SKRIPSI
Oleh:
SHOLAH HAZMI NIM. C01212091
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhsiyah) SURABAYA
v
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‚Analisis Sad Al-Dhari>‘ah Terhadap Perkawinan Bawah Tangan (Studi Kasus Di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota
Surabaya) ‛ adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan tentang,
1) Bagaimana praktek perkawinan bawah tangan di Kelurahan Ujung Kecamatan
Semampir Surabaya? 2) Bagaimana analisis Sad Al-Dhari>‘ah Perkawinan Bawah
Tangan (Studi Kasus Di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Madya Surabaya ?
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dan dengan pola fikir deduktif untuk memperoleh
kesimpulan yang khusus dan dianalisis dengan Sad ad-dhari<’ah.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa peraktik perkawinan bawah tangan pada masyarakat di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Surabaya layaknya pernikahan pada umumnya, peraktik Perkawinan bawah tangan dilaksanakan sesuai dengan prosesi pernikahan Islam, yaitu terpenuhi rukun dan syarat. Yang membedakan dalam peraktik adalah pernikahan itu tidak dicatat oleh petugas pencatat nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi hanya mendapatkan selembar kertas dari tokoh masyarakat sebagai bukti telah menikah (surat pernyataan akad nikah)
Analisis Sad Al-Dhari>‘ahterhadap peraktik perkawinan bawah tangan pada
masyarakat di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Surabaya : Tidak diperbolehkan praktek perkawinan bawah tangan jika itu dilakukan justru akan menimbulkan banyak madhorot dikemudian hari, diantara madhorot dari perbuatan tersebut adalah bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, kaidah fikih menggunakan meninggalkan keburukan lebih diutamakan dibanding meraih kebaikan.
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9
G. Definisi Operasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 14
I. Sistimatika Pembahasan ... 18
BAB II: KONSEP SAD AL-DHARI>’AH DAN PENGERTIAN PERKAWINAN BAWAH TANGAN A. Definisi Sad Al-dhari>ah ... 23
B. Dasar Hukum Sad Al-Dhari>’ah…….………..……….. 26
C. Klasifikasi Dasar Hukum Sad Al-Dhari>’ah …….……… 26
F. Perkawinan Bawah Tangan Dalam Perpektif Hukum Islam... 35
G. Perkawinan Bawah Tangan Dalam Perpektif Hukum Islam... 38
H. Dampak Perkawinan Bawah Tangan ... 41
I. Pencatatan Perkawinan ……….……….... 46
BAB III: PRAKTEK PERKAWINAN BAWAH TANGAN DI KELURAHAN UJUNG KECAMATAN SEMAMPIR KOTA MADYA SURABAYA ... A. Kondisi Geografis Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Madya Surabaya ... 48
B. Praktek Perkawinan Bawah Tangan Di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Madya Surabaya ... 50
BAB IV: ANALISIS SAD AL-DHARI’AH TERHADAP PERKWINAN BAWAH TANGAN DI KELURAHAN UJUNG KECAMATAN SEMAMPIR KOTA MADYA SURABAYA A. Faktor yang mempengaruhi Perkawinan Bawah Tangan....………. 62
B. Solusi bila Perkawinan Bawah Tangan sudah terjadi……… 67
C. Analisis Sad Al-Dhari>’ah Perkawinan Bawah Tangan Di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Madya………... 74
BAB V: PENUTUP ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Nikah atau kawin adalah akad yang menghalalkan persetubuhan antara wanita dan laki-laki, disertai dengan kalimat-kalimat yang ditentukan. Dan dengan pernikahan tersebut, maka dibatasilah hak dan kewajiban keduanya, sesuai dengan ajaran Islam. Islam adalah agama yang berpegang teguh pada keadilan dan persamaan, bukan agama yang membeda-bedakan manusia berdasarkan pilih kasih. Hukum-hukumnya pun bersifat umum, yaitu bukan hanya berlaku bagi segolongan dan tidak berlaku bagi golonganyang lain. Di hadapan syariat Islam, semua kaum muslimin berkedudukan sama. Terutama dalam soal pernikahan, maka sama sekali tidak ada hubungan dengan asal-usul keturunan. Allah SWT mensyariatkan pernikahan kepada manusia karena Dia tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia selaku khalifah Allah dimuka bumi, maka diadakanlah hukum yang sesuai dengan
martabatnya.1 Berangkat dari hal inilah perkawinan disyariatkan oleh
Allah SWT, sebagaimana dalam firman-Nya Surat an-Nur ayat 32 sebagai berikut :
1 LM.Syarifie, Membina Cinta menuju perkawinan, Gresik, Putra Pelajar, 1999, 10.
وُحِكْنَأَو
ا
ىَماَیَْلا
ْمُكْنِم
َنيِحِلاّصلاَو
ْنِم
ْمُكِداَبِع
ْمُكِئاَمِإَو
ْنِإ
اوُنوُكَی
َءاَرَقُ ف
ُمِهِنْغُ ی
ُهّللا
ْنِم
ِهِلْضَف
ُهّللاَو
ٌعِساَو
ٌميِلَع
Artinya: ‚Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak berkawinan dan hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu perempuan . Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.‛2
Demikian juga, sabda Rasulullah SAW :
ْنَع
ُدْبَع
ِلا
ْنِب
ِدْوُعْسَم
َىِضَر
ُلا
ىَلاَعَ ت
ُهْنَع
َلاَق
ُلوُسَر
ِهّللَا
-ىّلَص
ُلا
ِهْيَلَع
َمّلَسَو
اَی
َرَشْعَم
ّشلَا
ِباَب
ِنَم
َعاَطَتْسا
ُمُكْنِم
َةَءاَبْلَا
ْجّوَزَ تَيْلَ ف
,
ُهّنِإَف
ضَغَأ
ِرَصَبْلِل
,
ُنَصْحَأَو
ِجْرَفْلِل
,
ْنَمَو
ْمَل
ْعِطَتْسَی
ِهْيَلَعَ ف
ِمْوّصلاِب
;
ُهّنِإَف
ُهَل
ٌءاَجِو
.."
