1
mengenai proses pengambilan keputusan yang individu hadapi
mengenai pengambilan keputusan untuk hidup membiara, disertai
dengan perumusan masalah yang hendak diteliti dan juga akan
dikemukakan tujuan dari penelitian serta manfaat dari penelitian ini.
A. Latar Belakang
Setiap harinya setiap individu menghadapi proses-proses
pengambilan keputusan yang akan menimbulkan perubahan pada
kehidupannya. Bahkan dari sejak kecil individu sudah dihadapkan pada
pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya kelak,
baik memutuskan hal-hal yang sederhana sampai pada suatu
pengambilan keputusan yang besar. Contohnya saja saat masa
kanak-kanak, individu memutuskan memilih teman dekat di sekolah, lalu pada
masa remaja memilih kegiatan ekstrakurikuler yang diminati. Masih
banyak lagi pengambilan keputusan yang harus dihadapi individu pada
masa-masa selanjutnya (masa dewasa), seperti halnya memilih sekolah,
memilih bidang studi, memilih pekerjaan, dan memilih pasangan hidup.
Bahkan dikatakan bahwa masa remaja ialah masa dimana frekuensi
pengambilan keputusan meningkat (Santrock, 2002). Hal tersebut
menegaskan bahwa dalam perkembangan individu, proses pengambilan
Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh setiap individu
tersebut pada dasarnya merupakan hasil dari salah satu fungsi berpikir.
Pengambilan suatu keputusan juga merupakan bentuk dari proses
berpikir yang terarah, khususnya cara berpikir yang kritis (Sarwono,
1976). Sepanjang hidup individu harus menetapkan keputusan dan
setiap keputusan yang diambil tentunya akan disertai dengan
konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi pada masa depan. Contoh
yang paling mudah adalah keputusan untuk memilih berkuliah di
Universitas di luar kota, keputusan itu mendatangkan konsekuensi
seperti, harus kos dan jauh dari keluarga, jarang bertemu dengan
keluarga, mampu mengurus diri sendiri dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan keputusan kita memilih kuliah di luar kota. Adanya
konsekuensi pada keputusan yang dilakukan individu dapat dibuktikan
dengan wawancara yang dilakukan pada seorang mahasiswa yang
menyesal dengan keputusannya memilih jurusan:
Pengambilan keputusan yang diambil oleh RA untuk memilih jurusan
pendidikan guru tidak membuatnya bersemangat dalam menjalani
kuliah.
Individu harus mengetahui konsekuensi-konsekuensi yang mungkin
akan dihadapi sebelum mengambil sebuah keputusan, karena keputusan
yang diambil akan mempunyai pengaruh yang besar pada
kehidupannya ke depan. Pengambilan keputusan untuk persoalan yang
sederhana, bila salah memutuskan maka akan mengakibatkan kerugian
kecil, dan tidak begitu merugikan, namun pengambilan keputusan
persoalan yang besar yang meyangkut hidup individu yang penting, jika
salah dapat sangat merugikan bahkan membuat hidup individu tidak
bahagia (Suparno, 2009).
Ketika individu memasuki masa dewasa bukan hanya pengambilan
keputusan yang meningkat, tetapi juga masa dewasa adalah masa
komitmen (Hurlock, 1999). Ketika individu-individu muda ini
mengalami perubahan tanggung jawab dari seseorang yang tergantung
pada orangtua menjadi orang dewasa yang mandiri, maka mereka
menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru. Individu
mulai memainkan peran baru salah satu peran baru pada individu
adalah pekerjaan atau karir. Dalam Santrock (2009) pengambilan
keputusan berada dalam judul besar yaitu pekerjaan. Hal ini juga
menjadi tema penting pada masa dewasa awal (Santrock, 2009).
Bahkan dikatakan dalam buku “Kepribadian Sehat Untuk Mengembangkan Optimisme”, bahwa sifat lain dari orang yang
untuk memperoleh arti ialah dengan mengungkapkan nilai-nilai daya
cipta, dan nilai-nilai tersebut dapat diungkapkan dengan sangat baik
melalui pekerjaan dan tugas seseorang (Baihagi, 2008).
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Charlys dan Kurniati (2006), bahwa manusia dalam
perkembangannya harus membuat banyak pilihan, dan di antara
banyaknya pilihan, manusia harus memilih profesi atau pekerjaan yang
harus dijalani. Setiap profesi mengandung berbagai macam
konsekuensi, seperti seorang dokter memiliki konsekuensi siap untuk
dipanggil saat malam untuk keadaan darurat. Seorang sekretaris
memiliki konsekuensi menjaga rahasia perusahaan, demikian juga
seorang biarawan maupun biarawati (Charlys & Kurniati, 2006).
Fenomena mengenai pengambilan keputusan pemilihan profesi pun
ditemukan pada seorang wanita yang memilih hidup membiara dan
memilih profesi sebagai biarawati. Dalam buku Autobiografi Spiritual
berdasarkan pengalaman dari Armstrong (1997) menceritakan
bagaimana proses pengambilan keputusan seorang gadis mengambil
keputusan untuk hidup membiara. Berbagai tantangan yang dihadapi
olehnya, baik tantangan dari dalam dirinya maupun dari orang lain.
Kisah serupa juga datang dari seorang wanita bernama Katie Colbran
(Robinson, 2009), dimana Katie telah bergumul selama empat tahun
dengan kehidupan hedonismenya dan kemudian dengan penuh
dan memulai untuk hidup membiara dan menjadi 1suster. Kisah lain
pun datang di negeri Thailand, penelitian yang dilakukan oleh Tomalin
(2006) pada biarawati di Thailand. Thailand menjadi salah satu tempat
yang gencar dengan gerakan kebangkitan 2bhikkhuni, dimana banyak
wanita yang ingin menjadi bhikkhuni. Keputusan mereka tersebut
dilatarbelakangi oleh motivasi mereka untuk mengangkat martabat
mereka sebagai wanita dengan menjadi bhikkhuni.
Keputusan mereka untuk hidup membiara dan menjadi biarawati,
membuat mereka diperhadapkan pada suatu proses pengambilan
keputusan. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut tentunya
akan ada proses-proses psikologis yang menyertai, karena seperti yang
telah dikatakan sebelumnya bahwa setiap pengambilan keputusan yang
diambil memiliki konsekuensi di masa depan. Hal tersebut yang
menjadi dasar keingintahuan peneliti mengenai fenomena yang ada,
yaitu profesi biarawati. Biarawati sendiri adalah seseorang perempuan
yang hidup di dalam biara (KBBI, 2008). Biarawati juga dapat diartikan
sebagai seorang perempuan yang secara sukarela meninggalkan
kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kehidupan
agama di suatu biara atau tempat ibadah. Di Indonesia agama yang
mempraktekan hidup membiara adalah agama Katolik Roma dan
Buddhisme, bahkan dari kedua agama ini yang paling jelas sifat
1
Wanita yang menjadi anggota perkumpulan kerohanian yang hidup di dalam biara ( KBBI v1.3)
kebiaraannya ialah agama Buddha dan boleh dikatakan bahwa pokok
agama Buddha sendiri adalah hidup membiara (Jacobs, 1987).
Seorang biarawati memiliki aturan-aturan yang mengikat yang
harus dilakukan dan dijalankan dalam profesinya menjadi seorang
biarawati. Aturan-aturan dan tugas-tugas yang diberikan pada seorang
biarawati harus dijalankan demi tercapainya menjadi seorang suster
dalam kepercayaan agama Katolik maupun bhikkhuni dalam
kepercayaan agama Budha (Keene, 2006). Seperti halnya peraturan
yang dikenakan pada biarawati Katolik. Dalam biara atau komunitas
dimana mereka terpanggil terdapat peraturan-peraturan yang dikenakan
pada mereka, contoh peraturan umum yang banyak dilakukan oleh
biarawan maupun biarawati di dunia adalah peraturan mengenai tiga
3
kaul (janji). Tiga kaul tersebut yakni kaul kemurnian, kaul ketaatan,
dan kaul kemiskinan. Kemurnian berarti seorang biarawan hidup
4
selibat tidak menikah demi kerajaan sorga, kaul ketaatan berarti harus
tunduk pada otoritas yang ada di dalam gereja, dan kaul kemiskinan
berarti seorang biarawan maupun biarawati harus hidup miskin
(Charlys, 2006).
Sedangkan pada biarawati Buddha, terdapat peraturan-peraturan
yang lengkap berjumlah 348 yang umumnya disebut 500 Aturan-aturan
Bhikkuni. Yang dalam peraturan tersebut salah satunya berjudul
3 Janji kepada Allah, harus dipenuhi demi keutamaan agama (KGK; 2102).
4 Jalan hidup yang digolongkan oleh pendoa menolak pernikahan demi pemerintahan
5
parajika yang dalam peraturan tersebut terdapat delapan aturan, yaitu;
tidak melakukan hubungan kelamin; tidak mencuri sesuatu yang
berharga; tidak membunuh manusia; tidak berbohong atau sombong;
tidak mempunyai hubungan percintaan dengan pria; tidak mempunyai
hubungan yang tidak pantas yang menjurus kepada hubungan kelamin;
tidak menyembunyikan kesalahan bawahan atau sesamanya; tidak
berhubungan secara tidak pantas dengan seorang bhikku (biksu).
Berdasarkan dari fenomena dan hasil penelitian yang telah
dipaparkan diatas, peneliti ingin mengetahui sebenarnya apa yang
menjadi pergumulan, perasaan, emosi, dan reaksi dari lingkungan
sosial, dan proses psikologis lainnnya yang dialami oleh seorang
individu sehingga mengambil keputusan untuk hidup membiara,
padahal untuk menjadi seorang biarawati harus hidup membiara dan
harus menjalankan aturan-aturan dan menjauhi larangan-larangan yang
diberikan oleh tradisi dalam biara ataupun komunitas.
Berdasarkan yang dipahami oleh kebanyakan orang bahwa dalam
memilih dan mengambil keputusan pekerjaan atau karir atau profesi
tentunya setiap orang menginginkan pekerjaan yang menguntungkan,
hal ini juga yang dikatakan dalam penelitian mengenai “Makna Hidup Pada Biarawan”, dimana biarawan maupun biarawati memiliki lifestyle yang unik (Charlys, 2006), yang bagi profesi lain sangat mungkin untuk
dapat hidup bebas, menyalurkan kebutuhan biologis dalam ikatan
pernikahan, dan ingin hidup kaya, maka lifestyle bagi pada biarawan/biarawati ini malah berbanding terbalik dari lifestyle
orang lainnya. Hal yang serupa pun diungkapkan oleh beberapa orang
yang telah berhasil diwawancari mengenai pengambilan keputusan
pekerjaan yang telah mereka ambil.
Berangkat dari keingintahuan tersebut peneliti mengunakan
partisipan dari dua latar belakang agama yang berbeda, yaitu dari
Katolik dan Budha, alasan pengambilan kedua agama tersebut adalah
karena kedua agama tersebut melakukan ritual hidup membiara,
memiliki peraturan yang jelas dan nyata yang dikenakan pada para
biarawan dan biarawati mereka. Kedua agama ini pun memiliki
lembaga (komunitas biara) tempat pembinaan sekaligus tempat tinggal
bagi biarawan maupun biarawati mereka. Maka dengan diambilnya
partisipan dari dua latar belakang agama yang berbeda kita dapat
melihat proses pengambilan keputusan seseorang menjadi seorang
biarawati dari dua perspektif dua agama tersebut sehingga semakin
kaya pengetahuan akan proses pengambilan keputusan menjadi
biarawati. Maka penelitian ini pun menjadi berbeda dengan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan yang menggunakan satu latar belakang
agama, dan juga menjadi layak untuk diteliti karena peneliti membahas
proses seseorang dalam mengambil keputusan menjadi biarawati dari
dua perspektif agama, yang belum banyak diteliti.
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam memudahkan penelitian, peneliti perlu merumuskan masalah
yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian di atas
penelitian yaitu, “bagaimanakah proses pengambilan keputusan yang ditempuh individu untuk hidup membiara dan menjadi biarawati (studi
kasus yang diangkat oleh peneliti adalah pada biarawati Katolik dan
Buddha)?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan
proses pengambilan keputusan hidup membiara, dan menjadi biarawati.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini membantu peneliti untuk mengatahui bagaimana
proses pengambilan keputusan seorang individu dalam memutuskan
hidup membiara dan menjadi seorang biarawati (suster atau
bhikkhuni).
2. Bagi Disiplin Ilmu Psikologi
Dapat memberikan sumbangan pengetahuan khususnya dalam
psikologi agama (klinis) mengenai bagaimana proses seseorang
mengambil keputusan untuk hidup membiara dan menjadi
biarawati.
3. Bagi Partisipan
pilihannya untuk hidup membiara dan menjadi biarawati. Bagi
partisipan dapat memberikan pengetahuan mengenai proses
bagaimana seseorang memilih profesi pekerjaan yang akan
dijalaninya kelak, dalam hal ini pilihan profesi dan panggilan