• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN GRANT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR PENELITIAN GRANT"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN GRANT

KUANTIFIKASI LIMBAH ORGANIK TAMBAK UDANG

VANNAMEI SISTEM PANEN TOTAL DAN PANEN PARSIAL

SERTA DAMPAKNYA TERHADAP

KAPASITAS ASSIMILASI PERAIRAN

PENGUSUL:

Dr. ir. ABDUL MUQSUTH, M.Ling NIDN: 0713076902

UNIVERSITAS IBRAHIMY

JULI 2020

Kode / Rumpun Ilmu : 233 / Budidaya Perikanan

(2)
(3)
(4)

iv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

IDENTITAS DAN URAIAN UMUM ... iii

DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL ... v DAFTAR GAMBAR ... vi RINGKASAN ... vii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 1 1.3. Tujuan Penelitian ... 2 1.4. Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beban Limbah Budidaya Tambak Udang dan Dampaknya Terhadap Kualitas Lingkungan Perairan Pesisir ... 3

2.8. Kemampuan Perairan Pesisir dalam Mengencerkan Limbah ... 5

III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian... 7

3.2. Bahan dan Alat ... 8

3.3. Metode Pengambilan Data ... 8

3.3.1. Data Hidro-Morfologi dan Oksigen Terlarut Perairan ... 8

3.3.3. Data Pemberian Pakan pada Budidaya Udang Intensif Sistem Panen Total dan Panen Parsial ... 9

3.4. Metode Analisa Data ... 9

3.4.1. Perhitungan Limbah Organik Tambak Udang Intensif Sistem Panen Total dan Panen Parsial ... 9

3.4.2. Penentuan Kapasitas Perairan dalam Menerima Limbah Organik ... 12

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kuantifikasi Limbah Organik dari Budidaya Udang Vannamei Teknologi intensif Sistem Panen Total dan Parsial ... 14

4.2. Kemampuan Perairan Pesisir dalam Mengencerkan Limbah TSS Tambak Udang ... 16

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 19

5.1. Saran ... 19

(5)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Alur Pakan Udang di Dalam Tambak Udang

Intensif (Primavera dan Apud, 1994) ... 4 Gambar 2.2. Alur Pakan Udang dan Limbah Nutrien ( N dan P)

Budidaya Udang Intensif (Boyd, 1999). ... 4 Gambar 3.1. Lokasi Penelitian ... 7 Gambar 3.2. Proses Penentuan Jumlah Limbah Organik dalam

Bentuk Total Suspended Solid (TSS) dari Kegiatan

tambak Inntensif) ... 11 Gambar 3.3. Penentuan Volume Total Perairan Pantai ... 12 Gambar 4.1. Kuantitas pakan dan limbah TSS yang dihasilkan dari

kegiatan budidaya udang vannamei padat tebar 1 50 ekor/m2, ukuran petak tambak 2.500 m2 selama

1 siklus produksi ... 14 Gambar 4.2. Konsentrasi limbah TSS tambak intensif udang

vannamei setelah mengalami proses pengenceran di

(7)

vii RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk (1) menghitung beban limbah organik yang dikeluarkan dari kegiatan tambak udang vannamei teknologi intensif dengan sistem panen total dan panen parsial; (2) Menentukan kapasitas perairan dalam menerima beban limbah organik yang didasarkan pada jumlah oksigen terlarut perairan yang tersedia untuk proses penguraian limbah organik.

Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai April 2020 pada kawasan tambak udang intensif di wilayah pesisir Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo. Untuk mencapai tujuan pertama penelitian, dilakukan monitoring kegiatan budidaya udang vannamei pada salah satu perusahaan tambak udang yang ada di lokasi penelitian selama satu siklus pemeliharaan udang. pengambilan data difokuskan pada dua petakan tambak yaitu: petak (A) budidaya dengan sisitem panen total; dan petak (B) budidaya dengan sisitem panen parsial. Data pemberian pakan, volume air tambak dan proses pergantian air pada masing-masing petak dijadikan dasar dalam perhitungan limbah oragnik tambak. Selanjutnya untuk mencapai tujuan kedua penelitian, dilakukan pengamatan dan pengakuran langsung kondisi hdro-morfologi perairan pesisir Kecamatan Banyuputih. Data hasil pengukuran pasang surut air laut, sudut kemiringan dasar perairan, jarak water intake untuk keperluan tambak udang, panjang garis pantai, oksigen terlarut perairan dijadikan dasar dalam menentukan kapasitas perairan dalam menerima limbah organik.

Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa budidaya udang vannamei sistem panen total, tingkat kepadatan tebar 150 ekor.m2, dalam satu sikus budidaya menghasilkan limbah TSS sebesar 14459,16 kg/ha, sedangkan pada sisitem budidaya panen parsial, tingkat kepadatan tebar 150 ekor/m2, dalam satu siklus budidaya menghasilkan limbah TSS sebesar 13215,92 kg/ha. Jika seluruh tambak udang vannamei di wilayah studi saat ini (37,8 ha) melakukan proses budidaya udang dalam waktu yang sama, maka beban limbah TSS pada perairan pesisir sebesar 546556,15 kg TSS (sistem panen total) dan 499561,89 kg TSS (sistem panen parsial). Pada kondisi saat ini perairan di wilayah studi sdh tidak mampu menampung beban limbah TSS tambak udang jika sistem budidaya udang dilakukan dengan sisitem panen total. Kapasitas perairan pesisir Banyuputih dalam menerima slimbah TSS tambak udang maksimal 537688,09 kg/har

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh Pemerintah Kabutan Situbondo dalam menentukan luas lahan tambak intensif yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir Kecamatan Banyuputih serta teknologi budidaya yang layak digunakan sesuai kapasitas lingkungan perairan di wilayah studi.

