• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang biasanya bersifat progresif. Penyakit ini terkait dengan respon inflamasi kronis yang berlebihan pada saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas berbahaya (GOLD, 2015a).

Menurut estimasi World Health Organization (WHO), sejumlah 65 juta orang mengidap PPOK sedang hingga berat, dan pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang mati akibat penyakit ini yaitu 5% dari jumlah kematian global. Pada tahun 2002 PPOK merupakan penyakit ke-5 tertinggi penyebab kematian dan diperkirakan jumlah ini akan meningkat lebih 30% dalam waktu 10 tahun yang akan datang jika tidak segera mengambil tindakan untuk mengurangi faktor risiko (WHO, 2015b).

Meskipun merokok merupakan faktor risiko PPOK yang paling banyak diteliti, terdapat bukti yang konsisten dari studi suatu epidemiologi yang menunjukkan bahwa keterbatasan saluran napas kronik dapat terjadi pada bukan perokok. Dalam waktu 10 tahun belakangan ini semakin banyak penelitian yang memperlihatkan beberapa faktor risiko selain merokok turut berhubungan kuat dengan PPOK, yaitu meliputi umur, jenis kelamin, riwayat terpajan debu dan asap

(2)

di tempat kerja, riwayat infeksi saluran napas berulang, genetik, dan pajanan partikel akibat polusi (GOLD, 2015a).

Penatalaksanaan PPOK bertujuan mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang, mempertahankan fungsi paru serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Secara umum penatalaksanaan PPOK meliputi edukasi, obat, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi. Oleh sebab PPOK merupakan penyakit yang progresif dan irreversibel, penatalaksanaannya terbagi pada pasien dengan keadaan stabil dan mengalami eksaserbasi akut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Jenis pengobatan yang direkomendasi dalam panduan penatalaksanaan PPOK yang dikeluarkan oleh GOLD adalah berdasarkan bukti-bukti klinis yang dipublikasi dalam literatur ilmiah (GOLD, 2010).

Penatalaksanaan terapi PPOK diawali dengan assesment terhadap penyakit pasien berdasarkan karakteristik-karakteristik tertentu antaranya bagaimana paparan terhadap faktor risiko, seperti apa riwayat kesehatannya dan apakah ada riwayat keluarga yang mengidap PPOK atau penyakit paru kronis lainnya. Selain itu, perlu diketahui seperti apa pola perkembangan gejalanya dan apakah ada penyakit penyerta seperti penyakit jantung yang mungkin mempengaruhi aktivitas pasien (Ikawati, 2016).

Gambaran karakteristik pasien dan pola pengobatan PPOK dapat digunakan sebagai acuan dalam meningkatkan mutu pelayanan medik serta meningkatkan kualitas hidup pasien karena dengan mengetahui karakteristik pasien PPOK di RSUP Dr. Sardjito dapat diperoleh gambaran spesifik tentang faktor-faktor risiko penderita PPOK yang bersesuaian dengan hasil teori dan dikaitkan dengan pola

(3)

pengobatannnya. Adanya gambaran yang jelas ini dapat dimanfaatkan utnuk penelitian lanjut dalam usaha mengatasi peningkatan jumlah penderita PPOK serta mengembangkan langkah yang harus diambil untuk mengurangi faktor risiko penyakit ini dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana karakteristik pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode Januari 2010 hingga Desember 2014?

2. Bagaimanakah pola pengobatan PPOK yang diberikan pada pasien di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode Januari 2010 hingga Desember 2014? 3. Apakah pengobatan PPOK di RSUP Dr. Sardjito pada periode Januari 2010 hingga Desember 2014 memenuhi opsi terapeutik yang direkomendasi dalam panduan penatalaksanaan PPOK versi updated 2010 yang dikeluarkan oleh GOLD?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui karakteristik pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode Januari 2010 hingga Desember 2014.

2. Mengetahui pola pengobatan PPOK yang diberikan pada pasien di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta pada periode Januari 2010 hingga Desember 2014.

(4)

3. Mengetahui apakah pengobatan PPOK di RSUP Dr. Sardjito pada periode Januari 2010 hingga Desember 2014 memenuhi opsi terapeutik yang direkomendasi dalam panduan penatalksanaan PPOK versi updated 2010 yang dikeluarkan oleh GOLD.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara teoritis mempunyai manfaat yang dapat digunakan untuk: 1. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko PPOK dalam masyarakat di kota

Yogyakarta khususnya. Informasi tersebut dapat digunakan untuk menyelidiki PPOK secara lebih mendalam agar dapat bekerja bersama pemerintah dan organisasi terkait untuk memperbaiki penanganan dan pengobatan PPOK.

2. Membantu penulis dan rekan dalam bidang pelayanan kesehatan agar lebih memahami pola pengobatan PPOK dan outcome terapi pasien.

3. Penelitian juga diharapkan dapat membantu rekan sejawat di rumah sakit dalam meningkatkan mutu pelayanan dan penatalaksanaan PPOK.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Menurut Pedoman Diagnosis dan Penalataksanaan PPOK di Indonesia yang diterbitkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia pada tahun 2003, PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif, nonreversibel atau reversibel parsial dan disertai penyakit bronkitis kronik atau emfisema atau gabungan keduanya. Dipetik dari Global

(5)

Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of COPD terbitan GOLD (2015), hambatan aliran udara di saluran napas penderita PPOK terjadi akibat respon inflamatori kronis terhadap gas atau partikel berbahaya hingga bisa menyebabkan pengrusakan jaringan parenkim dan mengganggu mekanisme perbaikan dan pertahanan yang normal. Perubahan patologi ini menyebabkan udara dalam paru terperangkap dan aliran udara terhambat, akibatnya penderita mengalami gejala seperti sesak napas atau dyspnea, batuk kronis dan produksi sputum kronis. Keparahan PPOK tergantung pada terjadinya eksaserbasi dan wujudnya komorbiditas pada pasien (GOLD, 2015a).

2. Epidemiologi

WHO memperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK sedang hingga berat dan pada tahun 2005, 3 juta orang meninggal karena PPOK dengan merujuk 5% dari seluruh kematian secara global (WHO, 2015b). Total kematian akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat lebih dari 30% pada 10 tahun mendatang dan kemungkinan lebih ketara di negara-negara Asia dan Afrika karena meningkatnya pemakaian tembakau (Ratih, 2013). Informasi mengenai prevalensi, mortalitas dan morbiditas PPOK kebanyakannya diperoleh dari negara yang ekonominya mantap karena untuk mendapatkan data epidemiologi yang akurat adalah sukar dan mahal (WHO, 2015b).

Analisis sistematik dan meta-analisis dari penelitian yang dijalankan di 28 negara dari tahun 1990 hingga 2004 serta suatu studi dari Jepang menyediakan bukti yang prevalensi PPOK lebih tinggi dalam kalangan perokok dan bekas

(6)

perokok dibanding dengan bukan perokok, yang umurnya lebih dari 40 tahun dari yang kurang dan lebih banyak lelaki dibanding wanita. Namun oleh karena adanya faktor seperti peningkatan penggunaan tembakau dalam kalangan wanita di negara berpendapatan tinggi dan wanita lebih berisiko terdedah kepada polusi indoor seperti dari bahan biomassa untuk memasak, risiko untuk mengidap PPOK antara lelaki dan wanita hampir sama (WHO, 2015b).

Data morbiditas meliputi pertemuan dengan dokter, rawatan di Unit Gawat Darurat (UGD) dan rawat inap (GOLD, 2015a). Data morbiditas meningkat seiring dengan keparahan penyakit dan lebih tinggi pada pasien dengan status sosioekonomi rendah (Prescott dan Vestbo, 1999). Di Asia, rawat inap merupakan item yang menyumbang kepada biaya medis paling tinggi bagi PPOK. Penyakit yang sudah sedia parah dan kesulitan psikososial adalah antara faktor risiko pasien harus mendapatkan rawatan di rawat inap karena terjadinya serangan akut PPOK (Tan dan Ng, 2008).

Data badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2002 menunjukkan PPOK menempati urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian di dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Diperkirakan jumlah penderita PPOK di China pada tahun 2006 mencapai 38,1 juta penderita, Jepang sebanyak 5 juta penderita dan Vietnam sebesar 2 juta penderita. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 4,8 juta penderita PPOK dan angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya jumlah perokok (Dodi dkk, 2012). The Global Burden of Disease Study memproyeksikan PPOK yang merupakan penyebab keenam

(7)

tertinggi kematian pada 1990 akan naik ke tingkat ketiga di dunia pada tahun 2020 (GOLD, 2015a).

3. Patogenesis dan Patofisiologi

Selain berperan dalam penukaran gas dan homeostasis asam-basa, sistem pernapasan menyediakan pertahanan imunologik dan fisik terhadap zat asing. Hubungan antara elastisitas dan tekanan di dalam dan di sekitar saluran napas yang seimbang akan memelihara integritasnya. Kesetimbangan asam-basa dipelihara dengan menahan atau mengeluarkan karbon dioksida melalui pernapasan (Helms, 2006).

Bagian atas dan bawah saluran pernapasan berperan dalam sistem pertahanan fisik dengan adanya kelenjar mukus dan cilia pada sel epitel yang berfungsi memerangkap partikel yang diinhalasi lalu mengeluarkannya dari saluran pernapasan. Untuk aktivitas imunologik pula, immunoglobulin, enzim dan lain-lain mediator berperan menghancurkan atau menginaktivasi bahan asing yang diinhalasi. Gangguan pada kesetimbangan sistem enzim agresif dan protektif di saluran pernapasan merupakan dasar kepada terjadinya PPOK (Helms, 2006).

Etiologi paling kerap PPOK adalah asap rokok namun inhalasi iritan lain secara kronis juga dapat menyebabkan PPOK. Gambar 1 menunjukkan mekanisme yang menyebabkan perubahan patofisiologi pada PPOK.

(8)

Gambar 1. Sel imun dan inflamatori yang terlibat dalam PPOK (Barnes, 2008) Asap rokok dan iritan-iritan lain mengaktivasi sel epitel dan makrofag untuk melepaskan beberapa chemotactic factors atau chemokines yang akan menarik sel inflamatori ke paru, antaranya:

a. CC-chemokine ligand 1 (CCL2) berikatan dengan CC-chemokine receptor 2 (CCR2) untuk menarik monosit.

b. CXC-chemokine ligand 1 (CXCL1) dan CXCL8 mengikat CXC-chemokine receptor 2 (CXCR2) untuk menarik neutrofil dan monosit (yang nantinya terdifferensiasi menajadi makrofag di paru).

(9)

c. CXCL9, CXCL10 dan CXCL10 mengikat CXCR3 untuk menarik sel T helper 1 (TH1) dan sel sitotoksik tipe 1 (Tc1).

Nama CC dan CXC chemokine merujuk kepada strukturnya. Chemokine CC mempunyai 2 asam amino sistein berdekatan N-terminalnya, sementara pada chemokine CXC N-terminalnya dipisahkan oleh satu asam amino yang diwakili dengan huruf X. Makrofag, sel epitel dan sel-sel inflamatori ini juga melepaskan enzim protease antaranya:

a. Matrix metalloproteinase 9 (MMP9) yang menyebabkan degradasi elastin dan emfisema.

b. Neutrofil elastase yang menyebabkan hipersekresi mukus di saluran napas. Sel epitel dan makrofag juga melepaskan transforming growth factor-β yang menstimulasi proliferasi fibrolast lalu menyebabkan fibrosis di saluran pernapasan (Barnes, 2008).

Proses patofisiologi lain antaranya ketidakseimbangan sistem pertahanan agresif dan protektif, yaitu pada keadaan normal protease yang berlebihan aktifitasnya akan dihambat oleh antiprotease. Jumlah dan aktivitas protease meningkat sedangkan produksi dan aktivitas antiprotease berkurang, menyebabkan destruksi dinding alveoli (Helms dkk, 2006). Stress oksidatif juga berperan dimana pada kondisi normal akan diredam oleh antioksidan, tetapi peningkatan oksidan dari asap rokok akan bereaksi dengan pelbagai protein dan lipid mengakibatkan kerusakan jaringan dan sel. Oksidan juga memicu inflamasi

(10)

secara langsung dan memperburuk ketidaksetimbangan proteaese-antiprotease (Wells dkk, 2006).

Terjadinya peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mukus di saluran pernapasan menyebabkan produksi mukus turut meningkat. Fungsi cilia bisa terganggu hingga pembersihan mukus dan partikel asing berkurang. Hal ini menyebabkan saluran napas yang pada kondisi normalnya steril dapat dikolonisasi bakteri hingga menyumbang pada inflamasi kronis yang terkait dengan PPOK (Helms dkk, 2006). Antiprotease α1-antitypsin (AAT) melindungi jaringan dengan menghambat beberapa enzim protease antaranya neutrofil elastase. Pada pasien berpenyakit defisiensi AAT, elastase bebas menyerang elastin yang merupakan komponen utama dinding alveoli hingga merusak jaringan parenkim paru (Wells dkk, 2006).

Pelbagai faktor menyumbang pada obstruksi aliran udara antaranya peningkatan mukus, fibrosis dinding saluran napas dan alveolus yang kolaps. Keterbatasan aliran udara diperburuk dengan hilangnya rekoil elastik normal pada paru selama penghembusan napas. Akibatnya pasien menggunakan otot abdominal dan dada untuk memaksa udara keluar dari paru, menyebabkan pelanjutan kolaps saluran udara dan air trapping hingga terjadi hiperinflasi thorakik. Semakin buruk PPOK, pertukaran gas menjadi semakin jelek menyebabkan hipoksemia signifikan yang mungkin memerlukan penambahan oksigen kronik pada pasien (Helms dkk, 2006).

(11)

4. Faktor Risiko

Menurut American Thoracic Society (ATS), faktor risiko terjadinya PPOK terbagi kepada dua yaitu factor internal dan eksternal (2004). Faktor internal meliputi genetik, jenis kelamin, perkembangan dan pertumbuhan paru serta hiperaktivitas bronkial. Faktor eksternal pula meliputi merokok, status sosioekonomi, riwayat pemejanan polusi indoor dan lingkungan dan riwayat infeksi pernapasan berulang (GOLD, 2015a).

Merokok merupakan faktor risiko paling kerap ditemui bagi PPOK. Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dibanding orang yang tidak merokok. Merokok selama masa kehamilan juga dapat mewariskan faktor risiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru-paru dan janin dalam kandungan, bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut (GOLD, 2015a).

Polusi indoor dan lingkungan meliputi polusi di dalam ruangan (asap rokok, asap kompor), polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan), dan polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun). Suatu pernyataan dari American Thoracic Society menyebut polusi di tempat kerja berpengaruh sebanyak 10-20% penyebab gejala dan melemahnya kapasitas fungsional pada PPOK (GOLD, 2015a). Di negara dengan pendapatan rendah yang sebagian besar masyarakat menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, hal ini menyumbang kepada tingkat polusi indoor yang tinggi terutama jika ventilasi dapurnya jelek (Ratih, 2003).

(12)

Infeksi saluran napas berulang terutamanya pada waktu anak-anak dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan gejala pernapasan di waktu dewasa. Selain itu, terganggunya perkembangan paru-paru selama di dalam kandungan dan ketika masih anak-anak juga berpotensi meningkatkan risiko mengidap PPOK. Hiperaktivitas bronkial merupakan faktor kedua penyebab utama PPOK setelah merokok, dan bisa terjadi walaupun tanpa diagnosis klinik penyakit asma (GOLD, 2015a).

Terdapat bukti yang kuat menunjukkan status sosioekonomik berbanding terbalik dengan risiko mendapat PPOK. Namun kaitannya dengan faktor risiko seperti polusi indoor dan outdoor kurang jelas. Defisiensi α-1 antitrypsin, suatu inhibitor serine proteases juga merupakan faktor risiko PPOK. Walaupun faktor ini relevan dengan hanya sebagian kecil populasi dunia, ia menunjukkan interaksi antara genetik dan lain-lain faktor lingkungan yang menyebabkan PPOK. Di masa lalu kebanyakan penelitian menunjukkan prevalensi dan mortalitas PPOK lebih banyak dari kalangan pria dibandingkan wanita. Namun kini data dari negara maju menunjukkan prevalensi PPOK hampir sama antara pria dan wanita, mungkin disesabkan pola merokok yang telah berubah (GOLD, 2015a).

5. Diagnosa dan Gejala

Diagnosa PPOK perlu dilakukan terhadap pasien yang mempunyai riwayat sesak napas/dyspnea, batuk kronis dengan atau tanpa produksi sputum berlebihan dan riwayat terpapar faktor risiko terutama kebiasaan merokok. Diagnosa PPOK dilakukan dengan pemeriksaan spirometri yang merupakan standar uji fungsi paru

(13)

untuk menilai keterbatasan aliran udara pada saluran napas. Spirometri digunakan untuk mengukur Forced Expired Volume in one second (FEV1) yaitu volume udara yang dapat dihembuskan paksa pada satu detik pertama dan Forced Vital

Capacity (FVC) yaitu volume udara maksimum yang

dapat dihembuskan secara paksa. Pada orang dewasa sehat nilai rasio FEV1/FVC sekitar 75% - 80%. Nilai FEV1/FVC pasca-bronkodilator yang kurang dari 70% mengkonfirmasi adanya limitasi saluran udara yang persisten. Tabel di bawah mengklasifikasikan keparahan PPOK dari nilai FEV1 setelah diberikan bronkodilator:

Tabel I. Klasifikasi PPOK dari keparahan limitasi saluran napas (GOLD, 2010) Pasien dengan FEV1/FVC < 70%:

I: Ringan FEV1 > 80% II: Sedang 50% < FEV1 < 80%

III: Berat 30% < FEV1 < 50%

IV: Sangat berat FEV1 < 30% atau FEV1<50% dan kegagalan respirasi kronis

Walaupun pasien mempunyai beberapa gejala berupa indikator penting PPOK, masih diperlukan uji spirometri bagi menegakkan diagnosa. Tetapi adanya indikator tersebut meningkatkan kemungkinan pasien didiagnosa mengidap PPOK, antara indikatornya:

Dyspnea yang bersifat progresif yaitu memburuk dengan lamanya waktu, memburuk waktu olahraga atau persisten.

a. Batuk kronis yang bisa terjadi intermiten (tidak terus-menerus) dan tanpa dahak.

(14)

b. Produksi sputum yang kronis.

c. Riwayat terpajan faktor risiko seperti asap rokok, asap dari bahan bakar memasak atau pemanasan serta debu dan bahan kimia di tempat kerja (GOLD, 2015a).

Dyspnea merupakan gejala utama penyebab keterbatasan pergerakan dan ansietas pada PPOK, dan bertambah berat dengan adanya aktifitas. Gejala ini didefinisikan pasien sebagai “butuh usaha lebih untuk bernapas”, “berat”, “sulit bernapas”, “terengah-engah”. Batuk kronik merupakan gejala pertama yang muncul pada PPOK dan dapat terjadi intermiten serta tidak produktif. Pasien PPOK biasanya mengalami produksi sputum yang kronis setelah serangan batuk. Produksi sputum sukar dievaluasi karena pasien mungkin menelannya dan tidak mengeluarkannya. (GOLD, 2015a).

6. Opsi Terapeutik

Terapi farmakologi yang sesuai dapat mengurangkan gejala PPOK, mengurangkan frekuensi dan keparahan terjadinya eksaserbasi, memperbaiki status kesehatan dan toleransi terhadap olahraga. Tujuan utama pengobatan PPOK adalah untuk mengurangkan gejala dan/atau komplikasi. Karena PPOK bersifat progresif, terapi yang direkomendasi mencerminkan prinsip-prinsip berikut: a. Pengobatan cenderung semakin banyak, lebih banyak obat harus diambil

apabila penyakit semakin memburuk

b. Perawatan rutin harus dijaga pada tingkat yang sama untuk jangka waktu yang lama, kecuali apabila adanya efek samping yang signifikan atau penyakit semakin memburuk

(15)

c. Respon terhadap terapi dan efek samping yang terjadi mungkin berbeda untuk setiap pasien. Pemantauan secara hati-hati perlu dilakukan bagi memastikan tujuan terapi dapat dipenuhi (GOLD, 2010).

Bronkodilator adalah obat pilihan utama dalam penatalaksanaan PPOK, dipakai saat diperlukan atau secara reguler, tergantung keparahan gejala yang timbul. Pilihan antara β2-agonis, antikolinergik, metilksantin atau kombinasinya tergantung pada ketersediaan obat dan respon pasien baik dari segi pengurangan gejala maupun efek samping yang mungkin terjadi. Untuk pengobatan rutin, penggunaan bronkodilator inhalasi aksi panjang lebih efektif dalam menangani gejala dan nyaman untuk pasien daripada bronkodilator aksi pendek (GOLD, 2010).

Pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi akut dan meningkatkan status kesehatan pasien dengan FEV1 kurang dari 50% nilai prediksi. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan β2-agonis aksi panjang lebih efektif dalam mengurangi eksaserbasi berbanding jika diberikan secara tunggal. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa penghentian pemberian kortikosteroid inhalasi dapat memicu eksaserbasi pada sebagian pasien. Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan karena dari kurangnya bukti klinis yang menunjukkan manfaat terapi melebihi risiko efek samping (GOLD, 2010).

Inhibitor fosfodiesterase-4 bekerja sebagai anti inflamasi dengan menghambat enzim PDE-4 yang menguraikan siklik AMP (cAMP). Pada pasien PPOK Tahap III: Berat Dan Tahap IV: Sangat Berat dengan riwayat eksaserbasi

(16)

dan bronkitis kronis, obat golongan ini yaitu roflumilast mengurangi eksaserbasi pada pasien yang di terapi dengan kortikosteroid oral. Efek ini juga terlihat saat roflumilast diberikan bersama bronkodilator aksi panjang (GOLD, 2010).

Penggunaan mukolitik seperti ambroksol dan karbosistein telah diteliti pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Pasien yang mempunyai sputum kental mungkin mendapat manfaat dari pengambilan mukolitik, tetapi secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil maka penggunaaannya tidak direkomendasi. Penggunaan antibiotik tidak direkomendasi melainkan pada eksaserbasi akut disebabkan oleh infeksi dan lain-lain infeksi bakteri (GOLD, 2010).

Termasuk dalam terapi non-farmakologi adalah rehabilitasi, terapi oksigen dan pembedahan. Contoh manfaat dari kegiatan rehabilitasi antaranya lebih tahan terhadap aktivitas fisik dan pengurangan sesak napas. Tujuan rehabilitasi adalah untuk mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan sehari-hari. Terapi oksigen merupakan terapi non-farmakologi utama untuk pasien PPOK tahap sangat berat. Pemberian oksigen dilakukan dalam 3 cara yaitu bila timbul sesak yang disebabkan pertambahan aktivitas fisik, secara terus menerus untuk jangka panjang atau untuk melegakan sesak napas akut. Pembedahan bullectomy dan transplantasi paru dapat dipertimbangkan pada pasien PPOK tahap sangat berat yang harus dipilih dengan teliti (GOLD, 2010).

Pasien yang mempunyai kebiasaan merokok, terapi penggantian nikotin dapat membantu pasien menghindar diri dari merokok untuk jangka waktu yang

(17)

lama. Cara penggunaan yang tepat dapat mengoptimalkan keefektifan produk pengganti nikotin yang terdapat bentuk sediaan seperti permen karet, inhaler, patch transdermal dan lozenge (GOLD, 2010).

7. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik pasien PPOK di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan mengetahui pola pengobatan PPOK berdasarkan catatan rekam medik dari Januari 2010 hingga Desember 2014, sekaligus outcome dari pengobatan pada pasien.

Gambar

Gambar 1. Sel imun dan inflamatori yang terlibat dalam PPOK (Barnes, 2008)
Tabel I. Klasifikasi PPOK dari keparahan limitasi saluran napas (GOLD, 2010)  Pasien dengan FEV 1 /FVC &lt; 70%:

Referensi

Dokumen terkait

Peubah biologi yang diamati meliputi: 1) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak telur diletakkan oleh imago betina sampai menetas menjadi nimfa instar

Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT).

Hal ini menunjukan bahwa wacana dalam buku teks Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik tahun 2013 terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai untuk

Melalui data-data dan penjelasan diatas, terdapat hubungan yang positif antara penggunaan media sosial Facebook dengan kegiatan public relations yang dapat dimanfaatkan

Pada tahap pelaksanaan tindakan, guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan problem based learning dan memanfaatkan media CD interaktif, sesuai dengan Rencana

Bank Kustodian akan menerbitkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan antara lain jumlah investasi yang dialihkan dan dimiliki serta Nilai Aktiva Bersih

Proses ini akan menghasilkan hasil dari sebuah klasifikasi pada dokumen rekam medis untuk digunakan proses informasi ekstraksi teks kedalam database yang akan

Nama pihak, tugas dan tanggung jawab masing- masing pihak tercantum pada Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam