• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

24 Universitas Kristen Petra 4. ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini dijelaskan hasil pengujian dan analisis dari percobaan yang sudah dilakukan. Dalam bab ini juga akan dijawab pertanyaan masalah penelitian pada bab sebelumnya. Pengujian yang dilakukan terhadap sampel adalah pengujian initial setting time dan kuat tekan beton (compressive strength) di Laboratorium Beton dan Konstruksi Universitas Kristen Petra. Hasil pengujian

initial setting time dan kuat tekan beton ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik

agar lebih mudah dimengerti.

4.1 Karakterisasi Material

Karakterisasi material yang kami lakukan untuk penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu karakterisasi fly ash dan pasir. Karakterisasi yang kami lakukan pada fly ash yaitu identifikasi asal dan warna material, specific gravity, X-Ray

Fluorescence (XRF), kadar keasaman (pH), dan passing sieve #325. Sedangkan

karakterisasi yang kami lakukan pada pasir yaitu identifikasi asal material, ayakan/gradasi, fineness modulus, specific gravity, penyerapan air dalam keadaan

Saturated Surface Dry (SSD), dan void ratio. Analisa larutan sodium silikat dan

padatan sodium hidroksida diperoleh dari certificate of analysis yang diberikan oleh penjual. Material yang digunakan dalam penelitian kami berupa fly ash, pasir silika, larutan sodium silikat, dan padatan sodium hidroksida yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 hingga 4.4.

(2)

25 Universitas Kristen Petra Gambar 4.3 Larutan Sodium Silikat Gambar 4.4 Sodium Hidroksida

4.1.1 Karakterisasi Fly ash

Analisa Fly ash yang kami lakukan yaitu identifikasi asal dan warna material, specific gravity, X-Ray Fluorescence (XRF), kadar keasaman (pH),

passing sieve #325. Dari hasil analisa didapatkan hasil berikut. Material berasal

dari PLTU Paiton unit 9 dan berwarna coklat seperti pada Gambar 4.1. Besarnya nilai GS dari fly ash PLTU Paiton yang digunakan dalam penelitian ini adalah 2.625. Pengujian X-Ray Fluorescence (XRF) dilakukan untuk mengukur kandungan yang ada di dalam fly ash. Komposisi fly ash dari hasil pengujian XRF terlihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Komposisi Fly ash dari PLTU Paiton, Jawa Timur

No. Oksida %wt No. Oksida %wt

1 SiO2 36.57 7 K2O 1.35 2 Al2O3 19.06 8 Na2O 2.45 3 Fe2O3 11.32 9 SO3 1.30 4 TiO2 0.75 10 MnO2 0.15 5 CaO 19.50 11 P2O5 0.21 6 MgO 6.21 12 L O I 0.63 SiO 2 +Al2O3 +Fe2O3 66.95

Menurut ASTM C 618, (2010), tipe fly ash dibedakan dari kandungan SiO2, Fe2O3, dan Al2O3. Fly ash dikategorikan sebagai fly ash tipe C jika memiliki

(3)

26 Universitas Kristen Petra memiliki kandungan SiO2 + Al2O3 + Fe2O3 minimal 70%. Selain itu fly ash juga dikategorikan berdasarkan kadar CaO. Fly ash yang digunakan termasuk kategori tipe C (high calcium fly ash) dengan kandungan SiO2+Al2O3+Fe2O3 lebih dari 50% tetapi kurang dari 70% yaitu 66.69% dan kadar CaO diatas 10% yaitu 19.50%.

Pengujian kadar pH dilakukan berdasarkan standar ASTM D 5239. Setelah 15 menit pH meter digital menunjukkan nilai pH dari fly ash yang digunakan sebesar 12.6 seperti pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Hasil Pengujian pH Meter Digital

Analisa passing sieve #325 ini dilakukan dengan cara mengambil sampel fly

ash sebanyak 344 gr. Sampel tersebut diletakkan di dalam ayakan nomor 325.

Kemudian sampel tersebut diayak dengan menggunakan kuas. Proses ayakan ini dilakukan kurang lebih 90 menit. Hasil yang diperoleh dari analisa ini ialah persentase berat fly ash yang lolos ayakan 82.56%.

4.1.2 Karakterisasi Pasir

Analisa yang kami lakukan pada pasir yaitu identifikasi asal material, analisa ayakan/gradasi, analisa fineness modulus, analisa specific gravity dan penyerapan air dalam keadaan Saturated Surface Dry (SSD). Pasir yang digunakan adalah pasir silika lolos mesh 20 dan tertahan pada mesh 40. Hasil karakterisasi pasir adalah sebagai berikut. Pasir silika yang digunakan berasal dari Tuban. Fineness modulus pasir diperoleh sebesar 2.67 yang menunjukkan pasir silika tergolong pasir halus (ASTM C 136, 2009). Hasil analisa ayakan pasir dapat dilihat pada Gambar 4.6.

(4)

27 Universitas Kristen Petra Gambar 4.6 Grafik Hasil Analisa Ayakan Pasir Silika

Pengujian specific gravity (GS) yang kami lakukan berdasarkan pada ASTM C 127 (2009). Besarnya nilai GS dari pasir silika mesh 20/40 asal Tuban yang digunakan dalam penelitian kami ialah 2.612. Uji penyerapan air kami lakukan berdasarkan standar ASTM C 127 (2009). Kadar air yang terkandung dalam pasir silika dalam kondisi SSD (Saturated Surface Dry) adalah 0.15 %.

4.1.3 Data Analisa Sodium Silikat dan Sodium Hidroksida

Data analisa sodium silikat dan sodium hidroksida yang kami gunakan didapat dari Toko Bratachem. Sodium silikat yang digunakan sberwarna bening dan sedikit kental seperti pada Gambar 4.3. Hasil analisa sodium silikat dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Analisa Sodium Silikat Parameter Hasil

H2O 60.47 %

Na2O 9.28 %

SiO2 30.25 %

Ratio SiO2 / Na2O 3.26 Baume at 20oC 42.79

(5)

28 Universitas Kristen Petra Sodium hidroksida (NaOH) yang kami gunakan adalah yang berbentuk padatan atau disebut juga flakes. Sebelum digunakan sebagai campuran beton, padatan NaOH ini dilarutkan dalam air menjadi larutan NaOH. Hasil analisa padatan NaOH dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Analisa Padatan NaOH

4.2 Hasil Pengujian Setting Time Pasta Geopolimer

Pengujian setting time yang dilakukan ialah pengujian initial setting time yang dilakukan berdasarkan standar dari ASTM C 191 - 04 (2004). Alat yang digunakan adalah alat vicat needle di Laboratorium Beton dan Konstruksi, Universitas Kristen Petra. Penentuan initial setting time dicapai ketika penetrasi jarum mencapai 25 mm.

4.2.1 Initial Setting Time Pasta Geopilimer Prosedur F(HS) dan (FH)S dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator (Tahap 1)

Tahap pertama ini menggunakan water-to-binder ratio sebesar 0.35 dan konsentrasi NaOH sebesar 8M untuk semua prosedur penyampuran dan perbandingan alkali activator. Tabel 4.4 menunjukkan initial setting time pasta geopolimer pada prosedur F(HS) dan (FH)S dengan variasi perbandingan alkali

activator (larutan sodium silikat/larutan NaOH). Hasil analisa tersebut

menunjukkan initial setting time tercepat pasta geopolimer dengan prosedur F(HS) ditunjukkan oleh campuran dengan perbandingan alkali activator sebesar 2, dengan durasi 14 menit. Sedangkan initial setting time terpanjang pasta dengan prosedur F(HS) ditunjukkan oleh campuran dengan perbandingan alkali activator sebesar 2.5, dengan durasi 18 menit. Pasta geopolimer yang dibuat dengan

Parameter Hasil

NaOH 98.03 %

Na2CO3 0.27 %

NaClO3 15.30 ppm

(6)

29 Universitas Kristen Petra prosedur F(HS) untuk semua variasi perbandingan alkali activator menunjukkan durasi initial setting time yang sangat cepat, sehingga prosedur ini tidak memungkinkan untuk diaplikasikan dalam skala besar dikarenakan campuran ini mengalami flash setting. Hasil analisa initial setting time untuk setiap perbandingan alkali activator prosedur F(HS) ini dapat dilihat pada Gambar 4.7.

