• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peran pendidikan dinilai sangat strategis dalam memberikan perubahan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peran pendidikan dinilai sangat strategis dalam memberikan perubahan yang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peran pendidikan dinilai sangat strategis dalam memberikan perubahan yang signifikan bagi kualitas sumber daya manusia dalam berfikir, merasa dan berperilaku. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai berikut: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya unuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (Departemen Pendidikan Nasional, 2003). Banyak upaya yang dilakukan untuk memperkuat peran pendidikan di berbagai negara. Pada 20 November 1989, Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) artikel 28 (Article 28) Perserikatan Bangsa-Bangsa menekankan pendidikan sebagai suatu hal yang penting (OHCHR, 1995). Dalam artikel nomor 28 tersebut disebutkan bahwa pendidikan adalah hal yang amat penting sehingga akan selalu diupayakan, baik oleh pihak negara atau lembaga-lembaga terkait, untuk memberikan pendidikan yang bersifat gratis untuk anak-anak (OHCHR, 1995).

Pada tahun 2015, UNESCO merencanakan sebuah kebijakan Education for All (EFA) untuk meningkatkan ketercapaian pendidikan dengan menganalisis beberapa sektor yang berkaitan dengan pendidikan (UNESCO, 2015). Sektor-sektor tersebut antara lain: (a) kerangka makro ekonomi dan sosio-demografis; (b) isu tentang akses dan kesetaraan pendidikan; (c) isu kualitas pendidikan; (d) efisiensi eksternal; (e) biaya dan finansial

(2)

2

dalam pendidikan; (f) aspek manajerial dan institusi pendidikan (UNESCO, 2015). Organisasi-organisasi lain yang terlibat di dalam pengembangan program ini antara lain: The World Bank (Bank Dunia) dan beberapa agensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu UNDP, UNICEF, UNFPA dan UNESCO (Luther dalam UNESCO, 2015).

Pentingnya pendidikan ini juga diakui oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga pemerintah menyusun beberapa kebijakan yang bisa memperkuat posisi dan tuntutan pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu faktor untuk dapat mencapai kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara tegas dalam pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 31 dalam Purna, Hamidi, & Elis, 2009). Pada ayat-ayat berikutnya, di pasal yang sama, juga dinyatakan mengenai pelaksanaan pendidikan yang dikehendaki oleh pemerintah Indonesia. Alokasi anggaran yang besar bagi sektor pendidikan merupakan sebuah indikator lain bahwa pendidikan merupakan sebuah sektor yang sangat penting (Purna, Hamidi, & Elis, 2009) Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan sebuah hal yang sangat penting dan krusial dalam kehidupan manusia.

Pendidikan tidak sama dengan usaha-usaha formal yang banyak dilakukan di sekolah. Pendidikan adalah lebih dari itu (Muhadjir, 1972). Langeveld dalam Muhadjir (1972) menyatakan bahwa pendidikan memiliki 4 faktor yaitu tujuan, opvoedeling (penilaian pendidikan), opvoeden (pendidik), dan alat-alat atau sarana pendidikan. Tujuan pendidikan sangat beraneka ragam. Langeveld mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menjadikan manusia menuju taraf kedewasaan (Langeveld, 1979). Menjadikan manusia menuju taraf kedewasaan memiliki beberapa tahapan yang mencakup: tanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan; kecakapan untuk mengambil keputusan sendiri;

(3)

3

melakukan tindakan sesuai dengan norma-norma serta pengertian baik dan buruk (moral); pembentukan self (diri sendiri); memiliki peran aktif di masyarakat. Dalam perkembangan pendidikan di masyarakat, harus ada proses pengembangan diri bagi seorang peserta didik. Winkel (1996) dalam bukunya Psikologi Pengajaran mengatakan bahwa setidaknya ada tiga (3) aspek yang harus dikembangkan di dalam diri individu. Ketiga aspek tersebut antara lain: kognitif, afektif dan konatif. Berdasarkan tujuan pendidikan yang lain, secara umum terdapat dua aspek utama dalam diri manusia yang penting untuk dikembangkan oleh suatu sistem pendidikan yang baik yaitu aspek moralitas dan kompetensi peserta didik (Ancok & Ramdhani, 2014).

