• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merdeka? Sejauh mana kebebasan manusia itu? Pertanyaan-pertanyaan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merdeka? Sejauh mana kebebasan manusia itu? Pertanyaan-pertanyaan yang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Masalah Penelitian

Apakah manusia bebas? Apakah manusia mempunyai kebebasan serta merdeka? Sejauh mana kebebasan manusia itu? Pertanyaan-pertanyaan yang tampak sepeleh, namun kemudian melahirkan perdebatan panjang. Kebebasan yang pada prinsipnya merupakan keniscayaan pada manusia seringkali dikebiri oleh persepsi sempit tentangnya. Anggapan bahwa manusia terlahir bebas telah menjadi mainstream yang diterima secara universal. Namun, apakah manusia dalam hal kebebasan sesuai dengan realitas dalam kehidupan social?

Perbincangan seputar kebebasan manusia dalam filsafat menjadi tema menarik. Manusia dan kebebasan dimulai dari pendefinisian secara totalitas manusia sebagai objek filsafat dari masa ke masa, serta titik balik perjalanan filsafat dimana manusia menjadi sumber kebenaran atau antroposentris. Disinilah manusia juga akan semakin menarik dan penting untuk dikaji. Manusia unik, beragam, serta mempunyai pengetahuan serta ciri pembeda yang sangat khas dari makhluk lain. Selain pengetahuan dan kemampuan manusia menjadi pembeda, masih ada ciri-ciri lain pembeda, bahwa manusia menyatakan, mempertimbangkan, akan tetapi manusia juga berkehendak dan memilih. Selain kehendak dan pengetahuan, ada juga kebebasan pada diri manusia. Kebebasan bagi manusia merupakan nilai kemanusiaan yang penting sekaligus sebagai

(2)

fundamental moral. Manusia tanpa kebebasan layaknya seperti orang mati yang tidak memiliki jiwa sebagai pondasi aksi atas kreativitas kesatuan jiwa-raga.

Kebebasan dalam filsafat telah menjadi objek kajian sejak dahulu yang masih menyisakan persoalan dari waktu ke waktu. Seiring waktu, para pemikir pula merumuskan berbagai macam model-model kebebasan. Istilah kata ‘kebebasan’ pun mengalami banyak interpretasi sesuai bidang ilmu kajian. Salah satu pemikir kebebasan eksistensialis yaitu, Paul Satre mengatakan bahwa, manusia dihukum untuk bebas atau manusia ditakdirkan untuk bertindak bebas (Bertens, 2007: 117).

Argumentasi yang dikonstruksi bahwa manusia berbeda dengan binatang dalam bertindak, dikarenakan manusia dibekali akal pikiran. Dengan kata lain, setiap perbuatan manusia dapat dipertanggungjawabkan sendiri. Pergumulan mengenai topik kebebasan seseorang tidak akan jauh terhadap pertanyaan ‘apakah kebebasan tersebut merupakan aksi kreativitas ataukah kebebasan itu adalah hasil bentukan dari keterkungkungan?’ Holbach berpendapat bahwa sebenarnya manusia tidaklah bebas. Seperti segala sesuatu yang ada di alam ini, manusia tidak luput dari produk masa lalu, sehingga manusia masuk dalam kungkungan yang sungguh-sungguh universal. Bagi Holbach, orang mengatakan bahwa dirinya merasa bebas, pengakuan tersebut merupakan suatu khayalan manusia saja (Edward dalam Baharuddin, 2001: 27).

Kebebasan dalam arti tidak ada paksaan atau kekangan oleh yang lain disebut kebebasan negatif (yaitu bebas dari….), di mana kebebasan yang dimaksudkan adalah bahwa setiap orang berhak memilih sendiri dan dilindungi

(3)

terhadap bentuk-bentuk paksaan. Sejauh manusia bertindak menurut kehendaknya sendiri dan tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu, maka orang itu bebas.