Tabel 4.4 Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS) dan (FH)S,

Water-to-Binder 0.35

Gambar 4.7 Analisa Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS),

Water-to-Binder 0.35

Berbeda dengan prosedur F(HS), hasil analisa initial setting time pasta pada prosedur (FH)S durasi tercepat ditunjukkan oleh campuran dengan perbandingan alkali activator sebesar 3 dengan durasi 40 menit. Sedangkan initial

Alkali Activator

Initial Setting Time

Satuan Menit F(HS) (FH)S 0.5 15 97 1.0 15 52 2.0 14 43 2.5 18 47 3.0 16 40

(7)

30 Universitas Kristen Petra

setting time terpanjang prosedur (FH)S ditunjukkan oleh campuran dengan

perbandingan alkali activator sebesar 0.5 dengan durasi 97 menit. Walaupun prosedur (FH)S dengan perbandingan alkali activator sebesar 0.5 ini memiliki

initial setting time yang cukup panjang, waktu tersebut masih tidak

memungkinkan untuk diaplikasikan dalam skala besar. Gambar 4.8 menunjukkan analisa initial setting time untuk setiap perbandingan alkali activator dengan prosedur (FH)S.

Gambar 4.8 Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur (FH)S,

Water-to-Binder 0.35

Penelitian yang dilakukan oleh Risdanareni et al. (2015) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar sodium silikat yang digunakan maka semakin cepat waktu setting time yang dihasilkan. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat perbandingan alkali activator yang digunakan maka durasi initial setting time akan semakin cepat. Namun demikian, hasil analisa pada penelitian yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan dari peneliti sebelumnya, dimana prosedur F(HS) memiliki durasi initial setting time yang kurang lebih sama untuk semua variasi perbandingan alkali activator. Besar kemungkinan penyebab perbedaan ini akibat penggunaan material dasar yang berbeda, dimana penelitian sebelumnya menggunakan low calcium fly ash yang tidak mengalami flash

(8)

31 Universitas Kristen Petra terjadi percepatan waktu seiring semakin tingginya tingkat perbandingan larutan sodium silikat/larutan NaOH. Hal ini dikarenakan prosedur (FH)S tidak mengalami flash setting seperti pada penelitian sebelumnya

4.2.2 Perbandingan Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS) dan (FH)S (Tahap 1)

Hasil pengujian initial setting time pasta geopolimer dengan perbandingan

alkali activator berbeda memberikan hasil yang berbeda juga apabila

menggunakan prosedur penyampuran yang berbeda. Prosedur F(HS) dan prosedur (FH)S dengan water-to-binder 0.35 menunjukkan durasi initial setting time tercepat maupun terpanjang pada perbandingan alkali activator yang berbeda.

Initial setting time pasta tercepat untuk untuk prosedur (FH)S ditunjukkan pada

campuran dengan perbandingan alkali activator sebesar 3 dan initial setting time pasta terpanjang ditunjukkan pada campuran dengan perbandingan alkali

activator sebesar 0.5. Sementara itu, initial setting time prosedur F(HS)

memberikan hasil yang kurang lebih sama walaupun menggunakan variasi alkali

activator. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.9 Perbandingan Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS) dan (FH)S

(9)

32 Universitas Kristen Petra Berdasarkan Gambar 4.9 terlihat bahwa secara keseluruhan prosedur (FH)S memiliki durasi initial setting time lebih lama dari prosedur F(HS) untuk semua variasi perbandingan alkali activator. Analisa penelitian ini mendukung hasil dari penelitian Surja et al. (2017) yang menyatakan bahwa pasta geopolimer akan mengeras dengan cepat (flash setting) bila larutan sodium silikat dicampurkan terlebih dahulu dengan high calcium fly ash dan kemudian ditambahkan larutan NaOH.

Hasil analisa ini juga mendukung kesimpulan penelitian Erlando et al. (2018), dimana urutan penyampuran merupakan faktor yang berpengaruh pada lama initial setting time. Oleh karena itu, secara keseluruhan penelitian kami menunjukkan bahwa initial setting time akan berbeda apabila menggunakan prosedur penyampuran dan perbandingan alkali activator yang berbeda pula.

Hasil analisa initial setting time tahap pertama ini masih tidak memungkinkan untuk direalisasikan dalam skala besar. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tahap kedua untuk mengevaluasi pengaruh initial setting time apabila menggunakan water-to-binder ratio yang berbeda. Perbandingan alkali activator untuk tahap kedua yang digunakan hanya perbandingan sebesar 0.5, 1 dan 2. Hal ini dikarenakan perbandingan tersebut menunjukkan durasi terpanjang pada prosedur F(HS) maupun (FH)S.