Kata kunci: Tambak udang, panen total, panen parsial, limbah organik,

(8)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemanfaatan wilayah pesisir Banyuputih melalui kegiatan budidaya udang dengan teknologi intensif merupakan langkah yang sangat strategis dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun keberlanjutan dari kegiatan tersebut ditentukan oleh daya dukung perairan dalam menerima limbah organik yang dikeluarkan dari kegiatan tersebut. Jika limbah tambak udang yang dikeluarkan ke lingkungan perairan melampaui kapasitas asimilasinya, maka akan berdampak terhadap berubahnya fungsi ekologis perairan dan pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan dari kegiatan budidaya udang di wilayah tersebut.

Untuk menjaga keberlanjutan kegiatan tambak udang intensif di wilayah pesisir Kecamatan Banyuputih serta memperkecil penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat dari beban limbah yang dihasilkan, maka luas areal tambak dan tingkat padat tebar yang diterapkan dalam sisitem budidaya intensif harus disesuaikan dengan daya dukung perairan dalam menerima limbah. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian secara mendalam dan koprehensif tentang daya dukung lingkungan perairan pesisir Banyuputih sebagai acuan dalam menentukan luas tambak intensif dan kapasitas produksi yang dapat diikembangkan secara optimal pada kawasan tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan utama dalam pengembangan tambak udang intensif di wilayah studi adalah limbah organik yang dihasilkan selama pemeliharaan dibuang dan memasuki perairan pesisir sekitarnya. Jika limbah dari tambak udang yang masuk ke perairan pesisir melampaui daya dukung perairan dalam mengasimilasi limbah tersebut maka akan berdampak terhadap berubahnya fungsi ekologis perairan pesisir dan pada akhirnya akan mengancam keberlanjutan dari kegiatan usaha tambak udang itu sendiri.

Kapasitas asimilasi yang dikembangkan dari informasi karakteristik biofisik perairan dan informasi beban limbah organik merupakan peubah penentu dalam

(9)

2

mengestimasi daya dukung lingkungan perairan sebagai acuan dalam pengembangan tambak udang intensif secara berkelanjutan.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berapa beban limbah organik dari kegiatan tambak udang intensif sisitem panen total dan panen parsial pada perairan pesisir Banyuputih ?

2. Berapa luas lahan tambak udang intensif dan teknologi budidaya yang layak diterapkan sesuai kapasitas perairan dalam menerima limbah organik ?.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menghitung beban limbah organik dari kegiatan tambak udang intensif sistem panen total dan panen parsial pada perairan pesisir Kecamatan Banyuputih; 2. Menentukan luas lahan maksimal yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir

Banyuputih dan teknologi budidaya udang intensif yang layak diterapkan sesuai kapasitas perairan pesisir dalam menerima limbah organik.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Ilmu pengetahuan, output penelitian ini direncanakan dipublikasikan pada jurnal Internasional terindeks scopus;

2. Pemerintah daerah setempat sebagai acuan dalam merumuskan kebijakan pengembangan kawasan tambak udang secara rasional dan berkelanjutan.

(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Beban Limbah Budidaya Tambak Udang dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Perairan Pesisir

Limbah utama dari kegiatan budidaya tambak udang adalah bahan organik yang terutama berasal dari sisa-sisa pakan, kotoran, dan bahan-bahan terlarut. Limbah yang berupa organik pada umumnya terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak yang berasal dari sisa kotoran dan pakan yang sebagian akan larut dan sebagian lagi akan mengendap di dasar. Bahan organik tersebut ada yang bersifat mudah didegradasi secara biologi (biodegradable) dan ada yang sulit atau tidak dapat didegradasi secara biologis (non biodegradable) (Suryadiputra, 1995).

Rachmansyah (2001) dalam penelitiannya dengan menggunakan pakan 3.014 ton/ha/siklus produksi, mendapatkan produksi limbah budidaya dari tambak berupa bahan organik sebesar 1.929 kg /ha/siklus, 0.2547 kg N/ha/siklus produksi dan 0.0663 kg P/ha/sikus produksi. Kandungan total fosfat dan total nitrogen sebagai produk samping (limbah) budidaya udang yang dibuang ke lingkungan dipengaruhi oleh faktor jumlah pakan yang dikonsumsi (efisiensi pakan), jumlah pakan yang tidak dikonsumsi, jumlah feaces, produksi biomassa udang, retensi fosfat dan nitrogen dalam udang, kandungan fosfat dan nitrogen dalam pakan, volume air tambak dan persentase pergantian air harian, serta laju pembasuhan (Haris, 2000).

Hasil monitoring yang dilakukan oleh Primavera (1994) terhadap tambak udang intensif menyebutkan bahwa 15% dari pakan yang diberikan akan larut dalam air, sementara 85% yang dimakan, sebagian besar juga akan dikembalikan lagi kelingkungan dalam bentuk limbah. Hanya 17% dari jumlah pakan yang diberikan dikonversikan menjadi daging udang, 45% terbuang dalam bentuk ekskresi (metabolisme, kelebihan nutrien), ecdyis (moulting) dan pemeliharaan (energi) dan 20% dari pakan yang diberikan dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk limbah padat berupa feaces (Gambar 2.1).

Selanjutnya Boyd (1999) mengatakan bahwa apabila pakan yang diberikan bermutu baik dengan kadar protein 35% (kandungan N dan P dalam pakan masing-masing 84 gr dan 18 gr), dapat menghasilkan Food Convention Ratio

(11)

4

(FCR) sebesar 1.5 artinya bahwa untuk menghasilkan 1 kg udang diperlukan 1.5 kg pakan. Dalam kondisi ini, hanya sekitar 27.5 gr N dan 3 gr P yang akan dikonversi menjadi daging udang dan sekitar 56.6 gr N dan 15 gr P akan terbuang ke lingkungan perairan. Beban limbah yang terbuang ke lingkungan perairan dalam bentuk N dan P sangat ditentukan oleh kapasitas produksi tambak, dimana semakin tinggi produksi tambak per satuan luas (kg/ha), maka akan semakin besar limbah N dan P yang terbuang ke lingkungan perairan (Gambar 2.2). Limbah hasil budidaya yang masuk ke lingkungan perairan akan mengalami proses dekomposisi oleh bakteri, dimana oksigen merupakan kebutuhan bakteri untuk mendekompoisisi limbah tersebut (Willioghby, 1968, dalam Meade 1989; Wedmeyer 1996; Boyd, 1999).

