MODUL 09
MODUL 09
TEKNOLOGI PENGOLAHAN
TEKNOLOGI PENGOLAHAN
SAMPAH
SAMPAH
K E M E N T E R I K E M E N T E R I A N A N P E K E R J A A N P E K E R J A A N U M U MU M U M D I R E K T O R A T J E N D E R A L C I P T A K A R Y A D I R E K T O R A T J E N D E R A L C I P T A K A R Y A DIREKTORDIREKTOR AT AT PENGEMBANGPENGEMBANG AN AN PENYEHATPENYEHAT AN AN LINGKUNGAN PERLINGKUNGAN PER MUKIMANMUKIMAN
BAHAN AJAR
BAHAN AJAR
DISEMINASI DAN SOSIALISASI KETEKNIKAN
DISEMINASI DAN SOSIALISASI KETEKNIKAN
BIDANG PLP SEKTOR PERSAMPAHAN
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
DAFTAR
DAFTAR ISI ....ISI ... i... i DAFTAR
DAFTAR GAMBAR ...GAMBAR ... ii... ii DAFTAR
DAFTAR TABEL ...TABEL ... iii... iii 1.
1. PENGOLAHAN PENGOLAHAN SAMPAH ...SAMPAH ... 617... 617 2.
2. SKALA SKALA PENGOLAHAN PENGOLAHAN SAMPAH SAMPAH ... 619... 619 3.
3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH SAMPAH ... 621... 621 3.1.
3.1. Teknologi Teknologi Pemilahan Pemilahan ... ... 622622 3.2.
3.2. Anaerobik Digester ... 628 Anaerobik Digester ... 628 3.3.
3.3. CompostingComposting (pengomposan): (pengomposan): ... ... 631631 3.4.
3.4. Insinerasi Insinerasi (Pembakaran) (Pembakaran) ... ... 639639 3.5.
3.5. Pirolisis Pirolisis dan dan Gasifikasi Gasifikasi ... 641... 641 3.6.
3.6. Daur Ulang Daur Ulang Sampah ...Sampah ... 646... 646 3.7.
3.7. Stasiun Peralihan Stasiun Peralihan Antara (SPA) ...Antara (SPA) ... 649... 649 3.8.
3.8. Tempat Tempat Pengolahan Sampah Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)/IPST Terpadu (TPST)/IPST ... 660... 660 3.9.
3.9. Intermediate Treatment Facility Intermediate Treatment Facility (ITF) (ITF) ... 674... 674 3.10.
3.10. Teknologi Teknologi Pengolahan Plastik ...Pengolahan Plastik ... 675... 675 3.11.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Pengolahan skala individu ... 619
Gambar 2. 2Proses pengolahan skala kawasan ... 620
Gambar 2. 3 Proses pengolahan sampah kota... 620
Gambar 3. 1 Contoh pemilahan sampah di German pada tahun 1893 ... 622
Gambar 3. 2 Pemilahan sampah secara manual ... 623
Gambar 3. 3 Magnetic Separation dan Mechanical Shredding, contoh teknologi pemilahan sampah secara mekanis ... 623
Gambar 3. 4 Skema pengolahan mekanis dengan MBT ... 624
Gambar 3. 5 Skema pengolahan biologis dalam MBT ... 625
Gambar 3. 6 Skema integrasi pengolahan mekanis dan biologis dalam MBT ... 626
Gambar 3. 7 Tahap pengolahan mekanis dalam MBT ... 627
Gambar 3. 8 Tahap aerated heaps pada MBT ... 627
Gambar 3. 9 Sampah yang dapat dikomposkan ... 632
Gambar 3. 10 Aerobic composting ... 633
Gambar 3. 11 Pengayakan kompos ... 637
Gambar 3. 12Unit-unit pada insinerator skala kota ... 641
Gambar 3. 13Skema perbedaan pirolisis, gasifikasi, dan pembakaran ... 642
Gambar 3. 14Berbagai jenis gasifier ... 645
Gambar 3. 15 Hirarki pengelolaan sampah ... 646
Gambar 3. 16 Analisis kelayakan pembangunan SPA skala kawasan ... 651
Gambar 3. 17 Contoh denah SPA skala kawasan ... 655
Gambar 3. 18 Contoh tampak samping SPA skala kawasan ... 655
Gambar 3. 19 Mekanisme penanganan sampah di SPA skala kawasan ... 656
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1 Kelebihan dan kelemahan alternatif sistem pengolahan sampah ... 621
Tabel 3. 2 Perbandingan pengomposan aerob dan anaerob ... 634
Tabel 3. 3 Standar kualitas kompos ... 638
Tabel 3. 4 Cakupan pelayanan SPA skala kawasan ... 651
Tabel 3. 5 Kebutuhan luas lahan SPA ... 652
Tabel 3. 6 Alternatif model pengolahan lindi di SPA skala kawasan ... 653
Tabel 3. 7 Kebutuhan tenaga kerja SPA skala kawasan ... 658
Tabel 3. 8 Rekapitulasi pedoman teknis pembangunan SPA skala kawasan ... 659
Tabel 3. 9 Contoh bahan, operasi, serta kebutuhan peralatan dalam TPST ... 662
Tabel 3. 10 Luas TPS dan volume kontainer yang digunakan ... 669
Tabel 3. 11 Luas lahan untuk kontainer ... 669
Tabel 3. 12 Dimensi bak penimbunan ... 670
Tabel 3. 13 Kebutuhan composting dengan aerobic windrow composting untuk 1m3 sampah imput/jam ... 673
Tabel 3. 14 Kebutuhan lahan fasilitas daur ulang dan composting dengan anaerobic facultative untuk 1m3sampah input/jam ... 674
TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH 1. PENGOLAHAN SAMPAH
Pengolahan sampah merupakan bagian dari penanganan sampah dan menurut UU Nomor 81 Tahun 2008 didefinisikan sebagai proses perubahan bentuk sampah dengan mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah. Pengolahan sampah merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sampah, disamping memanfaatkan nilai yang masih terkandung dalam sampah itu sendiri, baik berupa bahan daur ulang, produk lain, maupun energi. Pengolahan sampah yang pada umumnya dilakukan dapat berupa pengomposan, recycling/daur ulang, pembakaran (insinersi), dan lain-lain. Menurut PP Nomor 81 Tahun 2012 Pasal 16, pengolahan sampah meliputi beberapa hal sebagai berikut.
a. Pemadatan b. Pengomposan
c. Daur ulang material dan/atau d. Daur ulang energi
Teknologi pengolahan sampah yang saat ini berkembang dan sangat dianjurkan bertujuan bukan hanya untuk memusnahkan sampah tetapi juga untuk me-recovery bahan dan/atau enersi yang terkandung di dalamnya. Pemanfaatan enersi merupakan salah satu teknologi yang paling banyak dikembangkan dan diterapkan, khususnya dalam bentuk teknologi waste-to-energy, yang menghasilkan enersi panas atau gas-bio yang berhasil dikeluarkan untuk kebutuhan enersi terbarukan (Damanhuri & Tri Padmi, 2010).
Pengolahan secara umum merupakan proses transformasi sampah baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Masing masing definisi dari proses transformasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Transformasi Fisik
Perubahan sampah secara fisik melalui beberapa metoda atau cara yaitu :
- Pemisahan komponen sampah: dilakukan secara manual atau mekanis. Sampa yang bersifat heterogen dipisahkan menjadi komponen- komponennya, sehingga bersifat lebih homogen. Langkah ini dilakukan untuk keperluan daur ulang. Demikian pula sampah yang bersifat berbahaya dan beracun (misalnya sampah laboratorium berupa sisa-sisa zat kimia) sedapat mungkin dipisahkan dari jenis sampah lainnya, untuk kemudian diangkut ke tempat pembuangan khusus.
- Mengurangi volume sampah dengan pemadatan atau kompaksi. Dilakukan dengan tekanan/kompaksi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menekan kebutuhan ruang sehingga mempermudah penyimpanan, pengangkutan, dan pembuangan. Reduksi volume
juga bermanfaat untuk mengurangi biaya pengangkutan dan pembuangan. Jenis sampah yang membutuhkan reduksi volume antara lain kertas, karton, plastik, dan kaleng.
- Mereduksi ukuran dari sampah dengan proses pencacahan. Tujuan hampir sama dengan proses kompaksi dan juga bertujuan memperluas permukaan kontak dari komponen sampah.
b. Transformasi Kimia
Perubahan bentuk sampah secara kimiawi dengan menggunakan prinsip proses pembakaran atau insenerasi. Proses pembakaran sampah dapat didefinisikan sebagai pengubahan bentuk sampah padat menjadi fasa gas, cair, dan produk padat yang terkonversi, dengan pelepasan energi panas.
Proses pembakaran ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan komposisi sampah yaitu : 1. Nilai kalor dari sampah, dimana semakin tinggi nilai kalor sampah maka akan semakin
mudah proses pembakaran berlangsung. Persyaratan nilai kalor adalah 4500 kJ/kg sampah agar dapat terbakar.
2. Kadar air sampah, semakin kecil dari kadar air maka proses pembakaran akan berlangsung lebih mudah.
3. Ukuran partikel, semakin luas permukaan kontak dari partikel sampah maka semakin mudah sampah terbakar.
Jenis pembakaran dapat dibedakan atas :
1. Pembakaran stoikhiometrik, yaitu pembakaran yang dilakukan dengan suplai udara/oksigen yang sesuai dengan kebutuhan untuk pembakaran sempurna.
2. Pembakaran dengan udara berlebih, yaitu pembakaran yang dilakukan dengan suplai udara yang melebihi kebutuhan untuk berlangsungnya pembakaran sempurna.
3. Gasifikasi, yaitu proses pembakaran parsial pada kondisi substoikhiometrik, di mana produknya adalah gas-gas CO, H2, dan hidrokarbon.
4. Pirolisis, yaitu proses yang berlangsung tanpa kehadiran oksigen sama sekali, menggunakan enersi dari luar untuk menggerakkan reaksi pirolisa yang bersifat endotermis (Damanhuri&Tri Padmi, 2010).
c. Transformasi Biologi
Perubahan bentuk sampah dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi sampah menjadi bahan stabil yaitu kompos. Teknik biotransformasi yang umum dikenal adalah:
1. Komposting secara aerobik (produk berupa kompos).
atau lumpur). Humus/lumpur/kompos yang dihasilkan sebaiknya distabilisasi terlebih dahulu secara aerobik sebelum digunakan sebagai kondisioner tanah.
Tujuan akhir pengolahan sampah secara mekanikal-biologis 1. Penurunan volume sampah yang akan ditimbun di landfill
-
Untuk mengurangi kebutuhan kapasitas landfill dan untuk memperpanjang usia pakailandfill
2. Penurunan aktivitas biologis
-
Pengurangan fraksi limbah biologis dapat meminimalkan produksi gas yang tidakterkontrol.
3. Pengurangan substansi yang berbahaya
-
Mengantisipasi adanya substansi berbahaya yang dapat mencemari air tanah bila linditidak terkumpul atau terkelola dengan baik.
4. Mengurangi kandungan air yang masuk ke dalam l andfill 5. Mengurangi pengendapan yang dapat terjadi di landfill 6. Recovery material dan energi
-
Pengolahan sampah sebisa mungkin menghasilkan energi contohnya biogas7. Pengurangan biaya operasional dan post-operation landfill 8. Meningkatkan kestabilan landfill
-
Tidak diperlukan sistem pengumpul gas dan mengurangi potensi pencmaranlingkungan akibat lindi
2. SKALA PENGOLAHAN SAMPAH
Berdasarkan metoda pengolahan dan tanggung jawab pengelolaan maka skala pengolahan dapat dibedakan atas beberapa skala yaitu :
• Skala individu; yaitu pengolahan yang dilakukan oleh penghasil sampah secara langsung di
sumbernya (rumah tangga/kantor). Contoh pengolahan pada skala individu ini adalah pemilahan sampah atau komposting skala individu.
Gambar 2. 1 Pengolahan skala individu
• Skala kawasan: yaitu pengolahan yang dilakukan untuk melayani suatu lingkungan/ kawasan
(perumahan, perkantoran, pasar,dll). Lokasi pengolahan skala kawasan dilakukan di TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu). Proses yang dilakukan pada TPST umumnya berupa : pemilahan, pencacahan sampah organik, pengomposan, penyaringan kompos, pengepakan kompos, dan pencacahan plastik untuk daur ulang.
Gambar 2. 2 Proses pengolahan skala kawasan
• Skala kota; yaitu pengolahan yang dilakukan untuk melayani sebagian atau seluruh
wilayah kota dan dikelola oleh pengelola kebersihan kota. Lokasi pengolahan dilakukan di Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) yang umumnya menggunakan bantuan peralatan mekanis.
Gambar 2. 3 Proses pengolahan sampah kota
Pemilahan sampah
Proses komposting
3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN SAMPAH
Terdapat beberapa teknologi pengolahan yang dapat diterapkan. Berdasarkan SNI 19-2454-2002 tentang Tata cara teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan, teknik pengolahan sampah, terdapat beberapa teknik pengolahan sampah, antara l ain:
1. Pengomposan
a. Berdasarkan kapasitas (individual, komunal, skala lingkungan)
b. Berdasarkan proses (alami, biologis dengan cacing, biologis dengan mikro organisme tambahan)
2. Insinerasi yang berwawasan lingkungan 3. Daur ulang
a. Sampah an organic disesuaikan dengan jenis sampah
b. Menggunakan kembali sampah organic sebagai makanan ternak 4. Pengurangan volume sampah dengan pencacahan atau pemadatan 5. Biogasifikasi (pemanfataan energi hasil pengolahan sampah)
Damanhuri & Tri Padmi (2010) menyebutkan kelebihan dan kelemahan beberapa tekonologi pengolahan sampah, seperti yang tertera pada Tabel 3.1.
Tabel 3. 1 Kelebihan dan kelemahan alternatif sistem pengolahan sampah (Damanhuri & Tri Padmi, 2010)
Jenis pengolahan Kelebihan Kelemahan Catatan
Composting (pengomposan): High rate (modern)
-
Proses pengomposanlebih cepat
-
Volume sampah yangterbuang berkurang
-
Memerlukanperalatan lebih
banyak dan kompleks
-
Biaya investasi mahal-
Harga kompos yangdihasilkan lebih mahal daripada pupuk kimia
-
Biaya operasi lebihtinggi dari harga jual
Windrow composting
(sederhana)
-Tidak memerlukan banyak peralatan
-
Sesuai untuk sampahyang banyak
mengandung unsur organik
-
Volume sampah yangterbuang berkurang
-
Biaya investasi lebihmurah
-
Perlu perawatan yangbaik dan kontinu
-
Proses pengomposanlebih lama
-
Memerlukan tenagalebih banyak
Pemadatan
-
Volume sampah yang terbuang dapat dikurangi-
Praktis/efisien dalam pengangkutan ke TPA-
Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan realtif mahal-
Dianjurkan bila jarak ke pemrosesan akhir lebih dari 25 km.Jenis pengolahan Kelebihan Kelemahan Catatan Insinerasi (Pembakaran)
-
Untuk kapasitas besarhasil sampingan dari pembakaran dapat dimanfaatkan antara lain untuk pembangkitan tenaga listrik
-
Volume sampah menjadi sangat berkurang-
Hygienis-
Biaya investasi danoperasi mahal
-
Dapat menimbulkanpolusi udara
Ada 2 (dua) tipe:
-
Sistem pembakaran berkesinambungan untuk kapasitas besar (>100 ton/hari)-
Sistem pembakaran terputus untuk kapasitas kecil (<100 ton/hari). Recycling (Daur Ulang)-
Pemanfaatan kembalibahan-bahan (anorganik) yang sudah terpakai
-
Merupakan lapangankerja bagi pemulung sampah (informal)
-
Volume sampah yangterbuang berkurang, menghemat lahan pembuangan akhir.
-
Tidak semua jenissampah bisa di daur ulang
-
Memerlukanperalatan yang relatif lebih mahal bila dilaksanakan secara mekanis
-
Kurang sehat bagipemulung sampah (informal)
-
Dianjurkan pemisahan mulai dari sumber sampahnya.3.1. Teknologi Pemilahan
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meminimalkan timbulan sampah di TPA adalah pemilahan sampah sejak di sumber. Pengumpulan sampah secara terpisah sudah mulai diterapkan di Negara German pada tahun 1893, yaitu dengan memisahkan wadah sampah kering, debu atau butiran, dan sampah organik.
Seiring perkembangan jaman, proses pemilahan sampah tidak lagi dilakukan secara manual, tetapi menggunakan mesin atau dilakukan secara mekanik.
Gambar 3. 2 Pemilahan sampah secara manual
Gambar 3. 3 Magnetic Separation dan Mechanical Shredding, contoh teknologi pemilahan sampah secara mekanis
Pada perkembangannya, pemilahan sampah secara mekanis dilakukan secara terintegrasi dalam suatu unit pemilahan mekanis. Tidak jarang, pengolahan secara mekanis tersebut berlanjut dengan pengolahan biologis. Integrasi pengolahan mekanis dan biologis ini dikenal dengan teknologi Mechanical Biological Treatment (MBT).
Mechanical Biological Treatment (MBT).
MBT merupakan integrasi dari proses pengolahan biologis dan mekanis. Berikut disajikan skema pengolahan mekanis, skema pengolahan biologis dan integrasi dari kedua pengolahan tersebut.
Gambar 3. 6 Skema integrasi pengolahan mekanis dan biologis dalam MBT Prinsip kerja dari MBT adalah pemilahan material dengan beberapa tujuan, yaitu:
• Memisahkan material untuk recovery energi • Memisahkan material untuk recovery material
• Memisahkan material untuk mempermudah proses pengolahan biologis
Setelah mengalami pemisahan, material-material tersebut akan mengalami dua proses dasar pengolahan yaitu stabilisasi dan pengeringan sampah untuk recovery energi dan pengolahan sampah untuk mengurangi emisi yang akan ditimbulkan landfill. MBT menerapkan system pengolahan yang berbeda untuk setiap tipe material sampah. Sampah dengan kandungan air yang tinggi akan mengalami proses pengolahan biologis dengan tahapan aerated windrow heap composting. Sedangkan pada tahap mekanik, tipe material ini akan melalui proses shredder, sieving drum, magnetic separator, dan sorting. Material dengan kandungan air yang rendah akan mengalami tahap mekanis terlebih dahulu sebelum menjalani proses pengolahan secara biologis. Proses mekanis yang dilalui berupa sieving drum, magnetic separator, sorting cabin. Sedangkan proses biologisnya tetap menggunakan aerated windrow heap composting.
Gambar 3. 7 Tahap pengolahan mekanis dalam MBT
Gambar 3. 8 Tahap aerated heaps pada MBT
Sebagai teknologi pra-treatment sampah, MBT menawarkan beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut.
1. Menurunkan besar timbulan sampah lebih dari 50% 2. Meningkatkan usia pakai landfill hingga 3-4 kali 3. Menurunkan aktivitas biolgis hingga lebih dari 90%
4. Mengurangi potensi emisi landfill hingga lebih dari 90% (gas dan lindi yang dihasilkan oleh landfill menurun)
5. Mengurangi kandungan air
6. Mengurangi aktivitas pengendapan 7. Recovery material dan energy
8.
8. Mengurangi biaya operasional dan post-operasionalMengurangi biaya operasional dan post-operasional 9.
9. Mempermudah operasional landfillMempermudah operasional landfill 10.
10.Memiliki proses operasional dan control yang sederhanaMemiliki proses operasional dan control yang sederhana 11.
11.Meningkatkan kestabilan landfillMeningkatkan kestabilan landfill 3.2.
3.2. Anaerobik Digester Anaerobik Digester
Proses anaerob adalah proses pengolahan secara biologi yang terjadi tanpa kehadiran oksigen. Proses anaerob adalah proses pengolahan secara biologi yang terjadi tanpa kehadiran oksigen. Pengolahan secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme fakultatif dan obligat anaerob, Pengolahan secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme fakultatif dan obligat anaerob, dimana tanpa kehadiran oksigen akan mengubah senyawa organic menjadi gas sebagai hasil dimana tanpa kehadiran oksigen akan mengubah senyawa organic menjadi gas sebagai hasil akhir semacam karbondioksida dan metana. Pada proses anaerob yang menjadi akseptor akhir semacam karbondioksida dan metana. Pada proses anaerob yang menjadi akseptor electron adalah senyawa organic dari perubahan organic menjadi CH
electron adalah senyawa organic dari perubahan organic menjadi CH44. Fermentasi anaerob. Fermentasi anaerob
membutuhkan organisme lain dalam mendegradasi senyawa organic menjadi metan karena membutuhkan organisme lain dalam mendegradasi senyawa organic menjadi metan karena terbatasnya jumlah substratyang dikatabolisme oleh bakteri metanogen (Sawatdeenarunat, terbatasnya jumlah substratyang dikatabolisme oleh bakteri metanogen (Sawatdeenarunat, 2006).
2006).
Anaerobic digestion (AD) serupa dengan pengomposan tetapi dalam kondisi tanpa oksigen. Anaerobic digestion (AD) serupa dengan pengomposan tetapi dalam kondisi tanpa oksigen. Terdapat berbagai variasi
Terdapat berbagai variasi anaerobic digestionanaerobic digestion yang yang meliputi (Junipermeliputi (Juniper, 2005):, 2005):
•
• Proses kering (penambahan air minimal) dan Proses kering (penambahan air minimal) dan basah (suspense ataubasah (suspense atau slurryslurry)) •
• Proses mesofilik (35Proses mesofilik (35oo) dan termofilik (55) dan termofilik (55ooC)C) •
• Proses satu tahap dan dua tahapProses satu tahap dan dua tahap •
• Perkolasi, hidrolisis dan fermentasi dari fasa yang mengandung airPerkolasi, hidrolisis dan fermentasi dari fasa yang mengandung air •
• Proses interval Proses interval (aerobic-anaerobik-aerobik)(aerobic-anaerobik-aerobik)
Digestion
Digestion dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan airnya, yaitu fermentasi keringdibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kandungan airnya, yaitu fermentasi kering dengan kadar padatan terlarut > 25% dan fermentasi basah dengan kadar padatan terlarut <15%. dengan kadar padatan terlarut > 25% dan fermentasi basah dengan kadar padatan terlarut <15%. Anaerobi
Anaerobi digestiondigestion pada umumnya dikombinasikan dengan tahap dari proses pengomposanpada umumnya dikombinasikan dengan tahap dari proses pengomposan karena tidak semua substansi organic dapat
karena tidak semua substansi organic dapat didegradasi dalam kondisi anaerob.didegradasi dalam kondisi anaerob. Anaerobic
Anaerobic digestiondigestion wet wet (basah) membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi dibanding (basah) membutuhkan biaya operasional yang lebih tinggi dibanding dengan
dengan anaerobic digestion dryanaerobic digestion dry (kering). Pada system basah, proses degradasi menghasilkan(kering). Pada system basah, proses degradasi menghasilkan lebih banyak residu berupa air sehingga operasional
lebih banyak residu berupa air sehingga operasional anaerobic digestionanaerobic digestion juga juga harus dilengkapiharus dilengkapi dengan sarana pengolahan
dengan sarana pengolahan efluen tersebut. Keuntungan efluen tersebut. Keuntungan dari dari system kering adalah permsystem kering adalah permasalahanasalahan seperti
seperti settlingsettling,, foaming, foaming, dan flotasi yang sering muncul pada system basah dapat dihindari.dan flotasi yang sering muncul pada system basah dapat dihindari. Namun
Namun anaerobic digestionanaerobic digestion kering sangat ditentukan oleh material input, sehingga proses ini kering sangat ditentukan oleh material input, sehingga proses ini sangat bergantung pada pengadukan eksternal dari input
Untuk melakukan pengolahan sampah dengan metode
Untuk melakukan pengolahan sampah dengan metode anaerobic digestion,anaerobic digestion, terdapat beberapaterdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, antara lain ketersediaan oksigen, kadar air, ukuran dan densitas, faktor yang harus diperhatikan, antara lain ketersediaan oksigen, kadar air, ukuran dan densitas, temperature, pH dan alkalinitas, rasion C/N, kelembaban, toksisitas, dan logam berat.
temperature, pH dan alkalinitas, rasion C/N, kelembaban, toksisitas, dan logam berat. Ketersediaan Oksigen
Ketersediaan Oksigen
Bakteri metanogen adalah bakteri
Bakteri metanogen adalah bakteri strict anaerobstrict anaerob, makan kehadiran O, makan kehadiran O22 akan mengganggu proses akan mengganggu proses
dan merupakan inhibitor. dan merupakan inhibitor. Kadar Air
Kadar Air
Kadar air sangat berpengaruh dalam proses dekomposisi secara biologi. Selain itu juga dapat Kadar air sangat berpengaruh dalam proses dekomposisi secara biologi. Selain itu juga dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri dan proses metanogenesis. Kurva yang terbentuk akan menstimulasi pertumbuhan bakteri dan proses metanogenesis. Kurva yang terbentuk akan cenderung naik pada tahap hidrolisis kemudian menurun dan stabil. Kadar air yang rendah akan cenderung naik pada tahap hidrolisis kemudian menurun dan stabil. Kadar air yang rendah akan menghambat proses degradasi karena mikroorganisme yang ada di dalam reactor akan lebih menghambat proses degradasi karena mikroorganisme yang ada di dalam reactor akan lebih banyak tertutup oleh air
banyak tertutup oleh air dibandingkan udara sehingga akan menciptakan suasana anaerob.dibandingkan udara sehingga akan menciptakan suasana anaerob. Ukuran dan Densitas
Ukuran dan Densitas
Kecepatan dekomposisi tergantung dari rasio luas permukaan terhadap volume. Semakin besar Kecepatan dekomposisi tergantung dari rasio luas permukaan terhadap volume. Semakin besar rasio, berarti ukuran semakin kecil, maka dekomposisi semakin cepat. Jika dekomposisi rasio, berarti ukuran semakin kecil, maka dekomposisi semakin cepat. Jika dekomposisi berlangsung cepat, maka pembentukan gas CH
berlangsung cepat, maka pembentukan gas CH44 akan semakin cepat pula. akan semakin cepat pula.
Temperatur Temperatur
Temperatur merupakan parameter proses yang sangat penting. Bakteri anaerob bertahan hidup Temperatur merupakan parameter proses yang sangat penting. Bakteri anaerob bertahan hidup dari temperature beku hingga 70
dari temperature beku hingga 70ooC, tetapi berkembang dengan baik pada kondisi mesofilikC, tetapi berkembang dengan baik pada kondisi mesofilik (25
(25ooC – 40C – 40ooC, optimum pada 35C, optimum pada 35ooC) atau dalam kondisi termofilik (50C) atau dalam kondisi termofilik (50ooC-65C-65ooC, optimum pada <C, optimum pada < 55
55ooC). Bakteri metan tumbuh baik pada temperature mesofilik (30C). Bakteri metan tumbuh baik pada temperature mesofilik (30ooC-40C-40ooC) maupun termofilikC) maupun termofilik (45
(45ooC-55C-55ooC). Kecepatan reaksi mikroorganisme menurun pada range diantara keduaC). Kecepatan reaksi mikroorganisme menurun pada range diantara kedua temperature optimum tersebut.
temperature optimum tersebut. Sebagian besar
Sebagian besar digester anaerobdigester anaerob dioperasikan pada temperature mesofilik, tapi proses dioperasikan pada temperature mesofilik, tapi proses metanogenesis juga dapat terjadi pada temperature terendah, 4
metanogenesis juga dapat terjadi pada temperature terendah, 4ooC. Menjaga temperature agarC. Menjaga temperature agar konstan lebih penting daripada menjaga temperature yang memberikan laju maksimum dalam konstan lebih penting daripada menjaga temperature yang memberikan laju maksimum dalam proses metanogenesis karena penyesuaian bakteri matanogen terhadap perubahan kondisi lebih proses metanogenesis karena penyesuaian bakteri matanogen terhadap perubahan kondisi lebih lambat dari pada bakteri asidogen. Hal tersebut menyebabkan akumulasi produk asam-asam lambat dari pada bakteri asidogen. Hal tersebut menyebabkan akumulasi produk asam-asam organic. Akibatnya akan terjadi keti
organic. Akibatnya akan terjadi ketidakseimbangan yang dapat menjurus pada kegagalan proses.dakseimbangan yang dapat menjurus pada kegagalan proses. pH dan Alkalinitas
pH dan Alkalinitas
pH merupakan variable utama yang harus diatur dan dijaga. pH
pH merupakan variable utama yang harus diatur dan dijaga. pH digester digester yang diperbolehkan yang diperbolehkan sekitar 5,5-8,5. Namun, bakteri metanogen ha
sekitar 5,5-8,5. Namun, bakteri metanogen ha nya dapat hidup pada pH nya dapat hidup pada pH 6,7-7,4 (Buekens, 2005).6,7-7,4 (Buekens, 2005). Komposisi maupun kecepatan produksi dipengaruhi oleh perubahan dalam pH digester. Komposisi maupun kecepatan produksi dipengaruhi oleh perubahan dalam pH digester.
Sebagian besar mikroorganisme tumbuh di bawah pH netral karena nilai pH yang lain berakibat Sebagian besar mikroorganisme tumbuh di bawah pH netral karena nilai pH yang lain berakibat tidak baik pada metabolism dengan merubah kesetimbangan kimia dari reaksi enzimatik atau tidak baik pada metabolism dengan merubah kesetimbangan kimia dari reaksi enzimatik atau dengan merusak enzim mikroorganisme kelompok metanogen yang paling sensitive terhadap dengan merusak enzim mikroorganisme kelompok metanogen yang paling sensitive terhadap pH.
pH.
Pada dasarnya alkalinitas menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh basa yang Pada dasarnya alkalinitas menyatakan jumlah total asam yang dapat dinetralkan oleh basa yang ditambahkan ke dalam system. Jika konsentrasi asam volatile naik, pH dibuffer oleh alkalinitas ditambahkan ke dalam system. Jika konsentrasi asam volatile naik, pH dibuffer oleh alkalinitas bikarbonat. Dengan demiian nilai alkalinitas yang rendah dalam reactor anaerob bukan bikarbonat. Dengan demiian nilai alkalinitas yang rendah dalam reactor anaerob bukan merupakan factor yang aman bila terjadi peningkatan konsentrasi asam volatile. Untuk merupakan factor yang aman bila terjadi peningkatan konsentrasi asam volatile. Untuk mengontrol alkalinitas dan pH dilakukan penambahan bahan-bahan alkali seperti kapur, Na mengontrol alkalinitas dan pH dilakukan penambahan bahan-bahan alkali seperti kapur, Na22COCO33
atau NaOH ke dalam reaktor. atau NaOH ke dalam reaktor. Rasio C/N
Rasio C/N
Rasio C/N yang optimum untuk proses anaerob adalah 30. Range rasio C/N optimum untuk Rasio C/N yang optimum untuk proses anaerob adalah 30. Range rasio C/N optimum untuk pembentukan metan 20-35%, sedangkan rasio C/P ideal hanya 150 (Oktaviani, 2008). Jika pembentukan metan 20-35%, sedangkan rasio C/P ideal hanya 150 (Oktaviani, 2008). Jika kandungan substrat diukur sebagai COD, maka seringkali dinyatakan bahwa rasio COD:N:P kandungan substrat diukur sebagai COD, maka seringkali dinyatakan bahwa rasio COD:N:P pada air limbah yang akan
pada air limbah yang akan diolah harus mendekati 250:5:1 untuk diolah harus mendekati 250:5:1 untuk pengolahan anaerobic (Metcalfpengolahan anaerobic (Metcalf and Eddy, 1991).
and Eddy, 1991). Kelembaban Kelembaban
Disamping merupakan kebutuhan mikroorganisme, kelembaban juga dibutuhkan untuk Disamping merupakan kebutuhan mikroorganisme, kelembaban juga dibutuhkan untuk mengencerkan cairan nutrisi dan mendistribusikan nutrisi dalam timbunan sampah. Disamping mengencerkan cairan nutrisi dan mendistribusikan nutrisi dalam timbunan sampah. Disamping itu, laju produksi gasbio akan bertambah dengan bertambahnya kelembaban. Peningkatan laju itu, laju produksi gasbio akan bertambah dengan bertambahnya kelembaban. Peningkatan laju produksi gasbio sangat berarti pada kandungan kelembaban sekitar 60-70% dan cenderung produksi gasbio sangat berarti pada kandungan kelembaban sekitar 60-70% dan cenderung menurun pada level yang lebih tinggi.
menurun pada level yang lebih tinggi. Toksisitas
Toksisitas
Proses digesti dihambat oeh tingkat toksik dari berbagai zat. Indikator paling sensitif dari Proses digesti dihambat oeh tingkat toksik dari berbagai zat. Indikator paling sensitif dari toksisitas adalah produksi metan, selain peningkatan asam volatil. Senyawa yang dapat toksisitas adalah produksi metan, selain peningkatan asam volatil. Senyawa yang dapat mengganggu berlangsungnya proses anaerob itu antara lain adalah asam volatile, ammonia, mengganggu berlangsungnya proses anaerob itu antara lain adalah asam volatile, ammonia, hydrogen sulfide, logam berat, dan salinitas
hydrogen sulfide, logam berat, dan salinitas (Grady & Lin, 1990)(Grady & Lin, 1990) Logam berat
Logam berat
Kehadiran logam, terutama logam berat dalam tanah dan air tanah patut mendapatkan perhatian Kehadiran logam, terutama logam berat dalam tanah dan air tanah patut mendapatkan perhatian yang serius paling tidak karena
yang serius paling tidak karena hal-hal berikut.hal-hal berikut.
•
• Sifat racun logam dan potSifat racun logam dan potensial karsinogeniknyaensial karsinogeniknya •
• Mobilitas dalam tanah bisa dengan cepat berubah, dari yang tadinyaMobilitas dalam tanah bisa dengan cepat berubah, dari yang tadinya immobileimmobile atau dalam atau dalam
bentuk logamnya menjadi bentuk terlarut dalam spesies yang dengan mudah dapat berubah. bentuk logamnya menjadi bentuk terlarut dalam spesies yang dengan mudah dapat berubah.
• Logam mempunyai sifat konservatif dan cenderung kumulatif dalam tubuh manusia.
3.3. Composting (pengomposan):
Kompos didefinisikan sejenis pupuk organik, dimana kandungan unsur N, P dan K yang tidak terlalu tinggi , hal ini membedakan kompos dengan pupuk buatan. Kompos sangat banyak mengandung unsur hara mikro yang berfungsi membantu memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan porositas tanah sehingga tanah menjadi gembur dan lebih mampu menyimpan air (Tchobanoglous et al.,1993). Adapun manfaat dari kompos adalah :
Memperbaiki struktur tanah;
-
Sebagai bahan baku pupuk organik;-
Sebagai media remediasi tanah yang tercemar (pemulih tanah akibat pencemaran bahankimia yang toxic terhadap mikroba tanah);
-
Meningkatkan oksigen dalam tanah;-
Menjaga kesuburan tanah;-
Mengurangi kebutuhan pupuk inorganik.Cara atau metoda untuk membuat kompos adalah proses komposting. Proses komposting ini merupakan proses dengan memanfaatkan proses biologis yaitu pengembangan massa mikroba yang dapat tumbuh selama proses terjadi. Metoda ini adalah proses biologi yang mendekomposisi sampah (terutama sampah organic yang basah) menjadi kompos karena adanya interaksi kompleks dari organisme yang terdapat secara alami. Berdasarkan prinsip proses biologis ini, maka karakteristik dari mikroba menjadi penting untuk diperhatikan. Jenis mikroba yang dimaksud adalah jenis mikroba yang diklasifikasikan dari cara hidupnya, yaitu : - Mikroba anarobik (yaitu mikroba yang hidup tanpa oksigen); jenis mikroba ini juga dibagi
dalam 2 jenis, yaitu: mesofilik (hidup pada temperature 20-40oC), dan thermophilic (hidup pada temperature 45-70oC)
- Mikroba aerobic adalah mikroba yang hanya dapat hidup dengan adanya oksigen. Sama dengan mikroba anaerobic berdasarkan fluktuasi kondisi suhu di dalam tumpukan kompos dapat dibedakan menjadi mesophilic dan thermophilic.
Proses komposting merupakan suatu proses yang paling relatif mudah dan murah, serta menimbulkan dampak lingkungan yang paling rendah. Proses ini hampir sama dengan pembusukan secara lamiah, dimana berbagai jenis mikroorganisme berperan secara serentak dalam habitatnya masing-masing. Makanan untuk mikorooganisme adalah sampah, sedangkan suplai udara dan air diatur dalam proses komposting ini.
Jenis sampah sangat mempengaruhi proses composting ini. Sampah yang dapat dikomposkan adalah sampah organik atau sering disebut sampah basah adalah jenis sampah yang berasal dari jasad hidup sehingga mudah membusuk dan dapat hancur secara alami. Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, ampas perasan kelapa, dan potongan rumput /daun/ ranting dari kebun.
Gambar 3. 9 Sampah yang dapat dikomposkan (ESP, USAID)
Berdasarkan teknologi proses, pengolahan kompos dapat dibedakan menjadi komposting aerobik dan anaerobik.
a. Komposting aerobik
Komposting aerobik, adalah komposting yang menggunakan oksigen dan memanfaatkan respiratory metabolism, dimana mikroorganisme yang menghasilkan energi karena adanya aktivitas enzim yang membantu transport elektron dari elektron donor menuju external electron acceptor adalah oksigen.
Reaksi yang terjadi :
Ada beberapa metoda atau teknologi proses komposting secara aerobik, yaitu:
1. Windrow composting didefinisikan sebagai sistem terbuka, pemberian oksigen secara alamiah, dengan pengadukan/pembalikan, dibutuhkan penyiraman air untuk menjaga kelembabannya.
2. Aerated static pile composting memiliki pengertian sistem composting dengan menggunakan pipa berlubang yang berfungsi untuk mengalirkan udara. Proses composting diatur melalui pengaliran oksigen. Bila temperature terlalu tinggi, aliran oksigen dihentikan, sementara bila temperature turun aliran oksigen ditambah
Gambar 3. 10 Aerobic composting Keuntungan :
- Biaya relatif murah untuk windrow komposting
- Proses lebih sederhana dan cepat (khususnya yang menggunakan aerasi mekanis)
- Dapat dibuat dalam skala kecil dan mobile (in-vessel composting) Sehingga dapat dibuat dalam bentuk modul-modul)
Kerugian :
- Masih menimbulkan dampak negatif berupa bau, lalat, cacing dan rodent, serta air leachate
- Operasional kontrol temperatur dan kelembaban sulit, karena kontak langsung dengan udara bebas, sering tidak mencapai kondisi optimal
- Membutuhkan lahan yang luas untuk sistem windrow composting, karena proses pengomposan sampai pematangan membutuhkan waktu minimal 60 hari.
b. Komposting anaerobik
Proses komposting tanpa menggunakan oksigen. Bakteri yang berperan adalah bakteri obligate anaerobik. Proses berlangsung dengan reaksi sebagai berikut :
ℎ + + → + + + + + +
Dalam proses ini terdapat potensi hasil sampingan yang cukup mempunyai arti secara ekonomis yaitu gas bio, yang merupakan sumber energi alternatif yang sangat potensial. Berdasarkan pendekatan waste to energy (WTE) diketahui bahwa 1 ton sampah organik dapat menghasilkan 403 Kwh listrik.
Keuntungan :
-
Tidak membutuhkan energi, tetapi justru menghasilkan energi-
Dalam tangki tertutup sehingga tedak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkunganKerugian :
-
Untuk pemanfaatan biogas dibutuhkan kapasitas yang besar karena factor skala ekonomissehingga kurang cocok diterapkan pada suatu kawasan kecil.
-
Biaya lebih mahal, karena harus dalam reaktor yang tertutup.Pengomposan aerobik lebih banyak dilakukan karena tidak menimbulkan bau, waktu pengomposan lebih cepat, temperatur proses pembuatannya tinggi sehingga dapat membunuh bakteri patogen dan telur cacing, sehingga kompos yang dihasilkan lebih higienis. Dalam produk akhir, materi organik belumlah dapat dikatakan stabil, namun dapat disebut stabil secara biologis. Adapun perbedaan antara pengomposan secara aerob dan anerob ditunjukkan pada Tabel 3.2 berikut (Damanhuri & Tri Padmi, 2010).
Tabel 3. 2 Perbandingan pengomposan aerob dan anaerob
No. Karakteristik Aerob Anaerob
1. Reaksi
pembentukannya
Eksotermis, butuh enersi luar, dihasilkan panas
Endotermis, tidak butuh enersi luar, dihasilkan gas bio sumber
enersi
2. Produk akhir Humus, CO2, H2O Lumpur, CO2, CH4
3. Reduksi volume Lebih dari 50% Lebih dari 50%
4. Waktu proses 20-30 hari 20-40 hari
5. Tujuan utama Reduksi volume Produksi enersi
6. Tujuan sampingan Produksi kompos Stabilisasi buangan
7. Estetika Tidak menimbulkan bau Menimbulkan bau
Untuk menunjang keberhasilan dalam proses komposting ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dan sangat mempengaruhi berjalannya proses ini yaitu :
1. Kadar air, untuk menjaga aktivitas mikroorganisme. Kadar air berkisar antara 50-60%, optimum 55%.
nitrogen (N) berfungsi untuk membangun sel-sel tubuh mikroorganisme. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan Berat kering), sedang C/N di akhir proses adalah 12 – 15. Pada rasio yang lebih rendah, ammonia akan dihasilkan dan aktivitas biologi akan terhambat, sedang pada ratio yang lebih tinggi, nitrogen akan menjadi variabel pembatas (Damanhuri & Tri Padmi, 2010).
3. Temperatur, merupakan faktor penting dalam kehidupan mikroorganisme agar dapat hidup dengan baik. Suhu pada hari-hari pertama pengomposan harus dipertahankan berkisar antara 50-55oC, sedangkan pada hari-hari berikutnya 55-60oC.
4. pH, juga sebagai indikator kehidupan mikroorganisme. Rentang pH dipertahankan berkisar antara 7 sampai 7,5.
5. Ukuran partikel, berhubungan dengan peningkatan rata-rata reaksi dalam proses. Ukuran partikel berkisar antara 25-75 mm. Bila ukuran sampah makin kecil, akan makin luas permukaan, sehingga makin baik kontak antara bakteri dan materi organik, akibatnya akan makin cepat proses pembusukan. Namun bila diameter terlalu kecil, kondisi bisa menjadi anaerob karena ruang untuk udara mengecil (Damanhuri & Tri Padmi, 2010).
6. Blending dan Seeding , pencampuran ini dipengaruhi oleh rasio C/N dan kadar air. Lumpur tinja sering ditambahkan pada kompsting sampah untuk meningkatkan rasio C/N.
7. Suplai oksigen, sangat penting dalam proses pengomposan secara aerobic. Suplai oksigen secara teoritis biasanya ditentukan berdasarkan komposisi sampah yang dikomposkan. Pada proses konvensional, suplai oksigen dilakukan dengan pembalikan tumpukan sampah. Pembalikan menyebabkan distribusi sampah dan mikroorganisme akan lebih merata. Secara praktis, pembalikan biasanya dilakukan setiap 5 hari sekali. Pada pengomposan tradisional, tersedianya oksigen akan dipengaruhi tinggi tumpukan. Tinggi tumpukan sebaiknya 1,25 - 2 m. Pada proses mekanis, suplai oksigen dilakukan secara mekanis, biasanya dengan menarik udara yang berada dalam kompos, sehingga udara dari luar yang kaya oksigen menggantikan udara yang ditarik keluar yang kaya CO2. Untuk hasil yang optimum, diperlukan udara yang mengandung lebih dari 50% oksigen (Damanhuri & Tri Padmi, 2010).
8. Pengadukan, berfungsi untuk menjaga kadar air, menyeragamkan nutrient dan mikroorganisme.
9. Kontrol pathogen, dilakukan dengan pengontrolan suhu, dimana pathogen biasanya akan mati pada suhu 60-700C selama 24 jam.
Operasional Proses Komposting
Operasional proses komposting secara umum sangat tergantung dari teknologi yang digunakan dan tergantung dari alat komposter dan lokasi dimana proses komposting dilaksanakan.
a. Pemilahan
Pada pengomposan, sampah dipilah dan bahan organik biodegradabel diproses menjadi kompos. Ada beberapa metode pemilahan yaitu :
• Secara manual; dimana sampah dibongkar dan dipilah sepenuhnya dengan tenaga manusia. • Secara semi mekanis yaitu dengan bantuan ban berjalan yang dibantu oleh petugas pemilah; • Secara mekanis :
- Sampah berjalan diatas conveyor selanjutnya akan mengalami beberapa tahapan proses yaitu - Pemisahan logam besi dengan menggunakan magnet
- Pemisahan sampah ringan dengan air separator
- Pemisahan organik dengan saringan putar (rotary screen) atau saringan getar b. Pencacahan
Pencacahan ini berfungsi untuk memperbesar luas permukaan kontak dari sampah sehingga mempercepat proses komposting.
Pencacahan pada skala kawasan
-
Motor penggerak mesin cacah dihidupkan hingga stationer-
Sampah organik dituangkan ke dalam hopper hingga tercacah dan keluar dalam bentukserpihan dan ditampung untuk proses berikutnya Pencacahan pada skala kota
-
Sampah dituangkan ke lubang penerimaan (hopper)-
Dengan menggunakan conveyor, sampah dimasukkan kedalam mesin cacah (chrusher)-
Pencacahan dalam mesin dengan menggunakan penghancur (hammer)-
Sampah yang telah hancur berjalan melalui conveyor menuju proses selanjutnya.c. Proses Komposting Windrow composting :
-
Sampah organik ditumpuk diatas lorong udara sampai ketinggian 1,5 m membentuklajur-lajur (row) dengan panjang sesuai rencana
-
Aliran udara dari lorong akan menyediakan udara/oksigen bagi proses-
dekomposisi yg berlangsung-
Tumpukan sampah dibalik untuk menjaga agar kelembaban atau suhu selalu berada dalambatas yang diijinkan
-
Kompos akan terbentuk sekitar 5-6 minggu-
Proses pematangan kompos perlu waktu 1-2 mingguStatic pile composting :
-
Sampah organik ditumpuk diatas lahan yang telah dilengkapi dengan sistem perpipaanporous untuk penghawaan
-
Kompos akan terbentuk sekitar 3-4 minggu-
Proses pematangan kompos perlu waktu 1-2 minggud. Proses Pematangan
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam composting adalah fase kematangan kompos. Kematangan kompos didefinisikan sebagai keadaan antara bahan organic mentah dengan busuk sempurna atau mati. Indikator yang biasanya digunakan sebagai indikasi kematangan kompos adalah :
-
Suhu, setelah beberapa lama dalam keadaan termofilik suhu akan menurun mendekati suhuruangan. Jika proses pengadukan tidak menyebabkan suhu meningkat kembali dan suhu sudah stabil, maka dapat dianggap kompos mencapai kematangan.
-
Rasio C/N, selama proses berlangsung rasio C/N akan mengalami penurunan. Standardpengukuran kematangan kompos adalah rasio C/N ≤ 20.
-
Bentuk fisik, secara sederhana untuk mengetahui kompos sudah matang atau tidak adalahdari bentuk fisik yang menyerupai tanah.
-
Bau, jika kompos diambil dalam dua genggaman tangan, dimasukkan dalam kantong plastikdan diamkan selama 2 x 24 jam. Bila kantong palstik menggelembung dan panas atau waktu kantong dibuka menimbulkan bau yang menyengat, maka kompos belum matang.
e. Pengayakan
Berfungsi untuk memisahkan sampah halus dan sampah kasar, serta berfungsi untuk memisahkan antara sampah yang belum menjadi kompos dengan produk kompos.
Standar Kompos
Pengendalian mutu dari kompos sangat penting diperhatikan karena akan mempengaruhi kondisi tanah dan tanaman yang akan menyerap unsur-unsur yang disediakan oleh kompos. Selain itu kompos dibuat dari bahan seperti sampah dengan campuran lumpur dan kotoran sehingga diharuskan ada quality control untuk mencegah adanya kontaminasi dari bahan berbahaya yang terkandung dalam bahan baku pembuat kompos.
Tabel 3. 3 Standar kualitas kompos
No Parameter Satuan Minim Maks No Parameter Satuan Minim Maks
1 Kadar Air % ºC 50 17 Cobal (Co) mg/kg * 34 2 Temperatur Suhu air tanah 18 Chromium
(Cr)
mg/kg * 210
3 Warna Kehitaman 19 Tembaga (Cu)
mg/kg * 100
4 Bau Berbau tanah 20 Mercuri (Hg) mg/kg 0,8
5 Ukuran Partikel mm 0,55 25 21 Nikel (Ni) mg/kg * 62 6 Kemampuan
Ikat Air
% 58 22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
7 pH 6,80 7,49 23 Selenium (Se) mg/kg * 2 8 Bahan Asing % * 1,5 24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur Makro Unsur Lain
9 Bahan Organik % 27 58 25 Calsium % * 25,50 10 Nitrogen % 0,40 26 Magnesium
(Mg)
% * 0,60
11 Karbon % 9,80 32 27 Besi (Fe) % * 2,00 12 Phosfor (P205) % 0,10 28 Aluminium
(Al)
% 2,20
13 C/N-rasio 10 20 29 Mangan (Mn) % 0,10 14 Kalium (K20) % 0,20 * Bakteri
Unsur Mikro 30 Fecal Coli MPN/gr 1000
15 Arsen mg/kg * 13 31 Salmonella sp. MPN/4 gr 3
16 Cadmium (Cd) mg/kg * 3
3.4. Insinerasi (Pembakaran)
Salah satu jenis pengolah sampah yang sering digunakan sebagai alternatif penanganan sampah adalah insinerator. Teknologi insinerasi merupakan teknologi yang mengkonversi materi padat (dalam hal ini sampah) menjadi materi gas (gas buang), serta materi padatan yang sulit terbakar, yaitu abu (bottom ash) dan debu ( fly ash). Salah satu kelebihan yang dikembangkan terus dalam teknologi terbaru dari insinerator ini adalah pemanfaatan enersi, sehingga nama insinerator cenderung berubah seperti waste-to-energy, thermal converter (Vesiling & Rimer dalam Damanhuri & Tri Padmi, 2010). Meskipun teknologi ini mampu melakukan reduksi volume sampah hingga 70%, namun teknologi insinerasi membutuhkan biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang cukup tinggi.
Insinerasi merupakan proses pengolahan buangan dengan cara pembakaran pada temperatur yang sangat tinggi (>800ºC) untuk mereduksi sampah yang tergolong mudah terbakar (combustible), yang sudah tidak dapat didaurulang lagi. Sasaran insinerasi adalah untuk mereduksi massa dan volume buangan, membunuh bakteri dan virus dan meredukdi materi kimia toksik, serta memudahkan penanganan limbah selanjutnya. Insinerasi dapat mengurangi volume buangan padat domestik sampai 85-95 % dan pengurangan berat sampai 70-80 %.
Khusus untuk sampah kota, sebuah insinerator akan dianggap layak bila selama pembakarannya tidak dibutuhkan subsidi enersi dari luar. Jadi sampah tersebut harus terbakar dengan sendirinya. Sejenis sampah akan disebut layak untuk insinerator, bila mempunyai nilai kalor sebesar paling tidak 1200 kcal/kg-kering. Untuk sampah kota di Indonesia, angka ini umumnya merupakan ambang tertinggi. Disamping itu, sampah kota di Indonesia dikenal mempunyai kadar air yang tinggi (sekitar 60 %), sehingga akan mempersulit untuk terbakar sendiri. Hambatan utama penggunaan insinerator adalah kekhawatiran akan pencemaran udara (Damanhuri & Tri Padmi, 2010).
Terdapat 3 parameter utama dalam operasi insinerator yang harus diperhatikan, yaitu 3-T (Temperature,Time, dan Turbulence) [Wilson, 1977]:
−
Temperature (Suhu): Berkaitan dengan pasokan oksigen (melalui udara). Udara yangdipasok akan menaikkan temperature karena proses oksidasi materi organik bersifat eksotermis. Temperatur ideal untuk sampah kota tidak kurang dari 800 oC.
−
Time (waktu): Berkaitan dengan lamanya fasa gas yang harus terpapar dengan panas yangtelah ditentukan. Biasanya sekitar 2 detik pada fase gas, sehingga terjadi pembakaran sempurna.
−
Turbulensi: Limbah harus kontak sempurna dengan oksigen. Insinerator besar diaturdengan kisi-kisi atau tungku yang dapat bergerak, sedang insinerator kecil (modular) tungkunya adalah statis.
Teknologi insinerasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu (Damanhuri & Tri Padmi, 2010): a. Mengurangi massa / volume: proses insinerasi adalah proses oksidasi (dengan oksigen atau
udara) limbah combustible pada temperatur tinggi. Akan dikeluarkan abu, gas, limbah sisa pembakaran dan abu, dan diperoleh pula enersi panas. Bila pembakaran sempurna, akan tambah sedikit limbah tersisa dan gas yang belum sempurna terbakar (seperti CO). Panas yang tersedia dari pembakaran limbah sebelumnya akan berpengaruh terhadap jumlah bahan bakar yang dipasok. Insinerator yang bekerja terus menerus akan menghemat bahan bakar.
b. Mendestruksi komponen berbahaya: insinerator tidak hanya untuk membakar sampah kota. Sudah diterapkan untuk limbah non-domestik, seperti dari industri (termasuk limbah B3), dari kegiatan medis (untuk limbah infectious). Insinerator tidak hanya untuk membakar limbah padat. Sudah digunakan untuk limbah non-padat, seperti sludge dan limbah cair yang sulit terdegradasi. Teknologi ini merupakan sarana standar untuk menangani limbah medis dari rumah sakit. Sasaran utamanya adalah mendestruksi patogen yang berbahaya seperti kuman penyakit menular. Syarat utamanya adalah panas yang tinggi (dioperasikan di atas 800o C). Dalam hal ini limbah tidak harus combustible, sehingga dibutuhkan subsidi bahan bakar dari luar
c. Insinerasi adalah identik dengan combustion, yaitu dapat menghasilkan enersi yang dapat dimanfaatkan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah kuantitas dan kontinuitas limbah yang akan dipasok. Kuantitas harus cukup untuk menghasilkan enersi secara kontinu agar suplai enersi tidak terputus.
Skema insinerator kapasitas besar untuk sampah kota umumnya terdiri atas bagian-bagian berikut ini.
−
Unit Penerima: perlu untuk menjaga kontinuitas suplai sampah.−
Sistem Feeding /Penyuplai: agar instalasi terus bekerja secara kontinu tanpa tenagamanusia.
−
Tungku pembakar: harus bisa mendorong dan membalik sampah.−
Suplai udara: agar tetap memasok udara sehingga sistem dapat terbakar. Pasokan udara daribawah adalah suplai utama. Udara sekunder perlu untuk membakar bagian-bagian gas yang tidak sempurna.
−
Kebutuhan udara: tergantung dari jenis limbah−
Pembubuhan air: mendinginkan residu/abu dan gas yang akan keluar stack agar tidakmencemari lingkungan.
−
Unit pemisah: memisahkan abu dari bahan padat yang lain.−
APC (Air Pollution Control): terdapat beragam pencemaran yang akan muncul, khususnya:• Air asam
• Gas yang belum sempurna terbakar: CO
• Gas-gas hasil pembakaran seperti CO2, NOx , SOx, • Dioxin
• Panas
Setiap jenis pencemar, membutuhkan APC yang sesuai pula, sehingga bila seluruh jenis pencemar ini ingin dihilangkan, maka akan dibutuhkan serangkaian unit-unit APC yang sesuai. Pada insinerator modular yang sering digunakan di kota-kota di Indonesia, dapat dikatakan sarana ini belum dilengkapi unit APC, paling tidak untuk mengurangi partikel-partikel debu yang keluar.
−
Cerobong (stack ): semakin tinggi akan semakin baik, terutama untuk daerah sekitarnya,tetapi tidak berarti tidak mengotori udara. Dengan cerobong yang tinggi maka terjadi pendinginan-pengenceran.
−
Dinding insinerator harus tahan panas, dan tidak menyalurkan panas keluar.Gambar 3. 12Unit-unit pada insinerator skala kota 3.5. Pirolisis dan Gasifikasi
a. Pirolisis
Pirolisis adalah degradasi limbah organic secara thermal dalam kondisi tanpa oksigen untuk menghasilkan arang karbon, minyak dan gas yang dapat dibakar. Besarnya produk yang akan dihasilkan dipengaruhi kondisi proses, terutama temperature dan laju pemanasan. Perbedaan utama antara pirolisis, gasifikasi, dan insinerasi terdapat pada jumlah oksigen yang disuplai ke reactor thermal. Pirolisis berjalan tanpa kehadiran oksigen dan gasifikasi menggunakan suplai
oksigen yang terbatas. Melalui kedua proses tersebut pembakaran sempurna tidak terbentuk, sehingga selain gas yang dapat dibakar, karbon monoksida dan hydrogen juga akan dihasilkan. Oksigen untuk gasifikasi disuplai dalam bentuk udara, panas, atau oksigen murni. Insinerasi melibatkan oksidasi sempurna dari limbah dalam kondisi suplai oksigen berlebih untuk menghasilkan karbon dioksida, air dan abu, ditambah beberapa produk seperti logam, trace hidrokarbon, gas asam, dan lain-lain.
Gambar 3. 13Skema perbedaan pirolisis, gasifikasi, dan pembakaran
Materi limbah terdiri dari senyawa kimia yang kompleks, misal limbah domestik yang terdiri dari kertas dan karbon yang tersusun dari polimer kompleks rantai panjang, rantai molekul organic seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Demikian pula dengan limbah biomassa yang lain. Plastik tersusun dari rantai polimer panjang. Proses degradasi thermal atau pirolisis terhadap material tersebut, dalam kondisi tanpa oksigen, menghasilkan pemutusan rantai panjang polimer dan menghasilkan molekul yang lebih pendek dalam bentuk minyak dan gas. Pirolisis berjalan pada temperature yang relative rendah, yaitu dalam rentang 400-800oC. Kondisi proses yang bervariasi mengakibatkan perbedaan produk arang, gas, atau minyak yang dihasilkan. Panas disuplai melalui pemanasan tidak langsung, seperti pembakaran dari gas atau minyak, atau pemanasan langsung menggunakan transfet gas panas. Pirolisis memiliki kelebihan dalam menghasilkan gas atau produk minyak dari limbah yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses pirolisis itu sendiri.
Produk arang padat dari karbonisasi atau pirolisis lambat terhadap kayu telah digunakan selama berabad-abad sebagai proses menghasilkan arang kayu untuk pemanfaatan sebagai bahan bakar dan hasil produk kayu bakar biasanya antara 30-40%. Pirolisis dari bahan limbah juga menghasilkan produk arang dimana persen produksinya tergantung pada kondisi proses. Pirolisis dari limbah domestic (sampah kota) mengahsilkan 35% produk arang dengan kadar abu
hingga 37%, dan pirolisis dengan laju pemanasan yang lambat terhadap limbah ban akan menghasilkan arang hingga 50% dengan kadar abu sekitar 10%. Arang dapat saja digunakan langsung sebagai bahan bakar, dipadatkan menjadi briket bahan bakar, digunakan sebagai bahan adsorpsi seperti karbon aktif, dihancurkan dan dicampur dengan produk minyak pirolisis menghasilkan lumpur (slurry) untuk pembakaran.
Nilai kalori dari arang relative tinggi, missal arang dari sampah kota memiliki nilai kalori sekitar 19MJ/kg, arang dari ban sekitar 29KJ/kg dan limbah kayu menghasilkan arang dengan nilai kalori sekitar 22MJ/kg. Nilai kalori ini sangat kompetitif bila dibandingkan dengan batu bara yang memiliki nilai kalor 20 MJ/kg. Dengan besaran nilai kalor tersebut, arang dari limbah dapat digunakan sebagai bahan bakar kelas menengah.
Produk minyak dari pirolisis limbah memiliki keuntungan dapat digunakan dalam system pembangkitan listrik secara konvensional, seperti mesin diesel atau turbin gas. Akan tetapi, karakteristik dari bahan bakar proses pirolisis dapat tidak sesuai dengan spesifikasi bahan bakar minyak alam dan ada kemungkinan memerlukan modifikasi sebagai pembangkit tenaga atau peningkatan kualitas bahan bakar.
Minyak dari pirolisis memiliki nilai kalor yang bervariasi mulai dari 25 MJ/kg untuk minyak dari limbah domestic (sampah) sampai dengan 42 MJ/kg untuk minyak dari limbah ban. Minyak bahan bakar petroleum memiliki nilai kalor 46 MJ/kg. Bila dibandingkan dengan minyak diesel atau bahan olahan petroleum, minyak dari limbah mempunyai beberapa kemiripan. Akan tetapi, penggunaan langsung minyak dari limbah dalam system pembakaran yang didesain untuk minyak petroleum akan menghadapi beberapa kendala, antara lain: minyak dari biomassa dan sampah bersifat viskos, tingkat asam tinggi, karena kehadiran asam organic dalam minyak dan dapat segera terpolimerisasi. Minyak hasil pirolisis kemungkinan mengandung partikel solid karena proses pengangkutan dari reactor pirolisis. Sebagai konsekuensinya, penggunaan minyak piroisis dalam system liquid spray atau otomatisasi pembakaran seperti mesin diesel, furnace dan boiler, bisa mengakibatkan system menjadi terhambat dan/ atau karatan.
Gas yang dihasilkan dari proses pirolisis terhadap sampah atau biomassa didominasi oleh karbon dioksida, karbon mono oksida, hydrogen, methan, dan sebagian kecil gas hidrokarbon lainnya. Tingginya konsentrasi gas karbon dioksida dan karbon mono oksida berasal dari struktur oksigen yang ada dalam bahan aslinya, antara lain sellulosa, hemisellulosa, dan lignin. Pirolisis dari limbah ban dan campuran plastic akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi untuk gas hydrogen, methan, dan gas hidrokarbon lainnya karena materi limbah mempunyai senyawa karbon dan hydrogen yang tinggi, sedangkan senyawa oksigennya lebih kecil. Gas hasil pirolisis memiliki nilai kalor yang signifikan, sebagai contoh, gas pirolisis konvensional
dari sampah mempunyai nilai kalor sekitar 18MJ/m3 dan limbah kayu menghasilkan nilai kalor sebesar 16MJ/m3.
b. Gasifikasi
Gasifikasi adalah suatu teknologi proses yang mengubah bahan padat menjadi gas. Bahan padat yang dimaksud adalah bahan bakar padat, termasuk diantaranya biomassam batubara, dan arang. Gas yang dimaksud adalah gas-gas yang keluar dari proses gasifikasi dan umumnya berbentuk CO, CO2, H2, dan CH4. Proses gasifikasi dati limbah terjadi pada temperature yang lebih tinggi
dari pirolisis dan dengan penambahan oksigen yang terkontrol. Produk berupa campuran hgas CO dan H2 dikenal sebagai syngas dan bisa digunakan sebagai substitusi gas alami. Reaksi
dasar gasifikasi adalah sebagai berikut.
CnHm + 0,55n O2 -> nCO + 0,5m H2
Proses gasifikasi pada hakikatnya mengoksidasi suplai hidrokarbon pada lingkungan yang terkontrol untuk memproduksi gas sintetis yang memiliki nilai komersial yang signifikan. Gasifikasi adalah suatu alternative yang menarik karena proses ini mencegah pembentukan dioksin dan senyawa aromatic. Proses gasifikasi juga menghasilkan reduksi utama pada volume input limbah rata-rata sekitar 75%.
Gasifikasi berbeda denagn pirolisis dan pembakaran. Ketiganya dibedakan berdasrkan kebutuhan udara yang diperlukan selama proses. Jika jumlah udara: bahan bakar (AFR, Air Fuel Ratio) sama dengan 0, maka proses disebut pirolisis. Jika AFR yang diperlukan selama proses kurang dari 1,5, maka proses disebut gasifikasi. Jika AFR yang diperlukan lebih dari 1,5, maka proses disebut proses pembakaran.
Berdasarkan medium gasifikasik, reaktor gasifikasi (gasifier) dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok:
1. Aliran udaram dimana udara sebagai medium gasifikasinya
2. Aliran oksigen, dimana oksigen murni sebagai medium gasifikasinya
Gasifikasi udara menghasilkan gas dengan nilai panas yang rendah (5000-6000 kJ/kg atau 3-6 MJ/m3, LHV), yang terdiri dari sekitar 50% nitrogen dan dapat digunakan sebagai bahan bakar mesin dan furnace.Oksigen yang dialirkan bebas dari pencampur seperti nitrogen akan menghasilkan LHV yang lebih tinggi (15000kJ/kg atau 10-12MH/m3). Sebagai informasi, gas alam mempunyai LHV sekitar 50000 KJ/kg atau 40 MJ/m3.
1. Entrained bed
2. Fluiduzed bed (Bubbling atau Circulating) 3. Spouted bed (metode semburan)
4. Fixed atau moving bed
Gambar 3. 14Berbagai jenis gasifier
Sistem entrained flow merubah partikel tersuspensi dalam aliran oksigen (atau udara) dan panas menjadi gas. Abu bara yang meleleh pada pengoperasian temperature tinggi dari gasifier disisihkan sebagai liquid slag. Beberapa perusahaan menawarkan teknologi ini secara komersial dalam aplikasi skala besar, seperti Texaco, Shell, dan Koppers-Totzek. Gasifier tipe ini beroperasi pada tekanan hingga 35 bar dan menggunakan oksigen sebagai gasifier mediumnya. Gasifier system entrained ini tersedia dalam kapasitas yang lebih besar dibadingkan gasifier lain(>100Mwe), tetapi kebanyakan digunakan untuk bahan bakar fosil seperti batu bara, limbah pemurnian (refinery waste), dll. Penggunaan untuk gasifikasi biomassa masih terbatas karena system ini memerlukan partikel bahan bakar yang sangat halus (sekitar 80-100 mikron).
Untuk fluidized bed gasifier, bahan bakar digasifikasi dalam suatu unggun (bed) partikel kecil yang terfluidisasi dengan medium gasifikasi yang sesuai seperti udara atau uap panas ( steam). Gasifier unggun terfluidisasi dibagi menjadi 2 jenis utama, yaitu Bubbling fluidized bed gasifier dan Circulating fluidized bed gasifiers. Dalam system gasifier fluidized bed, udara dan bahan
bakar bercampur dalam suatu lapisan oanas dari granular padar seperti pasir. Karena intensitas pengadukan gas dan padatan, zona yang berbeda-pengeringan, pirolisis, oksidasi, reduksi –tidak dibedakan secara nyata, tetapi temperature menjadi seragam di seluruh lapisan. Berbeda dengan gasifier ficxed bed, rasio udara:bahan bakar dapat berubah sehingga temperature lapisan dapat dikontrol dengan mudah. Salah satu kelebihan yang dimiliki gasifier fluidized bed disbanding tipe lain adalah abu yang dihasilkan tidak mudah leleh sehingga penyisihannya menjadi relative lebih sederhana.
Dalam spouted bed, medium gasifikasi menembus lapisan dengan partikel yang relative kasar dengan kecepatan tinggi yang membawa padatan ke lapisan permukaan dimana akan dijatuhkan seperti kran. Padatan ini turun ke bawah bersama dengan medium seperti lapisan yang bergerak untuk dimasukkan kembali ke lapisan. Dalam fixed bed atau moving bed gasifier, medium gasifikasi dialirkan secara menerus dan mencapai kontak dengan lapisan tetap dari partikel bahan bakar padatan. Berdasarkan arah aliran dari medium gasifikasi sepanjang lapisan bahan bakar, tipe gasifier ini dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu Updraft (medium mengalir ke atas), Downdraft (medium mengalir kebawah), Sidedraft (bahan bakar dimasukkan dari atas dan gas mengalir dari samping melewatinya). Suatu gasifier tipe fixed atau moving bed akan terbagi menjadi 2 zona, yaitu pembakaran dan gasifikasi pencampuran gas-solid.
3.6. Daur Ulang Sampah
Daur ulang didefinisikan suatu proses mengumpulkan, memisahkan, melakukan proses, menjual material yang dapat dimanfaatkan kembali atau mengubah menjadi material baru. Dalam pengelolaan sampah terpadu daur ulang merupakan salah satu bagian penting yang ditunjukkan dengan hirarki sebagai berikut.
Daur ulang adalah salah satu komponen dalam hirarki pengelolaan sampah. Konsep daur-ulang (recycle) mengandung pengertian pemanfaatan semaksimal mungkin residu melalui proses, baik sebagai bahan baku untuk produk sejenis seperti asalnya, atau sebagai bahan baku untuk produk yang berbeda, atau memanfaatkan enersi yang dihasilkan dari proses recycling tersebut (Damanhuri & Tri Padmi, 2010). Mengubah bentuk dan sifat sampah melalui proses bio-fisik-kimiawi menjadi produk baru (sampah basah diolah menjadi kompos, sampah plastik diolah menjadi pellet.
Dalam sistem pengelolaan persampahan, upaya daur-ulang memang cukup menonjol, dan umumnya melibatkan sektor informal. Beberapa alasan mengapa daur-ulang mendapat perhatian [Damanhuri & Tri Padmi, 2010]:
a. Alasan ketersediaan sumber daya alam: beberapa sumber daya alam bersifat dapat terbarukan dengan siklus yang sistematis, seperti siklus air. Yang lain termasuk dalam katagori tidak terbarukan, sehingga ketersediaannya di alam menjadi kendala utama. Berdasarkan hal itu, maka salah satu alasan daur-ulang adalah ketersediaan sumber-daya alam
b. Alasan nilai ekonomi: limbah yang dihasilkan dari suatu kegiatan ternyata dapat bernilai ekonomi bila dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan tersebut dapat dalam bentuk pemanfaatan enersi, atau pemanfaatan bahan, baik sebagai bahan utama ataupun sebagai bahan pembantu c. Alasan lingkungan: alasan lain yang paling mendapat perhatian adalah perlindungan
terhadap lingkungan. Komponen limbah yang dibuang ke lingkungan dalam banyak hal mendatangkan dampak negatif pada lingkungan dengan pencemarannya. Pengolahan limbah akan menjadi kewajiban. Namun bila dalam upaya tersebut dapat pula dimanfaatkan nilai ekonomisnya, maka hal tersebut akan menjadi pilihan yang cukup menarik.
Keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan daur ulang dalam pengelolaan sampah antara lain:
• Menghemat penggunaan sumber daya alam, karena dengan adanya daur ulang secara
langsung akan menghemat bahan baku dalam proses produksi.
• Menghemat lahan TPA, karena akan mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA
sehingga dapat memperpanjang masa pakai TPA.
• Menghemat energi, karena dapat mempersingkat alur dalam proses produksi.
• Menciptakan lapangan kerja, baik dalam proses pemilahan, pembuatan produk mapun
penjualan.
• Mengurangi biaya pengelolaan sampah, merupakan dampak langsung dari berkurangnya
sampah yang diangkut ke TPA.
• Meningkatkan kualitas lingkungan, karena dengan adanya daur ulang volume sampah
Program daur ulang dalam perencanaan dan pelaksanaan memerlukan beberapa tahap: a. Pengembangan rencana daur ulang.
b. Penentuan kuantitas dan kualitas sampah yang dapat di daur ulang dan menentukan jenis bahan yang dapat di daur ulang.
c. Rencana pelayanan ke berbagai sumber timbulan (perumahan, komersil dll). d. Merencanakan dan mempersiapkan fasilitas proses yang diperlukan.
e. Mengembangkan pasar dari produk-produk daur ulang.
Jenis sampah yang dapat di daur ulang sangat banyak dan dengan berbagai proses akan menjadi bahan baku untuk proses produksi, antara lain:
• Penggunaan langsung: kayu, drum, meubel, dsb
• Bahan baku untuk remanufakturing: logam aluminium, besi, kertas, karton, gelas, plastik,
karet, dsb. Setiap bahan memerlukan spesifikasi yang ditentukan pembeli, seperti: tingkat kemurnian, densitas, model pengemasan
• Bahan baku untuk konversi biologik dan kimiawi: sampah organik untuk produksi kompos
dan gas
• Bahan bakar: recovery energi panas menjadi listrik melalui proses pembakaran, melalui
konversi sampah menjadi minyak, gas, pelet dsb.
• Reklamasi lahan: sampah konstruksi bangunan, kompos
Berdasarkan jenis sampah di atas dapat ditentukan secara spesifik proses pengolahan lanjutan yang akan dilakukan, seperti:
a. Penggunaan langsung: masih dapat digunakan kembali, tingkat kebersihan (contoh: sepeda, meubel bekas)
b. Bahan baku untuk remanufakturing:
- Aluminium: ukuran partikel, tingkat kebersihan, kelembaban, densitas, jumlah, cara pengiriman, pembeli
- Kertas & karton: sumber, grade, tidak ada majalah, tidak ada perekat, kelembaban, jumlah, cara penyimpanan, pembeli
- Gelas: warna, tidak ada label, logam, & keramik, tingkat kebersihan, jumlah, cara penyimpanan, pembeli
- Logam besi: sumber, densitas, tingkat kebersihan, tingkat kontaminasi dengan kaleng, aluminium, timbal, jumlah, cara pengiriman, pembeli
- Logam non-besi: bervariasi menurut kebutuhan dan pasar - Tekstil: jenis bahan, tingkat kebersihan
c. Bahan baku untuk biokonversi:
• Sampah organik: komposisi, tingkat kontaminasi d. Bahan baku untuk bahan bakar: • Sampah kebun: komposisi, ukuran partikel, kadar air
• Sampah organik: komposisi, nilai kalori, kelembaban, keterbatasan penyimpanan, jumlah,
pemasaran dan distribusi produk energi
• Kayu: komposisi, tingkat kontaminasi.
d. Reklamasi:
• Sampah konstruksi: komposisi, tingkat kontaminasi, peraturan reklamasi yang berlaku,
tata guna lahan
3.7. Stasiun Peralihan Antara (SPA)
Didalam sistem penanganan sampah, SPA Skala Kawasan merupakan bagian dari kegiatan pengolahan antara dengan tujuan mereduksi volume sampah sebelum diangkut ke TPA dan atau TPST, dan atau pengguna akhir olahan sampah. Fungsi SPA antara lain sebagai tempat untuk proses reduksi volume, sebelum diangkut ke TPA dan atau TPST dan atau pengguna akhir olahan sampah. Selain itu SPA berfungsi untuk tempat pemindahan sampah dari kendaraan pengumpul kecil ke kendaraan pengangkut besar dan sebagai tempat pemindahan tanggung jawab penanganan sampah, dari pengumpul sampah ke penanggung jawab penanganan sampah.
Terdapat beberapa manfaat yan g dapat diambil dari penggunaan SPA, antara lain mengurangi jumlah dan atau volume sampah terangkut ke TPA melalui proses pemadatan, salah satu upaya mengurangi biaya pengangkutan sampah ke TPA dengan adanya reduksi kebutuhan ritasi kendaraan angkut ke TPS dan atau TPST, atau ke lokasi pemrosesan akhir lainnya, memperpanjang Umur TPA dengan pola pemrosesan penimbunan (landfiling), sebagai solusi bagi Pemerintah Kota dan atau Kabupaten dalam menangani permasalahan kesulitasn lahan TPA di dalam kota, dan tingginya beban pengangkutan.
Pengelola SPA Skala Kawasan dilakukan oleh Dinas atau Lembaga pengelola sampah lainnya di lingkungan pemerintahan Kota/Kabupaten.Dasar kebijakan pedoman pembangunan SPA Skala Kawasan diantaranya:
1. Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
2. Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 4. Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
5. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
6. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan