• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan memiliki luas wilayah sekitar km 2. Klasifikasi geografis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan memiliki luas wilayah sekitar km 2. Klasifikasi geografis"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang

Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang terdapat di Indonesia dan memiliki luas wilayah sekitar 153.364 km2. Klasifikasi geografis Kalimantan Tengah terdiri dari daerah rawa-rawa dengan luas 18.115 km2, sungai-sungai dan danau sekitar 4.536 km2, daerah tanah lainnya sekitar 4.686 km2, dan bagian terbesar dari propinsi ini adalah hutan belantara yang luasnya mencapai 126.200 km2. Secara astronomis, Provinsi Kalimantan Tengah terletak pada 1110-1150 dan 0045’ Lintang Utara – 3030’ Lintang Selatan. Kalimantan Tengah juga seringkali disebut dengan nama Bumi Tambun Bungai (http://anjungantmii.com/kalimantantengah/index.php?option=com_content&view =article&id=1&Itemid=8).

Bahasa Dayak Ngaju merupakan bahasa asli salah satu suku Dayak yang berlokasi di Kalimantan Tengah. Ngaju memiliki makna ‘hulu’ dengan tambahan makna ‘orang yang kurang maju, kurang sopan santun, dan kurang pendidikan’ (Durasid, dkk., 1990: 14). Sehubungan dengan hal tersebut, Durasid, dkk. (1990: 11) juga mengatakan bahwa istilah ‘Dayak Ngaju’ ini dipopulerkan secara positif oleh orang asing yang bernama Dr. August Harderland pada tahun 1858. Penutur bahasanya seringkali disebut orang Kahayan dan Kapuas. Orang-orang dari suku Dayak Ngaju dulunya tidak mengenal istilah penamaan secara keseluruhan tersebut dan hanya menyebut dirinya oloh Kahayan atau oloh Kapuas yang berarti

(2)

‘orang Kahayan’ atau ‘orang Kapuas’. Penamaan ini disebabkan oleh penuturnya yang bertempat tinggal di sepanjang aliran hulu sungai Kahayan dan sungai Kapuas. Jadi, dapat dikatakan bahwa Bahasa Kahayan merupakan penamaan secara khusus, sedangkan Bahasa Dayak Ngaju adalah penamaan secara umum. Durasid, dkk. (1990: 21) juga mengatakan bahwa bahasa Dayak Ngaju memiliki 3 (tiga) macam dialek, yaitu Kahayan Kapuas Ngawa (Kahayan Kapuas Hilir), Kahayan Ngaju (Kahayan Hulu), dan Kapuas Ngaju (Kapuas Hulu). Bahasa Dayak Ngaju yang disingkat menjadi BDN, seperti halnya bahasa-bahasa Nusantara lainnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia. Sebagai bahasa asli, tentu saja BDN merupakan bahasa utama yang pertama kali dikuasai dan digunakan sehari-hari dalam lingkungan keluarga maupun pergaulan.

Muhadjir (2002) mengatakan bahwa menurut Sensus Penduduk 1980 (SP’80), keseluruhan penduduk Kalimantan berjumlah 6.716.098 jiwa yang terbagi atas 4.715.151 jiwa penduduk asli dan 2.000.947 jiwa penduduk pendatang. Di Kalimantan Tengah, pendatang tersebut berturut-turut berasal dari Jawa (38.279), Madura (22.740), dan Bugis (5.098). Bahasa Dayak memiliki berpuluh varian dengan jumlah keseluruhan penutur sebanyak 243.889 jiwa dan BDN memiliki jumlah penutur paling banyak, yaitu 61.275 jiwa. Jadi, BDN merupakan bahasa mayoritas yang digunakan di Kalimantan Tengah. Berikut ini merupakan tabel persebaran penutur Bahasa Dayak.

(3)

Tabel 1.1 Distribusi Penutur Bahasa Dayak di Kalimantan Tengah

Bahasa Dayak Jumlah Penutur

Ngaju 61.275 Ma’anyan 48.494 Ot Danum 34.635 Kenyan 9.173 Apo-Kayan 411 Kenya Bahau 382 Dayak Bakau 19 Jumlah 154.389

Sumber: Sensus Penduduk Tahun 1980 via Muhadjir (2002)

Masyarakat yang tinggal di Kalimantan Tengah sebagian besar merupakan masyarakat multilingual karena banyaknya suku pendatang yang masuk, seperti suku Banjar, Jawa, Madura, Batak, dan lain-lain. Tiga bahasa yang dominan digunakan adalah Bahasa Dayak Ngaju, Bahasa Banjar, dan Bahasa Indonesia. Bahasa Dayak Ngaju digunakan oleh masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari di ranah keluarga dan pergaulan sesama yang menuturkan bahasa tersebut. Selain itu, ada Bahasa Banjar yang digunakan oleh masyarakat di Kalimantan Tengah dengan dialek Kuala. Bahasa Banjar merupakan bahasa asli suku Banjar yang berada di Kalimantan Selatan dengan jumlah penutur menurut SP’80 adalah sebanyak 1.856.153 jiwa. Bahasa di luar Kalimantan disebut bahasa pendatang, jadi Bahasa Banjar masih termasuk dalam Bahasa Kalimantan. Bahasa Banjar Kuala disini akan disingkat menjadi BBK. Durasid, dkk., (1990: 19) mengatakan bahwa di kota-kota kabupaten dan Kotamadya Palangka Raya, BBK menjadi bahasa kedua. Mata pencaharian terbesar dari suku Banjar adalah berdagang, maka dari itu banyak pedagang yang hijrah ke Kalimantan Tengah dan menjadikan bahasanya sebagai lingua franca di tempat-tempat berdagang. Di

(4)

samping itu, masyarakat suku Dayak juga menguasai bahasa Indonesia yang wajib digunakan di lingkungan sekolah sebagai bahasa formal untuk pendidikan. Selanjutnya Bahasa Indonesia akan disingkat menjadi BInd. Situasi multilingual ini sudah gamblang di Kalimantan Tengah dan dewasa ini hampir tidak pernah ditemui orang suku Dayak Ngaju yang hanya menguasai bahasa ibunya saja, kecuali penutur-penutur yang sudah lanjut usia dan tidak pernah meninggalkan desanya.

