• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALASAN-ALASAN ALI AKBAR TENTANG KEBOLEHAN PRAKTEK SEWA RAHIM KEPADA IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALASAN-ALASAN ALI AKBAR TENTANG KEBOLEHAN PRAKTEK SEWA RAHIM KEPADA IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALASAN-ALASAN ALI

AKBAR TENTANG KEBOLEHAN PRAKTEK SEWA RAHIM

KEPADA IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)

SKRIPSI

Oleh

M. Khumaidi Al Anshori NIM. C51211142

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwalus Syakhsiyyah Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan sewa rahim, dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan sewa rahim.

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian atas teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis, menggunakan pola pikir deduktif. Pisau analisis pada penelitian ini adalah hukum Islam, lebih spesifik teori tentang qiya@s dan sadd al-dhari@’ah

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada tiga alasan yang mengemuka dari pandangan Ali Akbar tentang kebolehan penyewaan rahim. Pertama, menyusukan anak kepada wanita lain saja dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pula, menitipkan janin kepada wanita lain dengan sebab rahim si ibu pemilik benih mengalami gangguan; Kedua, penyewaan rahim tidaklah menjadi masalah, sebab ibu yang dititipi janin tersebut, dapat diambil ukuran hukumnya kepada ibu susu; Ketiga, bibit (janin) yang ditanamkan itu berasal dari hubungan perkawinan yang sah. Tugas rahim wanita lain tersebut hanyalah sebagai tempat penitipan.

Alasan yang pertama, dinilai telah benar dan dianggap sebagai sebuah qiya@s yang s}ah}i@h}. Qiya@snya adalah sebagai berikut; Menitipkan janin kepada wanita lain dihukumi boleh, sebagaimana dibolehkannya menyusukan anak kepada wanita lain,

karena ada kesamaan ‘illah antara keduanya, yakni sama-sama memberikan

penghidupan (nutrisi) pada makhluk hidup; Alasan yang kedua, bahwa kedudukan ibu pengganti disamakan dengan kedudukan ibu susuan, yakni sama-sama menjadi mah}ram bagi anak yang dilahirkan/disusuinya. Keduanya disamakan, karena ada kesamaan sifat antara keduanya, yakni sama-sama mempunyai andil dalam membentuk fisik dan psikis seorang anak; Alasan yang ketiga, dinilai tidak sesuai, jika ditinjau dari sisi sadd al-dhari@’ah. Itu terjadi, karena mafsadah yang ditimbulkan oleh penyewaan rahim lebih banyak ketimbang mas}lah}ahnya, sehingga penyewaan rahim ini layak untuk dicegah (sadd). Dalam perspektif hukum Islam, benar, bahwa alasan Ali Akbar membolehkan penyewaan rahim, jika diqiyaskan dengan hukum persusuan. Namun, membolehkan penyewaan rahim dengan alasan bibit yang ditanamkan berasal dari perkawinan yang sah, tidaklah sesuai jika ditinjau dari sisi sadd al-dhari@’ah.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ...ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN ...iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ...vi

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TRANSLITERASI ...xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 16

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AL-QIYA@S, DAN SADD Al-DHARI@’AH ... 21

A. Tinjauan Umum tentang al-Qiya@s ... 21

1. Pengertian dan Kehujjahan al-Qiya@s. ... 21

2. Rukun dan Syarat al-Qiya@s. ... 24

3. Cara-cara Mengetahui Illah Hukum. ... 29

B. Tinjauan Umum tentang sadd al-Dhari@’ah ... 31

(7)

2. Macam-macam al-Dhari@’ah. ... 34

BAB III PENYEWAAN RAHIM, ALI AKBAR, DAN PEMIKIRAN ALI AKBAR TENTANG PENYEWAAN RAHIM ... 36

A. Tinjauan Umum tentang Penyewaan Rahim ... 36

1. Sejarah Penemuan & Pengertian Sewa Rahim ... 36

2. Fenomena Sewa Rahim di Dunia ... 39

3. Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim ... 43

4. Faktor-faktor Seorang Melakukan Sewa Rahim ... 44

5. Prosedur Sewa Rahim. ... 44

6. Pendapat para Ulama tentang Penyewaan Rahim. ... 47

7. Nasab Anak yang Dilahirkan Melalui Penyewaan Rahim. ... 52

B. Ali Akbar ... 54

1. Biografi Ali Akbar ... 54

2. Karya-karya Ali Akbar ... 57

C.Pemikiran Ali Akbar Tentang Penyewaan Rahim ... 58

D.Alasan-Alasan Ali Akbar Membolehkan Penyewaan Rahim. .... 62

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALASAN-ALASAN ALI AKBAR TENTANG KEBOLEHAN SEWA RAHIM... 63

A. Analisis al-Qiya@s terhadap Alasan Ali Akbar tentang Kesamaan Penyewaaan Rahim dengan Persusuan ... 63

B. Analisis sadd al-Dhari@’ah terhadap Alasan Ali Akbar Membolehkan Penyewaan Rahim. ... 74

BAB V PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR TRANSLITERASI

Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

No Arab Indonesia Arab Indonesia

1. ’ t}

2. B z}

3. T ‘

4. Th Gh

5. J F

6. h} Q

7. Kh K

8. D L

9. Dh M

10. R N

11. Z W

12. S H

13. Sh ’

14. s} Y

15. d}

Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers.

(9)

B. Vokal

1. Vokal Tunggal (monoftong)

Tanda dan

Huruf Arab Nama Indonesia

fath}ah A

Kasrah I

d}ammah U

Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh}arakatsukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakatsukun. Contoh: iqtid}a>’ (ءاضتقا)

2. Vokal Rangkap (diftong)

Tanda dan Huruf

Arab Nama Indonesia Ket.

fath}ah dan ya’ ay a dan y

fath}ah dan wawu

au a dan w

Contoh : bayna ( نيب )

: mawd}u>’ ( عوضوم )

3. Vokal Panjang (mad)

Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.

fath}ah dan

alif a>

a dan garis di atas

kasrah dan

ya’ i>

i dan garis di atas

d}ammahdan

wawu u>

(10)

Contoh : al-jama>’ah (ةعامجلا) : takhyi}>r (رييخت) : yadu>ru (رودي)

C. Ta>’ Marbu>t}ah

Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua :

1. Jika hidup (menjadi mud}a>f) transliterasinya adalah t. 2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.

Contoh : shari>‘atal-Isla>m (ماساا ةعيرش) : shari>‘ah isla>mi>yah (ةيماسإةعيرش)

D. Penulisan Huruf Kapital\

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tentu tiap orang dapat memiliki jawaban yang berbeda-beda, jika

mereka ditanya, apa motivasi mereka untuk melaksanakan perkawinan.

Mungkin alasan ekonomi, yakni untuk menjamin kelangsungan hidup secara

materi. Alasan-alasan lain yang dapat ditemukan antara lain demi mendapatkan

keturunan, demi status sosial, demi cinta, dan sebagainya. Namun, alasan yang

paling umum mendasari keputusan seseorang untuk menikah adalah untuk

memiliki teman hidup yang dicintai dan mendapat kepuasan psikologis dari

hubungan tersebut.1

Satu alasan yang terungakap disana, yakni demi mendapatkan keturunan.

Senada dengannya, Wahbat al-Zuh}ayli@ mengungkapkan bahwa salah satu

hikmah disyariatkannya perkawinan adalah menjaga kelangsungan hidup

manusia melalui reproduksi dan berkembang biak, agar terhindar dari

kepunahan.2 Asal dari sebuah individu baru adalah karena adanya sebuah

pasangan (perkawinan). Tuhan berfirman dalam surat Ya@si@n ayat 36 dan surat

al-Nah}l ayat 72,

1 M Nilam W, Psikologi Populer: Menuju Perkawinan Harmonis, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), 100.

(12)

2                      

Artinya: ‚Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Q.S. Ya@si@n: 36)‛3

                        

Artinya: ‚Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik (Q.S. al-Nah}l: 72)‛.4

Pendek kata, semua makhluk hidup di dunia ini, oleh Tuhan diciptakan

berpasang-pasangan (laki dan perempuan). Kemudian darinya, lahirlah buah

atau individu baru. Semua ini adalah rahasia Tuhan, dan hanya Dia yang Maha

tahu.5

Oleh karena setiap pasangan saling condong satu sama lain, maka Tuhan

tidak ingin kecondongan tersebut seperti kecondongan yang terjadi pada hewan,

yakni hanya sekedar menyalurkan syahwat. Melainkan Tuhan ingin

kecondongan tersebut bersifat manusiawi, yakni bukan hanya menyalurkan

syahwat, melainkan juga disertai hubungan saling mencintai, menyayangi dan

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2005), 628. 4 Ibid., 374.

(13)

3

mengasihi satu sama lain. Untuk itu, Tuhan memberikan jalan, melalui

perkawinan (pernikahan) yang disyariatkan oleh Islam.6

Melalui pernikahan yang disyariatkan Islam ini, terciptalah jalan terbaik

untuk mendapatkan dan memperbanyak keturunan, menjaga kelangsungan hidup

manusia disertai perlindungan nasab yang jelas bagi seorang anak. Sebuah hadis

Rasul yang sangat terkenal, yang diriwayatkan oleh Abu@ Da@wud,

Artinya: ‚Nikahilah perempuan yang penyayang, dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para nabi di hari kiamat‛.7

Lebih lanjut, setiap pasangan suami istri kemungkinan besar sangat

mengharapkan mempunyai keturunan sebagai generasi penerus mereka, tetapi

tidak semua pasangan yang berhasil mendapatkan keturunan setelah menikah

beberapa lama. Pasangan ini adalah pasangan infertil sehingga diperlakukan

pengelolaan yang benar dalam menangani masalah ini. Infertilitas sendiri berarti

setelah setahun berumah tangga dengan persetubuhan yang tidak memakai

pelindung, tetapi belum terjadi kehamilan. Statistik menyebutkan, infertilitas

disebabkan oleh kelainan pada suami atau pada istri, atau juga pada keduanya.

Pada wanita, 40-50% akibat penyakit saluran telur dan anovulasi, sedangkan

pada pria sebanyak 30-50% karena kelainan faktor sprema.8

6 Ibid., 12.

7 Sayyid Sa@biq, Fiqh al-Sunnah Juz II, (Kairo: Da@r al-Fath}, 2009), 9.

(14)

4

Saat pasangan memutuskan memulai sebuah keluarga, perlu usaha lebih

keras agar segera memiliki anak. Penelitian menunjukkan hanya 1 dari 5

pasangan yang berhasil di bulan pertama, saat ingin memiliki anak. Hampir 20

persen tidak beruntung dalam tahun pertama.9 Lebih dari itu, jika sudah lewat

dua tahun menunggu, pasangan suami istri belum juga diberi keturunan baru,

maka mereka dinyatakan bermasalah. Penyebabnya bisa dari pihak istri, sama

besarnya dengan penyebab yang berasal dari pihak suami. Untuk melacak

penyebabnya tidak selalu mudah. Serangkaian pemeriksaan perlu ditempuh

untuk menemukan apa penyebabnya. Selain pihak istri perlu menempuh

pemeriksaan darah dan Ultrasonography (USG), pihak suami juga perlu

diperiksa air maninya (semen analiysis).10

Menanggapi masalah infertilitas (kemandulan) tersebut, seiring

berkembangnya ilmu dan teknologi yang semakin pesat, maka muncullah

berbagai macam penemuan yang sangat bermanfaat bagi kepentingan manusia

khususnya di bidang kedokteran. Salah satunya adalah dengan ditemukannya

cara-cara baru dalam hal reproduksi manusia, yakni pembuahan di luar rahim

yang dalam istilah ilmu kedokteran disebut dengan fertilisasi in vitro11, atau

9http://politik.news.viva.co.id/news/read/540074-pasangan-belum-hamil--coba-cek-5-penyebabnya, diakses tanggal 25 Desember 2014.

10 Handrawan Nadesul, Kiat Sehat Pranikah, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 126.

(15)

5

lebih dikenal dengan bayi tabung.12 Penemuan ini pertama kali dilakukan oleh

P.C. Steptoe dan R. G. Edwards atas pasangan suami istri John Brown dan

Leslie. Sprema dan ovum yang digunakan berasal dari suami istri, kemudian

embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istirnya. Lahirlah, pada tanggal 25

Juli 1978, seorang bayi tabung pertama yang bernama Louise Brown di Oldham

Inggris dengan berat 2700 gram.13

Mengenai hukumnya, Islam memperbolehkan upaya inseminasi buatan

atau bayi tabung, dengan syarat apabila perpaduan antara sperma dan ovum itu

berasal dari suami istri yang mempunyai ikatan perkawinan yang sah

(Inseminasi Homolog), yang juga disebut dengan Artificial Insemination

Husband (AIH).14Majlis Ulama Indonesia mengemukakan, bahwa inseminasi

buatan atau bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan

suami istri yang sah secara muh}taram, dibenarkan oleh Islam, selama mereka

dalam ikatan perkawinan yang sah.15

Sudah barang tentu, inseminasi buatan ini merupakan perwujudan dari

upaya pengobatan seorang suami atau istri yang infertil (mandul), atas

rekomendasi seorang dokter. Islam menyuruh umatnya untuk berobat terlebih

dahulu, sebelum dia pasrah akan takdir dari Tuhannya.16

12 Chuzaimah T. Yanggo & Hafiz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 15.

13 Salim , Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 6. 14 Mahjuddin, Masa@’il Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), 13.

(16)

6

Sejalan dengan pembuahan Fertilization In Vitro (FIV) yang semakin

pesat, muncullah ide surrogate mother atau ibu pengganti.17 Hal ini pertama kali

dilakukan pada tahun 1987, di Afrika Selatan. Seorang ibu, Edith Jones,

melahirkan kembar tiga anak-anak hasil pencangkokan embrio putrinya,

Suzanne dan suaminya. Kelahiran lewat inseminasi buatan ini dilakukan karena

Suzanne tak memiliki kandungan sejak lahir. Proses pembuahan dilakukan di

Rumah Sakit BMI Park, Nottingham.18

Mengenai hukumnya, tidak seperti hukum bayi tabung, dimana para

ulama dan cendekiawan muslim sepakat membolehkannya, selama sperma dan

ovum yang diproses itu berasal dari suami istri yang sah. Persoalan surrogate

mother, status hukumnya lebih rumit dari bayi tabung. Mayoritas ulama,

mengharamkannya. Yu@suf Qarad}a@wi@ misalnya, beliau berpendapat bahwa

meskipun sperma dan ovum berasal dari suami istri yang sah, tapi rahimnya

milik wanita lain, maka hal ini tidak diperbolehkan (haram). Cara seperti ini

diharamkan karena akan menimbulkan sebuah pertanyaan membingungkan,

‚siapakah sang ibu dari bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur, ataukah yang

menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?‛.19

17Surrogate Mother (ibu pengganti/ sewa rahim/ gestational agreement), yakni wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya kepada suami istri yang tak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tak bisa mengandung, dengan imbalan sejumlah materi, Koes Irianto, Panduan Lengkap Biologi Reproduksi Manusia, (Bandung: Alfabeta, 2014), 315.

18 Luthfi Asy-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998), 158.

(17)

7

Sejalan dengan pendapat Qarad}a@wi@, Said Aqil Husin Al-Munawar juga

berpendapat bahwa bayi tabung dengan penyewaan rahim ini hukumnya haram.

Alasannya, dalam proses penyewaan rahim terdapat mafsadah yang lebih besar

daripada manfaatnya. Dalam kaitannya dengan kasus ini, bahwa paling utama

yang diakibatkan adalah menjadi tidak jelasnya nasab anak yang dilahirkan.20

Pun begitu juga, Fathurrahman Djamil, Dosen UIN Jakarta. Beliau pun

mengharamkannya, dengan alasan ketidakjelasan nasab anak yang dilahirkan.

Meski dalam kasus tersebut, nasab bapaknya jelas, akan tetapi nasab ibunya

menjadi tidak jelas.21 Sebagai tambahan informasi, bahwa praktek sewa rahim

ini dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia. Oleh karenanya, tidak bisa

dilakukan. Secara tegas pelarangan tersebut tercantum dalam pasal 82 UU

No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.22

Pasal 82 menyebutkan, ‚Barangsiapa dengan sengaja melakukan upaya

kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama

5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus

juta rupiah)‛.23

Adapun yang dimaksud upaya kehamilan di luar cara alami dalam pasal

16 Ayat (2), adalah hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang

20 Said Aqil Husin al-Munawar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), 116. 21 Luthfi Asy-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer..., 154.

22Fajar Bayu Setiawan dkk, ‚Kedudukan Kontrak Sewa Rahim dalam Hukum Positif di Indonesia‛,

Private Law, (01 Maret-Juni 2013), 74.

