ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALASAN-ALASAN ALI
AKBAR TENTANG KEBOLEHAN PRAKTEK SEWA RAHIM
KEPADA IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)
SKRIPSI
Oleh
M. Khumaidi Al Anshori NIM. C51211142
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Ahwalus Syakhsiyyah Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan sewa rahim, dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan sewa rahim.
Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian atas teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis, menggunakan pola pikir deduktif. Pisau analisis pada penelitian ini adalah hukum Islam, lebih spesifik teori tentang qiya@s dan sadd al-dhari@’ah
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada tiga alasan yang mengemuka dari pandangan Ali Akbar tentang kebolehan penyewaan rahim. Pertama, menyusukan anak kepada wanita lain saja dibolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan. Maka boleh pula, menitipkan janin kepada wanita lain dengan sebab rahim si ibu pemilik benih mengalami gangguan; Kedua, penyewaan rahim tidaklah menjadi masalah, sebab ibu yang dititipi janin tersebut, dapat diambil ukuran hukumnya kepada ibu susu; Ketiga, bibit (janin) yang ditanamkan itu berasal dari hubungan perkawinan yang sah. Tugas rahim wanita lain tersebut hanyalah sebagai tempat penitipan.
Alasan yang pertama, dinilai telah benar dan dianggap sebagai sebuah qiya@s yang s}ah}i@h}. Qiya@snya adalah sebagai berikut; Menitipkan janin kepada wanita lain dihukumi boleh, sebagaimana dibolehkannya menyusukan anak kepada wanita lain,
karena ada kesamaan ‘illah antara keduanya, yakni sama-sama memberikan
penghidupan (nutrisi) pada makhluk hidup; Alasan yang kedua, bahwa kedudukan ibu pengganti disamakan dengan kedudukan ibu susuan, yakni sama-sama menjadi mah}ram bagi anak yang dilahirkan/disusuinya. Keduanya disamakan, karena ada kesamaan sifat antara keduanya, yakni sama-sama mempunyai andil dalam membentuk fisik dan psikis seorang anak; Alasan yang ketiga, dinilai tidak sesuai, jika ditinjau dari sisi sadd al-dhari@’ah. Itu terjadi, karena mafsadah yang ditimbulkan oleh penyewaan rahim lebih banyak ketimbang mas}lah}ahnya, sehingga penyewaan rahim ini layak untuk dicegah (sadd). Dalam perspektif hukum Islam, benar, bahwa alasan Ali Akbar membolehkan penyewaan rahim, jika diqiyaskan dengan hukum persusuan. Namun, membolehkan penyewaan rahim dengan alasan bibit yang ditanamkan berasal dari perkawinan yang sah, tidaklah sesuai jika ditinjau dari sisi sadd al-dhari@’ah.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
PENGESAHAN ...iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ...vi
KATA PENGANTAR ...vii
DAFTAR ISI ...ix
DAFTAR TRANSLITERASI ...xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 11
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15
G. Definisi Operasional ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AL-QIYA@S, DAN SADD Al-DHARI@’AH ... 21
A. Tinjauan Umum tentang al-Qiya@s ... 21
1. Pengertian dan Kehujjahan al-Qiya@s. ... 21
2. Rukun dan Syarat al-Qiya@s. ... 24
3. Cara-cara Mengetahui Illah Hukum. ... 29
B. Tinjauan Umum tentang sadd al-Dhari@’ah ... 31
2. Macam-macam al-Dhari@’ah. ... 34
BAB III PENYEWAAN RAHIM, ALI AKBAR, DAN PEMIKIRAN ALI AKBAR TENTANG PENYEWAAN RAHIM ... 36
A. Tinjauan Umum tentang Penyewaan Rahim ... 36
1. Sejarah Penemuan & Pengertian Sewa Rahim ... 36
2. Fenomena Sewa Rahim di Dunia ... 39
3. Bentuk-bentuk Penyewaan Rahim ... 43
4. Faktor-faktor Seorang Melakukan Sewa Rahim ... 44
5. Prosedur Sewa Rahim. ... 44
6. Pendapat para Ulama tentang Penyewaan Rahim. ... 47
7. Nasab Anak yang Dilahirkan Melalui Penyewaan Rahim. ... 52
B. Ali Akbar ... 54
1. Biografi Ali Akbar ... 54
2. Karya-karya Ali Akbar ... 57
C.Pemikiran Ali Akbar Tentang Penyewaan Rahim ... 58
D.Alasan-Alasan Ali Akbar Membolehkan Penyewaan Rahim. .... 62
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP ALASAN-ALASAN ALI AKBAR TENTANG KEBOLEHAN SEWA RAHIM... 63
A. Analisis al-Qiya@s terhadap Alasan Ali Akbar tentang Kesamaan Penyewaaan Rahim dengan Persusuan ... 63
B. Analisis sadd al-Dhari@’ah terhadap Alasan Ali Akbar Membolehkan Penyewaan Rahim. ... 74
BAB V PENUTUP ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TRANSLITERASI
Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin. Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
No Arab Indonesia Arab Indonesia
1. ’ t}
2. B z}
3. T ‘
4. Th Gh
5. J F
6. h} Q
7. Kh K
8. D L
9. Dh M
10. R N
11. Z W
12. S H
13. Sh ’
14. s} Y
15. d}
Sumber: Kate L. Turabian. A Manual of Writers of Term Papers.
B. Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
Tanda dan
Huruf Arab Nama Indonesia
fath}ah A
Kasrah I
d}ammah U
Catatan: Khusus untuk hamzah, penggunaan apostrof hanya berlaku jika hamzah berh}arakatsukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakatsukun. Contoh: iqtid}a>’ (ءاضتقا)
2. Vokal Rangkap (diftong)
Tanda dan Huruf
Arab Nama Indonesia Ket.
fath}ah dan ya’ ay a dan y
fath}ah dan wawu
au a dan w
Contoh : bayna ( نيب )
: mawd}u>’ ( عوضوم )
3. Vokal Panjang (mad)
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia Ket.
fath}ah dan
alif a>
a dan garis di atas
kasrah dan
ya’ i>
i dan garis di atas
d}ammahdan
wawu u>
Contoh : al-jama>’ah (ةعامجلا) : takhyi}>r (رييخت) : yadu>ru (رودي)
C. Ta>’ Marbu>t}ah
Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua :
1. Jika hidup (menjadi mud}a>f) transliterasinya adalah t. 2. Jika mati atau sukun, transliterasinya adalah h.
Contoh : shari>‘atal-Isla>m (ماساا ةعيرش) : shari>‘ah isla>mi>yah (ةيماسإةعيرش)
D. Penulisan Huruf Kapital\
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tentu tiap orang dapat memiliki jawaban yang berbeda-beda, jika
mereka ditanya, apa motivasi mereka untuk melaksanakan perkawinan.
Mungkin alasan ekonomi, yakni untuk menjamin kelangsungan hidup secara
materi. Alasan-alasan lain yang dapat ditemukan antara lain demi mendapatkan
keturunan, demi status sosial, demi cinta, dan sebagainya. Namun, alasan yang
paling umum mendasari keputusan seseorang untuk menikah adalah untuk
memiliki teman hidup yang dicintai dan mendapat kepuasan psikologis dari
hubungan tersebut.1
Satu alasan yang terungakap disana, yakni demi mendapatkan keturunan.
Senada dengannya, Wahbat al-Zuh}ayli@ mengungkapkan bahwa salah satu
hikmah disyariatkannya perkawinan adalah menjaga kelangsungan hidup
manusia melalui reproduksi dan berkembang biak, agar terhindar dari
kepunahan.2 Asal dari sebuah individu baru adalah karena adanya sebuah
pasangan (perkawinan). Tuhan berfirman dalam surat Ya@si@n ayat 36 dan surat
al-Nah}l ayat 72,
1 M Nilam W, Psikologi Populer: Menuju Perkawinan Harmonis, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), 100.
2
Artinya: ‚Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Q.S. Ya@si@n: 36)‛3
Artinya: ‚Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik (Q.S. al-Nah}l: 72)‛.4
Pendek kata, semua makhluk hidup di dunia ini, oleh Tuhan diciptakan
berpasang-pasangan (laki dan perempuan). Kemudian darinya, lahirlah buah
atau individu baru. Semua ini adalah rahasia Tuhan, dan hanya Dia yang Maha
tahu.5
Oleh karena setiap pasangan saling condong satu sama lain, maka Tuhan
tidak ingin kecondongan tersebut seperti kecondongan yang terjadi pada hewan,
yakni hanya sekedar menyalurkan syahwat. Melainkan Tuhan ingin
kecondongan tersebut bersifat manusiawi, yakni bukan hanya menyalurkan
syahwat, melainkan juga disertai hubungan saling mencintai, menyayangi dan
3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Duta Ilmu Surabaya, 2005), 628. 4 Ibid., 374.
3
mengasihi satu sama lain. Untuk itu, Tuhan memberikan jalan, melalui
perkawinan (pernikahan) yang disyariatkan oleh Islam.6
Melalui pernikahan yang disyariatkan Islam ini, terciptalah jalan terbaik
untuk mendapatkan dan memperbanyak keturunan, menjaga kelangsungan hidup
manusia disertai perlindungan nasab yang jelas bagi seorang anak. Sebuah hadis
Rasul yang sangat terkenal, yang diriwayatkan oleh Abu@ Da@wud,
Artinya: ‚Nikahilah perempuan yang penyayang, dan yang dapat mempunyai anak banyak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para nabi di hari kiamat‛.7
Lebih lanjut, setiap pasangan suami istri kemungkinan besar sangat
mengharapkan mempunyai keturunan sebagai generasi penerus mereka, tetapi
tidak semua pasangan yang berhasil mendapatkan keturunan setelah menikah
beberapa lama. Pasangan ini adalah pasangan infertil sehingga diperlakukan
pengelolaan yang benar dalam menangani masalah ini. Infertilitas sendiri berarti
setelah setahun berumah tangga dengan persetubuhan yang tidak memakai
pelindung, tetapi belum terjadi kehamilan. Statistik menyebutkan, infertilitas
disebabkan oleh kelainan pada suami atau pada istri, atau juga pada keduanya.
Pada wanita, 40-50% akibat penyakit saluran telur dan anovulasi, sedangkan
pada pria sebanyak 30-50% karena kelainan faktor sprema.8
6 Ibid., 12.
7 Sayyid Sa@biq, Fiqh al-Sunnah Juz II, (Kairo: Da@r al-Fath}, 2009), 9.
4
Saat pasangan memutuskan memulai sebuah keluarga, perlu usaha lebih
keras agar segera memiliki anak. Penelitian menunjukkan hanya 1 dari 5
pasangan yang berhasil di bulan pertama, saat ingin memiliki anak. Hampir 20
persen tidak beruntung dalam tahun pertama.9 Lebih dari itu, jika sudah lewat
dua tahun menunggu, pasangan suami istri belum juga diberi keturunan baru,
maka mereka dinyatakan bermasalah. Penyebabnya bisa dari pihak istri, sama
besarnya dengan penyebab yang berasal dari pihak suami. Untuk melacak
penyebabnya tidak selalu mudah. Serangkaian pemeriksaan perlu ditempuh
untuk menemukan apa penyebabnya. Selain pihak istri perlu menempuh
pemeriksaan darah dan Ultrasonography (USG), pihak suami juga perlu
diperiksa air maninya (semen analiysis).10
Menanggapi masalah infertilitas (kemandulan) tersebut, seiring
berkembangnya ilmu dan teknologi yang semakin pesat, maka muncullah
berbagai macam penemuan yang sangat bermanfaat bagi kepentingan manusia
khususnya di bidang kedokteran. Salah satunya adalah dengan ditemukannya
cara-cara baru dalam hal reproduksi manusia, yakni pembuahan di luar rahim
yang dalam istilah ilmu kedokteran disebut dengan fertilisasi in vitro11, atau
9http://politik.news.viva.co.id/news/read/540074-pasangan-belum-hamil--coba-cek-5-penyebabnya, diakses tanggal 25 Desember 2014.
10 Handrawan Nadesul, Kiat Sehat Pranikah, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 126.
5
lebih dikenal dengan bayi tabung.12 Penemuan ini pertama kali dilakukan oleh
P.C. Steptoe dan R. G. Edwards atas pasangan suami istri John Brown dan
Leslie. Sprema dan ovum yang digunakan berasal dari suami istri, kemudian
embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istirnya. Lahirlah, pada tanggal 25
Juli 1978, seorang bayi tabung pertama yang bernama Louise Brown di Oldham
Inggris dengan berat 2700 gram.13
Mengenai hukumnya, Islam memperbolehkan upaya inseminasi buatan
atau bayi tabung, dengan syarat apabila perpaduan antara sperma dan ovum itu
berasal dari suami istri yang mempunyai ikatan perkawinan yang sah
(Inseminasi Homolog), yang juga disebut dengan Artificial Insemination
Husband (AIH).14Majlis Ulama Indonesia mengemukakan, bahwa inseminasi
buatan atau bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan
suami istri yang sah secara muh}taram, dibenarkan oleh Islam, selama mereka
dalam ikatan perkawinan yang sah.15
Sudah barang tentu, inseminasi buatan ini merupakan perwujudan dari
upaya pengobatan seorang suami atau istri yang infertil (mandul), atas
rekomendasi seorang dokter. Islam menyuruh umatnya untuk berobat terlebih
dahulu, sebelum dia pasrah akan takdir dari Tuhannya.16
12 Chuzaimah T. Yanggo & Hafiz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 15.
13 Salim , Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 6. 14 Mahjuddin, Masa@’il Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), 13.
6
Sejalan dengan pembuahan Fertilization In Vitro (FIV) yang semakin
pesat, muncullah ide surrogate mother atau ibu pengganti.17 Hal ini pertama kali
dilakukan pada tahun 1987, di Afrika Selatan. Seorang ibu, Edith Jones,
melahirkan kembar tiga anak-anak hasil pencangkokan embrio putrinya,
Suzanne dan suaminya. Kelahiran lewat inseminasi buatan ini dilakukan karena
Suzanne tak memiliki kandungan sejak lahir. Proses pembuahan dilakukan di
Rumah Sakit BMI Park, Nottingham.18
Mengenai hukumnya, tidak seperti hukum bayi tabung, dimana para
ulama dan cendekiawan muslim sepakat membolehkannya, selama sperma dan
ovum yang diproses itu berasal dari suami istri yang sah. Persoalan surrogate
mother, status hukumnya lebih rumit dari bayi tabung. Mayoritas ulama,
mengharamkannya. Yu@suf Qarad}a@wi@ misalnya, beliau berpendapat bahwa
meskipun sperma dan ovum berasal dari suami istri yang sah, tapi rahimnya
milik wanita lain, maka hal ini tidak diperbolehkan (haram). Cara seperti ini
diharamkan karena akan menimbulkan sebuah pertanyaan membingungkan,
‚siapakah sang ibu dari bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur, ataukah yang
menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?‛.19
17Surrogate Mother (ibu pengganti/ sewa rahim/ gestational agreement), yakni wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya kepada suami istri yang tak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tak bisa mengandung, dengan imbalan sejumlah materi, Koes Irianto, Panduan Lengkap Biologi Reproduksi Manusia, (Bandung: Alfabeta, 2014), 315.
18 Luthfi Asy-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998), 158.
7
Sejalan dengan pendapat Qarad}a@wi@, Said Aqil Husin Al-Munawar juga
berpendapat bahwa bayi tabung dengan penyewaan rahim ini hukumnya haram.
Alasannya, dalam proses penyewaan rahim terdapat mafsadah yang lebih besar
daripada manfaatnya. Dalam kaitannya dengan kasus ini, bahwa paling utama
yang diakibatkan adalah menjadi tidak jelasnya nasab anak yang dilahirkan.20
Pun begitu juga, Fathurrahman Djamil, Dosen UIN Jakarta. Beliau pun
mengharamkannya, dengan alasan ketidakjelasan nasab anak yang dilahirkan.
Meski dalam kasus tersebut, nasab bapaknya jelas, akan tetapi nasab ibunya
menjadi tidak jelas.21 Sebagai tambahan informasi, bahwa praktek sewa rahim
ini dianggap sebagai tindak pidana di Indonesia. Oleh karenanya, tidak bisa
dilakukan. Secara tegas pelarangan tersebut tercantum dalam pasal 82 UU
No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.22
Pasal 82 menyebutkan, ‚Barangsiapa dengan sengaja melakukan upaya
kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah)‛.23
Adapun yang dimaksud upaya kehamilan di luar cara alami dalam pasal
16 Ayat (2), adalah hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
20 Said Aqil Husin al-Munawar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), 116. 21 Luthfi Asy-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer..., 154.