Bahasa Inggris dewasa ini merupakan bahasa asing yang telah dipelajari dan digunakan untuk berkomunikasi dalam dunia internasional. Era globalisasi mengharuskan setiap orang mempelajari bahasa Inggris dan ini bukan merupakan hal yang mudah bagi semua orang. Latar belakang bahasa yang berbeda dapat menghambat pembelajaran bahasa Inggris yang merupakan bahasa asing bagi pembelajarnya. Bahasa Inggris termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa dan tentu saja unsur-unsur pembentuk bahasanya berbeda dengan bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa lain, contohnya saja rumpun bahasa Austronesia. Singkatan BI akan dipergunakan untuk menyebutkan Bahasa Inggris.

BI merupakan bahasa asing bagi sebagian besar orang-orang Indonesia, yang dipersempit lagi menjadi orang-orang yang berasal dari suku Dayak Ngaju. Bahasa pertama yang dikuasai adalah BDN dan kemudian berkontak dengan bahasa lain seperti BBK dan BInd. Pengaruh bahasa-bahasa ini akan terlihat dampaknya pada pembelajaran BI. Hal ini dikarenakan BI bukan merupakan bahasa kedua bagi penutur BDN dan lingkungan sekitar pun tidak menuntut untuk menjadikan bahasa tersebut sebagai bahasa kedua. Namun kontak bahasa juga

(5)

tidak dapat dihindari karena BI merupakan mata pelajaran wajib atau muatan lokal yang dijumpai di setiap sekolah, baik itu dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.

Di Palangka Raya, terdapat sebuah universitas yang bernama Universitas Palangka Raya yang memiliki program studi Pendidikan Bahasa Inggris dan mahasiswanya dituntut untuk mempelajari bahasa Inggris dengan baik dan benar, karena misi dari program studi ini adalah menciptakan guru-guru yang profesional. Dengan demikian, BI sengaja dipelajari untuk diajarkan kembali dan tentu saja pembelajarnya diharuskan untuk menguasai bahasa target, baik secara lisan maupun tertulis. Jika BI belum dikuasai dengan baik dan benar, maka belum dapat disebut sebagai profesional dan akhirnya akan menciptakan efek domino pada orang yang diajarkan dengan salah.

BDN dan BI tentu saja memiliki perbedaan dan salah satu unsur kebahasaan yang terlihat cukup kentara perbedaannya adalah pada tataran fonologi. Perbedaan sistem fonologi ini dapat berdampak negatif jika tidak dapat dibedakan dengan benar. BI merupakan bahasa yang memiliki fonem yang cukup beragam, sedangkan BDN tidak memiliki variasi sebanyak BI. Sebagai contoh, bahasa Dayak Ngaju yang masuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia, hanya mengenal /p/ dan tidak mengenal /f/ dan /v/ yang akan menyebabkan berubahnya bunyi dalam pelafalan. Dalam bahasa Inggris, ketiga fonem tersebut jelas berbeda dan dapat dibuktikan dengan pasangan minimal. Kata /fæn/ dan /væn/ bermakna ‘kipas angin’ dan ‘mobil gerbong’, dan jika dilafalkan dengan /p/ menjadi /pæn/,

(6)

maka maknanya menjadi ‘rinjing’. Bahasa Dayak Ngaju pada dasarnya hanya mengenal /p/ saja.

Ortografis Pelafalan Penutur BI Pelafalan Penutur BDN

(1) fan ‘kipas angin’ /fæn/ /pen/

(2) van ‘mobil gerbong’ /væn/ /pen/

(3) pan ‘rinjing’ /pæn/ /pen/

Tidak menutup kemungkinan bahwa orang dari suku Dayak Ngaju dapat melafalkan /f/ juga. Hal ini dapat terjadi karena keadaan multilingual di Kalimantan Tengah. Dalam BBK, /f/, dan /v/ juga tidak dikenal. Jadi, kedua bahasa itu tidak memungkinkan penuturnya untuk melafalkan /f/. Namun ada BInd yang telah menyerap /f/ dari bahasa asing dan pada kenyataannya di lapangan sudah banyak orang suku Dayak Ngaju yang dapat melafalkannya. Ini berarti BInd juga telah memberikan pengaruh positif terhadap pelafalan BI yang dilakukan oleh suku Dayak Ngaju.

Sistem fonologi bahasa yang satu akan berbeda dengan bahasa yang lainnya. Jika dalam suatu sistem fonologi sebuah bahasa yang sederhana melakukan kontak dengan bahasa yang lebih kompleks, maka akan terjadi beberapa perubahan. Contoh yang didapat di dalam data misalnya sebagai berikut. Ortografis Pelafalan Penutur BI Pelafalan Penutur BDN

(4) zero ‘nol’ /zɪərəʊ/ /zero/

(5) riddance ‘pembebasan’ /rɪdns/ /ridɜns/

(6) drink ‘minum’ /drɪŋk/ /driŋ/

Pada contoh (4) terdapat dua diftong pada BI, yaitu /ɪə/ dan /əʊ/. Jika dilafalkan oleh penutur BDN, maka akan terjadi proses perubahan bunyi yang disebut monoftongisasi. Diftong /ɪə/ dan /əʊ/ tidak dimiliki oleh BDN, maka dari itu untuk memudahkan pelafalan, penutur berusaha untuk melafalkan bunyi yang

(7)

setidaknya mirip dengan kedua diftong tersebut, yaitu vokal tunggal /e/ dan /o/. Kemudian pada contoh (5), proses yang terjadi adalah epentesis yang ditandai dengan penambahan fonem vokal /ɜ/ di antara konsonan /d/ dan kluster /ns/. Pada contoh (6) terjadi pelesapan pada /k/ pada kata /drɪŋk/ dan juga naiknya posisi lidah dari /ɪ/ pada posisi tinggi depan terbuka menjadi /i/ pada posisi tinggi depan tertutup. Selain contoh-contoh tersebut, masih banyak lagi proses perubahan bunyi yang terjadi pada pelafalan BI oleh penutur BDN.

Selain unsur-unsur fonologis, orang-orang dari suku Dayak Ngaju juga mengalami kesulitan secara ortografis. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, BI dan BDN berasal dari dua rumpun bahasa yang berbeda. Sistem ortografis BI tidak semuanya sama dengan pelafalannya, sedangkan pada BDN, sistem ortografisnya tidak jauh berbeda dengan pelafalannya. Jika tidak melihat kamus BI yang dilengkapi dengan fonetik, atau tidak pernah mendengar sama sekali dari sumber lisan, maka dapat dipastikan pelafalannya akan mengalami kesulitan. Sebagai contoh kata determine ‘menentukan’ yang dilafalkan sebagai /dɪˈtəːmɪn/. Banyak orang melakukan kesalahan karena pola pikir yang dimiliki terhadap kata yang berakhiran –mine akan dilafalkan sebagai /maɪn/. Lain halnya dengan BDN, sebagai contoh kata bahalap ‘bagus’, jika ditranskripsikan ke dalam fonetik tidak akan jauh berbeda secara otografis, yaitu /bahalap/. Maka dari itu, aspek ortografis BI dapat mengacaukan konsep ortografis awal yang sudah dimiliki oleh penutur BDN dan kekacauan ini mempengaruhi pelafalan pada BI.

Analisis kontrastif dapat meliputi semua tataran pada mikrolinguistik. Pada penelitian ini, aspek kebahasaan yang diteliti hanya pada tataran fonologi

(8)

saja. Perbandingan perbedaan dan persamaan unsur fonologis antara BDN dan BI inilah yang disebut dengan analisis kontrastif. Topik mengenai pengontrasan bahasa-bahasa ini dan juga proses perubahan bunyi yang dilakukan oleh penuturnya menarik untuk diteliti, maka dari itu penulis mengangkat permasalahan-permasalahan yang didapatkan dari data dan dituangkan ke dalam judul tesis “Analisis Kontrastif Sistem Fonologi Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Inggris”. Selain kedua bahasa utama yang dikontraskan, BBK dan BInd juga akan dijelaskan sebagai bahasa pendukung. Hal ini dilakukan guna menjelaskan mengapa ada penutur yang dapat melafalkan fonem tertentu yang tidak terdapat pada BDN, karena keadaan multilingual di Kalimantan Tengah cukup menggambarkan bahwa telah masuk pengaruh bahasa lain terhadap BDN. Dengan ditemukannya persamaan dan perbedaan tersebut, diharapkan akan memberikan kemudahan dalam pengajaran, serta memberikan pemahaman tentang bunyi-bunyi dalam BI untuk mendapatkan manfaat baik secara teoretis maupun praktis.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana dikemukakan pada latar belakang bahwa pada BDN dan BI terdapat persamaan dan perbedaan pada sistem fonologi dan adanya proses perubahan bunyi yang terjadi pada pelafalan BI yang dilakukan oleh penutur BDN, maka permasalahan yang diangkat adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana persamaan dan perbedaan bunyi vokal BDN dan BI? 2. Bagaimana persamaan dan perbedaan bunyi konsonan BDN dan BI?

(9)

3. Bagaimana proses perubahan bunyi yang terjadi pada pelafalan BI oleh penutur BDN?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pengontrasan sistem fonologi BDN, BI, BBK, dan BInd dan proses perubahan bunyi yang terjadi pada pelafalan BI yang dilakukan oleh penutur BDN adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan bunyi vokal BDN, BI, BBK, dan B.Ind.

2. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan bunyi konsonan BDN, BI, BBK, dan B.Ind.

3. Mendeskripsikan proses perubahan bunyi yang terjadi pada pelafalan BI oleh penutur BDN.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan membawa manfaat yang baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat-manfaat yang diharapkan tersebut adalah sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang didapatkan dari penelitian ini adalah bertambahnya pengetahuan tentang persamaan dan perbedaaan unsur fonologis BDN dan BI, baik dari bunyi vokal dan konsonan, bunyi diftong, triftong, dan kluster, alofon, distribusi fonem, pasangan minimal, maupun pola suku kata untuk mahasiswa yang mempelajari BI. Selain itu, penelitian ini juga memberikan pengetahuan

(10)

tentang proses perubahan bunyi yang dilakukan penutur BDN terhadap pelafalan BI sehingga mahasiswa dapat menggunakannya sebagai perbaikan. Manfaat lainnya dari penelitian ini adalah adanya sumbangsih untuk memperkaya kepustakaan yang berhubungan dengan kajian analisis kontrastif antara BDN dan BI.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan membawa manfaat praktis dalam pengajaran BI kepada pembelajar yang berlatar belakang bahasa ibu BDN. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu memprediksi kesalahan dan kesulitan pembelajar BI yang memiliki latar belakang BDN sehingga dapat dijadikan acuan sebagai perbaikan.