Kebebasan juga sangat erat kaitannya dengan sarana atau kemampuan untuk mencapai kebebasan itu sendiri. Dengan kata lain, kebebasan itu tercapai karena adanya sarana atau kemampuan pada diri manusia. Sebab dari itu, syarat-syarat sebuah kebebasan yaitu, tidak adanya paksaan atau halangan dari manusia lain bagi seseorang untuk memilih kemungkinan-kemungkinan yang ingin dipilihnya, tidak adanya keadaan kodrati yang menghalangi manusia untuk mencapai tujuan yang dipilihnya, serta ketersediaan sarana atau kemampuan untuk mencapai tujuan yang dipilihnya berdasarkan kehendaknya (Hadi, 1996: 156). Apabila manusia menegaskan kebebasannya, manusia bukan hanya berbicara arti tidak adanya paksaan ataupun kekangan dari pihak lain kebebasan

dari, akan tetapi juga manusia harus menegaskan bebas untuk melakukan sesuatu kebebasan untuk dalam arti positif.

Di dalam ranah sosial-politik, kebebasan mesti dipastikan dalam artian kebebasan khusus dalam pengaplikasian keinginan suatu tindakan yang tertentu. Banyaknya ragam kebebasan, seperti kebebasan berpikir, berbicara, berkumpul, beribadat, gerakan, kepemilikan pribadi, dan kebebasan pemilihan status, ini selalu mengalami campur tangan dari pihak lain atau sebuah logika minoritas dan mayoritas bermain dalam penentuan suatu kebebasan. Maka dari itu kebebasan sebagai bentuk kreativitas dalam pembicaraan filsafat adalah anggapan mengenai perbuatan manusia berdasarkan kehendaknya sendiri tanpa terbatasnya kebebasan, manusia bebas memilih dan berkehendak.

(4)

Pasca reformasi, tahun 1998, bangsa Indonesia mengalami perubahan pranata-pranata sosial di mana perubahan tersebut sangat signifikan berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Terbukanya akses yang seluas-luasnya bagi individu ataupun kolektif dalam hal kebebasan, berserikat, berpendapat, mengungkapkan, menyampaikan, mendirikan lembaga politik, serta kebebasan beragama mengalami perubahan secara massif dalam realitas sosial. Gerakan dan arus reformasi serta semangatnya mendapatkan ruang dalam bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi dampak dari perubahan tersebut tidak seantusias pada tataran prakteknya, seperti dalam hal kebebasan praktek keberagamaan terjadi ketidakseimbangan dikarenakan adanya superioritas terhadap klaim tertentu dan menggunanakan logika mayor dan minor. Ruang kebebasan manusia menjadi terkotak-kotak dan terbatasi. Sebagaimana diketahui bahwa, negara menjamin hak dan kebebasan setiap individu dalam konstitusi. Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Berdasarkan paparan tersebut, maka perlu kiranya kebebasan dikaji secara komperehensif dalam perspektif filsafat, sehingga dapat menjadi jembatan atau semacam tawaran dalam konteks perubahan sosial dan politik di Indonesia, seperti dalam kebebasan menjalankan praktek kebebasan ibadat yang sering kali mengalami pengjustifikasian dari logika mayoritas dan minoritas. Karena adanya

(5)

gerakan atas nama agama yang menjadi salah satu sumber perpecahan antar umat beragama di Indonesia, hal ini dapat menjadi semacam degradasi atau kungkungan dari kebebasan holistik.

Dari latar belakang di atas, maka penulis beranggapan akan pentingnya penelitian ini, Kebebasan Dalam Ontologi Martin Heidegger: Makna dan Relevansinya dengan Kebebasan Beragama di Indonesia. Tentu saja ini diharapkan menjadi satu view baru dalam memandang pluralitas kewargaan dan kebebasan beragama di Indonesia.

2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian tesis ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Apa hakikat kebebasan Heidegger?

b. Apa landasan ontologis dalam filsafat kebebasan Martin Heidegger? c. Apa relevansi kajian kebebasan ontologis terhadap kebebasan beragama di

Indonesia?

3. Keaslian penelitian

Peneliti beranggapan bahwa, banyak penggalian atau penelitian di lingkungan Universitas Gadjah Mada, terhadap pemikiran Martin Heideger, akan tetapi khusus berkaitan dengan kebebasan dalam ontologi Heidegger belum banyak diteliti. Hal tersebut terbukti sejauh ini, bahwa tidak ditemukannya penelitian yang mengangkatnya sebagai tema penelitian.

