• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT AKURASI KODEFIKASI MORBIDITAS RAWAT INAP GUNA MENUNJANG AKURASI PELAPORAN DI BAGIAN REKAM MEDIS RUMAH SAKIT CAHYA KAWALUYAN. Rudy J Mandels.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT AKURASI KODEFIKASI MORBIDITAS RAWAT INAP GUNA MENUNJANG AKURASI PELAPORAN DI BAGIAN REKAM MEDIS RUMAH SAKIT CAHYA KAWALUYAN. Rudy J Mandels."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT AKURASI KODEFIKASI MORBIDITAS RAWAT INAP GUNA MENUNJANG AKURASI PELAPORAN

DI BAGIAN REKAM MEDIS RUMAH SAKIT CAHYA KAWALUYAN

Rudy J Mandels.,* Laurentius Calvin **

ABSTRAK

Tingkat akurasi kodefikasi morbiditas akan mempengaruhi akurasi pelaporan, dengan dilatarbelakangi ketidaktepatan kodefikasi rekam medis rawat inap pada tahun 2012 sebesar 51,11%. Tujuan Karya Tulis Ilmiah ini mendapatkan gambaran mengenai tingkat akurasi kodefikasi dalam menunjang akurasi pelaporan di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan.

Jenis penelitian yaitu deskriptif kuantitatif. Populasinya adalah rekam medis rawat inap yang sudah terkodefikasi, memiliki single dan combine diagnosa dan sudah berada di ruang penyimpanan pada triwulan I tahun 2013 sebanyak 1430 dan sampelnya berjumlah 213 rekam medis.

Prosedur kodefikasi yang ada belum secara khusus mengatur general coding, morbidity coding dan mortality coding serta belum dijelaskan sources untuk kodefikasi. Uraian tugasnya belum ada yang khusus mengatur tentang kegiatan kodefikasi. Akurasi kodefikasi morbiditas rawat inap terjadi ketidaktepatan sebesar 25,8% yang terbagi menjadi 12,6% untuk single diagnosa (Chapter XIX) dan 36,4% untuk combine diagnosa [ketidaktepatan pemilihan main condition 13,6% (Chapter I), ketidaktepatan kode 11,9% (Chapter X) dan ketidaklengkapan kode 16,9% (Chapter XVIII)]. Faktor penyebab kurangnya akurasi kodefikasi yaitu tulisan dokter sulit terbaca 14,1%, ketidaklengkapan informasi penunjang 10,8% dan penggunaan singkatan yang tidak umum. Belum ada upaya yang dilakukan secara formal untuk mengatasi masalah tersebut, hanya secara personal. Hasil rekapitulasi data morbiditas rawat inap terdapat kemungkinan ketidaktepatan laporan sebesar 3,8%.

Sarannya perlu dijelaskan sources dan dibuat petunjuk teknis kodefikasi; dibuat uraian tugas dan standarisasi kodefikasi; perlu peningkatan kinerja petugas, koordinasi dengan unit terkait dan audit coding; analisa kuantitatif hasil penunjang dan membakukan daftar singkatan; pengawasan kodefikasi dan mengadakan pelatihan coder; pertemuan rutin 1 bulan sekali serta membuat informasi dari data morbiditas.

Kata Kunci: akurasi, kodefikasi, morbiditas

PENDAHULUAN

Kodefikasi penyakit merupakan salah satu hal penting dalam penyediaan informasi kesehatan. Kodefikasi digunakan untuk mengubah diagnosa penyakit menjadi kode yang terdiri dari huruf dan angka sehingga memudahkan proses pelaporan penyakit.

Tingkat akurasi dalam proses kodefikasi sangat dibutuhkan guna menyediakan informasi yang berkualitas.

Dalam pembuatan laporan baik internal maupun eksternal, tingkat akurasi kodefikasi penyakit sangat berpengaruh terhadap ketepatan dan kualitas kode penyakit yang

(2)

dihasilkan dan dikompilasi ke dalam laporan. Ketidakakuratan kode yang diberikan pada proses kodefikasi akan berpengaruh terhadap kegiatan pembuatan pelaporan, bahkan dapat menjadikan kesalahan dalam pengambilan kebijakan dan keputusan oleh Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan.

Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilaksanakan di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan menunjukkan data yang disimpan untuk diolah data penyakitnya meliputi data identitas dan demografi pasien serta diagnosa dan kode yang diambil dari ringkasan masuk dan keluar. Setelah data tersebut diolah, maka akan menghasilkan laporan-laporan baik untuk kepentingan internal maupun eksternal.

Menurut data yang diperoleh pada tanggal 26 dan 27 Maret 2013, didapatkan data sebanyak 45 berkas rekam medis, meliputi 75,56% (34 berkas rekam medis) kasus penyakit dalam, 20% (9 berkas rekam medis) kasus anak, 2,22% (1 berkas rekam medis) kasus syaraf dan 2,22% (1 berkas rekam medis) kasus THT. Sebanyak 51,11% (23 berkas rekam medis) dari keseluruhan berkas rekam medis tersebut terdapat ketidaktepatan dalam penentuan kode, pemilihan kondisi utama dan terdapat ketidaklengkapan dalam kodefikasi diagnosa. Dari keseluruhan berkas rekam medis yang ditemukan ketidaktepatan, terdapat 26,09% ketidaktepatan dalam pemilihan kondisi utama; terdapat 34,78% ketidaktepatan dalam penentuan kode dan terdapat 47,83% ketidaklengkapan kode diagnosa. Dari hasil studi pendahuluan tersebut, pengolahan data penyakit tersebut akan berpengaruh terhadap akurasi pelaporan internal dan eksternal yang dihasilkan, karena masih didapatkan ketidaksesuaian pelaksanaan kodefikasi dengan peraturan-peraturan morbiditas yang terdapat pada ICD-10 Volume 2.

Oleh karena itu, maka peneliti melakukan penelitian mengenai tingkat akurasi kodefikasi dan sistem pelaporan baik internal maupun eksternal. Peneliti melakukan penelitian di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan . Dengan mengangkat judul “Tingkat Akurasi Kodefikasi Morbiditas Rawat Inap Guna Menunjang Akurasi Pelaporan di Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Cahya Kawaluyan”.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai tingkat

akurasi kodefikasi dalam menunjang akurasi pelaporan di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan.

TINJAUAN PUSTAKA Rekam Medis

Menurut DepKes (1997), rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun yang terekam tentang identitas, anamnese, penentuan fisik laboratorium, diagnosa segala pelayanan dan tindakan medis yang diberikan kepada pasien, dan pengobatan baik yang dirawat inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat darurat.

Menurut Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 Bab 1 Pasal 1, rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dari pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

Menurut Huffman (1997), rekam medis adalah kompilasi (ringkasan terarah) fakta-fakta sejarah kehidupan dan kesehatan pasien, termasuk penyakit sekarang dan pengobatannya ditulis profesional kesehatan yang ikut merawat pasien tersebut.

Kodefikasi

Menurut Depkes RI (1997), kodefikasi adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan huruf atau angka atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili komponen data.

Menurut Gemala Hatta (2010), terdapat sembilan langkah dasar dalam menentukan kode, yaitu:

1. Tentukan tipe pernyataan yang akan dikode, dan buka volume 3 Alphabetical Index (kamus). Bila pernyataan adalah istilah penyakit atau cedera atau kondisi lain yang terdapat pada Bab I-XIX dan XXI (Vol. 1), gunakanlah ia sebagai “lead-term” untuk dimanfaatkan sebagai panduan menelusuri istilah yang dicari pada seksi I indeks (Volume 3). Bila pernyataan adalah penyebab luar (external cause) dari cedera (bukan nama penyakit) yang ada di Bab XX (Vol. 1),

(3)

lihat dan cari kodenya pada seksi II di Indeks (Vol.3).

2. “Lead term” (kata panduan) untuk penyakit dan cedera biasanya merupakan kata benda yang memaparkan kondisi patologisnya. Sebaiknya jangan menggunakan istilah kata benda anatomi, kata sifat atau kata keterangan sebagai kata panduan. Walaupun demikian, beberapa kondisi ada yang diekspresikan sebagai kata sifat atau eponim (menggunakan nama penemu) yang tercantum di dalam indeks sebagai “lead term”.

3. Baca dengan seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul di bawah istilah yang akan dipilih pada Volume 3. 4. Baca istilah yang terdapat dalam tanda

kurung “( )” sesudah lead term (kata dalam tanda kurung = modifier, tidak akan mempengaruhi kode). Istilah lain yang ada di bawah lead term (dengan tanda (-) minus = idem = indent) dapat mempengaruhi nomor kode, sehingga semua kata-kata diagnostik harus diperhitungkan.

5. Ikuti secara hati-hati setiap rujukan silang (cross references) dan perintah see dan see also yang terdapat dalam indeks. 6. Lihat daftar tabulasi (Volume 1) untuk

mencari nomor kode yang paling tepat. Lihat kode tiga karakter di indeks dengan tanda minus pada posisi keempat yang berarti bahwa isian untuk karakter keempat itu ada di dalam volume 1 dan merupakan posisi tambahan yang tidak ada dalam indeks (Vol. 3). Perhatikan juga perintah untuk membubuhi kode tambahan (additional code) serta aturan cara penulisan dan pemanfaatannya dalam pengembangan indeks penyakit dan dalam sistem pelaporan morbiditas dan mortalitas.

7. Ikut pedoman Inclusion dan Exclusion pada kode yang dipilih atau bagian bawah suatu bab (chapter), blok, kategori atau subkategori.

8. Tentukan kode yang anda pilih.

9. Lakukan analisis kuantitatif dan kualitatif data diagnosis yang dikode untuk pemastian kesesuaiannya dengan pernyataan dokter tentang diagnosis utama di berbagai lembar formulir rekam medis pasien, guna menunjang aspek legal rekam medis yang dikembangkan.

Morbidity Coding

Morbidity Coding pada ICD revisi keenam, yang diadopsi tahun 1948, diterima sejumlah permintaan dari administrator kesehatan masyarakat, manajer perawatan kesehatan, pengelola jaminan sosial dan peneliti dalam berbagai disiplin kesehatan untuk membuat klasifikasi yang sesuai dengan aplikasi morbiditas. Data morbiditas yang digunakan makin meningkat dalam formulasi kebijakan dan program kesehatan, manajemen, monitoring dan evaluasi, epidemiologi, identifikasi populasi dalam resiko (at risk) dan penelitian klinik (termasuk penelitian terjadinya penyakit dalam kelompok-kelompok sosio ekonomi yang berbeda).

Peraturan untuk reseleksi kondisi utama, yaitu:

1. Rule MB 1 Kondisi minor dicatat sebagai “kondisi utama”, kondisi yang lebih bermakna dicatat sebagai “kondisi lain” 2. Rule MB 2 Beberapa kondisi yang

dicatat sebagai “kondisi utama”

3. Rule MB 3 Kondisi yang dicatat sebagai “kondisi utama” menggambarkan gejala yang timbul dari diagnosa, kondisi yang ditandatangani

4. Rule MB 4 Spesifisitas

5. Rule MB 5 Alternatif diagnosa-diagnosa utama

Akurasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Akurasi adalah kecermatan, ketelitian, ketepatan; teliti, saksama, cermat, tepat benar.

Akurasi mengandung pengertian sejauh mana data tersebut benar, dapat diandalkan dan bersertifikat. (Wang dan Strong, 1996)

Akurasi adalah teliti, tepat, cermat, saksama, akurat. Derajat kebebasan informasi dari kesalahan. Bebas dari kesalahan dan tidak bias atau menyesatkan. Dalam informasi, informasi harus jelas mencerminkan maksud dari data yang sebenarnya. Informasi harus akurat karena dari sumber informasi sampai penerima informasi kemungkinan banyak terjadi gangguan (noise) yang dapat merubah atau merusak data tersebut.

Laporan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Laporan merupakan segala sesuatu yang

(4)

dilaporkan; berita, sedangkan Laporan Statistik adalah pemberitahuan berupa data tentang fakta dalam bentuk angka, dilengkapi dengan waktu, analisis, evaluasi, tafsiran, dsb.

Syarat laporan adalah:

1. Laporan harus benar dan objektif 2. Laporan harus jelas dan cermat

3. Laporan harus langsung mengenai sasaran

4. Laporan harus lengkap

5. Laporan harus tegas dan konsisten 6. Laporan harus diusahakan

secepat-cepatnya

7. Laporan harus tepat penerimaannya

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan, observasi dan wawancara mendalam. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah akurasi kodefikasi morbiditas rawat inap (variabel 1) dan akurasi pelaporan (variabel 2). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan berkas rekam medis rawat inap yang telah terkodefikasi pada triwulan I tahun 2013 yang berjumlah 1430 berkas rekam medis. Besar jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 118 rekam medis dengan diagnosa kombinasi dan 95 rekam medis dengan single diagnosis menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria rekam medis yang sudah terkodefikasi, memiliki single dan combine diagnosa dan sudah berada di ruang penyimpanan. Data penelitian akan dianalisis dengan melihat berkas rekam medis yang telah diberi kode oleh petugas coder dan mengecek ketepatan pemilihan diagnosa utama, ketepatan penentuan kode untuk diagnosa utama dan kondisi lain serta kelengkapan pemberian kode untuk masing-masing diagnosa yang kemudian dianalisa dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

HASIL PENELITIAN

Prosedur Mengenai Kodefikasi

Berdasarkan Dokumen No: 05-05-RM.032 tentang prosedur klasifkasi penyakit

dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan, ICD X dijadikan sebagai acuan bagi petugas rekam medis dalam melakukan penggolongan penyakit dan masalah yang berkaitan dengan kesehatan untuk keperluan data morbiditas dan mortalitas.

Prosedur tetap yang digunakan adalah Prosedur Penggunaan ICD X yang merupakan edisi terbaru yang diterbitkan pada tanggal 5 Januari 2010, revisi ke-01 dan No. Dokumen 05-05-RM.030serta memuat item-item pengertian, tujuan, kebijakan, prosedur dan unit terkait dari pelaksanaan kodefikasi serta telah ditandatangani dan ditetapkan oleh Direktur Rumah Sakit Cahya Kawaluyan. Selain itu, menurut wawancara dengan Kepala Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Cahya Kawaluyan, prosedur ini telah disosialisasikan kepada seluruh petugas di Bagian Rekam Medis.

Berdasarkan hasil penelitian, prosedur tersebut telah memuat semua kegiatan yang berhubungan dengan kodefikasi dan lebih mengacu kepada aturan pada ICD-10 Volume 2 mengenai langkah-langkah dalam penetapan kode penyakit. Isi dari prosedur ringkas dan jelas. Selain itu, bahasa yang digunakan mudah untuk dimengerti. Namun, tidak ada prosedur spesifik yang membedakan antara general coding, morbidity coding dan mortality coding.

Uraian Tugas Pelaksana Kodefikasi Uraian tugas pelaksana kodefikasi khususnya rawat inap dijadikan satu di dalam uraian tugas Penanggung Jawab Rekam Medis Rawat Inap. Uraian tugas tersebut diterbitkan pada tanggal 1 Juli 2010 dan telah ditandatangani serta disahkan oleh Direktur Rumah Sakit Cahya Kawaluyan sehingga sah secara aspek legalitas. Menurut wawancara yang dilakukan kepada Kepala Bagian Rekam Medis menyatakan bahwa uraian tugas Penanggung Jawab Rekam Medis Rawat Inap tersebut sudah disosialisasikan dan petugas kodefikasi sudah mengetahui dan memahami tentang uraian tugas tersebut.

