• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEDALAMAN LAUT DAN DIMENSI PIPA TERHADAP INSTALASI PIPA BAWAH LAUT DENGAN METODE J-LAY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KEDALAMAN LAUT DAN DIMENSI PIPA TERHADAP INSTALASI PIPA BAWAH LAUT DENGAN METODE J-LAY"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEDALAMAN LAUT DAN DIMENSI PIPA TERHADAP

INSTALASI PIPA BAWAH LAUT DENGAN METODE J-LAY

Gazali (1), Wisnu Wardhana(2), J.J. Soedjono(3), 1Mahasiswa Teknik Kelautan,

2,3Staf Pengajar Teknik Kelautan, FTK-ITS

Abstrak: Kedalaman saat instalasi pipeline menggunakan laybarge mempengaruhi metode yang akan digunakan yaitu S-Lay dan J-Lay. Pada umumnya J-Lay dikenal dengan metode instalasi untuk laut dalam, namun kenyataan dilapangan metode ini tidak diketahui kepastian batas range kedalaman laut yang dapat di install. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisa tegangan dengan time domain pada daerah segbend dengan variasi diameter pipa 28 in, 30 in, 32 in, 36 in, 42 in (ketebalan masing-masing pipa 0.875 in) dan kedalaman laut 100 m – 1000 m. Dengan demikian kemampuan suatu propertis pipa dapat dikategorikan tergantung kedalaman laut tempat instalasinya. Dalam melakukan analisa tersebut, penelitian ini dibantu dengan beberapa software yaitu Maxsurf Pro.9 untuk mendapatkan geometri barge,

MOSES ver6.0untuk mendapatkan Response Amplitude Operators (RAOs) gerakan barge dan OrcaFlex

untuk menganalisa tegangan yang timbul dari pipa akibat gerakan barge pada daerah yang mengalami tegangan kritis (sagbend dan touch down point). Hasil analisa dari penelitian didapat kemamuapn tiap pipa untuk di instalasi terhadap kedalaman perairan yaitu untuk pipa 28 in dan 30 in dapat di install pada kedalaman 100 m - 1000 m, 32 in pada kedalaman 100 m – 900 m, 36 in pada kedalaman 200 m – 800 m, dan pipa 42 in pada kedalaman 300 m – 700 m.

Kata-kata kunci: pipeline, laybarge, J-Lay, install, segbend, diameter, kedalaman, time domain 1. Pendahuluan

Pendistribusian minyak dan gas yang berada di

offshore dari satu fasilitas ke fasilitas lain, kita

kenal saat ini dengan dua cara yaitu pendistribusian dengan pipa bawah laut (pipeline) atau secara curah (misal: kapal tanker). Pendistribusian dengan pipeline relatif aman dibandingkan dengan pendistribusian secara curah (Soegiono, 2004). Dengan tingkat keamanan yang baik selama penginstalan akan memberikan investasi jangka panjang yang menguntungkan sesuai dengan umur operasi yang telah ditentukan. Metode instalasi pipeline yang digunakan saat ini yaitu metode S-Lay, J-Lay dan Reeling. Penggunaan instalasi metode S-Lay dan J-Lay didasarkan pada kondisi lingkungan berupa kedalam seabead dengan laut dangkal untuk metode S-Lay dan laut dalam untuk metode J-Lay. Selain itu kondisi lingkungan juga akan memberikan beban hidrodinamis berupa gerakan pada laybarge dan kestabilasan pipeline. Akibatnya beban dinamis ini akan mengakibatkan tegangan (tension dan bending) pada daerah tertentu sepanjang pipeline saat instalasi.

1.a

1.b

Gambar 1.1.a Metode S-Lay, 1.1.b Metode J-Lay. (Offshore Pipelines, 2005)

Sejauh ini telah ada tiga orang mahasiswa kelautan yang mengadakan penelitian menggunkan metode S-Lay dan J-Lay. Ivan

(2)

syarifudin (angkatan 2001) yang membahas “Analisa Tegangan Pipa Bawah Laut Karena Gerakan Barge Berdasarkan Time Domain Saat

Laying”, Addy Purnama S (angkatan 2002) yang

membahas “Analisa Tegangan Pipa Bawah Laut Pada Proses Instalasi Akibat Gerakan Laybarge Menggunakan Metode S-lay”, Andi Panambang (angkatan 2001) yang membahas “Analisa Tegangan Pipa Bawah Laut Akibat Gerakan

LaybargeDengan Berdasar Frequency Domain”.

Namun analisa yang mereka lakukan hanya sebatas tegangan yang timbul selama proses instalasi dengan menggunakan metode S-Lay atau J-Lay dan belum sampai pada pengkombinasian variasi kedalaman serta dimensi pipa.

Tegangan paling kritis umumnya terjadi di daerah

overbend (pada S-Lay), sagbend dan tauchdown point. Sehingga target dari penelitian ini adalah

mengetahui dimensi pipa yang sesuai dengan kedalaman saat instalasi dengan mempertimbangkan batas optimum tegangan yang sesuai dengan kriteria desain menggunakan metode J-Lay.

Software yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Maxsurf Pro.9 yaitu untuk geometri dari barge. Kemudian dengan menggunakan titik tersebut pada MOSES ver6.0 akan didapatkan

Response Amplitude Operators (RAOs) dari

gerakan barge. Setelah itu RAO gerakan barge akan digunakan ke dalam OrcaFlex untuk mencari tegangan pada pipeline selama proses instalasi.

2. Umum

Dalam analisa gerakan kapal ada beberapa gerakan yang mempunyai pengaruh besar terhadap instalasi pipa bawah laut yaitu Surge,

Heave, Pitch. Ketiga gerakan ini mengakibatkan

pipa mudah tertekuk di daerah segbend. Karena dalam penelitian meninjau pengaruh kedalam laut terhadap instalasi pipa maka semua gerakan dari barge akan menjadi inputan dalam melakukan analisa, diantaranya:

a. Surging : Translasi sumbu -y. b. Swaying : Translasi sumbu -y. c. Heaving : Translasi sumbu -z. d. Rolling : Rotasi sumbu -x. e. Pitching : Rotasi sumbu -y.

f. Yawing

: Rotasi sumbu –z

Hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pergerakan kapal akibat gabungan beberapa gerakan (couple) yang tentu saja memberikan pengaruh pada pipa yang sedang di instal.

2.1. Beban Gelombang

Menurut Indiyono (2003) beban gelombang merupakan beban terbesar yang ditimbulkan oleh beban lingkungan pada bangunan lepas pantai (offshore structure). Perhitungan beban

gelombang dapat direpresentasikan dengan perhitungan gaya gelombang. Teori perhitungan gaya gelombang yang digunakan salah satunya adalah teori difraksi. Dalam teori ini keberadaan struktur ini akan mempengaruhi timbulnya perubahan arah pada medan gelombang disekitarnya. Dalam hal ini difraksi gelombang dari permukaan struktur harus diperhitungkan dalam evaluasi gaya gelombang.

Untuk gaya gelombang time series dapat dibangkitkan dari spektrum gelombang. Gaya gelombang first order :

 

 

 

 

i i i N i i wv wv

t

F

a

F

cos

1 1 1 ...(1) dimana :  

 

t

F

wv1 = gaya gelombang first order

 1

 

wv

F

= gaya exciting gelombang first order

per unit amplitudo gelombang tergantung waktu

i

= sudut fase first order i

a

= amplitudo first order

2

S

 

d

 

S

= fungsi spektra gelombang

Sedangkan gaya gelombang second order dapat dinyatakan sebagai berikut:

 

 

cos

(

)

(

)

1 1 1 j i j i N j ij j i N i wv

t

a

a

D

t

F

  (2) dimana : ij

D

= drift force per unit amplitudo gelombang

2.2. Beban Angin

Menurut API RP 2A WSD 21st edition

bahwasannya formula yang digunakan dalam perhitungan gaya yang ditimbulkan oleh angin sebagai berikut: A C (V) 2g) / (w F S 2  ... (3) dengan : F = gaya angin