Pencarian hasil penelitian dengan tema lain, kebebasan, yang turut dibahas dalam penelitian ini telah ditemukan. Terdapat beberapa hasil penelitian tentang

(6)

kebebasan yang dipublikasikan di lingkungan Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Berikut ini adalah judul-judul dan uraian singkat tentang penelitian tersebut. Pertama, Televisi Dalam Perspektif Filsafat Teknologi Martin

Heidegger, yang merupakan tesis Ari Abi Uafa, di Fakultas Filsafat, UGM.

Kajian ini menerangkan tentang perkembangan tekhnologi khususnya televisi yang dilihat dalam perspektif filsafat teknologi Martin Heidegger. Meskipun mengacu pada fokus yang sama (tokoh), namun didalamnya hampir tidak menyinggung mengenai kebebasan ontologis.

Kedua, karya Budi F. Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Menuju Sein und Zuit, yang diterbitkan pada tahun 2003 oleh Kepustakaan

Popular Gramedia. Buku ini sebagaimana yang terlihat pada judulnya adalah pengantar untuk memahami magnum opus-nya, Being and Time (Sein und Zuit). Dalam buku ini, dijelaskan pokok-pokok pikiran Heidegger secara umum bahkan pada istilah-istilah kunci yang digunakannya. Karya yang serupa pun juga dapat ditemukan pada judul karangan Michael Inwood, Heidegger: A Very Short

Introduction-ketiga. Oleh sebab itu, meskipun kedua buku ini menyitir mengenai

kebebasan, namun tidak dijelaskan secara spesifik dan detail.

Keempat, Heidegger and The Essence of Man, yang tulis oleh Michel

Haar. Buku ini menerangkan bagaimana esensi manusia sebagai Dasein dalam pemikiran Heidegger. Haar menjelaskan bagaimana kemampuan Dasein dalam semua kemungkinannya. Limit daripadanya hanyalah kematian. Selain itu, pada pembahasan lainnya, juga diuraikan tentang relasi Dasein sebagai individu dengan manusia lainnya dan dirinya sebagai makhluk “menyejarah”. Namun demikian,

(7)

dalam buku ini tidak terlihat bagaimana posisi kebebasan menjadi the principle to

act dalam pemikiran Heidegger.

Kelima, adalah karya L.M. Vail, Heidegger and Ontological Difference

yang diterbitkan pada tahun 1972 oleh the Pennsylvania State university. Diterangkan bahwa perbedaan merupakan sebuah prinsip ontologis yang tidak dapat dinegasikan. Manusia sebagai yang “ada” atau dalam istilah Heidegger sebagai Dasein adalah berbeda antara satu sama lain. Perbedaan itu berangkat dari kesejarahan yang ‘mengisinya’ (faktisitasnya). Kajian Veil ini pada dasarnya merupakan titik awal peneliti dalam melakukan kajiannya terhadap kebebasan ontologis Heidegger. Meskipun Veil terbilang detail menjelaskan perbedaan tersebut yang disebutnya sebagai takdir (destiny) namun tidak menjelaskan lebih jauh bahwa ontological difference ini juga menjadi pijakan ontologi bagi kebebasan manusia dalam filsafat Heidegger.

Selain dari lima penelitian di atas, beberapa penelitian lain yang juga dipandang relevan antara lain; Kebebasan Mengemukakan Pendapat bagi

Anggota Parpol di Indonesia adalah disertasi tahun 2009, yang disusun oleh H. A,

Bustan. H. A, Bustan, di dalamnya menjelaskan sejauh mana menyampaikan kebebasan berpendapat, pikiran yang dijamin dalam UUD 1945 diimplementasikan oleh anggota partai politik.

Kedua, ditemukan disertasi berjudul Filsafat Kebebasan John Stuart Mill Relevansinya dengan Pengembangan Hak Asasi Manusia, tahun 2007. Disertasi

yang disusun oleh Sumahyo ini memaparkan bahwa secara ontologis kebebasan bukanlah perbuatan bebas atas kemauannya sendiri, bukan pula perbuatan tanpa

(8)

kontrol, tanpa batasan yang mengakibatkan daya kritis masyarakat tetap tunduk, namun perbuatan bebas yang menuju arah positif,, tidak mengganggu dan merugikan orang lain, serta malah menguntungkan kedua belah pihak.