Artinya: ‚Dari Abdullah Bin Mas’ud berkata bahwasannya Rasulullah Saw
bersabda: Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu diantara untuk menikah, maka hendaklah menikah. Maka, sesengguhnya kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang dilarang oleh agama) da memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa, maka sesungguhnya puasa itu adalah perisai nafsunya (H.R.Bukhari
Muslim) 3
Adapun tujuan dalam perkawinan itu di antaranya adalah: untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani melalui pembentukan rumah tangga yang rukun, damai, harmonis dan ideal yang akan memperoleh keturunan yang diharapkan dengan kondisi yang baik sehingga dapat menjadi generasi yang baik pula dengan mengikuti ketentuan-ketentuan
yang telah disyari’atkan. Sebagaimana firman Allah :
2 Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta, 1971, 549
ْنِمَو
ِهِتاَیآ
ْنَأ
َقَلَخ
ْمُكَل
ْنِم
ْمُكِسُفْ نَأ
اًجاَوْزَأ
اوُنُكْسَتِل
اَهْ يَلِإ
َلَعَجَو
ْمُكَنْ يَ ب
ًةّدَوَم
ًةَمْحَرَو
ّنِإ
يِف
َذ
َكِل
ٍتاَی َآ
ٍمْوَقِل
ّكَفَ تَ ی
َنوُر
Artinya: ‚Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan mereka terasa tentram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir’’. (QS.Ar
-Rum: 21) 4
Menurut Amir Syamsuddin dalam bukunya ‚Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia‛ menjelaskan bahwa diantara tujuan perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan
generasi yang akan datang. Hal ini terlihat dari yang isyarat surat
an-nisa’ ayat 1 :
اَی
اَه یَأ
ُساّنلا
اوُقّ تا
ّبَر
ُمُك
يِذّلا
ْمُكَقَلَخ
ْنِم
ٍسْفَ ن
ٍةَدِحاَو
َقَلَخَو
اَهْ نِم
اَهَجْوَز
ّثَبَو
اَمُهْ نِم
لاَجِر
اًريِثَك
ًءاَسِنَو
اوُقّ تاَو
َهّللا
يِذّلا
َنوُلَءاَسَت
ِهِب
َماَحْرلاَو
ّنِإ
َهّللا
َناَك
ْمُكْيَلَع
اًبيِقَر
Artinya: Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada tuhan-mu yang menjadikan kamu dari diri yang satu daripadanya Allah menjadikan istri-istri; dan dari keduanya Allah menjadikan anak keturunan yang banyak, laki-laki dan perempuan
Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri umat
manusia bahkan juga bagi makhluk hidup yang diciptakan. Untuk maksud itu Allah menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidupnya untuk menyalurkan nafsu
syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal bagi penyaluran nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan
2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup
dan rasa kasih sayang. Hal ini terlihat dari firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21 yang telah dikutip di atas.
Melalui pernikahan akan menimbulkan beberapa konsekuensi, maka
dibuat aturan dan prosedur guna menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan. Di Indonesia, prosedur dan aturan yang dibuat bagi masyarakat Islam adalah bahwa pernikahan harus dicatat secara resmi dan dipublikasikan.
Pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat harus memenuhi rukun nikah, yaitu ada calon suami, ada calon isteri, ada wali nikah, dua orang
saksi dan ijab kabul5.
Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak yang bersangkutan yang diawali dengan adanya peminangan sebelum kawin dan ijab Kabul dalam akad nikah yang disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi, dan disaksikan dihadapan masyarakat dalam suatu acara walimah, dan yang lebih penting dalam pernikahan harus disaksikan dan dicatat secara resmi dihadapan petugas pencatat nikah (PPN) dan KUA. Semua itu bertujuan agar pernikahan tersebut mendapat kepastian hukum baik hukum islam maupun hukum negara. Di mana dalam UU No.1
tahun 1974 pasal 2 ayat 1, dijelaskan bahwa ‚Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku‛ 6
Dalam syari’at Islam, aturan tentang adanya pencatatan nikah baik
dalam al-Quran maupun al-Sunnah pada mulanya memang tidak diatur secara konkrit. Lain halnya dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatkan. Namun, sesuai perkembangan zaman dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, Islam di Indonesia mengatur pencatatan perkawinan melalui perundang-undangan dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Melalui pencatatan perkawinan, suami istri akan memiliki akta nikah sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka
lakukan. Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak
bertanggung jawab, maka suami atau istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Pada kenyataannya, tidak semua masyarakat Islam di Indonesia mengikuti prosedur atau aturan yang berlaku. Hal ini terbukti bahwa sebagian masyarakat masih melaksanakan praktik nikah yang tidak tercatat secara resmi dan tidak dipublikasikan yang dikenal dengan sebutan nikah sirri dan sebagian ada yang menyebutnya nikah agama atau nikah di bawah tangan. Namun sampai saat ini, sebagian ulama dan masyarakat umumnya masih belum memiliki kesamaan rumusan yang menimbulkan perbedaan persepsi terhadap nikah sirri. Secara normatif, ada yang menilai bahwa praktik
nikah sirri itu sah dan dapat menimbulkan hikmah positif, sebaliknya ada yang menilai tidak sah dan dapat menimbulkan implikasi negatif. Dan apabila dilihat dari perspektif hukum positif dan norma sosial, nikah sirri
dianggap sebagai suatu deviasi atau penyimpangan.7
Salah satu contoh dari bentuk pelanggaran terhadap perundang-undangan perkawinan adalah yang terjadi di Kecamatan Semampir Kota Surabaya yang masih banyak melakukan pernikahan bawah tangan atau suatu peristiwa perkawinan yang tidak dicatat atau didaftarkan pada KUA atau tanpa sepengatahuan PPN.
Nikah sirri yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir mempunyai berbagai macam faktor, dan itu dapat menyebabkan nikah bawah tangan. Adapun faktor yang terjadi ada dua macam, diantaranya adalah:
Pertama, pernikahan yang dihadiri oleh mempelai laki-laki dan perempuan, wali, saksi, maskawin, ijab qabul dengan mendatangkan seorang ustadz untuk menikahinya yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan tidak dicatatkan di KUA. Kedua, kekhawitiran orang tua terhadap anaknya apabila putra-putrinya yang sudah bertunangan tidak dinikahkan secara sirri terlebih dahulu khawatirnya akan terjerumus ke perzinahan.
7
Oleh karena itu, penulis bermaksud ingin meneliti lebih detail tentang faktor yang menyebabkan terjadinya nikah sirri bawah tangan pada masyarakat Kecamatan Semampir.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan paparan latar belakang masalah di atas, dapat kita
identifikasikan antara lain sebagai berikut :
1. Deskripsi Shadh Ad-dzariah terhadap perkawinan bawah tangan di Kel.
Ujung kec. Semampir, Surabaya
2. Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya Perkawinan bawah
tangan
3. Dampak terjadinya Perkawinan bawah tangan
4. Solusi setelah terjadinya Perkawinan bawah tangan
5. Analisis Shadh Ad-dzariah terhadap pandangan tokoh agama tentang
perkawinan bawah tangan di Kel. Ujung kec. Semampir, Kota Surabaya
Sehubungan dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah yang jelas dalam penelitian ini penulis membatasi hanya pada masalah-masalah berikut ini :
1. Deskripsi perkawinan bawah tangan di Kel. Ujung kec. Semampir,
2. Analisis Shadh Ad-dzariah terhadap pandangan tokoh agama tentang perkawinan bawah tangan di Kel. Ujung kec. Semampir, Kota Surabaya
C. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana praktek perkawinan bawah tangan di Kelurahan Ujung
Kecamatan Semampir Surabaya ?
