MENGURANGI PERILAKU KONSUMTIF MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIII A
SMP N 3 MUNTILAN TAHUN AJARAN 2014/2015
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Nuraini Putri Permatasari NIM. 11104244015
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
“Sebab sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”.
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk:
1. Bapak dan Ibu terimakasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah
diberikan untukku.
2. Dosen yang telah membimbing.
3. Sahabat dan orang tercinta yang selalu member semangat, bantuan dan
motivasi untukku.
4. Almamater tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta
MENGURANGI PERILAKU KONSUMTIF MELALUI LAYANAN KONSELING KELOMPOK PADA SISWA KELAS VIIIA
SMP N 3 MUNTILAN TAHUN AJARAN 2014/2015
Oleh:
Nuraini Putri Permatasari NIM 11104244015
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi perilaku konsumtif siswa kelas VIIIA SMP N 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/2015 dengan menggunakan layanan konseling kelompok.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart. Subyek penelitian ini adalah 13 siswa kelas VIIIA SMP N 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/2015. Obyek penelitian ini adalah perilaku konsumtif siswa yang dilihat dari aspek pembelian impulsif, pembelian tidak rasional, dan pembelian boros atau berlebihan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Instrumen yang digunakan adalah skala, pedoman observasi dan pedoman wawancara. Indikator keberhasilan yang ditetapkan adalah seluruh siswa mampu mencapai skor <60 atau berada dalam kategori rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa layanan konseling kelompok dapat mengurangi perilaku konsumtif siswa kelas VIIIA SMP N 3 Muntilan. Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus yang terdiri dari siklus I terdapat 3 tindakan dan siklus II terdapat 2 tindakan. Penurunan setelah siklus 1 sebesar 23 sedangkan setelah siklus 2 sebesar 16. Hasil skor rata-rata pre test sebesar 84 dilanjutkan dengan hasil skor rata-rata post test I adalah 61, sedangkan skor rata-rata post test II adalah 45. Adapun penurunan dalam penelitian ini sebesar 32%. Hal ini berarti selalu terjadi penurunan skor rata-rata pada tiap siklus. Hasil tersebut juga didukung dengan hasil observasi dan wawancara yang menunjukkan bahwa pembelian impulsif pada siswa mulai berkurang, membeli dengan rasional dan membeli secukupnya.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas segala nikmat, karunia dan kasih sayang yang berlimpah sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Mengurangi Perilaku
Konsumtif Melalui Layanan Konseling Kelompok Pada Siswa Kelas VIII A SMP
N 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/2015” ini dengan baik.
Penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan, doa dan
dukungan dari berbagai pihak sehingga dapat meminimalisir segala keterbatasan,
kekurangan dan memperlancar penulisan. Oleh karena itu penulis haturkan
terimakasih setulusnya kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi kesempatan bagi
peneliti untuk menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan fasilitas kemudahan dan izin penelitian.
3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan
saran dan masukan terutama dalam pemilihan judul penelitian.
4. Ibu Kartika Nur Fathiyah, M.Si, dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat serta masukan yang
sangat berarti terhadap penelitian ini.
5. Ibu Dr. Budi Astuti, M.Si, dosen pembimbing akademik yang penuh
kesabaran mendampingi dan membimbing menjalani masa studi.
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PERNYATAAN... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN MOTTO... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK... vii
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Identifikasi Masalah... 11
C. Batasan Masalah... 12
D. Rumusan Masalah... 12
E. Tujuan Penelitian... 12
F. Manfaat Penelitian... 13
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori Perilaku Konsumtif……….. 14
1. Pengertian Perilaku Konsumtif... 14
2. Aspek-Aspek Perilaku Konsumtif... 16
3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif... 19
4. Dampak Perilaku Konsumtif………... 25
B. Perilaku Konsumtif Pada Remaja………. 27
2. Ciri-Ciri Remaja Awal... 29
3. Aspek-Aspek Perkembangan Remaja... 31
4. Perilaku Konsumtif Remaja... 36
C. Kajian Layanan Konseling Kelompok………. 40
1. Pengertian Layanan Konseling Kelompok... 40
2. Tujuan Konseling Kelompok... 41
3. Komponen Konseling Kelompok... 43
4. Asas dalam Konseling Kelompok... 48
5. Tahapan Konseling Kelompok……….... 50
6. Masalah-Masalah yang Dibahas dalam Pelaksanaan Layanan Konseling Kelompok……….. . 55
7. Kelebihan dan Kelemahan Konseling Kelompok………… 56
8. Pendekatan Koseling Kelompok Realita... 59
9. Teknik-Teknik Konseling Kelompok………..62
D. Kerangka Pikir... 64
E. Hipotesis Tindakan ... 66
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian... 67
B. Subjek Penelitian... 67
C. Tempat dan Waktu Penelitian... 68
D. Desain Penelitian... 68
E. Rencana Tindakan... 69
1. Pra Tindakan... 69
2. Pemberian Tindakan... 70
F. Teknik Pengumpulan Data... 75
1. Skala... 75
2. Observasi... 75
3. Wawancara... 76
G. InstrumenPenelitian... 76
1. Skala Perilaku Konsumtif... 77
3. Pedoman Wawancara……… 80
H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen………. 81
1. Uji Validitas Instrumen………. 81
2. Uji Reliabilitas Instrumen………. 84
I. Teknik Analisis Data... 85
J. Kriteria Keberhasilan... 87
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi dan Waku Penelitian……….... 88
1. Lokasi Penelitian... 88
2. Waku Penelitian... 88
B. Data Subjek Penelitian... 89
C. Persiapan SebelumTindakan……….... 90
D. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Tindakan……… 93
1. Siklus I... 93
2. Siklus II... 107
E. Pembahasan Hasil Penelitian... 115
F. Keterbatasan Penelitian... 119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 120
B. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA... 122
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Rencana Topik Setiap Tindakan dalam
Konseling Kelompok... 73
Tabel 2. Kisi-kisi Skala Perilaku Konsumtif sebelum Uji Coba... 78
Tabel 3. Kisi-kisi Observasi Pelaksanaan Konseling Kelompok... 80
Tabel 4. Pedoman Wawancara Guru BK... 81
Tabel 5. Pedoman Wawancara Subjek... 81
Tabel 6. Rangkuman Item Sahih dan Item Gugur... 83
Tabel 7. Kisi-kisi Skala Peilaku Konsumtif setelah Uji Coba... 83
Tabel 8. Case Processing Summary... 85
Tabel 9. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen... 85
Tabel 10. Rumus Kategori Skala Perilaku Konsumtif... 86
Tabel 11. Kategori Skor Perilaku Konsumtif Siswa... 86
Tabel 12. Nama Subjek Penelitian... 90
Tabel 13. Hasil Skor Pre-test Siswa Kelas VIII A SMP N 3 Muntilan... 91
Tabel 14. Daftar Subjek yang diberikan Tindakan... 92
Tabel 15. Persentase Hasil Post-test Siklus I... 101
Tabel 16. Penurunan Skor Skala Perilaku Konsumtif Siklus I... 103
Tabel 17. Persentase Hasil Post-test Siklus II... 111
Tabel 18. Hasil Perbandingan Post-test I dan Post test II... 112
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Proses Peneitian Tindakan... 69 Gambar 2. Diagram Perbandingan Hasil
Pre-test dan Post-test Siklus I... 102 Gambar 3. Diagram Perbandingan Rata-rata Pre-test dan
Post-test Siklus I... 106 Gambar 4. Diagram Perbandingan Hasil Post-test Siklus I dan II... 112 Gambar 5. Perbandingan Rata-rata Hasil Pre-test,
DAFTAR LAMPIRAN
Hal. Lampiran 1. Kisi-kisi Skala Perilaku Konsumtif (sebelum Uji
Coba Instrumen)... 128
Lampiran 2. Kisi-kisi Skala Perilaku Konsumtif (sesudah Uji Coba Instrumen)... 129
Lampiran 3. Skala Perilaku Konsumtif (sebelum Uji Coba Instrumen)... 130
Lampiran 4. Skala Perilaku Konsumtif (sesudah Uji Coba Instrumen)... 134
Lampiran 5. Kisi-kisi Pedoman Observasi... 137
Lampiran 6. Kisi-kisi Pedoman Wawancara... 138
a. Pedoman Wawancara Guru BK... 138
b. Pedoman Wawancara Subjek... 138
Lampiran 7. Hasil Tabulasi Data Uji Coba... 139
Lampiran 8. Analisis Data Reliabilitas dan Validitas... 140
Lampiran 9. Daftar Hadir Anggota Kelompok... 142
Lampiran 10. Hasil Analisis Data Pre-Test... 143
Lampiran 11. Hasil Analisis Data Post-Test I... 144
Lampiran 12. Hasil Analisis Data Post-Test II... 145
Lampiran 13. Satlan Tindakan 1 Siklus I... 146
Lampiran 14. Satlan Tindakan 2 Siklus I... 148
Lampiran 15. Satlan Tindakan 3 Siklus I... 150
Lampiran 16. Satlan Tindakan 1 Siklus II... 152
Lampiran 17. Satlan Tindakan 2 Siklus II... 154
Lampiran 18. Hasil Observasi... 156
Lampiran 19. Hasil Wawancara... 158
Wawancara Guru BK... 158
Wawancara Subjek... 159
Lampiran 20. Dokumentasi Penelitian... 166
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi adalah keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan
antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan,
budaya populer, dan bentuk interaksi yang lain, sehingga batas-batas suatu
negara menjadi semakin sempit (Ringgar Maharani, dkk, 2012: 1). Era
globalisasi merupakan era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam kehidupan manusia. Perubahan yang sangat cepat di era globalisasi
tidak lain disebabkan oleh faktor teknologi. Manusia pun dapat melakukan
segala hal dengan cara yang lebih praktis dan cepat. Hal tersebut tentunnya
membawa dampak yang vital bagi pola hidup manusia.
