• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak

2.1.1 Pengertian Pajak

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan : “Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Sedangkan adapun pengertian pajak menurut para ahli, antara lain :

Menurut (Waluyo, 2013) , mengemukakan bahwa “pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Menurut Mardiasmo (2004:1), mengemukakan “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

(2)

Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa pajak mempunyai ciri-ciri atau persamaan. Menurut Waluyo (2008:3) persamaannya adalah sebagai berikut :

1. Pajak dipungut berdasarkan (dengan kekuatan) undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah.

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, surplus tersebut dipergunakan untuk membiayai public investment.

5. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgetair, yaitu fungsi mengatur.

2.1.2 Fungsi Pajak

Menurut Mardiasmo (2011:1) terdapat 2 fungsi pajak, antara lain sebagai berikut :

1. Fungsi Budgetair/Finansial

Fungsi Budgetair/Finansial yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya

(3)

2. Fungsi Regulerend/Fungsi Mengatur

Fungsi Regulerend/Fungsi Mengatur yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

2.1.3 Pengelompokkan Pajak

Pajak juga mempunyai pengelompokan berdasarkan golongan, sifat, dan lembaga pemungutannya. Menurut Mardiasmo (2011) pengelompokan pajak adalah sebagai berikut :

1. Menurut Golongannya

Menurut Golongannya, pajak terbagi menjadi 2 yaitu :

a. Pajak Langsung, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh).

b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

2. Menurut Sifatnya

Menurut Sifatnya, pajak terbagi menjadi 2 bagian yaitu :

a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh).

(4)

b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan wajib pajak. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

Menurut Lembaga Pemungutannya, pajak dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

2.1.4 Tata Cara Pemungutan Pajak

Tata cara pemungutan pajak terdiri atas 3 cara yaitu asas-asas pemungutan pajak, sistem pemungutan pajak, dan stelsel pajak.

1. Asas-asas Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak perlu dilakukan dengan memperhatikan asas-asas yang berlaku, maka pemilihan alternatif pemungutan pajak pun harus sesuai agar tercapainya tujuan dan terdapat keserasian antara pemungutan pajak dan asas-asas pemungutan pajak. Menurut Mardiasmo (2006:7) asas-asas pemungutan pajak meliputi :

(5)

a. Asas Domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.

b. Asas Sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.

c. Asas Kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku bagi wajib pajak luar negeri.

2. Sistem Pemungutan Pajak

Selain asas-asas pemungutan pajak, terdapat juga sistem pemungutan pajak. Sistem dan asas pemungutan pajak harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Mardiasmo (2006:7) sistem pemungutan pajak terbagi menjadi 3, antara lain :

a. Official Assesment System

Official Assesment System adalah pemungutan yang memberi weenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

(6)

Ciri-cirinya adalah :

Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.

Wajib pajak bersifat pasif.

Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

b. Self Assesment System

Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.

Ciri-cirinya :

Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.

Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

c. With Holding System

With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang

memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya :

(7)

Wewenang menentukan besar pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.

3. Stelsel Pajak

a. Stelsel nyata (riel stetsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak.

Yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).

b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan satu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.

(8)

c. Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.

2.1.5 Teori-teori Yang Mendukung Pemungutan Pajak

Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak? Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Menurut (Mardiasmo,2011) teori-teori tersebut antara lain :

1. Teori Asuransi

Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya.

Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.

2. Teori Kepentingan

Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.

(9)

3. Teori Daya Pikul

Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu :

Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.

Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.

4. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli

Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

(10)

2.1.6 Pembagian Hukum Pajak

Hukum pajak dibagi menjadi 2, yaitu Hukum Pajak Materiil dan Hukum Pajak Formulir.

1. Hukum Pajak Materiil

Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak

2. Hukum Pajak Formil

Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil).

Hukum ini memuat antara lain :

a. Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang.

b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.

c. Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.