2. Bagaimana analisis Sad Al-Dhari’a>h terhadap perkawinan bawah
tangan di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Surabaya ?
D. Kajian Pustaka
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan belum ada karya ilmiah
yang membahas tentang Studi Analisis Shadh Al-Dzariah terhadap
perkawinan bawah tangan Di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir, Surabaya. Namun ada beberapa peneltian yang hampir sama dalam beberapa kajian karya ilmiah (skripsi) itu.
1. dalam tulisan karya ilmiah (skripsi) Moh. Kasim Abdullah tentang
waktu akad nikah berlangsung karena sebagai alat bukti, dan tidak cukup hanya hadirnya saksi yang diinginkan oleh undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia, dari hasil penelitian menyimpulkan bahwa tokoh masyarakat dan pelaku kawin sirri memandang atau memahami kawin sirri adalah kawin yang dilakukan secara diam-diam dan perkawinan tersebut sudah sesuai dengan
hukum islam yakni syarat dan rukun telah terpenuhi8
2. dalam tulisan karya ilmiah (skripsi) M. Agus Salim Tahun 2004
dengan judul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Kecenderungan Pelaku Poligami Melakukan Nikah Sirri‛ yang intinya bahwa sulitnya
izin isteri pertama untuk berpoligami merupakan faktor utama yang menjadi penyebab pelaku poligami di Kec. Bangkalan melakukan nikah sirri, padahal izin isteri pertama merupakan salah satu syarat dalam undang0undang untuk mendapatkan izin poligami. Pada dasarnya pencatatan perkawinan tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu perkawinan, begitu pula pelaku bagi poligami. Namun begitu, seorang pelaku poligami benar-benar ditintut untuk selalu berlaku adil terhadap isteri-isterinya, sesuai dengan aturan yang
diterapkan dalam hukum islam.9
3. karya ilmiah (skripsi) Siti Fatimsh Yahun 2003 tentang ‚Isbath
Nikah Terhadap Nikah Sirri Pasca berlakunya UU No. 1 Tahun
8 Moh. Kasim Abdullah, Skripsi: Perkembangan Kawin Sirri Di Kecamatan Batu Marmar
kabupaten Pamekasan, Surabaya, 2004, 5
9 Agus, skripsi: Analisis Hukum Islam Terhadap Kecenderungan Pelaku Poligami melakukan
1974‛. Yang intinya bahwa permohonan isbath nikah nikah sirri pasca berlakunya UU No 1 Tahun1974. Hakim dalam mengabulkan permhonan tersebut, dengan mempertimbangkan status anak
pemohon yang dilahirkan dari pernikahan nikah sirri. 10
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan judul dan permasalahan yang diangkat, maka penelitian dalam skripsi ini mempunyai tujuan antara lain:
1. Untuk mengetahui pandangan tokoh masyarakat dan pelaku
perkawinan bawah tangan terhadap perkawinan bawah tangan di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Surabaya
2. Untuk mengungkapkan resiko-resiko yang dihadapi masyarakat
terhadap melakukan perkawinan bawah tangan
F. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dihasilkan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui faktor-faktor perkawinan bawah tangan di Kelurahan
Ujung Kecamatan Semampir Surabaya.
2. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat terhadap perkawinan bawah
tangan di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Surabaya
G. Kegunaan Hasil Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna serta diharapkan mampu menjadi dasar secara keseluruhan untuk dijadikan pedoman bagi pelaksanaan secara teoritis maupun praktis, maka penelitian ini sekiranya dapat bermanfaat diantaranya :
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap fiqh
munakahat dan penerapan Undang-Undang dalam praktek perkawinan.
2. Bagi Masyarakat.
Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pernikahan siri itu sangat bertentangan dengan agama, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa nikah siri itu dikategorikan sebagai pernikahan yang bathil, lebih dari itu sering kali dikategorikan sebagai
pernikahan yang terlarang. Memberikan informasi kepada
masyarakat untuk memaksimalkan serta memanfaatkan peran
KUA dalam hal administrasi Pencatatan pernikahan yang diakui
oleh Negara (dalam hal ini KUA Kecamatan Semampir ).
3. Bagi penulis
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
H. Definisi Operasional
Untuk memberikan pembahasan yang benar dalam memahami dan menjelaskan maksud penulis, maka diperlukan adanya penegasan istilah yang ada dalam judul penelitian. Definisi tersebut adalah:
Penelitian ini membahas tentang Analisis Sad Al-Dhari’a>h terhadap
perkawina bawah tangan di kelurahan Ujung kecamatan Semampir Kota Surabaya. Untuk mempermudah pembahasan perlu adanya definisi operasional yang jelas untuk menghindari kesalah pahaman sehubungan dengan judul diatas, yaitu :
Yang di maksud Sad Al-Dhari’a>h dalam penelitian ini adalah
mencegah sesuatu perbuatan agar tidak sampai menimbulkan
al-mafasadah (kerusakan). Dari segi etimologi dzariah berarti wasilah
(perantaraan) sedang dhari’a>h menerut istilah ahli hukum islam, ialah
sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang diharamkan atau yang dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang terdapat pada
perbuatan yang menjadi sasarannya11
Imam malik dan Ahmad bin Hanba menjadika adz-dzariah sebagaia
dalil hukum syara’. Sementara Abu Hanifah dan asy-Syafi’i terkadang
menjadikan Al-Dhari’a>h sebagai dalil. Tidak ada dalil yang jelas dan pasti
baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ‘ulama tentang boleh atau tidaknya
menggunakan Sad Al-Dhari’a>h
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode Sad Al-Dhari’a>h Oleh karena itu, dasar
pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan, berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalm tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik
dan buruk.12 \
Perkawinan bawah tangan merupakan sebutan yang biasa digunakan di tengah masyarakat Indonesia. perkawinan di bawah tangan ini dimaksudkan menyebut perkawinan yang belum tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Dan atau pernikahan yang dilakukan secara sah dengan syarat dan rukun nikah dalam Islam, namun belum dilakukan pelaporan ke kantor urusan agama untuk mendapatkan akta nikah. Kebanyakan masyarakat yang melakukan pernikahan atau perkawinan di bawah tangan disebabkan oleh faktor ekonomi.
I. Metode Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian yang telah ditetapkan, penelitian ini menggunakan metode analisis diskriptif dalam bentuk studi lapangan. Oleh karena itu penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif.