23

(18)

8

bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Dari sini,

nampak bahwa selain bayi tabung, upaya kehamilan di luar cara alami,

keberadaannya dilarang di Indonesia.

Berbeda dengan mayoritas Ulama dan ketentuan hukum positif di

Indonesia, Ali Akbar berpendapat bahwa menitipkan bayi tabung pada wanita

yang bukan ibunya, diperbolehkan. Alasannya, karena si ibu tidak

menghamilkannya sebab rahimnya mengalami gangguan. Menyusukan anak

kepada wanita lain saja diperbolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan.

Maka bolehlah pula memberikan upah kepada wanita yang meminjam

rahimnya.24Lebih lanjut, menurutnya inseminasi dengan meminjam rahim orang

lain boleh-boleh saja dilakukan. Alasannya, karena bibit yang ditanamkan itu

berasal dari hubungan perkawinan yang sah. Tugas rahim orang lain itu,

hanyalah sebagai tempat penitipan. Adapun nasab anak tersebut, tetap kepada

pemilik bibit itu.25 Pendek kata, ibu penghamil (dalam kasus penyewaan rahim)

kedudukannya sama saja dengan ibu susu.26

Berdasarkan fakta-fakta yang telah diungkapkan diatas, maka penulis

tertarik untuk mengkaji dan menganalisa lebih dalam alasan-alasan dari Ali

Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim. Setidaknya ada tiga hal, yang

membuat penulis tertarik mengkajinya. Pertama, karena kajian tentang

24 Ibid.,73.

(19)

9

inseminasi buatan dengan jalan sewa rahim ini merupakan masalah kontemporer

ijtiha@diyah, tak terdapat hukumnya secara spesifik dalam al-Qur’an maupun al

-Hadith, bahkan dalam kajian fikih klasik sekalipun. Kedua, salah satu alasan Ali

Akbar membolehkan praktek sewa rahim, adalah karena beliau menyamakannya

dengan mengupahkan seorang wanita untuk menyusukan seorang anak. Ketiga,

dari sosok Ali Akbar itu sendiri. Beliau merupakan seseorang yang dijuluki

sebagai ‛dokter yang ulama‛. Bukan tanpa sebab ia menyandang julukan

tersebut, karena selain sebagai dokter, beliau juga aktif di Pemerintahan

Indonesia saat itu. Terbukti, dia pernah menjadi ketua Majelis Pertimbangan

Kesehatan dan Syara’ pada tahun 1966.27 Selain itu, ia juga dikenal sebagai

dokter pertama di Indonesia yang banyak membahas problem seksual dalam

perkawinan dan rumah tangga yang dikaitkan dengan tuntunan ajaran Islam.28

Untuk itu, penulis ingin mengungkap, mengkaji, dan menganilisis lebih

dalam, alasan-alasan dari Ali Akbar tentang praktek sewa rahim, dalam skripsi

yang berjudul, ‚Analisis Hukum Islam terhadap Alasan-alasan Ali Akbar

tentang Kebolehan Praktek Sewa Rahim kepada Ibu Pengganti (Surrogate

Mother)‛

27 .http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/08/10/14/7769-ali-akbar-dokter-yang-ulama, diakses tanggal 6 Desember 2014.

(20)

10

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Pemaparan latar belakang masalah di atas, mampu mengidentifikasi

beberapa masalah. Di antaranya sebagai berikut;

1. Masih menjadi perdebatan, bahwa pasangan suami istri diharuskan

mempunyai keturunan atau tidak.

2. Upaya penggunanaan teknologi baru dalam dunia kedokteran menjadi

salah satu upaya pengobatan dari pasangan infertil (mandul).

3. Hukum Islam memandang praktek pembuahan di luar rahim (bayi tabung).

4. Munculnya ide baru sebagai pengembangan dari bayi tabung, yakni sewa

rahim (surrogate mother)

5. Pandangan para ulama tentang praktek sewa rahim (surrogate mother)

6. Ali Akbar membolehkan praktek sewa rahim, yang oleh mayoritas ulama,

diharamkan.

7. Alasan Ali Akbar membolehkan sewa rahim, karena hal tersebut

disamakan/ diqiya@skan dengan menyewa wanita lain untuk menyusukan

seorang anak.

8. Alasan yang lainnya adalah rahim wanita lain hanyalah sebagai tempat

penitipan embrio yang dihasilkan dari perkawinan yang sah.

Dari pengidentifikasian tersebut, ditemukan sebanyak delapan masalah.

(21)

11

dinilai paling sesuai untuk merepresentasikan judul skripsi penulis. Berikut ini

keduanya;

1. Alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada

ibu pengganti (surrogate mother).

2. Analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan

praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother).

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim

kepada ibu pengganti (surrogate mother)?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar

tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate

mother)?

D. Kajian Pustaka

Untuk menunjang dalam mengkaji analisis hukum Islam terhadap

alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada ibu pengganti,

maka penulis menelaah beberapa buku, skripsi, artikel, serta karya tulis ilmiah

lainnya yang hampir sama pembahasannya dengan topik yang diangkat oleh

(22)

12

1. Skripsi yang ditulis oleh saudara Ary Cahyani (2006), mahasiswa strata

satu IAIN Walisongo Semarang, yang berjudul ‚Analisis Pemikiran Ali

Akbar tentang Perawatan Cinta Kasih dalam Keluarga Ditinjau dari

Bimbingan dan Konseling Islam‛. Dalam kesimpulannya, penelitian

tersebut menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang harus

diperhatikan dalam merawat cintah kasih suami istri. Pertama, perihal

memilih pasangan hidup. Kedua, masalah pemahaman tentang seks.

Ketiga, tentang pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai suami istri.29

2. Skripsi yang ditulis oleh saudara Habib Ulin Niam (2013), mahasiswa

strata satu IAIN Walisongo Semarang, dengan judul ‚Tinjauan Hukum

Islam terhadap Nasab Anak yang Dilahirkan melalui Surrogate Mother‛.

Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa terdapat tiga macam pendapat

para pakar dalam menentukan nasab anak yang dilahirkan melalui

surrogate mother. Pertama, nasabnya kepada wanita pemilik benih. Kedua,

pada wanita yang melahirkan. Ketiga, tidak dapat dinasabkan pada

keduanya. Dari ketiganya, penulis lebih condong pada pendapat yang

menerangkan bahwa nasab anak tersebut kepada wanita yang melahirkan,

karena hakikat seorang ibu adalah mengandung, melahirkan, dan

menyusui.30

29 Ary Cahyani, Analisis Pemikiran Ali Akbar tentang Merawat Cinta Kasih dalam Keluarga..., vi.

30 Habib Ulin Ni’am, ‚Tinjauan Hukum Islam terhadap Nasab Anak yang dilahirkan melalui

(23)

13

3. Skripsi yang ditulis oleh Supmi Yuliardi, dengan judul ‚Kedudukan

Hukum Anak yang Dilahirkan melalui Ibu Pengganti pada Kontrak

Surogasi Ditinjau dari Hukum Perdata dan Hukum Islam‛. Tulisan

tersebut berkesimpulan bahwa secara keperdataan, anak yang dilahirkan

berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui/zina, jika ibu

penggantinya seorang gadis atau janda. Akan tetapi, jika terikat dalam

perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan

adalah anak sah dari pasangan suami istri yang disewa rahimnya.

Sedangkan jika ditinjau dari hukum Islam (fikih), maka status anaknya

adalah tidak sah dan kedudukannya sama dengan anak zina.31

4. Jurnal ilmiah yang ditulis oleh Fajar Bayu Setiawan dkk, dengan judul

‚Kedudukan Kontrak Sewa Rahim dalam Hukum Positif di Indonesia‛.

