-bangsa di sekitar lembah Nil, yakni Sudan, Mesir dan Eithopia (Subakti dan Anggarani, 2007).

World Health Organization (WHO, 2010) mendefinisikan praktik khitan perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM),

“Segala bentuk prosedur yang menyertakan pembuangan sebagian maupun seluruh bagian luar alat kelamin perempuan dan/atau pencederaan atas organ genital perempuan untuk alasan budaya maupun alasan-alasan

non-therapeutic lainnya”

Menurut perolehan data statistik yang dimiliki oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2010), diketahui dua puluh delapan negara masih melakukan praktik khitan perempuan beberapa diantaranya, Afrika, Timur Tengah, Malaysia, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa, dan Indonesia.

Sebagian besar masyarakat Indonesia mengenal praktik khitan sebagai bagian dari pengajaran dan penyiaran agama Islam, yaitu ketika praktik ini

(9)

dianggap sebagai ritual proses seseorang menjadi Islam. Sedangkan pada lapisan sosial tertentu, masyarakat melihat khitan sebagai bentuk pelestarian terhadap tradisi pada masa lampau yang terkait dengan ritual hidup yang menandai kedewasaan seseorang (Mesraini, 2002). Dalam Islam, khitan merupakan salah satu ajaran Islam yang diambil dari ajaran Nabi Ibrahim as. Pada zaman Nabi Ibrahim as, khitan merupakan ibadah fisik pada laki-laki berupa penghilangan atau pemotongan sebagian tubuh (Mesraini, 2002). Sedangkan dalam agama Katolik, Protestan, Hindu, maupun Budha, belum ditemukan adanya ajaran yang menyinggung pemberlakuan khitan pada perempuan.

Kontras terhadap praktik khitan laki-laki yang merupakan ajaran Islam yang wajib dilakukan oleh seluruh umat laki-laki. Fenomena khitan perempuan juga berusaha untuk dikaitkan dengan penyebaran ajaran agama Islam di seluruh dunia. Komisi Nasional Perempuan (2010) menjelaskan bahwa beberapa terminology ahli fiqh Islam mendefinisikan khitan sebagai tindakan memotong kulit yang menutup kepala penis (hasyafah) untuk laki-laki, dan memotong daging bagian ujung klitoris perempuan. Kontras dari penjelasan Komisi Nasional Perempuan, ilmu fiqh memiliki istilah tersendiri dalam menyebut khitan perempuan, yakni “khafdh” atau “khifadh”. “Khifadh” yang berasal dari bahasa Arab merupakan kata asli untuk khitan perempuan dalam agama Islam. Ibnu Abidin, seorang ahli fiqh mazhab Hanafi mengatakan, “La Yuqalu fi haqq al Mar’ah Khitan, wa Innama Yuqalu Khifadh”, yaitu untuk perempuan tidak boleh disebut ‘khitan’ melainkan ‘khifadh’ (K.H. Husein, 2007).

Secara literal, khifadh yaitu mengurangi (to reduce), menyederhanakan (minimize), mengambil sedikit (akhdz al yasir/take easy) dan pelan (lower), (Husein Muhammad, 2010). Definisi khitan pada perempuan sangat kontras dengan apa yang telah menjadi pemahaman sebagian masyarakat selama ini,

(10)

yaitu berupa memotong atau menggunting klitoris perempuan. Praktiknya, banyak masyarakat Islam yang masih memiliki pemahaman yang berbeda terkait defenisi sesungguhnya dari kihtan dan khifad.

Mengacu dari hadits Nabi SAW, ummu athiyah r.a. menjelaskan peringatan kepada juru khitan perempuan untuk menghindari kerugian (mudharat). Kerugian (mudharat) yaitu jaminan untuk tidak berlebihan dengan tidak merusak organ vital, dan membiarkan sesuatu yang menjadi kenikmatan seksual perempuan ketika berhubungan intim dengan suaminya. Bila khitan perempuan ternyata bermanfaat bagi perempuan, maka dalilnya dapat menjadi wajib. Namun, jika justru menimbulkan kerugian, maka dalil khitan perempuan menjadi haram untuk dilaksanakan (Muhammad, 2007). Dengan kata lain, relatif ataupun situasional dimensi aksiologis praktik khitan itu sendiri.

Namun, praktik khitan terhadap perempuan di Indonesia tidak hanya dilatarbelakangi oleh ajaran agama, namun juga manifestasi dari tradisi suatu budaya setempat. Di sebagian wilayah Indonesia, khitan dianggap sebagai ritual yang sakral, setara seperti aqiqah (upacara ritual dalam pemberian nama anak) pada masyarakat muslim. Bahkan, beberapa daerah di Indonesia sengaja menyelenggarakan upacara ritual untuk mendukung khidmatnya proses khitan. Uniknya, dibandingkan khitan pada perempuan, topik fenomena khitan pada laki-laki cenderung lebih umum untuk diperbincangkan dan dikenal masyarakat. Sementara fenomena khitan yang dilakukan pada perempuan cenderung untuk dikaburkan dari sorotan masyarakat setempat.

Pada tahun 2003, Population Council mencantumkan enam provinsi di Indonesia yang masih memberlakukan praktik khitan pada perempuan (FGM). Beberapa provinsi tersebut diantaranya Sumatera Barat, Lampung, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Di wilayah tersebut, khitan

(11)

perempuan dianggap sebagai suatu keharusan yang mesti dilaksanakan oleh seluruh perempuan yang menjadi anggota komunitas tersebut.

Gulardi (1999) menjelaskan bahwa perempuan distereotipkan sebagai penggoda dan membahayakan laki-laki, sehingga perilaku seksualnya harus dikontrol dan dikendalikan oleh norma-norma sosial, dibatasi, bahkan jika perlu dikenakan perbuatan-perbuatan prilaku dengan cara kekerasan. Ini dapat terlihat pada beberapa etnis di Indonesia yang masih menjalankan praktik khitan sampai sekarang. Dalam tradisi Jawa, khitan perempuan disebut dengan tetesan. Tetesan merupakan salah satu upacara adat dari rangkaian acara ritual yang harus dilakoni oleh perempuan mulai sejak lahir hingga dewasa (Musyarofah, dkk, 2003).

Bagi sebagian besar masyarakat etnis Banten, kewajiban khitan perempuan telah ditanamkan sejak dini, minimal saat anak berusia dua hingga tiga tahun. Jika kewajiban tersebut tidak dijalankan, maka hukumnya dianggap haram (najis dan kafir), sehingga ibadah shalat tidak sah. Seperti tradisi khitan perempuan pada masyarakat etnis Banten, masyarakat etnis Lampung menyebut khitan perempuan dengan “sunat sebai”. Praktik khitan perempuan dilakukan saat anak perempuan berusia dua hingga tiga tahun. Masyarakat etnis Lampung meyakini bahwa perempuan yang tidak dikhitan akan tampak kurang cantik dan kurang bercahaya (Musyarofah, dkk; 2003). Dari pandangan beberapa etnis yang ada di Indonesia tersebut, dapat disimpulkan bahwa khitan perempuan dilakukan semata-mata sebagai penjaga perilaku untuk mengurangi dorongan seks perempuan yang bersangkutan.

Berdasarkan hasil penelitian dan statistik yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2003), khitan perempuan banyak dilakukan pada perempuan antara anak usia dini hingga usia lima belas tahun, hanya beberapa terjadi pada perempuan dewasa. Tahun 2006, Direktur

(12)

Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan berupa surat edaran bagi organisasi profesi (IDI, IDAI, IBI, POGI, PPNI, dan PERINASIA) dan instansi terkait di bawah Departemen Kesehatan, yang berisi larangan medikalisasi sunat perempuan bagi petugas kesehatan serta memperingatkan dampak negatif kesehatan dari mutilasi kelamin perempuan (MKP). Larangan ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk dukungan Indonesia dalam melindungi hak perempuan terhadap dampak yang akan dihadapi, sebagai bentuk diskriminasi dan kekerasan.

Kontras terhadap kebijakan Menteri Kesehatan tahun 2006 yang berisi tentang larangan sunat terhadap perempuan. Tahun 2010 terjadi kemunduran mengenai kebijakan khitan pada perempuan yang disahkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.1636/Menkes/Per/XI/2010. Peraturan tersebut disahkan untuk melindungi perempuan dari praktik khitan ilegal yang membahayakan jiwa maupun sistem reproduksinya. Salah satu ketentuan dalam peraturan tersebut mengatakan, khitan perempuan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan baik dokter, bidan atau perawat yang memiliki izin kerja dan tenaga kesehatan yang dimaksud berjenis kelamin perempuan. Selaras dengan aturan tersebut, sunat yang diizinkan hanya berupa goresan kecil pada kulit bagian depan yang menutupi klitoris (frenulum clitoris).

