• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompensasi

Masalah kompensasi bukanlah masalah yang sederhana, tapi cukup kompleks sehingga setiap negara hendaknya dapat mempunyai suatu pedoman bagaimana menetapkan kompensasi yang tepat tersebut. Kompensasi adalah balas jasa yang diberikan negara kepada warganya yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai kecenderungan dibentuk secara tetap (Sukirno 2004). Pendapat lain tentang kompensasi tersebut adalah sebagai berikut: Kompensasi adalah salah satu yang diterima warga sebagai balas jasa atas kerja mereka (Deliarnov 1995).

Kompensasi tidak sama dengan upah, dapat juga berupa tunjangan in natura, fasilitas perumahan, fasilitas kendaraan dan masih banyak yang lain yang dapat dinilai dengan uang dan cenderung diterima secara tetap. Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang menjadi karyawan. Tapi, masalah kompensasi ini penting juga karena kompensasi diberikan sehingga besar pengaruhnya terhadap keinginan orang untuk bekerja.

Kompensasi mencakup juga penghargaan-penghargaan tidak langsung, baik finansial maupun non finansial, seperti tunjangan dan pelayanan terhadap karyawan. Yang termasuk dalam tunjangan adalah pensiun, uang pesangon, tunjangan kesehatan, asuransi kecelakaan kerja dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk pelayanan karyawan dapat berupa majalah perusahaan, sarana olahraga, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan, kendaran dan sebagainya. Tunjangan dan pelayanan dapat memenuhi kebutuhan dan fungsi penting antara lain menghindarkan resiko dan rasa sakit, kecelakaan dan pengangguran.

Adapun jenis tunjangan dan pelayanan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian: (Sukirno 2004).

• Jaminan rasa aman karyawan. Seperti membuat kondisi kerja aman, melakukan kegiatan pencegahan kecelakaan, asuransi dan lain-lain.

• Gaji dan upah yang dibayarkan pada saat karyawan tidak dapat bekerja seperti hari-hari sakit, liburan dan cuti atau alasan lain.

(2)

• Program pelayanan seperti program rekreasi, perumahan, Cafetaria, fasilitas kendaraan , biasiswa dan lain-lain.

2.2 Gaji dan Upah

Terdapat perbedaan pengertian antara gaji dan upah, gaji diterima oleh tenaga-tenaga manajerial dan tata usaha (crictical worker) atas sumbangan jasanya, yang menerima uang dalam jumlah yang tetap berdasarkan tarif mingguan, bulanan dan tahunan. Sedangkan upah diterima oleh buruh dan karyawan operasional atas sumbangan jasanya yang dihitung berdasarkan tarif perjam, harian atau persatuan produk.

Upah menurut dewan pengupahan nasional adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberian pekerjaan atau jasa atau yang telah dan akan dilakukan. Upah juga dapat diartikan sebagai imbalan yang diterima seseorang didalam hubungan kerja yang dapat berupa uang atau barang melalui suatu perjanjian kerja. Sedangkan upah menurut undang-undang kecelakaan tahun 1974 pasal 7 ayat A dan B adalah: (Sukirno 2004)

• Tiap-tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan.

• Perumahan, makanan, bahan makanan dan pakaian dengan percuma yang nilainya ditaksir menurut harga umum.

Ada beberapa macam sistem pembayaran upah, sistem pembayaran tersebut terdiri dari:

1. Sistem Gaji / Upah Bulanan

Untuk menghitung upah yang akan diberikan kepada pekerja bulanan tidaklah begitu sulit, karena upah atau gaji bulanan telah ditetapkan setiap bulan dan begitu juga kalau ada tunjangan-tunjangan juga telah ditentukan besarnya. Kalaupun ada peningkatan gaji atau upah bulanan ini pada perusahaan, maka besar penghasilan para tenaga kerja juga telah ditentukan Untuk setiap bulannya.

