SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1) Pada Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)
Oleh
MAZIYATUL MAILILLAH NIM: A82213161
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan yang berjudul “Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Desa Ngelom
Sepanjang Taman Sidoarjo 1958-2000 M”. Adapun rumusan masalah sebagai
berikut: 1. Bagaimana Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo? 2. Bagaimana Perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo tahun 1958-2000? 3. Bagaimana faktor penghambat dan pendukung Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang mencakup heuristik, kritik sumber, Interpretasi dan historiografi. Penulis menggunakan pendekatan sosiologi yang mencakup teori perananan yang berperan penting dalam keagamaan di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah.
ABSTRACT
This thesis is the result of field research entitled "History of Bahauddin Al-Ismailiyah Boarding School in Village NgelomSepanjang Taman Sidoarjo 1958-2000 MDevelopment". The formulation of the problem as follows: 1. How the history of the founding of Bahauddin Al-Ismailiyahboarding school in villageNgelomSepanjang Taman Sidoarjo? 2. How was the Development of Bahauddin Al-IsmailiyahBoarding School in VillageNgelomTamanSidoarjo in 1958-2000? 3. How are the inhibiting factors andsupportersofBahauddin Al-IsmailiyahBoarding School in VillageNgelomSepanjang Taman Sidoarjo?
This study uses historical research methods that include heuristics, source criticism, Interpretation and historiography. The author uses a sociological approach that includes the theory of roles that play an important role in religion at Bahauddin Al-Ismailiyah Boarding School.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
TRANSLITERASI ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D.Kegunaan Penelitian ... 10
E. Pendekatan dan Kerangka Teori ... 10
F. PenelitianTerdahulu ... 12
G.Metode Penelitian ... 13
H.Sistematika Pembahasan ... 18
BAB II : PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 23
B. Biografi Pendiri dan Latar Belakang berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 25
1. Biografi Pendiri ...25
C. Tujuan Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
... 29
D. Tokoh-tokoh yang berperan dalam Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 31
1. KH. Imron Chamzah ... 31
2. KH. Sholeh Qosim ... 35
BAB III : PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH A. Sistem Pembelajaran di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 37
1. Pendidikan Kepesantrenan... 38
a. Periode Perintisan KH. Chamzah Ismail ... 39
b. Periode Pengembangan KH. Imron Chamzah... 41
c. Periode Peralihan KH. Sholeh Qosim... 43
2. Pendidikan Formal ... 47
B. Data Perkembangan Santri ... 56
C. Prasarana dan Sarana Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 57
BAB IV : FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT A. Faktor Pendukung Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 63
1. Faktor Internal ... 63
2. Faktor Eksternal... 67
B. Faktor Penghambat Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ... 69
1. Faktor Internal ... 69
2. Faktor Eksternal ... 71
B. Saran ... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pondok Pesantren merupakan sistem pendidikan agama Islam yang tertua sekaligus merupakan ciri khas yang mewakili Islam tradisional di Indonesia yang eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini. Menurut Djamaluddin, seperti dikutip oleh Abd A’la pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama santri dapat menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan seorang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta independen dalam segala hal.1
. Pondok pesantren pada mulanya merupakan sistem pendidikan Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Indonesia. Masyarakat ini pasti berkaitan dengan proses Islamisasi, proses ini terjadi melalui pendekatan dan penyesuaian dengan unsur-unsur kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, sehingga terjadi percampuran atau akulturasi. Islamisasi memiliki berbagai cara, antara lain melalui perdagangan, perkawinan, tasawuf, pondok pesantren dan kebudayan atau kesenian.2
Menurut Zuhairini, seperti dikutip oleh Sartono Kartodirjo kedatangan Islam di Indonesia memiliki beberapa pendapat dan sumber. Berdasarkan hasil seminar di Medan 1963, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M dari Arab. Dengan demikian, hasil seminar Medan (1963) telah mematahkan pendapat dari
1
Abd A’la, Pembaharuan Pesantren (Yogyakarta:LKiS, 2006), 15. 2
para ahli seperti G.W.Drewes yang berpendapat bahwa kedatangan Islam di Indonesia berasal dari India.3
Islam dalam penyebarannya di Nusantara banyak melibatkan orang-orang Indonesia, khususnya para tokoh masyarakat atau ulama. Agama Islam muncul bukan hanya sebagai sebuah doktrin spiritual, tetapi juga ikut memberi karakter pada bangsa Indonesia. Pada abad ke 15-16 M, proses Islamisasi dilakukan oleh para pedagang di Jawa yang terkenal dengan sebutan Walisongo. Walisongo adalah
sembilan tokoh penyebar agama Islam di pulau Jawa. Sembilan tokoh tersebut terdiri
dari Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa asal-usul pesantren tidak lepas dari peranan
Walisongo. Sebagai contoh salah seorang tokoh Walisongo yaitu Maulana Malik
Ibrahim di Gresik - Jawa Timur telah mengembangkan sebuah lembaga pendidikan
pesantren yang berproses sejak abad XV M.4
Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kiai merupakan elemen dasar dari tradisi pesantren. Tujuan pendidikan pesantren bukan hanya untuk kepentingan kekuasaan dan keagungan duniawi saja tetapi juga mengutamakan kepada para santri, bahwa belajar adalah semata-semata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri, membina diri agar tidak menggantungkan kepada orang lain kecuali pada Tuhan.5
Kedudukan Pondok Pesantren tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat Islam di Indonesia. Hal ini karena menurut sebagian sejarawan, para muballigh
3
Ibid, 121.
4
Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 57.
5
selain ikut andil dalam memimpin masyarakat, mereka juga membuka sentral kegiatan untuk para santri di pesantren khususnya kegiatan pengajaran dalam ilmu agama. Para santri diharapkan agar dapat mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian atau mendalami agama dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Pesantren telah menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren juga telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama pada zaman kolonial. Dengan demikian pesantren dapat dinilai sebagai lembaga pendidikan yang sangat berjasa bagi umat Islam di Indonesia.6
Ungkapan di atas menunjukan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang relatif tua di Indonesia. Sampai sekarang pesantren terus tumbuh silih berganti dan terus berkembang. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman
serta adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, pondok
pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang
dari masyarakat untuk masyarakat. Secara garis besar lembaga pesantren memiliki beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat. Menurut Ismail SM, seperti dikutip oleh Abdurrahman Wahid bahwa pesantren memiliki 2 tipe tipologi pondok pesantren yang berkembang di Indonesia, yaitu pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). Dalam hal dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Pesantren Salaf (tradisional) adalah pengajaran yang tetap mempertahankan kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di pesantren.
6
Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem Sorogan.7 Yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran-pengajaran pengetahuan umum. Masih cukup banyak juga pesantren-pesantren yang mengikuti sistem salafi ini, yaitu Pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri.
2. Pesantren Khalaf atau bisa disebut dengan Pesantren Modern ini juga telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang telah dikembangkannya atau membuka sistem sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Seperti hal nya pada Pondok Pesantren Gontor yang sudah tidak lagi mengajarkan kitab-kitab klasik Islam. Pesantren-pesantren besar, seperti Amanatul Ummah dan Nurul Ummah di Pacet yang telah membuka SMP, SMA dan Universitas dan sementara itu tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Kedua tipe pondok pesantren tersebut dapat memberi gambaran bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan sekolah, luar sekolah, dan masyarakat yang tumbuh dari masyarakat, milik masyarakat dan untuk masyarakat. Kehadiran pesantren di tengah–tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tetapi sebagai lembaga penyiaran agama dan sosial keagamaan. Kehadiran pesantren dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat karena berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pengembangan Islam.8
7
Sistem Sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Quran, https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren.
8
Abdurrahman Wahid, Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren,
Dalam perkembangan pondok pesantren mengalami perubahan yang sangat pesat, bahkan sebagian pesantren telah megembangkan kelembagaanya
dengan membuka sistem madrasah yang dihadapkanpada banyak tantangan didalam
modernisasi Islam. Kebanyakan lembaga pesantren di modernisasi dan disesuaikan
dengan tuntutan perkembangan zaman, sehingga secara otomatis akan mempengaruhi
sistem pengajaran yang mengacu pada tujuan institusional pesantren tersebut.
Pesantren juga harus mampu mempertahankan ciri khas pesantren dalam
eksistensinya ditengah–tengah masyarakat.9
Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah terletak di tengah-tengah kota antara Surabaya dan Sidoarjo, tepatnya di Ngelom Sepanjang kecamatan Taman kabupaten Sidoarjo. Pesantren ini didirikan tahun 1958 oleh KH. Chamzah Ismail, seorang ulama dan tokoh NU di Jawa Timur.
Nama Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ini diambil dari nama seorang putra yang bernama Bahauddin, ia adalah putra dari Mbah Raden Ali yaitu salah seorang yang disegani (babat) oleh masyarakat di kawasan Ngelom Sepanjang Sidoarjo. Bahauddin juga memiliki beberapa keturunan yang merupakan perintis utama yaitu KH. Chamzah Ismail dan nama Ismailiyah diambil dari nama belakang pendirinya Ismail yang diberikan sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan dakwah nenek moyang keluarga pengasuh pesantren. Sejak berdirinya Pondok pesantren Bahauddin Al Ismailiyah, kepemimpinan pesantren secara turun temurun telah melampai tiga kali periode.
Periode pertama adalah masa kepemimpinan KH. Chamzah Ismail pada tahun 1958-1992, periode kedua pada tahun 1992-2000 dipimpin oleh KH. Imron Chamzah yang akrab dengan panggilan Kiai Imran selanjutnya pada periode
9
ketiga dipimpin oleh KH. Sholeh Qosim yaitu dari tahun 2000 sampai saat ini. KH. Chamzah Ismail memiliki peranan penting dalam berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Ia merupakan sosok seorang kiai yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan kalimat Allah.
Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah berawal dari sebuah pengajian rutin atau dapat disebut dengan majlis taklim yang diasuh oleh KH. Imron Chamzah dan dilaksanakan dirumah ia (disamping musholla Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah). Dalam majlis taklim tersebut KH. Imron Chamzah menggunakan kitab Ihya’ Ulumuddin, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain
dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam perkembangan, jumlah jamaah perempuan semakin bertambah banyak, sedangkan KH. Imron Chamzah tidak ingin menampakkan wajah atau tubuh nya dihadapan jamaah perempuan sehingga hanya terdengar suara KH. Imron Chamzah saja, jamaah perempuan tidak dapat bahkan tidak diperbolehkan melihat KH. Imron Chamzah secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa KH. Imron Chamzah sangat menjaga norma-norma yang berlaku dalam syariat islam. Sepeninggal KH. Imron Chamzah pengajian rutin atau majlis ta’lim digantikan oleh KH. Mun’im Sholeh
sampai sekarang.
bentuk pendidikan khalaf agar masih diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Ciri khas pendidikan di pesantren ini adalah penanaman syariat bagi santri. Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah mempunyai payung atau induk organisasi pondok pesantren yang mengacu pada RMI (Rabithah Ma’ahid
Islamiyah), sementara induk organisasi keagamaannya adalah Nahdlatul Ulama (NU).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejarah berdiri, kemajuan dan perkembangan yang dicapai oleh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, yang tidak hanya berkiprah dalam bidang pendidikan agama (salaf) saja, tetapi juga dalam hal pendidikan umum (khalaf).10
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo?
2. Bagaimana Perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah periode 1958-2000?
3. Bagaimana faktor penghambat dan pendukung Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut;
1. Untuk mengetahui sejarah berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo
2. Untuk mengetahui perkembangan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah periode 1958-2000
10
3. Untuk mengetahui faktor yang menghambat dan mendukung dalam Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo
D. Kegunaan Penelitian
1. Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Strata Satu (S1) di bidang Sejarah pada fakultas Adab Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.
2. Sebagai bahan kajian selanjutnya bagi para mahasiswa yang mendalami sejarah, terutama yang berkaitan dengan peran pondok pesantren.
E. Pendekatan dan Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan historis dan pendekatan sosiologis. Pendekatan historis sendiri adalah pendekatan yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya, dengan berusaha menelusuri asal-usul pertumbuhan ide-ide didirikannya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dan perkembangannya. Sedangkan pendekatan sosiologi sendiri adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil. Menurut Leopold Van Wiese yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, menganggap bahwa sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris yang berdiri sendiri. Objek sosiologi adalah penelitian terhadap hubungan antarmanusia yang merupakan kenyataan sosial. Jadi menurutnya, objek khusus ilmu sosiologi adalah interaksi sosial atau proses sosial.11 Dengan menggunakan pendekatan tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor sosial yang
11
mempengaruhi perkembangan pesantren. Selain itu, pendekatan sosiologi dimaksudkan untuk menjelaskan peranan sosial dari pesantren dalam mengembangkan kehidupan masyarakat.
Sedangkan teori itu sendiri dipandang sebagai bagian pokok ilmu sejarah yaitu apabila penulisan suatu peristiwa sampai kepada upaya melakukan analisis dari proses sejarah yang akan diteliti. Teori sering juga dinamakan kerangka referensi atau skema pemikiran pengertian lebih luasnya adalah teori merupakan suatu perangkat kaidah yang memandu sejarawan dan melakukan penelitiannya, menyusun data dan juga dalam mengevaluasi penemuannya.12 Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan teori. Teori merupakan pedoman guna mempermudah jalannya penelitian dan sebagai pegangan pokok bagi peneliti disamping sebagai pedoman, teori adalah salah satu sumber bagi peneliti dalam memecahkan masalah penelitian.13
Sedangkan Teori yang digunakan dalam bahasa ini adalah teori peranan. Peranan merupakan proses dinamis dari status. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, berarti ia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena antarkeduanya memiliki ketergantungan satu sama lain.14
Menurut Levinson, dalam bukunya Soerjono Soekamto peranan mencakup tiga hal antara lain:
1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisiatau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian.
12
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 7.
13
Djarwanto, Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknis Penelitian Skripsi (Jakarta: Liberty, 1990), 11.
14
2. Peraturan- peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
3. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
4. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku inividu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Dalam hal ini pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah memiliki peranan yang sangat penting dalam keagamaan di desa Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo.
F. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah pernah dikaji sebelumnya oleh;
1. Siti Mufarrokhah, yang berjudul “Penerapan Strategi Pembelajaran The
Power of Two Sebagai Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V di
MI Salafiyah Bahauddin”, Jurusan lulus tahun 2001.
2. Imam Mukti, yang berjudul “Peran Raden Ali dan pengembangan Pondok Pesantren Bahauddin” lulus tahun 1995.
3. Zakiyatun Nafsiah, yang berjudul “Arsitektur Masjid Bahauddin di Ngelom Sepanjang Taman Sidoarjo”, lulus tahun 1997.
4. Siti Muawanah, yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap
Kecenderungan Santri menggunakan Jasa di Bank Konvensional (Studi kasus Santri di Pondok Pesantren Bahauddin al-Ismailiyah Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo) lulusan tahun 2000.
adalah sejarah berdirinya pondok, perkembangan pondok pesantren, hambatan dan dukungan pondok pesantren.
G. Metode Penelitian
Dalam melakukan penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode sejarah, yaitu suatu penulisan yang berdasarkan pada data-data kejadian masa lampau yang sudah menjadi fakta.15 Disini penulis menjelaskan dari mulai sejarah berdiri dan berkembangnya pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah hingga saat ini dengan bukti-bukti autentik seperti akta notaris Dotty Joedowati tentang berdirinya pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah pada tahun 1958 yang didirikan oleh KH. Chamzah Ismail.