22Fajar Bayu Setiawan dkk, ‚Kedudukan Kontrak Sewa Rahim dalam Hukum Positif di Indonesia‛,
Private Law, (01 Maret-Juni 2013), 74.
23
8
bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Dari sini,
nampak bahwa selain bayi tabung, upaya kehamilan di luar cara alami,
keberadaannya dilarang di Indonesia.
Berbeda dengan mayoritas Ulama dan ketentuan hukum positif di
Indonesia, Ali Akbar berpendapat bahwa menitipkan bayi tabung pada wanita
yang bukan ibunya, diperbolehkan. Alasannya, karena si ibu tidak
menghamilkannya sebab rahimnya mengalami gangguan. Menyusukan anak
kepada wanita lain saja diperbolehkan dalam Islam, malah boleh diupahkan.
Maka bolehlah pula memberikan upah kepada wanita yang meminjam
rahimnya.24Lebih lanjut, menurutnya inseminasi dengan meminjam rahim orang
lain boleh-boleh saja dilakukan. Alasannya, karena bibit yang ditanamkan itu
berasal dari hubungan perkawinan yang sah. Tugas rahim orang lain itu,
hanyalah sebagai tempat penitipan. Adapun nasab anak tersebut, tetap kepada
pemilik bibit itu.25 Pendek kata, ibu penghamil (dalam kasus penyewaan rahim)
kedudukannya sama saja dengan ibu susu.26
Berdasarkan fakta-fakta yang telah diungkapkan diatas, maka penulis
tertarik untuk mengkaji dan menganalisa lebih dalam alasan-alasan dari Ali
Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim. Setidaknya ada tiga hal, yang
membuat penulis tertarik mengkajinya. Pertama, karena kajian tentang
24 Ibid.,73.
9
inseminasi buatan dengan jalan sewa rahim ini merupakan masalah kontemporer
ijtiha@diyah, tak terdapat hukumnya secara spesifik dalam al-Qur’an maupun al
-Hadith, bahkan dalam kajian fikih klasik sekalipun. Kedua, salah satu alasan Ali
Akbar membolehkan praktek sewa rahim, adalah karena beliau menyamakannya
dengan mengupahkan seorang wanita untuk menyusukan seorang anak. Ketiga,
dari sosok Ali Akbar itu sendiri. Beliau merupakan seseorang yang dijuluki
sebagai ‛dokter yang ulama‛. Bukan tanpa sebab ia menyandang julukan
tersebut, karena selain sebagai dokter, beliau juga aktif di Pemerintahan
Indonesia saat itu. Terbukti, dia pernah menjadi ketua Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Syara’ pada tahun 1966.27 Selain itu, ia juga dikenal sebagai
dokter pertama di Indonesia yang banyak membahas problem seksual dalam
perkawinan dan rumah tangga yang dikaitkan dengan tuntunan ajaran Islam.28
Untuk itu, penulis ingin mengungkap, mengkaji, dan menganilisis lebih
dalam, alasan-alasan dari Ali Akbar tentang praktek sewa rahim, dalam skripsi
yang berjudul, ‚Analisis Hukum Islam terhadap Alasan-alasan Ali Akbar
tentang Kebolehan Praktek Sewa Rahim kepada Ibu Pengganti (Surrogate
Mother)‛
27 .http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/khazanah/08/10/14/7769-ali-akbar-dokter-yang-ulama, diakses tanggal 6 Desember 2014.
10
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Pemaparan latar belakang masalah di atas, mampu mengidentifikasi
beberapa masalah. Di antaranya sebagai berikut;
1. Masih menjadi perdebatan, bahwa pasangan suami istri diharuskan
mempunyai keturunan atau tidak.
2. Upaya penggunanaan teknologi baru dalam dunia kedokteran menjadi
salah satu upaya pengobatan dari pasangan infertil (mandul).
3. Hukum Islam memandang praktek pembuahan di luar rahim (bayi tabung).
4. Munculnya ide baru sebagai pengembangan dari bayi tabung, yakni sewa
rahim (surrogate mother)
5. Pandangan para ulama tentang praktek sewa rahim (surrogate mother)
6. Ali Akbar membolehkan praktek sewa rahim, yang oleh mayoritas ulama,
diharamkan.
7. Alasan Ali Akbar membolehkan sewa rahim, karena hal tersebut
disamakan/ diqiya@skan dengan menyewa wanita lain untuk menyusukan
seorang anak.
8. Alasan yang lainnya adalah rahim wanita lain hanyalah sebagai tempat
penitipan embrio yang dihasilkan dari perkawinan yang sah.
Dari pengidentifikasian tersebut, ditemukan sebanyak delapan masalah.
11
dinilai paling sesuai untuk merepresentasikan judul skripsi penulis. Berikut ini
keduanya;
1. Alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada
ibu pengganti (surrogate mother).
2. Analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan
praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother).
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim
kepada ibu pengganti (surrogate mother)?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar
tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate
mother)?
D. Kajian Pustaka
Untuk menunjang dalam mengkaji analisis hukum Islam terhadap
alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada ibu pengganti,
maka penulis menelaah beberapa buku, skripsi, artikel, serta karya tulis ilmiah
lainnya yang hampir sama pembahasannya dengan topik yang diangkat oleh
12
1. Skripsi yang ditulis oleh saudara Ary Cahyani (2006), mahasiswa strata
satu IAIN Walisongo Semarang, yang berjudul ‚Analisis Pemikiran Ali
Akbar tentang Perawatan Cinta Kasih dalam Keluarga Ditinjau dari
Bimbingan dan Konseling Islam‛. Dalam kesimpulannya, penelitian
tersebut menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga faktor yang harus
diperhatikan dalam merawat cintah kasih suami istri. Pertama, perihal
memilih pasangan hidup. Kedua, masalah pemahaman tentang seks.
Ketiga, tentang pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai suami istri.29
2. Skripsi yang ditulis oleh saudara Habib Ulin Niam (2013), mahasiswa
strata satu IAIN Walisongo Semarang, dengan judul ‚Tinjauan Hukum
Islam terhadap Nasab Anak yang Dilahirkan melalui Surrogate Mother‛.
Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa terdapat tiga macam pendapat
para pakar dalam menentukan nasab anak yang dilahirkan melalui
surrogate mother. Pertama, nasabnya kepada wanita pemilik benih. Kedua,
pada wanita yang melahirkan. Ketiga, tidak dapat dinasabkan pada
keduanya. Dari ketiganya, penulis lebih condong pada pendapat yang
menerangkan bahwa nasab anak tersebut kepada wanita yang melahirkan,
karena hakikat seorang ibu adalah mengandung, melahirkan, dan
menyusui.30
29 Ary Cahyani, Analisis Pemikiran Ali Akbar tentang Merawat Cinta Kasih dalam Keluarga..., vi.
30 Habib Ulin Ni’am, ‚Tinjauan Hukum Islam terhadap Nasab Anak yang dilahirkan melalui
13
3. Skripsi yang ditulis oleh Supmi Yuliardi, dengan judul ‚Kedudukan
Hukum Anak yang Dilahirkan melalui Ibu Pengganti pada Kontrak
Surogasi Ditinjau dari Hukum Perdata dan Hukum Islam‛. Tulisan
tersebut berkesimpulan bahwa secara keperdataan, anak yang dilahirkan
berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui/zina, jika ibu
penggantinya seorang gadis atau janda. Akan tetapi, jika terikat dalam
perkawinan yang sah (dengan suaminya), maka anak yang dilahirkan
adalah anak sah dari pasangan suami istri yang disewa rahimnya.
Sedangkan jika ditinjau dari hukum Islam (fikih), maka status anaknya
adalah tidak sah dan kedudukannya sama dengan anak zina.31
4. Jurnal ilmiah yang ditulis oleh Fajar Bayu Setiawan dkk, dengan judul
‚Kedudukan Kontrak Sewa Rahim dalam Hukum Positif di Indonesia‛.