Gambar 2.1. Alur Pakan Udang di Dalam Tambak Udang Intensif (Primavera dan Apud, 1994).

Gambar 2.2. Alur Pakan Udang dan Limbah Nutrien ( N dan P) Budidaya Udang Intensif (Boyd, 1999). Ekskresi (metabolisme, kelebihan nutrient) Ecdysis (moulting) Pemeliharaan (energi) UDANG Dipanen (17%) Dibuang melalui faeces 20% Dimakan 85%

Larut dalam air 15% Pakan 100% Pakan 1,5 kg (Proten 15 %) 1,2 % P 5,6 % N 1,5 kg x 0,012 = 18 gr P 1,5 kg x 0,056 = 84 gr N 15 gr P = 83 % Limbah 3 gr P = 7 % retensi 56,5 gr N = 67,27 % Limbah 27,5 gr N = 2,73 % Retensi

(12)

5

2.2. Kemampuan Perairan Pesisir dalam Menerima Limbah Organik Sebagai penerima limbah baik limbah yang berasal dari daratan (up land) maupun dari wilayah pesisir itu sendiri, maka kondisi suatu perairan pesisir sangat ditentukan oleh besarnya beban limbah yang diterima baik kualitas maupun kuantitasnya. Sumber limbah yang masuk ke lingkungan perairan pesisir secara garis besar dikelompokkan menjadi tujuh sumber, yaitu : (i) industri; (ii) limbah rumah tangga; (iii) pertambangan; (iv) pelayaran; (v) pertanian; (vi) perikanan; dan (vii) peternakan (Dahuri 2000; Damar 2004). Bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah tersebut berupa unsur hara (nutrien), sedimen, logam berat, pestisida, organisme patogen, organisme eksotik, sampah dan bahan-bahan yang menyebabkan oxygen terlarut berkurang (oxygen depleting

substances).

Secara langsung dan tidak langsung dampak limbah terhadap perikanan yaitu menurunnya jumlah populasi organisme, kerusakan habitat serta lingkungan perairan sebagai media hidupnya (Clark, 1996). Dalam kegiatan perikanan budidaya, kondisi yang paling berpengaruh adalah terjadinya penurunan kandungan oksigen terlarut yang merupakan faktor pembatas bagi kehidupan biota perairan serta terjadinya eturofikasi akibat pengkayaan nutrient (N dan P) yang menyebabkan terganggunya proses ekologis perairan serta nilai guna perairan untuk kegiatan budidaya (Damar, 2004).

Kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah selain sangat ditentukan oleh jumlah beban limbah yang masuk ke lingkungan perairan pesisir, juga ditentukan oleh faktor-faktor yang mendukung kemampuan asimilasi tersebut yaitu faktor hidro-oseanografi (arus, pasang surut, batimetri) serta volume air penerima limbah. Apabila limbah yang masuk atau dibuang ke lingkungan perairan pesisir telah melampaui kemampuan asimilasi atau daya dukung lingkungan perairan maka akan berdampak terhadap berubahnya fungsi ekologis perairan pesisir.

Menurut Soewardi (2002), kemampuan pengenceran perairan pesisir terhadap limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) tingkat pencemaran perairan pesisir; (2) volume air laut yang tersedia di pantai yang dipengaruhi oleh frekwensi pasang surut, ketinggian pasang surut, dan kelandaian

(13)

6

dasar pantai; dan (3) besar beban limbah yang masuk. Tingkat pencemaran perairan pesisir yang masih rendah atau tercemar ringan mempunyai daya pengenceran yang lebih tinggi terhadap limbah dibandingkan dengan perairan yang tingkat pencemarannya tinggi. Tingkat pencemaran perairan dapat ditentukan melalui parameter fisika, kimia, dan biologi (Manahan, 2002). Faktor lain yang mempengaruhi kemampuan pengenceran perairan pesisir adalah ketersediaan volume air laut, dalam hal ini volume air laut yang masuk ke pantai pada saat pasang surut. Alison (1981), dalam Widigdo, 2003) mengatakan bahwa agar kualitas perairan masih tetap layak untuk budidaya, maka perairan penerima limbah cair kegiatan budidaya harus memiliki volume 60-100 kali lipat dari volume limbah yang dibuang ke perairan umum tersebut.

Kapasitas daya tampung perairan penerima limbah berbanding lurus dengan kualitas dan kuantitas perairan. Jika perairan yang akan digunakan untuk pertambakan telah memenuhi persayaratan kualitatif, maka kuantitas perairan penerima akan menjadi faktor penentu berapa banyak limbah yang dapat diterima oleh badan perairan agar kualitas perairan masih layak digunakan untuk kegiatan budidaya secara berkelanjutan (Widigdo, 2003).

(14)

7

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pesisir Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo (Gambar 3.1) mulai bulan Januari s/d April 2020. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan: (1) Kecamatan Banyuputih masuk dalam kawasan pengembangan tambak udang dalam RTRW Kabupaten Situbondo 2009-2029; 2) Tambak udang di wilayah ini seluruhnya menggunakan teknologi intensif, sehingga berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan kegiatan tambak itu sendiri.