Era globalisasi tersebut telah memunculkan suatu gaya hidup yang di
kenal sebagai gaya hidup modern. Naisbitt dan Abdurdene (Poernomo &
Setiadi, 2004: 201) mengatakan era globalisasi memungkinkan tumbuhnya
gaya hidup global. Hal ini terlihat dengan banyaknya rumah makan yang
menyediakan beragam masakan, gaya berpakaian, kosmetik, aksesoris dan
pernak-pernik.
Kondisi ini dapat mengubah kebiasaan dan gaya hidup masyarakat
munuju ke arah yang cenderung terlalu berlebihan yang pada akhirnya akan
menyebabkan pola hidup cenderung menjadi perilaku konsumtif. Menurut
Lina dan Rosyid (1997: 7) perilaku konsumtif dapat diartikan sebagai
kehidupan mewah yang cenderung berlebihan, penggunaan pada segala
fisik semata. Lubis (Sumartono, 2002: 117) mendefinisikan perilaku
konsumtif sebagai suatu perilaku yang tidak lagi didasarkan pada
pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah
mencapai taraf yang tidak rasional lagi. Sedangkan Awaliyah, dkk, (2008: 72)
mengartikan perilaku konsumtif sebagai gaya hidup yang suka
membelanjakan uang dalam jumlah besar. Berdasarkan hasil penelitian AC
Nielsen (Heppy Trenggono, 2011) diketahui bahwa Indonesia menduduki
peringkat kedua sebagai negara terkonsumtif di dunia, sedangkan peringkat
pertama adalah dimana 60% konsumen yang banyak berbelanja di Negara ini
adalah warga Indonesia (gatra.com, 09/11/2011).
David Chaney (Novita, 2008: 16) menjelaskan masyarakat konsumen
tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi
kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan.
Hal tersebut bisa dilihat dari marak atau menjamurnya restoran-restoran siap
saji seperti Kentucky Fried Chicken, Olive Chicken, Popye Chicken Mister
Burger, munculnya kafe-kafe, serta maraknya pembangunan swalayan dan
Departement Store. Semakin banyaknya fasilitas tersebut mempermudah
masyarakat mencari dan membeli barang-barang yang mereka inginkan.
Imam Hoyri Shohibullana (2014: 47) mengatakan setiap orang memiliki hal
atau keinginan yang berbeda-beda, dan dari keinginan tersebutlah orang akan
melakukan hal yang berbeda-beda pula untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan tersebut. Perilaku-perilaku yang selalu mengikuti trend fashion, dan
tuntutan sosial cenderung menimbulkan pola konsumsi yang berlebihan.
selalu berubah, perkembangan fashionakan selalu berjalan. Hal tersebut akan
terus menuntut rasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya, dan mendorong
untuk selalu mengkonsumsinya karena takut ketinggalan. Perilaku yang
berlebihan inilah yang disebut dengan perilaku konsumtif.
Masa remaja merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok
baik secara fisik, psikologis, sosial dan moral. Awal masa remaja berlangsung
dari usia 13-16 tahun dan akhir masa remaja bermula dari usia 17-18 tahun,
yaitu usia matang secara hukum. Menurut Hurlock (1994:208) salah satu ciri
dari masa remaja adalah masa mencari identitas, dimana seorang remaja
mencari jati dirinya. Masa ini seorang remaja mulai mendambakan identitas
diri dan tidak puas lagi ketika dirinya menjadi sama dengan teman-teman
dalam segala hal, sehingga akibatnya remaja berusaha menampilkan diri
mereka agar menarik perhatian masyarakat.
Dyne Herlina (2013: 36) mengatakan bahwa kelompok remaja
memiliki karakter yang unik karena mereka sedang berada dalam usia
perkembangan fisik dan emosional yang pesat. Menurut Wee (Dyna Herlina,
2013: 36) ada beberapa karakter remaja yang dapat diringkas sebagai berikut :
1. Mereka sedang beradaptasi dengan kedewasaan secara fisik termasuk diantaranya hasrat seksual dan kekuatan fisik.
2. Mereka mengalami perasaan transisi antara masa kanak-kanak yang masih tergantung pada orang dewasa dengan perasaan ingin mandiri dari orang dewasa.
3. Kelompok teman sebaya menjadi sangat penting, mereka berusaha menyesuaikan pendapat dan nilai-nilai agar diterima.
Seorang remaja yang berada dalam suatu kelompok pertemanan akan
memiliki suatu bentuk komitmen yang sama-sama dimengerti dalam
agar terlihat sama dengan teman-temannya yang lain. Seperti yang
diungkapkan oleh Panut Panuju dan Ida Umami (2005: 153) remaja akan
meniru tingkah laku, pakaian, sikap dan tindakan teman-temannya dalam satu
kelompok.
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti melihat
usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri namun
perilaku konsumtif remaja menjadi permasalahan psikologis yang berbahaya
ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja pada umumnya
dilakukan secara berlebihan. Sebagaimana pepatah mengatakan ‘lebih besar
pasak daripada tiang’ berlaku di sini. Terkadang apa yang dituntut oleh remaja
di luar kemampuan orang tuanya sebagai sumber dana yang menyebabkan
banyak orang tua mengeluh saat anaknya mulai memasuki usia sekolah
terutama menengah pertama.
Keadaaan tersebut menunjukkan perilaku membeli yang ditunjukkan
remaja tidak lagi dilakukan karena suatu kebutuhan, melainkan karena
alasan-alasan lain seperti sekedar mengikuti arus mode, mencoba produk baru, ingin
memperoleh pengakuan sosial, bahkan demi harga diri remaja. Hal ini sejalan
dengan pendapat Sarwono (Farida, 2006: 40) yang menjelaskan perilaku
konsumtif biasanya dipengaruhi oleh faktor emosi daripada rasio, karena
pertimbangan-pertimbangan dalam membuat keputusan untuk membeli suatu
produk lebih menitikberatkan pada status sosial, mode, dan kemudahan
daripada pertimbangan ekonomis. Hal tersebut kurang baik bagi remaja
tetapi tidak melihat apakah keuangan mereka mencukupi dan apakah
keuntungan dari barang itu.
Kaum remaja mempunyai kepekaan terhadap apa yang sedang “in”.