Tulisan tersebut berkesimpulan bahwa apabila dilihat dari beberapa aturan
hukum positif di Indonesia yang memiliki keterkaitan dengan kontrak
sewa rahim tersebut, diantaranya adalah ketentuan dalam KUHPerdata,
UU No.36 Tentang Kesehatan dan ketentuan dalam hukum Islam. Dapat
disimpulkan darinya, bahwa adanya praktek kontrak sewa rahim tersebut
dilarang keberadaannya di Indonesia. Ketiga peraturan diatas, hanya
31Supmi Yuliardi, ‚Kedudukan Hukum Anak yang Dilahirkan melalui Ibu Pengganti pada Kontrak
14
memperbolehkan adanya bayi tabung sebagai cara alternatif memperoleh
anak.32
Dari keempat karya tulis ilmiah diatas, tidak ada satupun yang sama
dengan ide atau gagasan yang akan diteliti oleh penulis. Penelitian pertama,
memang benar yang diteliti adalah pemikiran tokoh Ali Akbar, namun objek
yang diteliti, berbeda dengan apa yang akan penulis teliti. Penelitian kedua dan
ketiga, fokusnya terhadap nasab anak yang dilahirkan melalui ibu pengganti,
sedangkan yang akan diteliti penulis adalah bagaimana keabsahan praktek sewa
rahim itu sendiri. Penelitian keempat, hanya menjelaskan secara umum,
bagaimana kedudukan kontrak sewa rahim dalam tiga prespektif hukum.
Sehingga, penulis berkesimpulan, bahwa skripsi yang akan diteliti adalah hal
yang benar-benar baru.
E. Tujuan Penelitian
1. Mampu mendeskripsikan alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan
praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother)
2. Mampu menganalisis alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek
sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother), dengan pendekatan
hukum Islam.
15
F. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini, setidaknya ada dua kegunaan yang dapat
diwujudkan. Pertama, kegunaan teoritis, dan kedua, kegunaan praktis. Berikut
penjelasannya;
1. Teoritis : Mendalami dan menambah wawasan keilmuan tentang salah
satu kasus kontemporer di bidang hukum keluarga Islam, yakni kasus
tentang pembuahan di luar rahim dengan metode FIV (bayi tabung), lebih
khusus bayi tabung yang dititipkan pada rahim wanita lain (surrogate
mother)
2. Praktis : Pertama, bahwa untuk menyelesaikan tugas akhir penulis sebagai
seorang mahasiswa strata satu di perguruan tinggi. Kedua, tulisan ini
sebagai upaya sosialisasi kepada masyarakat muslim, bahwa selama ini
ada praktek pembuahan di luar rahim dengan metode FIV, ataupun FIV
yang menggunakan rahim wanita lain. Kedua praktek tersebut, berbeda
masing-masing hukumnya. Yang satu, diperbolehkan dengan syarat
tertentu, satunya lagi masih diperdebatkan oleh para ulama dan tak boleh
16
G. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami topik yang diteliti oleh
penulis, maka berikut ini, penulis kemukakan istilah-istilah yang termuat dalam
judul penulis, yang perlu didefinisikan secara operasional.
1. Hukum Islam,
Hukum Islam merupakan seperangkat teori yang termuat dalam fikih maupun
us}u@l fiqh, hasil gagasan para ulama. Lebih fokus, dalam penelitian ini, penulis
menggunakan teori qiya@s milik imam syafii dan sadd al-dhari@’ah sebagai
pisau analisa dalam menanggapi pandangan Ali Akbar.
2. Sewa Rahim,
Sewa rahim adalah menyewa rahim wanita lain guna mengandungkan benih
ovum yang telah disenyawakan benih sperma pasangan suami istri, janin itu
dikandungnya sampai melahirkan dengan perjanjian tertulis dan mendapat
imbalan.33
3. Ibu Pengganti (Surrogate Mother),
Adalah seorang wanita yang menyetujui dengan kontrak dan jumlah biaya
untuk mengandung anak dari pasangan yang ingin memiliki anak, dimana
keadaan pasangan tersebut, sedang tak subur atau fisik istrinya tak mampu
membawa janin yang sedang berkembang.34
17
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka data yang dihimpun
adalah data tentang;
a. Alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim kepada
ibu pengganti
b. Analisis hukum Islam terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang
kebolehan praktek sewa rahim kepada ibu pengganti
2. Sumber data
Data penelitian ini bersifat normatif, sehingga sumber datanya
sekunder, bukan primer. Adapun data sekunder itu sendiri adalah yang
diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari
sumber-sumber yang telah ada baik dari perpustakaan atau dari
laporan-laporan peneliti terdahulu.35
Dalam penelitian ini, sumber data sekundernya adalah dokumen
pribadi dan resmi, baik dalam bentuk catatan, buku, kitab fikih,
kitab-kitab tafsir, jurnal ataupun artikel dan karya tulis ilmiah lain yang berguna
untuk menganalisis alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa
rahim.
Bahan primernya termuat dalam buku karangan beliau, yang berjudul:
18
a. Seksualita ditinjau dari Hukum Islam (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).
b. Merawat Cinta Kasih (Jakarta: Pustaka Antara, 1978).
Adapun bahan sekundernya adalah buku-buku yang digunakan
sebagai pisau analisa atas alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek
sewa rahim. Diantaranya sebagai berikut;
a. Ilmu Us}u@l al-Fiqh, karya Abdul Waha@b Khala@f
b. Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@, karya Wahbat al-Zuh}ayli@
c. Fiqh al-Sunnah, karya Sayyid Sa@biq
d. Al-Fiqh al-Isla@mi@ Wa Adillatuhu, karya Wahbat al-Zuh}ayli@
e. Al-Tafsi@r al-Muni@r, karya Wahbat al-Zuh}ayli@
f. Fatwa-fatwa Kontemporer, karya Yu@suf Qarad}a@wi@
3. Teknik pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data berdasarkan sumber data di atas, maka
penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan atau
studi dokumen (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan data dari
bahan pustaka. Lebih praktis, pertama, penulis mengumpulkan data tentang
alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa rahim dari
buku-buku, dan tulisan-tulisan karya beliau. Kedua, penulis mengumpulkan data
dalam bentuk catatan, buku, kitab-kitab fikih, kitab-kitab tafsir, jurnal
ataupun artikel dan karya tulis ilmiah lain, guna menganalisis alasan-alasan
19
4. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif analitis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yakni dengan
mengungkapkan teori hukum Islam, dalam hal ini berarti teori qiya@s dan sadd
al-dhari@’ah, kemudian menjelaskan pandangan dan alasan-alasan Ali Akbar
tentang kebolehan praktek sewa rahim, serta kemudian penerapan teori
hukum Islam tersebut terhadap alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan
praktek sewa rahim.
G. Sistematika Pembahasan
Agar penelitian ini dapat mengarah pada tujuan yang telah ditetapkan,
maka disusun sedemikian rupa secara sistematis yang terdiri dari lima bab,
masing-masing memperlihatkan titik berat yang berbeda namun dalam satu
kesatuan.
Bab kesatu berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi kerangka konseptual. Dalam bab ini, penulis kemukaan
teori tentang qiya@s dan sadd al-dhari@’ah sebagai pisau analisa terhadap
20
Bab ketiga berisi data penelitian, yakni membahas tinjauan umum
tentang praktek sewa rahim kepada ibu pengganti (surrogate mother) yang
meliputi sejarah dan pengertian sewa rahim, fenomena sewa rahim di dunia,
bentuk-bentuk penyewaan rahim, faktor-faktor yang menyebabkan seseorang
melakukan praktek sewa rahim, prosedur sewa rahim, pandangan para ulama
tentang praktek sewa rahim, serta nasab anak yang dilahirkan melalui kasus
penyewaan rahim. Lalu penulis kemukakan tentang Ali Akbar dan alasan-alasan
beliau tentang kebolehan praktek sewa rahim. Lebih spesifik, meliputi profil
dari Ali Akbar, lalu pandangannya tentang praktek sewa rahim kepada ibu
pengganti, serta bagaimana alasan-alasan beliau tentang kebolehan praktek sewa
rahim kepada ibu pengganti.
Bab keempat berisi analisis data, yang memuat analisis hukum Islam
(qiya@s dan sadd al-dhari@ah), terhadap data penelitian yang telah dideskripsikan,
yakni data tentang alasan-alasan Ali Akbar tentang kebolehan praktek sewa
rahim. Semuanya dilakukan guna menjawab masalah penelitian, lalu
menafsirkan dan mengintegrasikan temuan penelitian itu kedalam kumpulan
pengetahuan yang telah mapan, memodifikasi teori yang ada, atau menyusun
teori baru.
Bab kelima berisi penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AL-QIYA@S, DAN SADD AL-DHARI@’AH
A. Tinjauan Umum tentang al-Qiya@s 1. Pengertian dan Kehujjahan al-Qiya@s
Qiya@s merupakan salah satu dalil-dalil1 s}hara’ atau hukum Islam,
dan ia merupakan salah satu bentuk dari istinba@t}, yakni suatu usaha
penggalian makna dari nas al-Qur’an dan al-Hadith dengan keseriusan hati
dan kekuatan akal. Itu terjadi, karena qiya@s tak dapat lepas dari sumbernya,
yakni al-Quran dan al-Hadith.2
Secara bahasa, kata qiya@s berasal dari bahasa Arab, yang maknanya
sama dengan kata al-taqdi@r (mengukur). Ya, mengukur dalam arti
mengetahui ukuran dari suatu hal. Seperti mengukur kain (baju) dengan
dzira@’ (penggaris), atau mengukur tanah dengan qus}bah (meteran). Istilah
al-taqdi@r itu sendiri, biasanya dikonotasikan kepada perbuatan mengukur
dua hal, guna mengatahui al-musa@wah (kesesuaian/ kesamaan/
keseimbangan) antara keduanya. Tentu, al-musa@wah (kesesuaian/
1 Dalil adalah sesuatu yang dijadikan pedoman, menurut perundangan yang benar, atas hukum shara’
mengenai perbuatan manusia, baik secara pasti (qat}’i@) maupun dugaan (z}anni@). Lihat Abdul Waha@b
Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh, (Jakarta: Al-Haramain, 2004), 20.
22
kesamaan/ keseimbangan) lah, yang ingin dicapai dari perbuatan al-taqdi@r
itu sendiri.3
Adapun secara istilah, menurut ulama ahli us}u@l fiqh, qiya@s adalah;4
‚Menghubungkan suatu kejadian yang hukumnya tak terdapat dalam nas}, kepada kejadian yang hukumnya terdapat dalam nas}. Kejadian yang belum ada hukumnya tadi, dihukumi sama dengan kejadian yang telah ada petunjuknya dalam nas}, karena adanya kesamaan antar keduanya dari segi illah (sifat) hukumnya‛.
Untuk lebih mudah dalam memahami definisi qiya@s, penulis
kemukakan sebuah contoh. Dalam menghukumi sebuah ganja
(pemakaian/pengedaran), seorang mujtahid tentu tak akan pernah
menemukan dalil/petunjuknya secara eksplisit dalam Qur’an maupun
al-Hadith, karena hal/kejadian tersebut merupakan hal yang baru. Oleh
karenanya, seorang mujtahid perlu mengerahkan kekuatan akalnya guna
mencari jawaban atas hal tersebut. Melalui qiya@s lah, jawaban tersebut
ditemukan. Pemakaian ganja dihubungkan dengan meminum khamr. Dalam
al-Qur’an (al-Ma@’idah ayat 93), secara eksplisit haram hukumnya meminum
khamr. Sehingga, pemakaian ganja pun dihukumi haram, karena
dihubungkan/disamakan dengan hukum meminum khamr. Keduanya
3 Wahbat al-Zuhaili, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz I, (Damaskus: Da@r al-Fikr, 1986), 601.
23
disamakan karena ada kesamaan antar keduanya, yakni sama sama
memabukkan atau merusak fikiran.5
Mayoritas ulama menetapkan qiya@s sebagai dalil shara’ dengan
berdasarkan al-Qur’an, al-Hadith, perbuatan sahabat, serta dalil aqli (akal).
Dalam al-Qur’an misalnya, terdapat dalam surat al-Nisa@’ ayat 59. Ayat
tersebut menyatakan bahwa jika terjadi pertentangan dalam suatu perkara,
maka kita diperintahkan untuk mengembalikan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Nah, termasuk juga mengembalikan perkara yang tak ada nas}nya,
kepada perkara yang ada nas}nya, yang dikenal dengan qiya@s (analog).6
Al-Hadith pun demikian. Hadith yang sangat terkenal yang
digunakan sebagai dasar kehujjahan qiya@s adalah riwayat tentang
perbincangan Rasulullah tatkala membai’at Mu’a@dh bin Jabal sebagai
walikota Yaman.7 Para sahabat pun seringkali berijtihad dengan
menggunakan qiya@s. Seperti tatkala sahabat mengqiya@s kan khila@fah dengan
ima@mah dalam shalat. Abu Bakar terpilih menjadi kha@lifah, karena beliau
pernah menjadi pengganti ima@mah dalam shalat sewaktu nabi sakit.8
Secara logika pun, qiya@s dapat diterima, karena nas}-nas} al-Qur’an
maupun al-Hadith terbatas. Sedangkan, peristiwa yang terjadi pada manusia
tidaklah terbatas. Oleh karena itu, bagaimana mungkin, nas} yang terbatas
5 Fajruddin Fatwa et al., Us}u@l Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah..., 53.
6 Ibid., 51. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 54.
7 Ibid.
24
dapat menjawab masalah yang tak terbatas? Untuk itu, maka sangatlah
dibutuhkan qiya@s dalam pemecahannya.9
2. Rukun dan Syarat al-Qiya@s
Rukun adalah suatu bagian yang tak boleh terpisahkan dari suatu
kesatuan, dalam hal ini berarti kesatuan qiya@s. Jika melihat definisi qiya@s, maka
dari definisi tersebut, ditemukan sebanyak empat bagian (unsur) yang harus ada
dalam suatu qiya@s. Keempatnya adalah al-as}l, al-far’, hukm al-as}l, dan al-illah.10
Penjelasannya sebagai berikut;
Pertama, al-ashl (pokok). Ia adalah sesuatu yang hukumnya termuat
dalam nas} maupun ijma@’. Seperti khamr yang hukumnya termuat dalam
al-Qur’an.11 Dapat juga disebut dengan al-maqi@s alayh (yang dijadikan tempat
melakukan qiya@s )/al-mushabbah bih (tempat menyerupakannya)/al-mah}mu@l
alayh (tempat membandingkannya).12
Adapun syarat dari al-as}l itu sendiri adalah ia bukanlah sebuah al-far’,
artinya ketetapan hukum dari al-as}l, bukanlah dari sebuah qiya@s, dengan kata
lain al-as}l telah tetap hukumnya dalam nas}.13
Kedua, al-far’ (cabang). Ia adalah kejadian atau hal yang belum
ditemukan hukumnya dalam nas}, atau ijma@’, contohnya seperti al-nabi@dh
9 Ibid., 53. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 58.
10 Wahbat al-Zuh}ayli@, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz I, 605. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l
al-Fiqh..., 60., Fajruddin Fatwa et al., Us}u@l Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah..., 53.
11 Ibid., 605.
12 Fajruddin Fatwa et al, Us}u@l Fiqh dan Kaidah Fiqhiyah..., 53.
25
(anggur).14 Dapat juga disebut dengan al-maqi@s (sesuatu yang akan
disamakan)/al-mah}mu@l (sesuatu yang akan dibandingkan)/al-mushabbah
(sesuatu yang akan diserupakan). Hal inilah yang nantinya akan disamakan
hukumnya dengan al-as}l.15
Adapun syarat daripada al-far’ itu sendiri adalah hukum dari al-far’
(setelah diqiya@skan), tidak boleh bertentangan dengan nas} atau ijma@’. Jika tidak
demikian, maka qiya@snya menjadi fa@sid (batal). Contohnya, mensyaratkan
keimanan, dalam hal memerdekakan budak pada kasus kafa@rah sumpah,
diqiya@skan dengan kasus kafa@rah pembunuhan. Qiya@s tersebut batal, karena
bertentangan dengan al-Qur’an, surat al-Ma@’idah ayat 89.16
Ketiga, hukm al-as}l. Ia adalah hukum yang termuat dalam al-as}l, yang
akan diterapkan (dikembangkan) pada al-far’. Contohnya seperti haram
meminum khamr.17 Adapun syarat hukm al-as}l itu sendiri adalah sebagai
berikut;18
a. Hukm al-as}l tidak berupa hukum yang dikhususkan, dalam arti harus
bersifat muta’addiyah (dapat dikembangkan). Jika tidak demikian, maka
hukumnya tak dapat dikembangkan. Seperti kekhususan tentang
14 Ibid., 606.
15 Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 60. Lihat juga Fajruddin Fatwa et al, Us}u@l Fiqh dan
Kaidah Fiqhiyah..., 53.