Penggunaan metode kualitatif ini bertujuan agar data yang diperoleh lebih lengkap, lebih mendalam, kredibel dan bermakna sesuai hakikat penelitian kualitatif yang menekankan pada pengamatan atas orang dalam lingkungannya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan
tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya.13
1. Data yang dikumpulkan
Data yang diambil dan diperlukan oleh penulis adalah data yang diperoleh dengan referensi-referensi atau buku-buku yang menjelaskan tentang masalah pernikahan, syarat-syarat pernikahan dan segala sesuatu yang timbul akibat Perjodohan paksa. Sementara itu, data yang digunakan oleh penulis adalah wawancara kepada pihak-pihak yang terkait, khususnya masyarakat Kelurahan Ujung Kecamaan Semampir Kota Madya Surabaya
2. Sumber Data
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Sumber yang digunakan meliputi sumber data primer dan sekunder, yaitu :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah informasi yang
diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.14 Sumber data primer yang
dimaksud ialah:
1) Para pelaku perkawinan bawah tangan dan tokoh agama, tokoh
masyarakat Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Surabaya.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah kitab-kitab, buku-buku, dokumen yang ada dan berkaitan dengan penelitian serta menggunakan bahan pustaka yang dapat menunjang penelitian seperti karya ilmiah dan data yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini. Adapun data skunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti buku ,internet, laporan, jurnal, skripsi, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh beberapa data yang di butuhkan, maka penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab dengan melakukan tatap muka antara
pewawancara dengan koresponden menggunakan alat yang dinamakan
interview guide (panduan wawancara).15
b. Observasi
Pengumpulan data melalui observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata (panca indera) tanpa
ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tesebut16
Tujuan dari observasi adalah menggambarkan segala sesuatu yang berhubungan degan objek penelitian, mengambil kesimpulan yang di susun menjadi sebuah laporan yang relavan dan dapat bermanfaat
sebagai sebuah bahan pembelajaran atau studi.17
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data. Adapun teknik pengolahan data menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Editing
Yaitu, pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna, keselarasan
antara data yang ada dan relevansi penelitian.18
b. Organizing
Yaitu, menyusun kembali data-data yang telah didapat dalam penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang sudah
15 Mohammad Nadzir, Metode Penelitian cet. VI (Bogor : Gahlia Indonesia, 2005),19-194. 16 Ibid, 175.
direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis. 19
b. Penemuan Hasil
Pada tahapan ini penulis menganalisis data-data yang telah diperoleh dari penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai kebenaran fakta yang ditemukan, yang akhirnya merupakan sebuah
jawaban dari rumusan masalah.20 Ini merupakan tahapan terakhir dari
proses pengolahan data.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengaturan urutan data, mengorganisir kedalam pola, kategori, dan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang digunakan
untuk menganalisis data.21
Untuk menganalisis data yang terkumpul, penulis menggunakan analisis deskriptif analis. Data yang diperoleh berupa kumpulan karya tulis, komentar orang atau perilaku yang diamati serta didokumentasikan melalui proses pencatatan akan diperluas dan disusun dalam teks. Cara berfikir
yang dipakai dalam penelitian ini adalah instrument berfikir deduktif.22
Maka analisis data dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu: dimulai dari pengumpulan data. Setelah data selesai dikumpulkan, kemudian dilakukan penyusunan data dengan cara menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir sehingga data terpilah pilah
19 Ibid, 245. 20 Ibid, 246.
untuk selanjutnya dilakukan analisis. Tahap berikutnya, data tersebut
diinterpretasikan, lalu diambil kesimpulan.23
J. Sistematika Pembahasan
Penulisan hasil penelitian ini disusun dalam lima bagian yang masing-masing bagian akan dijabarkan secara mendalam. Sistematika pembahasannya dapat dilihat sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menggambarkan isi dan bentuk penelitian yang meliputi : Latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Konsep Sad Al-Dhari’a>h dan Pengertian Pekawinan Bawah
Tangan
Dalam bab ini memuat gambaran umum tentang Sad Al-Dhari’a>h,
antara lain mengenai : Pengertian dan dasar hukum, klasifikasi Sad
Al-Dhari’a>h, kehujahan Sad Al-Dhari’a>h dan cara menentukan Sad
Al-Dhari’a>h dan Pegnertian Perkawinan Bawah Tangan menerut Hukum
Islam Dan Hukum Positif
Bab III : Praktek perkawinan di bawah tangan Di Kel. Ujung Kec Semampir Kota Surabaya.
Bab ini menjelaskan tentang praktek perkawinan di bawah tangan Di Kel. Ujung Kec Semampir Kota Surabaya serta gambaran Umum Keaadaan Masyarakat Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir
Bab IV: Analisis Sad Al-Dhari’a>h
Dalam bab ini merupakan pemaparan bagian-bagian dari analisa secara umum yang meliputi analisis Hukum Positif dan Hukum Islam, serta faktor-faktor penyebab nikah di bawah tangan di Kelurahan Ujung Kecamatan Semampir Kota Surabaya dan solusi bila sudah terjadi nikah di bawah tangan
BAB V : PENUTUP
BAB II
PENGERTIAN SADD AL-DHARI>’AH
A. PENGERTIAN SADD AL-DHARI’AH
1. Secara Etimologis
Secara lughawi (bahasa), al-dzari’ah itu berarti:
َولا
ِس
ْ ي َل ُة
ّلا
ِت
َ ی ي
َ ت َو
ّص
ُل
ِب َه
ا ِإ
َل
ّشلا ى
ْي ِئ
َس َو
ٌءا
َك
َنا
َح
ِس
ي
َأ ا
ْو َم
ْع َن
ِو ًیا
Jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawi, baik atau buruk.
Arti lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan
penilaian kepada hasil perbuatan. Pengertian netral inilah yang diangkat oleh
Ibnu Qayyim ke dalam rumusan definisi tentang Sad Al|-Dh|ari>’ah, yaitu :
َم
َكا
َنا
َو
ِس
ْ ي َل
ٌة
َو َط
ِر ْ ی ًق
ِإ ا
َل
ّشلا ى
ْي
ئ
Apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu.
Untuk mendapatkannya dalam bahasan sesuai dengan yang dituju, kata
Al|-Dh|ari>’ah itu didahului dengan saddu ( دس ) yang artinya “menutup” ;
maksudnya adalah “menutup jalan terjadinya kerusakan”1 dan kata al-Dhari<‘ah
berarti “wasilah ” atau “jalan ke suatu tujuan” dengan demikian Sad
al-Dhari<‘ahsecara bahasa berati “menutup jalan kepada suatu tujuan”2
Secara Teminologi
Secara terminologis al-Dhari<‘ah berarti sesuatu yang akan membawa pada
kepada perbuatan-perbuatan baik dan menimbulkan maslahah atau membawa
pada perbuatan yang terlarang dan akan menimbulkan mafsadah.3
Menurut istilah ahli hukum Islam, ialah sesuatu yang menjadi perantara ke
arah perbuatan yang diharamkan atau dihalalka. Dalam hal ini, ketentuan hukum
yang dikenakan pada al-Dhari<‘ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang
terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Jelasnya: perbuatan yang
membawa ke arah mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa ke arah
haram adalah haram; dan perbuatan yang menjadi perantara atas terlaksananya
perbuatan wajib adalah wajib.4
Dalam karyanya Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa Sad
al-Dhari<‘ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan
kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’)5. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang
maupun yang dibolehkan6.