4.2.3 Initial Setting Time Pasta Geopolimer Prosedur F(HS) dan (FH)S dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator dan Water-to-Binder 0.25 dan 0.45 (Tahap 2)

Penggunaan variasi water-to-binder menunjukkan adanya pengaruh initial

setting time pada pasta geopolimer seperti terlihat pada Gambar 4.10. Berdasarkan

hasil analisa tersebut, prosedur F(HS) dan (FH)S memiliki durasi initial setting

time tercepat pada water-to-binder ratio 0.25 dan durasi terpanjang pada ratio 0.45. Hal ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010), dimana semakin tinggi water-to-binder ratio maka semakin lama setting time yang dihasilkan.

Hasil analisa dengan water-to-binder ratio sebesar 0.25 menunjukkan hal yang sama seperti tahap pertama, dimana untuk prosedur F(HS) memiliki durasi

(10)

33 Universitas Kristen Petra

initial setting time yang kurang lebih sama untuk variasi perbandingan alkali activator yang berbeda. Begitupula dengan prosedur (FH)S, dimana percepatan initial setting time terjadi apabila perbandingan alkali activator semakin tinggi.

Hasil analisa yang sama ini diduga karena kelecakan yang rendah pada saat penyampuran pasta geopolimer untuk water-to-binder 0.25 maupun 0.35.

Gambar 4.10 Perbandingan Initial Setting Time Pasta Geopolimer

Water-to-Binder 0.25, 0.35, dan 0.45

Berbeda halnya dengan pasta geopolimer dengan water-to-binder 0.25, hasil analisa pada pasta geopolimer water-to-binder 0.45 mendukung penelitian sebelumnya, dimana durasi setting time akan menjadi lebih cepat seiring meningkatnya kadar sodium silikat yang digunakan. Hal ini berlaku untuk kedua prosedur yang digunakan, dimana prosedur F(HS) maupun prosedur (FH)S menunjukkan terjadi percepatan initial setting time seiring meningkatnya perbandingan alkali activator.

Gambar 4.10 ini juga menunjukkan bahwa dengan variasi water-to-binder tetap akan menghasilkan initial setting time yang lebih cepat pada prosedur F(HS) daripada prosedur (FH)S. Besar kemungkinan hal ini terjadi akibat penelitian ini menggunakan high calcium fly ash dengan pH sebesar 12.6, dimana hal ini sesuai dengan penelitian Davidovits (2008) yang menunjukkan bahwa fly ash dengan pH

(11)

34 Universitas Kristen Petra diatas 11 akan mengalami flash setting dan umumnya hal ini terjadi pada fly ash kalsium tinggi.

4.3 Hasil Pengujian Kuat Tekan

Pengujian kuat tekan sampel mortar dilakukan pada usia 7 dan 28 hari berdasarkan ASTM C109M-02 (2007). Alat yang digunakan adalah Universal

Testing Machine di Laboratorium Beton dan Konstruksi, Universitas Kristen

Petra.

4.3.1 Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS) dan F(HS)P (Tahap 1)

Gambar 4.11 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS)

Diagram hasil kuat tekan mortar geopolimer untuk prosedur konvensional yaitu FP(HS) dapat dilihat pada Gambar 4.11. Pada prosedur tersebut dilakukan variasi terhadap perbandingan alkali activator dengan perbandingan

water-to-binder ditetapkan sebesar 0.35. Prosedur ini menghasilkan mortar yang mengeras

dengan cepat sehingga proses penyampuran hanya dapat dilakukan selama 1-2 menit saja.

Sedangkan Gambar 4.12 adalah diagram hasil kuat tekan mortar geopolimer untuk prosedur F(HS)P. Prosedur ini sedikit berbeda dengan prosedur

(12)

35 Universitas Kristen Petra FP(HS) dimana pada prosedur F(HS)P, pasir dimasukkan terakhir kali sedangkan pada prosedur FP(HS) pasir telah dicampur terlebih dahulu dengan fly ash. Pada prosedur ini juga dilakukan variasi terhadap perbandingan alkali activator dengan perbandingan water-to-binder tetap sebesar 0.35. Prosedur ini juga menghasilkan mortar yang mengeras dengan cepat sesaat setelah pasir dimasukkan dalam campuran sehingga proses pencampuran hanya dilakukan selama 1-2 menit.