W = densitas berat udara, (0.0023668 slugs/ft3untuk standart P dan T)

V = kecepatan angin (m/sec) CS = koefisien bentuk

(3)

2.3. Beban Arus

Kecepatan arus dapat dirumuskan dalam formulasi matematis berikut (Dawson, 1983):

7 1 OT T h y U U        ... (4) dengan :

UT = kecepatan arus pasang surut (m/s)

UOT = kecepatan arus pasang surut di

permukaan (m/s) y = jarak dari dasar laut (m) h = kedalaman laut (m) 2.3. Spektrum Gelombang

Spektrum gelombang yang dipakai dalam tugas akhir ini adalah spektrum JONSWAP. Persamaan spektrum JONSWAP merupakan modifikasi dari persamaan spektrum Pierson-Morkowitz yang disesuaikan dengan kondisi laut yang ada. Persamaan spektrum JONSWAP dapat ditulis sebagai berikut :                             2 0 2 2 0 2 4 0 5 2 1,25          g EXP EXP S ... (5) dengan :

= parameter puncak (peakedness parameter)

= parameter bentuk (shape parameter) untuk

0

= 0,07 dan

0= 0,09 2.4. Response Amplitude Operators (RAO)

Response Amplitude Operator(RAO) atau sering

disebut sebagai Transfer Function adalah fungsi

response yang terjadi akibat gelombang dalam

rentang frekuensi yang mengenai struktur

offshore. RAO disebut sebagai Transfer Function

karena RAO merupakan alat untuk mentransfer beban luar (gelombang) dalam bentuk response pada suatu struktur. Bentuk umum dari persamaan RAO dalam fungsi frekuensi (Chakrabarty, 1987) adalah sebagai berikut :

Response() = (RAO) /()...(6)

dengan :

= amplitudo gelombang, m, ft 2.5. Analisa Dinamis

Time domain analysis adalah penyelesaian

gerakan dinamis struktur berdasarkan fungsi waktu. Pendekatan yang dilakukan dalam metode ini menggunakan prosedur integrasi waktu dan akan menghasilkan respon time history berdasarkan waktu x(t).

2.6. Kofigurasi Mooring Line

Konfigurasi dari mooring tergantung pada besar dari beban horisontal yang terjadi. Menurut API RP 2P edisi kedua, bahwasannya tipe dari

Mooring systemdibagi menjadi tiga kategori yaitu wire rope system, all chain system dan kombinasi chain/wire rope system.

Gambar 2. Konfigurasi mooring (Hydrodynamics of Offshore Structure,1987)

Penentuan panjang minimum dari mooring dapat menggunakan formula sebagai berikut.

1 2 ph F h l H atau 1 2 ph T h l ... (7) dengan : l : panjang minimum h : hm+ hc hm : kedalaman perairan

hc : tinggi fairlead dari permukaan air

p : submerged weight dari mooring FH : gaya horizontal pada mooring di fairlead

T : tension pada mooring di fairlead

Untuk menentukan jarak horizontal anchor line yaitu dengan menggunakan formula sebagai berikut :

x

l

l

X

s

... (8) dengan : ) ( sinh 1 a l a x s dan h h l a s 2 2 2

X : jarak horizontal anchor

x : jarak horizontal touchdown point l : panjang keseluruhan mooring ls : panjang minimum mooring

2.7. Analisa Tegangan Pada Pipa

Gambar 3. J-LAY Method (Trevor Jee Associates, 2004)

(4)

Persamaannya diekspresikan sebagai berikut :         cosh 1 h s s h T xw w T z ...(9) dengan :

x = jarak horizontal dari touch down point z = kedalaman

Th = gaya horisontal pada dasar laut

Ws = berat pipa tercelup per.unit

Kemudian :    cos cosh cos 2 2 h s h s T xw T w dx z d ds d ... (10) dengan :

= sudut terhadap x-aksis s = panjang bentang pipa

Curvature terbesar saat touch down point : h s

T

w

R

1

3. Data Pemodelan 3.1. Data Barge

Data struktur yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu untuk data LayBarge dengan menggunakan data DERICK BARGE. data

pipeline yang akan digunakan adalah sebagai

berikut :

Table 1. Data LayBarge DERICK BARGE

Description Unit Quantity

Panjang (LOA) m 120

Lebar (B) m 39

Tinggi (H) m 8.5

Sarat (T) m 5.8

Diameter wire mm 63.5

Sistem Mooring : 12 Anchor

Gambar 4. Derick Barge

3.2 Data Pipa

Table 2. Data Pipeline PGN Description Unit Quantity

Grade (SMYS) X-65

Diameter Luar Pipa (OD) in 42

Diameter Dalam Pipa

(ID) in 40.250

Wall Thickness (t) in 0.875

Steel Density(ρsteel) lb/ft3 490

Young Modulus (E) ksi 2440

SMYS MPa 448

Table 3. Data Pipeline PGN

Description Unit Quantity

Grade (SMYS) X-65

Diameter Luar Pipa (OD) in 36

Diameter Dalam Pipa (ID) in 34.250

Wall Thickness (t) in 0.875

Steel Density(ρsteel) lb/ft3 490

Young Modulus (E) ksi 2640

SMYS MPa 448

Table 4. Data Pipeline PGN

Description Unit Quantity

Grade (SMYS) X-65

Diameter Luar Pipa (OD) in 32

Diameter Dalam Pipa (ID) in 30.250

Wall Thickness (t) in 0.875

Steel Density(ρsteel) lb/ft3 490

Young Modulus (E) ksi 3000

SMYS MPa 448

Table 5. Data Pipeline PGN

Description Unit Quantity

Grade (SMYS) X-65

Diameter Luar Pipa (OD) in 30

Diameter Dalam Pipa (ID) in 28.50

Wall Thickness (t) in 0.850

Steel Density(ρsteel) lb/ft3 490

Young Modulus (E) ksi 2930

(5)

Surge -0.1 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 0 0.5 1 1.5 2 2.5 frekuensi (rad/sec) R A O arah 0 derajat arah 45 dearajat arah 90 derajat arah 135 derajat arah 180 derajat

Table 6. Data Pipeline PGN Description Unit Quantity

Grade (SMYS) X-65

Diameter Luar Pipa (OD) in 28

Diameter Dalam Pipa (ID) in 27

Wall Thickness (t) in 0.8755

Steel Density(ρsteel) lb/ft3 490

Young Modulus (E) ksi 2090

SMYS MPa 448

Dari data-data ini nantinya dapat diklasifikasikan sesuai dengan pengguaannya berdasarkan kedalaman yang akan ditinjau dan metode instalasi (J-lay) yang akan digukanan dengan mempertimbangakan batas maksimum yang diijinkan.

3.3. Data Mooring

Data mooring yang akan digunakan sebagai berikut:

Table 7. Data pada Derick Barge

Description Unit Quantity

Diameter wire mm 63.5

Sistem Mooring : 12 Anchor 3.4. Kondisi Perairan

Dalam melakukan analisa terhadap propertis pipa nantinya akan dikombinasikan dengan beberapa kedalaman untuk melihat batasan tegangan maksimum yang masih dalam tegangan yang diijikan. Kedalaman yang akan di analisa 100m – 1000m

Table 8. Data Lingkungan

3.5. Pemodelan

Pemodelan dilakukan dilakukan dengan bantuan

software Maxsurf. Pemodelan barge ini dilakukan

untuk mencari koordinat setiap station yang selanjutnya akan di gunakan untuk melakukan pemoedalan pada software Moses. Pemodelan pada Moses dilakukan untuk mendapatkan

gerakan bebas di laut dengan karakteristik lingkungannya. Selanjutnya dilakukan pemodelan barge pada software Orcaflex untuk sebagai persiapan dalam mentukan konfigurasi mooring dan pipa yang akan di instal.

Gambar 5. Pemodelan barge pada Maxsurf

Gambar 6. Pemodelan ketika instalasi

4. Analisa Hasil Dan Pembahasan 4. 1. RAO Struktur

(6)

Heave 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 0 0.5 1 1.5 2 2.5 frekuensi (rad/sec) R A O arah 0 derajat arah 45 derajat arah 90 derajat arah 135 derajat arah 180 derajat Pitch 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 0 0.5 1 1.5 2 2.5 Frekuensi (rad/sec) R A O arah 0 derajat arah 45 derajat arah 90 derajat arah 135 derajat arah 180 derajat

Gambar 8. Grafik RAO gerakan Heave

Gambar 9. Grafik RAO gerakan Pitch

Dari respon struktur ini Derick Barge mempunyai karakteristik dengan frequensi yang rendah pada gelombang memberikan simpangan yang lebih besar dari struktur terhadap amplitudo gelombangnya. Dengan makin besarnya nilai frequensi gelombang maka struktur akan memberikan respon yang kecil. Dan karakteristik seperti ini umumnya di dapat dari bangunan apung jenis tongkang.

4.2. Mooring

Dalam melakukan analisis ini mooring dilakukan dengan pendekatan Catenary. Mooring yang terpasang baik jumlah maupun jenisnya disesuaikan dengan karakteristik bangunan apung atau dari properties jenis barge yang telah diberikan dari pemilik perusahaan.

Pada analisa ini menggunakan 12 spread mooring sesuai dengan data yang ada pada barge DB27 dengan konfigurasinya diatur dalam API RP 2SK

(Design and Analysis of Stationkeeping System

for Floating Structures, page 43) seperti pada

gambar dibawah ini.

Gambar 10. Konfigurasi spread mooring-12 ketika instalasi

Mooring yang terpasang akan menahan gerakan

barge ketika saat beroperasi maupun saat dilakukan instalasi. Mooring di analisa dengan kemampuan menahan gerakan dari barge. Gerakan pada barge ditimbulkan oleh respon struktur terhadap gelombang dan gaya angin dari bentuk struktur.

Faktor angin memberikan pengaruh besar pada gaya horizontal karena luasan bidang tangkapan udara diatas garis air pada bangunan apung dan koefisien bentuk (Cd) dari sebuah struktur (API RP 2A WSD 21st edition). Nilai dari gaya angin

ini adalah sebesar 89 kN. Sehingga total seluruh respon gaya dari barge adalah sebesar 382 kN (38.95 Ton). Analisa kemampuan tiap mooring adalah gaya horizontal dibagi dengan jumlah

mooring yang yang terpasang. Dari 12 mooring

yang ada pada barge yang akan dianalisa, maka setiap mooring akan menahan 31.85 kN

Mooring yang terpasang pada bangunan apung

mempunyai dua keadaan tertambat. Pada saat operasional biasa mooring cenderung lebih renggang karena hanya menahan bangunan apung agar tidak hanyut. Hal ini dijabarkan oleh dalam pers. 2.12. Dalam keadaan instalasi (misal pipe

installation) beberapa mooring harus lebih tegang

khususnya mooring pada bagian depan barge dimana pada bagian belakangnya merupkan tempat launching pipa. Hal ini dilakukan untuk mengurangi besarnya kegagalan pipa karena dengan hanyutnya barge Surging kearah belakang dan Pitching pada buritan akan memperbesar tension pada daerah segbend dimana pipa semakin menekuk. Oleh karena itu dalam pemodelan pipa lebih perpendek dengan persentase tertentu dari total panjangnya dengan ketentuan dalam ketika di instal dalam keadaan aman.

(7)

Gambar 11. Konfigurasi mooring dari persamaan Catenary

Tabel 9. Koordinat Mooring Tiap Kedalaman

Tabel 10. Persentase Panjang Minimum Mooring dan Tension

4.3. Tension

Dalam instalasi pipa yang akan turun kedalam perairan ditahan oleh Tensioner diatas laybarge.

Tension ini menahan agar pipa tidak langsung

masuk kedalam perairan secara tiba-tiba akibat berat pipa yang harus disanggah. Namun dalam melakukan pemodelan pada software Orcaflex pipa yang disanggah tensioner diatas barge dianggap tertahan dan tidak mengalami pergerakan sama sekali. Sehinnga tension yang terjadi hanya pada bagian pipa yang mengalami

bending, selebihnya akan dijelaskan didalam pretension.