3 H.M Hasbi Umar,Nalar Fiqh,(Bandung:cahaya),117
4 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,( Jakarta:Pustaka Firdaus), 467.
5 Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), Muwafaqat fi Ushul
al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.), juz 3,. 257
6 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), juz
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa Sad
al-Dhari<‘ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang
pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang.
Di dalam kitab Ushūlul Fiqh al-Islamy dijelaskan sebagai berikut :
َی ْأ
ُخ
ُد
ْا
َحل
َن ِبا
َل ُة
َك
َملاا
ِلا
ِك ّي
َو ة
ّشلا
ِفا
ِع ّي
ِب ة
ُم ْب
َد
َس ا
ُد
ّذلا
َر ِئا
ُع
ِإ َل
َفلا ى
َس
ِدا
َو .
َغ َل
َق
َا ْ ب َ
و
َبا
شلا
ُر ْو
ِر
َو ْلا
َم
َض
ِرا
َك
َم
ِف نيبتيس ا
َب ى
ْح َث
ِه
ُملا
ْس َ ت
َق
ل
َو .
ْا
ُمل
ِه
م
َ ب نآا
َي
ٌنا
َع
َل
َق ًة
َق
ِعا
َد َة
ّذلا
َرا ِئ
ِع
ِب
َملا
ْص
َل
َح ِة
ُملا
ْر َس
َل ِة
ِإ :
ْن
ُ ی ْب
َن
ّذلا
َر ِئا
ِع
َو
َملا
ْص
َل
َح ُة
ُملا
ْر َس
َل ٌة
َت
َش
ِبا
َه ِفا
ُملا ى
ْب َد
ِأ
:
َو ُ
َو
َأ ْن
ُك
ل
ِم ْ ن
ُه َم
َم ا
ْص
َل
َح ٌة
ُك ل
َي ُة
ُش
ِه
َد
ْت
َل
َه
ُن ا
ُص
ْو
ُص
ّشلا
ِر ْ ی َع
ِة
ِف
ُجلا ي
ْم َل
ِة
ِب َغ ْي
ِر
َد ِل ْي
ٍل
ُم َع ي
ٌن
َو َغ
َ یا ُ ت
ُه َم
َو ا
ِحا
َد ٌة
َو :
ِ
َي
ِح
َم َیا
ُة
َملا
َص
ِلا
ِح
َعلا
ّما
ٌة
َو َد
ْف ُع
َملا
َف
ِسا
ِد
َعلا
ّما
ة
Dalam teks tersebut dijelaskan bahwasanya, Pengikut Imam Hambali
seperti pengikut Maliki dan Syafi‟i memulai Sadd al-Dhari<‘ahterhadap
kerusakan, pernyataan ini mengandung makna bahwasanya pengikut
Imam Hambali, Maliki, dan Syafi‟i menggunakan metode Sad
al-Dhari<‘ah itu atas dasar kerusakan yang terjadi. Menutup pintu-pintu
kejelekan dan kemadhorotan seperti yang akan di jelaskan pada
pembahasan berikutnya. Yang terpenting sekarang adalah
menghubungkan kaidah Sad Al|-Dh|ari>’ah dengan Maslahah Mursalah,
sesungguhnya antara Sad Al|-Dh|ari>’ah dan Maslahah Mursalah serupa
dengan permulaan.Sesungguhnya masing-masing dari kedua metode itu
ada kemaslahatan secara menyeluruh.
dalil yang membuktikan, dan intinya hanya satu, yaitu memelihara
kemaslahatan umum dan menolak kerusakan umum.7
Dalam pernyataan tersebut menjelaskan bahwa antara metode Sad
al-Dhari<‘ahdengan Maslahah Mursalah memiliki tujuan yang sama yakni
mencapai sebuah kemaslahatan umum serta menolak atau bisa dikatakan
menghindari adanya kerusakan yang dapat merugikan secara umum.
Dalam hukum Islam ada dua hal yang harus dibedakan, yaitu:
al-maqāshid (tujuan) dan al-wasāil (cara mencapai tujuan). Tujuannya adalah meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan.Untuk meraih
kemaslahatan, ada cara-cara atau media yang menyampaikan kita kepada
kemaslahatan.Demikian pula untuk menolak kemafsadatan, ada cara-cara
untuk menghindarinya. Cara yang menyampaikan kita kepada
kemaslahatan disebut fath al-al-Dhari<‘ah (membuka jalan). Sedangkan
cara untuk menghindarkan kita dari kemafsadatan disebut Sadd
al-Dhari<‘ah(menutup jalan).8
B. DASAR HUKUM SADH AL-DZARI’AH
a. al-Qur’an
َو َل
َت
َس ب
ّلا و
ِذ ْی
َن
َی ْد
ُع ْو
َن
ِم
ْن
ُد ْو
ِن
ِلا
َ ف
َي َس
ب
َع لا و
ُد و
ِب
َغ ْي
ِر
ِعلا
ْل
َك م
َذ
ِلا
َك
ُز ی
َن
ِل ا
ُك
ل
ُأ ّم
ٍة
َع َم
ِل ِه
ْم
ُث ّم
ِإ َل
َر ى
ب ِه
ْم
َم ْر
ِج
ُع ُه
ْم
َ ف ُ ي َن
ب ُع
ُه ْم
ِب
َم
َك ا
ُنا
َ ی و
ْع َم
ُل ْو
ن
7.Wahbah Zuhaily, ushūlul fiqh al islamī, 797-798
8
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain
adalah al-Dhari’ahyang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang
dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori
psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan
akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya
mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka
larangan mencaci maki Tuhan agama lain merupakan tindakan
preventif (Sad al-Dhari<‘ah) 9
...
َو َل
َی
ْض
ِر ْب
َن
ِب َأ ْر
ُج ِل
ِه
ّن
ِل َ ي ْع
َل ُم
َم
ُیا
ْخ
ِف ْي
َن
ِم
ْن
ِز ْ ی َن
َ ت ُه
ّن
َو ُ ت
ْو ُ ب
ْو ِإ
َل
َج لا ى
ِم ْ ي
َع
َأ ا
َی َة
ُملا
ْؤ ِم
ُ ن ْو
َن
َل َع ّل
ُك
ْم
ُ ت ْف ِل
ُح ْ
و
َن
Artinya;. . . dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang- orang yang beriman supaya kamu beruntung.10
Wanita menghentakkan kaki waktu berjalan sehingga terdengar
gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu
akan menarik hati laki-laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka
perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang
9 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh,( Jakarta:Pustaka Firdaus), 46
menuju kearah perbuatan zina.11
Dari dua ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang
dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada
dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Dalam hal ini dasar pemikiran
hukumnya bagi ulama adalah bahwa setipa perbuatan itu mengandung dua
sisi;
1) sisi yang mendorong untuk berbuat, dan
2) sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (kesimpulan/akibat) dari
perbuatan itu.12
b. as-Sunnah
ْنَع
ِدْبَع
ِهّللا
ِنْب
وٍرْمَع
َيِضَر
ُلا
اَمُهْ نَع
َلاَق
َلاَق
ُلوُسَر
ِلا
ىّلَص
ُلا
ِهْيَلَع
ّنِإَمّلَسَو
ْنِم
ِرَبْكَأ
ِرِئاَبَكْلا
ْنَأ
ُلُجّرلاَنَعْلَ ی
ِهْیَدِلاَو
َليِق
اَی
َلوُسَر
ِلا
َفْيَكَو
ُنَعْلَ ی
ُلُجّرلا
ِهْیَدِلاَو
بُسَيَلاَق
ُلُجّرلا
اَبَأ
بُسَيَفِلُجّرلا
ُاَبَأ
بُسَیَو
ُهّمُأ
Dari Abdullah bin Amr ra, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:
“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci
maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.13
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum
bagi konsep Sadd al-Dhari<‘ah Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh
11
Muin Umar, dkk, Ushul Fiqh I, 161.
12 Amir Syamsuddin, Ushul Fiqh 2,(Jakarta:Kencana), 426-427
13 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi,al-Jami’ ash-Shahih
ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar
untuk penetapan hukum dalam konteks Sadd al-Dhari<‘ah14
c. Kaidah Fiqh
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan Sadd
al-Dhari<‘ah adalah:
.ِحِلاَصَمْلا ِبْلَج ْنِم ىَلْوَأ ِدِساَفَمْلا ُءْرَد
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).
Ulama Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Syi‟ah dapat menerima Sadd
al-Dhari<‘ahdalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam
masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi‟i menerimanya apabila
dalam keadaan uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan
meninggalkan shalat Jum‟at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat
dhuhur. Namun, shalat dhuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar
tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum‟at.15
C. KLASIFIKASI DASAR HUKUM SADD AL-DHARI<‘AH
Para ulama membagi Al-Dhari<‘ah berdasarkan dua segi, segi kualitas
kemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan.64 Sedangkan Ibn al-Qayyim
dan Abu Ishaq al-Syathibi mengutarakan bahwa terdapat dua teori
14 Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360
pembagian al-Dhari<‘ah.
Menurut Imam al-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu
dilarang, yaitu:
a) Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandungkerusakan.
b) Kemafsadatan lebih kuat dari padakemaslahatan.
Perbuatan yang dibolehkan syara‟ mengandung lebih banyak unsur keman
faatannya.
َ ف َق
ِعا
ُد
ّذلا
َر ِئا
ُع
َ
ُه َن
ِإ ا
َد َق
ْد
ُث ِب
َت
َقلا
ْص
ُد
ِإ َل
ى
َملا
ْم ُ ن
ْو
ٌع
َو َأ
ْی
ًض
َ ف ا
َق
ِعا
َد ًة
ُم َع
ِرا
َض
ٍة
َد ْر
ُء
َملا
َف
ِسا
ُد ِل
َج ْل
ِب
َملا
َص
ِلا
ُح
َج
ِرا َی
ًة
ُ ّن
َِل ا
ْن
َد ْر
َء
َملا
َف
ِسا
ُد
ُم ِق
د
ٌم
َو َِل
ّن
َق ِئا
َد ًة
ُ نواتلا
َنا
Kaidah Dharī’ah tersebut dapat menguatkan, sehingga suatu tujuan dapat benar-benar menguatkan hal-hal yang dicegah.Dan juga kaidah itu
bertentangan dengan kaidah yang berlaku yaitu kaidah
menolak kerusakan didahulukan, karena kaidah tersebut salingmembantu.
Pembagian dharī‟ah berdasarkan dua segi-segi kualitaskemafsadatan, dan segi jenis kemafsadatan :
1. Dharī'ah dari segi kualitaskemafsadatan
Menurut Abu Ishaq al- Syatibi membagi Al-Dhari<‘ah kepada 4 macam, yaitu:
Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan
terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah
orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah
jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena
melakukan perbuatan dengansengaja.
b. Al-Dhari<‘ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kelau Al-Dhari<‘ah itu dilakukan, maka kemungkinan
besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang
dilarang. Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan
minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang
mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh- boleh saja dan tidak
mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun
menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk
dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau
kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk
membunuh atau menyakiti oranglain.
c. Al-Dhari<‘ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
kebanyakan. Hal ini berarti bila Al-Dhari<‘ah itu tidak dihindarkan
seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya
perbuatan yang dilarang. Umpamanya jualbeli kredit. Memang tidak
selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya
seirng dijadikan sarana untuk riba.
perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu
dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya
mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut
kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam
lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan adayang nyasar lalu
dan terjatuh ke dalam lobang.16
2. Al-Dhari<‘ah dari segi kemafsadatan yangditimbulkan
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain
sebagai berikut:
a. Al-Dhari<‘ah yang memang pada dasarnya membawa kepada
kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa
kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa
pada kerusakan tataketurunan.
b. Al-Dhari<‘ah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun
ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja,
seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan
agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh,
namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi
tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu
16
sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat
dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah
menjaditerlarang.
c. Al-Dhari<‘ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan
untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan
yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti
berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa
iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya
berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa
iddah keadaannyalain.
d. Al-Dhari<‘ah yang semula ditentukan untuk mubah, namun
tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya
lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat
wajah perempuan saatdipinang.67
Ucapan dan perbuatan yang menyebabkan kerusakan itu ada 4 macam:
َو : لوألا
ِس
ْ ي َل
ٌة
َم ْو
ُض
ْو َع
ٌة
ِلل
ْف
َض
ِءا
ِإ َل
َملا ى
ْف
َس
َد ِة
َق
ْط
ًع
َك ا
ُس ْ
ر
ِب
َخلا
ْم ِر
َملا
ِض
ِا ى
َل
ى
َم ْف
َس
َد ٍة
ّسلا
ْك
ُر
َاو
ِزل
ِإ ىضملا ىن
َىل
َم ْف
َس
َد ٍة
ِإ
ْخ ِت
َل
ٌط
َلا
ْن
َس
ٌبا
َو َ ث
َل َم
َألا
ْع َر
ٌضا
Pertama yaitu perantaraan yang diletakkan untuk mendatangkan kerusakan secara pasti, misalnya minum khamr yang mendatangkan kerusakan yaitu mabuk, dan berzina yang mendatangkan kerusakan pada percampuran nasab dan merusak nama baik
Kedua: washilah atau perantara yang diletakkan untuk mendatangkan kebolehan tetapi tujuan tawassul itu terhadap kerusakan. Seperti akad nikah dengan tujuan menghalalkan istri kepada suami pertama yang telah mentalaknya tiga
: ثلاثلا
َو
ِس
ْ ي َل
ٌة َم
ْو
ُض
ْو َع
ٌة
ِلل
ْف
َض
ِءا
ِإ
َىل
ُملا
َب
ِحا
َو َل
ْم
َ ی ْق
ِص
ُد
ِب َه
ُلسوتلا ا
ِإ َل
َملا ى
ْف
َس
َد ِة
َو َل
ِك
ّ ن َه
ُ ت ا
ْؤ ِذ
ِإ ي
َل ْ ي
َه
َغ ا
ِلا ًب
َو ا
َم ْف
َس
َد ِت
َه
َأ ا
ْر ِج
ُع
ِم
ْن
َم
ْص
َل
َح ِت
َه
ا
ِم ْث
ٌل
َس
ب
َهلا
ٌة
َكلا
ّف
ِرا
انلع
ِإ َذ
َك ا
َنا
َ ی ْف
ِض
ِإ ى
َل
َج لا ى
ّل
َو َع
َلى
Ketiga: perantaraan yang diletakkan untuk mendatangkan kemubahan dan tidak bertujuan perantaraan kepada kerusakan, akan tetapi untuk mendatangkan kerusakan pada umumnya. Kerusakan itu lebih utama daripada kemashlahatannya.Misalnya mencacimaki tuhannya orang kafir, apabila dia mencacimaki pada Allah Yang Maha Agung dan Tinggi.
: عبارلا
َو ِس
ْ ي َل ٌة
َم ْ
و
ُض
ْو َع
ٍة
ِلل
ْف
َض
ِءا
ِإ َل
ُملا ى
َب
ِحا
َو َق
ْد
َ ت ْف
ِض
ِإ ى
َل
َملا ى
ْف
َس
َد ِة
َو َم
ْص
َل
َح ِت
َه ا
َأ ْر
ِج
ُع
ِم
ْن
َم ْف
َس
َد ِت
َه
ِم ا
ْث ٌل
ّنلا ,
ْط
ٌر ِإ
َل
َملا ى
ْخ
ُط
ْو َب ِة
َو ,
َملا
ْش
ُه ْو
ِد
َع َل
ْ ي َها
َجلاو ,
ْه
ِب ر
َك
ِلا
َم ِة
َحلا
ق
ِع ْن
َد
ُس ْل
َط
ٌن
َج
ِئا
ْر
Keempat: perantaraan yang diletakkan untuk mendatangkan kemubahan dan kadang-kadang mendatangkan kerusakan, dan kemashlahatan lebih utama daripada kemadharatannya. Seperti memandang wanita yang akan dilamar, dan menyaksikannya, serta menegakkan kebenaran di depan pemimpin yang dholim.17
D. KEHUJAHAN DASAR HUKUM SADD AL-DHARI<‘AH
Di kalangan ulama Ush}ul terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan
boleh atau tidaknya menggunakan Sadd al-Dhari<‘ah sebagai dalil syara’.
Sebagaimana dijelaskan M. Quraish Shihab, Ulama Malikiyah
menggunakan Q.S. Al-An’am ayat 108 dan Q.S. An-Nu>r ayat 31 yang
dijadikan alasan untuk menguatkan pendapatnya tentang Sadd
al-Dhari<‘ah18
Tidak semua ulama sepakat dengan Sadd al-Dhari<‘ah sebagai metode
dalam menetapkan hukum.Secara umum berbagai pandangan ulama
tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang
menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang
menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali.Para
ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini
dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa
diterapkan lebih luas.Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya,
mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al
-Furuq.Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan
tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwa faqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode
dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
Dengan kata lain, kelompok ini menolak Sadd al-Dhari<‘ah sebagai metode
istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada
kasus-kasusyang lain. Contoh kasusImam Syafii menggunakan Sadd al-Dhari<‘ah,
18 M. Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an Volume
adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke
perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana
(dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan
oleh Allah dan juga dhari<‘ah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang
dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang
bolehdiakses oleh siapapun.
Contoh kasus penggunaan Sadd al-Dhari<‘ah oleh mazhab Hanafi
adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati
suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak
mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan
menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena
itulah, pelarangan itu merupakan Sadd al-Dhari<‘ah agar tidak terjadi
perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan
iddah.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri,
bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode Sadd
al-Dhari<‘ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub
pembahasan tentang penolakannya terhadap Sadd al-Dhari<‘ah dalam
pembahasan tentang al-ihtiyath. (kehati-hatian dalam beragama). Sadd
al-Dhari<‘ah lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga
kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang
dilarang. Konsep Sadd al-Dhari<‘ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan
ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas
diharamkan oleh nashtidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan
nash.19
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan Sadd
al-Dhari<‘ah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam
banyakkasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah
az-Zuhaili,kontroversi di kalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i,
danHambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit.
Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan Sadd
al-Dhari<‘ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.Adapun tentang
mazhab Z{hahiri yang menolak mentah-mentah Sadd al-Dhari<‘ah, hal itu
karena mereka memang sangat berpegang teguh padaprinsip berpegang
kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semuaperbuatan harus
diputuskan berdasarkan d{ahir nash dan d{ahir perbuatan.
Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash
juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa
mengabaikantujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih
mashalah. Jikamemang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah
melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka Sadd al-Dhari<‘ahadalah
sebuahmetode hukum yang perlu dilakukan.
19
Jumhur ulama menempatkan faktor manfaat dan mafsadat sebagai
pertimbangan dalam menetapkan hukum, salah satunya dalam metode Sadd
al-Dhari<‘ahini. Dasar pegangan jumhur ulama untuk menggunakan metode
ini adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan
antara maslah}at dan mafsadat. Bila maslah}at dominan, maka boleh
dilakukan; dan bila mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan.
Namun, jika sama-sama kuat, maka untuk menjaga kehati-hatian harus
mengambil prinsip yang berlaku.20
حلاصملا بلج ىلع مدقم دسافملا ءرد
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan”21
Bila antara yang halal dan yang haram bercampur, maka prinsipnya
dirumuskan dalam kaidah:
مارحلا بلغ مارحلاو للحلا عمتجاذإ
“Apabila bercampur yang halal dan yang haram, maka yang haram
mengalahkan yang haram.22
E. CARA MENENTUKAN DASAR HUKUM SADD AL-DHARI<‘AH
20
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), 429. 21
Nashr Farid Muhammad Washil, Dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Madkhalu Fi>
Al-Qaw>’Id Al-Fiqhiyyati,
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena
ia bisa menjadi sarana (ad-dhari<'ah) terjadinya suatu perbuatan lain yang
dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal23, yaitu :
1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan
suatuperbuatan, baik bertujuan untuk yang halal maupun yang
haram.Mengenai niat tersebut, ulama Hanafiyah dan Syafi'iyah
berpendapatbahwa dasar dalam urusan dengan Allah adalah niat
sedangkan yangberkaitan antar sesama hamba (manusia) adalah
lafadh-nya. Sehingga
berlaku kaidah :
ربتعملا
ظفللاو مسإا دابعلا رومأ ىف ربتعملاو ىنعملا لا رماوأ ىف
\Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat, sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba (manusia) adalah lafadh-nya.24
Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang
yanghendak menikahi seorang perempuan talak tiga adalah karena
sekedaruntuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan
suaminyaterdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan
tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syar'i
yaitu demimembina keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
23 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh
1, (Jakarta: Logos, 1997), 235.
2. Akibat suatu perbuatan yang membawa dampak negatif. Jika
akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah
sesuatu yangdilarang (mafsadah), maka perbuatan itu harus dicegah.
Misalnya, seorangmuslim yang mencaci-maki sesembahan kaum
musyrik. Niatnya mungkinuntuk menunjukkan kebenaran 'aqidahnya
yang menyembah Allah SWT. Tetapi, akibat caciannya ini bisa
membawa dampak yang lebih buruk lagi, yaitu munculnya cacian yang
serupa atau lebih dari mereka terhadap Allah. Karenanya perbuatan ini
dilarang. Dalam hal ini berlaku kaidah :
ةمكحم ةداعلا
“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”
Karena adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai nilai
yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui,
dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kasadaran masyarakat
tersebut. Diantaranya` nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah
(kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat istiadat.
Disinilah kemudian ulama membagi adat kebiasaan yang ada di
masyarakat menjadi dua yaitu al-‘a<dah al-s{ahahihah (adat yang s{ahih,
benar, baik) dan ada pula al-‘a<dah al-fa<sidah (adat yang mafsadah, salah,
rusak) seperti kebiasaan mencaci tuhan agama lain adalah kebiasaan yang
mafsadat bisa mengantarkan pada kerusakan.25
F. Perkawinan Bawah Tangan dalam Perspektif HukumIslam
Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan
perempuan yang terinstitusi dalam suatu lembaga yang kokoh, dan diakui
baik secara agama maupun secara hukum26 Yang dimaksud kawin dalam
tulisan ini adalah kawin (perkawinan), nikah (pernikahan). Kawin dalam
Alqur’an disebut “Nikah”. Sedangkan Nikah adalah merupakan Jima’ yang
berarti penggabungan & pencampuran; berhimpun/Watha’ Dalam
terminologi Islam, nikah di bawah tangan atau KBT (Kawin Bawah
Tangan) lazim disebut kawin sirri27 Dari segi etimologi, kata sirri berasal
dari bahasa Arab, sirrun (gelap, tersembunyi)28 Jika kita telaah lebih jauh
lagi, sirri itu berarti rahasia atau tidak terbuka.Sebagaimana
al-Qur’an menyatakan kata sirri dalam surat at-Taubah ayat 78:
كئلوأو تريخلا مهل كئلوأو مهسفنأو مهلومأب ودهج هعم ونماء نیذلااو لوسرلا نكل
نوحلفملا م
Artinya : ”Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia
dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui
segala yang ghaib”. (At-Taubah: 78)
26 Syukri Fathudin AW dan Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri, dikutip dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/problematika%20nikah%20sirri%20(%20syukri-vita%20UNY).pdf, 05 November 2016
Secara bahasa, nikah sirri adalah perkawinan (pernikahan) secara
sembunyi-sembunyi (secret marriage) dan hakekat kawin sirri adalah
perkawinan yang dilakukan tanpadicatatkan.29
Secara harfiah, kata nikah berarti ”untuk mengumpulkan
sesuatu”. Menurut istilah kata Nikah adalah akad yang membolehkan
terjadinya al-istimta (persetubuhan) dengan seorang wanita/melakukan
watha dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang
diharamkan baik dengan sebab keturunan/sesusuan. Dalam Shari‟ah nikah mengacu pada kontrak.Sebuah kontrak berarti simpul atau dasi.Sebagai
seorang wanita dan seorang laki-lakiadalah diikat bersama oleh satu simpul
(dari pernikahan yang disebut nikah), maka nikah juga disebut „aqd
(kontrak).30
Dalam sejarah hukum Islam, istilah pernikahan di bawah tangan (nikah
sirri) ini sudah ada sejak zaman Umar ibn Khattab, dalam perkataan Umar
yang diriwayatkan Malik dari Abi Zubair al-Makky :31
دهشی مل حاكنب ىتأ باطخلا نب رمع نأ يكملا ريبزلا يبأ نع
ةأرماو لجر لإ هيلع
أ لو رسلا حكن ذ : لاقف
تمجرل هيف تم دقت تنك ولو زيج
Artinya: “Bahwasanya Umar mendatangi perkawinan yang tidak ada
kesaksian atasnya, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Umar berkata: ini adalah nikah sirri dan aku tidak membolehkannya. Sekiranya aku mengetahui lebih dulu
pasti aku rajam.” (Riwayat Imam Malik)
29 Ibid. 19
30 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, , (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), 76. 31 Malik bin Anas Abu Abdillah Al-Ashbahiy, Al-Muwatho' Al-Imam Malik, (Mesir: Daar Ihya
Pengertian nikah sirri dalam persepsi Umar tersebut didasarkan oleh
adanya kasus pernikahan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi
laki- laki dan seorang perempuan.Ini berarti syarat jumlah saksi belum
terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang
datang maka pernikahan yang semacam ini menurut Umar dipandang
sebagai nikah sirri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu
Hanifah, Imam Malik dan ImamSyafi’i berpendapat bahwa nikah sirri itu
tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (dibatalkan).32
Menurut KH. Ma’ruf Amin, forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa
sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain untuk
membedakan dengan pernikahan sirri yang sudah dikenal di masyarakat.
Nikah di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh atau
hukum Islam.Namun, nikah ini tanpa pencatatan resmi di Instansi
berwenang sebagaimana diatur dalam perundang- undangan.33
Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’I berpendapat bahwa nikah
sirri adalah pelaksanaan akad nikah yang tidak disaksikan oleh saksi yang
persyaratannya tidak cukup atau tidak sesuai dengan yang telah disepakati
jumhur fuqaha, misalnya saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan satu
orang perempuan.34
Istilah sirri sebenarnya berarti sesuatu yang bersifat rahasia atau tertutup.
32 Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut Libanon: Dar-alfikr, tt, juz II) 17 33Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet- 2, (Jakarta:
eLSAS, 2008) h. 147
Namun dalam perkembangan kemudian, dikalangan umum ada beberapa
persepsi/asumsi yang memaknai perkawinan sirri sebagai berikut:
a. Pernikahan sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan tanpa menggunakan wali atau saksi
yang dibenarkan oleh syariat Islam. Para ulama madzhab
sepakat bahwa pernikahan yang semacam ini adalah jelas pernikahan
yang tidak sah dan bahkan disamakan dengan perzinahan.
b. Pernikahan sirri yakni pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-
laki dan seorang perempuan tanpa melibatkan petugas pencatatan
perkawinan atau dapat juga dikatakan tidak dicatat oleh petugas
pencatat sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 2 ay