Contoh : Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

(11)

2.1.7 Tarif Pajak

Ada empat macam tarif pajak , antara lain adalah :

1. Tarif sebanding/proposional

Tarif berupa presentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

Contoh : Untuk penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

2. Tarif tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.

Contoh : Besarnya tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp. 3.000.000.

3. Tarif progresif

Presentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Contoh : Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri.

(12)

Tabel 2.1

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5%

Diatas Rp. 50.000.000,00 s.d. Rp. 250.000.000,00 15%

Diatas Rp.250.000.000,00 s.d. Rp. 500.000.000,00 25%

Diatas Rp. 500.000.000,00 30%

Menurut kenaikan presentase tarifnya, tarif progresif dibagi :

a. Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar b. Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap

c. Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil.

4. Tarif degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

2.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :

(13)

“Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang- undangan”.

Adapun pengertian lain tentang Pendapatan Asli Daerah menurut para ahli :

Menurut Halim (2010:101) mengemukakan bahwa : “Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”.

Menurut Yani (2008:51) , “Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu sumber pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berasal dari retribusi daerah, sektor pajak, hasil perusahaan milik daerah, hasil kekayaan daerah yang dipisahkan.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari :

1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

(14)

2.3 Pajak Daerah

2.3.1 Pengertian Pajak Daerah

Berlangsungnya otonomi menyebabkan pemerintah berusaha membuat undang-undang yang tepat mengenai pajak daerah. Hal ini diharapkan agar Pemerintah Daerah dapat menggali potensi yang berasal dari pajak daerah karenapajak daerah merupakan bagian Pendapatan Asli Daerah yang terbesar kemudian disusul dengan pendapatan yang berasal dari retribusi daerah (Suparmoko,2000:55)

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 pasal 1 angka 10 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pengertian pajak daerah adalah :

“Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Adapun pengertian Pajak Daerah menurut Suandy (2002:41) adalah sebagai berikut :

“Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah”.

(15)

2.3.2 Jenis Pajak Daerah

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 pasal 2 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis Pajak Daerah terdiri dari :

Pajak Daerah

1. Pajak Propinsi, meliputi :

a. Pajak Kendaraan Bermotor

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;

d. Pajak Air Permukaan;

e. Pajak Rokok.

2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi :

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

(16)

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak Sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;

k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

2.3.3 Dasar Hukum Pajak Daerah

Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.

2.2.4 Ciri-ciri Pajak Daerah

Menurut Mariastuti (2012:23) ciri-ciri pajak daerah adalah sebagai berikut :

a. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak daerah.

b. Penyerahan dilakukan berdasarkan Undang-Undang.

c. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan Undang-Undang atau kekuatan hukum lainnya.

(17)

d. Hasil pemungutan pajak daerah digunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik.

2.2.5 Tarif Pajak Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan pembatasan tarif paling tinggi yang berbeda untuk setiap jenis pajak daerah, yaitu :

a. Tarif pajak provinsi

1. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

a. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling tinggi sebesar 2% (dua persen).

b. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).

c. Tarif PKB angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah ditetapkan paling tinggi sebesar 1% (satu persen).

d. Tarif PKB alat-alat berat dan alat besar ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).

2. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masing-masing paling tinggi sebesar :

(18)

a. Penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen), dan;

b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen).

3. Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

4. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%, dan 5. Tarif Pajak Rokok ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

b. Tarif Pajak Kota/Kabupaten :

1. Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

2. Tarif Pajak Restoran paling tinggi sebesar 10%.

3. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%.

4. Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25%

5. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

6. Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan sebesar 25%.

7. Tarif Pajak Parkir sebesar 30%.

8. Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan sebesar 20%.

9. Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10%.

10. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dengan rincian :

a. NJOP sampai dengan Rp. 1.000.000.000-, tarif pajak sebesar 0,1%

b. NJOP diatas Rp. 1.000.000.000-, tarif pajak sebesar 0,2%.

11. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebesar 5%.

(19)

2.4 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994.

Asas Pajak Bumi dan Bangunan :

1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan.