16 Wahbat al-Zuh}ayli@, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz I..., 645.
17 Ibid., 606.
26
perkawinan lebih dari empat istri yang dilakukan oleh nabi Muhammad
SAW.
b. Hukm al-as}l tergolong hukum yang illahnya dapat dipahami oleh akal. Hal
ini, karena prinsip qiya@s adalah menetapkan illat hukm al-as}l, dan
menerapkannya pada al-far’. Sementara itu, hukum yang bersifat
ta’abbudi@ tidak dapat dilakukan qiya@s. Seperti pembatasan bilangan rakaat
pada shalat lima waktu, bagian-bagian ash}a@b al-furu@d}, ukuran h}ad dan
kafa@rah, dan sebagainya.19
c. Hukm al-as}l harus berdasarkan al-Qur’an atau al-Hadith, termasuk ijma@’
(menurut pendapat yang kuat). Juga bukan berupa qiya@s. Sementara,
menurut Muhktar Yahya, mayoritas ulama tidak membenarkan hukm
al-as}l berasal dari ijma@’ dan qiya@s.
Keempat, al-illah. Ia adalah suatu sifat yang terdapat dalam al-as}l, yang
menjadi pijakan dalam menetapkan hukum pada al-as}l, kemudian sifat inilah
yang akan diterapkan pada al-far’. Seperti sifat memabukkan pada khamr, yang
membuat ia diharamkan. Dari sini diketahui bahwa segala sesuatu yang
memabukkan berarti disamakan dengan khamr, sehingga ia haram.20 Oleh para
ulama, al-illah didefinisikan sebagai sifat yang jelas (konkrit), terukur, dan
mengandung sifat yang sesuai dengan diundangkannya suatu hukum.21
19 Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 62.
20 Ibid., 63.
27
Menurut kebiasaan, ketika mengucapkan al-illah, maka yang dimaksud
adalah al-h}ikmah, sekalipun keduanya memiliki definisi tersendiri. Al-h}ikmah
adalah sesuatu yang memotivasi pembentukan hukum, berupa perkara yang
samar-samar, dan hanya bisa diterapkan pada orang dan keadaan tertentu.
Misalnya, diperbolehkannya tidak berpuasa di bulan Ramadan, hikmahnya
adalah menolak kesulitan. Nah, kesulitan inilah yang tak bisa diterapkan pada
setiap orang dan keadaan. Tatkala bepergian, para Kepala Negara tak merasakan
kesulitan, sebagaimana kesulitan yang dialami rakyatnya ketika bepergian.
Kesulitan di waktu musim panas, berbeda dengan kesulitan di waktu dingin.
Dengan kata lain, al-h}ikmah adalah tujuan akhir daripada diundangkannya
sebuah hukum, yakni kemaslahatan yang ingin dicapai oleh Sha@ri’, ataupun
kemafsadatan (kerusakan) yang ingin ditinggalkan oleh-Nya.22
Adapun bedanya dengan al-illah, bahwa al-illah adalah suatu hal yang
nyata, mund}abit} (terukur), yang dijadikan dasar hukum, serta menjadi
pertimbangan akan ada dan tidaknya sebuah hukum. Misalnya, illah dari
diperbolehkannya berbuka dan mengqas}ar shalat adalah bepergian. Bepergian
merupakan suatu yang terukur dan pasti, yang mempengaruhi ada dan tidaknya
hukum (berbuka dan qas}ar). Inilah yang dimaksud dengan rabt} al-hukm
(hubungan hukum), karena al-illah menghubungkan antara hukum dengan
h}ikmah hukum. Dalam illah bepergian, terkandung sebuah kesulitan/kepayahan.
28
Sehingga, diperbolehkannya berbuka dan mengqas}ar shalat adalah untuk
meringankan umat Islam ketika bepergian, demi tercapainya sebuah h}ikmah,
yakni hilangnya kesulitan atau kepayahan.23
Al-illah sebagai rukun daripada qiya@s, juga harus memenuhi beberapa
syarat, diantaranya sebagai berikut;24
1. Al-illah harus berupa sifat yang jelas (konkrit), yang dapat ditemukan oleh
salah satu panca indra. Al-illah merupakan tanda atas adanya hukum pada
al-as}l. Sehingga al-illah harus jelas, agar dapat dipindahkan hukum al-as}l
pada al-far’.
2. Al-illah harus berupa sifat yang sudah pasti, mund}abit} (terukur). Misalnya,
illah safar (bepergian) pada qas}r shalat, bukanlah mashaqqah (kepayahan),
karena ia tak dapat diukur. Setiap orang berbeda tingkat kepayahannya
dalam bepergian.
3. Al-illah harus berupa sifat yang sesuai dengan diundangkannya sebuah
hukum, yakni menegakkan kemaslahatan. Misalnya. Illah diharamkannya
meminum khamr, karena memabukkan, dan di dalam memabukkan
tersebut, terkandung maksud memelihara akal.
4. Al-illah harus bersifat muta’addi@, artinya dapat dikembangkan untuk
al-far’. Bukan sifat yang pasif atau khusus. Seperti kebolehan Rasulullah
23 Ibid., 651. Lihat juga Abdul Waha@b Khala@f, Ilmu Us}u@l al-Fiqh..., 65.
29
menikahi istri lebih dari empat orang, tidak boleh dijadikan qiya@s dengan
illah berupa sifat ima@mah.
3. Cara-cara Mengetahui Illah Hukum
Para ulama ahli us}u@l fiqh telah menentukan cara-cara mengetahui illah
dalam hukum Islam, diantaranya sebagai berikut;25
a. Dengan nas} itu sendiri. Artinya, nas} al-Qur’an maupun al-Hadith langsung
menyebutkan illah tersebut dalam teksnya. Illah yang ini, juga disebut
dengan illah mans}u@s}ah.
Illah mans}u@s}ah tersebut ada yang s}ari@kh (jelas), ada juga yang isha@rah
(isyarat). Teks yang s}ari@kh adalah teks yang secara susunan bahasa
menunjukkan petunjuk yang sangat jelas tentang keillahan sebuah hukum,
seperti ‚li ‘ajli kadha@ (karena begini), atau li sababi kadha@ (sebab begini).
Teks yang s}a@rikh pun dibagi dua, ada yang qat}’i@ (pasti), ada juga yang
z}anni@ (dugaan);26
1) Teks s}ari@kh yang qat}’i@ adalah teks yang secara susunan bahasa
menunjukkan makna keillahan secara jelas dan pasti, seperti:
25 Ibid., 57-58.
30
2) Teks s}ari@kh yang z}anni@ adalah teks yang menunjukkan makna
keillahan, tapi masih memungkinkan makna lain (dugaan). Seperti
lafadz yang didahului huruf ‚la@m, ba@’, dan fa@’‛
Adapun teks illah yang berbentuk isha@rah adalah teks yang mengandung
makna atau pemahaman keillahan, sekalipun dalam teks tersebut tidak
disebutkan lafadz yang menunjukkan keillahan. Seperti riwayat Rasulullah
tatkala beliau ditanya oleh orang Badwi, ‚Ya Rasul, aku telah bersetubuh
dengan istriku, pada siang hari di bulan Ramadahan secara sengaja?‛.
Rasul pun menjawab,‛bayarlah kafa@rah (denda)!‛.27
b. Dengan ijma@’. Apabila suatu masa, para mujtahid sepakat atas illah dari
salah satu hukum shara’, maka berarti illah hukum tersebut telah
ditetapkan dengan ijma@’. Misalnya seperti illah pada penguasaan harta
anak perempuan yang belum dewasa adalah karena anak tersebut masih
kecil. Sehingga, illah hukum pada masalah ini adalah didasarkan pada
ijma@’ pada masa itu.
c. Dengan sabr wa taqsi@m (meneliti dan memisahkan). Jalan ini ditempuh
tatkala seorang mujtahid tak menemukan illahnya secara langsung dalam
nas} maupun ijma@’. Misalnya, dalam mengetahui illah wajibnya zakat
gandum. Mujtahid harus melakukan inventarisasi sifat daripada gandum
itu sendiri, seperti makanan pokok, dapat ditakar dan ditimbang, dan
31
bernilai ekonomis. Dari inventarisasi sifat-sifat tersebut, diambil satu saja
yang paling sesuai, nilai ekonomis misalnya. Secara otomatis, setiap
tanaman yang bernilai ekonomis, maka wajib dizakati, seperti kelapa
sawit, jeruk, durian, dan sebagainya.
B. Tinjauan Umum tentang Sadd al-Dhari@’ah
1. Pengertian dan Kehujjahan Sadd al-Dhari@’ah
Secara etimologi, kata dhari@’ah berarti ‚jalan atau perantara yang
menuju kepada sesuatu‛. Sedangkan menurut istilah ulama us}u@l al-fiqh, dhari@’ah
adalah ‚segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu
yang dilarang oleh shara’‛.28 Oleh karenanya, ‚jalan yang dapat mengantarkan
kepada sesuatu yang dilarang oleh shara’‛ tersebut, ditutup atau dicegah atau
dihindari (sadd).29
Dalam perkembangannya, istilah dhari@’ah ini terkadang dikemukakan
dalam arti yang lebih umum. Sehingga dhari@’ah dapat didefinisikan sebagai
‚segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu, baik
berakibat mafsadah maupun mas}lah}ah. Oleh karenanya, apabila mengandung
akibat mafsadah, maka ada ketentuan sadd al-dhari@’ah (jalan tersebut ditutup).
28 Wahbat al-Zuh}ayli, Us}u@l al-Fiqh al-Isla@mi@ Juz II, 873.
29Ali Imron HS, ‚Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan Metode Sadd al-Dhari@’ah‛, Ilmu
32
Sedangkan apabila berakibat mas}lah}ah, maka ada ketentuan fath} al-dhari@’ah
(jalan tersebut dibuka).30
Senada dengan hal tersebut, Abu Zahrah menegaskan bahwa ketentuan
hukum yang dikenakan pada dhari@’ah, selalu mengikuti ketentuan hukum yang
terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Lebih jelas lagi, bahwa
perbuatan yang membawa ke arah muba@h} adalah muba@h}. Perbuatan yang
membawa ke arah haram, berarti haram. Pun begitu pula, perbuatan yang
menjadi perantara atas terlaksananya perbuatan wajib, maka perbuatan tersebut
adalah wajib. Misalnya, zina adalah perbuatan haram. Maka, melihat aurat
wanita yang menyebabkan seorang melakukan zina, juga diharamkan. Atau,
shalat jumat adalah wajib. Maka, meninggalkan jual beli, guna menunaikan
shalat jumat, juga wajib.31
Sehingga, sadd al-dhari@’ah adalah menutup jalan yang akan
mengantarkan pada perbuatan yang diharamkan, karena jalan yang menjadi
perantara tersebut, mengandung akibat yang berupa mafsadah.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan sadd al-dhari@’ah,
sebagai salah satu alat atau dalil dalam menetapkan hukum (istinba@t} al-ah}ka@m).
Ulama mazhab Malikiyah dan ulama mazhab Hanabilah setuju, bahwa sadd
al-dhari@’ah dapat dijadikan sebagai alat atau dalil dalam menetapkan hukum.
Sedangkan ulama mazhab Shafi’iyah dan mazhab Hanafiyah dapat menerima
30 Ibid.,
33
sadd al-dhari@’ah dalam kasus tertentu, dan menolaknya dalam
kasus-kasus lain. Itu terjadi, karena bagi mereka (Shafi’iyah dan Hanafiyah), sadd
al-dhari@’ah dapat diterima, hanya apabila kemafsadatan yang akan muncul itu
dapat dipastikan akan terjadi atau sekurang-kurangnya praduga kuat (ghalabat
al-z}an) akan terjadi.32
Kehujjahan sadd dhari@’ah ditetapkan berdasarkan Qur’an dan
al-Hadith. Dalam surat al-An’a@m ayat 108 dijelaskan bahwa Allah SWT melarang
mencaci maki berhala, padahal hal tersebut merupakan sikap penolakan
terhadap sesuatu yang batil. Itu terjadi, karena dengan cacian tersebut, maka
kaum mushrikin, malah semakin mencaci Rasulullah. Allah SWT berfirman;33
Artinya : ‚Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan‛.34
Sadd al-dhari@’ah juga ditetapkan berdasarkan al-Hadith. Seperti halnya
al-Hadith yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang artinya sebagai berikut;
‚Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua
orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya, ‚Wahai Rasulullah bagiamana mungkin
seseorang melaknat kedua orang tuanya?‛ Rasulullah menjawab, ‚Seseorang
mencaci ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang itu, dan
32Ali Imron HS, ‚Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan Metode Sadd al-Dhari@’ah‛, 70.
33 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 440.
34
seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki
orang itu‛. (HR. Abu Daud).35
Selain al-Hadith diatas, masih banyak hadith-hadith nabi yang
menerangkan tentang sadd al-dhari@’ah. Diantaranya sebagai berikut;36
a. Nabi Muhammad SAW melarang orang yang memberi pinjaman uang pada
orang lain, untuk menerima hadiah dari si penghutang agar hal tersebut
tidak mengarah kepada perbuatan riba. Penerimaan hadiah dianggap sebagai
ganti dari bunga.
b. Nabi Muhammad SAW melarang perbuatan menimbun harta, sebab
penimbunan harta merupakan dhari@’ah (perantara) yang menyebabkan
terjadinya kesulitan atau krisis perekonomian.
2. Macam-macam Dhari@’ah
Ima@m al-Shat}ibi@ mengemukakan bahwa dari segi kualitas
kemafsadatannya, dhari@’ah dibagi menjadi empat macam, yaitu:37
a. Perbuatan yang secara pasti (qat}’i@), mendatangkan mafsadah/kerusakan.
Misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumahnya sendiri,
padahal dia tahu, bahwa nantinya di depan rumah tersebut akan ada tamu
yang datang untuk berkunjung ke rumahnya.
35 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 441.
36 Alhafiz Sulaiman, Sunan Abi Daud II, (Semarang: Toha Putra, tt), 629.
37 Ima@m al-Sha@t}ibi@, dalam Ali Imron HS, ‚Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif dengan Metode
35
b. Perbuatan yang dilakukan itu besar kemungkinan membawa mafsadah.
Perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai prasangka yang kuat, namun
belum sampai pada keyakinan yang pasti. Misalnya, seseorang menjual
anggur kepada produsen minuman keras.
c. Perbuatan yang dilakukan itu, jarang atau kecil kemungkinan untuk
membawa mafsadah. Dengan kata lain, bahayanya lebih kecil daripada
manfaatnya. Misalnya, menjual makanan yang pada umumnya tidak
membahayakan, atau menanam anggur.
d. Perbuatan yang dilakukan itu mengandung kemaslahatan, tetapi juga
memungkinkan perbuatan tersebut membawa mafsadah. Misalnya, seorang
menjual pisau, sabit, gunting, jarum, dan sejenisnya di pasar tradisional
BAB III
PENYEWAAN RAHIM,
ALI AKBAR, & PEMIKIRAN ALI AKBAR TENTANG PENYEWAAN RAHIM
A. Tinjauan Umum Tentang Penyewaan Rahim
1. Sejarah Penemuan dan Pengertian Sewa Rahim
Sewa rahim (gestational agreement) merupakan salah satu dari
delapan jenis teknologi bayi tabung (fertilization in vitro) yang telah
dikembangkan oleh para ahli kedokteran. Oleh karena sewa rahim
merupakan salah satu dari jenis bayi tabung, maka tak dapat dipungkiri,
bahwa sejarah kemunculannya adalah berawal dari lahirnya teknologi bayi
tabung itu sendiri.1
Dalam sejarahnya, teknologi bayi tabung pertama kali berhasil
dilakukan oleh Dr. P. C. Steptoe dan Dr. R. G. Edwards atas pasangan
suami istri John Brown dan Leslie. Sperma dan ovum yang digunakan
berasal dari suami istri , kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam
rahim istrinya, sehingga pada 25 Juli 1978, lahirlah bayi tabung pertama di
dunia yang bernama Louise Brown di Oldham Inggris dengan berat badan
2.700 g.2
Sejalan dengan pembuahan di luar rahim (fertilization in vitro) yang
semakin pesat, maka muncullah ide surrogate mother atau ibu pengganti.
1 Salim HS.,Bayi Tabung Tinjauan Aspek Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 8.
37
Hal ini pertama kali dilakukan pada tahun 1987, di Afrika Selatan. Seorang
ibu, Edith Jones, melahirkan kembar tiga anak-anak hasil pencangkokan
embrio putrinya, Suzanne dan suaminya. Kelahiran lewat inseminasi buatan
semacam ini dilakukan karena Suzanne tak memiliki kandungan sejak ia
lahir. Proses pembuahannya dilakukan di rumah sakit BMI Park,
Nottingham. Inilah pertama kalinya di dunia, sejarah tentang seorang putri
(Suzanne), yang menyewa rahim ibunya (Edith Jones), guna mengandung
embrio dari dirinya dan suaminya.3
Sebagai tambahan informasi, bahwa sebelum teknologi sewa rahim
ini dilakukan pada manusia, semula telah dicoba dilakukan pada binatang,
dan hasilnya mengagumkan. Di Inggris, embrio kambing diambil dan
dititipkan ke dalam rahim kelinci, kemudian diterbangkan ke Afrika
Selatan. Pada saat yang lain, embrio seekor binatang dititipkan ke dalam
rahim kambing, hingga kambing tersebut melahirkan janin, sesuai jenis
binatang yang punya embrio tadi.4
Adapun pengertian dari sewa rahim itu sendiri adalah penitipan
sperma dan ovum dari sepasang suami istri ke dalam rahim wanita lain.
Penyewaan rahim tersebut biasanya melalui perjanjian atau
persyaratan-persyaratan tertentu dari kedua bela pihak, baik perjanjian tersebut
3 Luthfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-Isu Teknologi dalam Fikih Kontemporer, 158.
38
berdasarkan sukarela (gratis), ataupun berdasarkan sebuah kontrak (bisnis).5
Bahkan, menurut Salim, cakupan sewa rahim bukan hanya terbatas pada
penitipan sperma dan ovum sepasang suami istri saja, melainkan juga bisa
dari donor sperma lelaki lain, atau donor ovum wanita lain, atau juga
keduanya (sperma & ovum), berasal dari donor, lalu kemudian dititipkan ke
dalam rahim wanita lain6
Istilah penyewaan rahim (sewa rahim), juga identik dengan istilah
ibu pengganti (surrogate mother). Menurut Koes Irianto, ibu pengganti
adalah wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian
untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan
imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa
mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.7
Menurut wikipedia, ibu pengganti (surrogate mother) adalah seorang wanita
yang menyetujui dengan kontrak dan jumlah biaya untuk menanggung anak
dari pasangan yang ingin memiliki anak, karena istri tidak subur atau
fisiknya tak mampu membawa janin yang sedang berkembang.8
Menurut kesimpulan penulis, setidaknya harus ada tiga unsur, untuk
bisa mendefinisikan penyewaan rahim;
a. Pasangan suami istri yang menitipkan embrio (janin)
5 Said Aqil Husin al-Munawar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani, 2004), 105.
6 Salim HS., Bayi Tabung..., 8.
7 Koes Irianto, Panduan Lengkap Biologi..., 315.
39
b. Perjanjian atau kontrak untuk mengandung dan melahirkan
c. Wanita yang bersedia disewa rahimnya untuk penitipan janin tersebut.
Pendek kata, istilah sewa rahim dengan istilah ibu pengganti adalah
hal yang konotasinya sama. Ibu pengganti adalah subjeknya, sedangkan
sewa rahim adalah predikat/perbuatannya.
2. Fenomena Sewa Rahim di Dunia
Masalah penyewaan rahim dewasa ini sudah membudaya di
negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat. Malahan, pernah terjadi peristiwa
besar, dimana ibu pemilik rahim atau ibu yang mengandung kahamilan
tidak bersedia menyerahkan bayi yang dilahirkannya kepada ibu genetisnya.
Demikian pula di Afrika, pernah terjadi seorang nenek menjadi penghamil
cucunya, karena rahim anaknya tak bisa mengandung.9
Di luar negeri, seperti di Inggris, Amerika Serikat, Australia, dan
Afrika Selatan, kini sudah mengembangkan jenis bayi tabung yang
menggunakan sperma dari donor dan ovumnya dari istri, kemudian
embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri, juga mengembangkan
jenis bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami
istri, kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim surrogate
40
mother. Sebagai buktinya, bahwa menjelang awal tahun 1989 saja, telah
lahir 100 anak yang merupakan produk dari surrogate mother.10
Ibu-ibu di India marak menyewakan rahimnya untuk ribuan pasangan
tidak subur. Situs webmd.com melaporkan, pasangan tidak subur ini banyak
dari luar negeri. Mereka mencari perempuan tidak mampu yang mau dibayar
untuk mengandung anak mereka selama sembilan bulan.\11
Kota Anand di Negara Bagian Gujarat, India, telah berubah menjadi
tempat peternakan bayi, dimana para perempuan wilayah itu meminjamkan
rahim mereka untuk membesarkan perkawinan sperma dan sel telur dari
pasangan asing. Sewa rahim ini bahkan didukung oleh sebuah klinik resmi,
klinik Akanksha. Klinik ini sudah satu dekade membantu para perempuan
bunting. Sekitar 700 bayi telah dilahirkan namun bukan anak mereka.
Wanita-wanita ini perutnya hanya dipinjam sementara oleh banyak orang
barat lantaran praktik sewa rahim di negara mereka terlalu mahal dan
illegal.12
Setiap perempuan, dilansir mendapatkan uang kompensasi sebesar
Rp 90,1 juta per kehamilan. Jumlah uang itu diakui mereka sangat
membantu kehidupan warga desa miskin rata-rata hanya berpenghasilan Rp
10 Salim HS., Bayi Tabung..., 10.
11Ardini Maharani, ‚Sewa Rahim Marak di India‛, dalam
http://www.merdeka.com/dunia/sewa-rahim-marak-di-india.html, diakses tanggal 7 juli 2015.
12Ardini Maharani, ‚Kisah Para Hawa Sewakan Rahim di India‛, dalam
41
14 ribu sehari. Sementara biaya melahirkan sekitar Rp 326,2 juta sudah
dibayarkan oleh orang tua biologis si bayi.13
Menurut pengakuan salah seorang ibu pengganti, Amritapa Basu,
‚saya merasa bayi yang sedang tumbuh dalam rahim saya untuk sembilan
bulan, namun saya tahu dalam hati saya bahwa pada akhirnya, saya harus
berpisah dengannya. Ini merobek hatiku setiap kali, tetapi menjadi miskin
bisa membuat anda melakukan apa pun‛.14 Atas dasar pengakuan tersebut,
memang benar, sewa rahim ini sangat membantu warga miskin. Meski
dalam hati mereka, mereka tak mau melakukannya. Sungguh miris!
Australia juga pernah mengalami kasus sewa rahim yang cukup
rumit. Kasus bayi Gammy yang lahir dari praktik sewa rahim telah membuat
perdebatan di banyak negara, termasuk Australia. Bayi Gammy yang lahir
dengan kondisi Down Syndrome, sehingga orang tua penyewa yang berasal
dari Australia itu, tak mau mengakui anak tersebut. Mereka hanya
membawa pasangan kembar Gammy yang lahir sehat. Akibat kejadian ini,
banyak kalangan mengecam aksi pasangan asal Australia itu. Selain itu,
kasus Gammy ini juga memicu polemik terkait sewa rahim internasional.15
13 Ibid.,
14Ditha Fauziah, ‚Sewa Rahim dilihat Dari Etika Profesi Kebidanan‛, dalam
http://bidanbrownybear.blogspot.com/2012/02/sewa-rahim-dilihat-dari-etika-profesi.html, diakses pada 7 Juli 2015.
42
Adapun untuk di Indonesia, meskipun terdapat asas kebebasan
berkontrak, namun pada akhirnya kontrak sewa rahim belum dapat
diterapkan di Indonesia karena asas kebebasan berkontrak tidak bersifat
absolute, dimana terdapat pembatasan-pembatasan yang secara khusus
tercantum baik dalam pasal 1320 maupun 1337 KUHPerdata. Sehingga,
akibat hukum perjanjian tersebut adalah batal demi hukum atas rahim yang
diperjanjikan. Dikatakan secara eksplisit pada Pasal 82 ayat (2)
Undang-Undang N