Uraian tugas tersebut memuat item-item seperti nama jabatan, pengertian, atasan langsung, tujuan jabatan, persyaratan jabatan, tanggung jawab dan uraian tugas. Isi dari uraian tugas tersebut memuat semua

(5)

kegiatan pelayanan rekam medis rawat inap, yang salah satunya tentang kodefikasi dan indeksing. Namun, uraian tugas yang khusus menjelaskan mengenai kegiatan kodefikasi tidak dijelaskan secara terperinci.

Tingkat Akurasi Kodefikasi Morbiditas Rawat Inap

Dari penelitian terhadap sampel terdapat beberapa ketidaktepatan dalam proses kodefikasi berkas rekam medis rawat inap, khususnya kasus morbiditas. Ketidaktepatan tersebut yang terjadi dalam beberapa hal, yaitu pemilihan main condition/kondisi utama, penentuan kode dan kelengkapan kodefikasi. Untuk membuktikannya, peneliti melakukan pengecekan pada bulan Juni 2013, terhadap 213 rekam medis yang sudah terkodefikasi sebagai sampel yang diambil peneliti dari populasi 1430 rekam medis pasien yang sudah pulang pada triwulan I tahun 2013. Sampel tersebut terdiri dari 118 rekam medis yang memiliki diagnosa kombinasi dan 95 rekam medis yang memiliki satu diagnosa. Adapun hasil yang didapatkan dari jumlah rekam medis yang dijadikan sampel penelitian, terjadi ketidaktepatan baik dalam pemilihan kondisi utama, penetapan kode dan ketidaklengkapan kode diagnosa sebanyak 55 rekam medis atau 25,8%.

Tabel 4.1

Akurasi Kodefikasi Morbiditas Rekam Medis Rawat Inap

Triwulan I (Januari, Februari dan Maret) Tahun 2013

Berdasarkan Hasil Perbandingan Kodefikasi Coder dan Peneliti

Σ %

Tepat 158 74,2 %

Tidak Tepat 55 25,8 %

Σ 213 100 %

Sumber: Hasil Penelitian di Bagian Rekam Medis Rawat Inap

Berdasarkan tabel 4.1, dari 213 rekam rekam medis rawat inap yang dijadikan sampel, peneliti membaginya berdasarkan diagnosa, yaitu diagnosa kombinasi dan single diagnosa; sebagai berikut:

Tabel 4.2

Akurasi Kodefikasi Morbiditas Rekam Medis Rawat Inap

Triwulan I (Januari, Februari dan Maret) Tahun 2013 Berdasarkan Diagnosa Comb ine % Single % Σ Tepat 75 63,6 % 83 87,4 % 158 Tidak Tepat 43 36,4 % 12 12,6 % 55 Σ 118 100 % 95 100 % 213

Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti

Berdasarkan hasil penelitian peneliti, dari 55 berkas rekam medis rawat inap yang dijadikan sampel dan terdapat ketidaktepatan, peneliti menemukan adanya ketidaktepatan dalam kodefikasi rekam medis rawat inap yang hanya memiliki satu diagnosa sebanyak 12 rekam medis atau 12,6% dari 95 rekam medis. Sedangkan ketidaktepatan dalam kodefikasi rekam medis yang memiliki diagnosa lebih dari satu sebanyak 43 rekam medis atau 36,4% dari 118 rekam medis. Peneliti membagi ketidaktepatan tersebut dalam kodefikasi baik rekam medis yang hanya memiliki satu diagnosa (lihat Tabel 4.3) maupun rekam medis yang memiliki lebih dari satu diagnosa (lihat Tabel 4.5) tersebut ke dalam beberapa kategori, sebagai berikut:

Tabel 4.3

Kategori Ketidaktepatan Kodefikasi Rekam Medis Rawat Inap Dengan Single Diagnosa

Triwulan I (Januari, Februari dan Maret) Tahun 2013

Singkatan Σ % Tidak

Tepat TT 12 12,6 %

(6)

Berdasarkan tabel diatas, peneliti membagi ketidaktepatan yang terjadi pada rekam medis yang hanya memiliki satu diagnosa tersebut berdasarkan pembagian chapter pada ICD-10. Peneliti menemukan ketidaktepatan dalam penetapan kode diagnosa terbanyak terjadi pada Chapter XIX Injury, Poisoning and Certain Other Consequences of External Causes sebanyak 4 ketidaktepatan atau 33,3%.

Tabel 4.4

Ketidaktepatan Penetapan Kode Diagnosa pada Rekam Medis Rawat Inap Dengan Single Diagnosa

Berdasarkan Chapter pada ICD-10

Chapter Σ % Injury 4 33,3 % Respiratory 3 25,0 % Digestive 2 16,7 % Neoplasm 1 8,3 % Symptom 1 8,3 % Circulatory 1 8,3 % 12 100 %

Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti

Tabel 4.5

Kategori Ketidaktepatan Kodefikasi Rekam Medis Rawat Inap Dengan Combine Diagnosa

Triwulan I (Januari, Februari dan Maret) Tahun 2013 Singkatan Σ % Kondisi Utama MC 16 13,6 % Tidak Tepat TT 14 11,9 % Kode Tidak Lengkap TLK 20 16,9 %

Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti

Berdasarkan tabel diatas, terdapat tiga kategori ketidaktepatan yang ditemukan oleh

peneliti dalam proses penelitian di lapangan, yaitu ketidaktepatan dalam pemilihan kondisi utama sebesar 13,6%; ketidaktepatan penetapan kode diagnosa sebesar 11,9% dan ketidaklengkapan kode diagnosa sebesar 16,9% dari jumlah rekam medis rawat inap yang memiliki lebih dari satu diagnosa dan terjadi ketidaktepatan. Setiap rekam medis yang terjadi ketidaktepatan tidak hanya terdapat satu ketidaktepatan saja, namun ada beberapa rekam medis yang terdapat ketidaktepatan ganda seperti salah pemilihan kondisi utama dan penetapan kode; salah penetapan kode dan ketidaklengkapan kode serta ketidaktepatan pemilihan kondisi utama dan ketidaklengkapan kode. Hal tersebut mengakibatkan jumlah pembagian kategori ketidaktepatan tersebut tidak sesuai dengan jumlah rekam medis rawat inap yang terjadi ketidaktepatan.

Selain itu, peneliti juga membagi ketidaktepatan yang terjadi tersebut berdasarkan pembagian chapter pada ICD-10. Adapun didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Ketidaktepatan pemilihan kondisi utama terbanyak terjadi pada Chapter I Certain Infectious and Parasitic Diseases sebanyak 6 ketidaktepatan atau 37,5%. 2. Ketidaktepatan penetapan kode diagnosa

terbanyak terjadi pada Chapter X Diseases of The Respiratory System sebanyak 4 ketidaktepatan atau 28,6%. 3. Ketidaklengkapan kode diagnosa

terbanyak terjadi pada Chapter XVIII Symptoms, Signs and Abnormal Clinical and Laboratory Findings, Not Elsewhere Classified sebanyak 9 ketidaktepatan atau 45%.