Penelitian yang selanjutnya adalah disertasi yang disusun oleh Ahmad Kamil pada tahun 2010, dengan judul Kebebasan Hakim dalam Perfektif Filsafat

Kebebasan Frans Magnis-Suseno, Relevansinya bagi Pembinaan Hakim di Indonesia. Pertama, penelitian ini menyatakan bahwa hakikat kebebasan adalah

unsur penting dalam pengalaman manusia yang paling asasi, maka dari itu tema kebebasan dalam filsafat menjadi khas dalam ranah filsafat. Kedua, inti filsafat kebebasan Magnis-Suseno adalah bahwa kebebasan manusia mencakup kebebasan eksistensialis dan kebebasan sosial. Kedua jenis kebebasan ini, ada satu hal yang tidak dapat dilupakan yaitu tanggung jawab. Ketiga, kebebasan hakim di Indonesia memahami kebebasan sebagai kebebasan hanya sekedar menjalankan tugas pokok pada kekuasaan kehakiman secara profesional sesuai hukum acara dan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya disertasi dengan judul Dimensi Ontologis Kebebasan Erich

Fromm Relevansinya bagi pengembangan Pers di Indonesia, tahun 2013.

Penelitian ini ditulis oleh Nana Sutikna memfokuskan bahwa kebebasan manusia harus dikaji pada sisi dimensi ontologis kebebasan agar mencapai kebebasan secara holistik. Namun demikian, titik berangkat pemikiran antara Fromm dan Heidegger tentu saja berbeda, sehingga penelitian ini dapat dikatakan memiliki arena berbeda.

(9)

4. Manfaat Penelitian

Penelitian filsafat ini diharapkan membawa manfaat:

a. Bagi peneliti, penelitian ini memberikan pemahaman menyeluruh dan mendalam tentang pemikiran kebebasan Martin Heideger dari segi ontologis, yang kemudian dapat dijadikan acuan pengembangan pribadi. b. Bagi ilmu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan studi filosofis terkait

kebebasan dan pemikiran tokoh filsafat.

c. Bagi bidang penelitian terkait, bermanfaat sebagai inventaris kepustakaan, wahana diskusi, dan memperkaya kajian teoritis kebebasan. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi peneliti yang tertarik pada tokoh dan problematika kontemporer.

d. Bagi Bangsa dan Negara Indonesia, penelitian tentang pemikiran kebebasan menurut Martin Heideger dapat menyumbang khasanah acuan cara berpikir filosofis dan akademis, sehingga mampu mendukung pembangunan intelektualitas bangsa dan Negara.

B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan:

1. Mengungkap dan mengelaborasi serta mendeskripsikan konsep hakikat kebebasan Heidegger.

(10)

3. Menemukan dan merefleksikan secara kritis sumbangan makna kebebasan Heideger dengan relevansi kebebasan beragama di Indonesia.

C. Tinjauan Pustaka

Latar belakang penelitian ini berdasarkan atas laju perkembangan dan perubahan social, politik, budaya dan pandangan pemikiran dalam keagamaan pasca reformasi. Gemuruh perubahan pun dapat dikatakan mengalami peristiwa besar dalam lingkup pranata sosial. Akses terbuka begitu luas sehingga masyarakat bisa menikmati apa yang menjadi hak mereka. Perubahan-perubahan ini bukan berarti setiap individu bisa melakukan segala hal yang menurutnya baik. Tranformasi keterbukaan ini, dapat menjadi pijakan pada setiap akses untuk mencapai tujuan manusia. Masyarakat merasa bebas dalam menentukan setiap tindakannya dalam berpendapat, berserikat, berpolitik, beragama dan lain-lain. Namun, kebebasan masyarakat itu ketika merasa bebas dan dijamin oleh konstitusi negara Indonesia justru mengalami keterkungkungan pada saat memasuki salah satu ranah yaitu kebebasan keberagamaan. Dalam ranah tersebut, masyarakat merasa seolah-seolah terdiskreditkan atau mengalami diskriminasi atas klaim-klaim logika mayoritas terhadap minoritas.

Kebebasan keberagamaan perlu dikaji ulang agar memberi ruang pemahaman dan penekanan terhadap konsep kebebasan itu sendiri. Memang tidak mudah untuk menemukan jalan dalam mengemukakan suatu filsafat secara singkat dan tepat, maka yang tinggal hanya jalan panjang serta semakin sulit

(11)

rasanya untuk mencapai tujuan (Muzairi, 2014: 2). Seperti diketahui bahwa kebebasan manusia adalah sesuatu yang inheren pada diri manusia. Kebebasan merupakan hak atau kekuasan bagi tiap individu. Konsep kebebasan itu sendiri harus diperjelas dan dikaji lebih agar pemahaman konsep kebebasan itu tdak parsial yaitu dengan pengkajian secara filosofis. Kebebasan telah menjadi persoalan filsafat yang masih banyak dikaji sampai sekarang. Karena kebebasan merupakan penanda pada diri manusia, perbedaannya dapat dilihat dalam bersikap baik melalui insting, naluri. Manusia dapat menentukan kemungkinan-kemungkinan dalam bertindak dan dapat pula memilih sesuai pilihan akan tujuannya sendiri. Maka dari itu perlu dikaji konsep kebebasan Heidegger untuk mendapatkan corak dan lebih holistik bagi perkembangan kebebasan di Indonesia. Ada dua pandangan selama ini yang sangat diterima dalam hal kebebasan, yaitu kebebasan negatif dan positif. Makna kebebasan negatif yaitu tidak terbatasinya kebebasan itu dari paksaan pihak lain atau dengan kata lain bahwa seseorang dapat berbuat dan menentukan kemungkinan-kemungkinan pilihannya tidak ada keterikatan, sedangkan, kebebasan positif bermakna bahwa seseorang bebas dari dan bebas untuk sesuatu. Kebebasan dalam arti tidak ada paksaan atau kekangan oleh yang lain disebut kebebasan negatif (yaitu bebas dari….), dimana kebebasan yang dimaksudkan adalah bahwa setiap orang berhak memilih sendiri dan dilindungi terhadap bentuk-bentuk paksaan. Sejauh manusia bertindak menurut kehendaknya sendiri dan tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu, maka orang itu bebas. Kebebasan juga sangat erat kaitannya dengan sarana atau kemampuan untuk mencapai kebebasan itu sendiri, dengan kata lain, kebebasan

(12)

itu tercapai karena adanya sarana atau kemampuan pada diri manusia. Sebab dari itu, syarat-syarat sebuah kebebasan tidak adanya paksaan atau halangan dari manusia lain bagi seseorang untuk memilih kemungkinan-kemungkinan yang ingin dipilihnya, dan tidak adanya keadaan kodrati yang menghalangi manusia untuk mencapai tujuan yang dipilihnya, serta ketersediaan sarana atau kemampuan untuk mencapai tujuan yang dipilihnya berdasarkan kehendaknya (Hadi, 1996: 156).

Banyaknya pandangan mengenai kebebasan tentunya juga berbagai pendapat dan pertentangan tidak terhindarkan. Hal ini menandakan bahwa pandangan mutlak mengenai kebebasan akan berhadapan dengan kebebasan yang bersifat relatif dikarenakan keadaan serta kondisi situasional. Ada beberapa ragam kategori kebebasan: Pertama, yaitu kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan, dari pengertian ini bahwa kebebasan dimaknai sebagai terlepas dari ikatan dan kewajiban, sehingga dapat menabrak rambu-rambu kepentingan dan hak orang lain. Orang dikatakan bebas apabila dapat melakukan apa yang dikehendakinya, terlepas dari segala aturan dan kaidah. Kebebasan seperti ini merupakan kebebasan permisif. Kedua, kebebasan fisik, kebebasan ini dimaknai dengan tidak adanya paksaan atau rintangan dari luar. Orang menganggap dirinya bebas adalam artian, jika bisa bergerak kemana saja tanpa hambatan apapun. Ketiga, kebebasan yuridis, hal ini berkaitan dengan hukum dan harus dijamin dengan hukum. Kebebasan yuridis merupakan sebuah aspek dari hak-hak manusia. Jika orang berbicara berarti membicarakan kebebasan orang yang dirampas hak-haknya.