Aspek pertama dari sebuah sistem pendidikan yang baik adalah harus selalu berupaya untuk meningkatkan akhlak mulia dan moralitas dari siswa sehingga siswa bisa menjadi manusia yang memiliki sistem moral yang baik di dalam dirinya (Ancok & Ramdhani, 2014). Pemerintah dan ahli-ahli pendidikan juga telah berupaya untuk memperdalam peran pendidikan di dalam mengembangkan sistem nilai bagi peserta didik. Apabila aspek pendidikan yang pertama ini diabaikan maka akan timbul banyak kekacauan di dalam struktur sosial dan menyebabkan permasalahan yang kompleks di dalam kemanusiaan secara umum (Luther, 2001). Sugiarto (2009) dalam bukunya “55 Kebiasaan Kecil Yang Menghancurkan Bangsa” menuliskan bahwa ada beberapa kebiasaan-kebiasaan yang bisa berakibat buruk. Lima puluh lima kebiasaan kecil tersebut dikategorikan ke dalam empat (4) kelompok, yaitu kebiasaan-kebiasaan memperlakukan diri sendiri; kebiasaan memperlakukan lingkungan; kebiasaan yang merugikan ekonomi dan kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial. Perilaku menyontek merupakan salah satu perilaku yang dikategorikan dalam kebiasaan kecil saat memperlakukan diri sendiri yang berpotensi menghancurkan bangsa (Sugiarto, 2009). Dengan demikian penanaman sistem nilai dan moralitas bagi siswa adalah hal yang penting di dalam sistem pendidikan.

(4)

4

Pengembangan aspek kedua di dalam diri peserta didik ini meliputi keseluruhan kemampuan dasar (aritmatik, mengeja dan membaca) dan pengetahuan umum yang meliputi pengetahuan kesehatan, kewarganegaraan (citizenship knowledge). Selain itu, ada pula pengetahuan umum lain yang berguna bagi peserta didik sehingga peserta didik dapat berfungsi dengan baik di dalam masyarakat (Cronbach, 1963). Aspek ini memperlihatkan bahwa peran pendidikan menekankan pada pengenalan terhadap ilmu pengetahuan baik yang sederhana sampai yang kompleks sehingga manusia memiliki kompetensi yang cukup untuk bekal di kehidupannya kelak (Ancok & Ramdhani, 2014).

Idealnya sistem pendidikan harus mengacu pada kedua aspek tersebut (Ancok & Ramdhani, 2014). Namun demikian, kondisi ideal yang diharapkan oleh masyarakat dan pemerintah tentang pelaksanaan pendidikan yang baik sering terhambat oleh berbagai masalah kompleks. Dari berbagai permasalahan yang muncul di dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, ada sebuah masalah yang patut untuk dikaji lebih mendalam terkait relevansinya dengan tujuan pendidikan Indonesia yaitu terkait pelaksanaan UN. Salah satu permasalahan yang muncul di dalam pelaksanaan UN adalah kecurangan yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mengejar target nilai dan standar ketuntasan belajar (Latifah, 2015).

Identifikasi tingkat kecurangan yang dilakukan oleh siswa atau guru dalam pelaksanaan UN juga diperhatikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui temuan kode naskah yang diunggah melalui aplikasi Google Drive untuk naskah soal paket UN Sekolah Menangah Atas jurusan Ilmu Pengetahuan Alam yang hendak digunakan di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Gracia, 2015). Laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (2015) melalui Sekretaris Jenderalnya, Retno Listyani, menjelaskan beberapa pola kecurangan UN yang berhasil terpantau oleh FSGI selama pelaksanaan UN SMA 13 – 15 April 2015. Kecurangan-kecurangan tersebut

(5)

5

muncul dalam bentuk jual/beli kunci jawaban yang terjadi di Jawa Timur dan DKI Jakarta. Selain itu ada pula kebocoran soal ujian di mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi dan Kimia. Ada pula modus kecurangan yang dilakukan siswa dengan menyontek dengan menggunakan handphone dan sobekan kertas kecil di beberapa daerah seperti Bekasi, Bogor, Bandung, Lamongan dan Jakarta.

Selain itu, ada pula modus kecurangan yang menggunakan bantuan tim sukses sekolah dengan cara pembenaran jawaban siswa dengan biaya Rp. 6.000.000,00 hingga Rp. 12.000.000,00. Ditemukan pula kesalahan dan ketidaksinkronan antara audio dan jawaban soal listening Bahasa Inggris sehingga pada soal-soal tersebut dinilai sebagai bonus. Hal ini terjadi di daerah Jawa Timur yaitu Blitar, Malang, Sidoarjo, Tulungagung serta Banyuwangi (Tarigan, 2015). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan, menyatakan bahwa masih banyak kecurangan masif dalam mengerjakan UN di Indonesia. Hal ini terlihat dari Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN) yang cenderung rendah di SMA/SMK/MA di berbagai daerah di Indonesia. Dalam data IIUN 2015, Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi dalam IIUN dari 34 provinsi di Indonesia yaitu 82,37% (Kemendikbud, 2015). Selanjutnya daerah lain yang memiliki tingkat kecurangan yang rendah adalah Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Bengkulu, kepulauan Riau, Gorontalo dan NTT (Analisa: News, 2015).