2. Adanya kepastian hukum.

3. Mudah dimengerti dan adil.

4. Menghindari pajak berganda.

2.4.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, pengertian Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :

Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.

Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.

Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

(20)

a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan.

b. Jalan tol.

c. Kolam renang.

d. Pagar mewah.

e. Tempat olah raga.

f. Galangan kapal, dermaga.

g. Taman mewah.

h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.

i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan (P2) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. PBB-P2 mulai tahun 2009 sudah diberlakukan UU. No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Selanjutnya, terjadinya pengalihan kegiatan pendataan, penilaian, proses penetapan, kegiatan administrasi hingga pemungutan atau penagihan dan pelayanan PBB-P2 yang kemudian diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Pemerintah mengalihkan Pajak Bumi dan Bangunan menjadi Pajak Daerah supaya tercipta kemudahan dalam pelayanan pajak sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak.

(21)

2.4.2 Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Objek pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :

1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.

2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

e. Letak f. Peruntukan.

g. Pemanfaatan.

h. Kondisi lingkungan dan lain-lain.

Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :

a. Bahan yang digunakan.

b. Rekayasa.

c. Letak.

d. Kondisi lingkungan dan lain-lain 3. Pengecualian Objek Pajak

Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah subjek pajak yang :

a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain :

(22)

1. Di bidang ibadah, contoh: masjid, gereja, vihara.

2. Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit.

3. Di bidang pendidikan, contoh: madrasah, pesantren.

4. Di bidang sosial, contoh: panti asuhan.

5. Di bidang kebudayaan nasional, contoh: museum, candi.

b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.

c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintahan.

5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp.

12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.

(23)

2.4.3 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Yang menjadi subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :

1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan.

Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan pemilikan hak.

2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.

3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya.

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak.

4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.

5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam nomor 4 diatas disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan- alasannya.

(24)

7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimany keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

2.4.4 Tarif Pajak

Menurut (Mardiasmo, 2009) Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima puluh persen).

Dasar pengenaan pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan adalah :

1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri

Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat

Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.

3. Dasar perhitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20%

dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

4. Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.

(25)

Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu membebani wajib pajak daerah di daerah pedesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintah Daerah, maka telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu :

1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk : a. Objek Pajak perkebunan;

b. Objek Pajak kehutanan;

c. Objek Pajak lainny, yang Wajib Pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Sebesar 20% (dua puluh peren) dari NJOP untuk : a. Objek Pajak Pertambangan;

b. Objek Pajak lainnya NJOP-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2.4.5 Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

(26)

Besarnya NJOP ditentukan berdasarkan klasifikasi :

1. Objek Pajak Sektor Pedesaan dan Perkotaan.

2. Objek Pajak Sektor Perkebunan.

3. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusaha Hutan, Hak Pengusahaan Hasil Hutan, Izin Pemanfaatan Kayu serta Izin Sah Lainnya selain Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

4. Objek Pajak Sektor Kehutanan atas Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.

5. Objek Pajak Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

6. Objek Pajak Sektor Pertambangan Energi Panas Bumi.

7. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C.

8. Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas Galian C.

9. Objek Pajak Sektor pertambangan yang dikelola berdasarkan Kontrak Karya atau Kontrak Kerjasama.

10. Objek Pajak Usaha bidang perikanan laut.

11. Objek Pajak usaha bidang perikanan darat.

12. Objek Pajak yang bersifat khusus.

(27)

2.4.6 Cara Menghitung PBB

Agar pembayaran PBB dapat berjalan lancar sesuai dengan ketentuan pembayarannya, menurut Mardiasmo (2006) cara perhitungan PBB dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

2.4.7 Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Menurut Mardiasmo (2006), penjelasan tentang SPOP, SPPT, dan SKP adalah sebagai berikut :

1. Dalam rangka pendataan, subjek pajak wajib mendaftarkan objek pajaknya dengan mengisi SPOP.

2. SPOP harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan tepat waktu serta ditandatangani dan disampaikan kepada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

3. Dirjen Pajak akan menerbitkan SPPT berdasarkan SPOP yang diterimanya.

4. Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :

PBB = Tarif Pajak x NJKP

= 0,5 x [Persentase NJKP x (NJOP-NJOPTKP)]

(28)

a. Apabila SPOP tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.

b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang (seharusnya) lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh wajib pajak.

5. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf a adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.

6. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud dalam nomor 4 huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.

Berikut ini adalah gambar atau bagan Sistem Pengenaan PBB, yaitu :

(29)

Gambar 2.1 Sistem Pengenaan PBB SPOP hanya diberikan dalam hal :

1. Objek pajak belum terdaftar/data belum lengkap.

2. Objek pajak telah terdaftar tetapi data belum lengkap.

3. NJOP berubah/pertumbuhan ekonomi.

4. Objek pajak dimutasikan/laporan dari instansi yang berkaitan langsung dengan objek pajak

Wajib pajak SPOP

SPPT 1 Februari 2008

Pembayaran 31 juli 2006 (paling lambat) apabila terlambat pokok pajak terutang denda 2% perbulan (dengan SPT).

SPOP tidak benar ( data disembunyian)

SPOP tidak dikembalikan

SKP

Selisih pajak terutang+denda administrasi 25%

dari selisih

Pokok pajak + denda administrasi 25%

dari pokok pajak

(30)

2.5 Penerimaan Pajak

Pada dasarnya, penerimaan terbagi menjadi 2, yaitu :

1. Penerimaan perpajakan

Semua penerimaan yang terdiri dari pajak dalam negeri dan perdagangan internasional. Pajak dalam negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, bea prolehan hak atas tanah dan bangunan, cukai dan pajak lainnya. Sedangkan, pajak perdagangan internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal bea masuk dan pajak/pungutan ekspor.

2. Penerimaan negara bukan pajak

Semua penerimaan yang diterima oleh negara dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam,bagian pemerintah atas laba badan usaha milik negara, serta penerimaan negara bukan pajak lainnya.

Pembiayaan suatu daerah tentu membutuhkan biaya yang besar demi kelancaran dan kemakmuran suatu daerah, maka dari itu penerimaan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu daerah, terutama penerimaan pajak.

(31)

2.6 Intensifikasi Pajak

Optimalisasi sumber-sumber penerimaan perlu dilakukan untuk tercapainya kemakmuran suatu daerah. Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi Pajak adalah sebagai berikut : “Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak”.

Menurut Suparmo (2010:2) mengemukakan bahwa : “intensifikasi adalah upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan daerah yang ditempuh melalui peningkatan kepatuhan subjek pajak yang telah ada. Sedangkan menurut Abu Bakar (Halim;2001) mengemukakan bahwa intensifikasi pajak dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh pemerintah kota/kabupaten untuk meningkatkan penerimaan pajak yang biasanya diaplikasikan dapam bentuk:

1. Perubahan tarif pajak.

2. Peningkatan pengeloaan pajak.

Maka dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa intensifikasi adalah upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka peningkatan penerimaan daerah yang ditempuh melalui peningkatan kepatuhan subjek pajak, peningkatan efisiensi dan efektivitas penerimaan pajak daerah, dan perbaikan sistem administrasi.

(32)

Dalam melakukan kegiatan intensifikasi, pemerintah dapat melakukan beberapa cara agar upaya intensifikasi tercapai. Menurut Kustiawan (2010:40) upaya intensifikasi akan mencakup aspek kelembagaan, aspek ketatlaksanaan, dan aspek personalinya, yang pelaksanaanny melalui kegiatan sebagai berikut :

a. Menyesuaikan/memperbaiki aspek kelembagaan/organisasi pengelola pendapatan asli daerah (dinas pendapatan daerah), berikut perangkatnya sesuai dengan kebutuhan yang terus berkembang, yaitu dengan cara menerapkan secara optimal sistem dan prosedur administrasi pajak daerah.

b. Memberikan dampak ke arah peningkatan pendapatan asli daerah, karena sistem ini dapat mendorong terciptanya :

1) Peningkatan jumlah wajib pajak dan wajib retribusi daerah.

2) Peningkatan cara-cara penetapan pajak dan retribusi.

3) Peningkatan pemungutan pajak dan retribusi dalam jumlah yang benar dan tepat pada waktunya.

4) Peningkatan sistem pembukuan, sehingga memudahkan dalam hal pencarian data tunggakan pajak maupun retribusi yang pada akhirnya dapat mempermudah penagihannya.

c. Memperbaiki/menyesuaikan aspek ketatalaksanaan, baik administrasi maupun operasional yang meliputi :

1) Penyesuaian/penyempurnaan administrasi pungutan.

2) Penyesuaian tarif.

3) Penyesuaian sistem pelaksanaan pungutan.

(33)

d. Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian, yang meliputi : 1) Pengawasan dan pengendalian yuridis.

2) Pengawasan dan pengendalian teknis.

3) Pengawasan dan pengendalian penata usahaan.

e. Peningkatan sumber daya manusia pengelolaan PAD dengan cara meningkatkan mutu sumber daya manusia/aparatur pengelola pendapatan daerah dapat dilakukan dengan mengikutsertakan aparatnya dalam Kursus Keuangan Daerah (KKD), juga program- program pendidikan dan latihan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah.

f. Meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat membayar pajak.

Dalam penelitian sebelumnya (Nur Albert) mengemukakan bahwa intensifikasi adalah keniscayaan bagi fiskus, baik untuk pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hasil penelitian intensifikasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak.

2.7 Ekstensifikasi Pajak

Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi Pajak , pengertian Ekstensifikasi Pajak adalah sebagai berikut : “ekstensifikasi pajak adalah kegiatan

(34)

yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)”.

Menurut Abu bakar dalam Halim (2001:147) mengemukakan

“ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah merupakan suatu kebijakan yang dilakukan oleh daerahkota/kabupaten dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak daerah melalui penciptaan sumber-sumber pajak dan retribusi daerah”. Dari pengertian-pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ekstensifikasi pajak adalah cara, kegiatan, atau upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan melakukan penambahan wajib pajak terdaftar dan perluasan objek pajak.

Kegiatan ekstensifikasi yang dilakukan harus sesuai dengan norma dan kaidah yang ada. Norma dan kaidah tersebut meliputi :

1. Tujuan dan kegiatan ekstensifikasi.

2. Ruang lingkup kegiatan ekstensifikasi.

3. Unit organisasi dan petugas pelaksana kegiatan ekstensifikasi.

4. Data dan pencarian data yang digunakan untuk pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi.

5. Tata cara pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi.

Persiapan pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi Pelaksanaan kegiatan ekstensifikasi.

Pengawasan

(35)

kegiatan yang dilakukan pemerintah ini, dapat juga dilakukan oleh Wajib pajak , seperti pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, pengacara, artis, dan sebagainya. Kemudian petugas pajak akan mencari, mendata, mencermati, dan meneliti setiap tempat apakah masyarakat sekitar telah terdaftar sebagai wajib pajak selanjutnya adalah memberikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) kepada wajib pajak.

Dalam penelitian sebelumnya (Nur Albert) mengemukakan bahwa ekstensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kepada wajib pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham/ pemilik dan pegawai mapupun wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau memiliki tempat usaha di pusat perdagangan dan/atau pertokoan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstensifikasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak, tetapi secara simultan menunjukkan bahwa intensifikasi dan ekstensifikasi berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak.

2.8 Kerangka Pemikiran

Dari semua sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) ,Pajak daerah merupakan sumber penerimaan yang paling bisa diandalkan dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran suatu daerah. Salah satu yang menjadi masalah dalam

(36)

melakukan pemungutan pajak, hal ini juga mempengaruhi keberhasilan suatu daerah. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakatnya, hal tesrsebut tentu tidak cukup dengan dukungan dari masyarakat saja, pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup memadai karena untuk pelaksanaan pembangunan itu memerlukan biaya yang cukup besar. Hal ini tentu yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan Ekstensifikasi dan Intensifikasi pajak berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi Pajak.

Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-06/PJ.9/2001 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Pajak dan Intensifikasi Pajak. Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak. Sedangkan pengertian Ekstensifikasi pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah wajib pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berpengaruh terhadap kelangsungan suatu daerah salah satunya yaitu Pajak Daerah yang terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, pengertian Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :

(37)

Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.

Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.

Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.

Dalam hal ini intensifikasi dan ekstensifikasi pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak terutama, pajak bumi dan bangunan pedesaan perkotaan (PBB- P2). Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hubungan antar variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2

Kerangka Konseptual Penelitian Intensifikasi Pajak (X1)

Indikator : Realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB- P2) Kabupaten Bandung Barat

Ekstensifikasi Pajak (X2) Indikator : Jumlah Objek atau Wajib Pajak Terdaftar di Kabupaten Bandung Barat

Penerimaan PBB-P2 Indikator : Target dan Realisasi

Penerimaan PBB-P2

(38)

2.9 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu Peneliti

(Tahun)

Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil penelitian (kesimpulan persamaan perbedaan

1. Nur Albert (2013)

Pengaruh

Ekstensifikasi dan Intensifikasi Pajak Bumi dan

Bangunan Terhadap Peningkatan

Penerimaan Pajak Di Kecamatan Kota Timur Kota

Gorontalo.

Metode : analisis kuantitatif

Data yang digunakan : Data primer dengan menggunakan kuisioner

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial

intensifikasi pajak bumi dan

bangunan berpengaruh signifikan terhadap

penerimaan pajak di Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo, dan Ekstensifikasi pajak bumi dan bangunan secara parsial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

peningkatan penerimaan pajak di Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo.

Sedangkan secara simultan,

ekstensifikasi dan intensifikasi pajak bumi dan

bangunan berpengaruh secara signifikn terhadap

peningkatan

(39)

penerimaan pajak di Kecamatan Kota Timur Kota Gorontalo.

Gambar

Gambar 2.1  Sistem Pengenaan PBB  SPOP hanya diberikan dalam hal :
Tabel 2.3  Penelitian Terdahulu  Peneliti

Referensi

Dokumen terkait

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Abstrak: Merasuknya nilai-nilai Barat pada kalangan masyarakat merupakan ancaman bagi budaya asli yang mencitrakan lokalitas kekhasan daerah. Kesenian daerah seperti Ambiya

Uluran -OH belum terlihat pada hasil spektra IR untuk PVC terfotodegradasi baik tanpa maupun dengan aditif benzophenon. Hal tersebut karena peroksida yang terikat pada rantai PVC

Selanjutnya, hasil uji-t juga mengkonfirmasi bahwa pengaruh kemudahan penggunaan pada sikap nasabah terhadap layanan m-banking , dimana nilai t hitung sebesar 2,611

nama Kementerian Negara/Lembaga. [3] Berisikan kode Unit Organisasi diikuti dengan uraian Unit Organisasi. [4] Berisikan kode Provinsi diikuti dengan uraian Provinsi. [5]

Rp.10 miliar Orang/bulan 1,250,000 Bidang SKPD yang mengelolah d Niiai pagu dana di atas Rp.10 miliar sd.Rp.25 miliar Orang/bulan 1,580,000 Anggaran 1 (satu)

Mengembangkan jaringan kerja-sama dan kemitraan dengan lembaga-lembaga lain di luar STKIP PGRI Sumatera Barat untuk melakukan kegiatan-kegiatan penelitian, pengabdian

Untuk mengakuratkan hasil dari penelitian, maka perlu adanya pembatasan masalah. Masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini, dibatasi pada hubungan antara Kecerdasan Emosi