• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

11 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungutberdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Halim, 2004:96). Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah.

2.1.1 Definisi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 1 angka 13, adalah sebagai berikut:

“Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

2.1.2 Tujuan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 3, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan

(2)

otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Dalam upaya peningkatan PAD, daerah dilarang:

1) Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi; dan

2) Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lau lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor atau ekspor.

2.1.3 Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana diatur dalam Undnag-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 157, yaitu: a. Hasil pajak daerah

Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-daerah disamping retribusi daerah.

b. Hasil retribusi daerah

Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah retribusi daerah. Pengertian retribusi daerah dapat ditelusuri dari pendapat-pendapat para ahli, misalnya menurut Kaho (2005:171) retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung.

Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan ciri-ciri pokok retribusi daerah, yaitu:

(3)

a) Retribusi dipungut oleh daerah;

b) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk;

c) Retribusi dikenkaan kepada siapa saja yang memanfaatkan atau menikmati jasa yang disediakan daerah.

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan daerah yang dilepaskan dan penguasaan umum yang dipertanggungjawabkan melalui anggaran belanja daerah dan dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggungjawabkan sendiri.

d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:

a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b) Jasa giro;

c) Pendapatan bunga;

d) Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

2.2 Dana Perimbangan Daerah

Dana Perimbangan Daerah adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daearh untuk membiayai kebutuhan daerah

(4)

dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan aturan desentralisasi fiskal yang ada, proporsi dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 2.1

Proporsi Dana Perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

No. Jenis Dana Pemerintah

Pusat

Pemerintah Daerah

1 PBB 10% 90%

2 BPHTB 20% 80%

3 SDA Sektor Kehutanan (Iuran HPH

dan Provisi SD Hutan) 20% 80%

4 SDA Sektor Pertambangan Umum 20% 80%

5 SDA Sektor Perikanan 20% 80%

6 SDA Sektor Pertambangan Minyak 85% 15%

7 SDA Sektor Pertambangan Gas

Alam 70% 30%

8 Reboisasi 60% 40%

9

DAU (minimal 25% dari

Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN)

 10% untuk provinsi  10% untuk Kab/Kota

10 DAK (dapat dialokasikan APBN termasuk Dana Reboisasi)

Ditetapkan setiap tahun berdasarkan bidang

pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan

Sumber: UU No. 33 Tahun 2004

Sumber-sumber Dana Perimbangan telah diuraikan di atas, dalam

penerlitian ini penulis akan menguraikan tentang sumber Dana Perimbangan yang berasal dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

(5)

2.3 Pajak

Penghasilan negara berasal dari rakyatnya melalui pajak dan/atau dari hasil kekayaan alam (natural resources) yang ada di dalam negara tersebut. Dua sumber itu merupakan sumber terpenting yang memberikan peghasilan kepada negara. penghasilan tersebut digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, dan lain sebagainya. Pungutan pajak dianggap mengurangi penghasilan/kekayaan individu tetapi sebaliknya merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat, baik yang membayar pajak maupun yang tidak.

Banyak definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar, yang pada dasarnya memiliki tujuan yang sama antara satu dengan lainnya, yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunkaan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak tersebut.

Salah satu sumber penerimaan negara berasal dari pungutan pajak. Pajak merupakan aset pemerintah yang digunakan untuk membiayai pembangunan. Sebagai bagian dari suatu negara, masyarakat berkewajiban membayar pajak untuk membiayai pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Agar dapat memahami lebih lanjut, mengapa seseorang harus membayar pajak, maka perlu dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri.

(6)

2.3.1 Pengertian Pajak

Definisi pajak dalam buku Siti Rasmi (2014:1) yang dikemukakan oleh para ahli adalah sebagai berikut:

Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbale balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaranumum”

Definisi tersebut kemudian di sempurnakan menjadi:

“Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk

public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.”

Menurut S. I. Djajadiningrat

Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuaatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum.