Tabel 4.6

Ketidaktepatan Pemilihan Kondisi Utama Berdasarkan Chapter pada ICD-10

Chapter Σ % Infectious 6 37,5 % Respiratory 3 18,8 % Circulatory 3 18,8 % Endocrine 1 6,3 % Genitourinary 1 6,3 % Neoplasm 1 6,3 % Digestive 1 6,3 %

(7)

16 100 % Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti Tabel 4.7

Ketidaktepatan Penetapan Kode Diagnosa

Berdasarkan Chapter pada ICD-10

Chapter Σ % Respiratory 4 28,6 % Circulatory 2 14,3 % Injury 2 14,3 % Digestive 2 14,3 % Neoplasm 1 7,1 % Infectious 1 7,1 % Endocrine 1 7,1 % Musculo 1 7,1 % 14 100 % Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti Tabel 4.8

Ketidaklengkapan Kode Diagnosa Berdasarkan Chapter pada ICD-10

Chapter Σ % Symptom 9 45 % Blood 3 15 % Respiratory 2 10 % Endocrine 2 10 % Circulatory 2 10 % Digestive 1 5 % Infectious 1 5 % 20 100 % Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti

Faktor-Faktor Yang Mengakibatkan Kurang Akuratnya Kodefikasi

1. Tulisan diagnosa dokter yang sulit terbaca

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan hasil wawancara dengan Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi menunjukkan faktor yang mempengaruhi kurang akuratnya kodefikasi yaitu tulisan diagnosa dokter yang sulit terbaca. Hal ini sangat berpengaruh terhadap akurasi penentuan kode diagnosa yang dilakukan oleh Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi. Tulisan dokter yang sulit terbaca dapat menimbulkan banyak persepsi dari petugas kodefikasi sehingga dapat mengakibatkan kurang akuratnya kode diagnosa.

Adapun kriterianya sebagai berikut: a. Sulit Terbaca

Tulisan dokter tidak jelas, diagnosa yang ditulis tidak sesuai dengan klasifikasi yang ada pada ICD-10, terdapat penggunaan singkatan diagnosa yang tidak umum digunakan.

b. Terbaca

Tulisan dokter jelas dan penulisannya sesuai dengan klasifikasi pada ICD-10.

Tabel 4.9

Jumlah Rekam Medis yang Dijadikan Sampel

Berdasarkan Tulisan Dokter

Σ %

Sulit Terbaca 30 14,1 % Terbaca 183 85,9 %

Σ 213 100 %

Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti

Dari sampel yang diambil sebanyak 213 rekam medis, terdapat 30 berkas rekam medis atau 14,1% tulisan dokter yang sulit terbaca.

2. Ketidaklengkapan informasi dari pemeriksaan penunjang

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan hasil wawancara dengan Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi, ditemukan bahwa salah satu

(8)

penyebab tidak akuratnya kodefikasi adalah ketidaklengkapan hasil pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, radiologi dan lain-lain. Hasil pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan secara umum dan tidak berhubungan dengan penyakit yang dialami pasien. Hasil pemeriksaan penunjang tersebut dijadikan sebagai informasi pendukung dalam menentukan kondisi utama dan kode diagnosa, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi akurasi kode diagnosa dalam kegiatan kodefikasi.

Untuk membuktikannya, peneliti mengambil sampel sebanyak 213 rekam medis dari populasi 1430 rekam medis rawat inap pada Triwulan I bulan Januari, Februari dan Maret tahun 2013. Adapun hasil yang didapatkan dari jumlah rekam medis yang tidak lengkap hasil pemeriksaan penunjangnya sebanyak 23 rekam medis atau 10,8%.

Tabel 4.10

Jumlah Rekam Medis yang Dijadikan Sampel

Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang

Σ %

Tidak Lengkap 23 10,8 %

Lengkap 190 89,2 %

Σ 213 100 %

Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti 3. Terdapat penggunaan singkatan yang

baru dan tidak biasa digunakan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sudah terdapat daftar singkatan yang digunakan sebagai salah satu alat bantu dalam mendukung akurasi kodefikasi. Namun, menurut hasil wawancara peneliti dengan Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi, terdapat beberapa penggunaan singkatan-singkatan yang baru dan tidak lazim digunakan yang tidak ada di dalam daftar singkatan diagnosa, seperti HPI (Hyperpigmentation Post Inflammatory – L81.0) dan ICD (Irritant Contact Dermatitis L24.9). Singkatan-singkatan tersebut dapat menyebabkan kurang akuratnya kodefikasi yang

dilakukan oleh petugas. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Rekam Medis, di Unit Kerja Rekam Medis sudah terdapat daftar singkatan yang dapat membantu Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi dalam melakukan kegiatan kodefikasi. Namun, daftar singkatan tersebut belum dibakukan dan ditegaskan secara keseluruhan di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan.

Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Meningkatkan Akurasi Kodefikasi Dalam Menunjang Akurasi Data Laporan Internal dan Eksternal

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap tingkat akurasi kodefikasi morbiditas rekam medis rawat inap dan wawancara kepada Kepala Bagian Rekam Medis dan Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi kodefikasi morbiditas rawat inap dalam menunjang akurasi data laporan baik internal maupun ekternal yaitu:

1. Melakukan komunikasi baik antar petugas kodefikasi di Unit Kerja Rekam Medis maupun dengan dokter yang bersangkutan. Komunikasi antar petugas kodefikasi di Unit Kerja Rekam Medis dilakukan untuk menyeragamkan persepsi baik dalam membaca diagnosa maupun menentukan kode untuk suatu diagnosa. Sedangkan komunikasi yang dilakukan dengan dokter bertujuan untuk melakukan konfirmasi ulang mengenai diagnosa yang ditulis dokter pada rekam medis pasien.

2. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan menggali secara pribadi baik melalui referensi buku maupun dengan bertanya secara langsung kepada dokter mengenai pola penyakit dari diagnosa-diagnosa yang ada.

Akurasi Laporan Internal dan Eksternal Yang Berkaitan Dengan Data Morbiditas

Berdasarkan metode pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan observasi dan proses pengolahan data yang digunakan adalah dengan cara mengukur, menghitung dan menjumlah data rekapitulasi ulang penyakit pasien rawat inap melalui sampel yang diambil oleh peneliti dengan data

(9)

rekapitulasi penyakit pasien pada periode yang sama, peneliti menemukan kemungkinan terjadinya ketidaktepatan dalam pelaporan baik internal maupun eksternal sebesar 3,8%. Prosentase tersebut didapat dari hasil pengambilan sampel yang dilakukan oleh peneliti sebesar 213 rekam medis rawat inap dengan tingkat ketidaktepatan sebesar 25,8% (55 rekam medis) yang kemudian dibagi dengan populasi total sejumlah 1430 rekam medis dikalikan dengan 100%, sehingga didapatkan kemungkinan ketidaktepatan yang terjadi dalam data rekapitulasi kodefikasi morbiditas pasien rawat inap yang dijadikan bahan laporan adalah 3,8%. Dengan perincian sebagai berikut:

Tabel 4.11

Probabilitas Akurasi Rekapitulasi Kodefikasi Morbiditas Rawat Inap Triwulan I (Januari, Februari dan Maret) Tahun 2013 Juml ah Samp el % Ketida k tepata n Populas i Objek Peneliti an % Ketida k tepata n Popul asi Total % Ketida k tepatan 213 25,8 % 960 5,7 % 1430 3,8 %

Sumber: Hasil Data yang Diolah Peneliti

Informasi Yang Dapat Dihasilkan Dari Rekapitulasi Data Morbiditas

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap laporan internal dan eksternal yang dihasilkan dari rekapitulasi data morbiditas rawat inap, peneliti menemukan adanya laporan yang dihasilkan berupa Laporan 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap, Pola Penyakit Penderita Rawat Inap dan Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Inap (RL2a).

PEMBAHASAN

Prosedur Mengenai Kodefikasi

Prosedur kodefikasi yang ada saat ini telah mempunyai aspek legalitas karena telah ditetapkan dan ditandatangani oleh

Direktur Rumah Sakit, sehingga mempunyai perlindungan hukum baik bagi petugas maupun bagi instansi pelayanan kesehatan dalam melaksanakan kegiatan. Prosedur ini merupakan edisi terbaru hasil revisi 01 yang berarti sudah dilakukan revisi dari prosedur sebelumnya. Namun, revisi tersebut tidak merubah isi dari prosedur tetap tersebut karena prosedur sebelumnya memuat item-item yang sama, yang membedakan hanya nomor revisi dan tanggal terbit. Hal ini terjadi karena di dalam prosedur tetap tersebut sudah memuat semua kegiatan dan dapat memberikan petunjuk dalam pelaksanaan kodefikasi secara umum.