Rendahnya IIUN di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kecurangan dalam UN masih tinggi di berbagai daerah di Indonesia yaitu lebih dari 20%. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kemendikbud mengenai IIUN SMA/SMK di seluruh Indonesia Tingkat IIUN memang tidak berkorelasi dengan nilai rata-rata yang bisa didapatkan oleh siswa. Hanya saja IIUN bisa menentukan tingkat kejujuran seorang siswa dalam melaksanakan ujian nasional. Hal ini juga bisa menjadi cerminan dari masyarakat

(6)

6

secara umum terkait dengan sikap terhadap kecurangan dan kejujuran di dalam proses pendidikan khususnya pelaksanaan ujian nasional (Tri, 2015).

Pada IIUN yang dilaporkan oleh Kemendikbud perilaku sontek-menyontek antar siswa dianggap sebagai sebuah perilaku yang menurunkan tingkat integritas siswa. Menurut Anies Baswedan perilaku korupsi yang sekarang banyak terjadi berawal dari tindakan sontek-menyontek pada saat masa sekolah (Wicaksono & Alfath, 2015). Toleransi terhadap kecurangan akademik juga akan berdampak dengan meningkatnya kecurangan-kecurangan lain di kehidupan mendatang bagi siswa (Razek, 2014). Selain itu, penurunan integritas akademik dalam diri siswa akan mempengaruhi kehidupan profesional siswa saat sudah bekerja kelak (Jiang, Emmerton & McKauge, 2013). Becker et. al. (dalam Ruto et. al., 2011) mengungkapkan bahwa ketidakjujuran dalam lingkungan pekerjaan diawali dari ketidakjujuran dalam lingkungan pendidikan siswa. Dengan demikian, integritas akademik sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan akademik khususnya dalam pelaksanaan UN.

Namun dalam kenyataannya di lapangan penerapan perilaku jujur dan berintegritas sangat kurang apalagi dalam pelaksanaan UN. Perilaku jujur dan berintegritas dalam dunia akademik belum didukung sepenuhnya oleh masyarakat bahkan justru cenderung dihalang-halangi. Hal ini dialami oleh seorang siswa kelas III di salah satu SMA Negeri di Kota Yogyakarta yang mendapat puluhan ancaman karena ia menulis surat kepada Universitas Gadjah Mada terkait bocornya materi UN 2015 tingkat SMA (Siswoyo & April, 2015). Selain itu, perilaku menyontek adalah bentuk kecurangan dalam mengerjakan UN.

Perilaku menyontek merupakan salah satu bentuk ketidakjujuran dalam mencapai tujuan di dalam belajar (Sungkar & Gabriella, 2012). Tindakan tersebut merupakan salah satu tindakan yang bisa menurunkan tingkat integritas akademik siswa dalam menjalankan kegiatan akademik. Integritas akademik adalah bagian dari budaya akademik

(7)

7

(Ronokusumo, 2012). Menurut kamus Oxford, integritas diartikan sebagai kualitas seseorang dalam menjaga dirinya tetap jujur dan memiliki prinsip moral yang kuat. Selain itu dalam kehidupan sosial integritas diartikan sebagai suatu kontrak sosial pada diri sendiri untuk bertindak penuh tanggung jawab (Sungkar & Gabriella, 2012). Menurut University of Illinois (Gabriella, et al., 2012) memberi pengertian integritas akademik adalah perilaku jujur dan bertanggung jawab terhadap semua hal yang berkaitan dengan akademik dan bergantung pada usaha individual setiap mahasiswa. Dalam dunia akademik, nilai kejujuran adalah salah satu nilai dasar dalam komitmen terhadap integritas akademik.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi integritas akademik pada diri siswa menurut studi kualitatif yang telah dilakukan oleh McCabe, Trevino dan Butterfield (1999). Faktor institusional/konstektual terdiri atas keberadaan honor codes yang tertanam dengan kuat dalam diri siswa; pembentukan etika dan nilai serta karakter dalam diri siswa; lingkungan yang memiliki pandangan negatif terhadap pelanggaran akademis. Sementara itu faktor sikap/personal dari integritas akademik terdiri atas keberadaan tekanan akademis pada diri siswa; keberadaan kecemasan dan stres akademik; keberadaan harapan akan diri siswa dari lingkungan siswa; kurangnya persiapan dalam kegiatan akademik atau kemalasan siswa (McCabe, et. al., 1999).

Studi lain yang dilakukan oleh Crown & Spiller (1998) serta Ford & Richardson (1994) menyatakan bahwa kecurangan akademik, yang lebih lanjut akan menurunkan integritas akademik, memiliki beberapa faktor yaitu: gender, usia siswa, nilai akademis siswa, kepribadian siswa, keberadaan honor codes, hukuman di institusi terkait kecurangan akademis, pengawasan, peer dan keanggotaan pada lingkungan asrama. Selain itu faktor yang menurunkan integritas akademik siswa adalah locus of control, perilaku menghindari kerugian, tuntutan berprestasi dan kontrol diri (Kisamore, Stone, & Jawahar, 2007). Kistilensa (2009) mengungkapkan ada 3 alasan mengapa pelanggaran dalam dunia

(8)

8

akademik dilakukan oleh siswa. Alasan pertama, dan yang paling sering terjadi, adalah perasaan panik/takut dan cemas akan mendapat nilai yang tidak memuaskan. Kecemasan dan ketakutan ini muncul dan menyebabkan seorang individu mengambil jalan pintas dalam mencapai nilai yang memuaskan meski hal tersebut melanggar aturan serta menurunkan integritas akademik seorang siswa. Alasan kedua yang sering muncul dalam diri siswa adalah rasa inferior yang membuat seorang siswa merasa tidak mampu mengerjakan sebuah tugas. Alasan terakhir yang mendorong siswa melakukan pelanggaran dalam dunia akademik adalah penyangkalan terhadap tanggungjawab/tugasnya misalnya bagi siswa yang malas dalam belajar maka akan cenderung meningabaikan tugas dari guru karena merasa tidak memiliki tanggungjawab. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah dampak dari sistem pendidikan Indonesia yang lebih mengutamakan hasil dibandingkan proses sehingga menyebabkan mentalitas pragmatis pada diri siswa (Gabriella, et al., 2012).

Dalam survei di Trinity College terkait perilaku ketidakjujuran akademik yang dilakukan oleh Matt Serra (2001) menunjukkan bahwa di dalam kegiatan akademis siswa mengalami penurunan tingkat integritas akademik karena perilaku menyontek (Serra, 2001). Selain itu ada pula survei di Texas Tech Universities yang dilakukan oleh McCabe (2010) terkait tindakan yang bisa menurunkan integritas akademik siswa. Dalam survei ini mengungkap bahwa siswa melakukan ketidakjujuran akademis dalam taraf sedang seperti menyontek, plagiarisme, membantu teman dalam melaksanakan sontekan dan lain sebainya (McCabe, 2010). Selain itu hal lain yang terungkap berdasarkan survei terkait dengan tindakan menyontek adalah bahwa sontekan pada siswa akan meninggi frekuensinya apabila siswa berada di lingkungan yang permisif terhadap sontekan. Dalam hal ini, siswa menilai bahwa tindakan sontekan tidak berdampak terhadap hukuman bagi pelakunya (McCabe, Trevino, & Butterfield, 1999).

(9)

9

Kasus sontekan dan pelanggaran akademik juga terjadi pada pelaksanaan UN, khususnya pada tingkat sekolah menengah atas (SMA), di Indonesia juga merupakan sebuah dampak tidak langsung dari sistem pendidikan Indonesia yang mengutamakan hasil belajar dan bukan proses belajar. Hal ini diakibatkan oleh beragam faktor. Salah satu faktor yang mendukung munculnya perilaku menyontek pada saat melaksanakan ujian sehingga menurunkan tingkat integritas akademik adalah kecemasan terhadap ketidaktuntasan hasil belajar. Hal ini sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi integritas akademik sesuai studi yang dilakukan oleh McCabe et. al. (1999) yaitu kecemasan atau stress karena tekanan-tekanan akademik dari lingkungan eksternal siswa (McCabe, Trevino, & Butterfield, 1999). Selain itu, juga adanya perilaku harm avoidance pada diri siswa sehingga siswa melakukan tindakan menyontek (Kelly & Worrell, 1978 dalam Kisamore, Stone, & Jawahar, 2007).

Kecemasan adalah sebuah fenomena psikologis yang banyak sekali dikaji dalam perkembangan ilmu psikologi itu sendiri. Situasi yang bisa menimbulkan kecemasan begitu beragam. Pada diri siswa yang sedang menempuh dunia akademik, kecemasan yang dirasakan dapat disebut sebagai kecemasan akademik (Maisaroh & Falah, 2011). Namun demikian, kecemasan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya buruk bagi siswa. Kecemasan akademik yang masih dalam taraf normal atau belum melebihi ambang batas kecemasan maksimal dalam diri seorang siswa maka kecemasan akademik tersebut akan meningkatkan performa akademik dengan memicu terbentuknya motivasi. Sebaliknya, apabila tingkat kecemasan akademik melebihi batas normal bagi seorang siswa maka yang terjadi adalah hilangnya motivasi belajar; timbulnya perilaku prokrastinasi; penurunan performa belajar dalam lingkungan sekolah; timbulnya pelanggaran-pelanggaran akademik dan dampak lain yang berkaitan dengan kegiatan akademik siswa di sekolah (Attri & Neelam, 2013).

(10)

10

Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, UN merupakan salah satu sumber kecemasan siswa dalam menjalankan kegiatan akademiknya (Maisaroh & Falah, 2011). Berdasarkan data pelayanan klien Unit Konsultasi Psikologi Universitas Gadjah Mada tahun 2014 – 2015, dalam kurun satu tahun terdapat dua belas kasus kecemasan pada bidang akademik yang berujung pada kecemasan menghadapi UN. Beberapa kasus bunuh diri siswa karena kecemasan UN dilaporkan oleh beberapa koran nasional sepanjang tahun 2010 – 2014. Dari periode tahun 2010 – 2014, dilaporkan ada 3 kasus bunuh diri siswa setelah pelaksanaan UN.

Hill dalam Maisaroh & Falah (2011) menunjukkan bahwa sebagian peserta tes gagal mengeluarkan kemampuan yang sesungguhnya, karena kecemasan yang dipicu oleh situasi dan suasana tes. Dalam artikel jurnal yang ditulis oleh Yulasari (2003) menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami siswa timbul karena siswa dibebani oleh pikiran dan bayangan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila gagal dalam UN. Dalam penelitian lain, Rahe dan Holmes (Trisandhya, 2007) mengatakan bahwa pada masa awal dan akhir sekolah merupakan sebuah masa yang berpotensi mengaktifkan kecemasan dalam diri seseorang.

Sekolah yang menjadi target penelitian adalah salah satu sekolah negeri di Kabupaten Tulungagung. Dalam skripsi ini, nama sekolah disamarkan identitasnya dan disebut sebagai SMAN Y. Dalam pelaksanaan ujian nasional di sekolah ini, terindikasi tindak kecurangan akademis yang cukup tinggi. Data IIUN Kemendikbud (2015) memperlihatkan bahwa Kabupaten Tulungagung merupakan salah satu daerah yang memiliki IIUN yang rendah yaitu 67,74% dan tingkat kecurangan 32,26%. Selain itu, hal ini tampak berdasarkan pengalaman peneliti yang menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan UN 2012, siswa melakukan kecurangan dengan menyontek, membuat sistem sontekan dengan bantuan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan menggunakan handphone untuk

(11)

11

berkomunikasi antar teman. Hal ini merupakan bentuk-bentuk kecurangan dalam melaksanakan ujian sehingga hal ini bisa menurunkan tingkat integritas akademik siswa. Selain itu, kecurangan dalam mengerjakan ujian nasional di dalam SMAN Y juga nampak dari pernyataan guru ketika melakukan wawancara dengan peneliti. Kecurangan akademis dalam melaksanakan ujian nasional di kalangan siswa kelas XII di Ujian Nasional tahun 2015 terbilang cukup tinggi namun terkesan tidak terlhiat karena sistem sontekan yang dijalankan sangat sistematis dan sudah menjadi budaya bertahun-tahun di sekolah yang bersangkutan.

Berdasarkan pengalaman peneliti, siswa di SMAN Y memilih untuk melakukan kecurangan dalam ujian nasional daripada harus tidak lulus dan melaksanakan program kejar paket B untuk memenuhi standar kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Perilaku semacam ini merupakan sebuah perilaku yang menggambarkan kecemasan dalam diri siswa karena siswa takut tidak bisa mencapai target yang telah ditentukan oleh sekolah dan pemerintah. Maka dari itu, kecemasan akademik diperkirakan menjadi salah satu penentu naik atau turunnya tingkat integritas akademik di dalam diri siswa terutama di SMAN Y.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya maka peneliti merasa perlu untuk meneliti hubungan antara kecemasan akademik siswa SMA dengan integritas akademik siswa SMA di lingkungan SMAN Y. Kecemasan akademik siswa diperkirakan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tindakan kecurangan yang dilakukan oleh siswa. Maka dari itu diperoleh suatu rumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Apakah kecemasan akademik yang dialami siswa dalam menghadapi ujian nasional berhubungan dengan integritas akademik siswa SMA di SMAN Y?”

(12)

12

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menguji secara empirik hubungan antara kecemasan akademik yang dialami oleh siswa SMA kelas XII dengan integritas akademik siswa di lingkungan SMAN Y. Selain itu, penelitian ini merupakan salah satu wahana belajar dalam hal penelitian bagi peneliti. Hal ini akan membawa kebaikan bagi peneliti dalam masa mendatang dalam penelitian-penelitian berikutnya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini akan menjadi sebuah hasil penelitian yang menambah luasnya bidang bahasan dan khazanah ilmu psikologi khususnya bidang Psikologi Pendidikan bagi ilmuwan dan praktisi psikologi. Selain itu, hasil penelitian ini akan memberikan informasi mengenai permasalahan pendidikan terkait dengan kecemasan akademik yang dialami siswa dan integritas akademik yang dimiliki siswa bagi praktisi dan lembaga pendidikan terkait.

Selain itu, penelitian ini akan menjadi salah satu bidang bahasan yang menyegarkan bidang Psikologi Pendidikan mengingat masih sangat sedikit penelitian yang mengungkap bidang integritas akademik. Penambahan bidang bahasan mengenai integritas akademik siswa ini bisa menjadi salah satu acuan atau referensi yang bisa digunakan oleh peneliti lain jika hendak meneliti tentang hal yang sama atau bahkan mengembangkan penelitian yang berkaitan dengan integritas akademik.

2. Manfaat Praktis

Dalam penelitian ini, apabila hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kecemasan akademik yang dialami siswa dengan integritas akademik siswa

(13)

13

maka penelitian ini bisa memberi informasi kepada instansi dan lembaga pemerintah terkait tentang pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Informasi yang diberikan oleh hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dasar pengambilan keputusan bagi praktisi, instansi, dan lembaga pemerintah terkait dalam melaksanakan proses pendidikan di Indonesia.

Hubungan yang signifikan antara kecemasan akademik dan integritas akademik siswa bisa menjadi salah satu dasar intervensi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Maka dari itu penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif dasar evaluasi sistem pendidikan di Indonesia. Apabila peneliti lain hendak melakukan penelitian lanjutan mengenai tema yang sama, maka peneliti dapat menggunakan penelitian ini sebagai dasar teori atau acuan referensi. Keberhasilan dalam pembuktian hubungan antara kedua variabel penelitian ini akan dijadikan sebuah dasar pengambilan keputusan terkait masalah-masalah pendidikan yang terjadi di Indonesia sehingga peneliti perlu melakukan penelitian dengan teliti dan sungguh-sungguh.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk hasil daripada treatement Non Blind Test Merujuk pada tujuan dari studi 1, Unit sampel yang mengikuti studi eksperimen satu dengan metode treatement

Bank Kustodian akan menerbitkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan antara lain jumlah Unit Penyertaan yang dijual kembali dan dimiliki serta Nilai

Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang menampung sampah yang berasal dari DKI Jakarta (lima zona pembuangan) seluas 85 Ha, dan sampah yang berasal dari Kota

Menurut Prahaditya (2012), perbedaan senyawa fenolik dalam hal ini senyawa kurkuminoid yang terkandung didalam kunyit asal Nagrak dengan kunyit lainnya disebabkan

Dari hasil tabel diatas terlihat bahwa tingkat signifikansi moderator 3 adalah 0,004 dimana berada dibawah α sebesar 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa

Media edukasi yang sesuai dengan segmen pendengar baru, dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat Surabaya, sehingga Jazz di Surabaya tidak hanya menjadi tren

Semakin banyaknya usaha ritel di Kota Jember ini, peneliti tertarik untuk melihat lebih dalam mengenai kualitas yang diberikan KPRI Universitas Jember untuk dapat memberi

Kota Tasikmalaya memiliki visi yang religius, maju dan madani, dan mewujudkan tata nilai kehidupan masyarakat yang religius dan berkearifan lokal. Hal itu