2. Sistem Gaji / Upah Harian

Dalam memberikan balas jasa kepada pekerja yang berarti bahwa para pekerja tersebut dibayar upahnya berdasarkan banyaknya hari kerja dikalikan dengan tarif atau gaji standar yang biasanya untuk tujuh jam kerja setiap hari.

(3)

A.Upah

Dalam memberikan kompensasi kepada pekerja, upah diberikan berdasarkan hasil kali produksi yang dihasilkan dengan tarif tertentu. Untuk itu di dalam memberikan kompensasi sebanding dengan kuantitas hasil produksi. Hal ini akan mendorong pekerja untuk bekerja lebih giat lagi karena semakin banyak produksi yang dihasilkan akan dapat meningkatkan jumlah upah yang diterimanya, dan upah ini masing-masing pekerja dibuat kartu upah borongan.

B.Upah ditambah Premi

Dalam pemberian kompensasi dengan sistem ini, hampir bersamaan dengan sistem upah dan perbedaannya adalah bertujuan untuk memberikan perangsang kepada pekerja sehingga dengan adanya tambahan premi ini mereka akan lebih giat lagi bekerja.

C.Upah dalam Golongan

Dalam pemberian upah sistem ini, dilakukan bukanlah berdasarkan perorangan saja, tetapi didasarkan pada sekelompok pekerja. Pada sistem ini upah yang diperoleh berdasarkan kuantitas hasil produksi yang kemudian dikalikan dengan tarif yang telah ditentukan perkilogram, lusin maupun perkodi yang kemudian dibagi rata menurut banyaknya pekerja yang bekerja dalam satu kelompok kerja tersebut dan untuk ini dibuat kartu karyawannya.

Seperti telah diuraikan terlebih dahulu di samping penghargaan langsung yang bersifat finansial. Kompensasi mencakup juga penghargan-penghargaan tidak langsung tidak langsung baik finansial maupun non finansial seperti tunjangan dan pelayanan terhadap karyawan. Yang termasuk dalam tunjangan adalah pensiun, uang pesangon, tunjangan kesehatan, asuransi kecelakaan kerja dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk pelayanan karyawan dapat berupa majalah perusahaan. Sarana olahraga, pelayanan kesehatan, fasilitas perumahan, kendaraan dan sebagainya.

2.3 Penganggur

Tak pelak lagi di antara sekian banyak masalah ekonomi, pengangguran merupakan yang paling menyakitkan, paling tidak untuk mereka yang menganggur. Tetapi bukan mereka saja yang menanggung bebannya. Lalu kenapa

(4)

ada pengangguran? Seberapa besar masalahnya dan apa jalan keluarnya? Pertama-tama apa definisi pengangguran? pengangguran adalah orang yang ingin bekerja tetapi tidak mendapat pekerjaan. Selanjutnya akan dibahas biaya yang timbul dari adanya pengangguran. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengangguran adalah masalah semua orang dan bukan hanya mereka yang menganggur. Selanjutnya ditilik jenis-jenis pengangguran. Lalu dibahas beberapa penyebab timbulnya pengangguran dan terakhir keterkaitan pengangguran dengan variabel ekonomi makro khususnya inflasi. Siapa yang membayar?

Tentunya yang paling jelas menanggung ongkos pengangguran adalah si pengangguran itu sendiri. Seorang pengangguran sering mengalami kekecewaan, rendah diri dan kehilangan kepercayaan. Dan makin lama ia menganggur makin besar pula kemungkinan ia kehilangan keahliannya, yang membutuhkan ongkos banyak untuk dipulihkan. Tentunya ini bukan hanya merugikan dirinya sendiri tetapi kita semua.

Dari sudut pandang ekonomi makro pengangguran juga menimbulkan ongkos yakni:

• Hilangnya output. Seyogyannya si pengangguran dapat menghasilkan jasa, tetapi karena tidak maka PDB juga lebih rendah dari yang seharusnya. • Hilangnya pendapatan pajak. Dengan tidak bekerja, seseorang tidak

membayar pajak dan ini berarti hilangnya pendapatan bagi pemerintah. • Bagi negara yang memiliki jaminan sosial pemerintah harus mengeluarkan

dana untuk menanggung para pengangguran. Untuk negara tanpa jaminan sosial paling tidak pemerintah harus mengeluarkan dana semacam jaminan pengamanan sosial untuk menanggulangi masalah kemiskinan yang erat kaitannya dengan pengangguran.

• Pengangguran menyebabkan rendahnya daya beli yang pada gilirannya menyebabkan rendahnya penjualan perusahaan dan tentunya berdampak pada tingkat keuntungan.

Kesimpulannya pengangguran membebani kita semua dan dengan demikian adalah masalah kita semua.

(5)

Jenis-jenis Pengangguran

Paling ada empat jenis pengangguran yang sering dibahas, yakni: siklikal, musiman, friksional dan struktural. Pengangguran siklikal terjadi karena kurangnya permintaan tenaga kerja dibanding penawarannya. Karena itu pengangguran jenis ini sangat terkait dengan siklus ekonomi. Pada saat pertumbuhan ekonomi sedang tinggi akan terjadi sedikit pengangguran siklikal karena permintaan tenaga kerja akan besar. Sebaliknya pada saat pertumbuhan sedang rendah pengangguran siklikal akan naik karena rendahnya permintaan tenaga kerja. Di samping itu pada saat pertumbuhan rendah atau bahkan pada saat resesi akan terjadi pengurangan pegawai yang tentunya menambah jumlah pengangguran.

Pengangguran musiman dengan mudah dapat dilihat pada pasar buruh tani. Pada saat musim tanam atau musim panen akan banyak buruh diperkerjakan dan di antara kedua musim ini mereka menganggur. Fenomena yang sama juga dapat dilihat pada pekerja di sektor jasa lainnya seperti hotel, restoran, dan produk-produk yang terkait dengan perayaaan-perayaan tertentu.

Pengangguran friksional terjadi saat seorang berhenti bekerja dan belum mendapat pekerjaan baru. Jika ia beruntung maka dengan cepat ia dapat memperoleh pekerjaan baru, atau “waktu tunggu”-nya pendek. Makin efisien suatu pasar tenaga kerja maka “waktu tunggu” rata-rata akan makin pendek. Faktor utama yang mempengaruhi panjangnya “waktu-tunggu” ini adalah informasi. Selain itu secara umum makin tinggi pertumbuhan ekonomi makin pendek pula “waktu-tunggu” ini karena tingginya permintaan berarti makin cepat seseorang mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

Jenis ke-empat adalah pengangguran struktural. Hal ini terjadi pada saat terjadi perubahan struktur industri atau perekonomian pada umumnya. Misalnya di Indonesia terjadi perubahan struktural dari suatu perekonomian yang didominasi sektor pertanian ke sektor industri. Dengan demikian terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri. Tetapi perpindahan tidak selalu mulus. Dan di saat peranan sektor pertanian mulai menyurut terdapat pelepasan tenaga kerja yang tidak semuanya langsung diserap sektor industri.

(6)

Pada umumnya pengangguran struktural dipengaruhi tiga hal, yakni: mobilitas tenaga kerja, kecepatan perubahan struktural itu sendiri dan aspek regional dari perubahan struktural. Jika mobilitas tenaga kerja tinggi, misalnya karena pendidikan yang cukup baik, maka pergerakan tenaga kerja antar sektor dapat berlangsung lebih cepat dan ini meminimalkan pengangguran struktural. Kecepatan perubahan struktural juga berpengaruh. Misalnya perubahan terjadi sangat cepat, maka para pekerja juga akan mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi. Aspek regional juga sangat berperan. Sebagai contoh adalah penurunan peranan sektor pertanian yang terjadi di Jawa Tengah akan menyebabkan pengangguran struktural (paling tidak sementara) karena peningkatan peranan sektor industri yang utama terjadi di Jawa Barat. Dengan demikian terjadi biaya dan waktu tambahan bagi mereka yang tadinya bekerja di sektor pertanian di Jawa Tengah untuk berpindah menjadi buruh industri di Jawa Barat.