(13)

manusia dalam pengembangan dan keterarahan hidupnya sendiri. Kemampuan ini menyangkut kehendak bahkan merupakan ciri khas, maka dari itu, kebebasan psikologis ini di sebut juga free will. Kebebasan ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah mahkluk berasio. Manusia mampu berpikir sebelum bertindak. Kelima, kebebasan moral, yaitu kebebasan yang terlepas dari paksaan moral, kebebasan ini mengandalkan kebebasan psikologis; tanpa kebebasan psikologis tidak mungkin terdapat kebebasan moral. Keenam, kebebasan eksistensi, kebebasan ini merupakan kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh diri pribadi manusia dan tidak terbatas pada satu aspek saja, akan tetapi mencakup seluruh aspek dari eksistensi manusia. Kebebasan ini merupakan bentuk kebebasan tertinggi yang dimiliki manusia (Bertens, 2007, 99-116).

Leahy (1993: 152) membedakan 3 jenis kebebasan. Pertama, kebebasan fisik adalah ketiadaan paksaan fisik. Orang bebas kalau tidak dipaksa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kedua, kebebasan moral ialah ketiadaan paksaan moral, hukum atau kewajiban. Ketiga, kebebasan psikologis ialah ketiadaan paksaan kecendrungan-kecendrungan untuk melakukan sesuatu ataupun sebaliknya. Kebebasan ini biasa disebut kebebasan untuk memilih, karena kebebasan inilah memungkinkan subjek untuk memilih diantara berbagai tindakan.

Leenhouwers (1988: 91) menyatakan bahwa kebebasan merupakan ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya dapat ditemui pada diri manusia saja dan bukan pada benda. Leenhouwers pun mengajukan 3 jenis kebebasan. Pertama,

(14)

kebebasan dalam arti kehendak bebas. Setiap orang yang berbicara mengenai kebebasan selalu menyatakan bahwa perbuatan bebas bahwa tindakan bebas yang dilakukan seseorang tanpa penekanan yang memaksa baik itu dari faktor internal maupun faktor eksternal. Tidak adanya paksaan atau penekanan belum merupakan ciri khas dan inti pokok kebebasan, sebab tiadanya paksaan hanya menyebutkan sesuatu tentang situasi ketika seseorang bertindak. Manusia tidak sepenuhnya dikendalikan oleh hukum-hukum yang menentukan seluruh tingkah lakunya dan tergantung pada kekuatan dari luar tapi manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri, menjadi diri pribadi yang independen serta inti dari kemandiriannya sendiri. Dengan demikian kebebasan merupakan kualifikasi tertentu atau ciri kehendak. Kedua, kebebasan dalam arti cita-cita. Kebebasan dapat dimengerti sebagai keadaan dimana manusia benar-benar merasa menjadi diri pribadi, tidak diasingkan diri sendiri. Akan tetapi, pada realitasnya terkadang belum menjadi diri sendiri, seringkali bertabrakan dengan pelbagai hal yang tidak sempurna dalam merealisasikan cita-cita mengenai diri sendiri. Ketiga, kebebasan dalam arti sosial-politik, kebebasan manusia tidak merupakan daya cipta yang tidak terbatas. Pada hakikatnya, kebebasan itu terbatas, karena manusia hidup dalam suatu kebersamaan, berpaut pada manusia lainnya, maka dari itu sikap orang lain, pola kelakuan dan arah hidup orang lain berpengaruh terhadap diri seseorang.

Mukhtasar Syamsuddin (2011: 1) sendiri mengakui akan banyaknya ragam makna tentang kebebasan. Dalam kaitannya dengan eksistensi manusia, kebebasan selalu dimaksudkan sebagai hakekat manusia itu sendiri. Namun demikian, hakekat ini selalu mandapat anomali dalam situasi rill kemanusiaan,

(15)

seperti dikebirinya hak-hak warga negara oleh para tiran atau mereka yang mengejar keagungan teknologi. Dari konteks ini, seseorang pada akhirnya mencari kesejatinya dirinya, suatu keadaan yang terlepas dari semua interpretasi kebebasa yang terfragmentasi.

Berbeda dengan itu, Arendt memberikan gagasannya secara lebih radikal mengenai kebebasan. Menurutnya, kebebasan adalah pada saat manusia berfikir, yakni modus kebebasan baru yang memungkinkan manusia untuk berfikir tanpa bersandar pada pilar dan instrumen apa pun, tanpa terkungkung dalam tradisi, serta untuk menjelajahi wilayah pengalaman mental baru (dalam Sudibyo, 2012: 122). Salah satu pengikut Heidegger, Arendt melihat bahwa berfikir ibarat orang yang menyelam. Penyelam bukan untuk mencapai dasar lautan, namun menemukan apa yang berharga yang dapat dibawanya ke permukaan.