Menurut Dr. N. J. Feldmann

Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

Sedangkan pengertian pajak menurut Edwin R. A. Seligman, yang dikutip oleh Waluyo (2007) dalam buku “Perpajakan Indonesia” adalah:

“Tax is a compulsory contribution from the person, to the government to depray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred.”

(7)

Definisi pajak menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa bedasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, tahun 1964:

“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutupi biaya produksi barang-barang, dan jasa-jasa kolektif dan mencapai kesejahteraan umum.”

Dari pengertian-pengertian yang diungkap di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah:

1) Pajak dipungut berdasarkan serta aturan pelaksanaannya sifatnya dapat dipaksakan;

2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah;

3) Pajak dipungut oleh negara (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah);

4) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment;

(8)

5) Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgetair, yaitu mengatur

(regulerend).

Atas dasar kelima unsur tersebut, maka dalam buku “Pengantar Singkat Hukum Pajak”, Rochmat Soemitro (1992) merumuskan definisi pajak sebagai berikut:

“Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (ugen prestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang negara.”

2.3.2 Fungsi Pajak

Berdasarkan pada pengertian pajak yang telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pajak adalah sebagai sumber pendapatan negara yang dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara yang bertujuan untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat secara umum.

Terdapat dua fungsi pajak yang sangat strategis bagi berlangsungnya pembangunan suatu negara. Pajak antara lain memiliki fungsi sebagai berikut:

1) Fungsi finansial (Budgetair)

Fungsi finansial (Budgetair) yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran

(9)

pemerintah. Dalam APBN pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri.

2) Fungsi mengatur (Regulator)

Fungsi mengatur (Regulator) berarti pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi dengan tujuan tertentu.

Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut:

a. Pemberian fasilitas bebas pajak terhadap pengusaha yang membuka lapangan usaha di daerah terpencil.

b. Pengenaan pajak ekspor untuk produk-produk tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri.

c. Pengenaan Bea Masuk dan Pajak atas Barang Mewah untuk produk impor tertentu dalam rangka melindungi produk-produk dalam negeri.

2.3.3 Asas-asas Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak, perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu.

Asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2006:7) adalah sebagai berikut:

(10)

1) Asas domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak dalam negeri.

2) Asas sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 3) Asas kebanggaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebanggaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. asas ini berlaku bagi Wajib Pajak luar negeri.

Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam Wahyo (2007:13), dinyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada:

1) Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbang uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta.

(11)

2) Certainty

Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta waktu pembayaran.

3) Convenience

Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh gaji. Sistem pemungutan ini disebut Pay as

You Earn. 4) Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.

2.3.4 Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)

Sesuai tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya adalah dengan memberikan hak bagi Wajib

(12)

Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi warganya maupun negara.

c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)

Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan keleluasaan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)

Sesuai dengan fungsi budgertair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.

2.3.5 Tata Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak

Cara pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu: 1) Stelsel Nyata (real stelsel)

(13)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.

Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan.

2) Stelsel Anggaran (Fictive Stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

3) Stelsel Campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel

anggaran. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.

2. Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi:

1) Official Assessment System

Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajang terutang.

(14)

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus;

b. Wajib pajak bersifat pasif;

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2) Self Assessment System

Sistem ini merupakan pemugutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggungjawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Sistem self assessment dalam pemungutan pajak mempunyai ciri dan corak tersendiri, dengan tiga prinsip pokok, yaitu:

a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada Wajib Pajak sendiri;

b. Wajib Pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang;

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3) Witholding System

Sistem ini merupakan sistem pemungtan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

(15)

2.3.6 Pembagian Pajak Berdasarkan Golongan, Sifat, dan Pemungutan Pembagian pajak dapat dilakukan berdasarkan golongan, wewenang pemungutan, maupun sifatnya.

1. Pembagian Pajak Berdasarkan Golongan, antara lain: 1) Pajak Langsung

Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh pajak langsung adalah Pajak Penghasilan. 2) Pajak Tidak Langsung

Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain. Contoh pajak tidak langsung adalah Pajak Pertambahan Nilai.

2. Pembagian Pajak Berdasarkan Sifat, antara lain: 1) Pajak Subjektif

Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi atau keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu daya pikulnya.

Daya pikul adalah kemampuan Wajib Pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimun. Daya pikul mengandung dua unsur, yaitu:

a. Umur Subjektif, yaitu mencakup segala kebutuhan terutama material disamping moral dan spiritual,

(16)

b. Unsur Objektif, yang terdiri dari pendapatan (penghasilan), kekayaan, dan belanja (pengeluaran).

2) Pajak Objektif

Pajak Objektif adalah pajak yang pada awalnya memerhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. 3. Pembagian Pajak Berdasarkan Wewenang Pemungutannya, antara lain:

1) Pajak Pusat atau Negara

Pajak pusat atau negara adalaha pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan olrh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak. Pajak Pusat diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. contohnya adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.

2) Pajak Daerah

Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Daerah diatur dengan undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pajak daerah terdiri dari:

a. Pajak provinsi, misalnya: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

(17)

b. Pajak Kabupaten/Kota, misalnya: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Reklame.

2.4 Pajak Daerah

Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Segala pengadministrasian yang berkaitan dengan pajak derah, akan dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau Kantor sejenisnya yang dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat.

2.4.1 Pengertian Pajak Daerah

Menurut Undang Nomor 34 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang No. 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah:

“Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerinta daerah dan pembangunan daerah.”

Menurut Mardiasmo (2006:12) pajak daerah adalah:

“Pajak daerah adalah iuran yang diwajibkan dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”

Sedangkan definisi pajak daerah menurut Suandy (2005:39) adalah sebagai berikut:

(18)

“Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah.”

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemungutan pajak daerah oleh pemerintah kota/kabupaten kepada masyarakat pada dasarnya bertujuan untuk membiayai penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan secara berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat.

2.4.2 Ciri-ciri Pajak Daerah

Ciri-ciri pajak daerah yang dikemukakan Kaho (2007:130) adalah sebagai berikut:

a. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserhkan kepada daerah sebagai pajak daerah;

b. Penyerahan dilakukan berdasarkan Undang-undang;

c. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Undang-undang atau peraturan hukum lainnya;

d. Hasil pemungutan daerah digunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.

(19)

2.4.3 Jenis Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak daerah dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Jenis pajak Provinsi terdiri atas: 1) Pajak Kendaraan Bermotor;

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 4) Pajak Air Permukaan; dan

5) Pajak Rokok.

2. Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri atas: 1) Pajak Hotel;

2) Pajak Restoran; 3) Pajak Hiburan; 4) Pajak Reklame;

5) Pajak Penerangan Jalan;

6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 7) Pajak Parkir;

8) Pajak Air Tanah;

9) Pajak Sarang Burung Walet;

10) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2); 11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

(20)

2.4.4 Reformasi Perpajakan Daerah di Indonesia

Menurut Sitepu (2011:100) perkembangan sistem perpajakan daerah di Indonesia sekurang-kurangnya telah melalui 4 (empat) fase, yaitu:

1. Fase sebelum pembaharuan sistem perpajakan daerah (pra local tax

reform), yaitu periode sejak Indonesia merdeka sampai dengan tahun

1957 tentang peraturan umum pajak daerah.

2. Fase penyempurnaan sistem perpajakan daerah (local taxation

improvement), yaitu periode 1997 sampai dengan tahun 2000 semasa

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

3. Fase otonomi daerah, yaitu periode setelah tahun 2000, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997.

4. Fase pembaharuan sistem perpajakan daerah (local taxation reform), yaotu periode 2010 sampai sekarang, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Sistem perpajakan daerah pada masing-masing fase tersebut diatas memiliki warna tersendiri sesuai dengan kondisi dan tuntutan perkembangan ekonomi, sosial dan politik.