Prosedur tetap yang ada saat ini tidak menunjukkan adanya perbedaan mengenai langkah-langkah dalam general coding, morbidity coding dan mortality coding. Prosedur tetap tersebut hanya menjelaskan secara umum langkah-langkah dalam penetapan kode untuk diagnosa sehingga tidak memberikan petunjuk secara spesifik untuk masing-masing jenis kodefikasi. Padahal diketahui bahwa dalam proses kodefikasi general coding, morbidity coding dan mortality coding, masing-masing mempunyai langkah-langkah dan aturan-aturan tersendiri dalam menentukan kode diagnosa.

Peneliti tidak menemukan adanya langkah-langkah dalam prosedur tetap kodefikasi tersebut yang menunjukkan dokumen atau lembar mana saja yang dijadikan sumber/sources dalam proses kegiatan kodefikasi. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakseragaman dalam hal menentukan sumber dari diagnosa yang akan dikode oleh Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi. Masing-masing proses kodefikasi baik untuk general coding, morbidity coding maupun mortality coding memiliki ketentuan masing-masing dalam menentukan sumber dari diagnosa yang nantinya akan dikode oleh petugas. Oleh karena itu, pencantuman langkah-langkah yang menunjukkan dokumen atau lembar mana saja yang menjadi sumber/sources dalam kegiatan kodefikasi perlu diberikan pada prosedur tetap kodefikasi tersebut sehingga keseragaman dalam menentukan sumber untuk kodefikasi dapat tercapai dan tingkat akurasi dalam kegiatan kodefikasi akan menjadi lebih baik.

Di dalam prosedur tetap tersebut, peneliti juga tidak menemukan item kebijaksanaan yang berisi pelaksanaan kodefikasi mengacu kepada penggunaan simbol, singkatan dan

(10)

tanda khusus. Namun, penggunaan simbol, singkatan dan tanda khusus tersebut diatur tersendiri dalam Prosedur Tetap Penulisan Simbol, Singkatan dan Tanda Khusus. Prosedur tetap tersebut tidak ditujukan secara khusus namun merupakan petunjuk penulisan simbol, singkatan dan tanda khusus yang ditujukan kepada seluruh petugas di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan dan berlaku secara umum di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan. Namun, hal ini tetap dapat dijadikan acuan oleh Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi karena telah diadakan suatu kesepakatan bersama mengenai penulisan simbol, singkatan dan tanda khusus. Oleh karena itu, Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi perlu mengetahui dan memahami penggunaan simbol, singkatan dan tanda khusus tersebut sehingga dapat dijadikan alat bantu dalam proses kodefikasi serta meningkatkan akurasi dalam menentukan kode diagnosa.

Uraian Tugas Pelaksana Kodefikasi Peneliti tidak menemukan adanya uraian tugas yang secara khusus mengatur tentang tugas dari Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi. Tugas untuk melaksanakan kegiatan kodefikasi hanya disebutkan pada salah satu tugas pada jabatan Penanggung Jawab Rekam Medis Rawat Inap. Hal ini akan berdampak pada tidak adanya standarisasi dalam menyelesaikan kodefikasi rekam medis sehingga Petugas Rekam Medis tidak memiliki petunjuk dan tanggung jawab dalam melakukan kegiatan kodefikasi. Selain itu, dengan tidak adanya uraian tugas secara khusus untuk Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi yang mengatur wewenang dalam melakukan kegiatan kodefikasi, maka tidak ada petunjuk yang menunjukkan bahwa siapa saja yang berhak untuk melakukan kodefikasi sehingga tingkat akurasi dari pemberian kode diagnosa di berkas rekam medis tidak benar-benar akurat dan diragukan akurasinya.

Dengan adanya uraian tugas yang baik dan jelas maka dapat diperoleh petugas-petugas yang bermutu dan berdedikasi di bidangnya. Untuk mendukung hal tersebut, maka dibutuhkan petugas yang memiliki kemampuan dan kepribadian yang baik dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat tercapai suatu kualitas kerja yang baik.

Tingkat Akurasi Kodefikasi Morbiditas Rawat Inap

Peneliti menemukan adanya ketidaktepatan dalam proses kodefikasi morbiditas rawat inap sebesar 25,8%. Berdasarkan ketidaktepatan yang terjadi tersebut, ketidaktepatan tertinggi terjadi pada kodefikasi dengan combine diagnosa atau diagnosa yang lebih dari satu kondisi penyakit sebesar 36,4% dari 118 rekam medis dan diikuti oleh ketidaktepatan pada kodefikasi single diagnosa sebesar 12,6% dari 95 rekam medis. Seperti diketahui, bahwa kodefikasi untuk kondisi yang komplikasi atau lebih dari satu diagnosa memiliki tingkat kesulitan yang lebih rumit karena coder harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan reseleksi dalam menentukan kondisi utama. Oleh karena itu, Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi perlu memahami peraturan-peraturan reseleksi tersebut dengan baik.

Pada kodefikasi untuk kondisi dengan hanya satu diagnosa terdapat ketidaktepatan sebesar 12,6%, maka petugas kodefikasi harus lebih teliti dan cermat dalam menentukan kode diagnosa sehingga akurasi dalam kodefikasi lebih dapat terjaga dan meningkat. Selain itu, dari ketidaktepatan yang ada, peneliti menemukan ketidaktepatan terbesar terjadi pada Chapter XIX Injury, Poisoning and Certain Other Consequences of External Causes yang merupakan bagian dari ICD-10 yang membahas mengenai kasus cidera dan akibat-akibat lain dari sebab luar sebesar 33,3% dari 12 rekam medis. Menurut hasil analisa peneliti terhadap ketidaktepatan penetapan kode diagnosa rekam medis dengan single diagnosa, ketidaktepatan tersebut terjadi karena kurang telitinya Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi dalam membaca dan memahami diagnosa yang ditulis oleh dokter sehingga tidak tepat dalam penetapan kode diagnosa. Pada berkas rekam medis yang terdapat ketidaktepatan penetapan kode diagnosa dengan kasus cidera (Daftar Checklist Kodefikasi Single Diagnosa nomor 1, 14 dan 71) terjadi karena diagnosa yang ditulis oleh dokter merupakan kondisi multiple yang terdapat pada satu area, namun kode yang ditetapkan oleh coder hanya untuk salah satu area saja. Sebagai contoh, Open Fracture Neck Femur Dextra dan Open Fracture 1/3 Distal Femur Dextra dengan tindakan ORIF Fracture Femur Dextra, kode yang ditetapkan oleh coder adalah kode untuk

(11)

Open Fracture Neck Femur (S72.0.1). Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi kurang memperhatikan bagian dalam ICD-10 Volume 2 mengenai Coding of Multiple Condition sehingga kode yang ditetapkan hanya untuk salah satu kondisi saja. Oleh karena itu, coder perlu lebih teliti dalam membaca dan menetapkan kode diagnosa untuk kasus-kasus cidera serta perlu lebih memahami mengenai Instruction Manual untuk Morbidity.

Pada kodefikasi kondisi yang terdapat komplikasi atau lebih dari satu diagnosa, petugas coder perlu memiliki pengetahuan dan memahami mengenai peraturan-peraturan reseleksi (MB1-MB5) serta harus teliti dalam memberikan kode terhadap setiap diagnosa secara lengkap. Dalam tabel 4.5, ketidaktepatan terbanyak terjadi pada tidak lengkapnya pemberian kode diagnosa sebesar 16,9%; diikuti oleh ketidaktepatan dalam penentuan kondisi utama penyakit pasien sebesar 13,6% dan ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa sebesar 11,9%. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan akurasi kodefikasi, khususnya untuk rekam medis yang memiliki diagnosa lebih dari satu atau combine diagnosa sehingga dapat tercapai akurasi yang baik dalam kodefikasi, khususnya kodefikasi morbiditas rawat inap.