Konsep kebebasan secara filosofis yang diusung oleh Heidegger bersifat metafisis dimana kebebasan itu belum terkotak-kotakkan oleh pemahaman-pemahaman lain dalam artian kebebasan itu adalah suatu kebebasan yang filosofis ontologis atau kebebasan universal yang belum mengalami pendefinisian dari berbagai kajian ilmu.

D. Landasan Teori

Kebebasan merupakan penanda bagi manusia yang bisa membedakan manusia dengan lainnya. Kebebasan juga merupakan suatu realitas artinya manusia juga selalu dipredikatkan kata bebas pada faktanya. Jika kebebasan adalah realitas, maka kebebasan tersebut melalui dimensinya dapat dikaji secara

(16)

ontologis. Penulis, dalam pengkajian persoalan kebebasan Heidegger, melihat dari sudut pandang ontologis.

Dimensi-dimensi kebebasan akan dapat ditemukan lebih holistik dan komperehensif jika dilihat dalam kacamata ontologis dikarenakan pandangan ini selain melihat dari sisi realitas dan individu manusia maka kebebasan dapat tercapai. Ontologi berasal dari kata “ontos” dan “logos”. Ontos berarti “yang ada sebagai ada” (Siswanto: 2004: 2), dan “logos” berarti “tuturan” atau “ilmu”. Dengan demikian ontologi berarti ilmu yang mempelajari sesuatu yang ada.

Jika merujuk Bagus (2002: 624-625) pada definisi ontologi terangkum setidaknya terdiri dari beberapa definisi diantaranya:

a. Studi tentang ciri-ciri alam semesta yang sangat umum, bersifat tetap dan mencakup eksistensi, perubahan, waktu, hubungan sebab-akibat, tempat, substansi, identitas, keunikan, perbedaan, keanekaan, kesamaan, ketunggalan.

b. Studi tentang realitas terakhir, yaitu realitas sebagaimana terbentuk dalam dirinya sendiri yang terpisah dari tampakan-tampakan bersifat ilusif tersajikan dalam persfektif manusia.

c. Kajian menyeluruh, koheren dan konsisten tentang realitas (keberadaan, alam semesta) sebagai sesuatu keseluruhan. Dalam artian ontologi digunakan secara bergantian dengan sebagian besar arti dari filsafat sinoptik dan kosmologi.

Berdasarkan dari uraian diatas, bahwa beraneka ragam mengenai pemahaman ontologi, akan tetapi terdapat kesamaan pada karakterter ontologi

(17)

tersebut. Pertama, ontologi merupakan cabang filsafat yang memiliki ruang lingkup luas kajiannya dikarenakan mencakup segala objek yang ada. Kedua, ontologi melihat realitas berusaha mencapai sesuatu yang disebut final. Dengan demikian, dalam kajian realitas, ontologi merupakan pencari sesuatu yang bersifat, statis, dinamis, kekal, serta sesuatu yang bersifat keumuman.

Pengidentifikasian terkait persoalan realitas pada konsep kebebasan Heidegger, akan dilihat apakah realitas kebebasan itu tunggal atau jamak (satu atau banyak) karena ini merupakan salah satu pertanyaan mendasar dalam ontologi. Menurut Bakker (1992: 92) pertanyaan mengenai kuantitas kenyataan menyangkut dua aspek: aspek pertama, andaikata diyakini bahwa kenyataan itu tunggal “satu” ternyata ditemukan kesukaran, sebab realitas ada banyak objek-objek dan pribadi-pribadi. Sebaliknya, andaikata kenyataan itu banyak “unit” persoalan yang muncul adalah apakah yang banyak itu saling berhubungan atau mereka berdiri sendiri-sendiri (lepas, bebas). Aspek kedua, apakah keseluruhan kenyataan itu seragam atau beragam macam? Kalau seragam sulit dipahami, karena memang dalam realitas itu ditemukan banyak perbedaan dan bahkan bertentangan. Sebaliknya, andaikata serba remuk, persolannya bagaimanakah dalam kenyatan itu masih ada kesamaan dan kebersamaan.