Remaja cenderung mengikuti mode yang sedang beredar, sedang mode itu
sendiri terus menuntut rasa tidak puas pada konsumen yang memakainya
sehingga mendorong konsumen untuk terus mengkonsumsinya karena takut
dibilang ketinggalan jaman. Akibatnya, para remaja tidak memperhatikan
kebutuhannya ketika membeli barang. Hal tersebut senada dengan pendapat
Sumartono (2002: 110) secara kasat mata beberapa remaja yang larut dalam
pembiusan keadaan hanya sekedar ingin memperoleh legitimasi modern atau
setidaknya mereka senang apabila stempel kuno atau ketinggalan jalan tidak
diberikan kepada mereka.
Sekarang ini berbagai macam produk ditawarkan pada konsumen
remaja. Produk-produk ini bukan hanya barang yang dapat memuaskan
kebutuhan seseorang, tetapi terutama produk yang dapat memuaskan
kesenangan konsumen. Informasi mengenai produk, baik melalui iklan,
promosi langsung berkembang semakin bervariasi, gencar dan menggunakan
teknologi mutakhir yang sangat canggih, hal inilah yang merupakan salah
satu faktor timbulnya perilaku konsumtif remaja.
Tambunan (2001: 1) mengatakan remaja bagi produsen adalah salah
satu pasar yang sangat potensial alasannya karena pola konsumsi seseorang
terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk
rayuan iklan, ikut-ikutan teman, dan cenderung boros dalam menggunakan
untuk memasuki pasar remaja. Manajer pemasaran selalu tertarik pada remaja
karena remaja membeli begitu banyak produk. Minat remaja semakin hebat
pada tahun-tahun belakangan ini karena jumlah usia remaja semakin besar.
Perilaku konsumif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup
sekelompok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi
orang-orang dengan gaya hidup konsumtif. Dalam teori Maslow apabila kebutuhan
tidak dapat terpenuhi maka akan menjadi masalah besar. Tetapi ketika
kebutuhan tersebut menjadi sebuah keinginan menjadi perilaku konsumtif.
Teori Maslow berpesan bahwa, jika kita belum mampu memenuhi kebutuhan
fisik, lupakanlah keinginan untuk memuaskan kebutuhan harga diri. Masalah
terbesar terjadi apabila pencapaian tingkat keuangan itu dilakukan dengan
segala macam cara yang tidak sehat misalnya mencuri ataupun melakukan
tindakan yang dilarang hanya untuk mendapatkan uang untuk memenuhi
keinginannya. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak
ekonomi, tetapi juga dampak psikologis, sosial bahkan etika.
Fenomena ini menarik untuk diteliti mengingat perilaku konsumtif di
kalangan remaja merupakan salah satu fenomena yang sedang marak terjadi
terutama peserta didik yang bersekolah dan tinggal di kota-kota besar yang
sebenarnya belum memiliki kemampuan finansial untuk memenuhi
kebutuhannya. Selain itu dampak negatif yang ditimbulkan cukup
memprihatinkan banyak kalangan.
SMP Negeri 3 Muntilan merupakan Sekolah Standar Nasional
(SSN).Letak SMP Negeri 3 berada di pinggir Kabupaten Magelang yaitu
besar dan maju.Hal ini ditandai dengan adanya pusat perbelanjaan yang
ramai, restoran, salon, butik aneka jasa dan aneka warung makanan.Karena
letak SMP Negeri 3 yang berada di keramaian membuat para siswa terbiasa
dengan aneka toko-toko dan pusat perbelanjaan yang kemudian menarik
perhatian dan mendorong siswa-siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Muntilan
khususnya untuk berperilaku konsumtif.
Kenyataan di lapangan menunjukkan terdapatnya perilaku konsumtif
siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Muntilan berdasarkan hasil wawancara
dengan koordinator guru pembimbing di SMP Negeri 3 Muntilan.Guru
pembimbing mengemukakan bahwa gejala perilaku konsumtif siswa
diantaranya yaitu selalu berganti-ganti aksesoris, terlalu sering jajan di
sekolah, kurang bisa mengendalikan diri untuk menekan keinginannya untuk
membeli sesuatu dan, sering mengikuti gaya trend saat ini (wawancara, 12
Januari 2015). Hal ini diperkuat data hasil wawancara dan penyebaran angket
MLM (Media Lacak Masalah) pada kelas VIII A yang direkomendasikan oleh
guru pembimbing bahwa kelas tersebut sebagian besar boros dan yang
menampilkan sering berganti-ganti aksesoris. Selain itu didasari hasil analisis
angket kelas VIII A yang mengalami masalah borosada 71 % dari jumlah
siswa(pembagian angket MLM, 30 Januari 2015). Dari hasil wawancara
siswa diambil beberapa sebagai sampel. Ada seorang siswa yang
seringberganti-ganti jam tangan dansebagai koleksinya. Jam tangan tersebut
juga dipinjamkan pada teman lainnya. Sebagian siswa juga boros dalam
mengatakan sering bermain game online di warnet dan playstation
(wawancara, 30 Januari 2015).
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di SMP Negeri
3 Muntilan di kelas VIII A gejala yang muncul berkaitan dengan perilaku
konsumtif siswa antara lain: memakai aksesoris yang berlebihan dan
berganti-ganti setiap kali datang ke sekolah, mempunyai kebiasaan jajan di kantin
sekolah yang terlalu sering setiap kali jam istirahat maupun pergantian jam
ataupun jam pulang sekolah, berganti-ganti perlengkapan sekolah seperti tas,
sepatu, jam tangan, dan berpenampilan sesuai dengan apa yang sedang
menjadi trend saat ini. Siswa mempunyai handphone seri terbaru dan
pemakaian pulsa yang relatif boros yang peneliti ketahui dari hasil
wawancara beberapa siswa.
Berdasarkan hasil wawancara siswa mengatakan bahwa pemborosan
pembelian pulsa dikarenakan mereka sering menggunakan untuk internetan
yang tidak dapat terkontrol seperti untuk bermain game online, chattingan,
maupun youtube untuk menonton drama Korea Selain itu jam tangan
merupakan barang koleksi bagi mereka, ketika ada jam yang sedang trend
pada saat ini maka siswa akan membelinya. Berdasarkan pengamatan peneliti
di kelas siswa bahkan menunjukkan jam koleksinya. Berdasarkan observasi
bahwasannya siswa ketika pergantian jam sering ke kantin bahkan pada
isitirahat pertama siswa sudah menghabiskan uang saku 7000 rupiah.
Melihat fenomena dan permasalahan mengenai perilaku konsumtif
siswa tersebut, sekolah selama ini belum melakukan upaya yang serius dalam
masalah perilaku konsumtif yaitu keterbatasan guru pembimbing dalam
melayani masalah siswa. Guru BK mengatakan bahwa kelas VIII hanya
diampu oleh 1 guru pembimbing. Guru BK mengatakan bahwa dahulu pernah
mengadakan tabungan kelas dan tiap minggunya disetorkan ke guru BK.
Kegiatan tersebut hanya berjalan 3 bulan sebelum studytour, setelah studytour
siswa tidak melanjutkan kegiatan tersebut. Kegiatan tersebut dilakukan ketika
bimbingan klasikal. Namun hal tersebut dirasa kurang mampu menurunkan
perilaku konsumtif siswa. Oleh karena itu diperlukan suatu teknik bimbingan
yang mampu menarik perhatian siswa dan tidak membosankan namun dapat
membuat siswa nyaman pada saat pemberian bimbingan.
Guru BK dan Peneliti memandang masalah perilaku konsumtif ini
harus segera ditangani. Hal ini mengingat perilaku konsumtif sudah dalam
taraf mengkhawatirkan dan mengingat perilaku konsumtif dapat sebagai dasar
perkembangan selanjutnya. Salah satu layanan bimbingan dan konseling yang
dapat dimanfaatkan untuk menangani permasalahan ini adalah layanan
konseling kelompok.
Guru BK dan Peneliti memandang konseling kelompok dapat
memberikan dorongan, motivasi, kemudahan dalam pertumbuhan dan
perkembangan individu, sehingga individu dapat membuat
perubahan-perubahan dengan memanfaatkan potensi secara maksimal. Konseling
kelompok juga menitikberatkan pada interaksi antar anggota, anggota dengan
pemimpin kelompok dan sebaliknya. Pengaruh anggota kelompok masih
sangat kuat dan lebih percaya dalam kelompoknya daripada dengan orang
Wibowo (2005: 33) menjelaskan bahwa konseling kelompok
merupakan hubungan antar pribadi yang menekankan pada proses berpikir
secara sadar, perasaan-perasaan, dan perilaku anggota untuk meningkatkan
kesadaran akan pertumbuhan dan perkembangan individu yang sehat.
Konseling kelompok merupakan upaya bantuan untuk dapat memecahkan
masalah individu dengan memanfaatkan dinamika kelompok guna mengubah
perilaku konsumtif siswa dengan mendiskusikan permasalahan anggotanya
dengan berbagai pendekatan.
Dinamika kelompok adalah suasana kelompok yang hidup, yang
ditandai oleh semangat bekerjasama antar anggota kelompok untuk mencapai
tujuan kelompok. Dinamika interaksi sosial yang secara intensif terjadi dalam
suasana kelompok akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan
ketrampilan sosial pada umumnya, meningkatkan pengendalian diri, serta
tenggang rasa. Melalui konseling kelompok, siswa yang berperilaku
konsumtif diharapakan menjadi sadar akan dampak dari perilaku
konsumtifnya dan mampu membuat keputusan yang baik, mencapai jati diri
dan dapat mengaktualisasi diri kearah positif.
Adapun kelebihan dari konseling kelompok menurut Budi Astuti
(2012: 8-9) yaitu: (1) bersifat praktis, (2) anggota belajar berlatih perilaku
yang baru, (3) kelompok dapat digunakan untuk belajar mengekspresikan
perasaan, perhatian dan pengalaman, (4) anggota belajar ketrampilan sosial
dan belajar berhubungan antar pribadi secara lebih mendalam, dan (5)
Efektivitas konseling kelompok untuk mengatasi perilaku konsumtif
pernah diuji di SMP Negeri 12 Semarang. Hasil penelitian Febrian (2011)
menunjukkan tingkat perilaku konsumtif siswa di SMP Negeri 12 Semarang
sebelum diberikan layanan konseling kelompok sebesar 66, 04% termasuk
dalam kriteria tinggi, tetapi setelah diberikan layanan konseling kelompok
turun menjadi 48, 49%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka perilaku
konsumtif dapat diminimalkan melalui layanan konseling kelompok. Hasil
penelitian lain konseling kelompok juga dapat menangani kecanduan game
online di SMP N 2 Krian. Hasil penelitian Radhesti Vitnalia (2013)
menemukan bahwa penerapan konseling kelompok realita dapat digunakan
untuk membantu siswa dalam mengurangi kecanduan game online.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut peneliti mengajukan
sebuah judul penelitian yang selanjutnya diteliti di lapangan yaitu,
“Mengurangi Perilaku Konsumtif Melalui Layanan Konseling Kelompok
Pada Siswa Kelas VIII A SMP Negeri 3 Muntilan Tahun Ajaran 2014/ 2015.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat
diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :
1. Siswa-siswi kelas VIII A di SMP N 3 Muntilan mempunyai sifat boros
ditinjau dari kelas lain.
2. Siswa berperilaku sering berganti-ganti aksesoris, perlengkapan sekolah
maupun boros dalam pembelian pulsa.
3. Siswa mempunyai kebiasaan jajan di kantin sekolah sewaktu istirahat
maupun pergantian jam.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
disebutkan di atas, maka peneliti membatasi pada layananan konseling
kelompok untuk mengurangi perilaku konsumtif siswa kelas VIII A di SMP
Negeri 3 Muntilan.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut: Bagaimana mengurangi perilaku konsumtif
melalui layanan konseling kelompok pada siswa kelas VIII A di SMP Negeri
3 Muntilan?
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengurangi perilaku konsumtif melalui layanan konseling kelompok pada
siswa yang berperilaku konsumtif pada kelas VIII A di SMP Negeri 3
Muntilan
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini mampu menambah referensi mengenai upaya
2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meminimalkan perilaku
konsumtif sehingga siswa mampu mengendalikan perilaku konsumtif
dan belajar tidak boros dalam kehidupan sehari-hari.
b. Bagi Guru Pembimbing
Bagi guru pembimbing dapat menambah alternatif ataupun
masukan mengenai penggunaan layanan konseling kelompok guna
meminimalkan perilaku konsumtif siswa. c. Bagi Peneliti
Bagi peneliti dapat menambah masukan upaya untuk mengatasi
perilaku kosnumtif yang menggejala dikalangan remaja. d. Bagi Diknas
Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan
kebijakan terkait peraturan-peraturan untuk mengatasi perilaku negatif
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif
Menurut Tambunan (2001: 1) kata “konsumtif” (sebagai kata sifat,
lihat akhiran –if) sering diartikan dengan “konsumerisme”. Namun
konsumerisme cenderung mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan
dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menerangkan
keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang
diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan maksimal.
Konsumtif biasanya juga digunakan untuk menunjuk pada perilaku
konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar daripada nilai
barang, jasa yang kurang dibutuhkan yang akan dikonsumsinya.
Perilaku konsumtif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
keempat (2008) adalah paham atau gaya hidup yang menganggap
barang-barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya;
gaya hidup tidak hemat. Sedangkan menurut Scholte (dalam Wening,
2012: 10) perilaku konsumtif merupakan perilaku manusia memperoleh
dengan cepat (dan juga biasanya dengan cepat membuang) berbagai ragam
barang yang disediakan untuk pengguna dengan segera, tetapi
kepuasannya berlangsung sebentar saja.
Konsumsi dalam budaya konsumerisme tidak lagi hanya
memenuhi kebutuhan, tetapi telah menjadi gaya hidup global. Menurut
ensiklopedia bebas berbahasa Indonseia (Sri Wening, 2012: 11),
seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi
atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak
sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.
Menurut Sintiche Ariesny Parma (2007: 8) perilaku konsumtif
merupakan tindakan yang terlihat secara nyata dalam mendapatkan,
mengkonsumsi, dan menghabiskan barang hasil industri dan jasa tanpa
batas dan lepas kendali yang ditandai dengan kehidupan berlebihan.
Lubis (Sumartono, 2002: 117) mengatakan perilaku konsumtif
adalah perilaku yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang
rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf
yang sudah tidak rasional lagi. Secara pragmatis perilaku konsumtif dapat
diartikan sebagai suatu tindakan memakai produk yang tidak tuntas.
Artinya, belum habis sebuah produk yang dipakai, seseorang telah
menggunakan produk jenis yang sama dari merek yang lainnya. Atau
dapat disebutkan, membeli barang karena adanya hadiah yang ditawarkan
atau membeli suatu produk karena banyak orang yang memakai barang
tersebut (Sumartono, 2002: 117).
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Sumartono, 2002: 118)
mengatakan perilaku konsumtif adalah kecenderungan manusia untuk
menggunakan konsumsi tanpa batas dan manusia lebih mementingkan
faktor keinginan daripada kebutuhan. Sedangkan Anggasari (Sumartono,
2002: 118) menyebutkan bahwa perilaku konsumtif adalah tindakan
membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperhitungkan sehingga
berpendapat bahwa perilaku konsumtif merupakan suatu perilaku yang
ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala
hal yang dianggap paling mahal yang memberikan kepuasan dan
kenyamanan fisik sebesar-besarnya serta adanya pola hidup manusia yang
dikendalikan dan didorong oleh semua keinginan untuk memenuhi hasrat
kesenangan semata-mata.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, perilaku konsumtif dapat
dimaknai sebagai suatu tindakan seseorang yang membeli dan
menggunakan barang dan jasa secara berlebihan, berlandaskan keinginan
bukan kebutuhan, dan biasanya bersifat pemborosan. Tindakan ini pada
umumnya dilakukan hanya untuk mencapai kepuasan dan atau kesenangan
semata bagi pelakunya.