Ketidaklengkapan pemberian kode diagnosa akan berpengaruh dalam proses pembuatan informasi yang berkaitan dengan data morbiditas rawat inap. Ketidaklengkapan pemberian kode diagnosa tersebut terjadi pada Chapter XVIII Symptoms, Signs and Abnormal Clinical and Laboratory Findings, Not Elsewhere Classified yang merupakan bagian yang membahas mengenai symptoms atau gejala-gejala yang muncul dari temuan secara klinik dan hasil laboratorium sebesar 45% dari 20 rekam medis yang terjadi ketidaklengkapan kode diagnosa. Hal ini terjadi karena Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi kurang teliti dalam melihat gejala-gejala yang ada dan ditulis oleh dokter baik dalam resume medis, catatan dokter maupun dalam keterangan-keterangan lainnya. Sebagai contoh, diagnosa pada resume medis adalah Kejang Demam Sederhana dan ISPA, coder hanya memberikan kode untuk ISPA (J06.9). Namun, untuk kondisi Kejang Demam Sederhana atau dalam ICD-10 disebut Febrile Convulsion tidak dikode. Kurangnya ketelitian dari coder tersebut akan berdampak tidak lengkapnya kode diagnosa

sehingga akan berpengaruh terhadap informasi yang dihasilkan. Selain itu, tulisan dokter yang sulit terbaca menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketidaklengkapan kode diagnosa. Pernyataan diagnosa yang ditulis secara tidak jelas mengakibatkan kebingungan bagi Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi sehingga ada kondisi sakit pasien yang terlewatkan untuk dikode oleh Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi. Oleh karena itu, Petugas Rekam Medis perlu lebih teliti dalam memberi kode diagnosa sehingga tidak ada keadaan penyakit pasien yang terlewatkan.

Penentuan Main Condition atau Kondisi Utama sangat dipengaruhi oleh peraturan-peraturan reseleksi (MB1-MB5) yang ada pada buku ICD-10 Volume 2. Setiap peraturan reseleksi yang ada memberikan arahan kepada coder untuk menentukan kondisi utama dari diagnosa pada rekam medis. Ketidaktepatan dalam menentukan kondisi utama terbesar terjadi pada Chapter I Certain Infectious and Parasitic Diseases yang merupakan bagian yang membahas tentang kasus-kasus penyakit infeksi sebesar 37,5% dari 16 rekam medis. Hal tersebut dikarenakan kurangnya ketelitian dari coder dalam membaca informasi-informasi penunjang dalam rekam medis yang akan membantu coder dalam menentukan kondisi utama dari diagnosa yang ditulis oleh dokter. Selain itu, kurangnya pengetahuan dan pemahaman coder tentang peraturan-peraturan reseleksi sehingga terjadi ketidaktepatan dalam penentuan kondisi utama. Sebagai contoh, pada Daftar Checklist Kodefikasi Combine Diagnosa nomor 28, terdapat beberapa kondisi sakit pasien seperti Nephropathy Diabetic, Hypertensi, Glaucoma, DM Type II perbaikan dengan terapi berupa diet DM dan konsultasi mengenai Nephropathy Diabetic, kondisi utama yang dipilih oleh coder adalah DM Type II. Berdasarkan informasi yang ada pada rekam medis pasien, pengobatan dan terapi yang diberikan adalah untuk DM Type II, namun terdapat kondisi Nephropathy Diabetic yang dapat dikode secara kombinasi dengan DM Type II menggunakan kode E11.2 †N08.3* (DM Type II with Diabetic Nephropathy) sehingga dalam pemilihan kondisi utama terjadi ketidaktepatan. Oleh karena itu, Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi perlu lebih teliti dalam membaca informasi-informasi yang dapat mendukung dan membantu dalam menentukan kondisi utama dan juga perlu pemahaman dan pengalaman

(12)

dalam penggunaan peraturan-peraturan reseleksi pada buku ICD-10 Volume 2 sehingga dapat tercapai akurasi dalam kodefikasi morbiditas rawat inap.

Penentuan kode diagnosa untuk rekam medis yang memiliki diagnosa lebih dari satu atau combine diagnosa sangat bergantung pada penentuan kondisi utama atau diagnosa utama. Jika kondisi utama yang dipilih benar, maka ada kemungkinan besar benar dalam penentuan kode. Namun, hal itu tidak dapat dipastikan secara penuh, ketelitian dan kecermatan coder juga diperlukan untuk mendukung akurasi dalam penentuan kode diagnosa. Selain itu, ketidaklengkapan pemeriksaan penunjang untuk membantu dalam menetapkan kode diagnosa mengakibatkan terjadinya ketidaktepatan penetapan kode. Pada tabel 4.7, didapatkan bahwa ketidaktepatan terbesar terjadi pada Chapter X Diseases of The Respiratory System yang membahas tentang kasus-kasus penyakit sistem pernapasan sebesar 28,6% dari 14 rekam medis. Ketidaktepatan dalam penentuan kode diagnosa tersebut dapat mengakibatkan kurang akuratnya kodefikasi dan berdampak pada rekapitulasi data penyakit sehingga perlu ketelitian dan kecermatan coder dalam menentukan kode diagnosa, khususnya kondisi morbiditas. Oleh karena itu, ketelitian dan kecermatan coder dalam menentukan kode diagnosa serta kelengkapan dalam informasi pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk menjaga akurasi kodefikasi sehingga dapat menghasilkan informasi yang berkualitas.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti terhadap akurasi kodefikasi morbiditas rawat inap dilihat dari tingkat kesulitan kombinasi diagnosanya, jika diberi skala 1-10, maka peneliti menempatkan tingkat kesulitan kombinasi diagnosa pada rekam medis rawat inap pada skala 6. Hal tersebut disebabkan karena kombinasi diagnosa yang ada hanya terdapat diagnosa-diagnosa yang terjadi pada chapter yang sama dan tidak menunjukkan perbedaan jenis penyakit yang kontras sehingga tidak terlalu mempersulit petugas kodefikasi dalam menentukan kondisi utama serta kode diagnosanya. Namun, dengan ketidaktepatan kodefikasi yang terjadi sebesar 25,8%, maka terdapat faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya ketidaktepatan tersebut, seperti kurangnya ketelitian dan kecermatan Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi dalam membaca

keterangan-keterangan penunjang, kurangnya pemahaman mengenai peraturan-peraturan reseleksi, tulisan dokter yang sulit terbaca dan ketidaklengkapan informasi penunjang yang dapat membantu dalam proses kodefikasi. Oleh karena itu, perlu perhatian terhadap faktor-faktor tersebut sehingga kodefikasi yang dihasilkan dapat lebih tepat dan akurat.

Faktor-Faktor Yang Mengakibatkan Kurang Akuratnya Kodefikasi

1. Tulisan diagnosa dokter yang tidak terbaca

Pada tabel 4.9 mengenai jumlah rekam medis yang dijadikan sampel berdasarkan tulisan dokter, terdapat tulisan dokter yang tidak terbaca pada berkas rekam medis yang dapat mengakibatkan Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi menjadi kesulitan dalam menentukan diagnosa yang ditulis oleh dokter dalam berkas rekam medis. Untuk mengatasi masalah tersebut, Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi menentukan kode penyakit dan diagnosa berdasarkan pengalaman yang didapat selama melakukan kegiatan kodefikasi. Hal tersebut tentu saja akan mengurangi akurasi kodefikasi jika hanya berdasarkan pengalaman Petugas Kodefikasi. Oleh karena itu, jika tulisan dokter tersebut tidak dapat dibaca walaupun sudah membaca hasil pemeriksaan lainnya, maka Petugas Kodefikasi harus melakukan konfirmasi ulang kepada dokter yang merawat pasien tersebut.

2. Ketidaklengkapan informasi dari pemeriksaan penunjang

Pada tabel 4.10, dari 213 berkas rekam medis yang diteliti, terdapat 23 rekam medis atau 10,8% dengan hasil pemeriksaan penunjang yang tidak lengkap. Walaupun prosentasenya hanya 10,8%, namun hal tersebut dapat mengakibatkan kurang akuratnya kodefikasi sehingga perlu adanya penanganan terhadap masalah ini. Oleh karena itu, perlu informasi penunjang yang lengkap sehingga didapatkan kodefikasi dan hasil rekapitulasi data penyakit yang akurat.

3. Terdapat penggunaan singkatan yang baru dan tidak biasa digunakan

(13)

Penggunaan singkatan yang baru dan tidak lazim digunakan dalam penulisan diagnosa oleh dokter yang merawat pasien menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurang akuratnya kodefikasi. Walaupun hanya kadang kala saja penggunaan singkatan-singkatan yang tidak umum digunakan, namun hal tersebut dapat mengakibatkan kurang akuratnya kodefikasi. Hal tersebut terjadi karena dapat terjadi perbedaan persepsi antara dokter yang menulis diagnosa menggunakan singkatan dengan Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi. Selain itu, daftar singkatan yang ada belum dibakukan dan ditegaskan secara resmi sehingga kemungkinan terjadinya penggunaan singkatan yang baru dan tidak umum digunakan cukup besar. Oleh karena itu, perlu adanya penegasan dan pembakuan terhadap daftar singkatan sehingga dapat meningkatkan akurasi dalam proses kodefikasi.

Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk Meningkatkan Akurasi Kodefikasi Dalam Menunjang Akurasi Data Laporan Internal dan Eksternal

Upaya-upaya yang dilakukan di atas merupakan upaya-upaya yang dilakukan secara personal. Belum ada upaya yang dilakukan secara formal untuk meningkatkan akurasi kodefikasi. Upaya-upaya secara personal yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi kodefikasi tersebut tidak selalu dilakukan dan tidak semua Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi melakukannya sehingga upaya-upaya tersebut belum menunjukkan perubahan yang signikan dalam usaha untuk meningkatkan akurasi kodefikasi. Selain itu, tidak dilakukan pertemuan bersama secara rutin untuk berdiskusi mengenai permasalahan yang terjadi selama proses kodefikasi mengakibatkan upaya yang dilakukan tersebut tidak sepenuhnya mengakomodir permasalahan yang ada saat ini. Oleh karena itu, perlu kesadaran dari masing-masing Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi agar upaya yang dilakukan secara personal tersebut dapat lebih menunjukkan hasil yang baik.

Akurasi Laporan Internal dan Eksternal Yang Berkaitan Dengan Data Morbiditas

Peneliti menemukan kemungkinan ketidaktepatan rekapitulasi data morbiditas rawat inap sebesar 5,7% dari jumlah populasi yang menjadi objek penelitian atau 3,8% dari keseluruhan rekam medis pasien rawat inap yang sudah pulang pada Triwulan I (Januari, Februari dan Maret) Tahun 2013. Tentu saja ketidaktepatan yang terjadi tersebut dapat mengakibatkan kurang akuratnya hasil laporan yang dilaporkan baik secara internal maupun eksternal sehingga informasi yang dihasilkan kurang baik. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan kodefikasi perlu dilaksanakan dengan lebih teliti dan akurat sehingga informasi yang dihasilkan akan lebih akurat dan bernilai guna.

Informasi Yang Dapat Dihasilkan Dari Rekapitulasi Data Morbiditas

Laporan-laporan yang telah dibuat baik secara internal maupun eksternal tersebut dapat menghasilkan informasi-informasi, sebagai berikut:

1. Menunjukkan tren kesehatan berupa perkembangan dan perubahan-perubahan keadaan dan masalah kesehatan yang terjadi pada masa lalu hingga sekarang. 2. Evaluasi dari tingkat keberhasilan

program-program penanggulangan penyakit yang sudah dijalankan.

3. Golongan umur dan jenis kelamin yang beresiko menderita sakit dan faktor resikonya.

4. Penilaian mutu pelayanan dan kinerja dokter dan perawat.

5. Dasar perhitungan tentang penyediaan obat dan alat kesehatan lain yang harus disediakan dalam satu tahun ataupun setiap bulannya.

SIMPULAN

1. Prosedur tetap yang mengatur kegiatan kodefikasi di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan telah mempunyai aspek legalitas serta isinya pun singkat dan jelas. Namun, tidak ditemukan prosedur yang secara khusus mengatur tentang general coding, morbidity coding dan mortality coding; tidak ada langkah-langkah yang jelas mengenai sources untuk melakukan kodefikasi dan tidak ada kebijakan dalam prosedur yang mengatur pelaksanaan kodefikasi

(14)

mengacu kepada penggunaan simbol, singkatan dan tanda khusus.

2. Uraian tugas pelaksana kodefikasi termasuk ke dalam uraian tugas penanggung jawab rekam medis rawat inap, telah mempunyai aspek legalitas dan isi tugasnya bervariasi. Namun, belum ada uraian tugas khusus yang mengatur tentang kegiatan kodefikasi sehingga tidak ada standarisasi dalam melakukan kodefikasi.

3. Pada akurasi kodefikasi morbiditas rawat inap terjadi ketidaktepatan sebesar 25,8%; yang terbagi menjadi 12,6% untuk single diagnosa (Chapter XIX) dan 36,4% untuk combine diagnosa. Tingkat akurasi kodefikasi morbiditas rawat inap untuk combine diagnosa dijabarkan kembali menjadi ketidaktepatan pemilihan kondisi utama sebesar 13,6% (Chapter I), ketidaktepatan kode diagnosa sebesar 11,9% (Chapter X) dan ketidaklengkapan kode diagnosa sebesar 16,9% (Chapter XVIII). Hal-hal tersebut terjadi karena kurangnya ketelitian dan kecermatan coder dalam membaca gejala-gejala, informasi pendukung, menentukan kode diagnosa, kurangnya pemahaman dan pengalaman coder tentang peraturan-peraturan reseleksi (MB1-MB5), tulisan dokter yang sulit terbaca serta ketidaklengkapan informasi pemeriksaan penunjang.

4. Faktor-faktor yang mengakibatkan kurang akuratnya kodefikasi adalah tulisan dokter yang sulit terbaca sebesar 14,1%; ketidaklengkapan informasi penunjang 10,8% dan terdapat penggunaan singkatan yang tidak biasa digunakan serta belum dibakukannya daftar singkatan yang ada di Unit Kerja Rekam Medis.

5. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi kodefikasi dalam menunjang akurasi data laporan internal dan eksternal adalah melakukan komunikasi antar petugas dan dokter serta menggali secara pribadi melalui referensi buku dan bertanya langsung kepada dokter. Namun, upaya-upaya tersebut hanya dilakukan secara personal dan belum ada upaya secara formal serta belum diadakan pertemuan rutin untuk membahas permasalahan kodefikasi sehingga belum ada perubahan yang signifikan terhadap tingkat akurasi kodefikasi.

6. Hasil rekapitulasi data morbiditas rawat inap yang akan dijadikan laporan baik

secara internal maupun eksternal masih belum akurat karena masih terdapat kemungkinan ketidaktepatan sebesar 3,8% dari keseluruhan rekam medis pasien rawat inap yang pulang pada triwulan I tahun 2013.