1.5 Tinjauan Pustaka

BDN memiliki fonem vokal dan konsonan yang berjumlah 22 (dua puluh dua) buah. Penelitian Dempwolff (1937) via Misrita (2005) menyatakan bahwa ada 4 (empat) fonem di dalam BDN, yaitu /i/, /ɛ/, /a/, dan /U/. Sebelumnya pada Bab I telah dijelaskan bahwa Bahasa Kahayan merupakan penamaan secara khusus dari BDN. Durasid, dkk. (1990: 39) dalam bukunya yang berjudul Struktur Bahasa Kahayan juga menyatakan hal serupa. Sementara itu, penelitian Santoso, dkk. (1991: 13) menambahkan fonem /u/ dalam BDN sehingga menjadi 5 (lima) fonem. Ristati (2006: 156) menyebutkan bahwa fonem dalam BDN ada 5 (lima) dengan memasukkan fonem /o/.

(11)

Fonem /u/ hanya merupakan alofon dari fonem /U/ dan tidak bersifat fonemis karena tidak ditemui kontrasnya. Penelitian Santoso, dkk. (1991: 13) mengkontraskan kata /uluh/ uluh ‘ulur’ dan /UlUh/ uluh ‘orang’, sehingga ditarik kesimpulan bahwa fonem /u/ dan /U/ merupakan fonem yang berbeda. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan informan membuktikan bahwa untuk kata ‘ulur’ dalam BDN dilafalkan /UlUh/ yang sama persis pelafalannya dengan kata ‘orang’. Ini menunjukkan bahwa kata uluh merupakan homonim pada BDN.

Fonem /o/ dalam penelitian Ristati (2006: 72) dibuktikan oleh pengontrasan beberapa kata berikut.

/kado/ kado ‘kado’ dan /kadu/ kadu ‘melapor’ /buko/ buko ‘kerdil’ dan /buku/ buku ‘buku’

/lampok/ lampok ‘keramas’ dan /lampuk/ lampuk ‘dodol durian’ Kata kado merupakan kata serapan dari BInd yang dalam BDN sendiri padanannya adalah /panɛŋa/ panenga ‘hadiah, pemberian, kado’. Kata /buko/ buko dan /lampok/ lampok tidak dikenali informan sebagai kosa kata BDN. Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia tidak dilengkapi dengan transkripsi fonetik, maka dari itu jika melihat dari kamus, masih tidak diketahui bagaimana cara melafalkan kosa kata dengan benar. Kata buko merupakan variasi bebas dari buku yang bermakna ‘memisahkan dua ruas’, sedangkan lampok yang diketahui informan sama dengan kata lampuk yang bermakna ‘dodol durian’. Untuk kata ‘kerdil’, padanannya di dalam BDN adalah /kariŋɛ/ karinge dan kata ‘keramas’ dapat dipadankan dengan frase /nata kUlUk/ nata kuluk. Kosa kata lain yang

(12)

disebutkan dalam penelitian Ristati (2006: 81-82) merupakan kata serapan dari BI, seperti /otot/ otot ‘otot’, /toko/ toko ‘toko’, /polisi/ polisi ‘polisi’, /kado/ kado ‘kado’, /obat/ obat ‘obat’, /ñoña/ nyonya ‘nyonya’, /orkes/ orkes ‘orkes’, /motor/ motor ‘motor’, /roh/ roh ‘roh’, /odol/ odol ‘odol, pasta gigi’, /paktor/ paktor ‘faktor’, dan /oktober/ oktober ‘oktober’. Beberapa dari kosa kata serapan yang disebutkan memiliki padanan di dalam BDN, contohnya /otot/ otot, /kado/ kado, dan /obat/ obat yang memiliki padanan /Uhat tUlaŋ/ uhat tulang, /panɛŋa/ panenga, dan /tatamba/ tatamba.

Durasid, dkk. (1990: 39) mengatakan bahwa /o/ hanya merupakan variasi bebas dari /U/ karena dalam ucapan sehari-hari penutur BDN tidak dapat membedakan dengan baik antara /U/ dan /o/ dan sering terjadi pertukaran bunyi tanpa disadari. Contohnya sebagai berikut.

/UlUh/ uluh dan /oloh/ oloh memiliki arti ‘orang’ /danum/ danum dan /danom/ danom memiliki arti ‘air’ /mihUp/ mihup dan /mihop/ mihop memiliki arti ‘minum’.

Durasid, dkk., (1990), Santoso, dkk (1991), dan Ristati (2006) sama-sama menyatakan bahwa pada BDN terdapat 18 (delapan belas) buah fonem konsonan, yaitu /p/, /b/, /t/, /d/, /c/, /j/, /k/, /g/, /s/, /h/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /l/, /r/, /w/, dan /y/.

Bahasa Inggris memiliki 38 (tiga puluh delapan) fonem yang terbagi atas vokal dan konsonan. BI memiliki 14 (empat belas) fonem yang terdiri atas 5 (lima) vokal panjang, yaitu /i:/, /u:/, /ɛ:/, /ɑ:/, dan /ɔ:/ dan 9 (sembilan) vokal pendek yang terdiri dari /i/, /ɪ/, /e/, /æ/, /ə/, /ʌ/, /u/, /ʊ/, dan /ɒ/. Vokal BI pada penelitian ini merupakan vokal yang berdasarkan Received Pronunciation (RP).