4.4. Pretension

Sebelum adanya pengaruh beban lingkungan pipa yang akan di install telah mengalami tension akibat berat sepanjang kedalaman perairan.

Tensionini sering disebut Pretenison dan timbul

dari daerah disekitar segbend, yaitu pipa yang melengkung mendekati dasar laut menahan berat pipa yang ada diatasnya. Timbulnya pretension disebabkan oleh dua faktor yaitu kedalaman daerah instalasi dan propertis pipa. Semakin dalam suatu wilayah perairan yang akan di lakukan instalasi pipa maka akan memberikan

tension yang berbeda karena perbedaan jari-jari

pada daerah sekitar segbend dan makin banyak pipa yang tercelup sehingga menambah beban disekitar segbend. Dengan propertis pipa yang berbeda (diameter) akan memberikan tingkat kelengkungan disekitar sekitar pipa semakin besar yang merupakan variabel untuk meningkatkan pretension. Dengan tension mula-mula berupa pretension yang terjadi tanpa adanya beban lingkungan, dalam proses running Orcaflex nantinya akan dijadikan dasar perhitungan sehingga tension mula-mula akan ditambah dengan tension akibat beban lingkungan yang terjadi. Dari hasil runningan pretension ternyata berperan besar memicu terjadi kegagalan instalasi pada pipa. Berikut ini adalah grafik peningkatan terjadi pretension dari beberapa properties pipa dan kedalamannya.

Tabel 11. Pretension Pipa Tiap Kedalaman

Gambar 12. Grafik Pretension beberap pipa tiap Kedalaman

(8)

4.5. Konsentrasi Stress Pada Pipa

Sebelum dilakukan simulasi, pada pemodelan

mooring telah diperpendek panjangnya namun

perpendekan dari panjang mooring juga mempertimbangkan tingkat keamanannya. Dari bebarapa hasil percobaan didapat bahwa pipa mempunyai karakteristik dimana jika terkena beban lingkungan dari arah Head seas (00), maka

tegangan akan lebih besar dibandingkan dengan dari arah lain (450,900,1350,1800) seperti gambar

10. Penyebabnya karena mooring pada bagian depan kurang dapat menahan hanyutnya barge kearah belakang sehingga pipa tertekuk dan kemudian menaikkan stress pada pipa.

Gambar 13. Garafik stress pipa pada kedalaman 100m pipa 28 in dengan arah pembebanan 0° - 180°

Baik sebelum dan setelah adanya pembebanan oleh lingkungn stress maksimum yang muncul selalu muncul pada daerah ketika akan menyentuh dasar laut. Dengan tension yang meningkat disekitar dearah segbend pada pipa maka stress yang terjadipun semakin besar. Berikut ini adalah gambaran ketika hasil simulasi pada pipa 28 in dengan kedalaman 300m.

Daerah ketika akan menyentuh seabed (touch

down point) terjadi peningkatan stress yang

signifikan, hal ini di sebabkan karena bentangan (span) antara barge dan seabed menyebabkan gaya vertikal ke bawah oleh berat pipa itu sendiri, sehingga terjadi pretension walaupun pipa belum di pengaruhi gerakan barge dan pembebanan lingkungan. Selain itu 6 gerakan gabungan (couple) dari seluruh gerak bangunan apung dan faktor pembebanan lingkungan akan memicu terjadinya stress pada daerah konsetrasi tegangan (segben and touch down point).

Gambar 14. Stress maksimum pada daerah sekitar touch down point

4.6. Stres Pipa Setipa Kedalaman Dan Arah Pembebanan

Setiap properties dari pipa menghasilkan sterss yang berbeda pada setiap arah pembebanan yang berbeda pula. Tingkat keamanan pipa telah diberikan pada ASME B31.8 (1992) yaitu 0.9 σy material (steel 448 Mpa).

Tabel 12. Stress Maksimum Pipa 28 in

Gambar 14. Grafik stress maksimum pipa 28 in

Gambar diatas adalah gambar grafik analisa stress pipa 28 in pada kedalaman 100 – 1000 m dengan arah pembebanan 0° - 180°. Dari gambar grafik tersebut didapatkan besarnya stress maksimum

(9)

adalah 431418 kN/m2 pada kedalaman 700m

dengan arah pembebanan 0° dan status aman.

Tabel 13. Stress Maksimum Pipa 30 in

Gambar 15. Grafik stress maksimum pipa 30 in

Gambar diatas adalah gambar grafik analisa stress pipa 30 in pada kedalaman 100 – 1000 m dengan arah pembebanan 0° - 180°. Dari gambar grafik tersebut didapatkan besarnya stress maksimum adalah 430724 kN/m2 pada kedalaman 700m

dengan arah pembebanan 0° dan status aman.

Tabel 14. Stress Maksimum Pipa 32 in

Gambar 16. Grafik stress maksimum pipa 32 in

Gambar diatas adalah gambar grafik analisa stress pipa 32 in pada kedalaman 100 – 1000 m dengan arah pembebanan 0° - 180°. Dari gambar grafik tersebut didapatkan besarnya stress maksimum adalah 449009 kN/m2 pada kedalaman 1000m

dengan arah pembebanan 0° dan status gagal.

Tabel 15. Stress Maksimum Pipa 36 in

Gambar 17. Grafik stress maksimum pipa 36 in

Gambar diatas adalah gambar grafik analisa stress pipa 36 in pada kedalaman 100 – 1000 m dengan arah pembebanan 0° - 180°. Dari gambar grafik tersebut didapatkan besarnya stress maksimum adalah 459442 kN/m2 pada kedalaman 1000m

dengan arah pembebanan 0° dan status gagal. Tabel 4.8. Stress Maksimum Pipa 42 in

(10)

Gambar 18. Grafik stress maksimum pipa 42 in

Gambar diatas adalah gambar grafik analisa stress pipa 42 in pada kedalaman 100 – 1000 m dengan arah pembebanan 0° - 180°. Dari gambar grafik tersebut didapatkan besarnya stress maksimum adalah 472220 kN/m2 pada kedalaman 1000m

dengan arah pembebanan 0° dan status gagal. Dari tabel.4.6 sampai tabel. 4.8 mulai terjadi kegagalan pipa yaitu pipa 32 in dengan kegagalan pada kedalaman 1000m, pipa 36 in dengan kegagalan pada kedalaman 100m, 900m dan 1000m dan Pipa 42 in dengan kegagalan pada kedalaman 100m, 200m, 800m, 900m, 1000m. 5. Kesimpulan Dan Saran

5. 1. Kesimpulan

Kegagalan instalasi pipeline memberikan pertimbangan keamanan dan kemampuan saat dilakukan peletakan pipeline pada seabed. Kegagalan selama instalasi dalam penelitian sebagian besar disebabkan karena arah pembebanan beban lingkungan headseas (0°) atau dari depan barge dan keregangan mooring ketika dilakukan instalasi yang mengakibatkan barge hanyut ke arah buritan sehingga pipa menjadi lebih tertekuk pada daerah segbend dan touch

down point. Hal ini akan memicu peningkatan stress pada dearah tersebut karena merupakan

pusat konsentrasi tegangan selama pipeline di instalasi.

Dari hasil analisa numerik dapat dikategorikan pipa berdasarkan kemampuan instalasinya, sebagai berikut :

Pipa 28 in kedalaman intalasi 100 m – 1000 m. Pipa 30 in kedalaman intalasi 100 m – 1000 m. Pipa 32 in kedalaman intalasi 100 m – 900 m. Pipa 36 in kedalaman intalasi 200 m – 800 m. Pipa 42 in kedalaman intalasi 300 m – 700 m

5. 1. Saran

1. Kegagalan pipa pada analisa ini hanya pada kondisi perairan tertentu.

2. Faktor respon setiap barge berbeda dalam menganalisa setiap instalasi pipeline.

3. Tingkat kegagalan pipa sangat bergantung pada kerenggangan mooring khususnya pada bagian depan barge dan arah pembebanan lingkungan.

Daftar Pustaka

Wells, Tumbridge dan Kent. 2004. Offshore PipelineConstruction Volume I Conceptual Design and Hydromechanics. Trevor Jee Associates. England.

Brewer, W.V dan Dixon, D.A 1969. Influence of Lay Barge Motion On a Deep Water Pipeline Laid and Tension. Offshore Technologi Conference. Texas.

Braskoro, S. 2004. ’’From Shallow to Deep Implications for Offshore Pipeline Design’’. Journal of the Indonesian Oil and Gas Community. Komunitas Migas Indonesia.

Bai, Y. 2001. Pipeline and Riser Volume 3. Elsevier Science, ltd. UK

Guo, B. 2005. Offshore Pipelines. Gulf Professional Publishing. Elsevier Science, ltd. Oxford.

American Petroleum Institute. 1987. API RP 2T . Washington DC.

Chakrabarti, S.K. 1987. Hydrodynamics of Offshore Structure. Computational Mechanics Publication. London.

Bhattacharyya, R. 1972. Dynamics of Marine Vehicles . Naval Academy. U.S

Sutomo, J. 2002. Hand Out Hidrodinamika II. Jurusan Teknik Kelautan – FTK – ITS. Surabaya.

Soegiono. 2004. Teknologi Produksi dan Perawatan Bangunan Laut. Airlangga University Press. Surabaya.

Syarifudin, I. 2007. Analisa Tegangan Pipa Bawah Laut Karena Gerakan Barge Berdasarkan Time Domain Saat Laying.

(11)

Jurusan Teknik Kelautan – FTK – ITS. Surabaya.

Panambang, A. 2007. Analisa Tegangan Pipa Bawah Laut Akibat Gerakan Lay-barge Dengan Berdasar Frequensi Domain. Jurusan Teknik Kelautan – FTK – ITS. Surabaya.

Purnama. A. Analisa Tegangan Pipa Bawah Laut Pada Proses Instalasi Akibat Gerakan Lay-barge Menggunakan Metode S-lay. Jurusan Teknik Kelautan – FTK–ITS. Surabaya.

Gambar

Gambar 1.1.a Metode S-Lay, 1.1.b Metode J-Lay.
Gambar 2.  Konfigurasi mooring (Hydrodynamics                     of Offshore Structure,1987)
Table 3. Data Pipeline PGN
Table 7. Data pada Derick Barge Description Unit Quantity
+5

Referensi

Dokumen terkait

KONTRIBUSI KEPEMIMPINAN PEMBELAJARAN KEPALA SEKOLAH DAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA GURU SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI DI KOTA BANDUNG..

Berdasarkan pembaharuan SMK tersebut, maka peran Kepala SMK dalam usaha-usaha melakukan pembaharuan di sekolahnya untuk meningkatkan mutu pendidikan kejuruan, yaitu:

1) Bagi pensyarah yang kredit mengajar kurang (bersebab) mestilah membuat surat permohonan dan perlu mendapatkan kelulusan Dekan dan pengesahan TNC(AA) bagi

Konsumen memiliki daya tawar yang tinggi karena jika konsumen tersebut merupakan pembeli besar dari produksi perusahaan maka mereka akan menawar dengan harga yang

Metode ML memiliki beberapa kelebihan yaitu model berdasarkan statistic dan evolusi, paling konsisten dari model yang ada, dapat digunakan untuk analisis karakter dan

Hal ini tentu tidak dapat diqiyaskan kepada mudharabah yang menghendaki sang shahibul mal menanggung resiko kerugian dari dana yang dinvestasikannya tersebut. Maka dalam hal

Peserta Pendidikan dan pelatihan pegawai Kejaksaan yang selanjutnya disebut peserta Diklat adalah pegawai Kejaksaaan yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dan ditunjuk

Selanjutnya, melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan dosis probiotik lebih dari 9% atau penelitian lebih lanjut dengan pengolahan limbah yang lain, mikroba