2. Aspek-Aspek Perilaku Konsumtif
Menurut Lina dan Rosyid (dalam Anindya Nurratri, 2012: 17-18)
ada 3 aspek perilaku konsumtif, yaitu:
a. Aspek pembelian implusif
Merupakan pembelian yang didasarkan pada dorongan dalam diri
individu yang muncul secara tiba-tiba.
b. Aspek pembelian tidak rasional
Merupakan pembelian yang dilakukan bukan karena kebutuhan,
tetapi karena gengsi agar dapat terkesan sebagai orang yang modern
dan mengikuti mode. Menurut Sofjan Assauri (2011: 127) yang
1) Kebanggaan karena penampilan pribadinya. 2) Pencapaian status sosial
3) Untuk terhindar dari keadaan bahaya atau ancaman. 4) Ingin mendapatkan pengakuan
5) Ingin menaikkan kedudukan
c. Aspek pembelian boros atau berlebihan
Merupakan pembelian suatu produk secara berlebihan yang
dilakukan oleh konsumen. Barang yang dibeli biasanya memiliki harga
yang mahal.
Indikator perilaku konsumtif menurut Swastha & Handoko (dalam
Sonia E, 2008: 25) adalah:
a. Implusive Buying
Aspek ini menunjukkan bahwa seseorang yang berperilaku
konsumtif semata-mata hanya didasari oleh hasrat yang tiba-tiba atau
keinginan sesaat, tanpa dilakukan melalui pertimbangan, tanpa
direncana, keputusan dilakukan ditempat pembelian. b. Pembelian Tidak Rasional ( non-rational buying )
Pembelian yang tidak rasional adalah pembelian yang tidak
didasari sifat emosional yaitu suatu dorongan untuk mengikuti orang
lain, berbeda dengan orang lain, tanpa mempertimbangkan dalam
mengambil keputusan, dan ada perasaan bangga. c. Pemborosan ( wasteful buying )
Pembelian yang mengutamakan keinginan daripada kebutuhan dan
menyebabkan remaja mengeluarkan uang untuk bermacam-macam
keperluan yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pokoknya.
Sedangkan yang diungkapkan oleh Sofjan Assauri (1987: 137)
bahwa ciri-ciri perilaku konsumtif ditandai dengan:
Pembeli melakukan kegiatan membeli barang dengan maksud
untuk menunjukkan dirinya berbeda dengan lainnya. Remaja dalam
memakai atau menggunakan suatu barang selalu ingin lebih dari yang
dimiliki orang lain.
b. Kebanggaan diri
Pembeli biasanya akan merasa bangga apabila ia dapat memiliki
barang yang berbeda dari orang lain, terlebih lagi apabila barang
tersebut jauh lebih bagus dan lebih daripada milik orang lain.
c. Ikut-ikutan
Pembeli pada umumnya melakukan tindakan pembelian yang
berlebihan hanya untuk meniru orang lain dan mengikuti trend mode
yang sedang beredar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
d. Menarik perhatian orang lain
Pembelian terhadap suatu barang dilakukan karena seseorang ingin
menarik perhatian orang lain dengan menggunakan barang yang
sedang popular saat itu karena remaja cenderung suka menjadi
perhatian orang lain.
Dari beberapa pendapat para tokoh di atas, peneliti memilih
pendapat Lina dan Rosyid (2012) bahwa perilaku konsumtif memiliki
aspek-aspek yaitu aspek pembelian impulsif, pembelian tidak rasional, dan
pembelian boros atau berlebihan. Aspek-aspek di atas telah cukup
menggambarkan bahwa faktor keinginan merupakan dasar bagi mereka
melakukan tindakan tersebut. Selain itu, perilaku ini sama sekali tidak
menunjang harga diri dalam pergaulan semata tanpa memandang
kebutuhan sebenarnya.
3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif
Menurut Simamora (2003: 4-12) munculnya perilaku konsumtif
disebabkan oleh dua hal yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Agar
lebih jelas penulis merinci dari beberapa sumber sebagai berikut:
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif
dari dalam diri individu itu sendiri yang meliputi: 1) Pribadi (personal)
a) Gaya hidup
Kotler dan Amstrong (2008: 170) mengemukakan seseorang
yang memiliki gaya hidup mewah cenderung lebih banyak
mengkonsumsi barang dibandingkan dengan seseorang yang
memiliki gaya hidup sederhana. b) Kepribadian dan konsep diri
Menurut Mangkunegara (1988:49-51) kepribadian dapat di
definisikan sebagai suatu bentuk dari sifat-sifat yang ada pada diri
individu yang sangat menentukan perilakunya. Setiap orang
memiliki kepribadian salah satunya adalah rasa percaya diri yang
berbeda-beda, sehingga memungkinkan adanya pandangan yang
berbeda terhadap suatu barang. Kepribadian ikut berperan dalam
mempengaruhi perilaku konsumsi karena individu mempunyai
kecenderungan untuk membeli produk sesuai dengan dirinya, unik
Konsep diri didefinisikan sebagai cara kita melihat diri sendiri
dan dalam waktu tertentu sebagai gambaran tentang apa yang kita
pikirkan. Seseorang yang memiliki konsep diri bahwa dengan
banyak membeli barang ia akan lebih dipandang dan dihargai oleh
orang lain, akan menyebabkan orang tersebut terus melakukan
tindakan pembelian. Tindakan tersebut apabila tidak terkontrol
akan menimbulkan perilaku konsumtif.
2) Psikologis a) Motivasi
Menurut Kotler (dalam Fransiscus, 2009: 25) seseorang
memiliki banyak kebutuhan pada waktu tertentu. Motivasi dapat
didefinisikan sebagai kebutuhan yang cukup mengarahkan
seseorang untuk mencari kepuasan. Motivasi membeli seseorang
dapat muncul dari kebutuhan untuk diakui dan dihargai oleh orang
lain atau rasa ingin memiliki terhadap suatu barang. Semakin ingin
diakui dan dihargai orang lain, maka tindakan pembeliannya akan
semakin tinggi sehingga memicu perilaku konsumtif.
b) Persepsi
Persepsi disini maksudnya adalah pemahaman dari konsumen
terhadap suatu barang dari pengetahuan-pengetahuan yang telah
diperoleh. Bagaimana orang itu bertindak akan dipengaruhi oleh
persepsi mengenai situasi. Ketika barang yang ditawarkan bagus
tersebut akan membeli barang yang ditawarkan. Sebaliknya, jika
barang tersebut tidak sesuai, maka ia akan menolaknya. c) Proses belajar
Proses belajar menjelaskan perubahan dalam perilaku
seseorang yang timbul dari pengalaman, dan kebanyakan perilaku
manusia adalah hasil dari belajar. Proses belajar pada suatu
pembelian terjadi apabila konsumen ingin menaggapi dan
memperoleh suatu kepuasan, atau sebaliknya, tidak terjadi apabila
konsumen merasa dikecewakan oleh produk yang kurang baik,
sehingga konsumen dalam proses pembeliannya selalu
mempelajari sesuatu. Selain itu dapat dipengaruhi oleh orangtua
yang mendidik dan anak kebutuhannya terpenuhi, sehingga anak
dapat belajar dari kesehariannya atau mencontoh orangtuanya.
d) Kepercayaan dan sikap
Mangkunegara (1988:50) mengatakan sikap dan keyakinan
konsumen terhadap suatu produk biasanya berdasarkan harga,
nama merek, iklan, dan rancangan kemasan. Semakin baik
komponen-komponen tersebut dalam mengelabuhi konsumen,
dapat menyebabkan kegiatan pembelian yang terus menerus.
Apabila seseorang merasa dihargai ketika memakai barang yang
dipakai, maka seseorang tersebut akan merasa percaya terhadap
barang yang dibeli/bermerek.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif
a) Budaya dan sub-budaya
Dalam hal ini, sub-budaya meliputi kewarganegaraan, agama,
kelompok, ras, dan daerah geografis. Seseorang yang tinggal di
daerah dengan masyarakat yang konsumtif di sekitarnya, secara
langsung ataupun tidak dapat menularkan perilaku kosnsumtif
yang sama. Hal ini terjadi karena budaya atau culture akan
membawa sistem informasi yang mengkodekan cara orang
bersikap di sebuah kelompok karena adanya interaksi (Rober,
2010: 223).Menurut Kotler (dalam Fransiscus, 2009: 26) budaya
merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar.
b) Kelas Sosial
Seseorang yang memiliki tingkat sosial kelas tinggi, akan
cenderung lebih banyak mengkonsumsi barang mewah yang mahal
dan beragam karena tingkat pendapatan yang mereka miliki juga
tinggi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat sosial kelas
bawah akan lebih sedikit mengkonsumsi barang dibandingkan
tingkat kelas sosial di atasnya (Simamora, 2003: 4-12).
2) Sosial
a) Kelompok rujukan
Kelompok rujukan adalah kelompok sosial yang menjadi
ukuran seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk
membentuk kepribadian dan perilakunya dengan cara identifikasi.
Sementara seseorang juga akan melihat kelompok rujukannya yaitu
‘genk’ atau teman sebayanya dalam berperilaku menentukan
artis atau idolanya dalam berpenampilan. Kelompok rujukan ini
lebih kuat pengaruhnya pada seseorang karena akan membentuk
kepribadian dan perilakunya. Kelompok rujukan juga
mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang dalam pembeliannya,
dan sering dijadikan pedoman untuk konsumen dalam bertingkah
laku. Anggota-anggota kelompok rujukan sering menjadi penyebar
pengaruh dalam hal selera dan hobi.
b) Peran dan status
Setiap peran membawa status yang mencerminkan
penghargaan yang diberikan oleh masyarakat. Ketika seseorang
memakai suatu barang yang dipandang masyarakat bagus, maka
sesorang tersebut akan mendapatkan status yang baik. Dalam
memilih suatu produk, seseorang seringkali memilih produk yang
menunjukkan status mereka dalam masyarakat seperti halnya
dalam kelas sosial yaitu barang yang terlihat mewah.
c) Lingkungan
Rinata (2010: 5-6) menjelaskan perspektif pengaruh perilaku
disebutkan bahwa kekuatan lingkungan memaksa pembeli untuk
melakukan pembelian tanpa harus terlebih dahulu membangun
perasaan atau kepercayaan terhadap produk. Menurut perspektif
ini, pembeli tidak saja melalui proses pengambilan keputusan
rasional, namun juga bergantung pada perasaan untuk membeli
produk atau jasa tersebut. Sebagai gantinya tindakan pembelian
lingkungan seperti sarana promosi penjualan, lingkungan fisik, dan
tekanan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan dari uraian
di atas bahwa lingkungan akan sangat memepengaruhi perilaku
konsumtif. Misalnya lingkungan dapat menghipnotis seseorang
untuk membeli, ketika ada iklan yang menarik atau teman yang
memakai barang yang bagus.
d) Hadirnya Iklan
Menurut Suyasa dan Fransisca (dalam Meida Devi Wardhani,
2009: 28) iklan merupakan pesan yang menawarkan sebuah produk
yang ditunjukkan kepada semua orang lewat suatu media yang
bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat untuk mencoba dan
akhirnya membeli produk yang ditawarkan. Widiastuti (dalam
Meida Devi Wardhani, 2009:28) menyebutkan iklan juga mengajak
agar mengkonsumsi barang dan jasa hanya berdasarkan keinginan
dan bukan kebutuhan serta harga yang tidak rasional. Iklan yang
menarik akan mendorong seseorang untuk berperilaku konsumtif.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya perilaku
konsumtif remaja terjadi tidak dengan sendirinya. Ada beberapa faktor
yang berpotensi menjadi penyebabnya. Perilaku konsumtif juga
dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara garis besar dibedakan atas
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi
sesorang berperilaku konsumtif adalah: (1) Faktor Internal yaitu gaya
hidup, kepribadian dan konsep diri, motivasi, persepsi, proses
budaya dan sub-budaya, kelas sosial, kelompok rujukan, serta peran dan
status, lingkungan dan hadirnya iklan.
4. Dampak Perilaku Konsumtif
Perilaku konsumtif memiliki dampak negatif bagi konsumen atau
pihak lain. Awaliyah dan Hidayat (2008: 72-73) menyimpulkan dampak
negatif perilaku konsumtif yaitu:
a. Mengurangi kesempatan untuk melakukan kegiatan menabung. Jika
tabungan rendah, maka investasi juga akan rendah. Jika investasi
rendah, maka pendapatanakan cenderung rendah. Pendapat tersebut
sejalan dengan pendapat Wagner (2009: 9) yang menjelaskan bahwa
perilaku konsumtif mengurangi kesempatan untuk menabung, karena
orang akan lebih banyak membelanjakan uangnya dibandingkan
menyisihkan untuk ditabung.
b. Perilaku konsumtif cenderung menjadikan seseorang melupakan
kebutuhan yang akan datang. Wagner (2009: 9) mengatakan seseorang
cenderung tidak memikirkan kebutuhan yang akan datang, orang akan
mengkonsumsi lebih banyak barang pada saat sekarang tanpa berpikir
kebutuhannya di masa datang.
c. Hidup berfoya-foya menimbulkan kecemburuan sosial. Menurut
Wagner (2009: 9) pola hidup yang boros akan menimbulkan
kecemburuan sosial. Hal ini disebabkan seseorang yang mempunyai
uang lebih akan membeli semua barang yang diinginkan tanpa
memikirkan harga barang tersebut murah atau mahal atas barang
uang lebih maka tidak sanggup membeli barang yang diinginkan dan
mahal. Sehingga dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi kalangan
bawah.
Sedangkan menurut Nurdin dkk (2008: 258) perilaku konsumtif
memiliki aspek negatif bagi konsumen. Aspek negatif dari perilaku
konsumtif merupakan sisi buruk dari perilaku konsumtif adalah timbulnya
pengonsumsian barang-barang yang merugikan bagi diri seseorang
misalnya: minuman keras, rokok dan narkoba. Misalnya dalam penelitian
Sukari dkk (2013) bahwa ada salah satu siswa yang menyatakan dalam
rangka memenuhi kebutuhannya membeli pakaian, mereka melancarkan
cerita bohong kepada orangtuanya, semata-mata agar orangtuanya mau
mengeluarkan uang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif
yang dilakukan oleh individu atau dalam hal ini siswa mempunyai dampak
negatif. Dampak negatif tersebut berpengaruh buruk dan merugikan,
mengurangi kesempatan untuk melakukan kegiatan menabung, cenderung
menjadikan seseorang melupakan kebutuhan yang akan datang, dan
cenderung hidup berfoya-foya, dan menimbulkan kecemburuan sosial.
B. Perilaku Konsumtif Pada Remaja 1. Pengertian Remaja
Menurut Hurlock ( 1994: 200) usia rentang remaja adalah “usia
remaja antara usia 13 sampai 21 tahun dengan pembagian remaja awal usia
13/ 14 tahun-17 tahun dan remaja akhir usia 17 tahun sampai 21 tahun”.
dengan masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa. Pengertian remaja menurut Larson dan Others
(Santrock, 2005: 21) adalah:
Alolescence as the period of transition between childhood and adulthood that involves biological, cognitive, and socioemational change. A key task of adolescence is preparation for adulthood. Indeed, the future of any culture hinges on how effective this preparation is.
Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak dan
masa dewasa serta meliputi perubahan secra biologi, kognitif dan transisi
sosial (sosial-emosional). Tugas utama masa remaja merupakan masa
persiapan untuk memasuki masa dewasa.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah
masa puncak pertumbuhan dan perkembangan yang ditandai dengan
adanya proses perubahan fisik, kematangan seksual, perkembangan sosial,
psikologis dan dapat bertindak dengan tujuan yang jelas.
Menurut Santrock (2005: 21) rentang usia remaja dapat
berbeda-beda sesuai dengan budaya dan keadaan sejarah daerah tersebut. Usia
remaja dimulai kira-kira pada umur 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada
umur 18 sampai 22 tahun. Secara biologi, kognitif dan sosial-emosi
perubahan pada remaja terentang dari perkembangan fungsi seksual
menuju proses berfikir secara abstrak dan mandiri. Santrock (2002: 15)
menyatakan bahwa “awal usia remaja pada anak laki-laki terjadi kira-kira
2 tahun lebih telat daripada anak perempuan, yakni 12 ½ tahun usia awal
rata-rata pada anak laki-laki, 10 ½ tahun usia awal rata-rata pada
Berdasarkan pendapat mengenai usia remaja tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa rentangan usia remaja berada dalam usia 10 ½ / 12 ½
-21/ 22 tahun, dengan pembagian remaja awal berada pada usia 10 ½ / 12
½ -17/ 18 tahun dan remaja akhir 17/ 18–21/ 22 tahun.
Dari beberapa rumusan yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Mengalami perkembangan semua fungsi, dan
berlangsung dalam batasan usia 10 ½ sampai 21 tahun yang terjadi pada
perempuan dan 12 ½ sampai 22 tahun yang terjadi pada laki-laki.
2. Ciri–Ciri Remaja Awal
Masa remaja merupakan masa dimana memiliki ciri-ciri tertentu
yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Menurut
Hurlock (1991: 207-209) ciri-ciri remaja adalah masa periode yang
penting, masa mencari identitas, masa yang tidak realistik, masa ambang
dewasa, dan masa menimbulkan ketakutan. Lebih rinci, ciri-ciri masa
remaja awal akan dipaparkan pada bagian di bawah ini:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Pertumbuhan fisik yang cepat dan penting disertai dengan
cepatnya perkembangan mental yang cepat. Terutama pada awal
remaja semua perkembangan itu menimbulkan penyesuaian mental
dan membentuk sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa
menentukan bagi mereka dalam berperilaku, memiliki sifat dan gaya
hidup yang paling sesuai bagi dirinya. c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa
remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal remaja
inilah perubahan fisik terjadi dengan pesat. Ada lima perubahan yang
bersifat universal pada remaja yaitu 1) meningginya emosi yang
intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis
yang terjadi, 2) perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan
oleh kelompok sosial sehingga dapat menimbulkan masalah baru, 3)
dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga
berubah, dan 4) adanya sikap ambivalen pada remaja. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Setiap periode mempunyai masalah sendiri-sendiri, namun
masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi. Hal
ini dikarenakan pada masa kanak-kanak mereka terbiasa diselesaikan
oleh orangtua mereka, sedangkan pada masa remaja mereka
menganggap sudah mandiri sehingga sudah tidak meminta bantuan
pada orang lain.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Pada masa remaja mereka mulai menarik perhatian pada diri
sendiri agar dianggap sebagai individu dan pada saat yang sama
mereka juga mencoba memberi identitas dirinya terhadap kelompok
sebayanya.
f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Masa ini dikatakan tidak realistik karena remaja melihat diri
sebagaimana adanya. Seiring bertambahnya pengalaman pribadi dan
sosial serta meningkatnya kemampuan berfikir rasional maka remaja
mulai lebih realistik.
g. Masa remaja diambang masa dewasa
Remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan
tahun dan memberikan kesan bahwa sudah hampir dewasa.
h. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak
yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak
perilaku menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan
mengawasi kehidupan masa remaja.
Pendapat lain mengenai ciri-ciri remaja awal menurut Andi
Mapiare (1982: 32-35) yaitu ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi,
sikap dan moral terutama menonjol menjelang akhir remaja awal,
kecerdasan atau kemampuan mental, status remaja awal sangat sulit
ditentukan, remaja awal banyak masalah yang dihadapi, remaja awal masa
yang kritis.
Dari pandangan beberapa ahli maka dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri masa remaja merupakan masa peralihan masa yang sulit untuk mencari
identitas diri sehingga akan menimbulkan banyak masalah.
3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja
Remaja adalah kata lain dari adolescence yang berarti tumbuh,
perkembangan. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dikategorikan
sebagai masa remaja awal. Dalam masa ini ada bayak perkembangan yang
membawa perubahan pada remaja, perkembangan tersebut antara lain:
a. Perkembangan Fisik
Hurlock (1980:210) mengungkapkan bahwa pertumbuhan fisik
remaja tidak akan sepenuhnya sempurna bahkan sampai masa remaja
akhir. Terdapat penurunan dalam laju pertumbuhan remaja dan
perkembangan internal remaja lebih menonjol daripada perkembangan
eksternal remaja. Perkembangan internal remaja berkaitan dengan
tinggi badan, berat badan, proporsi tubuh, organ seks dan ciri-ciri seks
sekunder. Kemudian perkembangan eksternal remaja yaitu meliputi
sistem pencernaan, sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem
endokrin dan jaringan tubuh.
Perkembangan fisik yang terjadi pada remaja akan berbeda satu
sama lain, ada yang cepat namun ada juga yang lambat. Tidak semua
remaja dapat menerima perubahan fisik yang mereka alami, akibat dari
hal ini kemudian dapat menimbulkan perasaan tidak percaya diri. Rasa
tidak percaya diri yang muncul pada diri seorang remaja dapat
memengaruhi kualitas hubungan sosial remaja tersebut. Hal ini sangat
berlawanan dengan salah satu tugas perkembangan remaja yaitu
mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya
baik pria maupun wanita.
b. Perkembangan Kognitif
Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut Piaget (dalam Ratna
tindakannya tersebut merupakan bentuk penyesuaian diri biolgis.
Remaja yang duduk di bangku SMP masuk pada tahapan remaja awal
dan mereka mengalami perkembangan kognitif. Tahapan perkembangan
kognitif pada usia remaja awal adalah pemikiran operasional formal
atau tahapan operasional formal. Dalam tahap ini Santrock (2007:126)
menjelaskan bahwa karakteristik yang paling menonjol adalah ada
kecenderungan remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan
pemikiran pada masa anak-anak. Remaja tidak lagi terbatas pada
pengalaman-pengalaman yang konkret dalam proses pemikirannya.
Remaja mulai menciptakan situasi-situasi fantasi dan mencoba bernalar
dengan logis untuk mengatasi fantasi-fantasinya tersebut.
Pemikiran yang merupakan sifat dasar abstrak dalam tahap
pemikiran formal operasional adalah pemikiran yang mengandung
banyak kemungkinan dan idealisme. Cara berpikir ini akan membawa
remaja untuk membandingkan dirinya dengan orang lain menurut
standar yang telah ia tetapkan.
Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang
belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara
berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang
dimaksud egosentrisme adalah ketidakmampuan melihat suatu hal dari
sudut pandang orang lain (Papalia dan Olds, 2011). Elkind (dalam
Papalia & Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir
Hurlock (dalam Papalia dan Olds, 2001) menjelaskan personal
fable sebagai keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak
terpengaruh oleh hukum alam. Personal fable memunculkan adanya
anggapan kalau dirinya mempunyai kekebalan terhadap hal-hal yang
bersifat negatif dan cenderung merugikan. Bahwa segala peristiwa,
kejadian atau pengalaman buruk mungkin terjadi pada orang lain, tetapi
hal itu tidak terjadi pada dirinya.
Adapun penyebab personal fableyaitu adanya kemampuan
imaginary audience yang dimiliki oleh remaja, yaitu semacam
keyakinan bahwa dia mendapat perhatian yang besar dari orang lain.
Dengan kemampuan inilah remaja ingin menghindari perilaku yang
“salah” dimata orang lain, terutama teman-temannya. Sehingga
membuat mereka berperilaku berlebihan agar diterima oleh
teman-temannya baik cara perbicara, berpakaian, dan berperilaku.
c. Perkembangan Sosio-Emosional
Selain perekembangan fisik dan kognitif, remaja juga mengalami
perkembangan sosio-emosional. Hurlock (1980: 212) menyatakan
bahwa masa remaja sebagai periode “badai dan tekanan” suatu masa di
mana ketegangan emosi meningkat sebagai akibat dari perubahan fisik
dankelenjar. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar
dan situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional dalam
kehidupan sehari-harinya.
Remaja dengan kematangan emosi yang baik dapat membangun
hubungan sosial yang baik dengan orang lain, dan hubungan sosial yang
karena itu, perkembangan emosi dan sosial pada remaja menjadi hal
yang penting setelah remaja tersebut mengalami perkembangan fisik
dan kognitif.
d. Perkembangan Sosial
Pada usia remaja pergaulan dan interaksi sosial dengan teman
sebayanya bertambah luas dan kompleks dibandingkan dengan
masa-masa sebelumnya, termasuk pergaulan dengan lawan jenis. Di sini
remaja ingin tampil beda dalam kelompoknya. Oleh karena itu setiap
remaja akan selalu berusaha untuk diterima oleh kelompoknya.
e. Perkembangan Kepribadian
Syamsu Yusuf (2006: 200) mengemukakan bahwa sifat-sifat
kepribadian mencerminkan perkembangan fisik, seksual, emosional,
kognitif, dan nilai-nilai. Remaja merupakan saat berkembangnya jati
diri atau identitas. Perkembangan identitas merupakan aspek utama bagi
kepribadian sehat yang mampu merefleksikan diri, kemampuan untuk
mengidentifikasi orang lain, dan mempelajari tujuan-tujuan untuk dapat
berpartisipasi dalam kebudayaan. f. Perkembangan Moral
Remaja memiliki tugas perkembangan lain selain membangun
hubungan sosial yaitu mempelajari apa yang kelompok harapkan
darinya dan kemudian membentuk perilakunya agar sesuai dengan
harapan sosial tanpa harus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam
oleh hukuman seperti yang dialami pada masa kanak-kanak (Hurlock,
1980: 225).
Dari beberapa penjelasan mengenai aspek perkembangan remaja di
perkembangannya mengalami perkembangan fisik, kognitif, sosial,
emosional dan moral.
4. Perilaku Konsumtif Remaja
Hurlock (1991) menyatakan salah satu ciri masa remaja adalah
masa yang tidak realistik. Pada masa ini, umumnya remaja memandang
kehidupan sesuai dengan sudut pandangnya sendiri, dan pandangannya itu
belum tentu sesuai dengan pandangan orang lain dan juga dengan
kenyataan. Selain itu, remaja memandang segala sesuatunya bergantung
pada emosinya dalam menentukan pandangannya terhadap suatu objek
psikologis. Sulitnya, emosi remaja umumnya belum stabil. Secara
psikososial terlihat perkembangan remaja dalam memandang dan
menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan peran mereka sebagai
konsumen.
Menurut Lina dan Rosyid (dalam Anindya Nurratri, 2012: 17-18)
ada 3 aspek perilaku konsumtif, yaitu:
a. Aspek pembelian implusif
Merupakan pembelian yang didasarkan pada dorongan dalam diri
individu yang muncul secara tiba-tiba.
b. Aspek pembelian tidak rasional
Merupakan pembelian yang dilakukan bukan karena kebutuhan,
tetapi karena gengsi agar dapat terkesan sebagai orang yang modern
dan mengikuti mode. Menurut Sofjan Assauri (2011: 127) yang
1) Kebanggaan karena penampilan pribadinya. 2) Pencapaian status sosial.
3) Untuk terhindar dari keadaan bahaya atau ancaman. 4) Ingin mendapatkan pengakuan
5) Ingin menaikkan kedudukan
c. Aspek pembelian boros atau berlebihan
Merupakan pembelian suatu produk secara berlebihan yang
dilakukan oleh konsumen. Barang yang dibeli biasanya memiliki harga
yang mahal.
Seiring perkembangan biologis, psikologis, sosial tersebut, remaja
memasuki tahap untuk sudah lebih bijaksana dan sudah lebih mampu
membuat keputusan sendiri. Hal ini meningkatkan kemandirian remaja,
termasuk juga posisinya sebagai konsumen. Remaja memiliki pilihan
mandiri mengenai apa yang hendak dilakukan dengan uangnya dan
menentukan sendiri produk apa yang ingin ia beli. Namun di lain pihak,
remaja sebagai konsumen memiliki karakteristik mudah terpengaruh,
mudah terbujuk iklan, tidak berpikir hemat, dan kurang realistis. Bahkan
dapat dikatakan bahwa seseorang remaja akan mengupayakan sama dalam
segala hal dengan harapan dapat dihargai dan diterima oleh kelompok
sosial tersebut. Pernyataan di atas didukung karena di dalam diri remaja
mengalami perkembangan kognitif bahwa egosentrisme pada diri remaja
berbentuk imaginary audience (penonton khayalan) dan personal fable
(dongeng pribadi). Gejala dari imaginary audience adalah mencakup
berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian seperti keinginan agar
kehadirannya diperhatikan, semua aktivitasya disadari oleh orang lain dan
Reynolds dan Wells (1977: 76) menyimpulkan perubahan fisik,
psikologis, dan sosial yang terjadi pada remaja mempengaruhi remaja
sebagai konsumen. Salah satunya adalah bentuk sikap dan ketertarikan
remaja, misalnya minat yang sangat kuat terhadap penampilan. Saat masa
remaja, minat pribadi dan sosial merupakan kelompok minat yang paling
kuat dirasakan. Minat adalah suatu perangkat mental yang terdiri dari
suatu campuran dari perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut
atau kecenderungan lain yang mengarahkan individu kepada suatu pilihan
tertentu (Mappiare, 1982: 73).
Minat pribadi timbul karena remaja menyadari bahwa penerimaan
sosial terutama peer groupnya sangat dipengaruhi oleh keseluruhan yang
dinampakkan remaja. Kemampuan yang dimiliki remaja dapat
meningkatkan atau menurunkan pandangan teman-teman sebaya terhadap
dirinya. Sesuatu yang bersifat pribadi seperti tampang, bentuk tubuh,
pakaian atau perhiasan, dan sebagainya, sangat diminati karena erat
berkaitan dengan keberhasilannya dalam pergaulan. Remaja menjadi
sangat memperhatikan penampilan dan menghabiskan banyak uang dan
waktu serta usaha yang sungguh-sungguh untuk membuat penampilannya
menjadi lebih baik (Ibrahim, 2002: 11).
Remaja berusaha membentuk citra atau image tentang dirinya dan
upaya ini terlihat dalam suatu gambaran tentang cara setiap remaja
mempersepsikan dirinya, termasuk didalamnya cara remaja menampilkan
diri secara fisik sehingga mendorong remaja melakukan berbagai upaya
Menurut Wahana, dkk (1995: 20) mengatakan bahwa perilaku
konsumtif dikategorikan menjadi tinggi, sedang dan rendah. Keterlibatan
pembeli yang tinggi adalah pembeli berhubungan erat dengan kepentingan
dan image konsumen itu sendiri. Kategori tinggi terdapat proses complex
decision making yaitu terjadi apabila keterlibatan pembeli pada
pengambilan keputusan. Contoh ketika remaja membeli handphone dan
sepatu. Kasus tersebut remaja membeli dengan melihat merek yang ada
dalam barang tersebut. Selain itu secara berturut-turut konsumen membeli
barang, seperti barang koleksi.
Kategori sedang terdapat proses brand loyalty dimana ketika
pilihan berulang konsumen belajar dari pengalaman masa lalu dan
membeli merek yang memberikan kepuasan dengan sedikit atau tidak ada
proses pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Contoh pembelian
sepatu merek atau jam koleksi. Ketika proses tersebut menjadi kebutuhan
bagi remaja tidak masalah, tetapi ketika menjadi keinginan maka
menjadikan remaja untuk membeli. Sehingga remaja dapat berperilaku
konsumtif.
Kategori rendah terdapat proses interia yaitu tingkat kepentingan
dengan barang adalah rendah dan tidak ada pengambilan keputusan
seketika. Ketika membeli suatu barang benar-benar karena membutuhkan
barang tersebut. Contoh membeli sepatu ketika memang sepatu tersebut
dibutuhkan, karena sepatu yang terdahulu sudah rusak. Selain itu dalam
kategori rendah konsumen sangat memikirkan keputusan yang akan