Gambar 3.1. Lokasi Penelitian

Monitoring Tbk Udang Pengukuran O2 terlarut Monitoring Tanbak Udang Stasiun pasut

(15)

8

3.2. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari benur udang vannamei PL 10, pakan udang, dan 2 petakan tambak udang masing masing berukuran 2.500 m2. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: teodolit, tongkat berskala, GPS, DO meter, kompas geologi, serta alat tulis menulis.

3.3. Metode Pengambilan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 jenis yaitu : data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan/pengukuran dan wawancara langsung di lokasi penelitian dan data sekunder dilakukan melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi pemerintah dan swasta yang terkait dengan penelitian ini. Data primer yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

3.3.1. Data Hidro-Morfologi dan Oksigen Terlarut Perairan

Pengambilan data hidro-morfologi perairan meliputi: 1) pasang surut air laut; 2) sudut kemiringan/slop dasar perairan; dan 3) jarak water intake untuk keperluan tambak udang. Pengamatan pasang surut dilakukan di perairan pantai menggunakan papan berskala selama 15 hari (15 x 24 jam). Stasiun pengamatan pasang surut air laut ditempatkan di perairan Desa Pondok Mimbo Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo pada titik koordinat -7.7435 Lat; 114.3026 Lon. Pengamatan pasang surut dilakukan untuk mengetahui perbedaan tinggi muka air laut pada saat pasang tertinggi dan tinggi muka air laut saat surut terendah serta tipe pasang surut di wilayah pesisir Kecamatan Banyuputih. Pengukuran dilakukan pada titik terendah air laut pada saat surut sampai dengan titik tertinggi air laut pada saat pasang. Pengukuran oksigen terlarut dilakukan stiap jam selama 24 jam pada 3 stasiun. kondisi perairan digunakan untuk perhitungan volume perairan sebagai dasar dalam estimasi daya tampung perairan terhadap limbah organik.

(16)

9

3.3.2. Data Pemberian Pakan pada Budidaya Udang Intensif Sistem Panen Total dan Parsial

Untuk mendapatkan data pemberian pakan udang, dilakukan montoring kegiatan budidaya udang intensif sistem panen total dan panen parsial pada salah satu perusahaan tambak yang ada di lokasi penelitian. Data pemberian pakan digunakan sebagai dasar dalam perhitungan limbah organik tambak udang.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan beberapa hasil penelitian serta data dari instansi yang terkait dengan penelitian, yaitu: panjang garis pantai Kecamatan Banyuputih, peta administrasi Kecamatan Banyuputih, laporan tahunan perikanan, dan data sekunder lainnya.

3.4. Metode Analisis Data

3.4.1. Perhitungan Limbah Organik Tambak Udang Intensif Sistem Panen Total dan Panen Parsial

Parameter limbah tambak udang yang dihitung dalam penelitian ini a dalam betun padatan tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS), ditentukan dengan menggunakan formula Widigdo dan Soewardi (2002) sebagai berikut:

1. Volume air tambak yang dibuang hari ke-n (Vtn) adalah sebesar:

𝑽𝒕𝒏 = (𝑸 % . 𝑽𝒕𝒃) … … … . … … … … … .. (1) 2. Konsentrasi TSS dari volume air tambak yang dibuang ke perairan pesisir

sebesar :

𝑪𝒃𝒏 = 𝑪𝒂(𝒏−𝟏)… … … . … … … .. (2) 3. Penambahan air baru sebesar Q % akan menurunkan konsentrasi TSS di

tambak menjadi :

𝑪𝒆𝒏 = 𝑸 % . 𝑪𝒂(𝒏−𝟏)… … … .. (3) 4. Peningkatan konsentrasi TSS dalam tambak setelah dilakukan pergantian air

dan pemberian pakan , sebesar:

𝑪𝒏−𝟏 = [(𝑪𝒆(𝒏−𝟏) . 𝑽𝒕𝒃) − (𝟑𝟓% . 𝑷(𝒏−𝟏) . 𝟏𝟎𝟎𝟎]

𝑽𝒕𝒃 … … … . . … … … . . (4) dimana:

Can = konsentrasi TSS didalam tambak sebelum pengenceran (ppm)

(17)

10

Ca(n-1) = konsentrasi TSS didalam air buangan tambak (ppm)

P = total pakan yang diberikan (kg) Vtb = volume air tambak (m3)

Q = persentase pergantian air tambak per hari (%) n = hari ke 1, 2, 3, … panen

35% = persentase total pakan yang menjadi beban pencemar tambak (Primavera dan Apud 1994).

(18)

63 Gambar 17. Proses Pakan (P):  Padat tebar (ekor)  Masa Pemeliharaan (hari) Pakan hari ke 1 (kg) 35 % dari pakan menjadi limbah TSS (Primavera, 1994) (P1 x 35 %) = ……..kg (TSS) TAMBAK UDANG (Volume total air tambak udang (m3))

Konsentrasi TSS dalam tambak sebelum penambahan air (pengenceran) :

𝐶𝑎1=

[(35% . 𝑃1). 1000]

𝑉𝑡𝑏 𝑝𝑝𝑚

Hari kedua dilakukan pergantian air (air tambak dibuang) sebesar Q % Jumlah air tambak (Vt2) yang

dibuang ke perairan pesisir: 𝑉𝑡2= 𝑄% . 𝑉𝑡𝑏 (𝑚3)

Konsentrasi TSS air buangan : 𝐶𝑏2= 𝐶𝑎1 𝑝𝑝𝑚

𝑇𝐿𝑃 = 𝑉𝑡2

1000𝑥 𝐶𝑏2= 𝑘𝑔 𝑇𝑆𝑆

Pemberian pakan hari ke-n (2) sebesar P2 Volume air tambak normal (m3)

Volume air tambak normal (m3) Penambahan air

tambak sebesar Q %

menurunkan konsentrasi TSS dalam tambak dari Ca1 menjadi Ce2 sebesar :