Selaras dengan kebijakan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2011 Amnesty International, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) dan Convention against Torture (CAT) sebagai gerakan kampanye dunia yang mempromosikan seluruh hak asasi manusia mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan bahwa Indonesia harus mencabut peraturan khitan perempuan. Pernyataan tersebut antara lain yang berisi bahwa pihak berwenang Indonesia harus selekasnya mencabut peraturan menteri

(13)

tentang khitan perempuan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan tahun 2010, dan sebaiknya menerapkan peraturan khusus dengan hukuman yang pantas untuk melarang segala jenis mutilasi kelamin perempuan (female genital

mutilation). Peraturan baru oleh Menteri Kesehatan (No.

1636/MENKES/PER/XI/2010) tahun 2010 mengenai khitan perempuan, dinilai berlawanan dengan langkah pemerintah memperkuat kesetaraan jender dan melawan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Polemik inilah yang memicu penulis untuk melakukan penelitian dengan mengeskplorasi sikap laki-laki dan perempuan menyangkut fenomena praktik khitan perempuan yang dianggap sebagai tindak diskriminasi dan kekerasan bagi kaum perempuan.

(14)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, yang nantinya dapat menjadi landasan teoritis dalam mendukung penelitian ini. Teori-teori yang terdapat dalam bab ini diantaranya teori sikap serta beberapa tinjauan pustaka terkait penelitian.

2.1 Sikap

Dalam Bernstein, dkk, Banaji dan Heiphetz (2010) mengelompokkan sikap kedalam tiga komponen penting yaitu:

1. Kognisi (Cognitive)

Komponen yang mencakup penerimaan informasi dari lingkungan melalui panca indra, memprosesnya, mengenali yang dipersepsikan, membandingkannya dengan data yang telah dimiliki, mengklasifikasikan, menyimpan dalam ingatan, serta menggunakannya dalam merespons rangsangan.

2. Afeksi (Affective)

Komponen yang menjelaskan perasaan atau emosi individu terhadap objek sikap.

3. Perilaku (Behavioral)

Komponen yang menjelaskan mengenai kecenderungan tindakan individu terhadap objek sikap yang berasal dari masa lalu.

(15)

Pertama, komponen kognisi (cognitive) menggambarkan proses berpikir indiividu dalam menerima informasi dari lingkungan melalui alat indra, memprosesnya, mengenali yang dipersepsikan, membandingkannya dengan data yang telah dimiliki, mengklasifikasikannya, dan menyimpannya dalam ingatan serta menggunakannya dalam merespons rangsangan. merespons rangsangan. Kedua, yaitu komponen afeksi (affective), yang menjelaskan mengenai gambaran perasaan dan emosional individu terkait fenomena praktik khitan yang dikenakan terhadap perempuan (Banaji dan Heiphetz, 2010). Ketiga, komponen perilaku (behavioral) yang menjelaskan mengenai kecenderungan pola perilaku individu dalam menanggapi fenomena khitan terhadap perempuan (Banaji & Heiphetz, 2010).

2.2 Pandangan Laki-laki dan Perempuan tentang Perempuan

Menurut Nasaruddin (2010) terdapat dua perbedaan pemahaman mengenai penggunaan istilah kata antara relasi seksual dan jender. Relasi seksual adalah hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada tuntutan dan kategori biologis. Sedangkan, relasi jender merupakan sebuah konsep dan realitas sosial yang berbeda dimana pembagian kerja seksual antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada pemahaman yang bersifat normatif serta kategori biologis, melainkan pada kualitas, keahlian, dan peran berdasarkan konvensi-konvensi sosial. secara biologis perbedaan dan kedudukan sosial antara laki-laki dan perempuan selalu dikaitkan dengan jenis kelamin (sex) yang masing-masing dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut. Akibat dari perbedaan secara biologis ini, maka tidak jarang berimplikasi jauh terhadap kedudukan sosial (social role) yang diperankan oleh kedua pihak.

(16)

Perempuan di negara dan suku manapun mempunyai alat reproduksi yaitu seperti rahim, mempunyai vagina, mengalami menstruasi, dapat hamil, melahirkan serta menyusui. Sedangkan laki-laki kodrat biologisnya adalah memiliki penis, dan memproduksi sperma yang dapat membuahi sel telur perempuan. Hal ini tidak jarang membawa dampak perempuan diperlakukan kurang adil atau diskriminasi dalam menentukan peran dan posisinya dibandingkan kaum laki-laki.

2.3 Khitan Perempuan

Khitan berasal dari bahasa arab “Al-khitan” atau Khatana yang berarti memotong. Praktik khitan perempuan merujuk pada istilah female genital mutilation (FGM) yang diperkenalkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1991. Sedangkan, istilah yang dipakai untuk FGM di indonesia adalah sunat perempuan atau khitan perempuan. Female Genital Mutilation (FGM) didefinisikan sebagai pemotongan alat kelamin perempuan, termasuk semua prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh selaput organ kelamin eksternal perempuan atau segala bentuk tindakan melukai organ kelamin perempuan baik dengan alasan adat-istiadat, kepercayaan, atau agama atau alasan non-medis lainya.

Walaupun praktik khitan perempuan banyak dilakukan di negara Islam, kemunculan praktik khitan perempuan diketahui tidak secara khusus memiliki kaitan dengan agama karena dilakukan berabad-abad sebelum datangnya masa Islam. Pada akhirnya ketika praktik khitan perempuan seringkali disandingkan dengan agama terutama agama Samawi yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, lebih dikarenakan agama berperan sebagai media penyebaran

(17)

pelaksanaan praktik khitan perempuan (FGM) pada masa itu (Musyarofah, dkk; 2003).

Secara implisit, penggunaan kata mutilasi (mutilation) mengandung penekanan bahwa praktik khitan perempuan yang merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Publikasi WHO pada tahun 1997 menyebutkan FGM mencakup segala bentuk prosedur yang menyertakan pembuangan sebagian maupun seluruh bagian luar alat kelamin perempuan dan atau pencederaan atas organ genital perempuan untuk alasan budaya maupun alasan-alasan non-therapeutic lainnya. Kendati demikian, terdapat pemaknaan yang berbeda pada kata female genital mutilation dan khitan perempuan dalam keyakinan agama Islam.

2.4 Klasifikasi

Pengklasifikasian terakhir yang dilakukan oleh WHO (2010) terkait pelaksanaan female genital mutilation yang dinilai sebagai lambang kekerasan pada perempuan memiliki keragaman pada setiap negara. Terdapat empat tipe klasifikasi praktik khitan perempuan:

1. Tipe I – Clitoridectomy

Tipe pertama dengan menghilangkan sebagian atau keseluruhan klitoris.

Gambar 2.4.1 Tipe I – Clitoridectomy Sumber: Situs Amnesty International.

(18)

Tipe kedua pembuangan sebagian maupun keseluruhan klitoris dan labia minora, baik dengan maupun tanpa pengirisan labia majora.

Gambar 2.4.2 Tipe II – Excision Sumber: Situs Amnesty International.

3. Tipe III – Infibulation

Tipe ketiga dengan melakukan penyempitan lubang vagina dengan memotong labia minora dan/atau labia majora, baik dengan maupun tanpa pengirisan klitoris.

Gambar 2.4.3 Tipe III – Infibulation Sumber: Situs Amnesty International.

4. Tipe IV – Unclassified

Termasuk semua prosedur selain Tipe I, II, dan III, yang mencakup penusukan, penggoresan, pengirisan, dan pembakaran jaringan kelamin yang membahayakan alat kelamin perempuan dengan tujuan non-medis.

(19)

2.5 Dampak

Tahun 2011 United Nation Population Fund (UNFPA) menguraikan dua dampak praktik khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan, yaitu dampak terhadap fisik dan psikis baik jangka pendek maupun jangka panjang.

1. Dampak Fisik

Dampak jangka pendek ditandai dengan: • Rasa nyeri berat

• Syok

Ditandai dengan rasa sakit akibat tidak diberikan anestesi (obat bius).

• Pendarahan dan Tetanus • Sepsis

Ditandai dengan terjadinya peradangan diseluruh tubuh akibat dari infeksi atau keracunan dalam darah.

• Retensi Urine

• Ulserasi pada genital, dan luka pada jaringan-jaringan sekitar organ kelamin perempuan.

• Pendarahan massive dan infeksi yang dapat menyebabkan kematian.

• HIV dan Hepatitis

Akibat penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit.

Dampak jangka panjang ditandai dengan: • Kista dan Abses

(20)

• Keloid

Berupa daging tumbuh disekitar genital atau kelamin perempuan. • Kerusakan uretra

Ditandai dengan penurunan sensitivitas permanen akibat klitoridektomi.

• Dispareunia (rasa nyeri saat berhubungan seks). • Chronic Morbidty

Ditandai dengan gejala kronis lainnya yang dapat menyebabkan kematian.

2. Dampak Psikis

Dampak jangka pendek ditandai dengan: • Disfungsi seksual

• Kauterisasi elektrik klitoris dapat berpengaruh pada psikis yang menghilangka keinginan untuk masturbasi.

• Trauma

Ditandai dengan kilas balik pemikiran perempuan yang dikhitan yang sangat mengganggu.

• Hilangnya rasa percaya diri dilaporkan sebagai efek serius yang dapat terjadi.

Dampak jangka panjang ditandai dengan:

• Timbul perasaan tidak sempurna atau ansietas (rasa khawatir berlebihan mengenai potensi diri).

• Depresi

• Iritabillitas Chronic

(21)

• Frigiditas

Keadaan perempuan yang sulit terangsang bahkan tidak dapat menikmati hubungan seksual.

Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan konflik dalam pernikahannya. Banyak perempuan yang mengalami trauma dengan pengalaman FGM tersebut, tetapi tidak bisa mengungkapkan ketakutan dan penderitaannya secara terbuka (UNFPA, 2011).

2.6 Pandangan Laki-Laki dan Perempuan tentang Khitan Perempuan

Maraknya berbagai isu terkait ketidaksetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan telah melahirkan berbagai perspektif pada ilmu psikologi. Psikologi feminis merupakan salah satu kubu yang meneliti sekaligus mengkaji mengenai kedudukan antara laki-laki dan perempuan di mata sosial. Saparinah Sadli (2002) menjelaskan bahwa feminist perspective atau pendekatan feminis yaitu perspektif yang didasarkan pada suatu kerangka yang mengusulkan bahwa dalam kegiatan penelitian, perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang memiliki potensi atau kemampuan untuk berkembang. Karakteristik perempuan yang dianggap tidak kompeten, lemah, dan tidak mandiri lebih merupakan produk budaya yang meremehkan. Pandangan semacam ini perlu diimbangi dengan adanya gambaran tentang perempuan yang pintar, mandiri, cerdas, berani, mampu mengambil keputusan, sukses, serta etis. Selaras dengan itu, perspektif feminis berharap dapat menghasilkan tindakan untuk mencapai kebenaran dan mengungkap bahwa perempuan menderita bukan atas kesadarannya, melainkan karena kesadaran yang telah dibentuk masyarakat terhadap perempuan (Hayati, 2006).

Berbagai perlakuan yang diterima perempuan menempatkan perempuan sebagai kaum yang tertindas atau subordinasi. Selaras dengan pandangan

(22)

tersebut, berbagai dukungan diberikan dari berbagai kalangan feminis yang menganggap khitan perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan yang mengindikasikan penerimaan masyarakat akan kehadiran seorang perempuan di mata sosial. Amiruddin (2006) mendefinisikan kekerasan simbolik sebagai kekerasan tak kasat mata yang tidak dirasakan sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang dianggap alamiah dan wajar. Aliran feminisme menyebut sebagai falosentrisme yaitu ketika laki-laki mendominasi pengetahuan, bahasa, wacana, tindakan, dan menjadi pusat kriteria segala sesuatu.

Pada penelitian ini, peneliti membagi pembahasan menjadi dua sudut pandang yaitu, secara etic dan emic dalam menanggapi isu khitan perempuan sebagai produk ketidaksetaraan jender. Dalam Young (2005), menjelaskan istilah etic dan emic pertama kali diintroduksi oleh seorang ahli bahasa Kenneth L. Pike tahun 1957, yang berpendapat bahwa alat yang dikembangkan untuk menggambarkan perilaku linguistik dapat disesuaikan dengan uraian tentang perilaku sosial manusia. Emik dan etik berasal dari istilah linguistik yaitu fonemik dan fonetik, yang berasal dari bahasa Yunani. Pike mengusulkan dikotomi emik-etik dalam penelitian sebagai cara untuk mengurai seputar isu-isu filosofis tentang objektivitas.

Etic merupakan gagasan atau perspektif individu yang tidak memiliki pengalaman dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Peneliti etic dapat pula disebut sebagai outsider. Dengan kata lain, menggunakan sudut pandang etic berarti peneliti dapat memposisikan diri sebagai bagian luar dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Sedangkan emic merupakan perspektif individu berupa pengalaman pribadi dan juga dialami masyarakat atau budaya tertentu. Peneliti emic dapat disebut sebagai insider (Young, 2005).

(23)

Melalui sudut pandang emic berarti peneliti memposisikan diri sebagai pengamat dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kata lain, emik mengacu pada pandangan partisipan yang dikaji, sedangkan etik mengacu pada pandangan si peneliti. Konsep emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna bagi partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Sedangkan, konsep etik merupakan deskripsi dan analisa yang dilakukan berupa konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh pihak luar sebagai komunitas ilmiah yang kritis.

Kedua sudut pandang tersebut digunakan dalam penelitian ini agar peneliti dapat memposisikan diri secara fleksibel guna mendapatkan pengalaman dari masing-masing partisipan dan juga mengetahui sikap jender satu sama lain terkait khitan pada perempuan. Beberapa tokoh Islam seperti Muhammad & Kodir (2001) mengatakan bahwa khitan perempuan merupakan suatu perlakuan yang menyakitkan yang harus diterima oleh kaum perempuan dan lingkungan justru memberikan banyak kesempatan serta kepuasan seksual mereka secara optimal. Sebagai etic, pandangan tersebut diberikan oleh kaum laki-laki dalam menanggapi spekulasi khitan yang dikenakan terhadap perempuan.

Selaras dengan pernyataan tersebut, dari sudut pandang emic sekaligus kaum perempuan yaitu Murniati (2004), mengatakan bahwa khitan perempuan merupakan produk dari suatu pelabelan kaum perempuan yaitu berupa mahluk yang pasif, lemah, serta emosional. Dengan kodrat seperti itu, perempuan kerap menjadi sasaran kekerasan baik fisik, psikis, maupun seksual.

(24)

BAB 3

METODE PENELITIAN

(25)

3.1 Definisi Operasional

Bab ini akan menjelaskan metode penelitian yang mencakup definisi operasional variabel penelitian, subyek penelitian, desain penelitian, lokasi penelitian, instrumen penelitian selama penelitian berlangsung. 

3.1.1 Sikap

Indikator sikap adalah aspek-aspek yang dijadikan sebagai penentu kecenderungan individu dalam melakukan evaluasi terhadap obyek sikap yaitu praktik khitan perempuan. Pada penelitian ini sikap mengarah pada pilihan setuju dan tidak setuju.

• Kognisi (Cognitive)

Komponen yang mencakup penerimaan informasi dari lingkungan melalui panca indra, memprosesnya, mengenali yang dipersepsikan, membandingkannya dengan data yang telah dimiliki, mengklasifikasikan, menyimpan dalam ingatan, serta menggunakannya dalam merespons rangsangan.

• Afeksi (Affective)

Indikator yang mewakili perasaan dan emosi individu mengenai fenomena praktik khitan pada perempuan.

• Perilaku (Behavior)

Indikator yang mewakili penilaian yang menjelaskan mengenai kecenderungan tindakan individu terhadap objek sikap yang dipengaruhi oleh masa lalu.

(26)

3.1.2 Praktik Khitan Perempuan

Praktik khitan perempuan adalah segala prosedur yang dilakukan dengan membuang seluruh maupun sebagian alat kelamin perempuan, atau melukai organ kelamin perempuan baik untuk alasan budaya, agama, maupun alasan non-therapeutic lainnya.

3.1.3 Laki-laki dan Perempuan

Relasi seksual adalah hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada tuntutan dan kategori biologis.

3.2 Subyek Penelitian

Fokus subjek dalam penelitian ini adalah penduduk yang berdomisili di Jakarta.

3.2.1 Populasi

Populasi merupakan semua bagian atau anggota dari objek yang akan diamati, dapat berupa orang, benda, objek, atau peristiwa (Eriyanto, dkk, 2007). Menurut Mustafa (2000), populasi adalah unsur atau elemen yang akan diteliti dan memiliki jumlah yang banyak. Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat yang berdomisili di Provinsi DKI Jakarta.

3.2.2 Sampel

Sesuai dengan New Research Paradigm, wujud penelitian yang diwarnai oleh perspektif psikologi feminis, para pihak yang menjadi responden dalam penelitian disebut sebagai partisipan. Partisipan dalam penelitian ini mencakup jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berdomisili di Jakarta.

(27)

Dalam Atmowiloto (2006), Budiyanta mengemukakan ciri khas kedudukan laki-laki dan perempuan di mata sosial.

1. Laki-laki

Laki-laki sering diidentikkan sebagai golongan kelas atas atau superior, sehingga memiliki pilihan mandiri yang diakui dan menjadi prioritas dalam lingkungan sosial.

2. Perempuan

Perempuan sering diindentikkan sebagai golongan kelas bawah atau inferior dalam lingkungan sosial, sehingga membawa dampak bagi perempuan yaitu perlakukan kurang adil atau diskriminasi dalam menentukan peran dan posisi dibandingkan kaum laki-laki (Nasaruddin Umar, 2010)

Penentuan jumlah partisipan dalam riset ini didasarkan pada pendapat Guilford (dalam Indria dan Nindyati, 2007) yang menjelaskan kriteria penentuan jumlah sampel dalam populasi yang besar, yaitu dengan jumlah yang tidak kurang dari tiga puluh sampel dari populasi. Adapun jumlah laki-laki dan perempuan yang menjadi target penyebaran kuesioner dalam penelitian ini sejumlah seratus partisipan, dengan rincian laki-laki sebanyak lima puluh partisipan dan jumlah perempuan sebanyak lima puluh partisipan.

3.2.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan secara tidak acak atau non-probability sampling dengan jenis pengambilan sampling yaitu Coincidence/Incidental sampling. Coincidence/Incidental sampling merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan faktor kemudahan, dengan kata lain siapa saja yang secara

(28)

tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan sesuai dengan karakteristik sampel penelitian, maka orang tersebut dapat dijadikan sebagai sampel atau responden (Riduwan, 2008).

3.2.4 Karakteristik Partisipan

Karakteristik partisipan dalam penelitian ini yaitu laki-laki dan perempuan berusia 20 hingga 40 tahun. Dalam Lahey (2007), Erikson mengelompokkan individu berdasarkan tahap perkembangan masing-masing usia. Erikson menjelaskan individu berusia 20 hingga 40 tahun telah memasuki fase dewasa muda (young adulthood) yaitu ketika individu telah dapat berfikir secara kritis (cognitive development), memiliki kepekaan terhadap perasaan dengan sesama (emotional development), serta dapat membuat keputusan mandiri yang mengarah pada kecenderungan perilaku (social development). Oleh karena itu, peneliti memasukkan kriteria usia 20 hingga 40 tahun (young adulthood) dengan asumsi bahwa fase usia tersebut merupakan fase terbaik dalam menentukan sikap secara mandiri, baik dari sudut pandang kognisi, emosi, maupun perilaku sosial.

3.3 Desain Penelitian

Kumar dalam Seniati, Yulianto dan Setiadi (2009), mengelompokkan jenis-jenis penelitian berdasarkan tiga perspektif, yaitu.

3.3.1 Perspektif Tipe Informasi

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kuantitatif berupa desain survei melalui kuesioner sikap. Kuesioner sikap pada penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sikap subyek penelitian terhadap praktik khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan.

(29)

3.3.2 Perspektif Tujuan

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif untuk mengungkap fenomena serta menganalisa permasalahan pemberlakuan praktik khitan pada perempuan yang mengandung unsur kekerasan yang masih sangat jarang untuk diangkat dan dibahas di lingkungan masyarakat.

3.3.3 Perspektif Aplikasi

Penelitian ini merupakan penelitian murni (basic research) guna memahami sikap partisipan penelitian terhadap praktik khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan, serta perbedaan pembentukan dan implikasi sikap terhadap kognisi, afeksi, dan perilaku pada laki-laki dan perempuan.

3.4 Lokasi

Lokasi dalam penelitian ini meliputi lokasi dan waktu penelitian, yang dijelaskan sebagai berikut.

3.4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Jakarta dengan partisipan yang berdomisili di wilayah Jakarta. Dalam pengumpulan data, peneliti berpindah dari suatu wilayah ke wilayah Jakarta lainnya (coincidence/incidental sampling).

3.4.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan studi pustaka, mempersiapkan proposal penelitian, uji coba pengambilan data (try out), pengambilan data lapangan,

(30)

hingga penyusunan laporan akhir. Pengerjaan penelitian ini dilakukan selama 5 bulan yaitu sejak September 2011 hingga Januari 2012. Pengambilan data dilakukan selama 1 bulan, yaitu pengambilan data untuk try out dilakukan pada awal bulan Desember 2011 dan pengambilan data untuk penelitian dilakukan pada pertengahan bulan Desember 2011.

3.5 Prosedur Penelitian dan Pengukuran

Prosedur dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap yaitu persiapan penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, dan tahap penyajian hasil penelitian yang dijelaskan sebagai berikut.

3.5.1 Persiapan Penelitian

Tahap persiapan penelitian dimulai dengan menentukan topik, menentukan desain penelitian, menentukan subjek penelitian, kemudian tahap penentuan instrumen penelitian dan diakhiri dengan uji coba alat ukur (pilot study) guna menguji validitas-reabilitas alat ukur.

3.5.1.1 Penentuan Topik, Desain Penelitian, Subjek Penelitian

Penentuan topik, desain penelitian, dan subjek penelitian dilakukan dengan mencari literatur-literatur yang mendukung diadakannya penelitian ini. Penentuan topik dilakukan dengan mencari tahu fenomena atau permasalahan yang terjadi di sekitar ruang lingkup masyarakat sosial. Setelah mengetahui rumusan masalah, kemudian dilakukan desain penelitian yang digunakan sebagai acuan pengerjaan dan pengolahan penelitian. Pada tahap persiapan penelitian ini, peneliti menentukan laki-laki dan perempuan berusia 20 hingga 40 tahun yang berdomisili di Jakarta sebagai partisipan penelitian. Penentuan partisipan penelitian dimaksudkan

(31)

agar dapat menjadi patokan langkah berikutnya dalam menentukan instrumen penelitian.

3.5.1.2 Penentuan Instrumen Penelitian dan Uji Coba Alat Ukur

Penentuan instrumen penelitian dilakukan dengan cara membuat dan menguji coba alat ukur sikap yaitu Afrigthea Ragieltrinanda’s Scale of Acceptance on Clitoridectomy (ARt-SAC). Art-SAC diadaptasi dari tiga komponen yang dibuat oleh Banaji & Heiphetz (2010) yang ditujukan untuk melihat gambaran pola sikap individu dengan memperhatikan tiga komponen indikator penting didalamnya yaitu, indikator kognisi (cognitive), indikator Afeksi (affective), dan indikator perilaku (behavior).

Indikator sikap pada ARt-SAC menggunakan bentuk dikotomi yang menyatakan pilihan setuju dan tidak setuju mengenai kondisi yang paling menggambarkan diri partisipan saat ini. ARt-SAC terdiri dari tiga indikator (kognisi, afeksi, perilaku) dengan total pernyataan berjumlah tiga puluh item. Terdiri dari sepuluh item penyataan untuk indikator kognisi (cognition), sepuluh item pernyataan untuk indikator afeksi (affection), serta sepuluh item pernyataan untuk indikator perilaku (behavior).

Rincian mengenai item-item yang yang digunakan dalam uji coba (try out) alat ukur sikap ARt-SAC, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. 3.5.1.2. Item untuk uji coba (try out) ARt-SAC Indikator Item Favorable Item Unfavorable Jumlah Item Cognitive 1,4,7,10,13,16, 28 19,22,25 10

Try Out Affective 2,8,11,23,26,17 5,14,21,29 10 Behavior 9,12,15,18,24, 3,6,20,27 10

(32)

30

Total 19 11 30 Sumber: Hasil Pengolahan Data.

3.5.1.3 Uji Validitas dan Reliabilitas

Untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur sikap, peneliti meminta bantuan dosen pembimbing Reza Indragiri Amriel sebagai expert judgement untuk memeriksa item-item yang dianggap tidak sesuai dengan konstruk alat ukur. Setelah mendapatkan hasil dari expert judgement, lalu peneliti melakukan uji coba (try out) kepada tiga puluh partisipan, yaitu laki-laki sejumlah lima belas partisipan dan perempuan sejumlah lima belas partisipan. Uji coba alat ukur dilakukan pada tanggal 12 Desember 2011 kepada tiga puluh partisipan yang berdomisili di Jakarta. Setelah data terkumpul, data tersebut diolah dengan menggunakan SPSS 19.0.

Data dari variabel sikap berupa data ordinal, yaitu adanya tingkatan ketika satu nilai data yang satu lebih tinggi dibandingkan dengan data yang lain, tetapi tidak diketahui jarak antar nilai data dan tidak menyiaratkan jarak atau nilai yang sama antar tingkatan tersebut. Oleh karena itu, pengujian validitas menggunakan uji korelasi Spearman. Uji korelasi Spearman merupakan alat ukur untuk menguji variabel data yang berskala ordinal. Nilai korelasi Spearman disimbolkan “ρ” dengan nilai korelasi berada diantara -1 ≤ ρ ≤ 1. Bila nilai = 0, maka tidak terdapat korelasi atau tidak ada hubungan antara variabel independen dan dependen (Martono, 2010). Uji validitas item dilakukan dengan cara mengkorelasikan masing-masing skor item dengan skor total item (Priyatno, 2011). Semakin tinggi nilai koefisien korelasinya, maka semakin valid item tersebut.

(33)

Kekuatan hubungan atau nilai korelasi yang terjadi antara skor item dan skor total, dapat dilihat dari tabel nilai dan makna korelasi Spearman (dalam Martono, 2010), yaitu.

• 0 , 0 0

– 0,19 : Sangat Rendah / Sangat Lemah • 0,20 – 0,39 : Rendah / Lemah

• 0,40 – 0,59 : Sedang • 0,60 – 0,79 : Tinggi / Kuat

• 0,80 – 1,00 : Sangat Tinggi / Sangat Kuat

Berikut hasil uji validitas alat ukur sikap ARt-SAC dengan menggunakan uji validitas Spearman

Tabel 3.5.1.3 Hasil Uji Korelasi Uji Coba Per Indikator ARt-SAC

Sumber: Hasil Pengolahan Data.

Secara keseluruhan setiap indikator sikap memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi dengan total skor dari semua indikator, ini menunjukkan bahwa alat ukur sikap (ARt-SAC) valid dan dapat digunakan. Meskipun demikian, terdapat juga beberapa item yang harus dihapus karena nilai item

Indikator Koefisien Korelasi Nilai Spearman’s Rho

Cognitive 0,868 Sangat Tinggi

Affective 0,912 Sangat Tinggi

(34)

dari indikator sangat rendah atau sangat lemah. Dari 30 item yang ada, terhapus 8 item saat pengujian validitas dengan menggunakan uji Spearman. Sehingga, jumlah item untuk alat ukur sikap adalah 22 item.

Tabel 3.5.1.3 Item untuk Pengambilan Data ARt-SAC

S

umber: Hasil Pengolahan Data.

Nilai reliabilitas alat ukur ARt-SAC sebelum dan setelah item dihapus, dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.5.1.3 Hasil Uji Reliabilitas ARt-SAC

Sumber: Hasil Pengolahan Data.

Dari hasil uji reliabilitas alat ukur, didapatkan nilai reliabilitas > 0.80, yang artinya reliabilitas alat ukur tergolong tinggi. Klasifikasi nilai reliabilitas yang diperoleh, didapatkan berdasar pada nilai klasifikasi milik Guilford

Indikator Item

Favorable Unfavorable Item Jumlah Item Cognitive 1,4,7,10,13, 15 17,21 8 Pengambilan Data Affective 2,8,9,18,20 5,11 7 Behavior 12,14,19,22, 3,6,16 7 Total 15 8 22

N of Items Nilai Reliabilitas Sebelum Item

Dihapus 30 0,923

Setelah Item Dihapus

(35)

(dalam Indria dan Nindyati, 2007), yaitu nilai reliabilitas 0.70 - 0.89 termasuk dalam nilai reliabilitas tinggi. Hasil uji reliabilitas sebesar 0,875 pada alat ukur sikap, dapat dikatakan alat ukur ini valid dan reliabel. Nilai 0,875 menandakan sebanyak 87,5% kebervariasian true score lebih besar dibanding dengan kebervariasian error yaitu sebanyak 12,5%.

3.5.2 Pengumpulan data

Setelah melakukan tahap uji validitas dan reliabilitas alat ukur, peneliti melakukan tahap selanjutnya yaitu pengumpulan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer berupa kuesioner yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya.

Pengumpulan data dilakukan setelah kuesioner disebarkan kepada sebanyak 100 partisipan yaitu, 50 partisipan laki-laki dan 50 partisipan perempuan yang berdomisili di Jakarta. Proses penyebaran dan pengambilan kuesioner dilakukan selama lima hari.

3.5.3 Pengolahan data

Menurut Supardi (2007), pengolahan data terdiri dari tahap editing dan tahap tabulating. Tahap editting pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan dilanjutkan dengan tahap tabulating dengan menggunakan program aplikasi statistik, SPSS 19.0. Pengolahan data dimulai dengan proses editing, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap seratus kuesioner yang telah terkumpul, kemudian melakukan pemeriksaan satu persatu item jawaban yang terdapat pada kuesioner penelitian.

Dari hasil editting, seluruh kuesioner memiliki jawaban yang lengkap dan tidak ditemukan adanya kuesioner yang tidak lengkap. Setelah

(36)

mengetahui hasil editting, peneliti melakukan tabulating. Pada tahap tabulating, keseluruhan kuesioner diskor sesuai dengan skala yang telah ditentukan yaitu skala ordinal. Untuk pilihan yang menunjukkan persetujuan atau setuju terhadap khitan perempuan memiliki nilai skor “0”. Untuk pilihan yang menunjukkan tidak setuju atau menolak khitan perempuan memiliki nilai skor “1”. Begitu pula sebaliknya pada pilihan item unfavorable.

Setelah memberikan skor untuk tiap-tiap item, data yang telah dikelompokkan dalam tabel indikatornya masing-masing dengan menggunakan program SPSS 19.0 untuk dianalisa secara statistik deskriptif.

3.5.4 Penyajian hasil penelitian

Setelah melakukan pengolahan data, tahap selanjutnya adalah penyelesaian penelitian. Tahap penyelesaian penelitian ini merupakan tahap dimana peneliti melakukan penulisan laporan penelitian, yaitu merangkum dan menyimpulkan hasil data yang telah didapatkan dari hasil analisis. Hasil kesimpulan yang didapatkan akan menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelum penelitian dilakukan dan hasil penelitian dikaitkan ke bab dua serta diperkaya dengan telaah dari beberapa disiplin non psikologi.

             

(37)

            BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

4.1 Hasil Pengukuran Sikap ARt-SAC

Setelah data terkumpul, kemudia peneliti melakukan uji deskriptif pada program SPSS 19.0 guna melihat gambaran serta penyebaran skor dan juga melakukan analisa dari jawaban partisipan yang telah terkumpul melalui alat ukur sikap ARt-SAC

Berdasarkan rentang skor, diketahui partisipan yang berada pada skor antara 1 sampai 11 dikatakan memiliki sikap setuju terhadap praktik khitan pada perempuan. Kontras terlihat pada partisipan yang memperoleh skor antara 12 sampai 22 dikatakan memiliki sikap tidak setuju terhadap praktik khitan pada perempuan. Berikut merupakan persentase dan analisa dari perolehan data.