Kenyataan banyak menunjukkan jenis-jenis realitas tertentu yang mana mengalami perubahan atau gradasi sedangkan ada pula realitas bersifat eternal. Menurut Siswanto (1998: 58), persoalan ontologis adalah refleksi atas realitas sebagai fakta. Selanjut untuk mengidentifikasi konsep kebebasan Heidegger ini melalui norma ontologi transendental bagi ketiga struktur dasar onologis dari

(18)

satu-banyak, statis-dinamis, jasmani-rohani serta realitas tersebut mengandung nilai ontologis didalam objek tersebut.

E. Cara Penelitian 1. Bahan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan berdasarkan dua macam bahan yakni pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka utama adalah karya-karya Martin Heideger, sedangkan pustaka sekunder merupakan materi yang bersumber dari buku, jurnal, artikel dan tulisan lain, yang terkait dengan tema penelitian ini.

a. Pustaka utama:

i. The Essence of Human Freedom, 2002, terj. Ted Sadler,

Continuum, London, New York.

ii. Being and Time,1962, ter. John Macquarrie, Edward Robinson,

Blackwell Publisher, Oxford.

iii. Aristotle’s Metaphysic: On the Essence and Actuality of Force,1995, Walter Brogan, Peter Warnek, Indiana University Press, USA.

iv. History of the Concept of Time,1985, terj. Theodore Kissiel,

Indiana University Press, USA

v. Identity and Difference,1969, terj. Joan Stambaugh, Harper Row,

New York. 2. Jalan Penelitian

(19)

a. Inventarisasi data. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data yang dapat dibagi menjadi dua bagian yang besar berdasarkan objek formal dan objek material penelitian. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat agama, khususnya tentang kebebasan. Data yang kedua berisi tentang pustaka mengenai pemikiran Martin Heideger yang terdapat dalam karyanya. Data-data tersebut dikumpulkan sebanyak mungkin melalui penelusuran di berbagai perpustakan maupun melalui penelusuran internet. b. Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan.

c. Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.

d. Penyajian data, yaitu memaparkan hasil analisis secara sistematis dan teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukan. Penyajian data diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit.

3. Analisis Hasil

Data dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode hermenutika dengan empat unsur metodis sebagai berikut:

(20)

a. Deskriptif: konsep-konsep pemikiran filsuf dijabarkan dan dijelaskan, sehingga dapat dipahami pola pemikiran tersebut, paham-paham apa yang mempengaruhinya dan kemungkinannya mempengaruhi pemikir lain. b. Verstehen. Data yang telah dikumpulkan akan dipahami karakteristik

masing-masing, kemudian diketahui makna tiap-tiap data.

c. Interpretasi. Pemahaman atas data yang telah diperoleh dan diketahui maknanya melalui penerjemahan karya filsuf.

d. Heuristika. Metode ini digunakan untuk menemukan suatu paradigma baru dari pemikiran Martin Heidegger yang kemudian diharapkan dapat berperan bagi kehidupan beragama yang beragam di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Dilibatkannya software dalam konsep ERP adalah semata-mata karena perangkat teknologi tersebut dapat memberikan nilai tambah berupa penghapusan proses yang tidak

Sebagaimana yang dirumuskan Pasal 378 KUHP, secara yuridis, penipuan berarti perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

Kit Permainan Edukasi “Tongkat Putri Dan Pedang Pengenal Warna” untuk Anak Usia Dini dengan Menggunakan Sensor Warna Tcs3200 dan Arduino Nano. 3

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayahnya, serta senantiasa memberikan petunjuk besar kepada penulis sehingga penulis dapat

Kedua anak perusahaan tersebut adalah PT ACE Life Assurance yang kini menjadi PT Chubb Life Insurance Indonesia (Chubb Life) sedangkan PT ACE Jaya Proteksi telah berganti

Retur Pembelian dan Pengurangan Harga (Purchases return and allowances), rekening ini digunakan untuk mencatat transaksi yang berkaitan dengan pengembalian barang yang telah

c) Belajar merupakan suatu kegiatan yang mempunyai tujuan Dalam proses belajar, apa yang ingin dicapai sep dirasakan dan dimiliki oleh setiap siswa. Tujuan belajar bukan berarti

FIRMAN HIDAYAT, Perampuan, 25 Desember 1995, Sasak, Islam, Buruh bangunan, Pendidikan SMA, Alamat Dusun Nyamarai Desa Perampuan Kec... Gajah