• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. berterima kasih atas segala rahmat dan nikmat-nya yang dilimpahkan. dengan ajaran-ajaran-nya/ajaran islam (Shodiq, 2001:328).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. berterima kasih atas segala rahmat dan nikmat-nya yang dilimpahkan. dengan ajaran-ajaran-nya/ajaran islam (Shodiq, 2001:328)."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

21 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Bersyukur (Gratitude)

2.1.1 Pengertian Bersyukur (Gratitude)

Kata syukur diambil dari kata bahasa arab yaitu yang berarti terima kasih (Yunus,1988:201). Syukur yaitu merasa gembira dan puas serta berterima kasih atas segala rahmat dan nikmat-Nya yang dilimpahkan kepadanya, sungguhpun tidak sesuai dengan yang diharapkan umpamanya. Sikap dan sifat syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk meningkatkan amal ibadah dan ikhtiyar, yang semuanya itu dilakukan karena Allah dan untuk Allah, sebab sunnah-Nya (sunnatullah). Menghargai nikmat dan rahmat Allah tersebut, diwujudkan dengan menggunakannya sesuai dengan ajaran-ajaran-Nya/ajaran islam (Shodiq, 2001:328).

Menurut Emmons, McCullough & Tsang (dalam Snyder&Shane, 2002:273) bersyukur (gratitude) berasal dari bahasa latin yaitu Grace (keindahan), gratefulness (berterima kasih) dan graciousness (keluwesan). Sedangkan menurut Al Ghazali (2013:66) bersyukur merupakan maqam yang lebih tinggi dari sabar dan khauf (takut). Menurut Sa’id hawwa (dalam Sirojuddin, 2001:17) bersyukur merupakan mengerahkan secara total apa yang dimilikinya dan melakukan apa yang dicintai Allah SWT. Bersyukur merupakan perasaan berterima kasih terhadap nikmat Allah SWT yang ditandai dengan bertambahnya ketaatan kepada Allah SWT.

Jadi, bersyukur merupakan perasaan berterima kasih yang ditandai dengan perasaan lega dan puas terhadap apa yang didapatkan sebagai

(2)

pengalaman-pengalaman positif yang mampu meningkatkan keta’atan kepada Allah SWT.

A. Bersyukur (Gratitude) dalam perspektif Islam

Kata syukur juga (Asy-syukr) berarti “Al-imtinan” (terima kasih), sikap ridha terhadap kebaikan, seperti apapun bentuk kebaikan tersebut. Adapun secara terminologis, “syukur” berarti menggunakan anugerah yang diterima manusia berupa perasaan, pikiran, anggota badan dan organ tubuh sesuai tujuan penciptaannya masing-masing. Sebagaimana halnya syukur dapat dilakukan dengan hati dan lidah, ia juga dapat dilakukan menggunakan semua anggota tubuh (Gulen, 2014:181).

Dalam ayat alqur’an terdapat banyak firman Allah tentang syukur,

diantaranya adalah :             

Artinya :“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (Q.S Ibrahim:7) Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah akan menambah nikmat jika Hamba-Nya bersyukur. Penambahan nikmat itu adalah dengan diberikannya lima keistimewaan kepada orang yang bersyukur berupa kekayaan, doa yang mustajab, rezeki, maghfirah, dan tobat (Hawwa, 2007:382). Dalam surat Al-baqarah ayat 152 Allah berfirman yang berbunyi :

      

(3)

Artinya : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku”

Maksud ayat di atas adalah perintah agar manusia senantiasa mengingat Allah. Mengingat Allah berarti dzikir yang dilakukan dalam menambah keta’atan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada manusia.

Syukur adalah mengerahkan secara total apa yang dimilikinya untuk mengerjakan apa yang paling dicintai Allah (Hawwa, 2007:381). Syukur adalah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukurnya seorang hamba berkisar atas tiga hal yang apabila ketiganya tidak berkumpul maka tidaklah dinamakan bersyukur, yaitu mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah (Ilyas, 2007:50).

Menurut Ubaid (2014:171-173) menyatakan bahwa syukur adalah memuji Dzat yang memberi kenikmatan atas limpahan kebaikan yang Dia anugerahkan. Para shalafusshaleh bisa saling bertanya kabar dengan maksud agar keluar kata-kata syukur kepada Allah, karena orang yang bersyukur dianggap sebagai orang yang taat, dan orang yang menyebabkan keluarnya kata-kata syukur juga dianggap sebagai orang yang taat. Sebagian ulama juga mengatakan bahwa bersyukur adalah ketika tidak menggunakan sesuatu pun dari nikmat yang diterima untuk kemaksiatan.

(4)

Fethullah (2014:187) menyatakan bahwa berdasarkan elemen pembentuknya syukur terbagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu :

1) Syukur terhadap nikmat yang diterima oleh semua orang, baik yang awam maupun yang khas, baik yang muslim maupun yang non-muslim, dan mereka semua menyukai nikmat itu. Inilah jenis syukur yang sangat jelas dan tidak ada sesuatu apapun yang akan menunda-nunda pelaksanaannya. 2) Syukur terhadap hal-hal yang secara lahir tampak tidak disukai, atau

secara lahiriah terasa berat dan tidak menyenangkan. Untuk bersyukur terhadap hal-hal semacam ini amatlah sulit, kecuali bagi orang-orang yang pandangannya mampu menembus ke balik tirai semua kejadian, karena ini adalah bagian dari kasih sayang Ilahi yang akan mewarnai siapapun yang mampu mensyukurinya dengan sifat ridha dan siap menerima apapun dari-Nya.

3) Syukur dilakukan oleh orang-orang yang mencurahkan seluruh hidup mereka dalam orbit cinta kepada Allah. Mereka tidak pernah melihat nikmat, selain dari perspektif Dzat yang telah memberi nikmat tersebut. Mereka sangat peka terhadap kasih sayang dan nikmat-Nya dengan segala keagungan Allah. Orang-orang ini hidup di kedalaman kesaksian pada Allah, sehingga ibadah yang mereka lakukan menjadi senandung dari dzauq yang mereka miliki.

Jadi, bersyukur dalam perspektif islam berarti menggunakan secara total segala nikmat yang diberikan Allah SWT sebagai bentuk perasaan berterima kasih

(5)

untuk digunakan dalam berdzikir, beramal dan mengerjakan amalan kebaikan lainnya.

B. Bersyukur (Gratitude) dalam Perspektif Barat

Dalam sebuah kutipan Universitas California yang dikutip oleh Davis dari Robbert Emmons (2005, personal communication), Bersyukur diartikan sebagai pengalaman seseorang tentang sesuatu yang berharga dari orang lain yang ditandai dengan menghargai orang lain, penerimaan yang berharga, menolong untuk membalas kebaikan seseorang. Berdasarkan hal di atas, bersyukur dapat diartikan sebagai keadaan dalam diri seseorang untuk mengapresiasi segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan atas pengalaman-pengalamannya (Bryant, 1989; Langston, 1994 dalam Snyder, 2007:273).

Sedangkan menurut Peterson & Seligman (2004) membedakan bersyukur menjadi dua jenis, yaitu personal dan transpersonal. Bersyukur personal adalah rasa berterimakasih yang ditujukan kepada orang lain secara khusus yang telah memberikan kebaikan atau sebagai adanya diri mereka. Sementara bersyukur transpersonal adalah ungkapan terima kasih terhadap Tuhan kepada kekuatan yang lebih tinggi, atau kepada dunianya. Sedangkan Shane & Snyder (2007:273) mendefinisikan bersyukur sebagai sebuah perasaan yang mengisyaratkan rasa kagum, penuh terima kasih, dan mengapresiasi sesuatu yang diterima.

Ortony, Clore, dan Collins (1988) mendefinisikan bersyukur sebagai penyebab seseorang menjadi lebih baik dari pemberian orang lain ketika apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan didapatkan (Snyder, 2007:273). Sebagai contoh, seseorang baru saja menyelesaikan masalah kesehatan dan mendapatkan

(6)

pengalaman yang bermanfaat (Affleck & Tennen, 1996 dalam Snyder, 2007:273). Istilah yang terakhir “penemuan yang bermanfaat” sebagai sebuah ruang lingkup dari “altruisme” yang berarti kemampuan untuk berempati atas kondisi yang tidak baik yang ditandai dengan perasaan bersyukur atau berterima kasih kepada orang lain (McCoulough, 2005. Personal Communication).

Bersyukur diungkapkan sebagai kecenderungan perasaan manusia dalam menerima nikmat atau hadiah dalam kebiasaan pemeluk agama Hidhu, Budha, Muslim, Kristen, dan Yahudi (Emmons dkk, 2003 dalam Snyder, 2007:273).

Sedangkan menurut Alissa R.S & Avin F.H (2013) menyatakan bahwa bersyukur adalah menerima segala yang terjadi dalam hidupnya baik itu sesuatu yang terjadi karena orang lain maupun dari diri sendiri. Syukur dan Harga Diri Dengan Kebahagiaan Remaja : Jurnal Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (di Akses pada Hari Minggu, 01 Oktober 2016 pada pukul 20.00 WIB).

Sehingga dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa bersyukur merupakan pengakuan atas nikmat yang diterima manusia dari Allah berupa emosi positif yang mengekspresikan kebahagiaan dan berterimakasih karena adanya penghargaan, pemberian, kebaikan yang diterimanya dan mendorong seseorang untuk lebih mencintai Tuhannya sehingga menjadikan seseorang bersikap baik dan menggunakan nikmat yang diberikan sesuai dengan kehendak-Nya.

(7)

2.1.2 Aspek- Aspek Bersyukur (Gratitude)

Dalam buku Ihya „Ulumuddin syukur terbagi ke dalam tiga aspek, yaitu : (Al Ghazali, 2013:66-75).

a. Syukur ilmu

Pokok yang pertama adalah ilmu, yaitu ilmu (pengetahuan) tentang tiga perkara, kenikmatan itu sendiri dari segi bahwa ia adalah kenikmatan baginya dan dzat yang memberi kenikmatan baginya, dan dzat yang memberi kenikmatan serta wujud sifat-sifatnya yang dengan sifat itu pemberian kenikmatan menjadi sempurna.

Syukur ilmu yaitu mengetahui tiga hal; nikmat itu sendiri, segi keberadaannya sebagai nikmat bagi-Nya, dan Dzat yang memberikan nikmat serta sifat-sifat-Nya. Maka, syukur dapat terlaksana apabila ada nikmat. Dengan mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan karunia dari Allah, Dzat yang Mahasuci, dan Maha Esa. (Hawwa, Sa’id. 2007:384).

Orang yang bersyukur secara ilmu akan mengetahui bahwa segala yang didapatkan dan dijalani merupakan pemberian dan anugerah dari Allah SWT. Pengetahuan akan nikmat Allah juga ditandai dengan seseorang mampu mendapatkan pengampunan dan kemudahan dari Allah. Hal ini berarti bahwa orang tua anak tunagrahita mengetahui bahwa anak tunagrahita merupakan anugerah dari Allah yang harus dijaga dan dididik.

(8)

b. Syukur Ihwal (kondisi spiritual)

Syukur dari segi ini bahwa ia berbahagia dengan orang yang memberi kenikmatan, akan tetapi tidak dari segi diri orang itu, namun dari segi pengertian kesungguhan perhatiannya mendorongnya atas memberi kenikmatan di masa yang akan datang. Dan ini adalah keadaan orang-orang yang shalih yang menyembah Allah SWT.

Syukur dari segi ihwal yaitu kegembiraan kepada Pemberi nikmat yang disertai kepatuhan dan tawadhu’. Tetapi syukur hanya terjadi apabila ia telah memenuhi syaratnya, yaitu kegembiraan kepada Pemberi nikmat, bukan kepada nikmat atau orang yang memberimu nikmat, karena hakikatnya nikmat itu berasal dari Allah. (Hawwa, Sa’id. 2007:384).