Tabel 4.1 Persentase Hasil Keseluruhan Alat Ukur ARt-SAC Sikap Skor Frekuensi Persentase

(38)

Tidak Setuju 12 – 22 58 58%

Total 100 100%

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Hasil penelitian menunjukkan sebesar 58 (58%) partisipan memiliki sikap tidak setuju terhadap adanya praktik khitan yang dikenakan terhadap perempuan. Sedangkan, sebanyak 42 (42%) partisipan memilih untuk bersikap setuju terhadap adanya praktik khitan yang dikenakan terhadap perempuan. Dengan kata lain, mayoritas partisipan memiliki sikap untuk tidak setuju atau kontra aktif terhadap pemberlakuan khitan pada perempuan.

Guna memperkaya penelitian, berikut peneliti mengelompokkan hasil sikap partisipan kedalam dua kelompok jender yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Tabel 4.1 Persentase Hasil Sikap Berdasarkan Jenis Kelamin Perempuan

Sikap Perempuan Persentase

Setuju 24 48%

Tidak Setuju 26 52%

Total 50 100%

Sumber: Hasil Pengolahan Data.

Hasil penelitian menunjukkan dari sebanyak 50 partisipan perempuan, sebesar 26 (52%) partisipan perempuan memilih sikap untuk tidak setuju adanya pemberlakuan praktik khitan pada perempuan. Kontras dengan perolehan tersebut, sebanyak 24 (48%) partisipan memilih untuk setuju dengan adanya pemberlakuan praktik khitan pada perempuan.

(39)

Dengan kata lain, mayoritas partisipan dengan jenis kelamin perempuan tidak setuju atau kontra aktif terhadap diberlakukannya praktik khitan pada perempuan (female genital mutilation).

Selaras dengan sikap partisipan perempuan, diketahui hasil sikap partisipan pada jenis kelamin laki-laki sebagai berikut.

Tabel 4.1 Persentase Hasil Sikap Berdasarkan Jenis Kelamin Laki-laki

Sikap Laki-laki Persentase

Setuju 18 36%

Tidak Setuju 32 64%

Total 50 100%

Sumber: Hasil Pengolahan Data.

Hasil penelitian menunjukkan dari sebanyak 50 partisipan laki-laki, tercatat sebanyak 18 (36%) partisipan laki-laki memilih sikap untuk tidak setuju dengan pemberlakuan praktik khitan pada perempuan. Kontras terhadap perolehan tersebut, diketahui sebanyak 32 (64%) partisipan lainnya memilih sikap untuk setuju atas diberlakukannya praktik khitan pada perempuan.

Dengan kata lain, mayoritas partisipan dengan jenis kelamin laki-laki memilih untuk tidak setuju atau kontra aktif terhadap diberlakukannya praktik khitan pada perempuan (female genital mutilation).

4.2 Hasil Pengukuran Indikator ARt-SAC

Berdasarkan data partisipan yang telah terkumpul, peneliti melakukan uji deskriptif melalui program SPSS 19.0 untuk melihat gambaran penyebaran skor dari tiap-tiap indikator pada alat ukur sikap ARt-SAC.

(40)

4.2.1 Hasil Indikator ARt-SAC pada Perempuan

Hasil penelitian menjelaskan, dari 50 partisipan perempuan sebanyak 26 (52%) partisipan perempuan memilih sikap untuk tidak setuju terhadap pemberlakuan praktik khitan pada perempuan. Berikut merupakan skor pengukuran berdasarkan masing-masing indikator ARt-SAC.

Tabel 4.2.1 Hasil Indikator ARt-SAC pada Perempuan yang Tidak Setuju Praktik Khitan Perempuan

Partisipan Total skor

Skor Per Indikator

Kognisi Afeksi Perilaku 1 21 8 7 6 2 21 8 7 6 3 21 8 7 6 4 19 8 6 5 5 19 8 6 5 6 19 6 7 6 7 18 6 7 5 8 18 5 7 6 9 18 5 7 6 10 18 6 6 6 11 18 7 5 6 12 18 5 6 7 13 18 6 6 6 14 18 8 4 6 15 17 7 4 6 16 17 7 5 5

(41)

17 17 5 5 7 18 16 5 4 7 19 16 5 5 6 20 16 6 5 5 21 16 5 5 6 22 15 5 5 5 23 15 6 6 3 24 15 5 4 6 25 15 4 5 6 26 15 4 4 7

Total Skor per Indikator 158 145 151

Sumber: Hasil Pengolahan Data.

Tabel diatas menunjukkan bahwa indikator kognisi (cognitive) pada partisipan perempuan memiliki total skor terbesar dengan jumah 158. Ini menunjukkan bahwa partisipan perempuan memiliki keyakinan dan pemikiran bahwa khitan tidak pantas untuk dikenakan terhadap perempuan. Sedangkan, jumlah total skor pada indikator afeksi (affective) sebanyak 145. Ini menunjukkan bahwa 26 (52%) partisipan perempuan memiliki kepekaan emosi dan perasaan yang baik dalam menanggapi spekulasi fenomena pemberlakuan khitan pada perempuan. Sama halnya dengan indikator perilaku (behavior) yang memiliki total skor sebanyak 151. Ini menandakan bahwa mayoritas partisipan perempuan yang menjadi sampel penelitian menunjukkan perilaku tidak setuju terhadap female genital mutlation.

Selain dari sikap partisipan perempuan yang setuju, diketahui sebanyak 24 (48%) partisipan perempuan memilih sikap setuju terhadap pemberlakuan

(42)

praktik khitan pada perempuan. Berikut merupakan skor pengukuran berdasarkan masing-masing indikator ARt-SAC

Tabel 4.2.1 Hasil Indikator ARt-SAC pada Perempuan yang Setuju Praktik Khitan Perempuan

Partisipan Total skor

Skor Per Indikator

Kognisi Afeksi Perilaku

1 10 3 3 4 2 9 4 4 1 3 8 4 3 1 4 7 3 2 2 5 6 2 1 3 6 6 2 3 1 7 5 1 3 1 8 5 2 2 1 9 4 2 2 0 10 4 2 2 0 11 4 1 2 1 12 4 1 2 1 13 4 2 1 1 14 3 1 1 1 15 3 1 2 0 16 3 2 0 1 17 3 1 1 1 18 3 2 1 0 19 1 0 1 0

(43)

20 1 0 0 1

21 1 0 0 1

22 1 0 0 1

23 1 0 1 0

24 1 0 0 1

Total Skor per Indikator 36 37 24

Sumber: Hasil Pengolahan Data.

4.2.2 Hasil Indikator ARt-SAC pada Laki-laki

Hasil penelitian menjelaskan, dari 50 (50%) partisipan laki-laki sebanyak 32 (64%) partisipan laki-laki memilih sikap untuk tidak setuju terhadap pemberlakuan praktik khitan pada perempuan. Berikut merupakan skor pengukuran berdasarkan masing-masing indikator ARt-SAC.

Tabel 4.2.2 Hasil Indikator ARt-SAC pada Laki-laki yang Tidak Setuju Praktik Khitan Perempuan

Partisipan Total skor

Skor Per Indikator

Kognisi Afeksi Perilaku 1 22 8 7 7 2 22 8 7 7 3 22 8 7 7 4 21 8 7 6 5 21 8 7 6 6 21 7 7 7 7 20 8 6 6 8 20 6 7 7

(44)

9 20 6 7 7 10 19 6 6 7 11 19 6 6 7 12 19 6 7 6 13 19 7 6 6 14 18 6 6 6 15 18 7 5 6 16 18 6 6 6 17 18 6 5 7 18 17 7 6 4 19 17 6 5 6 20 17 6 6 5 21 17 6 6 5 22 17 6 6 5 23 16 8 5 3 24 16 7 5 4 25 16 7 7 2 26 16 6 4 6 27 16 6 5 5 28 16 6 5 5 29 15 6 5 4 30 15 5 5 5 31 15 5 5 5 32 15 7 5 3

(45)

Sumber: Hasil Pengolahan Data.

Tabel diatas menunjukkan bahwa indikator kognisi (cognitive) pada partisipan laki laki memiliki total skor terbesar dengan jumah 211. Ini menunjukkan bahwa partisipan laki-laki memiliki keyakinan dan pemikiran bahwa khitan tidak pantas untuk dikenakan terhadap perempuan. Sedangkan, jumlah total skor pada indikator afeksi (affective) sebanyak 189. Ini menunjukkan bahwa 36 (64%) partisipan laki-laki memiliki kepekaan emosi dan perasaan yang baik dalam menanggapi spekulasi fenomena pemberlakuan khitan pada perempuan. Sama halnya dengan indikator perilaku (behavior) yang memiliki total skor sebanyak 178. Ini menandakan bahwa mayoritas partisipan laki-laki yang menjadi sampel penelitian menunjukkan perilaku tidak setuju terhadap female genital mutlation.