Perubahan mendasar dalam sistem perpajakan daerah yang baru sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terdiri dari 4 (empat) hal, yaitu: (1) penerapan „Closed-List‟ system, (2) penguatan local taxing

(21)

power, (3) perubahan sistem pengawasan, dan (4) perbaikan pengelolaan

penerimaan pajak daerah. Secara ringkas, perubahan tersebut dapat dijelaskan berikut ini:

(1) „Closed-List‟ system

Kebijakan perpajakan daerah yang baru menganut sistem „Closed-List‟

system, yakni daerah hanya oleh memungut jenis pajak daerah yang

ditetapkan dalam undang- undang. Hal ini berbeda dengan kebijakan perpajakan daerah yang lama yang menganut sistem „open-list‟ dimana daerah dapat memungut berbagai jenis [ajak daerah (meskipun jenis pajak tersebut tidak tercantum dalam undang-undang) sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(2) penguatan local taxing power

Dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah, kepada daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengoptimalkan pemungutan jenis pajak daerah yang ada. Peningkatan kewenangan tersebut dilakukan dengan memperluas objek beberapa jenis pajak, menambah jenis pajak daerah, meningkatkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, dan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah. Perluas objek pajak antara lain dilakukan dengan memperluas objek pajak restoran sehingga mencakup juga katering/jasa boga, memperluas objek pajak hotel sehingga mencakup keseluruhan persewaan ruangan di hotel, dan

(22)

memperluas objek pajak hiburan sehingga mencakup juga permainan

golf dan bowling.

Penambahan jenis pajak daerah dilakukan dengan memperkenalkan jenis pajka daerah yang baru (pajak rokok untuk provinsi dan pajak sarang burung walet untuk kabupaten/kota), mengalihkan jenis pajak prpinsi tertentu menjadi pajka kabupaten/kota (pajak air tanah), dan mengalihkan beberapa pajak pusat menjadi pajak kabupaten/kota (Pajak Bumi dan Bangunan dan BPHTB). Adapun karakteristik dan dasar-dasar pertimbangan

(3) Sistem Pengawasan

Pajak hanya dapat dipungut oleh daerah dengan menetapkan peraturan daerah. Oleh karena itu, pengawasan pajak daerah dapat dilakukan melalui mekanisme evaluasi atas rancangan peraturan daerah (Raperda) dan peraturan daerah (Perda) yang mengatur pajak daerah. Untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, masyarakat (individu dan lembaga) dan dunia usaha dapat menyampaikan informasi kepada pemerintah megenai praktik pemungutan pajak daerah yang dipandang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan melampirkan Perda yang digunakan sebagai dasar pemungutan.

(4) Pengelolaan Penerimaan Pajak Daerah

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat membayar pajak daerah dan dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak daerah, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur beberapa hal terkai dengan

(23)

pengelolaan pendapatan pajak daerah, yaitu bagi hasil pajak provinsi,

earmarking, dan insentif pemungutan.

2.5 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perlu dikenakan pajak dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Untuk itu, pada tahun 1997 dibentuk Undang-Undang yang dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000.

2.5.1 Definisi BPHTB

Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Pasal 1 adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sedangkan yang dimaksud hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh prang pribadi atau badan.

Adapun hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang di bidang pertanahan dan bangunan. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud diatas adalah hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak milik atas satuan rumah susun; dan/atau hak pengelolaan.

(24)

2.5.2 Objek, Subjek, dan Wajib Pajak BPHTB

Berdasarkan Pasal 85 UU PDRD, yang menjadi objek pajak dari BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi:

1. Pemindahan hak, karena: a. Jual beli;

b. Tukar-menukar; c. Hibah;

d. Hibah wasiat; e. Waris;

f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

h. Penunjukkan pembeli dalam lelang;

i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; j. Penggabungan usaha;

k. Peleburan usaha; l. Pemekaran usaha; m. Hadiah.