Gambar 4.12 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur F(HS)P

Berdasarkan kedua prosedur di atas, variasi perbandingan alkali activator memberikan hasil kuat tekan yang bervariasi. Hasil kuat tekan tertinggi untuk kedua prosedur tersebut sama-sama didapatkan pada perbandingan alkali

activator sebesar 1.0, yaitu sebesar 71.6 MPa untuk prosedur FP(HS) dan 65.1

MPa prosedur F(HS)P. Kuat tekan menurun 10 – 23% pada perbandingan sebesar 0.5, yaitu komposisi yang paling banyak kandungan NaOH-nya. Sampel yang dihasilkan juga menimbulkan bercak putih pada permukaan sampel mortar. Hal ini kemungkinan disebabkan karena jumlah kandungan OH- yang berlebih dan menghambat proses geopolimerisasi. Selain itu, kuat tekan juga menurun secara bertahap dengan bertambahnya rasio perbandingan alkali activator. Selain itu, kuat tekan juga menurun 20 – 35% secara bertahap dengan bertambahnya rasio perbandingan alkali activator. Hal ini dimungkinkan karena sodium silikat yang berlebihan bisa menghambat proses geopolimerisasi juga (Barbosa et al., 1999).

(13)

36 Universitas Kristen Petra Walaupun terjadi penambahan kuat tekan seiring berjalannya waktu, namun laju penambahan kuat tekan tiap perbandingan alkali activator yang dihasilkan beragam. Penambahan kuat tekan yang paling signifikan terjadi pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 1.0 untuk prosedur FP(HS) dan F(HS)P. Hal ini dapat diindikasi adanya proses hidrasi di samping proses geopolimerisasi. Penelitian yang dilakukan Hardjito & Tsen (2008) menunjukkan penggunaan alkali activator berupa potasium silikat dan potasium hidroksida menghasilkan kuat tekan tertinggi pada rentang perbandingan potasium silikat dan potasium hidroksida sebesar 0.8–1.5. Laju penambahan kuat tekan paling rendah sama-sama terjadi pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 2.5. Penambahan kuat tekan yang rendah dapat terjadi karena senyawa silika dan alumina yang terkandung dalam fly ash terlarut segera setelah bertemu dengan

alkali activator sehingga hal tersebut mempercepat proses geopolimerisasi (Morsy

et al., 2014).

4.3.2 Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP (Tahap 1)

Gambar 4.13 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP

Hasil kuat tekan mortar geopolimer untuk prosedur (FH)SP dapat dilihat pada Gambar 4.13. Prosedur ini menghasilkan mortar yang mudah dikerjakan dibandingkan dengan prosedur FP(HS) dan F(HS)P. Pada prosedur ini juga dilakukan variasi terhadap perbandingan alkali activator dengan perbandingan

(14)

37 Universitas Kristen Petra

water-to-binder dibuat tetap sebesar 0.35. Mortar mengalami kenaikan kuat tekan

seiiring berjalannya waktu antara 7 dan 28 hari. Awalnya kuat tekan tertinggi didapatkan pada mortar perbandingan alkali activator sebesar 1.0 ketika umur 7 hari, namun kuat tekan meningkat signifikan ketika umur 28 hari pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 0.5 yaitu 61.2 MPa.

Penambahan kuat tekan yang dihasilkan pada prosedur ini beragam dan relatif cukup signifikan. Penambahan kuat tekan dari umur 7 hari ke 28 hari yang paling signifikan terjadi pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 0.5, yaitu penambahan kekuatan sebesar 30%. Sedangkan, penambahan kuat tekan seiring bertambahnya umur beton yang paling rendah terjadi pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 1.0, yaitu kuat tekan hanya bertambah 9%.

Selain itu, kuat tekan mortar pada usia 28 hari mengalami penurunan seiring dengan peningkatan perbandingan alkali activator yaitu sebesar 61.2 MPa pada perbandingan alkali activator 0.5 dan 44.4 MPa pada perbandingan alkali

activator 3.0. Dengan kata lain, semakin tinggi jumlah larutan sodium silikat

maka kuat tekan yang dihasilkan menurun. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang telah dilakukan Lazarescu et al. (2017) yang mengatakan bahwa peningkatan sodium silikat dengan menggunakan low calcium fly ash akan meningkatkan kuat tekannya, dikarenakan tambahan senyawa Si akan mempengaruhi proses geopolimerisasi. Pertentangan tersebut dapat disebabkan karena penelitian tersebut menggunakan material dasar low calcium fly ash dan tidak menyamakan kandungan air pada setiap perbandingan alkali activator. Namun, penelitan Morsy et al. (2014) yang menggunakan low calcium fly ash, menunjukkan bahwa kuat tekan akan menurun apabila sodium silikat berlebih karena akan menghalangi proses penguapan air dan formasi struktur.

4.3.3 Perbandingan Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS) dan F(HS)P (Tahap 1)

Dapat dilihat bahwa prosedur FP(HS) dan F(HS)P memiliki kesamaan dan perbedaan. Kesamaan terletak pada alkali activator yang dicampur terlebih dahulu sedangkan perbedaannya terletak pada urutan waktu penyampuran pasir. Hasil perbandingan dari kedua prosedur ini dapat dilihat pada Gambar 4.14 dan

(15)

38 Universitas Kristen Petra menunjukkan hasil yang cukup beragam untuk setiap variasi perbandingan alkali

activator. Pada perbandingan alkali activator sebesar 0.5, 2.5 dan 3.0 terlihat

bahwa kuat tekan mortar prosedur F(HS)P sedikit lebih tinggi dibanding prosedur FP(HS), sedangkan pada perbandingan alkali activator sebesar 1.0 dan 2.0 menunjukkan bahwa kuat tekan mortar prosedur FP(HS) sedikit lebih tinggi dibanding prosedur F(HS)P.

Namun, selisih hasil kuat tekan antara kedua prosedur ini tidak berbeda secara signifikan. Kuat tekan tertinggi pada umur 7 dan 28 hari untuk kedua prosedur ini sama-sama dihasilkan pada perbandingan alkali activator sebesar 1.0 dan mengalami penurunan kekuatan apabila perbandingan alkali activator kurang dari atau lebih besar dari 1.0.

Gambar 4.14 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS) dan F(HS)P

4.3.4 Perbandingan Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP dan F(HS)P (Tahap 1)

Prosedur (FH)SP dan F(HS)P membiarkan fly ash bereaksi dengan alkali

activator terlebih dahulu sebelum dicampur dengan pasir. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa tidak ada kemungkinan pasir menyerap alkali activator dan terjadi reaksi geopolimerisasi sepenuhnya pada fly ash pada tahap awal penyampuran. Dari segi kelecakan tentunya prosedur (FH)SP lebih mudah

(16)

39 Universitas Kristen Petra dikerjakan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dibandingkan dengan prosedur F(HS)P yang mengalami flash setting. Hal tersebut didukung dengan hasil initial setting time yang terlihat pada Gambar 4.9.

Pada Gambar 4.15 terlihat bahwa dari segi kuat tekan, mortar dengan prosedur F(HS)P menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi dibandingkan prosedur (FH)SP terkecuali pada perbandingan alkali activator sebesar 0.5 dimana kuat tekan mortar pada umur 28 hari prosedur (FH)SP lebih tinggi dari pada prosedur F(HS)P. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Erlando et al. (2018) dimana metode FP(HS) menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi.

Gambar 4.15 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP dan F(HS)P

4.3.5 Kuat Tekan dari Mortar Geopolimer Tiap Prosedur dengan Perbandingan Water-to-Binder Sebesar 0.25 dan 0.45 (Tahap 2)

Pada tahap kedua ini, variasi water-to-binder ratio dilakukan untuk mengamati pengaruhnya terhadap kuat tekan mortar yang dihasilkan. Variasi

water-to-binder ratio diterapkan pada prosedur yang umum dilakukan yaitu

FP(HS) dan metode yang memiliki initial setting time lebih lama yaitu (FH)SP. Variasi perbandingan alkali activator ditetapkan sebesar 0.5, 1.0 dan 2.0. Hal ini disebabkan karena puncak kuat tekan mortar tertinggi dihasilkan pada

(17)

40 Universitas Kristen Petra perbandingan alkali activator sebesar 1.0 untuk prosedur FP(HS) dan sebesar 0.5 untuk prosedur (FH)SP.

Gambar 4.16 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP dengan Variasi Water-to-Binder

Pada Gambar 4.16 dapat dilihat perbandingan kuat tekan mortar geopolimer pada prosedur (FH)SP dengan water-to-binder ratio sebesar 0.25, 0.35 dan 0.45. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan water-to-binder ratio yang berbeda peningkatan kuat tekan tetap terjadi seiring bertambahnya umur. Hasil lain yang diperoleh yaitu dengan water-to-binder ratio yang lebih rendah menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi baik di umur 7 maupun 28 hari. Hal ini terjadi dikarenakan semakin tinggi kadar air dalam suatu beton akan menurunkan kuat tekannya.

Kuat tekan mortar geopolimer umur 28 hari yang dihasilkan menunjukkan bahwa untuk water-to-binder ratio yang berbeda maka kuat tekan tertinggi sama-sama dihasilkan pada mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 0,5. Semakin tinggi perbandingan alkali activator, kuat tekan yang dihasilkan semakin menurun. Penurunan kuat tekan dengan meningkatnya perbandingan alkali

activator terjadi secara signifikan seiring dengan water-to-binder ratio yang

semakin rendah. Dalam kata lain, water-to-binder ratio yang rendah, perbedaan kuat tekan untuk variasi perbandingan alkali activator tidak signifikan.

(18)

41 Universitas Kristen Petra Pada Gambar 4.17 dapat dilihat perbandingan kuat tekan mortar geopolimer pada prosedur FP(HS) dengan water-to-binder ratio sebesar 0.25, 0.35 dan 0.45. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan water-to-binder ratio yang berbeda peningkatan kuat tekan tetap terjadi seiring bertambahnya umur antara 7 dan 28 hari. Hasil lain yang diperoleh yaitu dengan water-to-binder ratio yang lebih rendah menghasilkan kuat tekan yang lebih tinggi baik di umur 7 maupun 28 hari. Hal ini terjadi dikarenakan semakin tinggi kadar air dalam suatu beton akan menurunkan kuat tekannya. Kuat tekan yang tertinggi sama-sama dihasilkan pada perbandingan alkali activator sebesar 1.0.

Gambar 4.17 Perbandingan Kuat Tekan Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS) dengan Variasi Water-to-Binder

4.4 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer

Pada penelitian tahap pertama, kami membuat 1 sampel mortar geopolimer berbentuk silinder ukuran diameter 6 cm dengan tinggi 12 cm untuk setiap komposisi campuran sebagai sampel tampilan fisik. Tujuan dibuatnya sampel ini yaitu untuk menunjukkan kondisi mortar geopolimer yang telah dibuat dan akan diamati apakah terjadi perubahan tampilan fisik dari umur 7 hari hingga umur 28 hari. Hasil pengamatan tampilan fisik pada umur 7 hari maupun 28 hari menunjukkan hasil yang sama. Gambar 4.18 hingga Gambar 4.20 menunjukkan tampilan fisik mortar geopolimer yang telah dibuat.

(19)

42 Universitas Kristen Petra Gambar 4.18 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer Prosedur (FH)SP,

Water-to-Binder 0.35 dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator

Gambar 4.19 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer Prosedur FP(HS),

Water-to-Binder 0.35 dengan Variasi Perbandingan Alkali Activator

Gambar 4.20 Tampilan Fisik Mortar Geopolimer Prosedur F(HS)P,

(20)

43 Universitas Kristen Petra Ada 2 variasi tampilan fisik yang ditunjukkan oleh sampel, yaitu munculnya bercak putih pada permukaan silinder dan permukaan silinder yang mengkilap. Pada penelitian tahap pertama diperoleh hasil bahwa sampel berbentuk silinder yang kami buat menunjukkan berbagai variasi perbedaan yang dipengaruhi oleh prosedur penyampuran dan perbandingan alkali activator.

Tampilan fisik yang menunjukkan bercak putih pada permukaan ditemukan pada berbagai prosedur penyampuran mortar geopolimer. Namun kadar bercak putih yang terdapat pada permukaan mortar juga bervariasi bergantung pada perbandingan alkali activator yang digunakan. Bercak putih ditunjukkan pada sampel yang menggunakan prosedur penyampuran FP(HS) dengan perbandingan

alkali activator sebesar 0.5, 1 dan 2 dimana perbandingan alkali activator sebesar

0.5 menghasilkan bercak putih paling banyak seperti terlihat pada Gambar 4.22. Mortar prosedur penyampuran (FH)SP juga menunjukkan bercak putih di permukaannya pada perbandingan alkali activator sebesar 0.5 dan 1 untuk

water-to-binder 0.35, Sementara itu, pada prosedur F(HS)P juga ditemukan bercak putih

pada permukaan mortar dengan perbandingan alkali activator sebesar 0.5, 1 dan 2. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin rendah perbandingan alkali

activator kemungkinan muncul bercak putih semakin besar dikarenakan jumlah

larutan sodium silikatnya sedikit dan larutan NaOH yang lebih banyak sehingga natrium yang tidak mengalami geopolimerisasi akan terbawa oleh air yang menguap dan tertinggal di permukaan mortar.