2.4 Pekerja

Aktivitas suatu produksi tidak akan terlepas dari tenaga kerja, karena pekerja adalah orang atau kelompok yang melakukan aktifitas di sektor produksi. Oleh sebab itu, penempatan tenaga kerja harus benar-benar dapat mendorong mereka untuk dapat bekerja lebih giat lagi dengan tujuan yang telah ditetapkan perusahaan.

Dalam hal ini peranan manajemen personalia akan semakin penting dalam mempelajari dan mengembangkan berbagai jalan agar manusia bisa diintegrasikan secara efektif ke dalam berbagai organisasi yang diperlukan masyarakat. Hal ini menggambarkan akan semakin kuatnya permintaan untuk memperhatikan manusia.

Defenisi etos kerja sudah banyak dikemukakan oleh para ahli namun defenisi etos kerja tersebut mempunyai pengertian dan maksud yang sama, yaitu: Etos atau aslinya ethos adalah kata berasal dari bahasa yunani yang merupakan asal kata etika. Etos artinya watak kesusilaan atau adat. Dengan demikian etos merupakan suatu tata nilai yang diyakini, yang menjadi aturan hidup atau (sila) yang lebih baik. Etos kerja dengan demikian dapat dijabarkan sebagai tata nilai

(7)

yang diyakini, yang menjadi landasan semangat kerja. Untuk mendapatkan hasil prikehidupan yang lebih baik.

Dari uraian-uraian di atas, maka dapat ditarik sebuah defenisi yaitu: (Khasanah 2004) Etos kerja merupakan rajutan nilai-nilai yang membentuk kepribadian seseorang dalam mengaktualisasikan diri dalam bentuk kerja. Rajutan nilai-nilai tersebut dapat mencakup nilai sosial, agama, budaya serta lingkungan dimana anda selama ini banyak melakukan interaksi hidup.

Selain itu pengertian etos kerja yaitu: Merupakan refleksi dari sikap hidup yang mendasar yang bersumber dari nilai-nilai tersebut yang diwujudkan dalam bentuk kegairahan kerja.

Menurut Herell bahwa etos kerja itu adalah:

• Kerja keras, dimana dalam hal ini dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan rasa percaya dan hemat.

• Persepsi Untuk tercapainya kehidupan yang baik, dengan kata lain insentif untuk bekerja keras secara langsung berhubungan dengan martabat sosial dan jaminan masa depan.

• Adanya orientasi jangka panjang dalam unit-unit ekonomi dalam meningkatkan kesejahtaraan keturunan.

Jadi pendapat Herell tersebut, dapat disimpulkan bahwa etos kerja itu adalah: suatu nilai budaya yang menurut seseorang menginvestasikan sumber-sumber dayanya dalam usaha jangka panjang guna meningkatkan kesejahteraan materi dan meningkatkan martabat sosialnya. Berdasarkan definisi di atas, dapat dilihat bahwa etos kerja itu merupakan perwujudan sikap seseorang dalam melakukan pekerjaan dengan kemauan dan memperhatikan nilai-nilai serta aturan yang berlaku dalam perusahaan sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik.

Etos kerja mempunyai pengaruh dengan semangat dan bergairahnya karyawan dalam melakukan pekerjaannya sehingga hasil yang dicapai juga akan dapat meningkat baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Dalam konteks pembicaraan etos kerja di dalam organisasi perusahaan, maka etos kerja yang dimaksud adalah keyakinan bersama, bahwa setiap karyawan harus dapat

(8)

memberikan pekerjaan atau karya terbaiknya untuk perusahaan, sehingga pada akhirnya perusahaan dapat memberikan karya terbaiknya.