2. Pemberian hak baru, karena: a. Kelanjutan pelepasan hak; b. Diluar pelepasan hak.

Berdasarkan Pasal 85 Ayat 4 UU PDRD, objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh oleh:

(25)

1. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;

2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan perwakilan organisasi tersebut;

4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

5. Orang pribadi atau badan karena wakaf;

6. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. Berdasarkan Pasal 86 UU PDRD, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Dan yang menjadi wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.

2.5.3 Tarif dan Dasar Pengenaan

Berbicara mengenai tarif dan dasar pengenaan BPHTB dibahas dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 89 UU PDRD. Tarif pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(26)

DPP-nya adalah sebesar Nilai Perolehan Objek Pajak, yang diuraikan sebagai berikut:

Tabel 2.3

Dasar Pengenaan Pajak BPHTB

No. Sumber Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Dasar Pengenaan Pajak

1 Jual beli harga transaksi

2 Tukar-menukar nilai pasar

3 Hibah nilai pasar

4 Hibah Wasiat nilai pasar

5 Waris nilai pasar

6 Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum

lainnya nilai pasar

7 Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan

hak nilai pasar

8 Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap

9 Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan

dari pelepasan hak nilai pasar

10 Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan

hak nilai pasar

11 Penggabungan usaha nilai pasar

12 Peleburan usaha nilai pasar

13 Pemekaran usaha nilai pasar

14 Hadiah nilai pasar

15 Penunjukkan pembeli dalam lelang

harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Risalah lelang adalah kutipan risalah lelang yang ditandatangai oleh Kepala Kantor yang membidangi

pelayanan lelang Negara.

(27)

2.5.4 Saat Terutang Pajak BPHTB

Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Berdasarkan Pasal 90 UU PDRD, saat terutangnya pajak BPHTB ditetapkan untuk:

1. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 2. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 3. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

4. Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

5. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;

6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

8. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

10. Pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;

11. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandataganinya akta; 12. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 13. Pemekaran adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

(28)

14. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 15. Lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.

2.6 BPHTB Sebelum dan Setelah Menjadi Pajak Daerah

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yagn selanjutnya disebut pajak (UU No. 20 Tahun 2000). Berdasarkan Undang-Undang BPHTB Tahun 2000 Pasal 23 ayat (1), penerimaan negara dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Sebelum tahun 2011, BPHTB merupakan pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat, dimana dana yang diperoleh dikembalikan kepada daerah melalui pola bagi hasil dengan proporsi yang merata. Sebelumnya, daerah hanya mendapat 20% dari hasil pajak yang disetor ke pemerintah pusat. Dua belas persen untuk pemerintah provinsi dan 8% untuk pemerintah kabupaten/kota. Sehingga daerah yang memiliki potensi tinggi belum tentu mendapatkan dana bagi hasil yang sesuai dengan potensi daerahnya. Namun setelah adanya pengalihan, pengelolaan BPHTB seluruhnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota sehingga hasil pemungutannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota seluruhnya. Sehingga daerah yang memiliki potensi tinggi akan mendapatkan dana dari penerimaan BPHTB sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah yang ada selama ini.

(29)

2.7 Pengukuran Kontribusi

Kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama (Guritno, 1992:76).

Menurut Halim (2004:163), Kontribusi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah dapat dihuitung dengan rumus:

Dimana:

X = Realisasi BPHTB

Y = Realisasi Pendapatan Asli Daerah

Rumus kontribusi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebelum menjadi pajak daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD):

Rumus kontribusi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) setelah menjadi pajak daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD):

Untuk menginterpretasikan besarnya kontribusi BPHTB terhadap PAD digunakan kriteria sebagai berikut:

(30)

Tabel 2.4

Klasifikasi Kriteria Kontribusi Presentase Kriteria 0,00-10% Sangat Kurang 10,10-20% Kurang 20,10-30% Sedang 30,10-40% Cukup Baik 40,10-50% Baik >50% Sangat Baik

(31)

2.8 Penelitian Terdahulu

No. Nama /

Tahun Judul Variabel Hasil Perbedaan Persamaan

1 Ali Nurjaman (2013) Kontribusi Penerimaan Pajak Hotel terhadap PAD Var. Independen: Kontribusi penerimaan pajak hotel

Hasil penelitian menunjukan bahwa besarnya jumlah penerimaan pajak hotel di Kota Bandung setiap tahunnya

mengalami perkembangan. Penerimaan pajak di tahun 2004 Rp 35.663.218.724 dan

di tahun 2010 Rp 74. 171.145.430. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari

kesadaran pemilik hotel sebagai Wajib Pajak daerah dan peningkatan pemerintah daerah dalam pemungutan

pajak.

