• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesepian

1. Pengertian Kesepian

Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang kita inginkan dan jenis hubungan sosial yang kita miliki (Perlman & Peplau, 1981). Kesepian merupakan hidup tanpa melakukan hubungan (Baron, 1991), tidak punya keinginan untuk melakukan hubungan interpersonal yang akrab (Peplau & Perlman, 1982). Dalam suatu penelitian menemukan bahwa kesepian diasosiasikan dengan perasaan depresi, kecemasan, ketidakpuasan, tidak bahagia, dan kesedihan (Russel, 1982). Jones, Hanson, dan Smith (1980) mengemukakan bahwa kesepian juga diasosisikan dengan kepercayaan bahwa cinta merupakan dasar yang tidak begitu penting bagi pernikahan dimana mereka punya pandangan bahwa pernikahan seseorang akan berakhir dengan perceraian (dalam Baron & Byrne, 1991).

Kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter & Quintana, 1985).

Kesepian berarti suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, 2000). Menurut Brehm dan Kassin, kesepian adalah perasaan

(2)

kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kesepian merupakan suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan emosi-emosi negatif dan perasaan yang tidak menyenangkan yang dimiliki seseorang serta adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dan ketersediaan hubungan yang dimiliki.

2. Bentuk-bentuk Kesepian

Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian yang berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu:

a. Isolasi emosional (emotional isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh pasangannya sering mengalami kesepian jenis ini.

b. Isolasi sosial (social isolation) adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang sama, aktivitas yang terorganisasi, peran-peran yang berarti; suatu bentuk kesepian yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan dan cemas.

Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) kesepian dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan durasi kesepian yang dialaminya, yaitu:

(3)

a. Transcient loneliness yaitu perasaan kesepian yang singkat dan muncul sesekali, banyak dialami individu ketika kehidupan sosialnya sudah cukup layak. Meer mengemukakan bahwa transcient loneliness memiliki jangka waktu yang pendek, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh (dalam Newman & Newman, 2006).

b. Transitional loneliness yaitu ketika individu yang sebelumnya sudah merasa puas dengan kehidupan sosialnya menjadi kesepian setelah mengalami gangguan dalam jaringan sosialnya (misalnya meninggalnya orang yang dicintai, bercerai atau pindah ke tempat baru).

c. Chronic loneliness adalah kondisi ketika individu merasa tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya setelah jangka waktu tertentu. Chronic loneliness menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami

chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun tidak

memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, individu yang memiliki kemampuan sosial tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000)

(4)

Selanjutnya Shaver dkk (dalam Wrightsman, 1993) mengemukakan tipe-tipe kesepian yang lain berdasarkan sifat kemenetapannya, yaitu:

1) Trait loneliness, yaitu kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit berubah, dan biasanya dialami oleh orang yang memiliki

self-esteem yang rendah, dan memiliki sedikit interaksi sosial yang berarti.

2) State loneliness, yaitu kesepian yang bersifat temporer, biasanya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman dramatis dalam kehidupan seseorang.

3. Penyebab Kesepian

Menurut Brehm dkk (2002) terdapat empat hal yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu:

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang

Menurut Brehm dkk (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang dimiliki, merasa tidak puas dengan hubungan yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian, yaitu sebagai berikut:

1) Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya.

2) Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat.

(5)

3) Being Alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. 4) Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit,

tidak bisa kemana-mana.

5) Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan (dalam Brehm dkk, 2002).

Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe kesepian dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu

being unattached, alienation dan being alone disebabkan oleh karaktersitik

individu yang kesepian, sedangkan forced isolation dan discolation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa kesepian.

b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan

Menurut Brehm dkk (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan. Sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm dkk, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu:

(6)

1) Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih.

2) Usia, seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu terhadap suatu hubungan.

3) Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika sedang membina karir. Ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional.

Brehm dkk (2002) menyimpulkan bahwa pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami kesepian.

c. Self-esteem

Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki

self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang

beresiko secara sosial. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus akibatnya akan mengalami kesepian.

(7)

d. Perilaku interpersonal

Perilaku interpersonal akan menentukan keberhasilan individu dalam membangun hubungan yang diharapkan. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan.

Orang yang mengalami kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum. Orang yang mengalami kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang mengalami kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm dkk, 2002). e. Atribusi penyebab

Menurut pandangan Peplau dan Perlman (dalam Brehm dkk, 2002) perasaan kesepian muncul sebagai kombinasi dari adanya kesenjangan hubungan sosial pada individu ditambah dengan atribusi penyebab. Atribusi penyebab dibagi atas komponen internal-eksternal dan stabil-tidak stabil. Penjelasannya dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

(8)

Tabel 1

Penjelasan Kesepian Berdasarkan Atribusi Penyebab

Kestabilan Internal Ekternal

Stabil

Saya kesepian karena saya tidak dicintai. Saya tidak akan pernah dicintai

Orang-orang di sini tidak menarik. Tidak satupun dari mereka yang mau berbagi. Saya rasa saya akan pindah.

Tidak stabil

Saya kesepian saat ini, tapi tidak akan lama. Saya akan menghentikannya dengan pergi dan bertemu orang baru.

Semester pertama memang selalu buruk, saya yakin segalanya akan menjadi baik di waktu yang akan datang

Sumber: Shaver & Rubeinstein (dalam Brehm dkk, 2002) hlm: 413.

Tabel di atas menunjukkan bahwa individu yang memandang kesepian secara internal dan stabil menganggap dirinya adalah penyebab kesepian sehingga individu lebih sulit untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut. Individu yang memandang kesepian secara internal dan tidak stabil menganggap kesepian yang dialaminya hanya bersifat sementara dan berkeinginan menemukan orang lain untuk mengatasi kesepian yang dialaminya. Individu yang memandang kesepian secara eksternal dan stabil menganggap hanya karena keadaan lingkunganlah yang menyebabkannya merasakan kesepian. Sedangkan, individu yang memandang kesepian secara eksternal dan tidak stabil berharap sesuatu dapat merubah keadaan menjadi lebih baik sehingga memungkinkan untuk keluar dari perasaan kesepian tersebut.

(9)

4. Perasaan Individu Ketika Mengalami kesepian

Ketika mengalami kesepian, individu akan merasakan ketidakpuasan, kehilangan, dan distress, namun hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama di setiap waktu. Faktanya menunjukkan bahwa orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula (Lopata dalam Brehm dkk, 2002).

Berdasarkan survei mengenai kesepian yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver dan Peplau (dalam Brehm dkk, 2002) diuraikan bahwa empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu:

a. Desperation (Pasrah)

Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta

perasaan yang sangat menyedihkan sehingga mampu melakukan tindakan nekat. Beberapa perasaan yang spesifik dari desperation adalah: (1) Putus asa, yaitu memiliki harapan sedikit dan siap melakukan sesuatu tanpa memperdulikan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain, (2) Tidak berdaya, yaitu membutuhkan bantuan orang lain tanpa kekuatan mengontrol sesuatu atau tidak dapat melakukan sesuatu, (3) Takut, yaitu ditakutkan atau dikejutkan oleh seseorang atau sesuatu, sesuatu yang buruk akan terjadi, (4) Tidak punya harapan, yaitu tidak mempunyai pengalaman, tidak menunjukkan harapan, (5) Merasa ditinggalkan, yaitu ditinggalkan/dibuang seseorang, serta (6) Mudah mendapat kecaman atau kritik, yaitu mudah dilukai baik secara fisik maupun emosional.

(10)

b. Impatient Boredom (Tidak Sabar dan Bosan)

Impatient boredom yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka

menunggu lama, dan tidak sabar. Beberapa indikator impatient boredom seperti (1) Tidak sabar, yaitu menunjukkan perasaan kurang sabar, sangat menginginkan sesuatu, (2) Bosan, yaitu merasa jemu, (3) Ingin berada di tempat lain, yaitu seseorang yang merasa dirinya di tempat yang berbeda dari tempat individu tersebut berada saat ini, (4) Kesulitan, yaitu khawatir atau cemas dalam menghadapi suatu keadaan, (5) Sering marah, yaitu filled with

anger, serta (6) Tidak dapat berkonsentrasi, yaitu tidak mempunyai keahlian,

kekuatan, atau pengetahuan dalam memberikan perhatian penuh terhadap sesuatu.

c. Self-Deprecation (Mengutuk Diri Sendiri)

Self-deprecation yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak mampu

menyelesaikan masalahnya, mulai menyalahkan serta mengutuk diri sendiri. Indikator self-deprecation diantaranya (1) Tidak atraktif, yaitu suatu perasaan ketika seseorang tidak senang atau tidak tertarik terhadap suatu hal, (2) Terpuruk, yaitu sedih yang mendalam, lebih rendah dari sebelumnya, (3) Bodoh, yaitu menunjukkan kurangnya inteligensi yang dimiliki, (4) Malu, yaitu menunjukkan perasaan malu atau keadaan yang sangat memalukan terhadap sesuatu yang telah dilakukan, serta (5) Merasa tidak aman, yaitu kurangnya kenyamanan, tidak aman.

(11)

d. Depression (Depresi)

Depression menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, serta kurang tidur. Indikator depression menurut Brehm dkk (2002) yaitu, (1) Sedih, yaitu tidak bahagia atau menyebabkan penderitaan, (2) Depresi, yaitu murung, muram, sedih, (3) Hampa, yaitu tidak mengandung apa-apa atau tidak ada sama sekali, tidak memiliki nilai atau arti, (4) Terisolasi, yaitu jauh dari orang lain, (5) Menyesali diri, yaitu perasaan kasihan atau simpati pada diri sendiri, (6) Melankolis, yaitu perasaan sedih yang mendalam dan dalam waktu yang lama, (7) Mengasingkan diri, yaitu menjauhkan diri sehingga menyebabkan seseorang menjadi tidak bersahabat, serta (8) berharap memiliki seseorang yang spesial, yaitu individu mengharapkan memiliki seseorang yang dekat dengan individu dengan lebih intim.

Menurut M.J. Saks dan E. Krupat (1988) ada dua hal yang memicu munculnya perasaan kesepian, yaitu:

a. Sifat dan taraf hubungan sosial seseorang dapat berubah. Misalnya adalah perceraian, putus cinta, perpisahan secara fisik, meninggalnya orang yang dicintai, pengangguran, pensiun, atau ketika opname di rumah sakit. Semua ini dapat memunculkan perasaan kesepian.

b. Kebutuhan seseorang untuk persahabatan dan keintiman dan dapat barubah. Misalnya pasangan yang anaknya sudah dewasa dan pergi meninggalkan rumah, akan mencari kesenangan yang baru dan membina hubungan yang baru.

(12)

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesepian diantaranya: a. Usia

Orang yang berusia tua memiliki stereotip tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa kesepian.

b. Status Perkawinan

Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang menikah (Freedman; Perlman & Peplau; dalam Brehm dkk, 2002). Berdasarkan penelitian Perlman dan Peplau; Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm dkk, 2002), menyimpulkan bahwa kesepian lebih merupakan reaksi terhadap kehilangan hubungan perkawinan (marital

relationship) dan ketidakhadiran dari pasangan suami/isteri pada diri

seseorang. c. Gender

Studi mengenai kesepian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kesepian antara laki-laki dan perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm dkk, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotip peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Borys dan Perlman mengemukakan bahwa berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993).

(13)

d. Status sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm dkk, 2002) melaporkan fakta bahwa individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami kesepian lebih tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.

e. Karakteristik latar belakang yang lain

Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm dkk, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih kesepian bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami orang tersebut ketika dewasa. Tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orangtuanya meninggal ketika individu tersebut masih kanak-kanak, individu tersebut tidak lebih kesepian ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang berpisah semasa kanak-kanak atau remaja. Menurut Brehm dkk (2002) proses perceraian meningkatkan kesepian ketika anak-anak tersebut dewasa.

6. Reaksi terhadap Kesepian

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm dkk, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian, yaitu:

a. Melakukan kegiatan aktif

Reaksi terhadap kesepian berupa kegiatan-kegiatan aktif dan membangun terhadap diri sendiri seperti: belajar atau bekerja, menulis, mendengarkan

(14)

musik, melakukan olahraga, melakukan hobi, pergi ke bioskop, membaca atau memainkan alat musik, menggunakan internet.

b. Membuat kontak sosial

Reaksi terhadap kesepian berupa membuat kontak sosial dengan orang lain seperti: menelepon teman, chatting, dan mengunjungi seseorang.

c. Melakukan kegiatan pasif

Reaksi terhadap kesepian yang sifatnya pasif seperti: menangis, tidur, duduk, dan berpikir, tidak melakukan apapun, makan berlebihan, memakan obat penenang, menonton televisi, mabuk.

d. Kegiatan selingan yang kurang membangun

Reaksi terhadap kesepian berupa menghabiskan uang dan berbelanja.

B. Dewasa Madya

1. Pengertian Dewasa Madya

Menurut Gallagher, Lachman, Lewkowctz, dan Peng (2001), dewasa madya ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam, menuntut peran, tanggung jawab sebagai seorang yang menjalankan rumah tangga, perusahaan, membesarkan anak, dan mungkin merawat orang tua mereka, mulai menata karir yang baru. Menurut Lachman (2001), dewasa madya merupakan waktu untuk mengevaluasi kembali tujuan dan aspirasi dan sejauh mana mereka telah memenuhinya dan memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menggunakan waktu yang tersisa dalam hidup mereka.

(15)

Menurut Hurlock (1998), dewasa madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia dan dibagi ke dalam dua sub bagian, yaitu: a. Usia madya dini (40-50 tahun)

b. Usia madya lanjut (50-60 tahun)

Menurut Levinson (dalam Monks, 2002), pada usia 40 tahun tercapailah puncak masa dewasa. Dalam usia 40-45 tahun seseorang menghadapi tiga macam tugas: (1) penilaian kembali masa lalu, (2) merubah struktur kehidupan, dan (3) proses individuasi. Orang menilai masa lalu, membedakan ilusi dan kenyataan, dan dengan pandangan ke depan merubah struktur kehidupannya. Proses individuasi yang bermula pada kelahiran, dalam masa peralihan ini dibangunlah struktur kehidupan baru yang berlangsung sampai fase penghidupan yang berikutnya, yaitu permulaan dewasa madya (45-50 tahun). Fase berikutnya (50-55 tahun) seringkali merupakan krisis bila seseorang tidak sepenuhnya berhasil dalam pengstrukturan kembali hidupnya pada peralihan ke dewasa madya. Sesudah itu datanglah masa puncak (55-60 tahun) yang sekaligus menandai masuk ke dalam masa dewasa akhir.

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Madya

Havighurst (dalam Hurlock, 1998) membagi tugas perkembangan dewasa madya menjadi empat kategori utama:

1. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik

(16)

2. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat

Berasumsi terhadap tanggung jawab warga negara dan sosial, minat pada waktu luang yaitu orientasi kedewasaan dan tempat kegiatan.

3. Tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan

Pemantapan dan pemeliharaan standar hidup relatif mapan. 4. Tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga

Berkaitan dengan pasangan, penyesuaian dengan lansia, membantu remaja menjadi dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

3. Karateristik Dewasa Madya

Menurut Hurlock (1998), karakteristik dewasa madya adalah: 1. Periode yang sangat ditakuti

Terdapatnya kepercayaan tradisional dimana pada masa ini terjadi kerusakan mental, fisik dan reproduksi yang berhenti serta merasakan bahwa pentingnya masa muda.

2. Masa transisi

Perubahan pada ciri dan perilaku masa dewasa madya yaitu perubahan pada ciri jasmani dan perilaku baru. Pada pria terjadi perubahan keperkasaan dan pada wanita terjadi perubahan kesuburan atau menopause.

3. Masa stres

Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah terutama karena perubahan fisik dimana terjadi pengrusakan homeostatis fisik dan psikologis. Pada wanita terjadi pada usia 40-an yaitu masuk menopause

(17)

dan anak-anak meninggalkan rumah dan pada pria terjadi pada usia 50-an saat masuk pensiun.

4. “Usia yang berbahaya”

Terjadi kesulitan fisik dimana usia ini banyak bekerja, cemas yang berlebihan, kurang perhatian terhadap kehidupan dimana hal ini dapat menganggu hubungan suami-isteri dan bisa terjadi perceraian, gangguan jiwa, alkoholisme, pecandu obat, hingga bunuh diri.

5. “Usia canggung”

Serba canggung karena bukan “muda” lagi dan bukan juga “tua”. Kelompok usia madya seolah berdiri di antara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi senior.

6. Masa berprestasi

Sejalan dengan masa produktif dimana terjadi puncak karir. Menurut Erikson, usia madya merupakan masa krisis yaitu generativity (cenderung untuk menghasilkan) - stagnasi (cenderung untuk tetap berhenti) dan dominan terjadi hingga menjadi sukses atau sebaliknya. Peran kepemimpinan dalam pekerjaan merupakan imbalan atau prestasi yang dicapai yaitu generasi pemimpin. 7. Masa evaluasi

Terutama terjadi evaluasi diri. Jika berada pada puncak evaluasi maka terjadi evaluasi prestasi.

8. Dievaluasi dengan standar ganda

a. Aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani yaitu rambut menjadi putih, wajah keriput, otot pinggang mengendur.

(18)

b. Cara dan sikap terhadap usia tua yaitu tetap merasa muda dan aktif tetapi menjadi tua dengan anggun, lambat, hati-hati hidup dengan nyaman. 9. Masa sepi

Masa sepi atau empty nest terjadi jika anak-anak tidak lagi tinggal dengan orangtua. Lebih terasa traumatik bagi wanita khususnya wanita yang selama ini mengurus pekerjaan rumah tangga dan kurang mengembangkan minat saat itu. Pada pria mengundurkan diri dari pekerjaan.

10. Masa jenuh

Pada pria jenuh dengan kegiatan rutin dan kehidupan keluarga dengan sedikit hiburan. Pada wanita jenuh dengan urusan rumah tangga dan membesarkan anak-anak.

4. Penyesuaian pada Dewasa Madya 1. Penyesuaian pekerjaan

Penyesuaian diri terhadap pekerjaan bagi pria dan wanita rumit karena berbagai faktor seperti sikap sosial yang tidak menyenangkan, sistem kontrak kerja, penggunaan mesin otomatis, kelompok kerja, peran isteri meningkat, harus pensiun, dominasi perusahaan besar, dan relokasi perusahaan. Kondisi yang menunjang kepuasan kerja pada usia madya yaitu kepuasan yang diperoleh anggota keluarga karena prestasi kerja, adanya kesempatan untuk aktualisasi diri dalam bekerja, hubungan baik dengan sesama pegawai, puas karena kebijakan organisasi seperti tunjangan kesehatan, cuti, kecelakaan,

(19)

pensiun, dan lain-lain, aman dengan pekerjaan, tidak ada paksaan untuk pindah tugas dan tanggung jawab tertentu.

2. Penyesuaian terhadap perubahan pola keluarga

Perubahan karena berkurangnya jumlah anggota keluarga yang tinggal di rumah. Tahap mengecilnya daur keluarga yaitu masalah penyesuaian kehidupan yakni periode sarang kosong atau emptynest yang berkaitan dengan hubungan berorientasi pada pasangan. Pada usia madya seks merupakan faktor penting bagi kepuasan pasangan suami isteri yaitu ada peningkatan dalam pencapaian kepuasan seks. Pada usia madya terjadinya penyesuaian terhadap keluarga anak, keluarga pasangan seperti merawat orangtua yang sudah lansia, penyesuaian menjadi kakek-nenek yaitu hubungan kesenangan tanpa tanggung jawab.

3. Penyesuaian diri dengan hidup sendiri

Wanita lajang pada usia madya menyesuaikan pola hidup dengan tepat dan perhatian ke pekerjaan. Usia madya pada wanita lajang yang bekerja kurang menyenangkan karena rasa tidak aman dalam pekerjaan (tidak ada promosi kerja) seperti pada masa dewasa dini.

4. Penyesuaian diri dengan ambang masa pensiun dan usia lanjut

Merupakan tugas yang penting pada usia madya yaitu kesulitan karena sikap sosial yang kurang menyenangkan dan menghambat persiapannya (perilaku keluarga). Persiapan pensiun yang perlu dibicarakan dengan anggota keluarga. Persiapan menghadapi usia lanjut yakni lebih tenang dan mudah menyesuaikan terhadap berbagai masalah menjadi lebih mudah.

(20)

C. Melajang

1. Pengertian Melajang

Menurut Stein (1976) melajang (single) adalah individu yang tidak menikah atau terlibat dalam hubungan homoseksual dan heteroseksual.

a. Keuntungan Melajang

Beberapa keuntungan melajang adalah (dalam DeGenova, 2008):

1) Lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengembangkan personal.

2) Adanya kesempatan untuk bertemu orang-orang yang berbeda dan untuk mengembangkan serta menikmati pertemanan yang berbeda.

3) Kebebasan secara ekonomi dan pembekalan diri. 4) Lebih tervariasi pengalaman seksualnya.

5) Kebebasan untuk mengontrol kehidupannya sendiri.

6) Lebih memiliki kesempatan untuk mengubah, mengembangkan karir. b. Kerugian Melajang

Beberapa kerugian melajang adalah (dalam DeGenova, 2008): 1) Kesepian dan hubungan persahabatan yang kurang.

2) Kesulitan ekonomi.

3) Merasa terasing dalam beberapa pertemuan sosial. 4) Frustrasi seksual.

5) Tidak memiliki anak atau keluarga yang dapat membawa anak-anak. Beberapa individu merasakan banyak keuntungan dalam mempertahankan status lajang, yang meliputi:

(21)

a. Memiliki waktu dan kesempatan untuk membuat keputusan sendiri tentang tujuan hidup.

b. Memiliki waktu untuk mengembangkan diri dan finansial untuk mencapai tujuan.

c. Bebas untuk membuat keputusan sendiri dan menjalankan rencana dan minat yang telah direncanakan sendiri.

d. Memiliki kesempatan untuk mencari tempat-tempat baru dan mencoba sesuatu yang baru.

e. Mempertahankan privacy.

2. Sebab-sebab Melajang

Penelitian Austrom dan Hanel (1985), Frazier dkk (1996), Lewis dan Moon, 1997) menunjukkan sebab-sebab individu dewasa hidup melajang yaitu:

a. Pilihan personal yaitu hidup melajang karena merupakan pilihan mereka sendiri, dan mempunyai argumen positif untuk tetap melajang

b. Keadaan eksternal, misalnya tidak menemukan seseorang yang cocok, dan c. Defisit personal atau menyalahkan diri sendiri, misalnya merasa malu atau

merasa tidak menarik

Menurut Sunarto (2000) salah satu faktor yang menyebabkan enundaan perkawinan atau bahkan keinginan untuk tetap hidup melajang di kalangan orang muda adalah keinginan untuk tetap bebas, seperti bebas untuk mengambil resiko, bebas bereksperimen dan membuat suatu perubahan tanpa memikirkan efek dari pemenuhan terhadap orang lain. Ada juga yang menikmati kebebasan dalam

(22)

hubungan seksual, menganggap bahwa melajang itu menyenaangkan, dan ada yang senang dengan kesendirian. Selain itu ada juga yang menghindari perkawinan karena takut bercerai (Papalia & Olds, 1995).

Kephart (dalam Dyer, 1983) selain faktor-faktor yang bersifat individual di atas terdapat faktor sosial, ekonomi, dan demografi yang memicu peningkatan hidup melajang. Pada populasi perempuan, peningkatan hidup melajang dipengaruhi tingkat pendidikan, perluasan kesempatan kerja (yang memampukan mereka untuk menghidupi diri sendiri) dan pergerakan liberal perempuan. Berkurangnya kekhwatiran para perempuan terhadap stigma yang berlaku di masyarakat terutama label “perawan tua” juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya jumlah perempuan yang melajang.

Menurut Hurlock (1980) kebanyakan orang yang tidak menikah mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk tetap melajang. Beberapa dari alasan tersebut adalah karena faktor lingkungan, dan beberapa lagi karena faktor pribadi. Alasan yang paling umum diberikan adalah sebagai berikut:

a. Penampilan seks yang tidak menarik dan tidak tepat. b. Cacat fisik atau penyakit lama.

c. Sering gagal dalam mencari pasangan.

d. Tidak mau memikul tanggung jawab perkawinan dan orangtua.

e. Keinginan untuk meniti karir yang menuntut kerja lama dan jam kerja tanpa batas dan banyak bepergian.

f. Tidak seimbangnya jumlah anggota masyarakat wanita dan pria di masyarakat tempat ia tinggal.

(23)

g. Jarang mempunyai kesempatan untuk berjumpa dan berkumpul dengan lawan jenis yang dianggap cocok dan sepadan.

h. Mempunyai tanggung jawab keuangan dan waktu untuk orangtua dan saudara-saudaranya.

i. Kekecewaan yang pernah dialami karena kehidupan keluarga yang tidak bahagia pada masa lalu atau pengalaman pernikahan yang tidak membahagiakan yang dialami oleh temannya.

j. Mudahnya fasilitas untuk melakukan hubungan seksual tanpa menikah. k. Gaya hidup yang menggairahkan.

l. Besarnya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karir.

m. Kebebasan untuk mengubah dan melakukan percobaan dalam pekerjaan dan gaya hidup.

n. Mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas sosial akan lebih mudah diperoleh apabila dalam keadaan lajang daripada menikah.

o. Persahabatan dengan anggota kelompok seks sejenis yang begitu kuat dan memuaskan.

p. Homoseksual.

3. Faktor-faktor Melajang

Menurut Stein (dalam Lefrancois, 1993), beberapa faktor sosial yang berkontribusi pada peningkatan jumlah individu melajang (belum pernah menikah):

(24)

a. Besarnya jumlah wanita yang kuliah dan memulai karir sebelum menikah. b. Berkembangnya kesempatan untuk berkarir bagi wanita.

c. Besarnya jumlah wanita daripada pria pada kebanyakan umur yang pantas untuk menikah.

d. Meningkatnya perceraian, sehingga mengurangi keinginan untuk menikah. e. Meningkatnya cohabitation (tinggal serumah selayaknya suami isteri tanpa

ada ikatan pernikahan) yang diterima oleh masyarakat.

Faktor lainnya yang dapat menjelaskan mengapa seseorang melajang adalah (dalam Hoyer dan Roodin, 2003):

a. Melajang menawarkan fleksibilitas dan kebebasan dalam membuat keputusan dan berinteraksi sosial dengan orang lain.

b. Perubahan sikap antara banyak wanita dan pria terhadap karir dan pemenuhan pribadi.

c. Banyak pilihan untuk mengembangkan karir individu lajang sebelum mengasumsikan tanggung jawab mengenai pernikahan.

d. Menikmati hubungan intim ketika individu lajang telah sukses dan menghindari masalah pernikahan yang buruk (dalam Craig, 1996)

4. Jenis Individu yang Menjalani Status Lajang

Menurut Jana Darrington, Kathleen W. Piercy, dan Sylvia (2005), ada dua jenis dari individu yang menjalani status lajang:

(25)

a. Individu yang memeluk gaya hidup dan menikmati gaya hidup tersebut.

b. Individu yang tidak puas dengan kehidupan lajang dan menyalahkan status mereka yang tidak menikah karena ketidakcukupan personal dan situasional. Pada budaya tertentu, ajaran agama, hubungan keluarga, dan hubungan pertemanan secara khusus berpengaruh pada usaha individu lajang untuk merasakan dan menciptakan makna dari kehidupan single mereka.

D. Dewasa Madya Melajang

Dewasa madya yang hidup melajang merupakan individu yang berumur antara 40-60 tahun yang berstatus belum menikah atau belum pernah menikah. Sekitar satu dari 20 orang pada usia madya belum menikah (Sensus USA, 1996). Umumnya, orang yang tidak pernah menikah pada usia madya tidak akan menikah. Beberapa individu lajang cenderung memiliki status pendidikan yang lebih tinggi atau pendidikan yang lebih rendah. Wanita mungkin memilih pendidikan yang lebih tinggi dan karir daripada menikah karena mereka menganggap bahwa pernikahan akan menguasai mereka.

E. Kesepian pada Dewasa Madya yang Hidup Melajang

Kesepian pada dewasa madya yang hidup melajang mengalami perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang individu inginkan dan jenis hubungan sosial yang individu miliki (Perlman & Peplau, 1981). Kualitas dan kuantitas kesepian yang individu rasakan bervariasi, meliputi durasi, frekuensi dan kuat lemahnya perasaan

(26)

kesepian yang individu alami. Menurut Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006), bentuk kesepian berdasarkan durasi meliputi perasaan kesepian yang muncul sesekali, mengalami kesepian setelah mengalami gangguan pada jaringan sosialnya dan tidak dapat memiliki kepuasan dalam jaringan sosial yang dimilikinya dalam jangka waktu tertentu.

Dewasa madya yang hidup melajang bisa merasakan kesepian dari beberapa uraian di atas tergantung kepada jenis jaringan sosial yang ia miliki dihubungkan dengan pekerjaan individu. Penyebab inividu lajang merasakan kesepian adalah ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki yakni being unattached dimana sebab individu lajang merasakan kesepian adalah karena tidak memiliki pasangan hidup atau partner seksual. Faktor yang mempengaruhi kesepian pada dewasa madya adalah usia dimana individu dewasa madya yang akan memasuki masa lansia tetapi belum juga memiliki pasangan. Hal ini berhubungan dengan faktor selanjutnya yaitu status perkawinan dimana menurut Freedman; Perlman dan Peplau (dalam Brehm dkk, 2002), individu yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan individu yang menikah. Dewasa madya yang hidup melajang juga kesepian karena merasakan emosi-emosi negatif. Emosi negatif tersebut meliputi desperation (pasrah), impatient boredom (bosan),

self-deprecation (mengutuk diri sendiri), dan depression atau depresi (dalam Brehm

dkk, 2002). Oleh karena itu individu yang merasakan kesepian adalah individu yang setidaknya merasakan keempat perasaan di atas

(27)

F. Kerangka Berpikir Penelitian

Keterangan:

: Terbagi/meliputi/akan terjadi

: Mempengaruhi

: Yang ingin diteliti

Dewasa madya

Paling sulit Masa evaluasi Tugas Berhubungan dengan kehidupan kel arga Menjalankan rumah tangga, menghasilkan keturunan, mendidik anak Seharusnya sudah menikah Melajang Penilaian masyarakat (label yang diberikan) Kesedihan, ketidakbahagiaa Kesepian

Perasaan dan bentuk kesepian bervariasi

Penyebab dan faktor

Referensi

Dokumen terkait

The Mission mentioned in Article 6, paragraph 1 of the present Agreement shall conclude, in behalf ~f the Government of the Republic of Indonesia, contracts

Dari beberapa informasi yang ditemukan peneliti saat melakukan penelitian pada Kantor Samsat Kota sorong, telah dilakukan beberapa upaya dalam menangani

Langkah pertama yang harus dilakukan pengembang adalah mencermati hasil evaluasi yang sudah ada, mencermati standar nasional pendidikan tinggi (SNPT), dan mengkaji

Faktor – Faktor Penyebab Konflik Etnis, Identitas dan Kesadaran Etnis, serta Indikasi Kearah Proses Disintegrasi di Kalimantan Barat, dalam INIS (ed)Konflik Komunal di

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pemberian suara belalang “kecek” (Orthoptera) frekuensi 3000 Hz pada pembibitan jati (Tectona grandis)

1) Peneliti memasuki ruang kelas pada jam ketiga (setelah upacara bendera). 2) Peneliti mengecek presensi siswa melalui buku kehadiran. 3) Peneliti membuka kegiatan dengan

/ Berdasarkan simpul an pertama dar i hasil penelitian ini yang menyatakan b ahwa siswa yang diaj a r dengan strategi pembelajaran Elaborasi, memiliki basil bel ajar yang

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat dipandang sebagai produk dan sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah hasil temuan-temuan para ahli saintis,