7. Hasil rekapitulasi data morbiditas menghasilkan laporan-laporan internal dan eksternal, yaitu Laporan 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap, Pola Penyakit Penderita Rawat Inap Rumah Sakit dan Data Keadaan Morbiditas Pasien Rawat Inap (RL2a). Laporan-laporan tersebut dapat memberikan beberapa informasi yang berguna baik secara internal maupun eksternal.

SARAN

1. Prosedur Mengenai Kodefikasi

a. Perlu dilakukan penambahan pada langkah prosedur mengenai sources/sumber yang dijadikan bahan untuk kegiatan kodefikasi serta arahan untuk menggunakan alat bantu berupa daftar singkatan. b. Perlu adanya peninjauan ulang

mengenai prosedur guna membedakan general coding, morbidity coding (peraturan-peraturan reseleksi kondisi utama, yaitu MB1-MB5) dan mortality coding (peraturan reseleksi Organating Antecendent Cause dan peraturan modifikasi).

2. Uraian Tugas Pelaksanaan Kodefikasi a. Perlu dibuat uraian tugas yang secara

khusus mengatur tentang tugas dari Petugas Rekam Medis bagian Kodefikasi.

b. Perlu adanya peninjauan ulang terhadap kegiatan kodefikasi sehingga dapat dibuat standarisasi dalam melakukan kegiatan kodefikasi.

3. Tingkat Akurasi Kodefikasi Morbiditas a. Diharapkan Petugas Rekam Medis

bagian Kodefikasi lebih teliti dalam hal kodefikasi diagnosa rekam medis pasien rawat inap sehingga dapat menghasilkan pelaporan data morbiditas yang akurat.

b. Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan dokter terkait tentang pentingnya dari pencatatan diagnosa secara jelas pada rekam medis pasien serta pelaksanaan

(15)

pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung dan meningkatkan akurasi kodefikasi, khususnya kodefikasi morbiditas. c. Melakukan audit coding baik secara

internal untuk menganalisa kegiatan kodefikasi, mendeteksi celah kesalahan dalam sistem kodefikasi dan mengetahui kekurangan dalam kodefikasi.

4. Untuk mengatasi faktor-faktor yang mengakibatkan kurang akuratnya kodefikasi:

a. Melakukan koordinasi dengan unit-unit terkait dan tenaga kesehatan yang berhubungan langsung seperti dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya mengenai permasalahan yang terjadi dalam kegiatan pencatatan rekam medis, khususnya mengenai kejelasan dalam penulisan diagnosa penyakit dan penggunaan singkatan agar tidak mengurangi akurasi kodefikasi.

b. Melakukan analisa kuantitatif mengenai kelengkapan informasi penunjang yang dijadikan salah satu alat bantu dalam mendukung akurasi kodefikasi.

c. Membakukan daftar singkatan yang ada di Unit Kerja Rekam Medis sehingga tercapai keseragaman dalam penggunaan simbol, singkatan dan tanda khusus.

5. Upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan akurasi kodefikasi dalam menunjang akurasi data laporan internal dan eksternal dengan cara:

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan kodefikasi dengan melakukan pengecekan terhadap hasil kodefikasi yang dilakukan coder dan melakukan evaluasi mengenai hasil kodefikasi untuk mengetahui akurasinya. b. Mengadakan pelatihan untuk Petugas

Rekam Medis bagian Kodefikasi berdasarkan kurikulum inti yang dibuat oleh IFHIMA tentang Core Curriculum For Morbidity Coders, diutamakan pada kurikulum “How To Code” agar dapat tercapai akurasi dalam kodefikasi morbiditas.

6. Mengadakan pertemuan rutin minimal 1 bulan sekali untuk membahas mengenai permasalahan dan hambatan yang terjadi serta mencari sumber permasalahan yang dapat mengakibatkan ketidakakuratan hasil rekapitulasi data morbiditas rawat

inap agar laporan internal dan eksternal yang dihasilkan dapat baik dan berkualitas.

7. Informasi lain yang dapat dihasilkan dari rekapitulasi data morbiditas berupa membuat variasi relatif berdasarkan kelompok umur untuk menampilkan rate kesakitan di rumah sakit baik per kasus, per bagian maupun secara keseluruhan pelayanan di rumah sakit.

Tujuan pembuatan grafik ini adalah untuk tolak ukur yang mengindikasikan relativitas peningkatan dan penurunan pola penyakit pada semua kelompok umur di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz H. 2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

American Hospital Association. 2003. Health Education in the Hospital. Chicago, Illinois.

Arikunto, Suharsimi. Prof. Dr. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Ed. Rev. VI). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bahan kuliah Metodologi Penelitian. 2012. Pertemuan II (Desain dan Jenis Penelitian).

Bahan kuliah Metodologi Penelitian. 2012. Pertemuan 4 (Populasi dan Sampling).

Councell, Clara E., 1994. Hospital Records as a Source of Morbidity Statistics. Bethesda: Junior Statistician.

Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa

(16)

Indonesia. (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.

Direktur Jenderal Pelayanan Medis. 1997. Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Hatta, Gemala R. 2010. Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Huffman, Edna K. 1994. Health Information Management (Tenth Edition). Illinois: Physician Record Company.

Huffman, Edna K. 1997. Health Information Management, Terjemahan Erkadius. Padang: APIKES IRIS.

Notoatmodjo, Dr. Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor:

269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis.

Riduwan, M.B.A., Drs. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta.

Rustiyanto, Ery. 2010. Statistik Rumah Sakit Untuk Pengambilan Keputusan. Yogyakarta: Graha Mulia.

Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis, CV. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Supranto, J. 1994. Statistika Teori dan Aplikasi. Jakarta: Erlangga.

Terry, George R. 2006. Principles of Management. (Alih Bahasa Winardi). Bandung: Alumni.

World Health Organization. 2004. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Health Problems Volume 1 Tabular List. (Tenth Revision). Geneva.

World Health Organization. 2004. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Health Problems Volume 2 Instruction Manual. (Tenth Revision). Geneva.

World Health Organization. 2004. International Statistical Classification of Diseases and Related Health Health Problems Volume 3 Alphabetical Index. (Tenth Revision). Geneva.

Format referensi elektronik dituliskan oleh Cathy Brownfield dan Donna M. Didier(2012,http://library.ahima.org/ xpedio/groups/public/documents/ahi ma/bok1_043989.hcsp?dDocName=b ok1_043989,diperoleh 23 Juli 2013)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tentang pengentasan rumah tangga miskin telah banyak dilakukan, diantaranya Luciana Spica Almilia dan Firman Adi Setya (2006), dalam penelitiannya yang dimuat di

Pemainan bahasa yang dikembangkan ini tidak hanya berlaku sebagai apersepsi dalam pembelajaran, melainkan juga dapat digunakan sebagai kegiatan inti pebelajaran dan seba- gai

Pada penelitian tugas akhir yang telah dilakukan sebelumnya (Hafizh, 2013) dengan judul “Analisis Karakteristik Cuaca Maritim Berdasarkan Hasil Prediksi Logika Fuzzy

Sistem pakar dibangun dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, sehingga pada sistem pakar tidak dapat menentukan metode yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah. Sistem

Bangunan LPK Kecantikan di Yogyakarta harus mempunyai tata ruang dalam yang mencerminkan karakter dinamis dan aktraktif, sehingga dapat mendukung fungsi bangunan. Perwujudan

Fungsi Hipertautan, menurut situs resmi Microsoft (14), adalah sebagai pintasan bagi pembaca untuk beralih ke lembar kerja di lokasi lain. Bagi penyandang disabilitas

Pada grafik diatas dapat di lihat bahwa kunjungan wisatawan di Bandung Indah Waterpark dari tahun 2012 sampai dengan 2014 mengalami penurunan jumlah kunjungan

Namun tidak semua serbuk gergaji yang ada telah dimanfaatkan, sehingga bila tidak ditangani dengan baik maka dapat menjadi masalah lingkungan yang serius.Untuk