Metode pengumpulan data: data primer

(observasi dan wawancara)

Lokasi penelitian: Dinas Pendapatan Kota Bandung Var. Dependen: Pendapatan Asli Daerah Var. Independen: Pajak Hotel Metode penelitian: metode deskriptif dan

verifikatif 2 Agung Muhamad Rizki (2007) Analisis APBD Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Undang-Undang APBD Sebelum dan Sesudah Dilaksanakannya Otonomi Daerah

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa setelah

dilaksanakannya Otonomi Daerah, terdapat perubahan

pada format struktur anggarannya. Juga kontribusi

PAD untuk menopang

Variabel yang dianalisis adalah APBD dan perubahannya setelah dilaksanakan Otonomi Daerah, sedangkan penelitian

Meneliti PAD dan kontribusinya dalam membiayai pengeluaran

daerah, dan meneliti perubahan PAD ketika dilaksanakan Otonomi

(32)

Otonomi Daerah UU No. 32/2004 dan UU No.

33/2004

pengeluaran daerah masih belum cukup memadai, sehingga masih bergantung

pada bantuan pemerintah pusat maupun pemerintah

provinsi.

ini hanya meneliti perubahan peerimaan BPHTB terhadap PAD. 3 Astri Yasiah (2013) Pengaruh BPHTB dan Pajak Air tanah terhadap PAD Var. Independen: BPHTB dan Pajak air tanah

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara parsial BPHTB

berpengaruh signifikan terhadap PAD sebesar 4,334.

Sedangkan Pajak Air Tanah tidak berpengaruh secara signifikan karena pengaruhnya

sebesar 21,548.

Periodisasi data: 2011-2012

Teknik pengumpulan data: data sekunder

Var. Dependen: Pendapatan Asli

Daerah

Metode penelitian: metode deskriptif dan

verifikatif 4 Desi Hastuti (2015) Pengaruh Penerimaan BPHTB dan Pajak Air Tanah terhadap PAD Var. Independen: BPHTB dan Pajak air tanah

Hasil penelitian menunjukan bahwa secara parsial BPHTB

dan Pajak Air Tanah berpengaruh positif terhadap

PAD.

Periodisasi data: 2009-2013

Teknik pengumpulan data: data primer dan

sekunder

Var. Dependen: Pendapatan Asli

Daerah

Penelitian ini hanya meneliti pengaruh

BPHTB terhadap PAD, tanpa membandingkan PAD sebelum dan

sesudah BPHTB menjadi pajak daerah

Metode penelitian: metode deskriptif dan

(33)

2.9 Kerangka Pemikiran

Pajak adalah penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip dasar menghimpun dana yang diperoleh dari dan untuk masyarakat melalui mekanisme yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, dimana masyarakat tidak memperoleh timbal balik langsung dari pemerintah. Pajak merupakan pemasukan dana yang memiliki potensi melalui pertumbuhan penduduk dan stabilitas perekonomian. Adapun Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak memiliki kontribusi cukup tinggi dalam pendanaan negara. Dalam usahanya meningkatkan tingkat perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat yang merata, berbagai kebijakan-kebijakan telah di upayakan oleh pemerintah. Kebijakan ini berpengaruh pada masyarakat, dunia usaha, dan pihak-pihak yang berkaitan dengan pajak. Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan diterapkannya desentralisasi.