Tulisan tersebut berkesimpulan bahwa apabila dilihat dari beberapa aturan

hukum positif di Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan kontrak

sewa rahim tersebut, diantaranya adalah ketentuan dalam KUHPerdata,

UU No.36 Tentang Kesehatan dan ketentuan dalam hukum Islam. Dapat

disimpulkan darinya, bahwa adanya praktek kontrak sewa rahim tersebut

dilarang keberadaannya di Indonesia. Ketiga peraturan diatas, hanya

31Supmi Yuliardi, ‚Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan melalui Ibu Pengganti pada Kontrak

(24)

14

memperbolehkan adanya bayi tabung sebagai cara alternatif memperoleh

anak.32

Dari keempat karya tulis ilmiah diatas, tidak ada satupun yang sama

dengan ide atau gagasan yang akan diteliti oleh penulis. Penelitian pertama,

memang benar yang diteliti adalah pemikiran tokoh Ali Akbar, namun objek

yang diteliti, berbeda dengan apa yang akan penulis teliti. Penelitian kedua dan

ketiga, fokusnya terhadap nasab anak yang dilahirkan melalui ibu pengganti,

sedangkan yang akan diteliti penulis adalah bagaimana keabsahan praktek sewa

rahim itu sendiri. Penelitian keempat, hanya menjelaskan secara umum,

bagaimana kedudukan kontrak sewa rahim dalam tiga prespektif hukum.

Sehingga, penulis berkesimpulan, bahwa skripsi yang akan diteliti adalah hal

yang benar-benar baru.

E. Tujuan Penelitian

1. Mampu mendeskripsikan alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan

praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother)

2. Mampu menganalisis alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek

sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother), dengan pendekatan

hukum Islam.

(25)

15

F. Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini, setidaknya ada dua kegunaan yang dapat

diwujudkan. Pertama, kegunaan teoritis, dan kedua, kegunaan praktis. Berikut

penjelasannya;

1. Teoritis : Mendalami dan menambah wawasan keilmuan tentang salah

satu kasus kontemporer di bidang hukum keluarga Islam, yakni kasus

tentang pembuahan di luar rahim dengan metode FIV (bayi tabung), lebih

khusus bayi tabung yang dititipkan pada rahim wanita lain (surrogate

mother)

2. Praktis : Pertama, bahwa untuk menyelesaikan tugas akhir penulis sebagai

seorang mahasiswa strata satu di perguruan tinggi. Kedua, tulisan ini

sebagai upaya sosialisasi kepada masyarakat muslim, bahwa selama ini

ada praktek pembuahan di luar rahim dengan metode FIV, ataupun FIV

yang menggunakan rahim wanita lain. Kedua praktek tersebut, berbeda

masing-masing hukumnya. Yang satu, diperbolehkan dengan syarat

tertentu, satunya lagi masih diperdebatkan oleh para ulama dan tak boleh

(26)

16

G. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami topik yang diteliti oleh

penulis, maka berikut ini, penulis kemukakan istilah-istilah yang termuat dalam

judul penulis, yang perlu didefinisikan secara operasional.

1. Hukum Islam,

Hukum Islam merupakan seperangkat teori yang termuat dalam fikih maupun

us}u@l fiqh, hasil gagasan para ulama. Lebih fokus, dalam penelitian ini, penulis

menggunakan teori qiya@s milik imam syafii dan sadd al-dhari@’ah sebagai

pisau analisa dalam menanggapi pandangan Ali Akbar.

2. Sewa Rahim,

Sewa rahim adalah menyewa rahim wanita lain guna mengandungkan benih

ovum yang telah disenyawakan benih sperma pasangan suami istri, janin itu

dikandungnya sampai melahirkan dengan perjanjian tertulis dan mendapat

imbalan.33

3. Ibu Pengganti (Surrogate Mother),

Adalah seorang wanita yang menyetujui dengan kontrak dan jumlah biaya

untuk mengandung anak dari pasangan yang ingin memiliki anak, dimana

keadaan pasangan tersebut, sedang tak subur atau fisik istrinya tak mampu

membawa janin yang sedang berkembang.34

(27)

17

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka data yang dihimpun

adalah data tentang;

a. Alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada

ibu pengganti

b. Analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang

kebolehan praktek sewa rahim kepada ibu pengganti

2. Sumber data

Data penelitian ini bersifat normatif, sehingga sumber datanya

sekunder, bukan primer. Adapun data sekunder itu sendiri adalah yang

diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari

sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau dari

laporan-laporan peneliti terdahulu.35

Dalam penelitian ini, sumber data sekundernya adalah dokumen

pribadi dan resmi, baik dalam bentuk catatan, buku, kitab fikih,

kitab-kitab tafsir, jurnal ataupun artikel dan karya tulis ilmiah lain yang berguna

untuk menganalisis alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa

rahim.

Bahan primernya termuat dalam buku karangan beliau, yang berjudul:

(28)

18

a. Seksualita ditinjau dari Hukum Islam (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).

b. Merawat Cinta Kasih (Jakarta: Pustaka Antara, 1978).

Adapun bahan sekundernya adalah buku-buku yang digunakan

sebagai pisau analisa atas alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek

sewa rahim. Diantaranya sebagai berikut;

a. Ilmu Us}u@l al-Fiqh, karya Abdul Waha@b Khala@f

b. Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@, karya Wahbat al-Zuh}ayli@

c. Fiqh al-Sunnah, karya Sayyid Sa@biq

d. Al-Fiqh al-Isla@mi@ Wa Adillatuhu, karya Wahbat al-Zuh}ayli@

e. Al-Tafsi@r al-Muni@r, karya Wahbat al-Zuh}ayli@

f. Fatwa-fatwa Kontemporer, karya Yu@suf Qarad}a@wi@

3. Teknik pengumpulan data

Untuk mengumpulkan data berdasarkan sumber data di atas, maka

penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan atau

studi dokumen (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari

bahan pustaka. Lebih praktis, pertama, penulis mengumpulkan data tentang

alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim dari

buku-buku, dan tulisan-tulisan karya beliau. Kedua, penulis mengumpulkan data

dalam bentuk catatan, buku, kitab-kitab fikih, kitab-kitab tafsir, jurnal

ataupun artikel dan karya tulis ilmiah lain, guna menganalisis alasan-alasan

(29)

19

4. Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analitis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yakni dengan

mengungkapkan teori hukum Islam, dalam hal ini berarti teori qiya@s dan sadd

al-dhari@’ah, kemudian menjelaskan pandangan dan alasan-alasan Ali Akbar

tentang kebolehan praktek sewa rahim, serta kemudian penerapan teori

hukum Islam tersebut terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan

praktek sewa rahim.

G. Sistematika Pembahasan

Agar penelitian ini dapat mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan,

maka disusun sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab,

masing-masing memperlihatkan titik berat yang berbeda namun dalam satu

kesatuan.

Bab kesatu berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,

identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan

penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian,

dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi kerangka konseptual. Dalam bab ini, penulis kemukaan

teori tentang qiya@s dan sadd al-dhari@’ah sebagai pisau analisa terhadap

(30)

20

Bab ketiga berisi data penelitian, yakni membahas tinjauan umum

tentang praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother) yang

meliputi sejarah dan pengertian sewa rahim, fenomena sewa rahim di dunia,

bentuk-bentuk penyewaan rahim, faktor-faktor yang menyebabkan seseorang

melakukan praktek sewa rahim, prosedur sewa rahim, pandangan para ulama

tentang praktek sewa rahim, serta nasab anak yang dilahirkan melalui kasus

penyewaan rahim. Lalu penulis kemukakan tentang Ali Akbar dan alasan-alasan

beliau tentang kebolehan praktek sewa rahim. Lebih spesifik, meliputi profil

dari Ali Akbar, lalu pandangannya tentang praktek sewa rahim kepada ibu

pengganti, serta bagaimana alasan-alasan beliau tentang kebolehan praktek sewa

rahim kepada ibu pengganti.

Bab keempat berisi analisis data, yang memuat analisis hukum Islam

(qiya@s dan sadd al-dhari@ah), terhadap data penelitian yang telah dideskripsikan,

yakni data tentang alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa

rahim. Semuanya dilakukan guna menjawab masalah penelitian, lalu

menafsirkan dan mengintegrasikan temuan penelitian itu kedalam kumpulan

pengetahuan yang telah mapan, memodifikasi teori yang ada, atau menyusun

teori baru.