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian sejarah kali ini adalah:
1. Heuristik (Pengumpulan Data)
Peneliti menggunakan metode Heuristik, yaitu pengumpulan data dari sumbernya. Maksudnya ialah usaha pengumpulan buku-buku yang bisa dipakai bahan dalam rujukan dan yang sesuai dengan pembahasan dalam skripsi ini. Dalam penelitian ini bukan hanya pengumpulan buku-buku saja melainkan juga dengan cara wawancara. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide-ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikondtruksikan makna dalam suatu topik tertentu.16 Wawancara untuk keperluan penelitian berbeda dengan percakapan sehari-hari. Wawancara biasanya dimaksudkan untuk memperoleh keterangan, pendirian, pendapat
15
Aminuddin Kasdi, Pengantar Ilmu Sejarah (Surabaya: IKIP, 1995), 30.
16
secara lisan dari seseorang (yang lazim disebut responden) dengan berbicara langsung (face to face).17
Dari beberapa sumber-sumber yang ada, penulis pun melakukan beberapa wawancara. Adapun yang penulis wawancarai adalah:
a. Pengasuh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah b. Ketua Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah c. Masyarakat di Ngelom Sepanjang
d. Para santri Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
2. Kritik sumber adalah satu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik atau tidak. Pada proses ini dalam metode sejarah biasa disebut dengan istilah kritik intern dan kritik ekstern. Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut cukup kredibel atau tidak, sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik atau tidak.
Dalam penelitian kali ini, peneliti mengkritik tentang sumber-sumber yang sudah ada atau tidaknya yang ada di pesantren serta melakukan wawancara kepada narasumber yang hidup sezaman serta peninggalan-peninggalan pesantren, misalnya karya-karya yang ditinggalkan. Misalnya yang terdapat pada sumber-sumber yang tertulis.
a. Sumber primer
17
1) Akta Notaris pada tahun 2000 yang dibuat oleh Dotty Joedowati yang ditandai dengan berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah.
2) Wawancara para pengasuh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah b. Sumber sekunder
1) Buku-buku terbitan dari Kementrian Agama yang salah satunya membahas tentang Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
2) Koran terbitan dari Jawa Pos yang diterbitkan pada tahun 2010 yang salah satunya membahas tentang Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
3) Piagam Pendirian Pondok yang disahkan oleh Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo
1. Interpretasi atau Penafsiran
Suatu upaya sejarawan untuk melihat kembali apakah sumber-sumber yang didapatkan dan yang telah diuji autentitasnya terdapat saling berhubungan dengan satu dan lainnya. Demikian sejarawan memberikan penafsiran terhadap sumber yang telah didapatkan. Penulis juga bukan sekedar menafsirkan akan tetapi penulis juga mengajak santri-santri senior dan juga anak-anak pendiri pondok bahkan tokoh-tokoh yang berpengaruh alam pendirian pondok untuk menafsirkan, guna mencari kebenaran datayang sudah penulis tulis.
2. Historiografi
bentuk tertulis.18 Dalam langkah ini penulis dituntut untuk menyajikan dengan bahasa yang baik, yang dapat dipahami oleh orang lain dan dituntut untuk menguasai teknik penulisan karya ilmiah. Oleh karena itu harus dibarengi oleh latihan-latihan yang intensif.dalam penyusunan sejarah yang bersifat ilmiah, penulis menyusun laporan penelitian ini dengan memperhatikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah, yang mengacu pada pedoman penulisan Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Uin Sunan Ampel Surabaya. Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang peneliti gunakan. Adapun pola penyajian adalah dengan dua cara:
a. Informal Deskriptif, yaitu menggambarkan fakta-fakta yang diperoleh apa adanya dari hasil penelitian.
b. Diskriptif Interpretasi, yaitu pola penyajian dengan menyimpulkan keterangan-keterangan melalui beberapa analisa.19
3. Sistematika Pembahasan
Bab I Pendahuluan, merupakan landasan awal penelitian, meliputi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekata dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian, sistematika pembahasan, daftar pustaka.
Bab II Sejarah berdirinya pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo, disini penulis menyajikan latar belakang
18
Usman Hasan, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Depag RI, 1986), 219-226.
19
berdirinya pondok, pendiri pondok, tujuan berdirinya pondok, dan tokoh-tokoh yang berperan dalam pondok pesantren sehingga mempermudah pembaca untuk mengetahui awal berdirinya pondok dan siapa saja yang memprakarsai.
Bab III Pada bab ini penulis menjelaskan perkembangan pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo, disini penulis menjelaskan perkembangan yang ada diruang lingkup pondok yang meliputi perkembangan metode pembelajaran, prasarana dan sarana dan perkembangan guru dan santri dari tahun ke tahun.
Bab IV Pada bab ini penulis memaparkan faktor penghambat dan pendukung pondok pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, Ngelom, Sepanjang, Taman, Sidoarjo, disini penulis membahas meliputi faktor pendukungt dan penghambat pada pondok pesantren dan bukan hanya dalam pondok saja melainkan pada warga setempat juga.
BAB II
PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH
Istilah pondok berasal dari bahasa Arab “funduq” yang artinya
hotel, kata “pesantren” sendiri merupakan kata benda bentukan dari kata santri yang mendapat awalan ‘’pe’’ dan akhiran “an” berarti tempat
tinggal para santri. Menurut Professor Johns, seperti dikutip oleh
Zamakhsyari Dhofier istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti
guru mengaji, sedangkan menurut C.C. Berg, seperti dikutip oleh
Zamakhsyari Dhofier juga berpendapat bahwa istilah santri berasal dari
kata shastri yang dalam bahasa india berarti orang yang tahu buku-buku
suci atau seorang sarjana ahli kitab suci dalam agama Hindu. Kata
Shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci.1
Dari ungkapan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pondok
pesantren adalah tempat para santri belajar agama Islam, sekaligus
tempat menginap yang sistem pengajarannya menggunakan cara non
klasikal, dimana seorang kiai mengajarkan agama Islam kepada santrinya
berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh para ulama
terdahulu.2 Secara fisik, wujud awal dalam pondok pesantren adalah
sebuah Musholla yang biasa disebut orang jawa menyebutnya langgar,
ada pula yang menyebutnya surau.3 Masjid merupakan salah satu unsur
1
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3S, 1983), 18.
2
Zuhairini, et al, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2000), 86.
3
dasar dari sebuah pondok pesantren, sehingga dapat dikatakan bahwa
masjid di pondok pesantren merupakan jantungnya. Dahulu saat
kelas-kelas dalam pondok pesantren belum ada, maka semua kegiatan
ditempatkan di dalam masjid, seperti praktek salat lima waktu, khutbah
serta pengajaran kitab-kitab klasik.
Lambat laun komunitas santri mengalami peningkatan yang
awalnya status mereka semuanya adalah santri kalong (tanpa menginap),
kini hampir seluruh santri adalah santri mukim (yang menetap). Seiring
dengan semakin meningkatnya santri dari luar daerah, maka dibutuhkan
konsekuensi penginapan sementara (yang mulanya mereka ditempatkan
dimasjid dan kediaman kiai). Kemudian para santri bergotong-royong
mendirikan sebuah bangunan berupa sebuah kamar-kamar seadanya
untuk menampung para santri yang disebut mondok.
Pondok pesantren tidak akan tumbuh besar begitu saja, melainkan
bertahap sedikit demi sedikit dalam kurun waktu yang sangat lama.
Sebuah pondok pesantren yang berkembang pesat tidak terlepas dari
kemampuan pribadi kiai yang memimpin pondok pesantren tersebut. Jika
penerus atau ahli warisnya menguasai dengan baik ilmu pengetahuan
agama, kewibawaan, keterampilan mengajar dan menguasai manajemen
pondok pesantren yang diperlukan maka unsur pondok pesantren itu akan
bertahan lama. Sebaliknya, pondok pesantren akan mengalami
kemunduran bahkan bisa hilang begitu saja, jika pewaris yang biasanya
karakter dan persyaratan tersebut. Jadi berkembang atau tidaknya suatu
pondok pesantren tergantung pada figur kiai yang memimpin pondok
pesantren tersebut.4
Sebagai seorang pemimpin, kiai diharapkan mampu membawa
pesantren untuk mencapai tujuannya dalam mentransformasikan
nilai-nilai keagamaan terhadap umat. Sehingga nilai-nilai-nilai-nilai tersebut dapat
mengilhami setiap kiprah santri dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Kiai dalam dunia pesantren sebagai penggerak
dalam mengemban dan mengembangkan pesantren sesuai pola yang
dikehendaki. Kiai dan pesantren merupakan dua sisi yang selalu berjalan
bersama. Kemajuan dan kemunduran pondok pesantren terletak pada
kemampuan kiai dalam mengatur organisasi dan pelaksanaan pendidikan
di dalam pesantren.5 Sedangkan kiai dalam masyarakat memiliki
kedudukan sangat tinggi karena selain kiai menjadi seorang pemimpin
agama, kiai juga merupakan pemimpin masyarakat. Masyarakat
memandang kiai sebagai pusat spiritual maupun sebagai anggota
pendukung kegiatan kemasyarakatan yang sangat tinggi.
Kehadiran sebuah pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat
tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga
penyiaran agama dan sosial keagamaan. Ciri khas pesantren yang lentur
(flexibel) ternyata mampu mengadaptasi diri dengan masyarakat serta
4
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1995), 138.
5
memenuhi tuntutan masyarakat.6 Oleh karena itu, keberadaan pondok
pesantren sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat
luas.
A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah termasuk salah satu
pondok tertua di Jawa Timur. Awalnya Pondok Pesantren ini
menggunakan nama Bahauddin pada tahun 1939 yang diambil dari nama
anak dari Raden Ali. Nama Bahauddin kemudian digunakan oleh tiga
pesantren di Ngelom-Sepanjang. Karena terdapat tiga pesantren yang
menggunakan nama Bahauddin, maka tiap-tiap pesantren tersebut
berkumpul atau mengaji dalam satu majlis, tepatnya di Mushola (berada di
depan rumah KH. Chamzah Ismail). Akan tetapi, terjadi perdebatan antar
tiga pengurus pesantren tersebut, dimana masing-masing dari mereka
berkehendak untuk mengadakan pengajian sendiri, sehingga tiap pesantren
memisahkan diri dan mendirikan pesantren dengan nama Bahauddin Ali
Rafi’i, Bahauddin An-Nidhamiyyah, dan Bahauddin Al-Ismailiyah.
Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah didirikan pada tahun
1958. Nama Al-Ismailiyah sendiri diambil dari nama pendiri yaitu KH.
Chamzah Ismail. Pondok pesantren ini terletak di desa Ngelom kelurahan
Taman kecamatan Sepanjang, tepatnya berada di wilayah perbatasan
kabupaten Sidoarjo dan Kotamadya Surabaya. Pondok Pesantren
Bahauddin Al-Ismailiyah biasa dikenal oleh masyarakat dengan sebutan
6
“ngelom pesantren” dikarenakan terdapat banyak pondok pesantren yang
ada di daerah terebut.
Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah berawal dari
sebuah pengajian rutin atau dapat disebut dengan majlis taklim yang
dibawah kepengasuhan oleh KH. Imron Chamzah dan dilaksanakan di
rumah ia (disamping musholla Pondok Pesantren Bahauddin
Al-Ismailiyah). Seiring berkembangnya zaman, jama’ah pengajian tersebut
berpendapat untuk mengembangkan majlis agar dijadikan sebuah pondok
pesantren yang layak untuk para santri.
Pada masa PKI 1965, KH. Chamzah Ismail mengungsi di Jombang
Tebuireng. Sekembalinya ia dari pengungsian ia menyusun program
pesantrennya yang meliputi pesantren putri dan majlis taklim. Sepeninggal
KH. Chamzah Ismail pada tahun 1970, kepengasuhan pondok pesantren
diteruskan oleh Ibu Nyai Chuzaimah yang merupakan putri dari KH.
Chamzah Ismail, sedangkan dalam kepengasuhan Majlis Taklim diambil
alih oleh KH. Imron Chamzah yang merupakan anak dari KH. Chamzah
Ismail. Sepeninggal Ibu Nyai Chuzaimah pada tahun 1995 selanjuntnya
pada tahun 1996 dibuatkanlah pondok putra dibawah kepengasuhan KH.
Sholeh Qosim yang merupakan adik ipar KH. Imron Chamzah dan
menantu KH. Chamzah Ismail, kemudian pada tahun 2000 KH. Imron
Chamzah meninggal. Sedangkan pondok putri diserahkan kepada Ibu Nyai
Nur Abidah, yang merupakan adik Ibu Nyai Chuzaimah dan putri dari KH.
Pada tahap pembangunan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah,
kegiatan belajar mengajar diikuti santri yang berasal dari desa setempat
bahkan dari luar desa Ngelom. Secara rutin, setiap hari setelah solat
magrib dilaksankan pengajian rutin bagi santri yang kebanyakan dari
kelompok anak-anak remaja. Sedangkan setiap hari kecuali hari Jumat
malam Sabtu dilaksanakan pengajian rutin bagi warga setempat. Seluruh
pelaksanaan kegiatan mengaji dipusatkan di pesantren. Pesantren
Bahauddin Al-Ismailiyah terdiri dari tiga lokal bangunan sederhana yaitu
ruang asrama santri, ruang belajar dan aula. Sebagai pesantren kecil dan
sederhana, maka sarana fisik dan sarana pendukung kegiatan belajar masih
terbatas.7
B. Biografi Pendiri dan Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
1. Biografi Pendiri Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
KH. Chamzah Ismail adalah pendiri Yayasan Pondok
Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang didirikan pada tanggal 21
November 1958. Sebagai permulaan untuk merintis sebuah
pesantren, Ia diberi amanah oleh Mbah Abdi Syakur Dhalan, selaku
modin di daerah Ngelom pada waktu itu, untuk mengajar anak-anak
mengaji yang ditempatkan di Musholah (berada di depan rumah KH.
Chamzah Ismail). KH. Chamzah Ismail mengajarkan pendidikan
7
agama tradisional yang menggunakan kitab-kitab klasik diantaranya
Awamil Jurumiyah, Imriti, Qowa’idul Iqra’ dan Hidayatus Shibyan.
KH. Chamzah Ismail lahir sekitar tahun 1875. Ia adalah teman
satu pondok dengan KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Syaikhona
Kholil, Bangkalan. Jika dilihat dari silsilah KH. Chamzah Ismail
adalah termasuk keturunan dari Raden Joko Tingkir. KH. Chamzah
Ismail adalah putra dari Marhani Binti Halima Binti Raden Sairoh
Binti Jailani Bin Mbah Albiyah dengan keturunan Mbah Qodik Binti
Mbah Ahmad Mutamakkin (Kajen) Bin Sungo Haji Negoro Bin
Pangeran Benowo Bin Sultan Demak (Syahid Abdurrahman) atau
Kang Mas Karebet Joko Tingkir.8
Pengalaman pendidikan KH. Chamzah Ismail bermula ketika
ia menempuh pendidikan di beberapa pondok pesantren di Jawa
Timur. Awalnya KH. Chamzah Ismail belajar agama di Pondok
Pesantren Pager Wojo Sidoarjo Jawa Timur, yang diasuh oleh KH.
Syahid, yaitu ayah dari KH. Ali Mashud yang lebih dikenal dengan
panggilan Mbah Ud. Selanjutnya KH. Chamzah Ismail bersama KH.
Hasyim Asy’ari mondok di Demangan, Bangkalan, Madura, Jawa
Timur yang diasuh oleh Syaikhonah Kholil bin Abd Latif.
KH. Chamzah Ismail terlibat langsung dalam pergerakan Partai
Masyumi. Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)
adalah sebuah partai politik yang berdiri pada tanggal 7 November
8
1945 di Yogyakarta. Partai ini didirikan melalui sebuah kongres
umat Islam pada tanggal 7 sampai 8 November 1945, dengan tujuan
sebagai partai politik yang dimiliki oleh umat Islam dan sebagai
partai penyatu umat Islam dalam bidang politik.9 Dalam Partai
Masyumi, KH. Chamzah Ismail duduk salah seorang mustasyar
Majelis Syura bersama KH. Hasyim Asy’ari.
2. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin
Al-Ismailiyah
Berdirinya pondok pesantren dilatar belakangi adanya kondisi
masyarakat yang awam ilmu agama. Dahulu masyarakat tidak bisa
mengaji dan sangat sedikit yang mengetahui tata cara membaca
Alquran dengan baik dan benar, bahkan mereka dianggap sebagai
masyarakat abangan yang tidak perduli ajaran agama. Sehingga
datang seorang bernama Raden Ali yang merupakan putra pendiri
Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Raden Ali adalah seorang
Waliyullah ahli Thariqah Syaththariyah, penyebar dan peletak dasar
ajaran Islam yang menganut faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah di
daerah Ngelom Sepanjang dan sekitarnya. Ia juga disebut sebagai the
founding father Pondok Pesantren Salafiyah Bahauddin Ngelom
Taman Sepanjang Sidoarjo pada sekitar tahun 1261 Hijriah.
Dengan latar belakang masyarakat “abangan” tersebut, maka
Raden Ali ingin menciptakan atau menanamkan ajaran Islam di
9
daerah Ngelom Taman Sepanjang Sidoarjo. Sedikit demi sedikit
banyak santri yang mulai menimba ilmu mulai dari berbagai daerah
diantaranya Banten, Cirebon dan tentu masyarakat Sidoarjo bahkan
ada yang dari Madura.
Raden Ali wafat pada tanggal 17 bulan Syakban tahun 1298
M. Raden Ali memiliki seorang anak bernama Bahauddin yang
merupakan keturunan pertama dari tujuh keturunan. Pada 1888 M
Bahauddin merantau dalam rangka mencari ilmu di kota Makkah
al-Mukarromah dan dikabarkan meninggal di sana, Bahauddin
meninggal dunia pada tahun 1908 M dan dimakamkan di sana. Maka
untuk mengenang nama putra Raden Ali yang wafat di kota Makkah
al-Mukarromah, maka masjid dan Yayasan Pondok Pesantren yang
dulunya dibangun Raden Ali diberi nama Bahauddin. Sedangkan
nama Al-Ismailiyah merupakan nama yang diambil dari anak
Bahauddin yaitu cucu dari Raden Ali yang bernama KH. Chamzah
Ismail yang diambil dari nama belakangnya, sehingga pada tahun
1958 telah diresmikan menjadi Pondok Pesantren Bahauddin
Al-Ismailiyah.10
C. Dasar Tujuan Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah Tujuan berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah adalah
untuk mewujudkan generasi Islam yang berdedikasi tinggi, unggul dalam
prestasi dan berakhlakul karimah serta untuk membina masyarakat sekitar
10
pesantren menjadi masyarakat yang Islami dan untuk mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan. Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu, baik ilmu agama
maupun ilmu yang menyangkut permasalahan duniawi, karena hidup umat
manusia di muka bumi ini adalah untuk mengharapkan kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat.
Berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, kemudian
memunculkan ide tentang visi dan misi. Visi dan Misi merupakan
pandangan ke depan, arahan sekaligus motivasi serta kekuatan gerak bagi
seluruh jajaran yang terlibat dalam pengembangan pesantren ini. Lebih
dari itu, visi dan misi juga dipandang sangat penting untuk menyatukan
persepsi, pandangan cita-cita, serta harapan semua pihak yang terlibat di
dalamnya. Keberhasilan dan reputasi sebuah lembaga pendidikan
bergantung pada sejauh mana visi dan misi yang dimilikinya dapat
dipenuhi. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan diperlukan rumusan
visi dan misi untuk mencapai tujuan dan cita-citanya, baik dalam jangka
panjang maupun dalam jangka pendek.
Tujuan pendidikan pesantren adalah untuk mendidik para pemuda
agar menjadi muslim yang bertakwa, berpengetahuan dan terampil untuk
mengembangkan diri, keluarga dan masyarakat dalam rangka membina
masyarakat yang berbahagia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sangat
dibutuhkan suatu wadah pendidikan bagi umat muslim agar mendapatkan
ulama terdahulu sampai sekarang mendirikan pondok pesantren tersebut
sebagai wadah pembinaan umat Islam.11
Begitupun juga dengan KH. Chamzah Ismail yang memiliki tujuan
mendirikan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah adalah untuk
memajukan umat muslim di seantero dunia agar dapat mengetahui agama
lebih dalam dan “menciptakan” para ulama dari kalangan muda baik
laki-laki maupun perempuan yang dimulai dari daerah sekitar Ngelom
Sepanjang Sidoarjo. Selain itu juga ia menggunakan pembelajaran, dengan
kitab-kitab yang dikaji pada masa awal adalah menekankan pada
pengajaran Alquran dan kitab-kitab yang mengandung ilmu tauhid.
Sedangkan yang dimaksud ilmu tauhid adalah ilmu tentang keesaan Allah
karena pada saat itu masyarakat masih sangat awam dengan ilmu
ketauhidan. Kitab-kitab tauhid yang digunakan dalam Pondok Pesantren
Bahauddin Al-Ismailiyah antara lain Nurudholam, Fathul Madjid dan
Al-Jawahirul Kalamiyah.
KH. Chamzah Ismail selaku pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren
Bahauddin Al-Ismailiyah yang kreatif dan inovatif, ia selalu membenah
diri untuk mengembangkan pondok pesantren yang dikelolanya. Sesuai
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan santri untuk dibekali ilmu
setelah keluar dari pesantren, sedangkan pesantren sebelumnya hanya
menggunakan non formal saja dan mulai tahun 1971, ia mulai
memasukkan unsur pendidikan formal. Tujuan KH. Chamzah Ismail
11
mendirikan lembaga pendidikan formal adalah untuk mewadahi
masyarakat dan santri-santri yang berkeinginan untuk melanjutkan ke
pendidikan formal yang masih mengandung unsur kepesantrenan (sekolah
umum Islam). Adapun pendidikan formal yang pertama ia dirikan adalah
MI Salafiyah Bahauddin, TK Muslimat NU Bahauddin, SMP Bahauddin
dan MA Tsanawiyah Bahauddin.12
D. Tokoh-Tokoh yang berperan dalam Pondok Pesantren
Orang yang berperan dalam mendirikan Pondok Pesantren Bahauddin
Al-Ismailiyah adalah orang yang memiliki pengaruh dari masyarakat di
sekitarnya dan banyak memberikan kontribusi/sumbangsih baik berupa
pemikiran, tenaga, moril, materil dan harapan bagi pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat. Adapun tokoh-tokoh yang berperan dalam
pendirian tersebut antara lain:
1. KH. Imron Chamzah
Pada tahun 1992, kepemimpinan dalam pesantren dibawah
kepengasuhan KH. Imron Chamzah salah satu yang berperan dalam
pendirian Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, selain itu juga ia
merupakan penerus dalam memimpin Pondok Pesantren Bahauddin
Al-Ismailiyah. Pengangkatan KH. Imron Chamzah menjadi pemimpin
Pondok Pesantren dikarenakan beberapa alasan, karena KH. Imron
Chamzah adalah putra dari KH. Chamzah Ismail yang merupakan
pendiri utama Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah.
12
Pada awal kepemimpinan KH. Imron Chamzah kondisi para santri
sangat menurun. Dengan ketekunan KH. Imron Chamzah dalam
memimpin santripun semakin bertambah setiap tahunnya. Semua santri
yang belajar di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah ini dituntun
agar akhlaknya selalu terjaga. Hal tersebut untuk membentuk
kepribadian masyarakat melalui santrinya. Pada mulanya pesantren
tidak lain sebagai lembaga keagamaan yang mengajarkan dan
mengembangkan serta menyebarkan ilmu agama Islam.13
Namun pada masa kepemimpinan KH. Imron Chamzah pesantren
masih menggunakan sistem pendidikan salafi tradisional. Dimana para
santri menunggu KH. Imron Chamzah datang dan berkumpul menjadi
sebuah majlis yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan
untuk santri perempuan hanya mendengarkan suara KH. Imron
Chamzah melalui sound atau speaker. Adapun kitab-kitab klasik yang
digunakan antara lain Riyadhul Badi’ah, Sullam Taufiq, Fathul Qarib
dan Kifayatul Akhyar.
KH. Imron Chamzah lahir pada tanggal 17 Agustus 1938, sebagai
anak kedelapan dari sebelas bersaudara. Ayahnya adalah KH. Chamzah
Ismail. Sedangkan ibunya bernama Nyai Muchsinah. Konon, ia masih
keturunan Mas Karebet atau Joko Tingkir. KH. Imron Chamzah tutup
usia pada tanggal 23 Juli 2000 di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya
13
dan dikebumikan di Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo karena sakit stroke
yang dideritanya sehingga mengalami operasi dan meninggal dunia
Latar belakang pendidikannya dimulai ketika ia dikirim ke Pondok
Pesantren Peterongan Jombang yang diasuh oleh KH. Tamim Irsyad
bersama kakak tertuanya KH M. Rifa’i. Saat itu, ia baru berusia
sembilan tahun, kemudian ia belajar ke Pesantren Buntet Cirebon
selama tiga tahun yang diasuh oleh KH. Abdul Jamil. Selanjutnya, ia
belajar lagi di Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang
hingga tahun 1954. Ia juga berguru ke Mbah Maksum di Pesantren
al-Hidayah, Lasem, Rembang. Setelah itu, ia berpindah lagi ke Pondok
Pesantren Krapyak (Yogyakarta) yang diasuh oleh KH. M.
Munawwir.14
Ketika masih menjadi santri, KH. Chamzah Ismail sudah aktif
dalam berorganisasi khususnya di lingkungan NU (Nahdlatul Ulama’).
Pada tahun 1952, ia menjadi anggota pleno GP Ansor Cabang Jombang.
Dua tahun berikutnya menjadi pengurus IPNU (Ikatan Putera Nahdlatul
Ulama’) Cabang Jombang. Lima tahun setelah itu, dipercaya sebagai
pengurus NU Cabang Lasem, lalu menjadi Ketua NU Lasem dalam
Periode 1962-1965.
Pada tahun 1967 ia pulang ke desa Ngelom. Kemudian ia menjadi
pengurus Bagian Penerangan Pertanu (Persatuan Tani Nahdlatul
Ulama’) Wilayah Jawa Timur. Di tahun yang sama ia menjadi Ketua
14
Departemen Penerangan GP Ansor Jawa Timur. Selanjutnya, pada
tahun 1967-1982 ia menjadi Katib Syuriyah NU Jawa Timur ketika
K.H. Machrus Ali menjadi Rais Syuriyahnya.
Dalam karier politik, Kiai Imron Hamzah pernah menjadi anggota
DPRD Tingkat I Jawa Timur (1971-1982). Ia juga menjabat Wakil
Ketua PPP Wilayah Jawa Timur (1973-1986) mendampingi Ketua KH
M. Hasyim Latif; Wakil Ketua DPRD Tingkat I Jatim (1982-1987); dan
dua kali menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah Jawa Timur
(1987-1992 dan (1987-1992-1997).
Pada tahun 1999-2004 dalam dua periode ia juga memegang
jabatan Rais Syuriyah untuk tingkat wilayah di PWNU Jawa Timur,
yaitu pada 1992-1997 dan 1997-2002. Karena menjabat Rais Syuriyah,
jabatan untuk periode kedua tidak tuntas diselesaikan. Pada 1989-1994
diamanatkan sebagai Sekjen PP Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI).15
Salah satu peran penting Kiai Imron Hamzah dalam bidang
pengembangan fikih adalah usahanya merintis kegiatan pengkajian
khazanah keislaman salaf melalui berbagai kegiatan halaqah. Upaya itu
dilakukannya bersama KH Wahid Zaini, KH Masdar F. Mas’udi, dan
sejumlah kiai muda lainnya melalui Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M). Salah satu hasil upaya itu adalah
lahirnya rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi
keputusan Musyawarah Nasional NU di Lampung pada 1992.
15Anwar Muhammad, “KH. Imron Hamzah Penggagas Halaqah Fikih”, dalam
2. KH. Sholeh Qosim
Sepeninggal KH. Imron Chamzah kepemimpinan Pondok
Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, Pada 2000 Pondok Pesantren
Bahauddin Al-Ismailiyah dimulai kepengasuhan KH. Sholeh Qosim.
Pengangkatan KH. Sholeh Qosim dikarenakan beberapa alasan:
pertama, karena tidak adanya penerus dari silsilah keluarga KH. Imron
Chamzah. Kedua, karena putra angkat KH. Imron Chamzah mengalami
sakit jiwa, maka kepemimpinan diserahkan kepada KH. Sholeh Qosim
yang merupakan adik ipar KH. Imron Chamzah yang menikah dengan
adik KH. Imron Chamzah bernama ibu Nyai Khudzaifah.
Sejak kepemimpinan KH. Sholeh Qosim dengan bantuan
saudara-saudaranya sedikit demi sedikit dilakukan perbaikan dan pembangunan
antara lain yang mulanya gedung dengan satu lantai menjadi dua lantai
sampai tiga lantai sampai sekarang. Gedung tersebut digunakan untuk
aktivitas kegiatan sekolah dan mengaji santri.
Perkembangan pondok pesantren tak luput dari peran kiai dan para
masyarakat sekitar. Pada masa kepemimpinan KH. Sholeh Qosim
perkembangan pondok pesantren mulai meningkat. Hal itu menjadikan
masyarakat sekitar percaya terhadap pendidikan Pondok Pesantren
Bahauddin Al-Ismailiyah. Pada 2000 para santri meningkat dari 125
sampai 250 santri. Masyarakat pun semakin banyak yang
mempercayakan pendidikan agama anak-anak mereka ke dalam
KH. Sholeh Qosim dilahir pada tanggal 28 Nopember 1930 di
Bangil Pasuruan, dari pasangan Kiai Markasim dan ibu Nyai Fatichah.
Ia memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Khalas Khul dari kelas 1
sampai kelas 3 dan dilanjutkan hingga kelas 6 di Sekolah Rakyat
Kopkuning Kapku. Kemudian, pada tahun 1950 ia memutuskan untuk
berhenti dan melanjutkan ke Pondok Pesantren Darul Ulum yang diasuh
oleh KH. Tamim dalam jenjang Madrasah Tsnawiyah maupun
Madrasah Aliyah. Pada tahun 1957 KH. Sholeh Qosim menikah dengan
Ibu Nyai HJ. Chudzaifah yang merupakan putri dari KH. Chamzah
Ismail. Selanjutnya, KH. Sholeh Qosim mengikuti kajian yang
dilakukan dikediaman kakak ipar (KH. Imron Chamzah) yang mana
didalamnya mengkaji tentang kitab Hikam, Nashaih al-Ibad, Riyadhus
Shalihin dan masih banyak lagi.
Dalam karir politik, organisasi yang diikuti oleh KH. Sholeh Qosim
adalah Lasykar Fi sabilillah, ia juga termasuk pelopor IPNU (Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama’) di Peterongan bersama Kiai Tolhah
Mansyur, kemudian pada tahun 1999 ia selama 3 kali periode menjadi
Rois Syuriyah di pengurus Cabang Sidoarjo dan pada tahun 2007 ia
menjadi Wakil Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur, tahun 2010 KH.
Sholeh Qosim menjadi anggota mukhtasyar PBNU Jawa Timur dan
masuk lagi menjadi jajaran Rois Syuriyah lagi.16
16
BAB III
PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN BAHAUDDIN AL-ISMAILIYAH
A.Sistem Pembelajaran
Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah menerapkan sistem
pendidikan formal dan non formal, dimana lembaga pendidikan tersebut
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menjadikan manusia beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Pendidikan
formal adalah lembaga pendidikan yang terstruktur dan berjenjang dan
dikelola secara resmi baik oleh pemerintah maupun oleh swasta, seperti SD,
SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Sedangkan dalam pendidikan non formal
adalah pendidikan yang dapat dilakukan secara berjenjang tapi tidak bersifat
resmi, seperti yang ada di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yaitu
Madrasah Diniyah.
Dalam setiap lembaga pendidikan baik itu lembaga pendidikan formal
dan non formal, tentunya memiliki sistem pendidikan dan pengajaran
tersendiri. Sistem pendidikan formal secara nasional biasanya sama karena
ada aturan dari pemerintah pusat. Sedangkan sistem pendidikan pondok
pesantren (non formal) beserta aturan-aturan yang berlaku didalamnya
walaupun ada yang sama tapi biasanya banyak pula yang berbeda
dikarenakan pengaturannya yang tidak terpusat seperti pendidikan formal
tetapi dikelola sendiri oleh masing-masing pondok pesantren atau suatu
Menurut Zamakhsyari Dhofier metode pembelajaran di pesantren
merupakan hal yang setiap kali mengalami perkembangan dan perubahan
sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk
mengajarkan masing-masing ilmu pengetahuan. Meskipun demikian, dalam
rentang waktu yang panjang pesantren secara seragam mempergunakan
metode pengajaran yang telah lazim.1
Tujuan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dirumuskan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak generasi penerus yang
baik dalam bidang pendidikan agama maupun pendidikan umum. Tujuan
inilah yang membuat para orang tua memondokkan putra putri mereka di
Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Adapun perkembangan Pondok
Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang bisa di klasifikasikan dalam:
1. Pendidikan Kepesantrenan
Pesantren merupakan sarana untuk mengembangkan agama Islam
dan berfungsi sebagai pusat penyebaran Islam dan mencetak kader-kader
pemimpin Islam pada masa yang akan datang sehingga pengetahuan
tentang Islam sangat diperhatikan dan disiapkan pada lembaga
pendidikan Islam yakni pondok pesantren. Dengan melihat
perubahan-perubahan itu maka penulis dapat mengetahui perkembangan dari
Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang didalamnya ada tiga
periode yang diantaranya;
1
a. Periode Perintisan KH. Chamzah Ismail
Pada tahun 1958 pondok pesantren didirikan oleh KH. Chamzah
Ismail di Desa Ngelom Sepanjang Kecamatan Taman Kabupaten
Sidoarjo sebagai permulaan untuk merintis sebuah pesantren. KH.
Chamzah Ismail hanya menyediakan rumah sederhana yang
digunakan untuk anak-anak remaja yang ingin belajar mengaji di
rumah KH. Chamzah Ismail. Lambat laun KH. Chamzah Ismail
dianggap oleh masyarakat sebagai ulama yang mampu dan mengusai
agama. Dari situlah masyarakat mempercayakan anak anak mereka
untuk menimba ilmu di rumah KH. Chamzah Ismail. Pada tahun 1960
KH. Chamzah Ismail ingin mendirikan pesantren yang hanya berupa 3
kamar yang ditempati oleh santri putra saja. Pada periode awal ada,
berjumlah 30 santri yang mondok, diantaranya berasal dari Semarang,
Cepu, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Tuban, Pekalongan dan
Yogyakarta. KH. Chamzah Ismail mengajarkan kitab, diantaranya
Awamil Jurumiyah, Imriti, Qowa’idul I’rab, Hidayatus Shibyan,
Tuhfatul Athfal, Sullam Taufiq, Taqrib dan belajar ilmu Alquran.2
Pada tahap awal pendidikan di Pondok Pesantren Bahauddin
Al-Ismailiyah bertujuan semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama saja
lewat kitab-kitab klasik, sistem pendidikan yang digunakan
merupakan sistem pendidikan tradisional dengan sistem yang sangat
sederhana. Misalnya santri hanya belajar bagaimana mengucapkan
2
lafadz Quran secara hafalan yang diajarkan oleh sang guru. Sistem
pendidikan ini biasanya dikenal dengan istilah wetonan. Istilah
tersebut berasal dari bahasa Jawa yaitu wektu. Dinamakan demikian
karena pelajaran ini diberikan pada waktu tertentu. Biasanya waktu
yang dipilih untuk belajar ini adalah ketika habis salat ashar.
Pada tahun 1960 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah saat
itu menggunakan metode tradisional yang disebut dengan “Sorogan”.
Metode Sorogan adalah model pengajian dimana salah seorang santri
ditunjuk untuk membaca kitab pelajaran sedangkan sang kiai
mendengarkan sambil membenarkan jika terdapat kesalahan. Metode
ini dianggap metode pengajaran yang sulit karena dibutuhkan
kesabaran dan ketelitian pada setiap santri. Biasanya waktu yang
dipilih untuk belajar ini adalah ketika habis salat maghrib hingga
isya’. Pembelajaran tersebut dilakukan tiga kali dalam seminggu.
Perkembangan pesantren tahun 1970 masih mengedepankan sistem
tradisional yang pada saat itu masih menggunakan “Sorogan”. Misalnya pada Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah yang masih
menggunakan kitab-kitab klasik yaitu Qami’u Al-Thugyan, Safinah
Najah, Tafsir Al-Jalalain, Hidayah Al-Mustafid dan Al-Jawahr
al-Kalamiyah. Adapun kitab-kitab kuning yang digunakan disesuaikan
dengan tingkat kemampuan santri yang dipelajari hingga santri
khatam dan dapat naik ke kitab lain yang lebih tinggi kesukarannya.
adalah kitab Fiqih, Nahwu, dan Sorof sebagai cabang ilmu yang
utama.3
b. Periode Pengembangan KH. Imron Chamzah
Pada tahun 1992 saat Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
mulai berkembang, KH. Chamzah Ismail meninggal. Setelah itu
pondok pesantren dibawa kepengasuhan oleh KH. Imron Chamzah
yang merupakan anak dari KH. Chamzah Ismail. Pondok Pesantren
Bahauddin Al-Ismailiyah sudah mengalami perubahan sedikit demi
sedikit baik secara fisik maupun secara non fisik, seperti keadaan
santri yang semakin banyak dan jumlah pengajar yang ada. Dengan
berjalannya waktu, mulailah berdatangan para santri yang ingin
mondok di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah. Dari situlah
KH. Imron Chamzah mulai berfikir dan berniat untuk menambah
bangunan kamar untuk bermukim. Pada tahun 1993 KH. Imron
Chamzah membangun beberapa kamar untuk para santri yang ingin
bermukim, kamar tersebut berdekatan dengan rumah KH. Chamzah
Ismail.4
Pada tahun 1995 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
merupakan lembaga pendidikan yang masih mengedepankan sistem
pendidikan tradisional. Saat itu pesantren menggunakan metode
“bandongan”, yaitu merupakan metode pengajaran dimana kiai atau
ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab. Dalam sistem ini para
3
Muhammad Sholeh Qosim, Wawancara, Sidoarjo, 27 April 2017.
4
santri mendengarkan, memaknai dan mencatat keterangan pada kitab
maupun buku catatan lain, serta mengulas isi buku-buku Islam dalam
bahasa Arab.5 Sembari para santri menunggu kedatangan KH. Imron
Chamzah, mereka masih membaca atau mempelajari kitab yang akan
diulas oleh KH. Imron Chamzah.
Dalam kegiatan tersebut santri putra berada di dekat rumah KH.
Chamzah Ismail, sedangkan santri putri berada di belakang ruang
yang sebelumnya ditempati oleh santri putra, karena KH. Imron
Chamzah tidak ingin menampakkan wajah atau tubuhnya di hadapan
santri putri, bahkan KH. Imron Chamzah juga melarang santri putri
melihat KH. Imron Chamzah sehingga hanya terdengar suara KH.
Imron Chamzah yang pada waktu itu KH. Imron Chamzah
menggunakan speaker atau sound. Hal ini menunjukkan bahwa KH.
Imron Chamzah sangat menjaga norma-norma yang berlaku dalam
syariat Islam. Kitab-kitab kuning yang digunakan antara lain Riyadhul
Badi’ah, Riyadhus Sholihin, Sullam Taufiq, Fathul Qarib dan
Kifayatul Akhyar.
Pada tahun 1997 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah mulai
meningkatkan sistem pembelajaran dengan membagi tingkatan para
santri yang berminat belajar kitab klasik dengan membagi menjadi
dua sistem yaitu tradisional dan diniyah berjenjang. Pendidikan
pondok pesantren secara tradisional dalam prakteknya masih
5
menggunakan metode Sorogan dan Bandongan seperti yang telah
dijelaskan.6
c. Periode Peralihan KH. Sholeh Qosim
Pada tahun 2000 sepeninggal KH. Imron Chamzah kepengasuhan
pesantren diambil alih oleh KH. Sholeh Qosim yang merupakan
menantu dari KH. Chamzah Ismail dan suami dari adik KH. Imron
Chamzah. Pada awal kepemimpinan santri berjumlah 250, berbagai
peristiwa terjadi di Indonesia menjadikan orang tua percaya terhadap
pendidikan pesantren. Demikian pula yang terjadi di Pondok
Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah, banyak orang tua beranggapan
bahwa agama sebagai landasan dan pegangannya sehingga masyarakat
pun semakin percaya dengan santri yang telah berhasil dalam ilmunya.
Dari dukungan masyarakat pesantren dapat berkembang pesat karena
bagaimanapun keberhasilan pesantren berhubungan erat dengan peran
kiai dan masyarakat luas.
Pada tahun 2003 Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah
berdiri disesuaikan dengan pesantren salafiyah, sehingga pesantren
terkenal dengan pengkajian kitab salaf (kitab kuning). Kitab-kitab
yang diajarkan juga beragam sehingga disesuaikan dengan tingkatan
pendidikan santri. Tingkat pendidikan di Pondok Pesantren Bahauddin
Al-ismailiyah yaitu Madrasah Diniyah yang terbagi menjadi tiga
tingkatan yang diantaranya adalah Madrasah Diniyah Awaliyah,
6
Madrasah Diniyah Wustho dan Madrasah Diniyah Ulya.7 Sehingga
KH. Sholeh Qosim berusaha untuk mempertahankan dan
mengembangkan pondok pesantren, dimana pada pendidikan yang
sudah dimulai sejak berdirinya Pondok Pesantren Bahauddin
Al-Ismailiyah saat itu menggunakan sistem pendidikan tradisional yang
sebelumnya. Adapun literatur wajib yang harus dipakai seperti kitab
Tafsir Jalalain, Riyadhus Shalihin, Jawahirul Bukhari dan Shahih
Bukhari, Riyadhul Badi’ah, Sullam Taufiq, Fathul Qarib dan
Kifayatul Akhyar, Nurudholam, Fathul Majid, Al-Jawahirul
Kalamiyah, Risalatul Muawanah, Hidayatul Adzkiyaa, Ihya’
Ulumuddin, Jurumiyah, Imrithi, Nadzan Maqsud dan Al-Amtsilatut
Tashrifiyah.
Disamping itu, Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah juga
mengadakan pengajian umum yang diikuti oleh para santri dan
masyarakat setempat yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan.
Kegiatan ini dikhususkan untuk mengkaji berbagai kitab kuning dan
biasanya khatam dalam waktu sebulan kurang. Kitab-kitab yang
digunakan dalam kegiatan Ramadhan adalah Shahih Bukhari jilid 1
sampai 4, Tanbihul Ghofilin jilid 1 dan 2, dan Hasyiya.8 Waktu
kegiatan Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah dimulai pukul
03.00 sahur dan Tahajjud berjama’ah, pukul 04.00 santri persiapan
salat Shubuh, pukul 04.30-07.00 santri dan masyarakat setempat
7
Muhammad Jazuli Sholeh, Wawancara, Sidoarjo, 27 April 2017.
8
mengaji kitab Minhajul Abidin, pukul 07.00-07.30 santri salat Dhuha
berjama’ah, pukul 08.00-12.00 santri mengaji kitab Shahih Bukhari
jilid 1, pukul 12.00-13.00 salat Dzhuhur berjama’ah, pukul 13.30
-15.00 santri menyempatkan untuk mengaji Alquran bersama-sama,
pukul 15.00-15.30 salat Ashar berjama’ah, pukul 16.00-17.30 santri
mengaji kitab Shahih Bukhari jilid 2, pukul 17.30-18.00 salat
Maghrib, berbuka dan istirahat, pukul 18.30-20.00 salat Tarawih,
pukul 20.00-00.00 santri mengaji kitab Shahih Bukhari jilid 3, setelah
itu pada pukul 00.00 para santri istirahat.
Kegiatan tersebut sudah menjadi kegiatan wajib bagi santri yang
mondok di Pondok Pesantren Bahauddin Al-Ismailiyah untuk
mengikuti kegiatan. Sedangkan, untuk kegiatan dalam keseharian
penulis memaparkan dibawah ini yang diantaranya adalah pukul
03.00-03.30 para santri mengikuti salat Tahajjud berjama’ah, pukul
04.00-06.00 salat Shubuh dan santri mengikuti pengajian kitab kuning
Tanbihul Ghofilin, pukul 06.00-06.30 santri melaksanakan Jama’ah salat Dhuha dan persiapan sekolah, pukul 07.00-13.00 sekolah formal,
pukul 13.00-13.30 salat Dzuhur berjama’ah, pukul 13.30-15.00 santri
istirahat, pukul 15.00-15.30 salat Ashar berjama’ah, pukul 16.00
-17.30 santri mengikuti pengajian kitab kuning Al-Jawahirul
Kalamiyah, pukul 17.30-18.00 santri melaksanakan salat maghrib
dengan bersama-sama, pukul 19.00-22.00 mengikuti pengajian kitab
kuning dan pada pukul 22.00-23.00 santri belajar dan Istirahat.
Dengan memberikan kegiatan positif bagi para santri maka pihak
pesantren memberikan pelajaran tambahan untuk membuat para santri
lebih mandiri dan mendalami akan pendidikan yang diberikan
Pesantren. Kegiatan yang dilakukan para santri di luar sekolah antara
lain yaitu banjari, komputer, marawis, dan sebagainya. Selain
pengajian kitab kuning yang telah diajarkan demi menunjang
kreatifitas para santri pesantren juga memberikan bekal para santri
seperti pengembangan dalam bahasa yang bertujuan untuk
mendukung kecakapan dalam komunikasi dan belajar di Pondok
Pesantren serta dapat dimanfaatkan untuk bekal para santri di masa
depan dan dapat berinteraksi dengan masyarakat.
Dengan kegiatan inilah yang selalu dikembangkan oleh Pesantren
dengan tujuan agar dapat digunakan oleh para santri sebagai bekal
ketika mereka pulang ke kampung halaman dan pondok pesantren
bangga jika para santri berhasil dan dapa