Permukaan silinder yang mengkilap dan tidak muncul bercak putih ditemukan pada perbandingan alkali activator sebesar 2.5 dan 3 untuk prosedur FP(HS) dan F(HS)P. Sedangkan pada prosedur (FH)SP, silinder tidak muncul bercak putih pada perbandingan alkali activator sebesar 2, 2.5 dan 3. Permukaan mengkilap ini diakibatkan oleh jumlah larutan sodium silikat yang lebih banyak dari larutan NaOH sehingga natrium seluruhnya mengalami geopolimerisasi.

4.5 Foto Scanning Electron Microscopy (SEM)

Hasil foto SEM menunjukkan kondisi mortar geopolimer secara mikrostruktur. Pengujian foto SEM dilakukan pada sampel mortar geopolimer prosedur FP(HS) dan (FH)SP dengan water-to-binder ratio 0.35 untuk

(21)

44 Universitas Kristen Petra perbandingan alkali activator sebesar 0.5, 1.0, dan 2.5. Gambar 4.21 menunjukkan hasil foto SEM sampel yang telah dilakukan.

(a) (FH)SP – 0.5 (b) FP(HS) – 0.5

(c) (FH)SP – 1.0 (d) FP(HS) – 1.0

(e) (FH)SP – 2.5 (f) FP(HS) – 2.5 Gambar 4.21 Hasil Foto SEM Prosedur (FH)SP dan FP(HS)

Secara keseluruhan, prosedur FP(HS) memiliki rongga udara (void) yang lebih banyak dibandingkan dengan prosedur (FH)SP. Hal ini diduga karena pada saat penyampuran, prosedur FP(HS) mengalami flash setting sehingga pemadatan tidak terjadi dengan baik dan mengakibatkan lebih banyak udara yang terjebak

(22)

45 Universitas Kristen Petra dalam mortar. Pada perbandingan alkali activator (S/N) sebesar 0.5 dan 1.0 terlihat sudah banyak fly ash yang bereaksi. Semakin banyak sodium silikat yang digunakan maka semakin banyak fly ash tidak bereaksi seperti terlihat pada perbandingan alkali activator 2.5.

Pada prosedur (FH)SP banyak fly ash yang masih terlihat seperti bola-bola yang tidak reaktif dan memiliki permukaan yang kasar. Hal ini dimungkinkan karena saat fly ash bertemu dengan NaOH terlebih dahulu, maka NaOH akan merusak fly ash sebelum bereaksi dengan campuran lainnya. Berbeda halnya dengan prosedur FP(HS), dimana pada prosedur ini fly ash yang tidak reaktif masih halus mengkilap yang diduga karena NaOH sudah bereaksi terlebih dahulu dengan sodium silikat sebelum merusak fly ash.

Gambar

Gambar 4.1 Fly Ash Paiton  Gambar 4.2 Pasir Silika
Gambar 4.3 Larutan Sodium Silikat    Gambar 4.4 Sodium Hidroksida
Gambar 4.6 Grafik Hasil Analisa Ayakan Pasir Silika
Tabel 4.3 Hasil Analisa Padatan NaOH
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2) Kepala Sekretariat dan Kepala Seksi BPBD Kabupaten Bulungan diangkat dan diberhentikan oleh Bupati atas usul SEKDA dari Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat sesuai

Model Kesuksesan Sistem Informasi DeLone dan McLean merupakan model penelitian yang mengukur kesuksesan sebuah sistem informasi dari tiga aspek yaitu kualitas

Sebelum melaksanakan penelitian tindakan kelas maka peneliti terlebih dahulu mempersiapkan perangkat yang akan digunakan dalam pembelajaran diantaranya : Rencana

Presiden India dan Presiden Republik Indonesia, dengan keinginan untuk memperkuat tali perdamaian dan persahabatan, jang selalu terdapat diantara kedua Negara, serta

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sintya dkk (2015) menyimpulkan bahwa: (i) konflik peran berpengaruh negatif terhadap komitmen organisasi; (ii) kelelahan emosional

Rapat Pre-Bid Meeting dibuka oleh Ketua Pokja Pengadaan Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Wilayah II Provinsi Sumatera Utara.. Rapat ini dilaksanakan untuk menginformasikan

Dalam Renstra ini akan dipaparkan semua aspek strategis yang akan dicapai oleh FMIPA Unesa, meliputi: (1) mengembangkan tridarma perguruan tinggi dalam bidang

Dasar-dasar Audit Internal Sektor Publik, Tim Penyusun Modul Program Pendidikan Non Gelar Auditor Sektor Publik STAN Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)