Bab kelima berisi penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran

(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AL-QIYA@S, DAN SADD AL-DHARI@’AH

A. Tinjauan Umum tentang al-Qiya@s 1. Pengertian dan Kehujjahan al-Qiya@s

Qiya@s merupakan salah satu dalil-dalil1 s}hara’ atau hukum Islam,

dan ia merupakan salah satu bentuk dari istinba@t}, yakni suatu usaha

penggalian makna dari nas al-Qur’an dan al-Hadith dengan keseriusan hati

dan kekuatan akal. Itu terjadi, karena qiya@s tak dapat lepas dari sumbernya,

yakni al-Quran dan al-Hadith.2

Secara bahasa, kata qiya@s berasal dari bahasa Arab, yang maknanya

sama dengan kata al-taqdi@r (mengukur). Ya, mengukur dalam arti

mengetahui ukuran dari suatu hal. Seperti mengukur kain (baju) dengan

dzira@’ (penggaris), atau mengukur tanah dengan qus}bah (meteran). Istilah

al-taqdi@r itu sendiri, biasanya dikonotasikan kepada perbuatan mengukur

dua hal, guna mengatahui al-musa@wah (kesesuaian/ kesamaan/

keseimbangan) antara keduanya. Tentu, al-musa@wah (kesesuaian/

1 Dalil adalah sesuatu yang dijadikan pedoman, menurut perundangan yang benar, atas hukum shara’

mengenai perbuatan manusia, baik secara pasti (qat}’i@) maupun dugaan (z}anni@). Lihat Abdul Waha@b

Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh, (Jakarta: Al-Haramain, 2004), 20.

(32)

22

kesamaan/ keseimbangan) lah, yang ingin dicapai dari perbuatan al-taqdi@r

itu sendiri.3

Adapun secara istilah, menurut ulama ahli us}u@l fiqh, qiya@s adalah;4

‚Menghubungkan suatu kejadian yang hukumnya tak terdapat dalam nas}, kepada kejadian yang hukumnya terdapat dalam nas}. Kejadian yang belum ada hukumnya tadi, dihukumi sama dengan kejadian yang telah ada petunjuknya dalam nas}, karena adanya kesamaan antar keduanya dari segi illah (sifat) hukumnya‛.

Untuk lebih mudah dalam memahami definisi qiya@s, penulis

kemukakan sebuah contoh. Dalam menghukumi sebuah ganja

(pemakaian/pengedaran), seorang mujtahid tentu tak akan pernah

menemukan dalil/petunjuknya secara eksplisit dalam Qur’an maupun

al-Hadith, karena hal/kejadian tersebut merupakan hal yang baru. Oleh

karenanya, seorang mujtahid perlu mengerahkan kekuatan akalnya guna

mencari jawaban atas hal tersebut. Melalui qiya@s lah, jawaban tersebut

ditemukan. Pemakaian ganja dihubungkan dengan meminum khamr. Dalam

al-Qur’an (al-Ma@’idah ayat 93), secara eksplisit haram hukumnya meminum

khamr. Sehingga, pemakaian ganja pun dihukumi haram, karena

dihubungkan/disamakan dengan hukum meminum khamr. Keduanya

3 Wahbat al-Zuhaili, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz I, (Damaskus: Da@r al-Fikr, 1986), 601.

(33)

23

disamakan karena ada kesamaan antar keduanya, yakni sama sama

memabukkan atau merusak fikiran.5

Mayoritas ulama menetapkan qiya@s sebagai dalil shara’ dengan

berdasarkan al-Qur’an, al-Hadith, perbuatan sahabat, serta dalil aqli (akal).

Dalam al-Qur’an misalnya, terdapat dalam surat al-Nisa@’ ayat 59. Ayat

tersebut menyatakan bahwa jika terjadi pertentangan dalam suatu perkara,

maka kita diperintahkan untuk mengembalikan kepada Allah dan

Rasul-Nya. Nah, termasuk juga mengembalikan perkara yang tak ada nas}nya,

kepada perkara yang ada nas}nya, yang dikenal dengan qiya@s (analog).6

Al-Hadith pun demikian. Hadith yang sangat terkenal yang

digunakan sebagai dasar kehujjahan qiya@s adalah riwayat tentang

perbincangan Rasulullah tatkala membai’at Mu’a@dh bin Jabal sebagai

walikota Yaman.7 Para sahabat pun seringkali berijtihad dengan

menggunakan qiya@s. Seperti tatkala sahabat mengqiya@s kan khila@fah dengan

ima@mah dalam shalat. Abu Bakar terpilih menjadi kha@lifah, karena beliau

pernah menjadi pengganti ima@mah dalam shalat sewaktu nabi sakit.8

Secara logika pun, qiya@s dapat diterima, karena nas}-nas} al-Qur’an

maupun al-Hadith terbatas. Sedangkan, peristiwa yang terjadi pada manusia

tidaklah terbatas. Oleh karena itu, bagaimana mungkin, nas} yang terbatas

5 Fajruddin Fatwa et al., Us}u@l Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah..., 53.

6 Ibid., 51. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 54.

7 Ibid.

(34)

24

dapat menjawab masalah yang tak terbatas? Untuk itu, maka sangatlah

dibutuhkan qiya@s dalam pemecahannya.9

2. Rukun dan Syarat al-Qiya@s

Rukun adalah suatu bagian yang tak boleh terpisahkan dari suatu

kesatuan, dalam hal ini berarti kesatuan qiya@s. Jika melihat definisi qiya@s, maka

dari definisi tersebut, ditemukan sebanyak empat bagian (unsur) yang harus ada

dalam suatu qiya@s. Keempatnya adalah al-as}l, al-far’, hukm al-as}l, dan al-illah.10

Penjelasannya sebagai berikut;

Pertama, al-ashl (pokok). Ia adalah sesuatu yang hukumnya termuat

dalam nas} maupun ijma@’. Seperti khamr yang hukumnya termuat dalam

al-Qur’an.11 Dapat juga disebut dengan al-maqi@s alayh (yang dijadikan tempat

melakukan qiya@s )/al-mushabbah bih (tempat menyerupakannya)/al-mah}mu@l

alayh (tempat membandingkannya).12

Adapun syarat dari al-as}l itu sendiri adalah ia bukanlah sebuah al-far’,

artinya ketetapan hukum dari al-as}l, bukanlah dari sebuah qiya@s, dengan kata

lain al-as}l telah tetap hukumnya dalam nas}.13

Kedua, al-far’ (cabang). Ia adalah kejadian atau hal yang belum

ditemukan hukumnya dalam nas}, atau ijma@’, contohnya seperti al-nabi@dh

9 Ibid., 53. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 58.

10 Wahbat al-Zuh}ayli@, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz I, 605. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l

al-Fiqh..., 60., Fajruddin Fatwa et al., Us}u@l Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah..., 53.

11 Ibid., 605.

12 Fajruddin Fatwa et al, Us}u@l Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah..., 53.

(35)

25

(anggur).14 Dapat juga disebut dengan al-maqi@s (sesuatu yang akan

disamakan)/al-mah}mu@l (sesuatu yang akan dibandingkan)/al-mushabbah

(sesuatu yang akan diserupakan). Hal inilah yang nantinya akan disamakan

hukumnya dengan al-as}l.15

Adapun syarat daripada al-far’ itu sendiri adalah hukum dari al-far’

(setelah diqiya@skan), tidak boleh bertentangan dengan nas} atau ijma@’. Jika tidak

demikian, maka qiya@snya menjadi fa@sid (batal). Contohnya, mensyaratkan

keimanan, dalam hal memerdekakan budak pada kasus kafa@rah sumpah,

diqiya@skan dengan kasus kafa@rah pembunuhan. Qiya@s tersebut batal, karena

bertentangan dengan al-Qur’an, surat al-Ma@’idah ayat 89.16

Ketiga, hukm al-as}l. Ia adalah hukum yang termuat dalam al-as}l, yang

akan diterapkan (dikembangkan) pada al-far’. Contohnya seperti haram

meminum khamr.17 Adapun syarat hukm al-as}l itu sendiri adalah sebagai

berikut;18

a. Hukm al-as}l tidak berupa hukum yang dikhususkan, dalam arti harus

bersifat muta’addiyah (dapat dikembangkan). Jika tidak demikian, maka

hukumnya tak dapat dikembangkan. Seperti kekhususan tentang

14 Ibid., 606.

15 Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 60. Lihat juga Fajruddin Fatwa et al, Us}u@l Fiqh dan

Kaidah Fiqhiyah..., 53.

16 Wahbat al-Zuh}ayli@, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz I..., 645.

17 Ibid., 606.

(36)

26

perkawinan lebih dari empat istri yang dilakukan oleh nabi Muhammad

SAW.

b. Hukm al-as}l tergolong hukum yang illahnya dapat dipahami oleh akal. Hal

ini, karena prinsip qiya@s adalah menetapkan illat hukm al-as}l, dan

menerapkannya pada al-far’. Sementara itu, hukum yang bersifat

ta’abbudi@ tidak dapat dilakukan qiya@s. Seperti pembatasan bilangan rakaat

pada shalat lima waktu, bagian-bagian ash}a@b al-furu@d}, ukuran h}ad dan

kafa@rah, dan sebagainya.19

c. Hukm al-as}l harus berdasarkan al-Qur’an atau al-Hadith, termasuk ijma@’

(menurut pendapat yang kuat). Juga bukan berupa qiya@s. Sementara,

menurut Muhktar Yahya, mayoritas ulama tidak membenarkan hukm

al-as}l berasal dari ijma@’ dan qiya@s.

Keempat, al-illah. Ia adalah suatu sifat yang terdapat dalam al-as}l, yang

menjadi pijakan dalam menetapkan hukum pada al-as}l, kemudian sifat inilah

yang akan diterapkan pada al-far’. Seperti sifat memabukkan pada khamr, yang

membuat ia diharamkan. Dari sini diketahui bahwa segala sesuatu yang

memabukkan berarti disamakan dengan khamr, sehingga ia haram.20 Oleh para

ulama, al-illah didefinisikan sebagai sifat yang jelas (konkrit), terukur, dan

mengandung sifat yang sesuai dengan diundangkannya suatu hukum.21

19 Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 62.

20 Ibid., 63.

(37)

27

Menurut kebiasaan, ketika mengucapkan al-illah, maka yang dimaksud

adalah al-h}ikmah, sekalipun keduanya memiliki definisi tersendiri. Al-h}ikmah

adalah sesuatu yang memotivasi pembentukan hukum, berupa perkara yang

samar-samar, dan hanya bisa diterapkan pada orang dan keadaan tertentu.

Misalnya, diperbolehkannya tidak berpuasa di bulan Ramadan, hikmahnya

adalah menolak kesulitan. Nah, kesulitan inilah yang tak bisa diterapkan pada

setiap orang dan keadaan. Tatkala bepergian, para Kepala Negara tak merasakan

kesulitan, sebagaimana kesulitan yang dialami rakyatnya ketika bepergian.

Kesulitan di waktu musim panas, berbeda dengan kesulitan di waktu dingin.

Dengan kata lain, al-h}ikmah adalah tujuan akhir daripada diundangkannya

sebuah hukum, yakni kemaslahatan yang ingin dicapai oleh Sha@ri’, ataupun

kemafsadatan (kerusakan) yang ingin ditinggalkan oleh-Nya.22

Adapun bedanya dengan al-illah, bahwa al-illah adalah suatu hal yang

nyata, mund}abit} (terukur), yang dijadikan dasar hukum, serta menjadi

pertimbangan akan ada dan tidaknya sebuah hukum. Misalnya, illah dari

diperbolehkannya berbuka dan mengqas}ar shalat adalah bepergian. Bepergian

merupakan suatu yang terukur dan pasti, yang mempengaruhi ada dan tidaknya

hukum (berbuka dan qas}ar). Inilah yang dimaksud dengan rabt} al-hukm

(hubungan hukum), karena al-illah menghubungkan antara hukum dengan

h}ikmah hukum. Dalam illah bepergian, terkandung sebuah kesulitan/kepayahan.

(38)

28

Sehingga, diperbolehkannya berbuka dan mengqas}ar shalat adalah untuk

meringankan umat Islam ketika bepergian, demi tercapainya sebuah h}ikmah,

yakni hilangnya kesulitan atau kepayahan.23

Al-illah sebagai rukun daripada qiya@s, juga harus memenuhi beberapa

syarat, diantaranya sebagai berikut;24

1. Al-illah harus berupa sifat yang jelas (konkrit), yang dapat ditemukan oleh

salah satu panca indra. Al-illah merupakan tanda atas adanya hukum pada

al-as}l. Sehingga al-illah harus jelas, agar dapat dipindahkan hukum al-as}l

pada al-far’.

2. Al-illah harus berupa sifat yang sudah pasti, mund}abit} (terukur). Misalnya,

illah safar (bepergian) pada qas}r shalat, bukanlah mashaqqah (kepayahan),

karena ia tak dapat diukur. Setiap orang berbeda tingkat kepayahannya

dalam bepergian.

3. Al-illah harus berupa sifat yang sesuai dengan diundangkannya sebuah

hukum, yakni menegakkan kemaslahatan. Misalnya. Illah diharamkannya

meminum khamr, karena memabukkan, dan di dalam memabukkan

tersebut, terkandung maksud memelihara akal.

4. Al-illah harus bersifat muta’addi@, artinya dapat dikembangkan untuk

al-far’. Bukan sifat yang pasif atau khusus. Seperti kebolehan Rasulullah

23 Ibid., 651. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 65.

(39)

29

menikahi istri lebih dari empat orang, tidak boleh dijadikan qiya@s dengan

illah berupa sifat ima@mah.

3. Cara-cara Mengetahui Illah Hukum

Para ulama ahli us}u@l fiqh telah menentukan cara-cara mengetahui illah

dalam hukum Islam, diantaranya sebagai berikut;25

a. Dengan nas} itu sendiri. Artinya, nas} al-Qur’an maupun al-Hadith langsung

menyebutkan illah tersebut dalam teksnya. Illah yang ini, juga disebut

dengan illah mans}u@s}ah.

Illah mans}u@s}ah tersebut ada yang s}ari@kh (jelas), ada juga yang isha@rah

(isyarat). Teks yang s}ari@kh adalah teks yang secara susunan bahasa

menunjukkan petunjuk yang sangat jelas tentang keillahan sebuah hukum,

seperti ‚li ‘ajli kadha@ (karena begini), atau li sababi kadha@ (sebab begini).

Teks yang s}a@rikh pun dibagi dua, ada yang qat}’i@ (pasti), ada juga yang

z}anni@ (dugaan);26

1) Teks s}ari@kh yang qat}’i@ adalah teks yang secara susunan bahasa

menunjukkan makna keillahan secara jelas dan pasti, seperti:

25 Ibid., 57-58.

(40)

30

2) Teks s}ari@kh yang z}anni@ adalah teks yang menunjukkan makna

keillahan, tapi masih memungkinkan makna lain (dugaan). Seperti

lafadz yang didahului huruf ‚la@m, ba@’, dan fa@’‛

Adapun teks illah yang berbentuk isha@rah adalah teks yang mengandung

makna atau pemahaman keillahan, sekalipun dalam teks tersebut tidak

disebutkan lafadz yang menunjukkan keillahan. Seperti riwayat Rasulullah

tatkala beliau ditanya oleh orang Badwi, ‚Ya Rasul, aku telah bersetubuh

dengan istriku, pada siang hari di bulan Ramadahan secara sengaja?‛.

Rasul pun menjawab,‛bayarlah kafa@rah (denda)!‛.27

b. Dengan ijma@’. Apabila suatu masa, para mujtahid sepakat atas illah dari

salah satu hukum shara’, maka berarti illah hukum tersebut telah

ditetapkan dengan ijma@’. Misalnya seperti illah pada penguasaan harta

anak perempuan yang belum dewasa adalah karena anak tersebut masih

kecil. Sehingga, illah hukum pada masalah ini adalah didasarkan pada

ijma@’ pada masa itu.

c. Dengan sabr wa taqsi@m (meneliti dan memisahkan). Jalan ini ditempuh

tatkala seorang mujtahid tak menemukan illahnya secara langsung dalam

nas} maupun ijma@’. Misalnya, dalam mengetahui illah wajibnya zakat

gandum. Mujtahid harus melakukan inventarisasi sifat daripada gandum

itu sendiri, seperti makanan pokok, dapat ditakar dan ditimbang, dan

(41)

31

bernilai ekonomis. Dari inventarisasi sifat-sifat tersebut, diambil satu saja

yang paling sesuai, nilai ekonomis misalnya. Secara otomatis, setiap

tanaman yang bernilai ekonomis, maka wajib dizakati, seperti kelapa

sawit, jeruk, durian, dan sebagainya.

B. Tinjauan Umum tentang Sadd al-Dhari@’ah

1. Pengertian dan Kehujjahan Sadd al-Dhari@’ah

Secara etimologi, kata dhari@’ah berarti ‚jalan atau perantara yang

menuju kepada sesuatu‛. Sedangkan menurut istilah ulama us}u@l al-fiqh, dhari@’ah

adalah ‚segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu

yang dilarang oleh shara’‛.28 Oleh karenanya, ‚jalan yang dapat mengantarkan

kepada sesuatu yang dilarang oleh shara’‛ tersebut, ditutup atau dicegah atau

dihindari (sadd).29

Dalam perkembangannya, istilah dhari@’ah ini terkadang dikemukakan

dalam arti yang lebih umum. Sehingga dhari@’ah dapat didefinisikan sebagai

‚segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu, baik

berakibat mafsadah maupun mas}lah}ah. Oleh karenanya, apabila mengandung

akibat mafsadah, maka ada ketentuan sadd al-dhari@’ah (jalan tersebut ditutup).

28 Wahbat al-Zuh}ayli, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz II, 873.

29Ali Imron HS, ‚Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan Metode Sadd al-Dhari@’ah‛, Ilmu

(42)

32

Sedangkan apabila berakibat mas}lah}ah, maka ada ketentuan fath} al-dhari@’ah

(jalan tersebut dibuka).30

Senada dengan hal tersebut, Abu Zahrah menegaskan bahwa ketentuan

hukum yang dikenakan pada dhari@’ah, selalu mengikuti ketentuan hukum yang

terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Lebih jelas lagi, bahwa

perbuatan yang membawa ke arah muba@h} adalah muba@h}. Perbuatan yang

membawa ke arah haram, berarti haram. Pun begitu pula, perbuatan yang

menjadi perantara atas terlaksananya perbuatan wajib, maka perbuatan tersebut

adalah wajib. Misalnya, zina adalah perbuatan haram. Maka, melihat aurat

wanita yang menyebabkan seorang melakukan zina, juga diharamkan. Atau,

shalat jumat adalah wajib. Maka, meninggalkan jual beli, guna menunaikan

shalat jumat, juga wajib.31

Sehingga, sadd al-dhari@’ah adalah menutup jalan yang akan

mengantarkan pada perbuatan yang diharamkan, karena jalan yang menjadi

perantara tersebut, mengandung akibat yang berupa mafsadah.

Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan sadd al-dhari@’ah,

sebagai salah satu alat atau dalil dalam menetapkan hukum (istinba@t} al-ah}ka@m).

Ulama mazhab Malikiyah dan ulama mazhab Hanabilah setuju, bahwa sadd

al-dhari@’ah dapat dijadikan sebagai alat atau dalil dalam menetapkan hukum.

Sedangkan ulama mazhab Shafi’iyah dan mazhab Hanafiyah dapat menerima

30 Ibid.,

(43)

33

sadd al-dhari@’ah dalam kasus tertentu, dan menolaknya dalam

kasus-kasus lain. Itu terjadi, karena bagi mereka (Shafi’iyah dan Hanafiyah), sadd

al-dhari@’ah dapat diterima, hanya apabila kemafsadatan yang akan muncul itu

dapat dipastikan akan terjadi atau sekurang-kurangnya praduga kuat (ghalabat

al-z}an) akan terjadi.32

Kehujjahan sadd dhari@’ah ditetapkan berdasarkan Qur’an dan

al-Hadith. Dalam surat al-An’a@m ayat 108 dijelaskan bahwa Allah SWT melarang

mencaci maki berhala, padahal hal tersebut merupakan sikap penolakan

terhadap sesuatu yang batil. Itu terjadi, karena dengan cacian tersebut, maka

kaum mushrikin, malah semakin mencaci Rasulullah. Allah SWT berfirman;33





























Artinya : ‚Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan‛.34

Sadd al-dhari@’ah juga ditetapkan berdasarkan al-Hadith. Seperti halnya

al-Hadith yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang artinya sebagai berikut;

‚Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua

orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya, ‚Wahai Rasulullah bagiamana mungkin

seseorang melaknat kedua orang tuanya?‛ Rasulullah menjawab, ‚Seseorang

mencaci ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan

32Ali Imron HS, ‚Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan Metode Sadd al-Dhari@’ah‛, 70.

33 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 440.

(44)

34

seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki

orang itu‛. (HR. Abu Daud).35

Selain al-Hadith diatas, masih banyak hadith-hadith nabi yang

menerangkan tentang sadd al-dhari@’ah. Diantaranya sebagai berikut;36

a. Nabi Muhammad SAW melarang orang yang memberi pinjaman uang pada

orang lain, untuk menerima hadiah dari si penghutang agar hal tersebut

tidak mengarah kepada perbuatan riba. Penerimaan hadiah dianggap sebagai

ganti dari bunga.

b. Nabi Muhammad SAW melarang perbuatan menimbun harta, sebab

penimbunan harta merupakan dhari@’ah (perantara) yang menyebabkan

terjadinya kesulitan atau krisis perekonomian.

2. Macam-macam Dhari@’ah

Ima@m al-Shat}ibi@ mengemukakan bahwa dari segi kualitas

kemafsadatannya, dhari@’ah dibagi menjadi empat macam, yaitu:37

a. Perbuatan yang secara pasti (qat}’i@), mendatangkan mafsadah/kerusakan.

Misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumahnya sendiri,

padahal dia tahu, bahwa nantinya di depan rumah tersebut akan ada tamu

yang datang untuk berkunjung ke rumahnya.

35 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 441.

36 Alhafiz Sulaiman, Sunan Abi Daud II, (Semarang: Toha Putra, tt), 629.

37 Ima@m al-Sha@t}ibi@, dalam Ali Imron HS, ‚Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan Metode

(45)

35

b. Perbuatan yang dilakukan itu besar kemungkinan membawa mafsadah.

Perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai prasangka yang kuat, namun

belum sampai pada keyakinan yang pasti. Misalnya, seseorang menjual

anggur kepada produsen minuman keras.

c. Perbuatan yang dilakukan itu, jarang atau kecil kemungkinan untuk

membawa mafsadah. Dengan kata lain, bahayanya lebih kecil daripada

manfaatnya. Misalnya, menjual makanan yang pada umumnya tidak

membahayakan, atau menanam anggur.

d. Perbuatan yang dilakukan itu mengandung kemaslahatan, tetapi juga

memungkinkan perbuatan tersebut membawa mafsadah. Misalnya, seorang

menjual pisau, sabit, gunting, jarum, dan sejenisnya di pasar tradisional

(46)

BAB III

PENYEWAAN RAHIM,

ALI AKBAR, & PEMIKIRAN ALI AKBAR TENTANG PENYEWAAN RAHIM

A. Tinjauan Umum Tentang Penyewaan Rahim

1. Sejarah Penemuan dan Pengertian Sewa Rahim

Sewa rahim (gestational agreement) merupakan salah satu dari

delapan jenis teknologi bayi tabung (fertilization in vitro) yang telah

dikembangkan oleh para ahli kedokteran. Oleh karena sewa rahim

merupakan salah satu dari jenis bayi tabung, maka tak dapat dipungkiri,

bahwa sejarah kemunculannya adalah berawal dari lahirnya teknologi bayi

tabung itu sendiri.1

Dalam sejarahnya, teknologi bayi tabung pertama kali berhasil

dilakukan oleh Dr. P. C. Steptoe dan Dr. R. G. Edwards atas pasangan

suami istri John Brown dan Leslie. Sperma dan ovum yang digunakan

berasal dari suami istri , kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam

rahim istrinya, sehingga pada 25 Juli 1978, lahirlah bayi tabung pertama di

dunia yang bernama Louise Brown di Oldham Inggris dengan berat badan

2.700 g.2

Sejalan dengan pembuahan di luar rahim (fertilization in vitro) yang

semakin pesat, maka muncullah ide surrogate mother atau ibu pengganti.

1 Salim HS.,Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 8.

(47)

37

Hal ini pertama kali dilakukan pada tahun 1987, di Afrika Selatan. Seorang

ibu, Edith Jones, melahirkan kembar tiga anak-anak hasil pencangkokan

embrio putrinya, Suzanne dan suaminya. Kelahiran lewat inseminasi buatan

semacam ini dilakukan karena Suzanne tak memiliki kandungan sejak ia

lahir. Proses pembuahannya dilakukan di rumah sakit BMI Park,

Nottingham. Inilah pertama kalinya di dunia, sejarah tentang seorang putri

(Suzanne), yang menyewa rahim ibunya (Edith Jones), guna mengandung

embrio dari dirinya dan suaminya.3

Sebagai tambahan informasi, bahwa sebelum teknologi sewa rahim

ini dilakukan pada manusia, semula telah dicoba dilakukan pada binatang,

dan hasilnya mengagumkan. Di Inggris, embrio kambing diambil dan

dititipkan ke dalam rahim kelinci, kemudian diterbangkan ke Afrika

Selatan. Pada saat yang lain, embrio seekor binatang dititipkan ke dalam

rahim kambing, hingga kambing tersebut melahirkan janin, sesuai jenis

binatang yang punya embrio tadi.4

Adapun pengertian dari sewa rahim itu sendiri adalah penitipan

sperma dan ovum dari sepasang suami istri ke dalam rahim wanita lain.

Penyewaan rahim tersebut biasanya melalui perjanjian atau

persyaratan-persyaratan tertentu dari kedua bela pihak, baik perjanjian tersebut

3 Luthfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, 158.

(48)

38

berdasarkan sukarela (gratis), ataupun berdasarkan sebuah kontrak (bisnis).5

Bahkan, menurut Salim, cakupan sewa rahim bukan hanya terbatas pada

penitipan sperma dan ovum sepasang suami istri saja, melainkan juga bisa

dari donor sperma lelaki lain, atau donor ovum wanita lain, atau juga

keduanya (sperma & ovum), berasal dari donor, lalu kemudian dititipkan ke

dalam rahim wanita lain6

Istilah penyewaan rahim (sewa rahim), juga identik dengan istilah

ibu pengganti (surrogate mother). Menurut Koes Irianto, ibu pengganti

adalah wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian

untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan

imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa

mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.7

Menurut wikipedia, ibu pengganti (surrogate mother) adalah seorang wanita

yang menyetujui dengan kontrak dan jumlah biaya untuk menanggung anak

dari pasangan yang ingin memiliki anak, karena istri tidak subur atau

fisiknya tak mampu membawa janin yang sedang berkembang.8

Menurut kesimpulan penulis, setidaknya harus ada tiga unsur, untuk

bisa mendefinisikan penyewaan rahim;

a. Pasangan suami istri yang menitipkan embrio (janin)

5 Said Aqil Husin al-Munawar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), 105.

6 Salim HS., Bayi Tabung..., 8.

7 Koes Irianto, Panduan Lengkap Biologi..., 315.

(49)

39

b. Perjanjian atau kontrak untuk mengandung dan melahirkan

c. Wanita yang bersedia disewa rahimnya untuk penitipan janin tersebut.

Pendek kata, istilah sewa rahim dengan istilah ibu pengganti adalah

hal yang konotasinya sama. Ibu pengganti adalah subjeknya, sedangkan

sewa rahim adalah predikat/perbuatannya.

2. Fenomena Sewa Rahim di Dunia

Masalah penyewaan rahim dewasa ini sudah membudaya di

negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat. Malahan, pernah terjadi peristiwa

besar, dimana ibu pemilik rahim atau ibu yang mengandung kahamilan

tidak bersedia menyerahkan bayi yang dilahirkannya kepada ibu genetisnya.

Demikian pula di Afrika, pernah terjadi seorang nenek menjadi penghamil

cucunya, karena rahim anaknya tak bisa mengandung.9

Di luar negeri, seperti di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan

Afrika Selatan, kini sudah mengembangkan jenis bayi tabung yang

menggunakan sperma dari donor dan ovumnya dari istri, kemudian

embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri, juga mengembangkan

jenis bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami

istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate

(50)

40

mother. Sebagai buktinya, bahwa menjelang awal tahun 1989 saja, telah

lahir 100 anak yang merupakan produk dari surrogate mother.10

Ibu-ibu di India marak menyewakan rahimnya untuk ribuan pasangan

tidak subur. Situs webmd.com melaporkan, pasangan tidak subur ini banyak

dari luar negeri. Mereka mencari perempuan tidak mampu yang mau dibayar

untuk mengandung anak mereka selama sembilan bulan.\11

Kota Anand di Negara Bagian Gujarat, India, telah berubah menjadi

tempat peternakan bayi, dimana para perempuan wilayah itu meminjamkan

rahim mereka untuk membesarkan perkawinan sperma dan sel telur dari

pasangan asing. Sewa rahim ini bahkan didukung oleh sebuah klinik resmi,

klinik Akanksha. Klinik ini sudah satu dekade membantu para perempuan

bunting. Sekitar 700 bayi telah dilahirkan namun bukan anak mereka.

Wanita-wanita ini perutnya hanya dipinjam sementara oleh banyak orang

barat lantaran praktik sewa rahim di negara mereka terlalu mahal dan

illegal.12

Setiap perempuan, dilansir mendapatkan uang kompensasi sebesar

Rp 90,1 juta per kehamilan. Jumlah uang itu diakui mereka sangat

membantu kehidupan warga desa miskin rata-rata hanya berpenghasilan Rp

10 Salim HS., Bayi Tabung..., 10.

11Ardini Maharani, ‚Sewa Rahim Marak di India‛, dalam

http://www.merdeka.com/dunia/sewa-rahim-marak-di-india.html, diakses tanggal 7 juli 2015.

12Ardini Maharani, ‚Kisah Para Hawa Sewakan Rahim di India‛, dalam

(51)

41

14 ribu sehari. Sementara biaya melahirkan sekitar Rp 326,2 juta sudah

dibayarkan oleh orang tua biologis si bayi.13

Menurut pengakuan salah seorang ibu pengganti, Amritapa Basu,

‚saya merasa bayi yang sedang tumbuh dalam rahim saya untuk sembilan

bulan, namun saya tahu dalam hati saya bahwa pada akhirnya, saya harus

berpisah dengannya. Ini merobek hatiku setiap kali, tetapi menjadi miskin

bisa membuat anda melakukan apa pun‛.14 Atas dasar pengakuan tersebut,

memang benar, sewa rahim ini sangat membantu warga miskin. Meski

dalam hati mereka, mereka tak mau melakukannya. Sungguh miris!

Australia juga pernah mengalami kasus sewa rahim yang cukup

rumit. Kasus bayi Gammy yang lahir dari praktik sewa rahim telah membuat

perdebatan di banyak negara, termasuk Australia. Bayi Gammy yang lahir

dengan kondisi Down Syndrome, sehingga orang tua penyewa yang berasal

dari Australia itu, tak mau mengakui anak tersebut. Mereka hanya

membawa pasangan kembar Gammy yang lahir sehat. Akibat kejadian ini,

banyak kalangan mengecam aksi pasangan asal Australia itu. Selain itu,

kasus Gammy ini juga memicu polemik terkait sewa rahim internasional.15

13 Ibid.,

14Ditha Fauziah, ‚Sewa Rahim dilihat Dari Etika Profesi Kebidanan‛, dalam

http://bidanbrownybear.blogspot.com/2012/02/sewa-rahim-dilihat-dari-etika-profesi.html, diakses pada 7 Juli 2015.

(52)

42

Adapun untuk di Indonesia, meskipun terdapat asas kebebasan

berkontrak, namun pada akhirnya kontrak sewa rahim belum dapat

diterapkan di Indonesia karena asas kebebasan berkontrak tidak bersifat

absolute, dimana terdapat pembatasan-pembatasan yang secara khusus

tercantum baik dalam pasal 1320 maupun 1337 KUHPerdata. Sehingga,

akibat hukum perjanjian tersebut adalah batal demi hukum atas rahim yang

diperjanjikan. Dikatakan secara eksplisit pada Pasal 82 ayat (2)

Undang-Undang N

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) bahwa sikap menentukan tindakan seseorang terhadap objek sikap, dalam hal

Menulis surat resmi dengan memper(atikan pili(an kata sesuai dengan Menulis surat resmi dengan memper(atikan pili(an kata sesuai dengan orang yang ditu#u Siswa mampu menemukan

Sumber pemanis alami (inulin) tersebut dapat berasal dari umbi dahlia (Dahlia variabilis Willd) dengan bantuan khamir (yeast) inulinolitik.. Inulin

nosokomial yang terus menjadi ancaman bagi petugas kesehatan dan klien. Penerapan kewaspadaan umum merupakan bagian pengendalian infeksi yang tidak terlepas dari peran

Dalam sebuah penelitian tahun 2015 menunjukkan bahwa jumlah interaksi obat dengan jumlah obat terdapat korelasi positif yaitu interaksi meningkat dengan meningkatnya jumlah obat

Koleksi Perpustakaan Universitas

mengurangi sampah seminimal mungkin, memakai kembali, hingga mendaur ulang sampah untuk menjadi barang bernilai. Budidaya peduli lingkungan di SMK N 2 Semarang tidak

yang dihadapi oleh kepala sekolah dalam pelaksanaan supervisi akademik untuk meningkatkan kompetensi profesional guru. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif