• Tidak ada hasil yang ditemukan

!" # $%&' $()*! +, -$

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "!" # $%&' $()*! +, -$"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

14

DAN FIDYAH SHALAT A. Tinjauan Tentang Shalat

1. Pengertian dan Dasar Hukum Shalat

Shalat menurut arti bahasa (lughat), berasal dari bahasa Arab : 1 yang berarti do’a. Shalat dengan arti do’a ini termaktub dalam firman Allah surat at-Taubah ayat 103 :

“Berdoalah untuk mereka, karena sesungguhnya doa kalian itu menjadikan ketentraman bagi jiwa mereka”. (Q.S. at-Taubat : 103).2

Shalat juga digunakan untuk arti “rahmat” dan untuk arti “mohon ampunan” seperti dalam firman Allah dalam al-Qur'an surat al-Ahzab ayat 56:

! " # $ %&' $ ()*! +

,

-$

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.(Q.S.

al-Ahzab:56)

1 Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Arab – Indonesia, Bangil, Yayasan Pesantren Islam, t.th.,

hlm. 218.

(2)

Adapun menurut istilah syara’, shalat berarti suatu ibadah yang mengandung ucapan (bacaan) dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.3 Jika dalam suatu dalil terdapat perintah dan petunjuk shalat, maka hal itu berarti secara lahiriyah kembali kepada shalat dalam pengertian syari’at. Shalat merupakan kewajiban yang ditetapkan melalui al-Qur’an, hadits dan ijma’.

Shalat dalam Islam mempunyai tempat yang khusus dan fundamental, ia merupakan salah satu rukun Islam dan dasar yang kokoh yang wajib ditegakan, keberadaanya mempunyai dasar hukum yang kuat dalam nash (al-Qur’an dan Hadits). Dasar hukum shalat dalam al-(al-Qur’an cukup banyak, di antaranya adalah firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ ayat 103 dan Surat al-Baqarah ayat 43 :

$ .

-$ / -$*$

! 01 2 +

23 !

4

5$ !

6

7

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. an-Nisa’ : 103).4

8 9

8 9 .$ :

" .

/&'

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’”. (QS. al-Baqarah : 43).5

Sementara di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar dinyatakan bahwa shalat merupakan salah satu dari pilar agama Islam:

3 Abdul Aziz Dahlan, (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam 5, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van

Hoeven, 1996, hlm. 1536.

4 Depag RI, op.cit., hlm. 138. 5 Ibid., hlm. 16.

(3)

; <*

$/

9

*

6

)!*

; +

;

9 $/

9 =<* < >

' ; ?

?

.<$ @ A B +

C

.

$/

.$ : 5$

D

$E 9

3 * F> D

6

“Islam itu didirikan atas lima perkara, bersaksi bahwa tidak ada Allah yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim).

$/ #8

G

+ H ! $/

; +

9 )!I8*

?

.<$ @ ' J <$K L $

J

$ /

+! ; ?

; ? 9

G

A B

M 9 K ;

'

H

#

$N J $K

O

+K 3

G

;

'

H

#

$N J $K

,9PK +K <9 K ,$!Q'

#R1 O/<

M 9 K

G

J $K

#

$N

G

!$K

S

. < T

' ,9

$HK

A

L $R> ;

* $ !*

7

Dari Mu’adz bin Jabal berkata: saya diutus oleh Nabi SAW. dengan perintah: “anda akan datangi kaum ahli kitab, ajaklah mereka itu kepada dua kalimat syahadat, jika mereka itu telah menurut, maka sampaikanlah pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu lima kali sehari semalam, jika mereka telah menurut, sampaikan pula bahwa Allah mewajibkan zakat yang dipungut dari kaum yang kaya kemudian diberikan pada fakir miskin, jika mereka telah patuh tentang hal ini maka mulyakanlah harta benda mereka, dan takutlah atas do’a orang yang teraniaya, sesungguhnya antara orang yang teraniaya dan Allah itu tidak ada hijab.

6 Abu Husein Muslim al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz I, Bandung, al-Ma’arif, t.th., hlm. 26-27. 7 Ibid., hlm. 29

(4)

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas ulama fiqh menyatakan sepakat bahwa shalat itu merupakan kewajiban yang harus diketahui dan dilaksanakan setiap individu muslim yang sudah baligh dan berakal, atau dalam arti lain shalat merupakan fardhu a’in.

2. Keringanan / rukhshah shalat bagi orang sakit

Shalat adalah suatu kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan oleh setiap orang Islam yang sudah baligh, berakal dan normal (tidak gila) sesuai dengan kemampuanya. shalat merupakan sendi agama di dalam syari’at Islam dan bisa dijadikan standar ibadah-ibadah lain. Begitu pentingnya shalat, sehingga kewajiban untuk mengerjakan shalat lima waktu tidak terbatas pada saat badan sehat, namun dalam kondisi sakit sekalipun belum gugur kewajiban untuk shalat, akan tetapi dalam kondisi tersebut ada keringanan-keringanan bagi orang sakit di dalam menjalankan shalatnya, diterangkan di dalam al-Qur’an:

#UK * !R +

-< 8 / -$ $/

9 2#$K .

E / #UK

.

/&HK 2!!0H 2N

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat (sebagaimana biasa)”. Q.S.:an-Nisa’: 103)8

Pemberian Rukhshah juga telah diungkapkan Nabi dalam beberapa hadits:

(5)

$/ ! + $8 ; )E 9

> * 9

6

9

* +* 3 !$

+

)*! 3 H K

$PK.

;

6

UK$ ,$/

L !R + 8K N

$K < $PK N

4

V 9$B* = 9

7

9

“Dari Amran bin Hushain r.a. menceritakan bahwa dia ditimpa

penyakit bawasir, lalu ia menanyakan bagaimana caranya shalat. Rasulullah SAW menjawab : “ shalatlah sambil berdiri ! bila anda tidak mampu, maka shalatlah sambil duduk ! bila tidak mampu, maka shalatlah sambil berbaring !”.

$/ ! + 8 ; )E 9 9*$R

6

; +

)*!

M 9

$/

W

.<$ +

G

$/ D $ * + 9K

6

M 9? +

< R

8R

D 5$

HK ?

3 8N

9

M XB'

4

X/ $> * Y>

+P * = 9

7

10

“Jabir r.a. menceritakan bahwa pernah Nabi SAW melawat (melihat atau menjenguk) orang sakit, beliau dapati orang tersebut sedang shalat di atas bantalnya. Nabi melempar bantal orang itu seraya bersabda, “ shalatlah langsung di atas tanah bila anda merasa kuat ! tetapi bila tidak kuat, maka shalatlah dengan isyarat, dan pada waktu itu jadikanlah syarat sujud anda lebih redah dari ruku’!”.

Menurut ulama mazhab Syafi’i keringanan-keringanan / rukhshah tersebut adalah sebagai berikut :

9 Muhammah bin Ismail al-Yamani ash-Shon’ani, Subul as-Salam: Syarah Bulughul al-

Maram, Jeddah, al-Haramain, t.th., hlm. 453.

(6)

a. Dalam keadaan tidak bisa berdiri dengan lurus dalam shalat fardlu maka ia harus berdiri sekalipun membungkuk, sebab sedikit kesulitan berdiri tidak membebaskan dirinya dari kewajiban berdiri.

b. Jika betul-betul tidak mampu berdiri atau betul-betul sulit (masayaqqah

syadidah) untuk berdiri maka ia boleh berdiri sesuai dengan

kemampuannya. Untuk ruku’ hendaklah keningnya se arah dengan depan kedua lututnya. Menurut salah satu pendapat mazhab Syafi’i, posisi duduk

iftirasyi (duduk tahiyat awal) lebih afdhal daripada duduk tarbi’.

c. Dalam keadaan tidak mampu duduk maka wajib berbaring miring dan menghadap ke arah kiblat. Berbaring miring ke sebelah kanan lebih afdhal daripada miring ke kiri dan berbaring miring ke kiri tanpa uzur hukumnya makruh.

d. Dalam keadaan tidak mampu berbaring miring maka melentang dan wajib menyangga kepalanya dengan sesuatu, seperti bantal agar dapat menghadap ke arah kiblat, jika ia shalat di dalam ka’bah, sebab shalat di dalam ka’bah menghadap ke manapun tetap menghadap kiblat. Untuk rukuk dan sujud dilakukan dengan menundukkan kepala sesuai dengan kemampuan dan yang memungkinkan untuk dilakukan hanya saja menunduk lebih rendah daripada rukuk.

e. Dalam keadaan tidak mampu menundukkan kepala maka memberi isyarat dengan mata.

(7)

f. Jika semua itu tidak dapat dilakukan maka cukup dengan hatinya apabila lidahnya tidak dapat membaca maka cukup membaca dengan hatinya. Dan kewajiban shalat tidak akan gugur selama akalnya masih normal.11

Sedangkan cara shalat orang sakit sebagai berikut : - Shalat dengan cara duduk

Tubuh kita dudukkan lurus-lurus ke arah kiblat, berniat sambil membaca takbirotul ikhram, ruku’ dilakukan dengan menundukkan kepala ke depan, kedua tangan di atas lutut dan punggung sedikit dibungkukkan. Adapun cara mengerjakan sujud seperti sujud biasa, yakni sujudnya orang yang tidak sakit.

- Shalat dengan cara berbaring

Kalau tidak bisa dikerjakan dengan duduk, boleh dengan berbaring sambil seluruh anggota tubuh dihadapkan ke kiblat. Sedangkan ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat gerak kelopak mata. Jika dengan gerak kelopak mata pun tidak mampu, shalat boleh dilakukan dengan gerak hati.

- Shalat dengan cara terlentang

Jika tidak mungkin atau tidak mampu dengan cara berbaring miring, shalat boleh dilakukan dengan terlentang, kaki dihadapkan ke arah kiblat dan kepala ditinggikan dari badan. Gerakan-gerakan shalat

(8)

dilakukan seperti cara shalat berbaring miring atau bila ruku’cukup menundukkan kepala sedikit ke muka dan bila sujud agak lebih.12

Para ulama sepakat pendapatnya bahwa orang yang sakit diperintahkan mengerjakan shalat, dan bahwa kewajiban berdiri hapus daripadanya, jika tidak dapat berdiri dan ia dalam hal ini shalat dalam keadaan duduk. Demikian kewajiban ruku’ dan sujud hapus daripadanya, apabila ia tidak dapat mengerjakan kedua-keduanya atau salah satunya dan sebagai gantinya berisyarat.13

3. Hukum Meninggalkan shalat

Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, hadits-hadits Rasulllah SAW, dan kesepakatan ulama fiqh di atas, maka mendirikan shalat itu hukumnya adalah

fardu a’in (kewajiban setiap pribadi) yang telah baligh, berakal, bersih. Shalat

termasuk ibadah yang dalam pelaksanaannya tidak dapat digantikan oleh orang lain. Oleh sebab itu ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa orang yang dengan sengaja dan tanpa uzur meninggalkan shalat dikenai hukuman ukhrawi dan duniawi.

Ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat adalah siksaan dalam api neraka.14 Ancaman ini dengan tegas difirmankan Allah dalam al-Qur’an:

12 H.M. Hembing Wijayakusuma, Hikmah shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan, Jakarta,

Pustaka Kartini, 1994, hlm. 213.

13 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, , Semarang, Toha Putra, t.th. hlm.129 14 Abdul Aziz Dahlan, (et.al), op.cit., hlm. 1537.

(9)

9P )K

$

,

$/

2

!

“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka) ? Mereka menjawab kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. (Q.S. al-Mudatsir: 42-43)15

2 Z K

.

J$

J #

.4

$

6

W

7

“Maka kecelakaanlah bagi orang yang shalat, (yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya”.16

Menurut kesepakatan ulama fiqih, orang yang mengingkari kewajiban shalat hukumnya dianggap murtad (keluar dari agama Islam) dan kafir. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah SAW :

; +

;

9 3 8

P ; <*

* 9*$R

P

6

.

9 9X

9@

* R9

*

17

“Dari Jabir bin Abdullah, katanya : “Bersabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya perbatasan antara seorang dengan kemusyrikan dan kekafiran ialah meninggalkan shalat”.

Menurut jumhur ulama, hukum duniawi bagi orang yang malas mengerjakan shalat, sekalipun ia meninggalkan shalat satu kali saja, disuruh untuk bertaubat selama tiga hari berturut-turut dan jika ia tidak taubat maka ia diperangi dan jika perlu dibunuh. Hukuman pembunuhan yang dikenakan

15 Depag RI, op.cit., hlm. 995. 16 Ibid., hlm. 1108.

(10)

bagi orang yang malas dan sering meninggalkan shalat adalah disebabkan kemurtadannya (murtad adalah salah satu bentuk tindak pidana hudud (jarimah) bukan karena kekafirannya.18

Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja menurut Hasbi ash Shiddieqy, merupakan orang yang termasuk melakukan perbuatan dosa besar, tak ada jalan menghapus dosa itu dari jiwanya, melainkan dengan tobat nasuha dan banyak-banyak mengerjakan amal ibadah yang sunah-sunah. Oleh karena itu, janganlah bermudah-mudah dalam soal meninggalkan shalat. 19

Orang yang meninggalkan shalat dengan jalan mengingkari kewajibannya, dipandang telah menjadi kafir, keluar dari millah (agama) Islam dengan ijma semua ulama Islam, terkecuali kalau ia baru memasuki Islam dan belum mengetahui hukum kewajiban shalat itu.

Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu dibunuh bukan karena kemurtadannya, melainkan karena kekafirannya. Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surat at-Taubah (9) ayat 5 :

J # B

J <R [ >

92@ 2 2/$K 9>2 9 2@&H2 \ 2! #UK

" .

$/&'

*$ UK ]< 9

<82/

J 9 >

>9 9 XQ

*

BK.$ :

4 7

O*

6

7

18 Abdul Aziz Dahlan, (et.al), op.cit

19 Hasbi ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum, Jilid II, Cet. IV, Edisi kedua, Jakarta,

(11)

“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah mereka di setiap tempat pengintaian, jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.20

Ulama mazhab Hanafi berpendirian bahwa orang yang malas mengerjakan shalat termasuk dalam golongan Islam fasik, bukan kafir. Hukuman yang dikenakan kepada mereka adalah dipenjarakan dan dipukul sampai mereka bertaubat dan shalat atau meninggal dunia dipenjara. Mereka tidak boleh dibunuh kecuali jika mereka mengingkari kewajiban shalat tersebut.21 Demikian juga Imam Malik dan asy-Syafi’i menghukum orang yang meninggalkan shalat dengan kemalasan serta masih mengi’tikadkan kewajiban shalat itu atas dirinya, ditetapkan bahwa orang itu tidak dikafirkan hanya dipandang fasik dan disuruh bertaubat, jika ia tidak bertaubat, niscaya dibunuh, selaku suatu hukuman yang mesti dijalankan.22

B. Tinjauan Tentang Fidyah

1. Pengertian dan Dasar Hukum Fidyah a. Pengertian Fidyah

20 Depag RI, op.cit., hlm. 278.

21 Abdul Aziz Dahlan, (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam Islam I, op.cit., hlm. 1538.

22 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, Semarang, PT. Pustaka Rizki

(12)

Fidyah secara kebahasaan berasal dari bahasa arab

23 yang berarti tebusan. Tebusan ini biasanya berupa makanan pokok misalnya beras dan sebagainya, yang harus dibayarkan oleh seorang muslim seperti karena ia meninggalkan puasa yang disebabkan oleh penyakit menahun, penyakit tua dan sebagainya yang menimpa dirinya.

Sedangkan menurut syara’ (istilah) fidyah adalah sejenis denda / tebusan yang dikenakan kepada orang Islam yang melakukan beberapa kesalahan tertentu dalam ibadah, atau menebus ibadah (karena uzur) dan disyari’atkan dengan memberi sedekah kepada fakir miskin berupa makanan yang mengenyangkan.24

Menurut Muhammad Ali as-Sabuni (pakar hukum Islam dari Mesir) fidyah dalam beberapa segi menyerupai kafarat (denda). Senada dengan ini Raghib al-Isfahami (ahli fiqh dan kamus al-Qur’an) berpendapat, fidyah adalah sejumlah harta yang dikeluarkan manusia untuk menutupi ibadah yang ditinggalkannya.25

b. Dasar Hukum Fidyah

Masalah fidyah ini diterangkan di dalam al-Qur’an dan hadits, dalam surat al-Baqarah ayat 184 diterangkan bahwa wajib bagi

23 A.W. Munawir, Kamus Arab – Indonesia al-Munawir, Yogyakarta, Pon Pes al-Munawir,

1984, hlm. 1117.

24 M. Shadiq, Kamus Istilah Agama, Jakarta, Bonafid Cipta Pratama 1991, hlm. 93. 25 Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam I, op.cit, hlm. 328.

(13)

orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah :

]$&'

^.<8K ]9X +

&' -$E 9

2! $

K ]3 < <8 -$ $&'

K -9 B _ N

K ]

$8N ^O <K ! PN

# +

9B`'

8 2!

9 B

&'

9 B

“(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan maka itulah yang lebih baik baginya, dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.26

Kata Ibnu Abbas : diberikan keringanan bagi orang tua lanjut usia untuk berbuka, dan untuk setiap harinya hendaklah ia memberi makan seorang miskin dan tak perlu ia mengqadla. Dan ayat di atas tidaklah dinasakh atau dihapuskan maksudnya ialah tidak sanggup puasa, hendaklah memberi makanan seorang miskin untuk setiap hari mereka tidak puasa itu.27

26 Depag RI, op.cit., hlm. 44.

(14)

99

G

$/ A $*

*

a

+ $8

/ +K

W

b 6

# +

! PN

b

9 * \ @ O B9 3 !$

G

.9

'9

G

$PN $ J

$ 8N

9NX

$

$!

$

$

G

+ *>

G

E 9

W

$K$B #

4

$ J<?

7

W

$9NK

G

$ 8N

28

Dari Ikrimah, sesungguhnya Ibnu Abbas berkata: mengenai makna firman Allah:

b

! PN

# +

b

,

itu merupakan dalil pemberian rukhshah bagi orang lakilaki dan perempuan yang sudah tua, dan mereka berdua merasa berat (tidak mampu) melaksanakan puasa, diperbolehkan bagi mereka untuk berbuka dengan (ganti) memberi makan orang-orang miskin setiap harinya, hal ini juga berkalu bagi perempuan yang hamil dan menyusui jika mereka takut (akan keselamatan anak-anaknya), mereka harus berbuka dan memberi makan orang-orang miskin juga.

Sedang dalam surat al-Baqarah ayat 196 :

&' ]$

^O <XK 0'9

cV #&' * &' -$E 9

2! $

K

] ! &']O/<

4

.9P*

6

7

“Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur) maka wajib atasnya berfidyah yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban”.29

28 Ibid., hlm. 272

(15)

Fuqaha (ahli fiqh) umumnya sepakat bahwa fidyah merupakan

rukhsah (keringanan atau dispensasi).

- Sayyid Sabiq, guru besar hukum Islam di Mekah, mengatakan bahwa fidyah merupakan keringanan bagi orang yang sudah amat tua, wanita uzur dan orang sakit yang tidak dapat diharapkan kapan sembuhnya. - Selanjutnya Abdullah bin Hamid, seorang pakar ushul fiqh dari

Mekah mengatakan bahwa fidyah termasuk dalam masalah hukum yang diberi rukhsah. Ia mengatakan bahwa rukhsah itu diberlakukan pada umat yang tidak dapat melaksanakan taklif (kewajiban) agama, karena uzur. Menurutnya rukhsah itu hakikatnya dapat berupa keringanan atau kemudahan atau hilangnya kesulitan dan dosa dari suatu beban keadaan yang ringan karena udzur syar’i (imbalan yang ditentukan syara’)

2. Faktor Penyebab Fidyah

Secara umum ada dua sebab yang mengharuskan seseorang mengeluarkan fidyah :

a. Fidyah Puasa

Dalam puasa seseorang diwajibkan mengeluarkan fidyah disebabkan : - Karena tidak kuat melakukan ibadah puasa yang disebabkan sudah

(16)

- Sakit menahun (kronis yang tidak dapat diperkirakan kapan sembuhnya).

- Karena menyusui atau hamil yang dikhawatirkan mengganggu keselamatan anak jika terus berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allâh surat al-Baqarah ayat 184.

Menurut Muhammad Abduh, seperti yang dikuti Abdul Aziz Dahlan, bahwa maksud dari kata-kata “orang yang berat menjalankan” pada ayat di atas adalah orang tua yang sudah lemah, orang sakit menahun yang sulit diperkirakan kesembuhannya, dan para pekerja berat seperti pembelah batu atau penggali hasil tambang.30

b. Fidyah Haji

Para ulama bahwa fidyah dalam haji diwajibkan karena adanya hal yang menjadikan gangguan yang sifatnya darurat, dan menurut pendapat Imam Malik orang diwajibkab membayar fidyah haji karena telah tentukan nash al-Qur’an dan hadits.31

Seperti yang diungkapkan dalam ayat di atas bahwa berkenaan dengan ayat tersebut al-Maraghi mengatakan bahwa siapa pun yang menderita sakit dan harus mencukur rambutnya, karena jika terus dibiarkan akan menambah penderitaan atau kepala sakit itu terluka dapat membayar fidyah, yaitu dengan berpuasa bersedekah atau berkurban.

30 Abdul Aziz Dahlan, (et.al), Ensiklopesi Hukum Islam I, op.cit. 31 Ibnu Rusyd, Op. cit., hlm. 267

(17)

3. Pendapat Ulama Tentang Ketentuan Kadar Fidyah. a. Pendapat Ulama Tentang Ketentuan Fidyah

Orang yang tidak mampu untuk berpuasa diberikan keringanan untuk membayar fidyah demikian juga orang yang sakit kepala dan mencukur rambutnya pada saat haji diwajibkan membayarkan fidyah.

Orang tua renta, baik laki-laki maupun perempuan, yang mendapatkan kesulitan dan kesukaran, serta tidak kuat lagi berpuasa, dia mendapat rukhsah (keringanan) untuk berbuka, hanya harus membayar fidyah setiap hari dengan memberikan makanan pada orang miskin. Begitu juga orang sakit yang tidak ada harapan sembuh sepanjang tahun. Hukum ini disepakati oleh semua ulama mazhab kecuali Hanbali, ia berpendapat : bahwa bagi orang tua renta dan orang sakit tersebut, hanya disunnahkan untuk membayar fidyah, tidak diwajibkan.32

Di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 184 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang berat menjalankan puasa diwajibkan membayar fidyah. Menurut Mu’adz bin Jabal, sahabat Rasulullah SAW yang menjadi qadli (hakim) di Yaman, pada mulanya orang yang tergolong dalam “orang yang berat menjalankannya” itu diperbolehkan memilih yakni berpuasa atau mengeluarkan fidyah dengan memberi makan orang miskin sampai ia kenyang. Pendapat ini diperkuat oleh riwayat Salmah

32 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Khamsah, Beirut, Dar al-Jawad,

(18)

Akwa’ ahli hadits dari kalangan tabi’in, namun setelah turun ayat berikutnya :33

2!

9 B

&'

9 B

K -9 B _ N

K

8

“Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah:184)

Maka orang-orang yang tergolong merasa berat melaksanakan ibadah puasa itu tidak boleh lagi memilih membayar fidyah, melainkan harus berpuasa karena berpuasa itulah yang dianggap lebih baik.

Tetapi pendapat tersebut ditambah Ibnu Abbas, salah seorang sahabat dan ahli tafsir, potongan ayat tersebut pertama itu tidak

dimansukh (dihapus) oleh potongan ayat yang kedua di atas. Menurutnya,

laki-laki atau perempuan yang sudah terlalu tua atau pikun boleh berbuka atau diberi kelonggaran untuk meninggalkan puasa di bulan Ramadhan dengan syarat ia harus memberi makan seorang miskin sampai kenyang pada setiap hari di bulan Ramadhan.34

Menurut Muhammad bin Isma’il al-Kahlani as-Sanami (1688-1772, ahli hadits dan fiqh) dalam kitab “Subul as-Salam” (jalan menuju keselamatan), pendapat yang masyhur adalah pendapat yang menyatakan

33 Abdul Aziz Dahlan, (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam I, op.cit. 34 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah , Jilid I, loc.cit.

(19)

bahwa potongan ayat pertama itu telah mansukh (dihapus) oleh potongan ayat yang datang berikutnya. Akibat hukumnya adalah mereka yang tergolong dalam yutiqun (berat menjalankannya) tidak boleh lagi membayar fidyah, melainkan harus berpuasa sebagaimana biasa.35

Syekh Muhammad Mustafa al-Maraghi, seorang mufassir yang hidup antara tahun 1885 sampai 1945 mengatakan bahwa yang dimaksudkan surat al-Baqarah ayat 184 adalah pemberian keringanan bagi orang yang sudah terlalu tua (lemah fisiknya); orang yang mempunyai penyakit menahun yang sulit diramalkan kesembuhannya, pekerja berat (seperti yang mengeluarkan orang dari tempat pembakaran atau menggiling bahan makanan yang memerlukan tenaga yang kuat), dan orang yang hamil atau menyusui jika keduanya mengkhawatirkan kesehatan anaknya. Menurutnya mereka boleh tidak berpuasa dengan memberi makan orang miskin, sesuai dengan makanan yang dimakannya setiap hari sampai kenyang.36

Sedangkan dalam fidyah karena mencukur kepala sebab penyakit, fuqaha telah sepakat bahwa fidyah diwajibkan atas orang yang mencukur kepalanya karena terpaksa oleh adanya penyakit atau karena ada kutu-kutu di kepala yang menganggunya.

35 Abdul Aziz Dahlan, (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam I, op.cit.

(20)

Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa penyakit adalah apabila di kepalanya terdapat luka-luka dan kotoran (adza) adalah kutu dan lainnya. Atha’ berpendapat bahwa penyakit adalah pusing-pusing dan kotoran adalah kutu dan lainnya. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jika ia bercukur tanpa terpaksa, maka ia hanya dikenai dam saja.

Fuqaha juga berselisih pendapat mengenai, apakah pada orang yang membuang kotoran itu disyaratkan harus dengan sengaja? atau apakah orang yang lupa dan orang yang menyengaja itu sama hukumnya?.

Imam Malik berpendapat bahwa orang yang menyengaja maupun yang lupa sama saja. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, ats-Tasuri dan al-Laits.

Pada salah satu pendapatnya Imam Syafi’i mengatakan, fuqaha Zhahiri tidak mewajibkan fidyah pada orang yang lupa. Fuqaha yang mempersyaratkan adanya keterpaksaan bagi wajibnya fidyah beralasan dengan nash. Sedang fuqaha yang mewajibkan fidyah atas orang yang tidak terpaksa mengemukakan alasan, bahwa jika terhadap orang yang terpaksa diwajibkan fidyah, maka terlebih lagi terhadap orang yang tidak terpaksa.37

(21)

b. Pendapat Ulama Tentang Kadar Fidyah

Mengenai berapa kadar makanan yang diberikan kepada tiap-tiap orang miskin terdapat perbedaan pendapat mengenai berapa kadar makanan yang harus diberikan kepada orang miskin. Menurut Imam Malik dan Imam asy-Syafi’i serta para pengikutnya kadar makanan yang harus diberikan kepada orang miskin adalah sebayak satu mud (seperempat liter).

Sementara itu Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya mengatakan bahwa pemberian makanan itu tidak boleh kurang dari dua

mud (setengah liter) pada setiap orang miskin.

Timbulnya perbedaan pendapat tersebut menurut Sayid Sabiq disebabkan tidak ada petunjuk yang tegas dalam hadits Nabi SAW untuk itu penentuan kadar makanan yang diberikan kepada orang miskin dilakukan dengan melalui jalur analogi (qiyas) yaitu mencari unsur illat (sebab) yang mengharuskan seperempat liter atau setengah liter.38

C. Tinjauan Tentang Fidyah shalat

Tentang pembayan fidyah shalat memang tidak dijelaskan secara detail dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan dalam pembahasan fiqih dalam kitab-kitab klasik para ulama sedikit sekali yang memberikan pembahsan detail. Para ulama

(22)

cenderung hanya memberikan perhatian pada masalah rukhshah shalat bagi orang sakit, bepergian dan dalam keadaan perang dan ketakutan (tidak aman).

Di antara kitab yang membahas fidyah meninggalkan shalat adalah

“Fathul Mu’in” inipun sebatas penyaduran fatwa. Dalam kitab tersebut dijelaskan

sekilas tentang fidyah shalat :

4

*!

7

$ !' /)K ! <X

M P

M 9K.

3 $

'$ *+

! 8X

K9*B +8K$@

V <$*8 =$ >?

39

“(Keterangan) seseorang yang meninggal yang masih mempunyai tanggungan shalat fardu tidak diharuskan mengqadha dan tidak pula membayar fidyah. Di dalam qaul yang syarih (dapat dipercaya) disebutkan sesungguhnya ahli warisnya melaksanakan shalat yang ditinggalkan mayit sebab diwasiatkan oleh mayit ataupun tidak”. (Hal ini diriwayatkan oleh Ubadi dari Syafi’i).

Maksud dari kalimat di atas adalah, jika mengacu pada dalil al-Qur’an dan hadits jelas, bahwa orang meninggalkan shalat sampai saat kematian datang maka tidak wajib baginya mengqadha dan membayar fidyah sebagaimana dalam masalah puasa. Karena dalam puasa jelas bahwa orang yang meninggalkan puasa sampai kematiannya datang, maka wajib baginya membayar fidyah, ini seperti yang telah diterangkan di atas. Tetapi menurut pendapat yang dapat dipercaya, seperti yang dinukil Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, diharuskan ahli waris si mayit melaksanakan shalat yang ditinggalkan mayit (mengqadhanya) baik

39 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fat’ul Mu’in, Bandung, Sinar Baru al-Gensindo,

(23)

itu diwasiatkan oleh mayit ataupun tidak diwasiatkan. Hal senada juga di diterangkan dalam kitab “I’anatuth Thalibin” syarah dari kitab “Fathul Mu’in”:

4

.<,$K

7

R

/ )K O <K? 5$E / dK .

3 $

=9 Q V 9$B* 9*B ! +E P $ !' < R

40

“Faedah : barang siapa yang mati dan dia mempunyai kewajiban shalat (yang tertinggal), tidak diharuskan mengqadha dan tidak pula fidyah (baginya, sebab yang demikian itu tidak wajib). Menurut satu qaul (pendapat), sebagaimana banyak pendapat para mujtahid. Yang demikian itu harus mengqadhakan , karena ada hadits Bukhari dan lainnya”.

Tetapi ungkapan “ahli warits harus menqadha” tersebut ternyata tidak hukum yang patent, karena Imam Syafi’I dalam qaul qadimnya (fatwanya yang lama) mengharuskan bagi walinya supaya menyisihkan harta peninggalan orang yang telah mati atau mayit untuk shalat yang ditinggalkan seperti halnya puasa (untuk membayar fidyah). Imam Syafi’I mengharuskan ahli waris (wali) mengeluarkan makanan (fidyah), sebanyak satu mud (untuk fidyah) untuk setiap shalat fardu. Ini seperti yang diungkapkan oleh Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha:

! )

'O 9 e B

)

:

! <P

$J9* * P!

$

41

40 Al-‘Alamah Abi Bakri Usman bin Muhammad Syatha ad-Dimyati al-Bakri, I’anat

ath-Thalibin Syarah dari Fathul Mu’in, Juz I, Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiah, t.th., hlm. 41.

(24)

Ibnu Burhan mengutip dari kaul Qadim (imam Syafi’I), “ditetapkan bagi walinya supaya menyisihkan harta peninggalan orang yang telah mati atau mayit untuk shalat yang ditinggalkan seperti puasa”.

.

8N !'$!*$> '

9 I

R )K

<

42

“Berdasarkan satu pendapat yang diikuti oleh banyak sahabat kita (Imam Syafi’i) bahwa ia (wali diperbolehkan) mengeluarkan makanan, sebanyak satu mud (untuk fidyah) untuk setiap shalat fardu”.

Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fidyah shalat adalah tebusan atas kewajiban shalat (yang tertinggal) oleh orang yang telah mati yang dikeluarkan oleh ahli warisnya sebesar satu mud untuk setiap shalat fardu yang ditinggalkan.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini adalah adanya (a) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan serap susu segar domestik,

[0260] Kota Bandung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan..

Secara singkat, faktor yang dapat menjadi daya tarik pusat kota bagi masyarakat untuk memilih tinggal di pusat kota tersebut yang dapat menyebabkan permukiman tumbuh

Pada pengawetan alami kayu matoa dan kayu ketapang menggunakan bahan pengawet ekstrak daun sambiloto, konsentrasi berpengaruh nyata terhadap nilai retensi sedangkan waktu

Maka sudah jelas bahwa isu lingkungan yang di keluarkan oleh Amerika tidaklah benar, isu tersebut hanya digunakan untuk membentuk citra negative pada produk CPO Indonesia

Berdasarkan gejala- gejala yang timbul dan juga hasil dari pemeriksaan tinja pasien, dapat langsung gejala yang timbul dan juga hasil dari pemeriksaan tinja

Pada tahun 2009 ini Kebun Raya “Eka Karya” Bali menggandeng kembali Universitas Udayana, beserta Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali

Secara umum dari hasil penelitian ini dapat diungkapkan bahwa konflik peran mempunyai pengaruh langsung dan signifikan terhadap kepuasan kerja perawat, demikian pula