Contoh orang yang bersyukur secara ihwal adalah orang tua anak tunagrahita gembira ketika melihat anaknya bersekolah, hal ini disebabkan salah satunya karena orang tua merasa senang atas nikmat yang Allah berikan berupa kemudahan anaknya untuk bersekolah. c. Syukur amal perbuatan

Syukur dengan amal perbuatan disebabkan kegembiraan yang berhasil dari mengenal yang memberi kenikmatan. Amal perbuatan ini berhubungan dengan kalbu, dengan lisan, dan dengan anggota badan. Adapun dengan kalbu, maka bermaksud berbuat kebaikan dan menyembunyikannya bagi seluruh makhluk-Nya. Adapun dengan lisan, maka melahirkan kesyukuran bagi Allah SWT dengan segala

(9)

bentuk pujian yang menunjukkan kepada kesyukuran itu. Adapun dengan anggota badan, maka menggunakan kenikmatan-kenikmatan Allah SWT di dalam proses menaati-Nya dan menjaga diri dari meminta pertolongan dengan kenikmatan itu untuk menghadapi perbuatan maksiat kepada-Nya.

Syukur dengan amal perbuatan yaitu ungkapan kegembiraan atas kenikmatan yang diberikan Allah Sang Pemberi Nikmat, kepadanya. Amal perbuatan ini mencakup perbuatan hati, lisan dan anggota badan.

Syukur dengan hati yaitu orang tua mengakui bahwa menyadari dengan sepenuh hati segala yang terjadi dalam kehidupannya merupakan rencana Allah, oleh sebab itu orang tua anak tunagrahita mampu menjadikan anaknya sebagai lahan untuk bersyukur, orang tua menyadari bahwa banyak anak orang lain yang lebih parah daripada orang tua tersebut.

Syukur dengan lisan yaitu orang tua senantiasa menyebut Asma Allah ketika akan melakukan pekerjaan, seperti mengantarkan anak sekolah, ketika akan bekerja. Pekerjaan yang dilakukan orang tua dengan tekun adalah untuk kesejahteraan anaknya tersebut. Begitupun syukur dengan amal perbuatan, yaitu orang tua melakukan kegiatan positif yang bernilai ibadah disisi Allah, seperti mengantarkan anak sekolah, memberikan fasilitas terbaik untuk pendidikan dan perkembangan anaknya.

(10)

Jadi, aspek-aspek bersyukur yang dijelaskan oleh Al-Ghazali adalah syukur ilmu yang berarti mengetahui hakikat nikmat itu sendiri, hal ihwal yang berarti merasa gembira atas nikmat itu dan Sang Pemberi nikmat, syukur amal perbuatan yaitu berupa ungkapan kegembiraan yang ditandai dengan bertambahnya ketaatan yang dilakukan dengan hati, lisan, anggota badan.

2.2 Kesejahteraan Subjektif (Subjective well being)

2.2.1 Pengertian Kesejahteraan Subjektif (Subjective well being)

Menurut Diener, Lucas & Oishi (dalam Snyder&Shane, 2002:62) mendefinisikan kesejahteraan subjektif sebagai evaluasi seseorang terhadap hidupnya secara kognitif maupun afektif; evaluasi ini menghasilkan reaksi emosional yang baik atas setiap peristiwa yang dialami dan respon kognitif seseorang menghasilkan kepuasan hidup dan merasa berharga. Kesejahteraan subjektif ditandai dengan pengalaman-pengalaman positif seseorang, rendahnya mood negatif, dan tingginya kepuasan hidup.

Setelah perang dunia ke-2, Para ahli melakukan survey mengenai tingkat kebahagiaan individu melalui kuisoner. Orang-orang yang tergabung dalam survey ini mengumpulkan data dengan kuisoner dan diperoleh hasil bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai sampel yang bisa digunakan dalam melakukan survey. George Gallup, Gerald Gurin dan koleganya, serta Handley Cantril melakukan survey dengan menggunakan teknik skala sebagai proses pengumpulan data. Mereka

(11)

bertanya kepada individu, “Apakah kamu bahagia?” dengan pilihan jawaban yang sederhana “sangat bahagia” atau “tidak bahagia”. Beberapa tahun terakhir, Diener (2000) memperkenalkan bahwa istilah yang baru dari survey yang telah dilakukan, istilah itu dicetuskan sebagai “kesejahteraan subjektif (Snyder&Shane, 2002:63-64).

Istilah Kesejahteraan subjektif seringkali diartikan sebagai sinonim dari kebahagiaan. Diener (2002) mendefiniskan kesejahteraan subjektif sebagai sebuah kombinasi dari afek positif (yang didalamnya juga tergabung afek negatif) dan kepuasan hidup. Dalam hal ini, Diener (2002) menyatakan bahwa istilah dari kesejahteraan subjektif merupakan sinonim dari kebahagiaan. Namun setelah melakukan beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa kebahagiaan merupakan salah satu komponen dari terciptanya kesejahteraan subjektif. Hal ini dibuktikan dengan perumusan definisi kesejahteraan subjektif sebagai berikut :

Kebahagiaan + Pemaknaan = Kesejahteraan

Berdasarkan hal tersebut, Para ahli psikologi juga menyatakan bahwa perspektif hedonis juga menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif dan kebahagiaan merupakan sebuah sinonim. Untuk mengatasi hal ini, maka ditinjau kembali konsep mengenai euidaimonia yang diperkenalkan oleh Filsuf bernama Aristoteles. Eudaimonia merupakan gabungan dari kebahagiaan dan pemaknaan. Hal ini sesuai dengan rumus diatas bahwa kesejahteraan subjektif terdiri dari kebahagiaan dan pemaknaan akan kebahagiaan tersebut. Dari beberapa pernyataan Ahli tersebut dipahami

(12)

bahwa kesejahteraan subjektif merupakan gabungan dari perspektif euidaimonia dan hedonis (Snyder & J.Lopez, 2002:140).

Perspektif hedonis menyatakan bahwa kesejahteraan subjektif ditandai dengan tidak adanya pengalaman negatif yang menyebabkan rendahnya emosi negatif dan mood dan tingginya kepuasan hidup yang dirasakan oleh individu. Perspektif ini menyatakan bahwa mengejar kesenangan dan menghindari masalah dalam hidup merupakan indikasi dalam mengindentifikasi kesejahteraan subjektif yang ada dalam diri seseorang. Berbeda dengan perspektif hedonis, perspektif eudaimonia lebih fokus kepada fungsi individu dalam kehidupannya dan bagaimana seseorang mampu mencapai tujuannya dalam kehidupan.

Secara spesifik, Ryff dan koleganya mengindentifikasikan enam aspek yang menjadi komponen dari eudaimonia yaitu kemandirian, penyesuaian dengan lingkungan, pertumbuhan kepribadian, hubungan yang positif dengan yang lain, tujuan dalam hidup, dan penerimaan diri. Individu yang memenuhi beberapa aspek dari enam aspek ini mempunyai

kemandirian dalam mengendalikan diri dan berbagai rutinitas

kehidupannya yang ditandai dengan tingginya kemandirian, mampu memperkenalkan identitasnya dengan lingkungan sekitar dengan tepat dan mempunyai kemampuan dalam mengambil kesempatan untuk mencapai kenyamanan dalam lingkungan (penyesuaian dengan lingkungan), mampu memanfaatkan kesempatan dan waktu dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensinya (pertumbuhan kepribadian), bergabung dalam

(13)

berbagai hal yang menyebabkan individu tersebut mempunyai sikap menyenangkan, hangat, dan dipercaya dalam hubungan (hubungan yang positif dengan yang lainnya), bisa memperkenalkan dirinya dan mampu mencapai tujuan yang ingin ia capai (tujuan hidup), dan mempunyai sikap yang positif mengenai dirinya (Shane, 2009:1031).

Kesejahteraan eudaimonia juga diperkenalkan oleh Ryff dan Keyes (1995) yang menyatakan bahwa gabungan dari beberapa prinsip mengenai kesenangan dikategorikan ke dalam kesehatan mental. Secara spesifik, mereka menyatakan bahwa fungsi yang optimal sebagai gabungan dari kesejahteraan emosional (yang mereka definisikan bahwa kesejahteraan subjektif ditandai dengan adanya afek positif dan kepuasan dalam hidup dan tidak adanya afek negatif), kesejahteraan sosial (mampu bekerjasama dengan orang lain, mampu mengaktualisasikan diri, berkontribusi, mampu menyesuaikan diri, integrasi), dan kesejahteraan psikologis (penggabungan dari penerimaan diri, pertumbuhan kepribadian, tujuan hidup, penyesuaian terhadap lingkungan, kemandirian, dan hubungan yang positif dengan orang lain). Jadi, dapat dipahami bahwa kesejahteraan subjektif merupakan indikasi dari sehatnya mental seseorang yang ditandai dengan adanya kesejahteraan emosional, kesejahteraan sosial dan kesejahteraan psikologis (Snyder&Shane, 2002:144).

Dalam mengukur afek negatif dan afek positif, maka Watson dan rekannya di Universitas Lowa berusaha mengembangkan pengukuran untuk membedakan antara afek negatif dan afek positif yang dicetuskan

(14)

oleh Diener sebagai teori dari kesejahteraan subjektif yang berarti evaluasi hidup seseorang terhadap hidupnya secara kognitif dan afektif. Watson dan Lee Anna Clark (1994) berkolaborasi dalam mengembangkan dan mengukur pengembangan dari skala PANAS (Positive and Negative Affect Schedule) yang digunakan untuk suatu tempat tertentu. Skala PANAS tersebut terdiri dari 20 kata sifat atau perasaan yang terdiri dari lima pilihan jawaban. Seperti yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :

Perasaan atau emosi Sangat tidak setuju Kurang setuju Biasa-biasa saja Setuju Sangat setuju Merasa tertarik 1 2 3 4 5 Merasa tertekan 1 2 3 4 5 Merasa gembira 1 2 3 4 5 Merasa terganggu 1 2 3 4 5 Merasa kuat 1 2 3 4 5 Merasa bersalah 1 2 3 4 5 Merasa takut 1 2 3 4 5 Merasa memusuhi 1 2 3 4 5 Merasa antusias 1 2 3 4 5 Merasa bangga 1 2 3 4 5 Merasa mudah marah 1 2 3 4 5 Merasa waspada 1 2 3 4 5 Merasa terinspirasi 1 2 3 4 5 Merasa 1 2 3 4 5

(15)

grogi Merasa tekun 1 2 3 4 5 Merasa penuh perhatian 1 2 3 4 5 Merasa gelisah 1 2 3 4 5 Merasa aktif 1 2 3 4 5 Merasa cemas 1 2 3 4 5

Tabel 2.1 : Skala PANAS

2.2.2 Dimensi-dimensi kesejahteraan subjektif

Dimensi-dimensi kesejahteraan subjektif terdiri dari dua dimensi, yaitu : (Dalam J.Lopez, Shane & Snyder, C.R. 2007:412)

a. Dimensi Kognitif

Dimensi kognitif yaitu seberapa sering seseorang memaknai dan merasa puas terhadap hidupnya. Dalam hal ini dimensi kognitif dari kesejahteraan subjektif yaitu kepuasan hidup. Kepuasan hidup yang dirasakan individu disebabkan oleh evaluasi kognitif seseorang ketika mengevaluasi pengalaman-pengalamannya di masa lalu.

b. Dimensi Afektif

Dimensi afektif yaitu seberapa sering seseorang merasa lebih baik dan mempunyai mood negatif yang rendah, dimensi afektif ini terdiri dari afek positif dan afek negatif. Seseorang yang memiliki kepuasan hidup yang baik akan menyebabkan seseorang tersebut merasakan afek positif dalam dirinya. Seperti, bersemangat, gembira, tenang dan penuh kedamaian serta sikap-sikap positif lainnya.

(16)

Kesejahteraan subjektif tidak hanya berhubungan dengan kepuasan hidup dan afek positif, namun juga berhubungan dengan afek negatif. karena kesejahteraan subjektif merupakan evaluasi individu terhadap hidupnya yang ditandai dengan adanya kepuasan hidup dan tingginya afek positif serta rendahnya afek negatif yang dimiliki oleh seseorang. 2.3 Hubungan Bersyukur dengan Kesejahteraan Subjektif

Hamka (2015:90) dalam tafsir Al Azhar edisi revisi menjelaskan makna Surat Ibrahim ayat 7 mengenai orang-orang bersyukur yang memiliki kelapangan hati dan kebahagiaan. Hal ini ditandai dengan menerima segala yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sehingga Allah SWT mampu menambah nikmat-Nya. Timbulnya kufur (tidak bersyukur) yaitu rasa tidak puas, rasa tidak mengenal terima kasih, dan menghitung sesuatu dari segi kekurangannya saja adalah siksa bagi jiwa itu sendiri.

Snyder (2002) menjelaskan bahwa kesejahteraan subjektif pada diri seseorang diindikasikan dengan pemaknaan seseorang terhadap kebahagiaan yang dimilikinya. Ketika seseorang mampu memaknai kehidupannya dengan baik maka seseorang akan sejahtera, sejahtera secara subjektif dapat diwujudkan dengan bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepada individu tersebut.

Fordyce (1997,1983) juga menjelaskan evaluasi mengenai hasil penelitian yang ia lakukan mengenai evaluasi program yang membantu meningkatkan kebahagiaan pada diri individu. Program yang dilakukannya mengacu pada faktor utama yang menyebabkan meningkatnya kesejahteraan

(17)

subjektif pada diri seseorang. Kesejahteraan subjektif pada individu dapat ditingkatkan ketika mereka mengimitasi atau mau belajar dari traits seseorang yang menimbulkan kebahagiaan, tetap menyibukkan diri, menghabiskan waktu untuk aktifitas sosial, membiasakan sikap yang positif terhadap orang lain maupun diri sendiri, dan menciptakan kebiasaan yang dapat membangun pribadi yang sehat (Snyder&Shane, 2002:69). Sikap yang positif merupakan salah satu ciri-ciri seseorang dapat bersyukur dalam hidupnya karena menurut Emmons (2002) seseorang yang bersyukur mampu menghargai atau mengapresiasi dengan baik sesuatu yang dia terima dari orang lain. Rasa apresiasi yang tinggi akan menyebabkan seseorang mampu menciptakan sikap bersyukur yang mampu meningkatkan kesejahteraan subjektif pada diri individu.

2.4 Penelitian yang Relevan

Penelitian ini juga menggunakan tambahan literatur untuk bahan acuan dan memperkuat teori dan referensi dalam penelitian ini. Selain dari referensi yang dipakai dari buku, jurnal, laporan penelitian, artikel maupun internet, penulis juga menambahkan dari skripsi terdahulu.

Banyak penelitian tentang bersyukur dengan kesejahteraan subjektif yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, yaitu :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Adina Pramitasari (2016) yang membahas tentang hubungan kebersyukuran dengan kesejahteraan subjektif pada Guru SMAN 1 SEWON. Sebagai guru yang bertanggung jawab dalam mendidik siswa-siswi yang berperan dalam pewaris peradaban maka guru

(18)

dituntut untuk optimal dalam melakukan perannya sebagai tenaga pendidik. Guru dengan berbagai peran sering mengalami keluhan atas tugas-tugas yang harus dilakukan sebagai guru. Sebagai guru tidak hanya bertugas dalam mendidik namun juga dalam menyusun penilaian banyak yang harus diperhatikan, belum lagi sertifikasi yang menuntut untuk mengerjakan bahan-bahan yang menyebabkan terganggunya tugas mengajar di sekolah. Gambaran hubungan kebersyukuran dengan kesejahteraan subjektif dari 51 responden terdapat hasil hubungan positif antara kedua variabel tersebut dengan pearson correlation 0,698%.

Dari perhitungan deskriptif diperoleh hasil kesejahteraan subjektif dan kebersyukuran responden berdasarkan nilai mean yaitu 168,29 dan 60,47. Hal ini dapat dikatakan bahwa responden yang memiliki kebersyukuran yang tinggi cenderung memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara kebersyukuran dengan kesejahteraan subjektif maka diperoleh korelasi sebesar (r) 0,689 dan nilai signifikansinya sebesar 0,01 (p>0,05 pearson correlation 0,698) yang berarti terdapat hubungan positif antara kebersyukuran dengan kesejahteraan subjektif pada Guru SMAN 1 SEWON.

2. Dewanto & Retnowati (2015) dalam penelitiannya tentang intervensi kebersyukuran untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas fisik diperoleh hasil bahwa sebagai penyandang disabilitas tentu memiliki banyak keterbatasan yang akan memengaruhi perannya dalam hubungan sosial dalam masyarakat, sehingga hal tersebut akan berdampak pada

(19)

kesejahteraan penyandang disabilitas fisik. Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimen yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh kebersyukuran untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif pada penyandang disabilitas fisik. Subjek penelitian terdiri dari 13 orang, yaitu 8 orang sebagai kelompok eksperimen dan 5 orang sebagai kelompok kontrol yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu laki-laki atau perempuan penyandang disabilitas fisik, bukan disabilitas ganda, mampu membaca dan menulis, mampu berkomunikasi dengan baik, memiliki skor kebersyukuran dan kesejahteraan yang rendah dan sedang, bersedia menjadi responden dengan menandatangi persetujuan.

Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa terjadi peningkatan kesejahteraan yang signifikan pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diukur dengan menggunakan skala pengalaman positif negatif, kesejahteraan psikologis, dan pikiran positif. Meningkatnya kesejahteraan seiring dengan meningkatnya kebersyukuran. Hasil penelitian ini tidak lepas dari modul intervensi kebersyukuran yang digunakan dalam proses intervensi. Modul intervensi kebersyukuran merupakan kombinasi dari intervensi syukur yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Menurut subjek pada kelompok eksperimen, penugasan yang diberikan di dalam modul intervensi tidak memberatkan ataupun menyusahkan subjek. Hasil intervensi ini juga tidak lepas dari peran fasilitator yang dinilai baik oleh

(20)

pengamat, kesediaan peserta untuk berbagi pengalaman dan mengerjakan tugas harian dengan baik serta ketersediaan tempat yang cukup nyaman di BRTPD.

3. Penelitian dengan tema tentang peranan orang tua dalam penyesuaian diri anak tunagrahita yang dilakukan oleh Ria ulfatussholihat (2016). Anak tunagrahita merupakan anak yang cacat secara mental ataupun psikologis. Faktor-faktor yang menyebabkan anak tunagrahita adalah karena makanan, campak dan kondisi ekonomi yang rendah sehingga orang tua terlambat membawa anak berobat yang pada akhirnya menyebabkan anak mengalami tunagrahita. Menjadi anak tunagrahita bukanlah perkara mudah, karena harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam bermasyarakat. Oleh karena itu diperlukan peran orang tua dalam membimbing anak tunagrahita untuk menumbuhkan penerimaan terhadap dirinya agar bisa berkembang dan bersosialisasi dengan baik.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Karakteristik subjek dari penelitian ini adalah penyandang tunagrahita yang berusia 32 tahun, dan karakteristik responden pada penelitian ini adalah orang tua tunagrahita yang berusia rentang 25-50 tahun. Berdasarkan hasil penelitian terdapat penjelasan bahwa anak tunagrahita mempunyai kemandirian, mempunyai cita-cita seperti orang pada umumnya, interaksi sosial, memiliki keinginan diri, memiliki kontrol diri. Ada dua ukuran besar dalam penyesuaian diri anak tunagrahita yang menjadi faktor utama yaitu emosi yang berarti orang tua

(21)

yang penuh kehangatan dan mempunyai respon yang positif terhadap apa yang dilakukan anak akan menyebabkan anak cepat terdorong untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan mampu menerima keadaan dirinya. Ukuran yang kedua adalah kontrol, orang tua dapat menyerahkan kebebasan pada anak untuk mengatur dan bertingkah laku sesuai yang mereka mau sehingga mereka terlatih untuk mandiri dan mempunyai rasa percaya diri yang baik.

4. Selanjutnya, Penelitian yang dilakukan oleh Bima Adi Prasa (2012) tentang Stress dan Coping pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Orang tua yang memiliki anak retardasi mental tentu memiliki tantangan yang berbeda dari orang tua lainnya karena orang tua anak retardasi mental dituntut untuk melakukan peran yang tidak mereka ketahui sebelumnya sehingga menimbulkan kebingungan dalam dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja sumber stress dari orang tua yang memiliki anak retardasi mental tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.

Subjek penelitian adalah dua orang tua yang memiliki karakter dan latar belakang yang berbeda namun sama-sama memiliki anak retardasi mental. Subjek pertama adalah orang tua muslim yang memiliki beberapa anak. Subjek kedua adalah seorang ibu single parent yang hanya hidup berdua dengan anaknya yang retardasi mental. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara semi terstruktur dan observasi non-partisipan.

(22)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber stres orang tua adalah yang bersumber dari diri individu, dan sumber dari luar individu. Kedua subjek memiliki dua sumber koping yaitu dari dalam individu dan dari luar individu. Kedua sumber koping tersebut dapat diuraikan menjadi lima aspek yaitu dukungan sosial, nilai dan keyakinan, kontrol kepercayaan diri, dan penghargaan diri. Strategi upaya koping yang digunakan meliputi perencanaan pemecahan masalah, penilaian positif, distancing, pengendalian diri, mencari dukungan sosial, dan menerima tanggung jawab. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat dipahami bahwa sumber stres orang tua dengan anak retardasi mental adalah berasal dari diri individu dan luar individu. Sedangkan sumber koping orang tua adalah dari dalam individu yaitu nilai dan keyakinan, self esteem, kepercayaan diri, dan kebugaran. Sedangkan dari luar individu adalah dukungan sosial.

Upaya koping yang muncul dalam penelitiaan ini antara lain adalah mencari dukungan sosial, pemecahan masalah yang terencana, kontrol diri, menjauh, penilaian positif, dan menerima tanggungjawab. Dari enam upaya yang dilakukan oleh orang tua tersebut, dua yang terakhir menjadi upaya koping utama subjek penelitian. Penilaian positif yang dilakukan oleh responden yang pertama adalah dengan meyakini segala hal yang pernah terjadi merupakan nikmat dari Allah SWT yang harus disyukuri dan diterima sebagai wujud rasa syukur, penilaian yang positif ini sangat berdampak untuk mengurangi tingkat stress orang tua yang memiliki anak

(23)

retardasi mental. Sedangkan pada responden yang kedua memiliki penilaian yang positif bahwa dengan dukungan dari orang-orang terdekat akan membuat dia yakin dalam menjalani kehidupan sebagai ibu yang single parent sehingga dapat mengurangi stress yang ada pada respoden kedua.

5. Kemudian ada juga penelitian yang membahas tentang penerimaan orang tua anak retardasi mental ditinjau dari kelas sosial oleh Haidil khoiri (2012). Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah perbedaan tingkat penerimaan orang tua ditinjau dari kelas sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini memakai metode kuantitatif komparatif, yaitu membandingkan tingkat penerimaan orang tua terhadap anak retardasi mental berdasarkan kelas sosial. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 38 orang, yang terdapat hasil bahwa 5 subjek kelas menengah atas, 16 subjek kelas menengah tengah, dan 17 subjek kelas menengah bawah. Metode pengumpulan data menggunakan angket kelas sosial dan skala penerimaan orang tua sebanyak 50 item. Hasil uji validitas dengan korelasi product moment diperoleh 34 aitem valid dengan kisaran koefisien validitas dari 0,339 sampai dengan 0,702. Hasil uji reliabilitas dengan rumus alpha cronbach diperoleh koefisien reliabilitasnya 0,870. Hasil analisis data dengan teknik Mann Whitney menunjukkan z=0,271 dengan P=0,787. (P>0,05) yang berarti tidak ada perbedaan penerimaan orang tua terhadap anak retardasi mental ditinjau dari kelas sosial menengah dan kelas sosial bawah.

(24)

Maka dari hasil penelitian ini dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat kelas sosial orang tua dengan penerimaan orang tua anak retardasi mental. Yang menjadi penyebab perbedaan penerimaan orang tua anak retardasi mental adalah tingkat penerimaan orang tua itu sendiri terhadap anaknya dan sejauh mana orang tua bisa beradaptasi dengan anaknya. Hal ini menjadi penting diperhatikan karena anak retardasi mental merupakan anak yang memiliki tingkat kecerdasan dibawah rata-rata serta kemampuan penyesuaian yang rendah sehingga anak ini membutuhkan pengasuhan dan perawatan dari orang tua dengan penuh kasih sayang. Rasa kasih sayang dari orang tua akan timbul ketika orang tua mampu menerima keadaan anaknya dengan baik.

6. Zulifatul Ghoniyah dan Siti Ina Savira (2015) telah melakukan penelitian tentang gambaran psychological well-being pada perempuan yang memiliki anak down syndrome diperoleh hasil bahwa metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Proses pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur yang terdiri dari tiga partisipan. Dari hasil penelitian ini terdapat empat tema besar yang terdiri dari proses penerimaan ketika memiliki anak down syndrome, permasalahan dalam pengasuhan anak down syndrome, upaya yang dilakukan ibu dalam mengatasi kesulitan pengasuhan anak, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan ibu dalam mengatasi kesulitan pengasuhan anak. Proses awal ibu anak down syndrome adalah merasa malu, cemas

(25)

bahkan tidak menerima keadaan anaknya, namun kemudian ketika menjalani proses penerimaan anaknya partisipan mampu terbiasa dengan keadaan tersebut dan bisa menerima.

Permasalahan yang dialami partisipan dalam pengasuhan anak down syndrome adalah kecemasan terkait keterbatasan anak yang membuat partisipan tertekan karena partisipan pernah mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari tetangga di sekitar rumah sehingga membuat partisipan sering mengeluh atas keadaan yang dialaminya. Partisipan juga menemukan ada saja kendala dalam mendidik anak down syndrome. Namun dari semua permasalahan itu partisipan melakukan upaya-upaya untuk mengatasi segala keadaan yang tidak

menyenangkan tersebut. Upaya-upaya itu diwujudkan dengan

menanamkan afeksi dan pikiran positif terhadap hidupnya dan keadaan anaknya, partisipan selalu berusaha untuk sabar dan penuh kasih sayang dalam mengurus anaknya sehingga membuat keluhan-keluhan partisipan tentang hidupnya menjadi berkurang. Kemudian setelah menanamkan afeksi dan pikiran positif partisipan mampu mengabaikan respon negatif dari lingkungannya sehingga partisipan bisa memahami bahwa semua yang terjadi dalam hidupnya merupakan ujian dari Allah SWT. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan ibu dalam mengatasi kesulitan pengasuhan anak adalah dukungan sosial, harapan terkait masa depan anak, kesadaran akan kekuatan yang dimiliki, adanya perubahan ke arah pertumbuhan dan perkembangan pribadi.

(26)

Hubungan penelitian-penelitian yang relevan di atas dengan penelitian ini. Pada penelitian yang dilakukan oleh Adina Pramitasari (2016) membahas tentang hubungan kebersyukuran dengan kesejahteraan subjektif pada Guru SMAN I SEWON. Penelitian ini memperkuat hipotesis pada hubungan antara dua variabel dalam penelitian yang akan penulis angkat tentang hubungan bersyukur dengan kesejahteraan subjektif. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Adina Pramitasari terdapat hubungan yang signifikan antara kebersyukuran dengan kesejahteraan subjektif, responden yang memiliki kebersyukuran yang tinggi cenderung memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi.

Pada penelitian kedua yang dilakukan oleh Dewanto & Retnowati (2015) tentang intervensi kebersyukuran untuk meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas fisik menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki disabilitas merupakan individu yang khusus di dalam masyarakat, hal ini menyebabkan para penyandang disabilitas sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa kesejahteraan penyandang disabilitas dapat ditingkatkan dengan rasa bersyukur yang tinggi. Hal ini sesuai dengan hipotesis penulis mengenai tema penelitian, yaitu adanya hubungan antara bersyukur dengan kesejahteraan subjektif.

Pada penelitian ketiga yang dilakukan oleh Ria Ulfatussholihat (2016) tentang peranan orang tua dalam penyesuaian diri anak tunagrahita menyatakan bahwa anak tunagrahita mempunyai kemandirian, mempunyai cita-cita seperti orang pada umumnya, interaksi sosial, memiliki keinginan diri, dan memiliki kontrol diri. Faktor yang mendorong anak tunagrahita dapat menyesuaikan diri

(27)

dengan baik adalah dukungan orang tua dan adanya emosi positif yaitu kehangatan dan mempunyai respon yang positif dalam mendidik anak tunagrahita. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan khazanah untuk memperkuat pemahaman penulis tentang orang tua yang memiliki anak tunagrahita.

Pada penelitian keempat yang dilakukan oleh Bima Adi Prasa (2012) tentang stress dan coping pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental dijelaskan bahwa salah satu sumber stress dari orang tua yang memiliki anak retardasi mental adanya kebingungan dari diri orang tua dalam merawat dan mengasuh anak retardasi mental yang mempunyai kebutuhan khusus. Hubungan penelitian ini dengan tema penelitian penulis adalah sebagai salah satu acuan dan tambahan referensi mengenai sumber stress apa saja dari dalam diri orang tua yang memiliki anak tunagrahita sehingga dapat mengganggu kesejahteraan subjektif orang tua yang memiliki anak tunagrahita. Retardasi mental merupakan sinonim dari istilah tunagrahita.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Haidil khoiri (2012) tentang penerimaan orang tua anak retardasi mental ditinjau dari kelas sosial. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan penerimaan orang tua anak retardasi mental jika ditinjau dari kelas sosial karena penerimaan orang tua bukan disebabkan oleh kelas sosial melainkan disebabkan oleh tingkat penerimaan orang tua itu sendiri terhadap anaknya. Sehingga penelitian ini berhubungan dengan penelitian penulis karena dapat menjadi bahan referensi untuk memahami tingkat penerimaan orang tua. Penerimaan orang tua dapat menjadi salah satu sumber

(28)

stress jika orang tua mempunyai tingkat penerimaan yang rendah terhadap anaknya.

Hubungan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Zulifatul Ghoniyah dan Siti Ina Savira (2015) adalah hubungan yang signifikan yang dapat membantu penulis untuk mengetahui kondisi awal orang tua anak down syndrome dalam proses penerimaan keadaan anaknya khususnya bagi ibu karena down syndrome merupakan salah satu jenis anak tunagrahita. Dalam penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa salah satu upaya orang tua (ibu) untuk menerima keadaan anaknya yaitu dengan menanamkan afeksi dan pikiran positif. Afeksi positif merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan subjektif pada diri seseorang. Sehingga ketika seseorang menanamkan afeksi dan pikiran positif dalam dirinya maka seseorang tersebut mempunyai kesejahteraan subjektif yang tinggi.

2.6 Kerangka Konseptual

Berdasarkan hasil pendahuluan sebagaimana diuraikan pada latar belakang masalah dan rumusan masalah tersebut, serta memperhatikan teori dan konsep yang mendukung, maka dapat diungkapkan kerangka penelitian yang menggambarkan hubungan antara variabel bebas (Bersyukur) dan Variabel terikat (Kesejahteraan subjektif).

Tunagrahita merupakan suatu kekhususan pada anak yang diindikasikan dengan intelektual berada di bawah rata-rata serta terganggungnya fungsi fisik. Hal ini menyebabkan peranan orang tua anak tunagrahita sangat dituntut untuk memberi perhatian dan bimbingan khusus. Ini merupakan tantangan terberat bagi

(29)

orang tua, tidak jarang orang tua yang kebingungan dalam cara mendidik dan membimbing anak tunagrahita. Kebingungan ini timbul disebabkan karena orang tua anak tunagrahita belum pernah mengalami fase seperti ini, namun ketika orang tua tidak cepat mencari tahu dan mempelajari mengenai kelainan yang terjadi pada anaknya maka orang tua akan stress dan cenderung membiarkan anaknya.

Untuk mendidik anak tunagrahita orang tua harus pandai dalam menjaga kestabilan emosinya. Karena anak tunagrahita pada umumnya juga memiliki keinginan yang sama dengan anak normal, seperti interaksi sosial dll. Sikap orang tua yang mampu menerima keadaan anaknya merupakan indikasi dari bersyukur yang ada pada diri orang tua. Karena bersyukur dapat dibuktikan dengan penerimaan akan keadaan sebagai takdir dan anugerah dari Allah SWT. Sikap bersyukur yang baik akan dapat menimbulkan kesejahteraan subjektif pada diri orang tua yang memiliki anak tunagrahita tersebut.

Kesejahteraan subjektif yang dimiliki oleh orang tua yang memiliki anak tunagrahita akan mampu membantu orang tua dalam menerima keadaan anaknya serta bersemangat dalam mendidik anak dan menjalani perannya sebagai orang tua. Karena kesejahteraan subjektif memiliki 3 aspek, yaitu afek positif, afek negatif dan kepuasan hidup. Kesejahteraan subjektif yang tinggi ditandai dengan tingginya mood positif dan rendahnya mood negatif, sedangkan kepuasan hidup ditandai dengan lebih banyaknya pengalaman positif orang tua pada masa lalu yang membuat orang tua anak tunagrahita memiliki kepuasan hidup yang tinggi.

Bersyukur merupakan sikap dari ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Dengan bersyukur orang tua anak tunagrahita

(30)

akan memiliki pengalaman emosi positif yang akan mengantarkannya kepada kesejahteraan subjektif yang mampu membuat orang tua memiliki afek positif yang lebih tinggi daripada afek negatif serta kepuasan hidup yang tinggi.

(31)

Bagan 1 : Bagan Kerangka Konseptual

Orang tua yang memiliki anak tunagrahita

Bersyukur (gratitude) Kesejahteraan subjektif

(subjective well-being)  Mengetahui segala yang diberikan dan yang terjadi merupakan nikmat Allah.  Merasa gembira dengan nikmat yang Allah berikan.  Melakukan kegiatan positif yang bernilai ibadah disisi Allah.  Afek positif (merasa bersemangat, merasa terinspirasi, merasa kuat, merasa tekun, merasa gembira)  Afek negatif (merasa tertekan, merasa cemas, merasa mudah marah)  Kepuasan hidup (disiplin dalam bekerja, hubungan baik dengan anak dan pasangan)

(32)

2.5 Hipotesis

Berdasarkan gambar dari kerangka konseptual di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian adalah adanya hubungan positif antara bersyukur (gratitude) dengan kesejahteraan subjektif (subjective well being) pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita di SLB Negeri 2 Kota Padang.

Referensi

Dokumen terkait

• Satu dari lima penjual yang menjawab survei kami menerima bantuan pemerintah dan sebagian besar (62%) menerima bantuan tunai terlepas dari ukuran bisnis mereka; di antara

- Untuk indikator ini belum dapat direalisasikan sehingga capaian kinerjanya 0%, karena proses rekomendasi untuk menjadi kebijakan harus menjalani beberapa tahapan yakni :

Kegiatan pembelajaran berikutnya yaitu membaca teks mengenai anggota tubuh hewan dan fungsinya. Salah satu siswa membacakan teks di buku pegangan siswa yang ditunjuk oleh guru

Perhitungan link budget dibutuhkan setiap kali merancang suatu jaringan baru, salah satunya adalah menghitung link budget pada hasil rancangan design jaringan

Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat

Hasil penelitian ini adalah (1) pemahaman guru terhadap strategi pembelajaran menulis puisi sudah baik karena guru sudah memahami teori dan pelaksanaan strategi pembelajaran;

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penggunaan teknik Everyone is a Teacher Here pada pembelajaran Fiqih di MIN Kertak Hanyar II Kabupaten