Dalam GBHN 1988 dinyatakan bahwa manusia Indonesia, harus memilki sifat antara lain tangguh, cerdas, terampil mandiri dan memilki rasa kesetiakawanan, kerja keras, hemat, produktif, berdisiplin serta berorientasi kemasa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Semangat etos kerja, harus dapat disebarluaskan untuk memperoleh manfaat antara lain:

• Menjamin hasil kerja dengan kualitas yang baik.

• Membuka seluruh komunikasi, keterbukaan, cepat menemukan kesalahan dengan cepat memperbaikinya.

• Cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dari luar.

• Mengurangi laporan yang berupa data dan informasi yang salah atau palsu. Peningkatan produktivitas juga suatu hal yang harus diperhatikan oleh Pimpinan perusahan, ini menggambarkan bahwa perusahaan tersebut berusaha untuk maju. Hal ini dapat dilakukan apabila perusahaan juga mempunyai usaha atau cara untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja sebagai pelaksana, untuk berproduksi dan juga dengan cara memberikan motivasi yang cukup.

Untuk itu di sini perlu kiranya kita parhatikan sifat-sifat etika yang harus dikembangkan dalam etos kerja menurut Weber adalah: (Abdullah 1997).

• Sifat bertanggung jawab. • Jujur dalam perbuatan. • Lingkungan Kerja.

Menurut Khasanah (1995) adalah: Dalam melaksanakan Kegiatan operasionalnya perusahaan faktor lingkungan kerja merupakan suatu hal yang harus diperhatikan oleh pihak perusahaan. Dimana lingkungan kerja itu sendiri adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.

Pengertian di atas menggambarkan bahwa lingkungan kerja mempunyai pengaruh yang besar bagi pekerja dalam menjalankan tugas-tugasnya. Oleh karena itu perusahaan harus mengusahakan agar faktor-faktor yang termasuk

(9)

dalam lingkungan kerja diperhatikan secara baik sehingga mempunyai pangaruh yang positif bagi produktivitas kerja karyawannya.

Dari uraian di atas jelas bahwa lingkungan kerja bila tidak diperhatikan akan berakibat negatif pada produktivitas kerja karyawan. Misalnya banyaknya kecelakaan kerja terjadi disebabkan oleh potongan-potongan kayu atau logam atau mungkin juga tumpahan minyak.

Sebaliknya suasana lingkungan kerja yang menyenangkan akan dapat mempengaruhi pekerjaan. Seperti suasana kerja yang tenang, yaitu bekerja sambil diiringi musik yang merdu, hal itu bisa menyenangkan hati para pekerja, tapi lebih dari itu misalnya kebersihan, penerangan, ventilasi dan masih banyak yang lain akan mempengaruhi lingkungan tempat kerja. Banyak perusahaan yang mengabaikan masalah-masalah yang dianggap kecil dalam lingkungan tempat bekerja padahal sebenarnya mempunyai pengaruh cukup besar dalam lingkungan tersebut .

2.5 Kesejahteraan Ekonomi

Ada dua pendekatan yang dapat diambil terhadap kesejahteraan ekonomi, yaitu pendekatan Neo-Klasik dan pendekatan kesejahteraan ekonomi yang baru. Pendekatan Neo-klasik telah dikembangkan oleh Pigou, Bentham, Sidgwich, Edgeworth, dan Marshall. Pendekatan Neo-Klasik berasumsi bahwa nilai guna merupakan kardinal dan konsumsi tambahan itu menyediakan peningkatan yang semakin kecil dalam nilai guna. Pendekatan Neo-Klasik lebih lanjut berasumsi bahwa semua individu mempunyai fungsi nilai guna yang serupa, oleh karena itu hal tersebut mempunyai makna untuk membandingkan nilai guna individu dengan nilai guna milik orang lain. Oleh karena asumsi ini, hal tersebut memungkinkan untuk membangun suatu fungsi kesejahteraan sosial dengan hanya menjumlahkan seluruh fungsi nilai guna individu.

Pendekatan kesejahteraan ekonomi yang baru didasarkan pada yang dikerjakan oleh Pareto, Hicks, Kaldor, Boulding, Arrow, Robbin, Scitovsky, Galbrairh dan Sen. Pendekatan kesejahteraan ekonomi yang baru dengan tegas mengenalkan perbedaan antara bagian efisiensi dari disiplin dan bagian distribusi serta memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Pertanyaan dari efisiensi

(10)

ditaksir dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi Pareto dan uji kompensasi Kaldor-Hicks, sedangkan pertanyaan dari distribusi pendapatan dicakup di dalam spesifikasi fungsi kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, efisiensi tidak perlu memerlukan ukuran kardinal nilai guna, nilai guna ordinal adalah cukup untuk analisis ini. Banyak titik-tolak pemikiran ekonomi dapat diambil untuk membahas masalah welfare (kesejahteraan) dan welfare economics (ilmu ekonomi yang berorientasi kesejahteraan).

The American Economics Association yang menempatkan Kenneth Boulding sebagai salah satu pemikir ekonomi kontemporer pada waktu itu, bersejajaran dengan tokoh-tokoh lain seperti John Kenneth Galbraith, ragnar Nurkse, Paul A. Samuelson, Wassly Lointief, Mozez Abramoritz, Andreas Papandreou, Norman Buchanan, Paul Baran dan Milton Friedman. Lebih dari setengah abad yang lalu, Howard S. Ellis dari University of California, Berkeley selaku editor menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economic I yang disponsori oleh The American Economics II terbit pula dengan editor Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University, yang juga disponsori oleh the American Economics Association. Kedua jilid buku ini sebagai kesatuan boleh dibilang merupakan karya monumental dalam pemikiran ekonomi. Setengah abad yang lalu itu masih dengan tegas dikatakan oleh Kenneth Boulding bahwa the subject matter of welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus didekati dari konsep harta atau “riches” ekonomi (Scitovsky 1996).

Setelah dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara welfare and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky mengemukakan melalui bukunya yang terkenal Welfare and Competition, bahwa competition memiliki berbagai kelemahan (shortcomings). Bila kaum ekonom menganggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), tugas negara adalah mengobati kelemahan-kelemahan yang ada pada diri competition demi menjamin welfare. Negara, menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust legislation dan menolak aggressive competition yang bertujuan menegakkan monopoli. Namun ia

(11)

pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol oleh negara.

Setelah Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare economics-nya Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian menegaskan bahwa welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an sich perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi memang memberikan kontribusi kepada human welfare berdasar kriteria bahwa pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu orde sosial ekonomi yang hidup di dalam masyarakat. Namun bagi Prof. Baran, posisi welfare economics yang mengundang perdebatan teoritikal dan moral sesungguhnya terletak pada melencengnya orde sosial ekonomi dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih utuh dan mulia, dimana hubungan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada masyarakat kapitalis (yang mendewakan self interest, perfect individual liberty, consumers’ sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi tercapainya well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat yang utuh, yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan psikis (mental and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology kapitalis yang melumpuhkan masyarakat miskin….”. Pada kesempatan ini Baran sempat mengungkit keheranannya terhadap sikap John Stuart Mill, Alfred Marshall, K. Wicksell dan A.C. Pigou yang terganggu oleh munculnya keraguan terhadap “the visible hand”. Baran memuji F. Bastiat dan J.B. Clark yang menempatkan welfare berdasar stelsel laissez faire sebagai “iron low” yang mengabaikan noble sentiments dan high ethical standards para protagon yang menghendaki prinsip-prinsip ekonomi yang sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran, mengundang suatu pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new economics”-nya Keynes, meskipun dilihat oleh Baran sebagai dasar-dasar perencanaan untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme, telah menegaskan tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya mekanisme built in untuk menjaga aggregate effective demand dalam mempertahankan full employment. Namun Keynes tidak melihat kemerosotan aggregate demand itu sebagai masalah struktural dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.

