Membaca “Arsyad” sebagai Real Virtuality
Oleh
Sih Natalia Sukmi
Arsyad dalam Imaji
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Kamil
Razak, menyatakan, penyidik masih mendalami motif pelaku penghinaan terhadap Joko
Widodo di media facebook, Muhammad Arsyad alias Arsyad Assegaf. "Diketahui dia
memiliki kelompok yang dengan sengaja melakukan penghinaan dan melakukan pencemaran
nama baik," kata Kamil, di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (29/10).1
Paragraf di atas dikutip dari salah satu pemberitaan yang sempat heboh di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Yusuf Kalla. Belum genap satu bulan menjabat, publik digemparkan dengan berbagai pemberitaan tentang Muhammad Arsyad atau biasa dipanggil Imen. Pemuda yang ramai disebut sebut sebagai penjual sate ini mendadak menjadi buah bibir masyarakat karena ulahnya yang disinyalir mengedit dan menyebarkan gambar seronok antara Joko Widodo dengan Megawati, dan beberapa gambar lain yang oleh Kepolisian masuk dalam ranah pornoaksi. Bukan hanya di dunia nyata, ruang maya pun menjadi riuh karena perilaku pemuda tersebut melahirkan dua kubu; pro dan kontra.
Kubu pro Arsyad mengungkapkan bahwa pejabat seharusnya tidak perlu menanggapi perilaku ini secara berlebihan, karena Arsyad (oleh mereka) didudukkan sebagai wong cilik, yang dalam kasus ini berhadapan dengan pejabat. Tidak hanya itu, mereka berpendapat apa yang dilakukan Arsyad sebenarnya tidak lebih dari sekedar perilaku iseng, yang dilakukannyapun di dunia maya sehingga rasanya tak perlu fisik berbicara. Sementara kelompok orang yang kontra Arsyad berpikir bahwa perilaku tersebut tak bermoral, tidak etis hingga patut mendapat ganjaran hukum yang sepatutnya. Dari perkembangan pemberitaan oleh kepolisian, Arsyad akhirnya dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 29 Juncto Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Pasal 310 dan 311 KUHP, Pasal 156 dan 157 KUHP, dan Pasal 27, 45, 32, 35, 36, 51 UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE.2
1
http://www.indopos.co.id/2014/10/muhammad-arsyad-sengaja-menghina-jokowi-kata-polri.html#sthash.F7NQGMD4.dpuf
2
Budaya Real Virtuality
Arsyad bukan satu-satunya “orang awam” yang mengalami persoalan etis di media baru. Ketidakpahaman masyarakat tentang budaya di new media sering berimplikasi terhadap munculnya pelanggaran-pelanggaran etik hingga hukum. Entah harus dibebankan kepada siapa persoalan ini. Kepada si pengguna teknologi, karena user adalah orang yang sebenarnya memiliki hak penuh untuk menyeleksi teknologi yang dia butuhkan. Ke pembuat teknologi, sebagai kelompok yang melahirkan inovasi-inovasi yang begitu cepat hingga teknologi seolah-olah bukan bagian dari budaya manusia yang digunakan untuk bertahan hidup. Walaupun kini justru manusialah yang seolah terengah-engah untuk terus saja beradaptasi dengan temuan-temuan baru. Atau justru ke pembuat kebijakan yang memberi izin pemilik modal untuk menginvestasikan produk dan jasa teknologinya tanpa melihat bahwa masyarakat benar-benar sudah siap atau belum dengan transformasi era yang bergerak cukup hebat.
Perguncangan tersebut membawa pertanyaan mendasar yang seharusnya dipahami masyarakat sebagai user, pembuat teknologi maupun pemegang kebijakan bahwa teknologi senantiasa memiliki dua sisi yang tak dapat dipisahkan, secara hardware maupun software. Orang kerapkali hanya memandang teknologi sebagai obyek fisik yang harus dikuasai tool-toolnya (hardware) tanpa berpikir bahwa teknologi memuat nilai-nilai (software) yang
mengikutinya. New media meretas realitasnya-realitas virtual. Realitas yang senantiasa dipahami melalui simbol-simbol. Nilai-nilai tersebut mensyaratkan tatanan-tatanan yang wajib dipahami dan dilakukan oleh pengguna teknologi. Tatanan yang melahirkan cara berpikir, cara beroperasi, cara berinteraksi dan cara berperilaku yang mungkin jauh berbeda-sebuah budaya baru.
New media memproduksi yang budaya berbeda dari budaya yang telah ada. Budaya
dunia yang penuh dengan simulasi ini membangun realitasnya. Realitas yang tercipta dari imaji atau bahkan imaji yang lahir dari imaji yang lain. Era yang yang penuh dengan simulacra tanda, penanda, hingga keterwakilan yang lain. Tak menampik bahwa realitas esensial memang ada, namun realitas bukan lagi benda konstan yang tak dapat berubah. Justru sebaliknya, realitas yang ada kini adalah realitas yang penuh dengan pemaknaan yang sangat dinamis. (Baudrillard, 2010:70).
Media massa mungkin dapat digunakan sebagai penggambaran bahwa output teknologi komunikasi merupakan alat seseorang atau kelompok tertentu untuk mengekspresikan keberadaan realitas itu sendiri. Surat kabar sebagai ekspresi tulisan, film sebagai ekspresi simbolik audio visual, hingga perkembangannya kini ketika internet dapat mewadahi seluruh ekspresi simbolik yang dapat dijamah seluruh indera yang ada. Maka Castells kemudian menegaskan bahwa real virtuality adalah konstruksi realitas itu sendiri. Baginya, realitas selalu bersifat virtual dan senantiasa dipahami serta dipertukarkan melalui simbol. Maka istilah masyarakat jejaring pun lahir dan menjadi lahan basah bagi suburnya budaya real virtuality. Ketika manusia terhubung satu dengan yang lain. Ketika ruang dan waktu menjadi mampat. Budaya real virtuality semakin bertumbuh.