(13)

Istilah Received Pronunciation (RP) dicetuskan oleh seorang linguis bernama A. J. Ellis pada tahun 1869, namun hanya menjadi istilah yang digunakan secara luas untuk mendeskripsikan aksen dari elit sosial setelah seorang ahli fonetik bernama Daniel Jones mengadopsinya pada edisi kedua dari buku English Pronouncing Dictionary pada tahun 1924. Verhaar (2012: 39) mengatakan bahwa perbedaan antara vokal panjang dan vokal pendek menyangkut lamanya pelafalan sebuah vokal. Vokal pendek memiliki pelafalan yang lebih singkat waktunya dibandingkan dengan vokal panjang. Dalam BI, vokal panjang dan vokal pendek bersifat distingtif atau membedakan makna. Fonem konsonan BI berjumlah 24 (dua puluh empat) buah, yaitu /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, /f/, /v/, /θ, /ð/, /s/, /z/, /ʃ/, /ʒ/, /h/, /l/, /r/, /m/, /n/, /ŋ/, /w/, dan /y/. BI yang digunakan pada penelitian ini adalah BI yang menggunakan Received Pronunciation (RP).

Penelitian tentang analisis kontrastif pernah dilakukan oleh Noworini (2002) dengan judul Interferensi Fonologis Bahasa Indonesia Dalam Bahasa Prancis. Penelitian yang dilakukan oleh Noworini ini sebagian besar mengulas mengenai kesulitan dan kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar Bahasa Prancis yang berbahasa ibu Bahasa Indonesia karena topik yang diangkat adalah tentang interferensi bahasa. Di samping itu, Noworini membanding-bandingkan dua bahasa tersebut dari aspek fonologisnya dan mendapatkan perbedaan dari masing-masing bahasa. Faktor Sosiolinguistik juga diangkat sebagai salah satu penyebab terjadinya interferensi dalam penelitiannya.

Selain itu ada penelitian pada tahun selanjutnya yang dilakukan oleh Kussemiarti (2003) yang berjudul Interferensi Fonologis Bahasa Indonesia

(14)

Dalam Pelafalan Bunyi Ucapan Bahasa Inggris: Studi Kasus Mahasiswa PTS di Kotamadya Yogyakarta. Dalam tesis ini juga terdapat perbandingan antara dua bahasa dengan analisis kontrastif, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Selain itu tulisan (grafem), juga mempengaruhi interefensi karena dalam bahasa Inggris satu grafem tidak melambangkan satu bunyi saja, sedangkan dalam bahasa Indonesia hampir semua bunyi dilambangkan dengan grafem yang mirip.

Nguyen (2004) meninjau sistem fonologi dua bahasa dalam tesisnya yang berjudul Perbandingan Sistem Fonologi Bahasa Indonesia dan Sistem Fonologi Bahasa Vietnam. Penelitian ini membanding-bandingkan persamaan dan perbedaan dua bahasa berbeda, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Vietnam. Kesalahan pelafalan yang terjadi pada Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur Bahasa Vietnam dikarenakan oleh tiga hal, yaitu ketidaktahuan kaidah pelafalan fonem-fonem Bahasa Indonesia, perbedaan fonologis masing-masing bahasa, dan adanya pengaruh atau gangguan pelafalan fonem-fonem Bahasa Vietnam terhadap Bahasa Indonesia.

Sarim (2005) juga melakukan penelitian mengenai Sistem Fonologi Bahasa Thai dan Bahasa Indonesia: Sebuah Studi Kontrastif dan Analisis Kesalahan Pada Pembelajar Kedua Bahasa. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dari penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Nguyen (2004) dengan membandingkan-bandingkan dua bahasa, yaitu Bahasa Thai dan Bahasa Indonesia. Hanya saja pada penelitian ini menggunakan analisis kesalahan yang tidak terdapat pada penelitian sebelumnya.

(15)

Bertolak dari beberapa penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya, peneliti tidak menyinggung mengenai interferensi, faktor Sosiolinguistik, gangguan berbahasa, dan analisis kesalahan. Keempat tesis yang telah dikemukakan tersebut semuanya membahas tetang persamaan dan perbedaan dengan menggunakan teori analisis kontrastif. Maka dari itu, untuk membedakan dengan penelitian yang telah ada peneliti akan membahas proses perubahan bunyi terhadap BI yang dipelajari oleh penutur BDN.

1.6 Landasan Teori

Pada landasan teori, hal-hal yang akan dipaparkan sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut.

1.6.1 Kontak Bahasa

O’Grady (1993: 272) mendefinisikan “...language contact, which occurs when speakers of one language frequently interact with the speakers of another language or dialect.” Kontak bahasa dapat terjadi ketika penutur dari satu bahasa seringkali berinteraksi dengan penutur dari bahasa lain atau dialek lain. Pada penelitian ini, kontak bahasa yang terjadi adalah ketika penutur BDN menggunakan BI yang mana keduanya merupakan bahasa berbeda. Selain itu penutur BDN juga sebelumnya telah melakukan kontak dengan BBK dan BInd.

Weinreich (1968: 1) mengatakan “...two or more languages will be said in contact if they are used alternately by the same person. The language-using individuals are thus the locus of the contact.” Bahasa dapat dikatakan berkontak jika ada dua atau lebih bahasa digunakan secara bergantian oleh satu orang yang

(16)

sama. Maka dari itu, individu pengguna bahasa merupakan tempat dari kontak itu sendiri.

Kedua teori di atas sama-sama menyebutkan bahwa syarat kontak bahasa setidaknya terjadi ketika dua bahasa bertemu dan sering digunakan secara bergantian oleh penutur suatu bahasa. Interaksi yang dilakukan oleh penutur bahasa dengan pengguna bahasa lain inilah yang dikatakan sebagai kontak bahasa. Sebagai contoh, penutur BDN berbicara dengan penutur BBK dengan menggunakan bahasa BBK. Penggunaan bahasa BBK oleh penutur BDN ini dapat dikatakan kontak bahasa karena di samping bahasa ibunya sendiri, ada bahasa lain yang dikuasai dan dapat digunakan secara bergantian sesuai dengan lingkungannya.

1.6.2 Fonologi dan Fonetik

Definisi fonologi yang dideskripsikan Fromkin dan Rodman (1993: 216) adalah “the phonology of a language is then the system and pattern of the speech sounds”. Pendapat ini mendefinisikan fonologi sebagai sistem dan pola bunyi yang dimiliki oleh suatu bahasa. Bunyi distingtif atau bunyi yang membedakan dalam fonologi disebut fonem. Jika dibandingkan dengan O’Grady (1993: 57) yang mengatakan “the component of a grammar made up of the elements and principles that determine how sounds pattern in a language”, fonologi diartikan sebagai komponen dari sebuah tata bahasa yang terbuat dari elemen dan prinsip yang menentukan bagaimana pola-pola bunyi dalam sebuah bahasa. Keduanya setuju bahwa fonologi membentuk pola-pola bunyi di dalam bahasa.

(17)

Fonetik dan Fonologi memiliki hubungan erat yang disebutkan oleh Fromkin dan Rodman (1993: 216) “phonetics is a part of phonology, ..., provides the means for describing speech sound; phonologists study the ways in which these speech sounds form systems and patterns in human language”. Fonetik merupakan bagian dari fonologi dan fonetik merupakan penyedia alat untuk mendeskripsikan bunyi-bunyi dengan alat-alat ucap. Para ahli fonologi mempelajari cara-cara bagaimana bunyi-bunyi membentuk sistem dan pola dalam bahasa manusia. Jadi, fonetik tidak dapat dilepaskan dari fonologi karena hubungan kedua ilmu ini tidak dapat dipisahkan dan untuk mempelajari fonologi dibutuhkan alat, yaitu fonetik, untuk mendeskripsikan bunyi-bunyi tersebut.

1.6.3 Analisis Kontrastif

Hakuta dan Cancino (1977) via Els, dkk. (1984: 37) dalam penelitian yang dilakukannya menyatakan bahwa pengertian analisis kontrastif sendiri adalah sebagai berikut.

Contrastive analysis differs from the other three approaches in so far that it does not actually take the L2 learner into account. This approach is based on the similarities and differences that exist between two (or more) languages, at the same time taking into account a number of axioms about L2 learning behaviour. Analisis kontrastif membedakannya dari ketiga pendekatan yang lain adalah sejauh ini pendekatan ini tidak melibatkan pelajar bahasa kedua (B2). Pendekatan ini didasarkan pada persamaan dan perbedaan yang ada antara dua bahasa atau lebih, pada saat yang sama melibatkan sejumlah aksioma tentang perilaku pembelajaran B2. Analisis kontrastif mencakup aspek linguistik. Aspek linguistik berkaitan dengan struktur dan pemakaian bahasa dalam rangka

(18)

membandingkan dua atau beberapa bahasa. Aspek-aspek linguistik tersebut dapat meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon.

Menurut Els dkk. (1984: 38), terdapat tiga tujuan dari analisis kontrastif yaitu: (1) memberikan pandangan mengenai persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa (2) menjelaskan dan memprediksikan masalah-masalah dalam pembelajaran bahasa asing, dan (3) menyusun materi pelajaran untuk pengajaran bahasa. Dua tujuan yang disebutkan oleh Els dkk. tersebut akan dijabarkan dalam penelitian ini, yang tidak dilakukan hanya tujuan ketiga.

Parera (1997: 107-108) mengatakan bahwa analisis kontrastif atau yang disingkat menjadi anakon terbagi atas dua, yaitu anakon keras dan anakon lunak. Anakon keras yang dikatakan oleh Parera dipelopori oleh Robert Lado. Jika anakon keras dimulai dengan membandingkan kedua bahasa untuk memprediksikan kesulitan-kesulitan yang terjadi di lapangan, maka anakon lunak dimulai dari temuan yang didapatkan dari lapangan yang kemudian dijelaskan dengan perbandingan dua atau lebih bahasa yang diteliti. Anakon lunak digunakan untuk memperhitungkan kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam pembelajaran B2, dengan kata lain kesulitan tersebut haruslah ditemukan terlebih dahulu baru kemudian dianalisis menggunakan perbandingan bahasa yang diteliti. Penelitian yang dilakukan ini menggunakan anakon lunak, yaitu dengan mengumpulkan data di lapangan, melihat kesulitan yang dialami oleh pembelajar B2, dan baru kemudian dianalisis dengan anakon.

(19)

1.6.5 Proses Perubahan Bunyi

Proses perubahan bunyi ini dapat terjadi karena kontak bahasa, sebagaimana dikatakan O’Grady (1993: 272) “another cause of linguistic change is language contact, which occurs when speakers of one language frequently interact with the speakers of another language or dialect.” Salah satu penyebab terjadinya perubahan linguistik adalah kontak bahasa yang terjadi ketika penutur dari sebuah bahasa seringkali berinteraksi dengan penutur bahasa atau dialek lain. O’Grady (1993: 46-49) menjelaskan tentang beberapa proses umum yang terjadi pada saat bahasa diucapkan.

1. Asimilasi (Assimilation), yaitu sejumlah proses berbeda sebagai hasil dari pengaruh dari satu segmen pada segmen yang lain. Asimilasi memiliki efek pada penambahan efisiensi pengucapan melalui sebuah penyederhanaan dari pergerakan pengucapan.

2. Disimilasi (Dissimilation), yaitu kebalikan dari asimilasi yang menjadikan dua bunyi menjadi kurang mirip. Proses ini terjadi dimana satu segmen dibuat kurang seperti segmen lain dalam lingkungannya dan lebih jarang terjadi daripada asimilasi.

3. Metatesis (Metathesis), yaitu proses peletakan ulang sebuah untaian segmen, dalam artian bunyi dapat berpindah-pindah posisi yang dilakukan agar mudah diucapkan.

4. Epentesis (Epenthesis), yaitu proses yang menyisipkan sebuah segmen silabik atau nonsilabik di dalam sebuah untaian segmen yang ada. Penyisipan tersebut dapat berupa bunyi vokal maupun konsonan.

(20)

5. Pelesapan (Deletion), yaitu proses penghilangan sebuah segmen dari konteks fonetik tertentu, baik itu vokal maupun konsonan.

Sementara itu, Muslich (2012: 118) membagi jenis-jenis perubahan bunyi menjadi 9 (sembilan), yaitu asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi, zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anapkitis. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

1. Asimilasi, yaitu perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau dipengaruhi.

2. Disimilasi, yaitu perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.

3. Modifikasi fonem, yaitu perbuhan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya.

4. Netralisasi, yaitu perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan.

5. Zeroisasi, yaitu penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Zeroisasi dengan model penyingkatan biasa disebut dengan kontraksi. Zeroisasi diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis sebagai berikut.

a. Aferesis, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata.

(21)

b. Apokop, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata.

c. Sinkop, yaitu proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata.

6. Metatesis, yaitu perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing.

7. Diftongisasi, yaitu perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan.

8. Monoftongisasi, perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong).

9. Anaptiksis (suara bakti), yaitu perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Anaptiksis dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis sebagai berikut. a. Protesis, yaitu proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal

kata.

b. Epentesis, yaitu proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata.

c. Paragog, yaitu proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan metode yang telah ditentukan seperti berikut.

(22)

1.7.1 Sumber Data

Sumber data terbagi atas 2 (dua), yaitu sumber lisan dan sumber tulisan. Sumber data lisan dalam penelitian ini diambil dengan cara mengumpulkan data dari informan sebagai data primer dengan menggunakan instrumen yang telah disiapkan. Instrumen tersebut berupa daftar 300 kosa kata yang mewakili seluruh fonem di dalam BI yang selanjutnya akan direkam dan dicatat ke dalam bentuk transkripsi fonemis. Informan tersebut dipilih berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan adalah sebagai berikut.

a. Mahasiswa aktif di perguruan tinggi pada tingkat Strata-1, baik laki-laki maupun perempuan.

b. Mahasiswa berumur antara 18 – 24 tahun.

c. Mahasiswa berbahasa ibu BDN, kedua orangtuanya merupakan penutur asli BDN, dan menggunakan bahasa tersebut di lingkungan keluarga sehari-hari.

d. Mahasiswa menguasai BBK dan BInd.

e. Mahasiswa minimal pernah mempelajari Bahasa Inggris selama 6 tahun. f. Alat ucap tidak cacat dan tidak cadel.

g. Sehat jasmani dan rohani.

Informan untuk penelitian ini berjumlah 3 (tiga) orang. Kriteria-kriteria di atas ditujukan pada mahasiswa yang masih aktif di perguruan tinggi yang usianya berkisar antara 18 – 24 tahun. Harding dan Riley (1986: 39) mengatakan bahwa ada 4 (empat) jenis kedwibahasaan berdasarkan tahapan usia pemerolehan bahasa kedua (B2), yaitu kedwibahasaan masa kecil (infant bilingualism), kedwibahasaan

(23)

masa kanak-kanak (child bilingualism), kedwibahasaan masa remaja (adolescent bilingualism), dan kedwibahasaan masa dewasa (adult bilingualism). Usia mahasiswa dari tingkat terbawah biasanya dimulai dari 18 tahun dan pada penelitian ini dibatasi sampai dengan usia 24 tahun. Rentang usia ini masuk ke dalam kedwibahasaan masa remaja (adolescent bilingualism) karena orang-orang dalam rentang usia ini menjadi dwibahasawan setelah masa pubertas. Informan haruslah merupakan penutur asli BDN dan di lingkungan keluarganya menggunakan BDN juga, maka dari itu sebaiknya kedua orangtua informan juga merupakan penutur asli. Karena informan telah lama tinggal di Kalimantan Tengah, tentu saja menguasai BBK dan BInd. Hal ini didasari oleh keadaaan multilingual di Kalimantan Tengah yang menjadikan lingkungan pergaulan dan pendidikan mengharuskan penguasaan kedua bahasa tersebut. Kontak dengan BI pada pendidikan di masa yang lalu tidak secepat pada masa kini, ada sebagian penutur yang baru mengenal BI pada tingkat SMP atau SMA. Maka dari itu, setidaknya pernah mempelajari BI minimal 6 (enam) tahun karena jangka waktu ini dirasa cukup memadai untuk seseorang memiliki kedekatan kontak dengan BI. Kontak ini pun harus memperhitungkan tempat mereka mempelajari BI, karena keadaan di desa dan kota memiliki perbedaan. Maka dari itu, untuk mendapatkan penuturan BI yang dinilai cukup baik para informan dipilih dari daerah perkotaan, yaitu Kota Madya Palangka Raya. Hal yang terakhir menjadi kriteria adalah informan harus memiliki alat ucap yang normal, dengan kata lain tidak cacat dan tidak cadel, serta sehat jasmani dan rohani. Hal ini ditujukan untuk menghindari bunyi-bunyi yang tidak sesuai dengan bunyi yang diproduksi oleh orang normal.

(24)

Selain itu, kondisi informan harus sehat agar data yang didapatkan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

Kemudian untuk sumber data tulisan, penelitian ini juga menggunakan tulisan dari penemuan peneliti sebelumnya untuk mendukung sumber data lisan dan kamus Bahasa Inggris yang menggunakan Received Pronunciation (RP).

1.7.2 Metode Pengumpulan Data

Prosedur diawali dengan menyiapkan instrumen yang berupa daftar kata-kata yang mewakili fonem-fonem yang akan diteliti. Instrumen berupa daftar 300 kosa kata dalam BI yang diambil dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary yang menggunakan RP dan mewakili setiap fonem BI dan persebarannya dalam suku kata. Selanjutnya, peneliti melakukan perekaman dengan informan dan mencatatnya pada lembar data. Hasil perekaman tersebut ditranskripsikan ke dalam bentuk transkripsi fonetis. Kemudian hal yang selanjutnya yang dilakukan adalah menganalisis data dan kemudian diklasifikasikan serta dideskripsikan.

Informan diminta untuk memberikan informasi dengan menggunakan instrumen yang telah dibuat. Peneliti menggunakan teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam berguna agar peneliti dapat mengulang-ngulang kembali hasil dari perekaman yang telah dilakukan dan mencatat hasilnya pada kartu data. Jika terdapat kesalahan pada pencatatan awal, maka dapat diperbaiki dengan mendengarkan ulang rekaman tersebut.

(25)

1.7.3 Metode Analisis Data

Langkah pertama yang dilakukan adalah membanding-bandingkan dua bahasa, yaitu BDN dan BI untuk mendapatkan persamaan dan perbedaannya. Hal ini didasari oleh analisis kontrastif, yang kemudian menggunakan, distribusi fonem, pengklasifikasian alofon, dan pasangan minimal. BBK dan BInd juga dimasukan ke dalam perbandingan bahasa sebagai bahasa pendukung untuk menjelaskan mengapa penutur BDN dapat melafalkan fonem yang tidak terdapat di dalam bahasanya. Hal ini dikarenakan kontak dengan kedua bahasa tersebut tidak dapat terelakan pada masyarakat Kalimantan Tengah. Setelah itu, langkah terakhir adalah mendeskripsikan proses perubahan bunyi yang terjadi pada BI yang dilafalkan oleh penutur BDN.

1.8 Hipotesis

Berdasarkan dari rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Terdapat persamaan dan perbedaan dalam fonem vokal, alofon, distribusi fonem, pasangan minimal, diftong, triftong, dan pola suku kata dalam BDN dan BI.

2. Terdapat persamaan dan perbedaan dalam konsonan, kluster, alofon, distribusi fonem, dan pasangan minimal dalam BDN dan BI.

3. Terdapat proses perubahan bunyi pada vokal, konsonan, diftong, triftong, dan kluster pada pelafalan BI oleh penutur BDN.

(26)

1.9 Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) bab, yaitu Bab I Pendahuluan, Bab II Deskripsi Perbandingan Vokal Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Inggris, Bab III Deskripsi Perbandingan Konsonan Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Inggris, Bab IV Deskripsi Proses Perubahan Bunyi, dan Bab V Penutup.

Gambar

Tabel 1.1 Distribusi Penutur Bahasa Dayak di Kalimantan Tengah  Bahasa Dayak  Jumlah Penutur

Referensi

Dokumen terkait

Siswono (2008) berpendapat bahwa berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum, yaitu berpikir kreatif diartikan sebagai

Kajian dan Analisis untuk Kebijakan Pembangunan Jawa Barat, Meningkatnya Inovasi Daerah bagi Kemajuan Masyarakat Jawa Barat, Meningkatnya Hasil Penelitian,

Kedua singkapan tanah penelitian berada pada formasi geologi Qvb atau kuarter volkan breksi dengan bahan induk yang berbeda.. Bahan induk tanah pada singkapan Qvb 1 berupa tuff

Ieu penilaian henteu ngan saukur tina peunteun hasil tés (penilaian harian) tina hiji KD. Pangajaran rémédial dilakukeun nepi ka siswa ngawasa KD anu geus ditangtukeun.

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi" rus kas yang mengambil

Masyarakat adat Batak Karo yang menerapkan sistem kekerabatan patrilineal dengan bentuk perkawinan jujur, perkawinan ditandai dengan pembayaran jujur oleh kerabat pihak pria

Direktorat Polisi Perairan Daerah Sumatera Utara ( DITPOLAIR POLDASU ) mencatat kasus illegal fishing yang terjadi selama Tahun 2012 sampai 2016 berjumlah 70

1) Mengamati dan menentukan bagian film 김복남 살인 사건의 전말 (Bedevilled) yang berhubungan dengan rumusan masalah penelitian dengan berpedoman pada teori