(12)

Kita perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz, bahwa “….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects are not equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi bermula dari, dan relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan kesejahteraan ekonomi dalam jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu tidaklah sama). Dengan penegasannya ini ia sepaham dengan Clark. Sampai saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan saat ini banyak di antara kita yang berbicara mengenai growth namun mengabaikan economic welfare pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal welfare).

Pandangan mengenai welfare economics, substansi dan dimensinya terus makin berkembang, diawali antara lain oleh Robert A. Dahl dan Charles A. Lindblom dalam buku Politics, Political Economics and Welfare. Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai apakah welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah harus mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics berlandaskan pada ilmu ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah berdasar pada proposisi “what there is” atau “what there ought to be “. Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu ekonomi adalah menentukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi yang telah ditentukan secara politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu adalah dalam tatarannya sebagai social preference dan social choice.

Makna welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi, menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan Lindblom membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih luas, suatu yang open ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom konvensional. Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah Amartya Sen mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and Economics dan demikian pula Amitai Etziomi, seorang sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral Dimensions: Toward a New Economics.

(13)

2.6 Model Ekonomi dan Pengangguran

Model tradisional pengangguran dan ekonomi mempertimbangkan suatu interaksi pengangguran dan ekonomi. Pembahasan pakar ekonomi dalam model tradisional pengangguran dan ekonomi, umumnya banyak yang membahas dampak negatif pengangguran terhadap ekonomi. Tetapi model tersebut memperkenalkan beberapa hipotesis dasar sebagai pijakan dalam model pemberian kompensasi bagi pengangguran untuk mencapai kesejahteraan ekonomi.

Didefinisikan dalam model tradisional ekonomi tingkat inflasi dilambangkan π(t) (turunan dari P /& P, di mana P adalah harga). Versi expectations augmented dari Philip mengasumsikan hubungan tingkat inflasi, dengan tingkat tarif pengangguran,Nu(t) dan tingkat inflasi yang diharapkan ,πe(t). Model ditulis dalam bentuk:

), ( ) ( ) (t a bN t h e t u π π = − + (0< h≤1). Di mana a, b, h adalah parameter.

Dalam suatu negara jika tingkat inflasi yang nyata melebihi tingkat inflasi yang diharapkan, kemudian tingkat inflasi yang diharapkan cenderung naik Scitovsky (1996). Maka tingkat inflasi yang diharapkan ditetapkan dalam aturan sebagai berikut: ), ( ) ( ( ) (t j t t e π π π& = − & (0< j≤1).

Saldo nominal uang dalam suatu negara dilambangkan dengan M dan tingkat pertumbuhan saldo uang yaitu μ=M& / M.Model berisi suatu umpan balik dari inflasi ke pengangguran, yaitu:

),

( p

K

N&u =− μ− K >0

Di mana μ− menjadi tingkat keseimbangan pertumbuhan real-money. K adalah π parameter model tersebut.

Dinamika perkembangan real-money dinyatakan dalam bentuk persamaan diferensial kedua. Subtitusikan persamaan (2.2) dengan persamaan (2.1), menghasilkan: . ) 1 ( ) ( ) ( e e h j bNu a j t π π& = − + − (2.4) (2.3) (2.2) (2.1)

(14)

Persamaan (2.4) dideferensial terhadap t: . ) 1 ( ) ( u e e h j N jb t π π&& =− & + −

Subtitusi persamaan (2.5) dengan persamaan (2.1), diperoleh: e e e jbK jh j bK

jbKμ =π&& +( + − )π& + π , di mana π =π&e/ je. 2.7 Ekuilibrium

Ekuilibrium adalah suatu kumpulan variabel-variabel terpilih yang saling berhubungan (interrelated) dan disesuaikan satu dengan lainnya dengan cara sedemikian rupa, sehingga tidak ada kecenderungan yang melekat (inherent) dalam model tersebut untuk berubah (Chiang & Wainwright 2005).

Pernyataan terpilih menunjukkan kenyataan ada variabel yang tidak dimasukkan ke dalam model, sehingga apabila modelnya diperluas dengan memasukkan variabel tambahan maka ekuilibrium pada model semula tidak dapat digunakan lagi. Pernyataan saling berhubungan menunjukkan bahwa untuk dapat mencapai ekulibrium, semua variabel dalam model harus secara bersamaan dalam keadaan tetap. Sedangkan pernyataan melekat menunjukkan bahwa dalam mendefinisikan ekulibrium keadaan tetap variabel dalam model hanya didasarkan pada penyeimbang kekuatan internal dari model tersebut, sedangkan faktor-faktor eksternal dianggap tetap.

Pada intinya, ekuilibrium untuk suatu model tertentu adalah suatu keadaan yang mempunyai ciri tidak adanya kecenderungan untuk berubah.

2.8 Solusi Optimum

Optimasi ialah suatu proses untuk mencapai hasil yang ideal atau optimum (nilai efektif yang dapat dicapai). Untuk dapat mencapai nilai optimum, baik minimum atau maksimum tersebut, secara sistematis dilakukan pemilihan nilai variabel yang akan memberikan solusi optimum.

Misalkan fungsi f :A→ℜ (memetakan himpunan A ke himpunan bilangan nyata), maka x0Aadalah solusi optimum dari fungsi f jika dan hanya jika:

a. ∀xA,f(x0)≤ f(x) atau

(15)

b. ∀xA,f(x0)≥ f(x)

jika kondisi pertama yang dipenuhi maka x adalah solusi minimum dari fungsi f, 0 namun jika kondisi kedua yang terpenuhi maka x adalah solusi maksimum dari 0 fungsi f.

Untuk menentukan nilai optimum suatu fungsi, diberikan Teorema 2.1 dan Teorema 2.2 berikut (Stewart 1998).

Teorema 2.1 Misalkan fungsi f terdifersialkan pada interval I dan cI. c

x = akan menjadi titik maksimum atau minimum dalam I jika f'(c)=0.

Teorema 2.2 Jika fungsi f terdeferesialkan dua kali pada interval I dan c∈ maka berlaku: I

a. Jika f'(c)=0 dan '' ( )<0 c

f maka c adalah titik maksimum dari f; b. Jika f'(c)=0 dan '' ( )>0

c

f maka c adalah titik minimum dari f; c. Jika f'(c)=0 dan f ''(c)=0 maka c bukan titik maksimum atau titik

Referensi

Dokumen terkait

Pada diatas, dapat dilihat bahwa hasil fermentasi cincalok udang rebon yang dibuat dengan metode Backslopping berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air, abu,

Berdasarkan hasil penelitian karakterisasi klon Ketan Lampung Selatan memiliki pucuk daun berwarna ungu, tangkai daun berwarna ungu dan batang berwarna oranye, sedangkan

Untuk meningkatkan hasil belajar maka mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Universitas Riau perlu meningkatkan minat membaca sehingga secara tidak

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud menggambarkan secara jelas, tentang berbagai hal yang terkait dengan objek yang

Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai pentingnya kelembagaan petani untuk mendukung keberhasilan kegiatan penyuluhan dan usahatani padi sawah di wilayah kerja. Bagaimana

Agar lebih mudah melihat cakupan jaringan penguat sinyal maka lingkaran cakupan setiap titik yang terdapat pada Contoh 1 dan Contoh 2 akan dikonversi ke dalam

Dari latar belakang dan permasalahan yang ada , maka alasan dalam menganalisis Perkembangan dan Kinerja Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Pesawaran selama tahun 2008

Jamur yang dapat dikonsumsi sebagai bahan makanan saja berjumlah 11 jenis yaitu Hygroporosis aurantiaca, Marasmius sp.2, Panus conchatus, Panus sp.6, 2 jenis