𝐶𝑒2= (𝐶𝑎1 . % 𝑠𝑖𝑠𝑎 𝑉𝑡𝑏) 𝑝𝑝𝑚

meningkatkan konsentrasi TSS dalam tambak menjadi:

𝐶𝑎2=

[(𝐶𝑒2 . 𝑉𝑡𝑏) + (35% . 𝑃2 . 1000)]

𝑉𝑡𝑏

Hari ketiga dilakukan pergantian air (air tambak dibuang) sebesar Q % Jumlah air tambak (Vt2) yang

dibuang ke perairan pesisir: 𝑉𝑡3= 𝑄% . 𝑉𝑡𝑏 (𝑚3)

Konsentrasi TSS air buangan: 𝐶𝑏3= 𝐶𝑎2 𝑝𝑝𝑚 3 = Ca 2 ppm 𝑇𝐿𝑃 =𝑉𝑡(3) 1000 𝑥 𝐶𝑏(3) = 𝐴 𝑘𝑔 𝑇𝑇𝑆 3 = Ca 2 ppm

Gambar 3.2. Proses Penentuan Jumlah Limbah Organik dalam Bentuk Total Suspended Solid (TSS) dari Kegiatan tambak Inntensif

(19)

12

3.4.2. Penentuan Kapasitas Perairan dalam Menerima Limbah Organik

Untuk menentukan kapasitas perairan dalam menerima limbah organik dilakukan tahapan perhitungan sebagai berikut:

a) Kuantifikasi volume total air laut yang tersedia di perairan pesisir (Vtot)

Volume total air laut yang memasuki perairan pantai pada saat pasang dikuantifikasi dengan menggunakan formula Widigdo dan Pariwono, (2003) sebagai berikut :

𝑽𝟎𝒔( 𝒎𝟑) = 𝟎, 𝟓 . 𝒉 . 𝒚 (𝟒𝒙 −(𝟑𝒉 − 𝟏)

𝒕𝒈𝜽 ) … . . … . … … … … . … … … . … … . (5) Dimana :

V0 = volume air laut yang memasuki perairan pesisir pada saat pasang (m3)

H = kisaran pasang surut (tidal range) setempat (m) y = panjang garis pantai (m)

x = jarak dari garis pantai (pada waktu pasang) hingga ke lokasi

pengambilan air laut (sea water intake) untuk keperluan tambak (m) θ = kemiringan dasar laut

Apabila diketahui frekuensi pasang surut sebesar f kali dalam satu hari, maka volume total air yang tersedia diperairan pesisir adalah sebesar:

𝑽𝒕𝒐𝒕( 𝒎𝟑) = 𝒇. 𝑽𝟎𝒔 … … … . . … … … … . … … … . … . (6)

Gambar 3.3. Penentuan Volume Total Perairan Pantai TAMBAK Y x Air pasang Air Surut Kedalaman Water intake Vs Vo MSL h

(20)

13

b) Penentuan Kapasitas Perairan dalam Menerima Limbah Organik

Penentuan kapasitas perairan dalam menerima limbah organik didasarkan pada kapasitas oksigen terlarut perairan yang tersedia untuk proses penguraian limbah organik, dengan mengacu pada formula (Willioghby, 1968, dalam Meade, 1989 dan Boyd, 1990) sebagai berikut:

𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑶𝒌𝒔𝒊𝒈𝒆𝒏 (𝑶𝟐) = 𝑽𝒕𝒐𝒕 (𝒎𝟑)/ 𝐦𝐢𝐧 𝒙 𝟏𝟒𝟒𝟎𝒎𝒊𝒏 𝒉𝒂𝒓𝒊𝒙(𝑶𝒂𝒌− 𝑶𝒂𝒒)𝒈 𝑶𝟐 𝒎𝟑 = C 𝒈 𝑶𝟐/𝒉𝒂𝒓𝒊 = 𝑪 𝒈 𝑶𝟐/𝒉𝒂𝒓𝒊 𝟏𝟎𝟎𝟎 = C dimana :

Vtot = volume total air perairan pesisir tersedia (m3/min)

Oka = kandungan oksigen terlarut dalam kolom air perairan pesisir (mg/l) Oaq = kadar oksigen minimal yang dibutuhkan organisme (mg/l)

1.440 = jumlah menit dalam satu hari (24 jam)

C = jumlah oksigen terlarut yang tersedia diperairan pesisir (kgO2/hari)

Oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk menguraikan beban limbah. limbah organik yang masuk dan berada di perairan pesisir adalah 0.2 kg O/ kg limbah organik (Willioghby, 1968 dalam Meade, 1989). Berdasarkan hal ini, maka jumlah limbah organik yang dapat ditampung oleh perairan pesisir diformulasikan :

𝑫 = 𝑪

𝟎. 𝟐 … … … . (7) Jika diketahui jumlah limbah organik per hektar tambak udang = E, maka luas lahan tambak udang yang dapat dikembangkan sesuai dengan kapasitas perairan dalam menampung limbah organik adalah:

𝑭 =𝑫

𝑬 … … … . . (8) dimana : D = jumlah limbah organik yang dapat ditampung oleh perairan pesisir (kg/hari); F = Luas lahan tambak udang yang dapat dikembangkan sesuai dengan kapasitas perairan dalam menampung limbah organik (ha).

(21)

14 0 50 100 150 200 250 300 1 9 17 25 33 41 49 57 65 73 81 89 97 105 P aka n u d am g d an T SS

Day of Culture (day)

Pakan (kg) TSS (mg/l) TSS (kg)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kuantifikasi Limbah Organik dari Budidaya Udang Vannamei Teknologi intensif Sistem Panen Total dan Parsial

Pakan buatan yang diberikan selama masa pemeliharaan udang merupakan salah satu pemicu terjadinya penurunan kualitas lingkungan perairan karena tidak seluruh pakan tersebut dapat dimanfatkan oleh udang dan sisa yang tidak termanfatkan tersebut akan menjadi limbah organik dan merupakan penyebab menurunnya kualitas perairan (Mc Donald et al.1996; Horowitz dan Horowitz 2000). Selanjutnya Chen dan Lin (1989) menyatakan kadar TSS akan tinggi pada waktu panen, terutama pada volume 20-25 % limbah akhir tambak

Data monitoring pemberian pakan dan perhitungan limbah organik dalam bentuk Total Suspended Solid (TSS) yang dihasilkan dari kegiatan budidaya

udang vannamei teknologi intensif pada luas petak tambak 3200 m2 dengan padat

penebaran udang 150 ekor/m2 selama satu siklus budidaya disajikan dalam bentuk

grafik Gambar 4.1

Gambar 4.1 Kuantitas pakan dan limbah TSS yang dihasilkan dari kegiatan

budidaya udang vannamei padat tebar 150 ekor/m2, ukuran

(22)

15

Limbah Total Suspended Solid (TSS) yang dihasilkan dari kegiatan budidaya udang pada petak tambak ukuran 3200 m2 dengan tingkat padat tebar udang 150 ekor/m2 mulai dibuang ke lingkungan perairan pesisir pada day of culture 31. Konsentrasi limbah TSS pada day of culture 31 adalah sebesar 105,44 mg/l dengan jumlah atau bobot limbah yang dibuang ke perairan pesisir sebesar 12,15 kg TSS. Konsentrasi limbah TSS tertinggi selama masa pmeliharaan udang ditemukan pada day of culture ke 61 yaitu 274,23 mg/l dengan jumlah atau bobot limbah yang dibuang ke perairan pesisir sebesar 84,24 kg TSS. Pada akhir masa pemeliharaan (panen) yaitu day of culture 105, dilakukan pengeringan tambak dengan cara membuang seluruh air tambak (volume 3840 m3) ke lingkungan perairan, dimana pada saat pembuangan seluruh volume air tambak, konsentasi TSS tambak udang sebesar 166,44 mg/l dengan jumlah atau bobot TSS yang dibuang ke lingkungan perairan pesisir sebesar 639,13 kg TSS. Total jumlah atau bobot harian TSS mulai day of culture 31 sampai day of culture 104 adalah sebesar 3589.96 kg TSS/3200 m2. Sedangkan total jumlah atau bobot TSS sampai akhir masa pemeliharaan udang (panen) adalah sebesar 4229,10 kg TSS/3200 m2. Berdasarkan hasil penghitungan tersebut diatas, jika luas petak tambak udang (3200 m2) dikonversi dalam satuan luas hektar (ha) tambak, maka setiap 1 (satu) hektar (ha) tambak intensif udang vannamei (padat tebar 150 ekor/m2) menghasilkan limbah TSS sebesar 13215,92 kg TSS/ha dalam satu siklus pemeliharaan udang.

Luas tambak udang yang ada di Kecamatan Banyuputih saat ini adalah 37,8 ha dan seluruhnya dikelola dengan teknologi intensif dengan rata -rata padat tebar udang 150 eko/m2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, 2017). Jika diasumsikan seluruh tambak udang yang ada di wilayah studi (37,8 ha) melakukan kegiatan budidaya udang dalam siklus budidaya yang sama, maka beban limbah TSS tambak udang intesif yang masuk pada perairan pesisir Kecamatan Banyuputih adalah sebesar 499561,89 kg TSS dalam satu siklus budidaya. Jika beban limbah TSS yang masuk pada perairan pesisir melebihi kemampuan perairan dalam menguraikan limbah, maka kualitas perairan tersebut akan tercemar.

(23)

16

4.2 Kemampuan Perairan Pesisir dalam Mengencerkan Limbah TSS Tambak Udang

Kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan (menurunkan) konsentrasi limbah TSS tambak udang sangat tergantung dari volume total air sebagai penerima limbah, laju pengenceran (flushing time) seta jumlah limbah tambak udang yang masuk pada perairan (Gowen et al.1989, diacu dalam Barg 1992). Volume total air laut yang tersedia di perairan pesisir dipengaruhi oleh kisaran pasang surut air laut frekuensi pasang surut air laut, panjang garis pantai, sudut kemiringan dasar perairan (θ), dan jarak pengambilan air untuk keperluan tambak udang . Hasil pengukuran di lapangan diperoleh rata-rata tinggi air laut pada saat pasang tertinggi (spring tide) adalah 0.98 meter dan rata-rata tinggi air laut pada saat pasang terendah (neap tide) adalah 0,32 m dengan frekuensi pasang surut terjadi 2 kali dalam sehari. Kemiringan dasar perairan adalah 0,0152 dan Jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi pengambilan air laut untuk keperluan tambak adalah 798,5 m. Panjang garis pantai Kecamatan Banyuputih adalah 46833 m (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur, 2016). Kondisi fisik perairan pesisir Kecamatan Banyuputih disajikan pada Tabel 1 Tabel1. Kondisi fisik perairan Kecamatan Banyuputih

Parameter Nilai

Kisaran pasang surut air laut (h) 0,98 m

Frekwensi pasang surut air laut (f) 2 kali

Kemiringan dasar perairan (tanθ) 0,0152

water intake tambak udang (x) 798,5 m

Panjang garis pantai (y) 46833 m

Berdasarkan parameter di atas (table 2) dengan mengacu pada formula Widigdo dan Pariwono (2003) diperoleh hasil penghitungan volume air laut pada saat rata-rata pasang tertinggi (V0) adalah 35168674,42 m3 dan volume air laut pada saat rata-rata pasang terendah (Vs) adalah 12144240,58 m2. Dengan demikian maka volume total air laut (Vtot) yang tersedia dalam satu sikus pasang surut (V0 + VS) adalah 47312915,01 m3. Karena frekwensi pasang surut air laut

(24)

17 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1 9 17 25 33 41 49 57 65 73 81 89 97 105 K o ns ent ra si T SS ( m g/l) Day of culture TSS (mg/l)

dalam satu hari terjadi 2 kali (f =2), maka volume total air laut yang tersedia untuk mengencerkan limbah dalam satu hari adalah sebesar 2 x 47312915,01 m3 = 94625830,01 m3 dan hasil perhitungan flushing time perairan pesisir Kecamatan Banyuputih adalah 3 hari.

Asumsi yang digunakan dalam estimasi konsentrasi limbah TSS di perairan pesisir pada kondisi saat ini, yaitu: (1) limbah TSS yang masuk ke perairan pesisir berasal dari kegiatan tambak intensif udang vannamei yang ada di wilayah studi saat ini yaitu 37,8 ha dengan rata-rata padat penebaran udang 150 ekor/m2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, 2017), sedangkan buangan limbah TSS dari kegiatan lain diabaikan dan (2) kegiatan budidaya udang dilakukan dalam siklus produksi yang sama.

Berdasarkan asumsi tersebut dan mengacu pada formula perhitungan konsentrasi limbah dari Gowen et al. (1989) in Barg (1992), didapatkan informasi seperti yang tersaji pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Konsentrasi limbah TSS tambak intensif udang vannamei setelah mengalami proses pengenceran di perairan pesisir Konsentrasi Limbah TSS yang bersumber dari tambak intensif udang vannamei seluas 37,8 ha pada day of culture 31 (12454,81 mg/l) setelah masuk ke perairan pesisisr terjadi proses pengenceran limbah oleh volume air laut sebesar 94625830,01 m3 atau 94625830011 liter dengan flushing time 3 hari, sehingga konsentrasi limbah TSS tambak udang di perairan pesisir turun menjadi 0,40 mg/l. Konsentrasi limbah TSS tertinggi tambak udang yang masuk ke perairan pesisir

(25)

18

terjadi pada day of culture 61 (32393,40 mg/l) dan setelah mengalami proses pengenceran limbah konsntrasi TSS turun menjadi 1,05 mg/l. Pada akhir masa pemeliharaan udang (day of culture 105), kosentrasi limbah TSS tambak udang yang dibuang ke perairan pesisir sebesar 19647,80 mg/l, dan setelah mengalami proses pengenceran limbah konsentrasi TSS di perairan pesisir turun menjadi 0,60 mg/l. Pada kondisi saat ini limbah TSS yang dihasilkan oleh tambak intensif udang vannamei di wilayah studi (37,8 ha) belum memberikan dampak negatif terhadap kualitas perairan pesisir. Konsentrasi limbah TSS tambak udang di perairan pesisir setelah mengalami proses pengenceran masih berada di bawah konsentrasi yang diperbolehkan untuk budidaya udang yaitu 80 mg/l (Wedmeyer 1996; Widigdo 2002; Soewardi 2002 dan; MenKLH 2004).

(26)

19

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Beban limbah budidaya udang vannamei teknologi intensif dengan padat tebar 150 ekor/m2 yang terbuang ke lingkungan perairan selama satu siklus budiya adalah 13215,92 kg TSS/ha. Pada kondisi saat ini, Jika seluruh tambak intensif udang vannamei yang ada di wilayah studi saat ini (37,8 ha) melakukan proses budidaya udang dalam satu siklus budidaya yang sama, konsentrasi tertinggi limbah TSS tambak udang yang terbuang ke lingkungan perairan terjadi pada day of culture 61 yaitu 32393,40 mg/l.

Volume total air laut yang tersedia di perairan pesisir Kecamatan Banyuputih (94625830,01 m3) mampu menurunkan konsentrasi tertinggi limbah TSS tambak udang yang masuk ke perairan yaitu dari 32393,40 mg/l menjadi 1,05 mg/l . Konsentrasi tertinggi Limbah TSS tambak udang di perairan pesisir setelah terjadi prosses pengenceran limbah (1,05 mg/l) masih berada di bawah batas masimal konsentrasi TSS yang diperbolehkan untuk budidaya udang yaitu 80 mg/l.

5.2. Saran

Agar kegiatan tambak udang yang ada di wilayah studi dapat berkelanjutan dan kualitas lingkungan perairan tetap terjaga dengan baik, sebaiknya dalam menentukan potensi pengembangan tambak pada suatu kawasan tidak hanya didasarkan pada aspek ekonomi dan kesesuaian lahan saja, namun harus pula memperhatikan daya dukung perairan dalam menerima limbah organik tambak.

Untuk meminimalisir beban limbah organik tambak pada perairan pesisir, diperlukan upaya perbaikan sistem budidaya dengan melakukan panen parsial dan diikuti dengan manajemen pengelolaan pakan yang baik melalui penerapan feeding program yang tepat dan efisien.

Perlu penelitian lebih lanjut dengan memasukkan aspek ekonomi dan social dalam penilaian daya dukung lingkungan untuk pengembangan tambak udang

(27)

20

agar didapat informasi yang lebih komprehensif dalam upaya pengelolaan tambak udang. secara optimal dan berkelanjutan.

(28)

21

DAFTAR PUSTAKA

Barraza-Guardado, R.H., Arreola-Lizarraga, J.A., Lopez-Torres, M.A., Casillas-Hernandez, R., Miranda-Baeza, A., Magallon-Barrajas, F., & Ibarra-Gamez, C. (2013). Effluent of shrimp farm and its influence on the coastal ecosystems of Bahia de Kino, Mexico. Hindawi Publishing Corporation. The Scientific Journal Volume 2013. Article ID 306370, 8 pages. http://dx.doi.org/10.1155/2013/ 306370.

Barg UC. 1992. Guidelines for the promotion of environmental management of coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122p.

Boyd, C.E., Massaut, L., & Weddig, L.J. (1998). Towards reducing environmental impacts of pond aquaculture. INFOFISH International 2/98, p. 27 -33 Boyd C.E.1999. Management of shrimp pond to reduce the eutrophication

potential of effluents. The Advocate, December 1999:12-14.

Bui, T.D., Luong-Van, J., & Austin, C.M. (2012). Impact of shrimp farm effluent on water quality in coastal areas of the World Herritage-Listed Ha Long Bay. American

Clark JR.1996. Coastal zone management hand book. Lewis Publisher, New York. USA.

Dahuri R. 2000. Strategi dan program pengelolaan pesisir dan lautan Indonesia Prosiding pelatihan untuk pelatih pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Bogor 21-26 Februari 2000. PKSPL-IPB Hal 114-130.

Damar A. 2004. Eutrofikasi perairan pesisir. Makalah, disampaikan pada peringatan hari bumi di Institut Pertanian Bogor

Journal of Environmental Sciences, 8(2): 104-116

Haris E. 2000. Manajemen operasional tambak udang pada pencapaian target PROTEKAN 2003. Makalah disampaikan pada serasehan akuakultur Nasional. IPB Bogor, 5 – 6 oktober 2000. 10 hal.

Hazarika, M.K., Samarakoon, L., Honda, K., Thanwa, J., Pongthanapanich, T., & Boongsong, K. (2000). Monitoring and impact assessment of shrimp farming in the east coast of Thailand using remote sensing and SIG. International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing. Vol. XXXIII, Part B7. Amsterdam 2000, p. 504-510.

Horowitz, A. & Horowitz, S. (2000). Microorganisms and feed management in aquaculture. Global Aquaculture Alliance. Advocate, 3(2), 33-34.

(29)

22

Lorenzen, K., Struve, J., & Cowan, V.J. (1997). Impact of farming intensity and water management on nitrogen dynamics in intensive pond culture: a mathematical model applied to Thai commercial shrimp farms. Aquaculture Research, 28, 493-507.

Meade JW. 1989. Aquaculture management. Anvi Book, Van Nostrand Reinhold, 175 p.

Montoya, R. & Velasco, M. (2000). Role of bacteria on nutritional and management strategies in aquaculture systems. Advocate, 3(2), 35-36. Primavera JH, Apud FF. 1994. Pond culture of sugpo (Penaeus monodon,

Fabricius). Philip. J.Fish., 18 (5) : 142 – 176.

Rachmansyah. 2001. Evaluasi model simulasi untuk optimalisasi padat penebaran pada budidaya tambak udang di Teluk Pare – Pare. Falsafah Sains PPS– IPB.

Soewardi K. 2002. Pengelolaan kualitas air tambak. Makalah dalam seminar penetapan standar kualitas air buangan tambak. Ditjen Perikanan Budidaya, 7 – 9 Agustus 2002.

Suryadiputra INN. 1995. Pengelolaan air limbah dengan metoda biologi. Pelatihan sistem operasi pengendalian dan pemeliharaan air laut. Proyek pengembangan pendidikan ilmu kelautan. Bogor.

Wedemeyer GA.1996. Physiology of fish in intensive cultures system. Chapman and Hall. New York.232 p.

Widigdo B. 2002. Perkembangan dan peranan perikanan budidaya dalam pembangunan. Makalah dalam seminar penetapan standar kualitas air buangan tambak, Ditjen Perikanan Budidaya, Puncak 7 – 9 Agustus 2002. WidigdoB, Pariwono. 2003. Daya dukung pantai utara Jawa Barat untuk budidaya

udang (Studi Kasus di Kabupaten Subang, Teluk Jakarta dan Serang), Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1, 10-17.

Xue X, H Honga, AT Charles. 2004. Cumulative environmental impacts and integrated coastal management: The case of Xiamen, China. J Envi Management. 272 71 (2004) 271–283.

Gambar

Gambar 2.1. Alur Pakan Udang di Dalam Tambak Udang Intensif  (Primavera dan  Apud, 1994)
Gambar 3.1. Lokasi Penelitian
Gambar 3.2. Proses Penentuan Jumlah Limbah Organik dalam Bentuk Total Suspended Solid (TSS) dari Kegiatan  tambak Inntensif
Gambar 3.3. Penentuan Volume Total Perairan Pantai  TAMBAK Y x  Air pasang Air Surut  Kedalaman  Water intake VsVoMSL h
+3

Referensi

Dokumen terkait

Studi empiris mengenai pendeteksian manajemen laba di Indonesia sendiri belum ada yang menggunakan conditional revenue model karena teknik yang paling umum untuk

Pada proses pembelajaran, siswa lebih ditekankan pada unaur gerak dan penyesuaian gerakan melalui metode demonstrasi.dari hasil obsrvasi pada siklus II ini diperoleh data

Piagam ini berlaku efektif terhitung sejak 29 Maret 2016 (“Tanggal Efektif”). Dengan menandatangani lembar persetujuan, seluruh anggota Direksi dianggap telah menerima dan

Untuk menjamin agar pekerjaan supervisi konstruksi ini dapat diselesaikan dengan mutu seperti yang disyaratkan, Konsultan Pengawas dalam melaksanakan pekerjaan

Penelitian dengan uji t bahwa variabel aset, jaminan dan persepsi suku bunga pinjaman perbankan secara signifikan berpengaruh parsial terhadap keputusan kredit

Berusaha mencari informasi tidak hanya saat ada tuntutan dan tidak terbatas pada sumber terdekat, berusaha mencari pembanding dan menggali lebih lanjut

supplier yang berada di dekat proyek. 5) Pembuatan format baku (standarisasi) dalam mengevaluasi deviasi antara penggunaan sumber daya dengan perencanaan sumber daya untuk

hal ini pendidikan Islam tidak mengesampingkan pemberian tuntunan kepada para siswa untuk mempelajari subjek atau latihan-latihan kejuruan mengenai beberapa bidang