Selain dari sikap partisipan laki-laki yang setuju, diketahui sebanyak 18 (36%) partisipan laki-laki memilih sikap setuju terhadap pemberlakuan praktik khitan pada perempuan. Berikut merupakan skor pengukuran berdasarkan masing-masing indikator ARt-SAC.

Tabel 4.2.2 Hasil Indikator ARt-SAC pada Laki-laki yang Setuju Praktik Khitan Perempuan

Partisipan Total skor

Skor Per Indikator

Kognisi Afeksi Perilaku 1 10 4 4 2 2 10 5 1 4 3 10 2 3 5 4 9 4 1 4 5 9 0 4 5

(46)

6 9 6 3 0 7 8 0 4 4 8 7 1 2 4 9 7 3 2 2 10 6 3 2 1 11 4 1 2 1 12 4 1 2 1 13 4 1 2 1 14 4 0 1 3 15 3 0 2 1 16 3 0 2 1 17 3 1 2 0 18 1 0 0 1

Total Skor per Indikator 32 39 40

Sumber: Hasil Pengolahan Data

4.3 Pandangan Emic dan Etic tentang Khitan Perempuan

Peneliti memunculkan beberapa pertanyaan sebagai gagasan yang mengarah pada penelitian berikutnya.

Berikut pertanyaan yang diangkat terkait penelitian berikutnya.

1. Mengapa laki-laki yang dianggap sebagai golongan superior memiliki sikap tidak setuju dengan pemberlakuan praktik khitan pada perempuan yang mengandung unsur kekerasan?

(47)

Sebagian besar kalangan feminis menilai kaum laki-laki memiliki pandangan non-konservatif. Pandangan tersebut dinilai kolot karena masih melestarikan dan mempertahankan budaya kuno yang justru mengibatkan dampak negatif bagi perempuan. Pelestarian budaya tersebut dipicu oleh adanya pelabelan sosial (social constructivism) yang hanya dapat dibentuk oleh pihak laki-laki. Dengan kata lain, pantas atau tidak pantas sesuatu yang akan dikenakan pada tubuh perempuan bergantung pada keputusan dari pihak laki-laki. Akan tetapi, dalam penelitian ini ditemukan jawaban yang berbeda bahwa laki-laki yang dinilai sebagai penentu atas tubuh perempuan, justru memilih sikap tidak setuju atas praktik khitan perempuan. Guna menjawab fenomena tersebut, diharapkan peneliti berikutnya dapat memunculkan ide, analisa, serta pembahasan yang lebih mendalam guna mendapatkan jawaban penelitian yang kritis.

2. Apakah temuan yang sama juga akan didapat jika populasi penelitian adalah masyarakat rural?

Hasil penelitian menunjukkan, dari seratus partisipan di Jakarta yang menjadi sampel penelitian, ditemukan lima puluh delapan partisipan (laki-laki dan perempuan) memilih sikap tidak setuju atau menolak adanya praktik khitan pada perempuan. Dengan mengarahkan penelitian berikutnya pada populasi masyarakat rural, diharapkan dapat memberikan berbagai jawaban yang mendukung penelitian ini.

Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan diatas diharapkan dapat memunculkan berbagai temuan ilmiah serta analisa yang lebih mendalam guna

(48)

mendukung dan melanjutkan penelitian terkait sikap jender terhadap praktik khitan pada perempuan.

4.3.1 Pandangan Emic tentang Khitan Perempuan

Istilah emic dan etic pertama kali diperkenalkan oleh ahli bahasa Kenneth L. Pike. Pike berpendapat bahwa alat yang dikembangkan untuk menggambarkan perilaku linguistik perlu disesuaikan dengan uraian tentang perilaku sosial manusia (Young, 2005). Emic merupakan deskripsi tentang perilaku atau keyakinan sebagai bagian (insider) dari suatu individu atau kelompok. Sedangkan etic adalah gambaran tentang perilaku atau kepercayaan peneliti sebagai bagian luar (outsider) dari suatu individu atau kelompok. Dengan kata lain, dalam perspektif emic, peneliti lebih mengutamakan subyektifitas terkait suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Sedangkan, dalam perspektif etic peneliti lebih mempertahankan obyektifitas dalam mendeskripsikan dan menganalisa secara konseptual sehingga dianggap bermakna oleh pihak luar sebagai komunitas ilmiah yang kritis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, diketahui sebanyak 58 (58%) partisipan memilih sikap untuk tidak setuju dikenakannya khitan yang mengandung unsur kekerasan pada perempuan. Sementara, sebanyak 42 (42%) partisipan laki-laki dan perempuan memilih untuk setuju adanya pemberlakuan praktik khitan terhadap perempuan yang tidak mengandung unsur kekerasan.

Menurut perspektif emic, secara manusiawi setiap perempuan memiliki hak untuk melakukan definisi ulang terkait sesuatu yang pantas maupun tidak pantas yang akan dikenakan pada tubuh perempuan sama halnya seperti kaum laki-laki. Pandangan seperti ini terlihat dari hasil penelitian yang

(49)

menunjukkan bahwa hasil indikator kognisi (cognitive) pada partisipan perempuan yang tidak setuju atas pemberlakuan khitan perempuan yang memngandung unsur kekerasan yang memiliki jumlah total skor terbesar yaitu sebanyak 158 skor dibandingkan dengan total skor indikator afeksi (affective) dan perilaku (behavior). Ini membuktikan bahwa hampir sebagian besar partisipan perempuan memiliki kemampuan proses kognisi dan daya analisa yang tinggi dibandingkan dengan proses afeksi dan perilaku.

Merujuk pada teori Banaji & Heiphetz (2010) (dalam Bernstein, dkk) mendefinisikan komponen kognisi (cognitive) sebagai proses berpikir indiividu dalam menerima informasi dari lingkungan melalui alat indra, memprosesnya, mengenali yang dipersepsikan, membandingkannya dengan data yang telah dimiliki, mengklasifikasikannya, dan menyimpannya dalam ingatan serta menggunakannya dalam merespons rangsangan.

Merujuk teori Banaji & Heipetz (2010) dapat dilihat pada bagan berikut.

Dengan kata lain, sebagian besar partisipan perempuan mampu memproses informasi mengenai fenomena pemberlakuan khitan pada perempuan, yang kemudian membentuk sebuah persepsi bahwa khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan merupakan tindakan yang dianggap tidak sejalan dengan pola pikir perempuan. Persepsi tersebut diteruskan dengan membandingkan adanya perbedaan antara hak yang seharusnya diterima oleh perempuan dengan perlakuan yang justru diterima

Informasi  Memproses  Mempersepsikan  Membandingkan 

Mengklasifikasikan  Menyimpan

(50)

oleh perempuan. Fase terakhir yaitu ketika perempuan dapat dengan baik menyimpan ingatan yang dimunculkan sebagai respon berupa sikap tidak setuju atau menolak praktik khitan pada perempuan yang mengandung unsur kekerasan.

Sama halnya pada indikator afeksi, yang menunjukkan bahwa mayoritas partisipan perempuan sangat peka terhadap perlakuan praktik khitan yang melambangkan diskriminasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ini selaras melalui perilaku (behavior) partisipan perempuan yang cenderung memiliki sikap untuk menolak praktik khitan dan tidak akan meneruskan budaya khitan tersebut.

Disamping itu, kecenderungan perempuan menolak khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan telah lama dapat dilihat dari sejumlah aksi perempuan Somalia yang telah banyak melarikan diri ke negara lain bahkan beberapa perempuan lainnya masih terus berusaha untuk meloloskan diri dari praktik khitan perempuan (Amnesty International, 2011).

Pada kenyataannya, praktik khitan di Indonesia tidak sebrutal seperti praktik khitan pada berbagai negara seperti Afrika dan negara bagian lainnya seperti Kenya dan Somalia. Akan tetapi, dampak atau implikasi yang sama telah banyak dirasakan oleh perempuan diberbagai negara salah satunya Indonesia. Ini merupakan salah satu alasan yang membuat mayoritas partisipan perempuan pada penelitian ini tidak setuju atau menolak pemberlakuan khitan pada perempuan.

Kendati demikian, mayoritas partisipan perempuan sebanyak 26 orang memilih untuk setuju terhadap pemberlakuan praktik khitan yang membawa manfaat terlebih bagi partisipan perempuan yang notabene beragama Islam. Dalam perspektif emic, perempuan Islam menganggap khitan perempuan

(51)

merupakan suatu tindakan yang mulia (makrumah). Mengacu dari hadits Nabi SAW, Ummu Athiyah R.A. menjelaskan peringatan kepada juru khitan perempuan untuk menghindari kerugian (mudharat). Kerugian (mudharat) yaitu jaminan untuk tidak berlebihan dengan tidak merusak organ vital, dan membiarkan sesuatu yang menjadi kenikmatan seksual perempuan ketika berhubungan intim dengan suaminya. Bila khitan perempuan ternyata bermanfaat bagi perempuan, maka dalilnya dapat menjadi wajib. Namun, jika justru menimbulkan kerugian, maka dalil khitan perempuan menjadi haram untuk dilaksanakan (Muhammad, 2007). Dengan kata lain, relatif ataupun situasional dimensi aksiologis praktik khitan itu sendiri.

4.3.2 Pandangan Etic tentang Khitan Perempuan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada sebanyak lima puluh partisipan laki-laki. Didapat bahwa sebanyak 32 (64%) partisipan memilih untuk tidak setuju terhadap pemberlakuan praktik khitan pada perempuan yang mengandung unsur kekerasan. Jumlah total skor per indikator yang diperoleh yaitu sebesar 211 pada indikator kognisi (cognitive), sebesar 189 pada indikator afeksi (affective), dan sebesar 178 pada indikator perilaku (behavior).

Dalam perspektif etic, secara konservatif partisipan laki-laki mengakui bahwa setiap individu memiliki hak untuk melakukan definisi ulang terkait sesuatu yang pantas maupun tidak pantas yang akan dikenakan pada tubuh masing-masing individu. Pandangan seperti ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hasil indikator kognisi (cognitive) pada partisipan laki-laki yang tidak setuju atas pemberlakuan khitan perempuan memiliki jumlah total skor terbesar yaitu sebanyak 211 skor dibandingkan dengan total skor indikator afeksi (affective) dan perilaku (behavior). Hasil penelitian juga

(52)

menunjukkan bahwa perolehan total skor kognisi (cognitive) pada partisipan laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan perolehan total skor kognisi (cognitive) pada partisipan perempuan.

Secara pragmatis, laki-laki memandang khitan perempuan (female genital mutilation) sebagai suatu perlakuan yang tidak layak yang mengandung unsur kekerasan untuk dikenakan kepada perempuan yang notabene banyak membawa dampak negatif bagi banyak perempuan. Pandangan seperti ini sesuai dengan teori perkembangan Erikson (dalam Lahey, 2005) yang menjelaskan bahwa usia 20 hingga 40 tahun (young adulthood) merupakan fase ketika seorang individu telah dapat berfikir secara rasional, kritis, dan mandiri atau yang disebut sebagai perkembangan kognitif (cognitive development).

Kendati demikian, sebanyak 18 partisipan laki-laki memilih untuk setuju dengan pemberlakuan praktik khitan perempuan yang tidak mengandung unsur kekerasan. Pemikiran seperti ini didasari dengan merujuk dari beberapa hadits dalam agama Islam dan acuan khitan perempuan yang layak untuk dikenakan kepada tubuh perempuan. Dengan kata lain, 16 partisipan laki-laki setuju dengan khitan perempuan yang mengikuti prosedur kesehatan dan membawa kemuliaan (makrumah).

Tidak adanya penerapan hukum yang jelas di Indonesia dalam melindungi perempuan membuat partisipan laki-laki cenderung menolak praktik khitan perempuan. Kecenderungan partisipan menolak praktik khitan perempuan karena dinilai Pemerintah lalai dalam memperjuangkan hak seksual dan reproduksi perempuan yang seharusnya memberi manfaat sama seperti khitan pada laki-laki. Disamping itu, peraturan baru oleh Menteri Kesehatan (No. 1636/MENKES/PER/XI/2010) tahun 2010 mengenai khitan perempuan dinilai berlawanan dengan langkah pemerintah untuk memperkuat

(53)

kesetaraan jender dan melawan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Peraturan tersebut juga dinilai melanggar sejumlah hukum Internasional maupun hukum di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); Undang-Undang No. 5/1998 tentang ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan (CAT); Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No. 23/2004 tentang Kekerasaan dalam Rumah Tangga; dan Undang-Undang No. 23/2009 tentang Kesehatan (Amnesty International, 2011). Ini juga berlawanan dengan sebuah edaran pemerintah tahun 2006, No. HK.00.07.1.3. 1047a, dari Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, yang secara khusus memperingatkan dampak negatif kesehatan mutilasi kelamin perempuan (Amnesty International, 2011)

Dalam perspektif hukum Internasional, Komite PBB tahun 2008 merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah menghapus segala praktik mutilasi atau pemotongan kelamin perempuan yang berkelanjutan, termasuk melalui berbagai kampanye peningkatan kesadaran dengan bekerjasama dengan berbagai organisasi masyarakat sipil (PBB, 2008).

Berkaitan dengan rekomendasi tersebut, Tahun 2011, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan Convention Againts Torture (CAT) menyatakan kepada pemerintah Indonesia sebagai pihak negara CEDAW dan CAT harus mengambil langkah sebagai prioritas. Pernyataan tersebut berisi antara lain, pertama, pemerintah

(54)

Indonesia harus mencabut peraturan Menteri Kesehatan No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang khitan perempuan. Kedua, memberlakukan kebijakan tertentu melarang berbagai macam praktik khitan perempuan dengan hukuman yang sesuai. Ketiga, melaksanakan kampanye peningkatan kesadaran untuk mengubah persepsi budaya terkait khitan perempuan yang mengandung unsur kekerasan (Amnesty International, 2011).

 

BAB 5

SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

 

Bab ini diawali dengan kesimpulan mengenai hasil penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai hasil penelitian yang berhubungan dengan temuan penelitian. Selain itu, peneliti turut menambahkan saran-saran guna memperkaya penelitian ini.

5.1 Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa baik dan buruk, pantas dan tidak pantas tentang suatu hal yang berhubungan pada diri perempuan dibentuk melalui pelabelan sosial (constructivisme social) yang diputuskan oleh pihak laki-laki.   Terkait hasil penelitian yang telah dilakukan tentang analisis relasi seksual antara laki-laki dan perempuan terhadap praktik khitan perempuan (female genital mutilation), diketahui bahwa sebanyak lima puluh delapan partisipan memiliki sikap tidak setuju atau menolak adanya praktik khitan yang mengandung unsur kekerasan yang dikenakan terhadap perempuan. Sementara sebanyak empat puluh dua partisipan lainnya memiliki sikap setuju

Gambar

Tabel 3.5.1.2  Item untuk uji coba (try out) ARt-SAC  26  Tabel 3.5.1.3  Hasil Uji Korelasi Uji Coba Per Indikator ARt-SAC  28  Tabel 3.5.1.3  Item untuk Pengambilan Data ARt-SAC  29  Tabel 4.1  Persentase Hasil Keseluruhan Alat Ukur ARt-SAC  32  Tabel 4.1
Gambar 2.4.1  Tipe I – Clitoridectomy  11
Gambar 2.4.3 Tipe III – Infibulation  Sumber: Situs Amnesty International.
Tabel 3.5.1.3 Hasil Uji Korelasi Uji Coba Per Indikator ARt-SAC
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Kelurahan yang memiliki luas lahan terbesar yang masuk dalam kelas sangat sesuai yaitu Kelurahan Sorosutan dengan luas 130,94 Ha sedangkan yang paling sedikit yaitu Kelurahan

Imamo tri vrste čunjića koji detektiraju svjetlosno valove različitih valnih duljina što naš vizualni korteks i mozak interpretiraju kao tri osnovne boje plava, zelena i

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan beberapa tahap yaitu isolasi bakteri termofilik dari sumber air panas Rimbo Panti Pasaman dan

CMIFed dapat merubah lingkungan penyajian multimedia yang berisi gabungan komponen multimedia ditambah dengan interaksi pengguna.Berdasarkan pemaparan tersebut, dibangunlah

Berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Negeri Semarang Nomor 14 Tahun 2012 tentang Pedoman Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bagi Mahasiswa Program Kependidikan

Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran.. Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,. Tambahan Lembaran Negara

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Biologi.. Oleh: