• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suhartono dan Raharso (2003) dalam judul Transfer Pelatihan : Faktor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suhartono dan Raharso (2003) dalam judul Transfer Pelatihan : Faktor"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Suhartono dan Raharso (2003) dalam judul Transfer Pelatihan : Faktor Apa yang mempengaruhinya?. Penelitian tersebut mengacu pada penelitian Baldwin & Ford (1988) dan sebagai objek penelitiannya adalah pelatihan yang dilaksanakan oleh Politeknik Negeri Bandung, menggunakan 100 respoden yang terdiri dari pegawai negeri sipil, calon pegawai negeri sipil atau honorer. Menggunakan variabel karakteristik peserta, desain pelatihan, dan lingkungan kerja sebagai variabel bebas sedangkan pembelajaran dan generalisasi/transfer pelatihan sebagai variabel terikat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelatihan yang dilaksanakan olah Politeknik Negeri Bandung kurang berhasil. Hal itu ditunjukkan oleh rendahnya nilai rata-rata keberhasilan peserta dalam mendapatkan pengetahuan dan keahlian dari pembelajaran. Hal yang sama juga ditunjukkan pada variabel generalisasi, pada variabel desain pelatihan juga relatif kurang bagus hal ini ditunjukkan dari responden yang memberi nilai cukup untuk variabel ini. Walaupun ada beberapa kelemahan dari pelatihan yang dilaksanakan oleh Politeknik tersebut, tetapi secara umum lingkungan kerja peserta pelatihan dan kemampuan serta motivasi peserta pelatihan cukup tinggi. Analisis data menggunakan Jalur Path. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang nyata di antara variabel karakteristik peserta, desain pelatihan, dan lingkungan kerja terhadap variabel pembelajaran maupun generalisasi.

(2)

Kustini (2004) meneliti tentang Pengaruh locus of control, orientasi tujuan pembelajaran dan lingkungan kerja terhadap self efficacy dan transfer Pelatihan Karyawan PT. Telkom Kandatel Surabaya Timur. Kustini (2004) melakukan penelitian terhadap 184 pegawai PT. Kandatel Surabaya Timur. Kustini (2004) menggunakan Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM). Keunggulan SEM karena kemampuannya untuk menampilkan sebuah model komprehensif bersamaan dengan kemampuannya untuk mengkonfirmasi dimensi-dimensi dari sebuah kontruk atau faktor serta kemampuannya untuk mengukur pengaruh hubungan secara teoristis. SEM juga dipandang sebagai kombinasi antara analisis faktor (Confirmator Faktor Analysis) dan analisis regresi. Dalam penelitiannya Kustini (2004) menyimpulkan bahwa : (1) locus of control berpengaruh secara signifikan terhadap self efficacy. (2) Orientasi tujuan pembelajaran berpengaruh secara signifikan terhadap self efficacy. (3) lingkungan kerja berpengaruh secara tidak signifikan terhadap self efficacy. (4) Locus of control mempunyai pengaruh secara tidak signifikan terhadap transfer pelatihan. (5) Orientasi tujuan pembelajaran mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap transfer pelatihan. (6) Lingkungan kerja mempunyai pengaruh yang tidak signifikan terhadap transfer pelatihan. (7) Self efficacy berpengaruh secara signifikan terhadap transfer pelatihan.

Glorianto (2005) meneliti dengan judul Analisis Pengaruh Motivasi Mengikuti Pelatihan Dan Peran Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Melalui Orientasi Pembelajaran (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pekalongan). Dalam penelitiannya Glorianto (2005) berhasil membuktikan salah satu hipotesisnya yang menyebutkan bahwa motivasi mengikuti pelatihan

(3)

mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan pada kinerja karyawan.Dengan adanya motivasi yang tinggi dari karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pekalongan untuk mengikuti pelatihan dapat meningkatkan kinerja karyawan. Karyawan dalam melaksanakan tugasnya dapat menghasilkan pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan rencana kerja sehingga target atau rencana penerimaan Kantor Pelayanan Pajak Pekalongan dapat tercapai.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Teori tentang Kinerja Karyawan

Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan, menentukan tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan lain-lain.

Kinerja merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja dengan standar yang diharapkan (Dessler, 2002). Dengan demikian kinerja memfokuskan pada hasil kerjanya. Menurut Siagian (2003) kinerja adalah konsep yang bersifat universal yang merupakan efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan bagian yang berdasar standar dan kriteria yang ditetapkan. Gibson et al. (2000) menyatakan kinerja adalah catatan terhadap hasil produksi dan pekerjaan atau

(4)

aktivitas tertentu. Beberapa faktor yang berperan dalam kinerja antara lain adanya kesimbangan antara pekerja dan lingkungan yang berada didekatnya yang meliputi individu, sumberdaya, kejelasan kerja dan umpan balik. Untuk dapat mengetahui kinerja seseorang atau organisasi, perlu diadakan pengukuran kinerja. Untuk dapat mengetahui kinerja seseorang atau organisasi, perlu diadakan pengukuran kinerja. Menurut Stout (dalam Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah, 2000), pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses. Maksudnya setiap kegiatan organisasi harus dapat diukur dan dinyatakan keterkaitannya dengan pencapaian arah organisasi di masa yang akan datang yang dinyatakan dengan pencapaian visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang dihasilkan akan kurang berarti apabila tidak ada kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi organisasi.

Melalui pengukuran kinerja diharapkan pola kerja dan pelaksanaan tugas pembangunan dan tugas umum pemerintahan akan terlaksana secara efisien dan efektif dalam mewujudkan tujuan nasional. Pengukuran kinerja pegawai akan dapat berguna untuk: (1) mendorong orang agar berperilaku positif atau memperbaiki tindakan mereka yang berada di bawah standar kinerja, (2) sebagai bahan penilaian bagi pihak pimpinan apakah mereka telah bekerja dengan baik, dan (3) memberikan dasar yang kuat bagi pembuatan kebijakan untuk peningkatan organisasi (Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah, 2000).

(5)

Kinerja karyawan mengacu pada mutu pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan didalam implementasi mereka melayani program sosial, memfokuskan pada asumsi mutu bahwa perilaku beberapa orang yang lain lebih pandai daripada yang lainnya dan dapat diidentifikasi, digambarkan, dan terukur. Aspek dalam kinerja karyawan adalah sebagai berikut (Martin & Whiddon dalam Siagian 2005) :

1. Proaktif dalam pendekatan pekerjaan 2. Bermanfaat dari pengawasan

3. Merasa terikat dalam melayani klien 4. Berhubungan baik dengan staff lain

5. Mempertunjukkan ketrampilan dan pengetahuan inti bekerja aktivitas 6. Menunjukkan kebiasaan bekerja yang baik

7. Mempunyai sikap positif dalam pekerjaan

Kinerja karyawan mengacu pada prestasi kerja karyawan diukur berdasarkan standard atau kriteria yang telah ditetapkan perusahaan. Pengelolaan untuk mencapai kinerja karyawan yang sangat tinggi terutama untuk meningkatkan kinerja perusahaan

secara keseluruhan. Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja karyawan meliputi strategi organisasi, (nilai tujuan jangka pendek dan jangka panjang, budaya organisasi dan kondisi ekonomi) dan atribut individual antara lain kemampuan dan ketrampilan.

Ada beragam kriteria yang digunakan dalam pengukuran kinerja pegawai. Bernadin dan Russel (2000), mengajukan enami kriteria cara untuk mengukur kinerja pegawai yaitu:

(6)

1. Kualitas kerja: Merupakan tingkat sejauh mana hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan

2. Kuantitas kerja: Merupakan jumlah yang dihasilkan, jumlah rupiah, jumlah unit, jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan.

3. Waktu yang dibutuhkan: Merupakan tingkat sejauh mana suatu kegiatan diselesaikan pada waktu yang dikehendaki dengan memperlihatkan koordinasi output orang lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan yang lain

4. Efektivitas sumber daya: Merupakan tingkat sejauh mana penggunaan sumber daya organisasi di maksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi, atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya. 5. Kebutuhan terhadap pengawasan: Merupakan tingkat sejauh mana seorang

pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan.

6. Dampak kepribadian: Merupakan tingkat sejauh mana karyawan memelihara Harga diri, naina baik dan kerjasama diantara rekan kerja dan bawahan

Menurut Supardi (1999) indikator penilaian kinerja adalah: a. Kualitas kerja

Meliputi akurasi ketelitian, kerapian, melaksanakan pekerjaan, mempergunakan dan memelihara alat kerja, keterampilan dan kecakapan melaksanakan tugas.

(7)

b. Kuantitas Kerja

Indikator ini meliputi keluaran atau output dan target dalam komunitas kerja.

c. Pengetahuan

Arti dari variabel pengetahuan adalah kemampuan seorang karyawan dinilai dari pengetahuannya mengenai suatu hal yang berhubungan dengan tugas dan prosedur kerjanya, penggunaan alat-alat kerja maupun kemampuan teknis atau pekerjaan.

d. Penyesuaian pekerjaan

Merupakan indikator penilaian kinerja yang ditinjau dari kemampuan karyawan dalam melaksanakan tugasnya di luar pekerjaan maupun adanya tugas baru serta kecepatannya berfikir dan bertindak dalam bekerja.

e. Keandalan

Merupakan pengukuran dari segi kemampuan seseorang atau keandalan karyawan dalam melaksanakan tugas misalnya kehandalan dalam melaksanakan prosedur, peraturan kerja, inisiatif, kedisiplinan, dan lain-lain.

f. Hubungan kerja

Penilaian berdasarkan pada sikap karyawan lainnya dan terhadap aturanya serta kesedian dalam menerima perubahan-perubahan kerja.

g. Keselamatan kerja

Keselamatan kerja menyangkut bagaimana perhatian karyawan pada keselamatan kerja

(8)

2.2.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan

Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktivitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor (As'ad, 2001), yaitu : faktor individu dan situasi kerja.

Menurut Gibson, et al dalam Srimulyo (1999), ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu:

a. Variabel individual, terdiri dari: 1) Kemampuan dan ketrampilan yang meliputi: mental dan fisik; 2) Latar belakang yang meliputi : keluarga, tingkat sosial, penggajian dan 3) demografis yang meliputi umur, asal-usul, jenis kelamin.

b. Variabel organisasional, terdiri dari: 1) Sumberdaya; 2) Kepemimpinan; 3) Imbalan; 3) Struktur dan 4) Desain pekerjaan.

c. Variabel psikologis, terdiri dari: 1) Persepsi; 2) Sikap; 3) Kepribadian; 4) Belajar; dan 5) Motivasi.

Menurut Tiffin dan Mc. Cormick dalam Srimulyo (1999) ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:

7. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pcndidikan, serta faktor individual lainnya.

8. Variabel situasional meliputi : 1) Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari; metode kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan

(9)

lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan fentilasi); dan 2) Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial.

Sutemeister dalam Srimulyo (1999) mengemukakan pendapatnya, bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

a. Faktor Kemampuan, terdiri dari : 1) Pengetahuan yang meliputi pendidikan, pengalaman, latihan dan minat; dan 2) Keterampilan yang meliputi : kecakapan dan kepribadian.

b. Faktor Motivasi, terdiri dari : 1) Kondisi sosial yang meliputi : organisasi formal dan informal, kepemimpinan dan 2) Serikat kerja kebutuhan individu yang meliputi : fisiologis, sosial dan egoistik; serta 3) Kondisi fisik yang meliputi lingkungan kerja.

Suatu pelatihan dikatakan berhasil atau efektif bila para peserta dapat menerima dan mengalami peningkatan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), maupun perilaku (attitude) yang tepat dan diberikan oleh instruktur yang tepat pula, serta pencapaian peningkatan kinerja/kompentensi karyawan. Craig, (2006) menyebutkan 3 (tiga) cara transfer pelatihan ke tempat kerja, antara lain : 1) Positif, yaitu hasil pelatihan meningkatkan kinerja pekerjaan; 2) Negatif, yaitu hasil pelatihan justru menurunkan kinerja sebelumnya; dan 3) Netral, yaitu hasil pelatihan tidak mempengaruhi kinerja pekerjaan. Transfer pelatihan positip yang diharapkan pada program-program pelatihan, sehingga pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh secara maksimal dapat mereka terapkan pada pekerjaan.

(10)

2.2.3. Teori tentang Pelatihan

Nitisemito (2004) mengatakan bahwa pelatihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan mengembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dari para karyawan yang sesuai dengan keinginan perusahaan yang bersangkutan. Simamora (2007) mengatakan Pelatihan adalah proses sistematik pengubahan perilaku para karyawan dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan-tujuan organisasional. Menurut Armstrong (2001) “training is A planned process to modify attitude, knowledge or skill behavior through learning experience to achieve effective peformance in an activity or of activities’

Dari berbagai pendapat di atas maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa pelatihan bukanlah merupakan suatu tujuan, tetapi merupakan suatu usaha untuk meningkatkan tanggung jawab mencapai tujuan perusahaan. Pelatihan merupakan proses keterampilan kerja timbal balik yang bersifat membantu, oleh karena itu dalam pelatihan seharusnya diciptakan suatu lingkungan di mana para karyawan dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan, sehingga dapat mendorong mereka untuk dapat bekerja lebih baik.

Simamora (2007) mengelompokkan tujuan pelatihan kedalam 7 (tujuh) bidang, yaitu :

1. Memperbaiki kinerja. Kendatipun pelatihan tidak dapat memecahkan semua masalah kinerja yang tidak efektif, program pelatihan dan pengembangan yang sehat kerap berfaedah dalam meminimalkan masalah-masalah ini.

(11)

2. Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan teknologi. Melalui pelatihan, pelatih (trainer) memastikan bahwa karyawan dapat secara efektif menggunakan teknologi-teknologi baru. Perubahan teknologi, pada gilirannya, berarti bahwa pekerjaan-pekerjaan sering berubah dan keahlian serta kemampuan karyawan mestilah dimuktakhirkan melalui pelatihan sehingga kemajuan teknologi tersebut secara sukses dapat diintegrasikan ke dalam organisasi.

3. Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten dalam pekerjaan. Sering seorang karyawan baru tidak memiliki keahlian-keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi “job competent,” yaitu mampu mencapai output dan standar kualitas yang diharapkan

4. Membantu memecahkan permasalahan operasional.Meskipun persoalan-persoalan organisasional menyerang dari berbagai penjuru, pelatihan adalah sebagai salah satu cara terpenting guna memecahkan banyak dilema yang harus dihadapi oleh manajer.

5. Mempersiapkan karyawan untuk promosi. Salah satu cara untuk menarik, menahan, dan memotivasi karyawan adalah melalui program pengembangan karir yang sistematik. Mengembangkan kemampuan promosional karyawan adalah konsisten dengan kebijakan personalia untuk promosi dari dalam; pelatihan adalah unsur kunci dalam sistem pengembangan karir. Organisasi– organisasi yang gagal menyediakan pelatihan untuk memobilitas vertikal akan kehilangan karyawan yang berorientasi pada pencapaian (achievement oriented) yang merasa frustasi

(12)

karena tidak adanya kesempatan untuk promosi dan akhirnya memilih keluar dari perusahaan dan mencari perusahaan lain yang menyediakan pelatihan bagi kemajuan karir mereka.

6. Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi. Selama beberapa hari pertama pada pekerjaan, karyawan baru membentuk kesan pertama mereka terhadap organisasi dan tim manajemen.Kesan ini dapat meliputi dari kesan yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan, dan dapat mempengaruhi kepuasan kerja dan produktivitas keseluruhan karyawan. Karena alasan inilah, beberapa pelaksana orientasi melakukan upaya bersama supaya secara benar mengorientasikan karyawan-karyawan baru terhadap organisasi dan pekerjaan.

7. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi. Pelatihan dan pengembangan dapat memainkan peran ganda dengan menyediakan aktivitas-aktivitas yang membuahkan efektifitas organisasional yang lebih besar dan meningkatkan pertumbuhan pribadi bagi semua karyawan. Dari pendapat diatas mengenai tujuan pelatihan maka dapat disimpulkan bahwa adanya pelatihan diharapkan dapat mengembangkan karyawan sesuai dengan kompetensinya, dapat menggunakan keahliannya sesuai dengan perubahan teknologi, karyawan akan lebih berorientasi pada pengembangan perusahaan, meningkatkan kinerja karyawan dan untuk pengembangan karir, sehingga adanya pelatihan diharapkan akan dapat meningkatkan pertumbuhan pribadi setiap karyawan.

(13)

2.2.3.1. Evaluasi Program – Program Pelatihan

Pelatihan mestilah di evaluasi dengan sistematis mendokumentasikan hasil-hasil pelatihan dari segi bagaimana sesungguhnya peserta pelatihan berperilaku kembali pada pekerjaan mereka dan relevansinya perilaku peserta pada tujuan-tujuan perusahaan. Dalam menilai manfaat atau kegunaan program pelatihan, perusahaan mencoba menjawab empat pertanyaan (Simamora, 2007):

1. Apakah terjadi perubahan ?

2. Apakah perubahan disebabkan oleh pelatihan ?

3. Apakah perubahan secara positif berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan organisasional ?

4. Apakah perubahan yang serupa terjadi pada partisipan yang baru dalam program pelatihan yang sama ?

Evaluasi membutuhkan adanya penilaian terhadap dampak program pelatihan pada perilaku sikap dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun pengukuran efektifitas penilaian meliputi penilaian (Simamora, 2007) :

1. Reaksi-reaksi yaitu bagaimana perasaan partisipan terhadap program. 2. Belajar yaitu pengetahuan, keahlian, dan sikap-sikap yang diperoleh

sebagai hasil dari pelatihan.

3. Perilaku yaitu perubahan – perubahan yang terjadi pada pekerjaan sebagai akibat dari pelatihan.

4. Hasil-hasil yaitu dampak pelatihan pada keseluruhan efektifitas organisasi atau pencapaian pada tujuan – tujuan organisasional.

(14)

Pengukuran reaksi dan belajar yang bersangkut paut dengan hasil-hasil program pelatihan saja disebut dengan kriteria internal. Pengukuran perilaku dan hasil-hasil yang mengindikasikan dampak pelatihan pada lingkungan pekerjaan disebut sebagai kriteria eksternal yaitu dukungan dari pihak manajemen memberi kesempatan peserta pelatihan mempraktekkan apa yang telah mereka peroleh dari pelatihan.

Adanya pengukuran efektifitas pelatihan yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa evaluasi pelatihan baik mengenai program maupun instruktur/pelatih dapat menjadi umpan balik untuk pelatihan selanjutnya demikian pula dengan pembelajaran mereka apakah mereka mempelajari prinsip-prinsip, ketrampilan, dan fakta-fakta yang seharusnya mereka pelajari. Selanjutnya dapat untuk mengetahui apakah perilaku peserta berubah karena program pelatihan atau bukan. Terakhir dengan melihat hasil dari pelatihan apakah sesuai dengan tujuan pelatihan yang ditetapkan.

2.2.3.2. Transfer Pelatihan

Tujuan akhir dari setiap program pelatihan adalah bahwa belajar yang terjadi selama pelatihan ditransfer kembali ke dalam pekerjaan. Transfer pelatihan (transfer of traning) adalah penerapan pengetahuan, keahlian dan perilaku lainnya yang dipelajari dalam pelatihan dapat digunakan / diterapkan dalam pekerjaan (Simamora, 2007) Definisi lain diberikan pada istilah transfer pelatihan ; diantaranya pendapat dari Baldwin & Ford, (2008). “ Positive transfer of training is the degree to which trainess effectively apply the knowledge, skills, and attitude gained in a training context to the job”. Broad & Newstrom (dalam Suhartono dan Raharso, 2003) menyebutkan “Transfer of pelatihan is the effective and

(15)

continuing application, by trainees to their jobs, of the knowledge and skills gained in training-both on and off the job.

Definisi transfer pelatihan tersebut di atas menunjukkan adanya persamaan bahwa transfer pelatihan merupakan aktivitas secara efektif dan berkelanjutan untuk menerapkan pengetahuan, keahlian, dan perilaku yang diperoleh dari suatu pelatihan. Pada definisi pertama bahwa perolehan hasil dari pelatihan hanya pada konteks pekerjaan. Sedangkan definisi kedua tidak hanya pada konteks pekerjaan tapi juga di luar pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transfer pelatihan mengidentifikasikan sejauh mana peserta pelatihan dapat menerapkan apa yang diperoleh dari pelatihan sehingga dapat mengubah perilaku peserta dalam pelaksanaan pekerjaan mereka.

Ada tiga cara transfer pelatihan ke tempat kerja (Craig, 2006) : 1. Positif, yaitu hasil pelatihan akan meningkatkan kinerja pekerjaan. 2. Negatif, yaitu hasil pelatihan menurunkan kinerja sebelumnya. 3. Netral, yaitu hasil pelatihan tidak mempengaruhi kinerja pekerjaan.

Baldwin dan Ford (2008) membangun suatu model antara input, output, dan kondisi suatu pelatihan seperti terlihat pada Gambar berikut ini.

Sumber : Baldwin dan Ford (2008)

Karakteristik Peserta Desain Pelatihan Lingkungan Kerja Pembelajaran dan Resistensi Generalisasi dan Pemeliharaan

(16)

Model di atas memperlihatkan adanya hubungan yang langsung dan tidak langsung antara input, output, dan kondisi transfer. Input pelatihan merupakan suatu kondisi individu sebelum pelatihan, yaitu karakteristik individu, desain pelatihan dan lingkungan kerja. Dari model tersebut dapat diterangkan bahwa karakteristik peserta pelatihan seperti kemampuan, kepribadian, dan motivasi, yang ada pada peserta akan dapat mendukung proses transfer pelatihan sehingga peserta akan mudah dan mempunyai motivasi untuk pembelajaran/penguasaan pada isi program pelatihan yang diberikan. Desain pelatihan juga merupakan hal yang penting agar materi-materi yang diberikan pada saat pelatihan lebih mudah diterima yaitu berkaitan dengan isi/materi pelatihan, ruang kelas, instruktur dan praktek langsung, desain pelatihan yang baik akan menjadi umpan balik bagi peserta maupun penyelanggaraan, sehingga proses belajar dan transfer akan lebih mudah. Demikian juga dengan lingkungan kerja yaitu dukungan dalam organisasi akan dirasakan oleh karyawan ketika mereka percaya bahwa pihak lain (seperti atasan, kelompok kerja) memberikan peluang untuk mempraktekkan pengetahuan dan ketrampilan baru ke tempat kerja. Adanya peluang untuk mempraktekkan hasil pelatihan, maka akan terjadi proses atau budaya pembelajaran sehingga apa yang mereka telah pelajari akan dapat mereka terapkan ke dalam pekerjaannya.

Kesimpulannya bahwa variabel pelatihan yaitu karakteristik peserta, desain pelatihan, lingkungan kerja dan pembelajaran mempunyai peran yang penting dalam transfer pelatihan, yang seharusnya dipertimbangkan agar peserta pelatihan dapat menerapkan apa yang mereka pelajari ke dalam pekerjaannya Berdasarkan kesimpulan diatas penelitian ini lebih menekankan pada pengaruh Generalisasi dari aspek karakteristik peserta (variabel personality berupa locus of

(17)

control dan orientasi tujuan), karakteristik lingkungan kerja dan self efficacy setelah pelatihan, yang menunjukkan tingkat keyakinan peserta pelatihan dalam menjalankan tugas sesuai dengan kemampuan dan ketrampilan yang dipelajari dalam pelatihan untuk diterapkan dalam pekerjaan mereka.

2.2.4. Teori tentang Karakteristik Peserta 2.2.4.1. Locus of Control (LoC)

Konsep tentang Locus of control (pusat kendali) pertama kali dikemukakan oleh Rotter seorang ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control merupakan salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri (Rotter dalam Kustini, 2004). Individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib atau eventevent dalam kehidupannya berada dibawah kontrol dirinya, dikatakan individu tersebut memiliki internal locus of control. Sementara individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang mempunyai kontrol terhadap nasib atau event-event yang terjadi dalam kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki external locus of control. Kreitner & Kinichi (2001) mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktifitas dirinya. Sedangkan pada individu locus of control eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapai dikontrol dari keadaan sekitarnya.

Zimbardo (2005), menyatakan bahwa dimensi internal-external locus of control dari Rotter memfokuskan pada strategi pencapaian tujuan tanpa memperhatikan asal tujuan tersebut. Bagi seseorang yang mempunyai internal locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai

(18)

external locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran didalamnya.

Individu yang mempunyai external locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan Kahle (dalam Riyadingsih, 2001). Sementara itu individu yang mempunyai internal locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang menguntungkan.

Konsep tentang locus of control yang digunakan Rotter (dalam Kustini, 2004) memiliki empat konsep dasar, yaitu a) Potensi perilaku yaitu setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu, berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang. b). Harapan , merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan muncul dan dialami oleh seseorang. c) Nilai unsur penguat adalah pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa. d) Suasana psikologis, adalah bentuk rangsangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorang pada suatu saat tertentu, yang meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan.

(19)

Perbedaan karakteristik antara internal locus control dengan external locus of control menurut Crider (2003) sebagai berikut :

1. Internal locus of control a. Suka bekerja keras.

b. Memiliki inisiatif yang tinggi.

c. Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah. d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin.

e. Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil.

2. External locus of control a. Kurang memiliki inisiatif.

b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan.

c. Kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol.

d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah.

Pada orang-orang yang memiliki internal locus of control faktor kemampuan dan usaha terlihat dominan, oleh karena itu apabila individu dengan internal locus of control mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan, mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh untuk tindakan selanjutnya dimasa akan datang bahwa mereka akan mencapai keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya Sebaliknya pada orang yang memiliki external locus of control melihat keberhasilan dan

(20)

kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan dimasa datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut.

Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinyu dari internal menuju eksternal, oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar-benar-benar eksternal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu. Disamping itu locus of control tidak bersifat statis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi internal locus of control dapat berubah menjadi individu yang berorientasi external locus of control dan begitu sebaliknya, hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan sering melakukan aktifitasnya.

2.2.4.2. Teori tentang Self Efficacy

Self efficacy diturunkan dari teori kognitif sosial (sosial cognitif theory) hal tersebut dikemukakan oleh Bandura dalam Davis (2002). Teori ini memandang pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang diterima. Dimana Sosial mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif terhadap motivasi, sikap dan perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan, sebagaian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisas digerakkan dari lingkungan, dan secara terus menerus

(21)

mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Hal tersebut mempengaruhi motivasi, sikap, dan perilaku individu. Sedang proses kognitif setiap individu berbeda tergantung keunikan karakteristik personalnya.

Self efficacy dinyatakan sebagai kepercayaan seseorang bahwa dia dapat menjalankan sebuah tugas pada sebuah tingkat tertentu, adalah salah satu dari faktor yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencapaian tugas (Bandura dalam Davis, 2002). Demikian pula self efficacy yang terjadi pada peserta pelatihan, dimana pengetahuan dan perilaku mereka digerakkan dari lingkungan yang kemudian mengalami proses perpikir terhadap informasi yang diterima. Adanya self efficacy pada peserta pelatihan akan dapat menambah kepercayaan dirinya bahwa dia dapat menjalankan tugas pelatihan secara benar. Seperti yang dikemukakan oleh Noe, et al (2000) bahwa self efficacy adalah tingkat kepercayaan karyawan, bahwa mereka dapat berhasil mempelajari isi program pelatihan. Meskipun kerangka kerja ini menghasilkan kinerja, tingkat aktifitas bervariasi dari cakap ke kreatif, tingkat self efficacy dapat dicapai melalui interaksi manusia dan kognisi mental, merupakan fokus yang dapat dipercaya menghasilkan transfer positip dan transfer ketrampilan terhadap lingkungan kerja (Decker, 2008). Sebuah kajian literature pelatihan, menunjukkan bahwa self efficacy mungkin memiliki sebuah efek positip terhadap pemeliharaan keahlian.

Seberapa jauh orang meningkatkan self eficacy melalui keberhasilan performansi akan tergantung seberapa besar usaha yang dikeluarkan. Keberhasilan yang diperoleh melalui usaha yang besar memberikan efficacy yang lebih kecil daripada keberhasilan yang diperoleh dengan usaha yang sedikit. Hal ini disebabkan karena performansi yang mudah dicapai memberi kesan tingkat

(22)

kemampuan diri yang lebih tinggi dari pada prestasi yang diperoleh melalui kerja yang lambat dan berat.

Self efficacy yang menyebabkan keterlibatan aktif dalam kegiatan, mendorong perkembangan kompetensi, sebaliknya self inefficacy yang mengarahkan individu untuk menghindari lingkungan dan kegiatan, memperlambat perkembangan potensi dan melindungi persepsi diri yang negatif dari perubahan yang membangun (Bandura dalam Davis, 2000). Penilaian efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang dikeluarkan dan seberapa lama individu bertahan dalam menghadapi rintangan dan pengalaman yang menyakitkan. Semakin kuat persepsi self efficacy semakin giat dan tekun usaha-usahanya. Ketika mengahadapi kesulitan, individu yang mempunyai keraguan diri yang besar tentang kemampuannya akan mengurangi usaha-usaha atau menyerah sama sekali. Sedangkan mereka yang mempunyai perasaan efficacy yang kuat menggunakan usaha yang lebih besar untuk mengatasi tantangan (Bandura dalam Davis, 2000).

Penilaian kemampuan sangat penting bagi individu, individu yang menilai terlalu tinggi kemampuannya bila melakukan kegiatan yang tidak dapat diraih akibatnya ia mengalami kesulitan untuk menurunkan kredibilitasnya dan menderita kegagalan. Sebaliknya individu yang menilai terlalu rendah kemampuannya akan membatasi dirinya dari pengalaman yang menguntungkan, untuk itu individu harus memperoleh pengetahuan diri berkenan dengan kemampuan, kecakapan fisik, dan keterampilan untuk mengatasi situasi-situasi yang dijumpainya sehari-hari.

(23)

Bandura dalam Davis (2002) menggambarkan empat sumber informasi yang mengarah ke self efficacy yaitu :

1. Penguasaan aktif

Penguasaan aktif dengan melihat pada diri peserta seberapa besar dia dapat menguasai pelatihan, penguasaan aktif akan dapat meningkatkan self efficacy sedangkan orang yang tidak menguasai pelatihan akan ada kecenderungan menurunkan self efficacy.

2. Pengalaman

Pengalaman, baik pengalaman diri maupun pengalaman orang lain menyediakan informasi langsung mengenai kemampuan memprediksi dan mengatasi ancaman-ancaman untuk mengembangkan dan membuktikan self efficacy yang kuat. Secara umum, keberhasilan akan meningkatkan self efficacy, sedangkan kegagalan akan menurunkan efficacy. Hal ini dapat dijelaskan misalnya pengalaman masa lalu mengenai keberhasilan dan kegagalan seseorang akan dapat diharapkan menjadi sumber efficacy. Secara umum keberhasilan akan meningkatkan efficacy sedangkan kegagalan akan menurunkan efficacy.

Pengalaman orang lain yang memiliki kesamaan mampu melakukan sesuatu dengan berhasil dapat meningkatkan self efficacy seseorang dan sebaliknya, mengamati orang lain yang dipersepsikan sama kompetensinya gagal, meskipun telah berusaha keras, akan merendahkan penilaian seseorang tentang kemampuannya dan menurunkan usahanya (Bandura dalam Davis, 2002).

(24)

3. Persuasi

Persuasi dapat berupa persuasi sosial (orang lain yang menyakinkan bahwa kita dapat melakukan sesuatu) atau persuasi diri (meyakinkan diri sendiri) Zimbardo (2005).

4. Pembangkit fisiologis

Pembangkit fisiologis yaitu individu mengamati tingkat efficacy dengan memperhatikan reaksi emosional dalam mengahadapi situasi. Ketika individu merasa terlalu cemas atau takut, mereka akan mengantisipasi kegagalan. Individu yang tidak terlalu tegang cenderung mempersepsikan dirinya dapat berhasil.

Robbins (2007) mengungkapkan sumber atau indikator dari self efficacy yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu: perasaan mampu melakukan pekerjaan, kemampuan yang lebih baik, senang pekerjaan yang menantang dan kepuasan terhadap pekerjaan.

2.2.5. Teori tentang Karakteristik Lingkungan Kerja

Menurut Supardi dalam Subroto, (2005) “lingkungan kerja merupakan keadaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah kerja.” Berdasarkan teori tersebut maka dapat diambil pengertian bahwa keadaan lingkungan sekitar para karyawan bekerja merupakan tempat yang menentukan para karyawan dalam bekerja perlu diciptakan suatu lingkungan yang kondusif yang dapat menentramkan dan betah dalam bekerja.

(25)

Subroto (2005) mengklasifikasi faktor lingkungan kedalam 2 (dua) kelompok, antara lain :

1. Lingkungan kerja non fisik a. Faktor lingkungan sosial

Lingkungan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan adalah latar belakang keluarga, yaitu antara lain status keluarga, jumlah keluarga, tingkat kesejahteraan dan lain-lain.

b. Faktor status sosial

Semakin tinggi jabatan seseorang semakin tinggi pula kewenangan dan keleluasaan dalam mengambil keputusan.

c. Faktor hubungan kerja dalam organisasi

Hubungan kerja yang ada dalam orgnasasi adalah hubungan kerja antara karyawan dengan karyawan dan antara karyawan dengan atasan/pimpinan.

d. Faktor sistem informasi

Hubungan kerja akan dapat berjalan dengan baik apabila ada komunikasi yang baik diantara anggota organisasi. Adanya komunikasi akan berinteraksi, saling memahami, saling mengerti satu sama lain dapat menghilangkan perselisihan salah faham.

2. Lingkungan kerja fisik

a. Faktor lingkungan tata ruang kerja

Tata ruang kerja yang baik akan mendukung terciptanya hubungan kerja yang baik antara sesama karyawan maupun dengan atasan karena akan mempermudah mobilitas bagi karyawan untuk bertemu. Tata

(26)

ruang yang tidak baik akan membuat ketidaknyamanan dalam bekerja sehingga menurunkan tranfer pelatihan.

b. Faktor kebersihan dan kerapian ruang kerja

Ruang kerja yang bersih, rapi, sehat dan aman akan menimbulkan rasa nyaman dalam bekerja. Hal ini akan meningkatkan gairah dan semangat kerja pegawai dan secara tidak langsung akan meningkatkan tranfer pelatihan.

Menurut Nitisemito (2004) lingkungan kerja adalah segala : sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Faktor-faktor yang termasuk lingkungan kerja yang harus diketahui dan diperhatikan yang berpengaruh besar terhadap semangat kegairahan kerja antara lain pewarnaan, kebersihan, pertukaran udara, penerangan, keamanan dan kebisingan. Kondisi lingkungan yang sehat dan aman merupakan dambaan setiap orang yang akan lebih baik apabila ditunjang dengan kondisi kantor yang baik dan peralatan yangmemadai maka akan menjadikan kinerja pegawai baik.

2.3. Kerangka Konseptual

Baldwin & Ford (2008) mengatakan bahwa transfer pelatihan merupakan penerapan pengetahuan, keahlian, dan perilaku yang dipelajari dalam pelatihan, diterapkan pada situasi kerja dan selanjutnya memeliharanya selama waktu tertentu. Transfer pelatihan bukanlah hal yang sederhana, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Dalam banyak penelitian ditemukan bahwa kesuksesan dalam proses transfer pelatihan dipengaruhi oleh karakteristik peserta dan karakteristik lingkungan kerja. Beberapa karakteristik peserta pelatihan

(27)

diantaranya variabel kepribadian yaitu locus of control dan self-efficacy ( Noe dan Scmitt, 1986 dalam Sulistyohadi, 2002). Demikian juga dengan karakteristik lingkungan kerja akan dapat mempengaruhi proses transfer pelatihan (Baldwin & Ford, 2008, Noe et al; 2000, Salas, et al; 2001, Tziner & Haccoun, 2001, Colquit, et al 2000).

Locus of control merupakan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengendalika nasib (destiny) sendiri (Rotter dalam Kustini, 2004). Individu yang memiliki keyakinan bahwa nasib dalam kehidupannya berada dibawah kendali dirinya, dikatakan individu tersebut memiliki internal locus of control, sedangkan individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang mempunyai kontrol terhadap nasib atau event-event yang terjadi dalam kehidupannya dikatakan individu tersebut memiliki external locus of control. Crider (2003) menyebutkan karakateritik internal locus of control : suka bekerja keras, memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin, selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil. Sedangkan karakteristik external locus of control : kurang memiliki inisiatif, mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan, kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol dan kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah. Menurut Noe dan Scmitt dalam Sulistyohadi (2002) bahwa self efficacy yaitu self efficacy adalah tingkat kepercayaan karyawan, bahwa mereka dapat berhasil mempelajari isi program pelatihan. Adanya self efficacy pada peserta pelatihan akan dapat menambah kepercayaan dirinya bahwa dia dapat menjalankan tugas pelatihan secara benar.

(28)

Bandura dalam Davis (2002) menggambarkan empat sumber informasi yang mengarah ke self efficacy yaitu : penguasaan aktif, pengalaman, persuasi dan pembangkit fisiologis.

Disamping karakteristik peserta pelatihan (locus of control dan self efficacy), transfer pelatihan juga dipengaruhi oleh Karakteristik lingkungan kerja. Menurut Baldwin & Ford, 2008, Noe et al; 2000, Salas, et al; 2001, Tziner & Haccoun, 2001, Colquit, et al 2000, bahwa karakteristik lingkungan kerja merupakan keadaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah kerja. Hasil penelitian Suhartono dan Raharso (2003) menunjukkan ada hubungan yang nyata di antara variabel karakteristik peserta, desain pelatihan, dan lingkungan kerja terhadap variabel pembelajaran maupun generalisasi.

Berdasarkan kosep teori, analogi dan hasil penelitian terdahulu sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya hubungan variabel lcous of control, self efficacy dan karkteristik lingkungan kerja dengan kinerja pegawai yang diteliti dalam penelitian ini diilustrasikan melalui diagram kerangka konsep berikut ini.

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Hubungan Variabel Karakteristik PesertaPelatihan (Locus of Control dan Self Efficacy), dan Karakteristik Lingkungan Kerja dengan Transfer Pelatihan

Locus of Control (X1) Karakteristik Lingkungan Kerja (X3) Transfer Pelatihan (Z) Self Efficacy (X2)

(29)

Menurut Craig (2006) ada (tiga) cara transfer pelatihan di tempat kerja, antara lain: Positif, yaitu hasil pelatihan meningkatkan kinerja pekerjaan; negatif, yaitu hasil pelatihan justru menurunkan kinerja sebelumnya; dan netral, yaitu hasil pelatihan tidak mempengaruhi kinerja pekerjaan

Sutemeister dalam Srimulyo (1999) mengemukakan pendapatnya, bahwa kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (a) Faktor Kemampuan, terdiri dari : 1) Pengetahuan yang meliputi pendidikan, pengalaman, latihan dan minat; dan 2) Keterampilan yang meliputi : kecakapan dan kepribadian; (b) Faktor Motivasi, terdiri dari : 1) Kondisi sosial yang meliputi : organisasi formal dan informal, kepemimpinan dan 2) Serikat kerja kebutuhan individu yang meliputi : fisiologis, sosial dan egoistik; serta 3) Kondisi fisik yang meliputi lingkungan kerja. Sedangkan indikator penilaian kinerja karyawan menurut Supardi (1999), meliputi kualitas kerja, kuantitas kerja, pengetahuan, penyesuaian pekerjaan, keandalan, hubungan kerja dan keselamatan kerja.

Berdasarkan konsep di atas, selanjutnya dikembangan hubungan variabel dalam penelitian menjadi seperti terlihat pada Gambar 2.3. dibawah ini

(30)

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Hubungan Variabel Karakteristik Peserta Pelatihan, Karakteristik Lingkungan Kerja, Transfer Pelatihan dan Kinerja Pegawai.

2.4. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran di atas, dirumuskan 4 (empat) hipotesis kerja dalam penelitian ini, yaitu :

a. Secara simultan locus control, self efficacy dan karakteristik lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai PT. Telkom Kandatel Medan. b. Secara simultan locus control, self efficacy dan karakteristik lingkungan

kerja berpengaruh terhadap transfer pelatihan di PT. Telkom Kandatel Medan.

c. Secara parsial locus control, self efficacy dan karakteristik lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap kinerja pegawai PT. Telkom Kandatel.

d. Secara parsial locus control, self efficacy dan karakteristik lingkungan kerja berpengaruh langsung terhadap transfer pelatihan di PT. Telkom Kandatel Medan.

e. Transfer pelatihan berpengaruh langsung terhadap kinerja pegawai PT. Locus of Control (X1) Karakteristik Lingkungan Kerja (X3) Transfer Pelatihan (Z) Kinerja Pegawai (Y) Self Efficacy (X2)

(31)

f. Locus control, self efficacy dan karakteristik lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai PT. Telkom Kandatel Medan melalui transfer pelatihan.

Gambar

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Hubungan Variabel Karakteristik                          PesertaPelatihan (Locus of Control dan Self Efficacy), dan                          Karakteristik Lingkungan Kerja dengan Transfer Pelatihan
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Hubungan Variabel Karakteristik Peserta                         Pelatihan, Karakteristik Lingkungan Kerja, Transfer Pelatihan                         dan Kinerja Pegawai

Referensi

Dokumen terkait

2. Hilangnya adab di dalam umat. Bangkitnya pemimpin-pemimpin yang ticfak memenulii syarat kepemimpinan yang absah dalam umat I slam, yang tidak memiliki

PEMBAHASAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN Dalam bab ini dibahas mengenai analisa dari hasil penelitian tentang perlindungan hukum mutasi yang menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja

Dari uraian hasil wawancara dengan seluruh informan penelitian, serta data yang diperoleh dari KPU Kabupaten Sigi dan pendapat akhli yang relevan dengan

1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patutmemperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

penyalur Lini IV dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk sektor Pertanian yang

Selanjutnya, dilakukan analisis beban kerja dari hasil perhitungan jumlah kebutuhan sumber daya manusia yang ditunjukan pada tabel 12 untuk mengetahui tingkat

Sarana dan fasilitas perpustakaan, Koleksi perpustakaan, Sistem dan prosedur pelayanan dan Sikap dan perilaku petugas) terhadap intensitas kunjungan di SMA Negeri 1