Akhir pemerintahan orde baru merupakan langkah awal bagi Indonesia untuk menerapkan kebijaksanaan desetralisasi dalam bentuk otonomi daerah. Penerapan desentralisasi ini diharapkan mampu mengatasi permasalahan pada era orde baru. Penyelenggaraan desentralisasi pemerintahan Indonesia dimulai sejak tahun 2001, dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan

(34)

Pusat dan Daerah yang kemudian disempurnakan pula dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

Melalui penerapan otonomi daerah, maka pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menggali potensi daerahnya masing-masing. Dampaknya bagi pemerintah daerah sangat besar dalam tata kelola pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengoptimalkan potensi (keuangan lokal) khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD). Yang mana Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini merupakan pendapatan yang bersumber dari daerahnya sendiri, sehingga semakin besar PAD yang diperoleh oleh daerah maka tingkat kemandirian daerah akan semakin tinggi.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang terdiri atas: (1) hasil pajak daerah; (2) hasil retribusi daerah; (3) hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; (4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pemerintah pusat yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting dalam menopang pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri. Besar kecilnya pajak akan menentukan besarnya anggaran negara dalam membiayai pengeluaran negara, baik pembiayaan pembangunan maupun untuk pembiayaan anggaran rutin.

(35)

Salah satu sumber sumber pajak yang diterima oleh negara adalah Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), BPHTB yang sebelumnya merupakan pajak pusat berubah menjadi pajak daerah yang berdampak pada meningkatnya pendapatan daerah sehingga dapat meningkatkan kemampuan daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya.

Pelimpahan kewenangan pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dengan demikian per tanggal 1 Januari 2011, Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) sudah tidak lagi melayani pengelolaan pelayanan BPHTB, sehingga Wajib Pajak yang akan melaporkan pembayaran BPHTB sehubungan dengan proses transaksi properti yang dilakukannya akan langsung ditangani oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat.

BPHTB yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemeirntah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Bagian Pemerintah pusat tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh Pemerintah Daerah secara merata. Dan bagian Pemerintah Daerah tersebut kemudian dibagi lagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Provinsi yang bersangkutan dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, sesuai dengan

(36)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan APBD harus dioptimalkan. Semakin besar penerimaan pajak, maka semain besar juga sumber pendapatan APBD. Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah tertentu khususnya Kota Bandung, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah yang selama ini ada.

Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka pemikiran

2.10 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis menyajikan model hipotesis sebagai berikut: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pajak Daerah Bea Perolehan HakAtas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

(37)

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 menjelaskan bahwa

Gambar 2.2 Model Hipotesis

H0: Tidak terdapat perbedaan BPHHTB sebelum dan sesudah menjadi pajak daerah dalam memberikan kontribusi terhadap PAD.

Ha: Terdapat perbedaan BPHHTB sebelum dan sesudah menjadi pajak daerah dalam memberikan kontribusi terhadap PAD.

Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan

(BPHTB) (X)

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka pemikiran
Gambar 2.2  Model Hipotesis

Referensi

Dokumen terkait

Dua poin ini dipilih karena apabila kabel Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) sudah terpelihara dan tidak ada pencurian terhadap peralatan sistem jaringan maka sistem

Ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu balita dengan dengan pemanfaatan posyandu pada ibu yang memiliki balita di Desa Baru Kecamatan Sungan Tenang

(5) Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara internal oleh Universitas dan eksternal secara berkala oleh badan akreditasi

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Keempat risk level tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti jenis kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi sebuah link berbeda-beda, menggunakan mesin atau alat yang

Prioritas Utama, yaitu wilayah yang memuat variabel-variabel yang dianggap penting oleh pelanggan tetapi pada kenyataannya variabel-variabel ini belum sesuai seperti

Manusia hidup di bumi yang kaya akan sumber daya alam, yang sejak awal diciptakan alam dengan kekayaan dan keindahan yang merupakan penunjang kesejahteraan

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa, pengaruh pemanfaatan gadget pada siswa menjelaskan bahwa pada saat aktivitas belajar dengan memanfaatkan gadget dapat