• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum pidana islam terhadap keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum pidana islam terhadap keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

KEADILAN RESTORATIF DELIK KUMPUL KEBO

DALAM RUU KUHP TAHUN 2015

SKRIPSI

Oleh: Miftahul Jannah NIM. C03213032

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian normatif atau kepustakaan yang membahas masalah mengenai keadilan restoratif pada delik kumpul kebo yang dianalisis melalui hukum pidana Islam. Dalam hal ini menjawab bagaimana deskripsi tentang keadilan restoratif? dan bagaimana analisis hukum pidana Islam tentang keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015?

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif normatif. Secara teknis, metode ini dipergunakan di dalam penelitian hukum, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada. Sehingga dapat ditemukan tujuan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum, serta untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Adapun hasil penelitian menyimpulkan bahwa, dalam hukum pidana Islam segala persetubuhan laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki legalitas dalam perkawinan tetap disebut sebagai perilaku zina. Hukuman tersebut terdapat dua sanksi, pertama, sanksi zina muhsan dan sanksi zina ghairu muhsan. Berbeda dengan Indonesia, zina memiliki arti sendiri yang diatur dalam KUHP, dengan demilkian kumpul kebo dapat dikiaskan sebagai zina ghairu muhsan. Selanjutnnya mengenai keadilan restoratif yang menitikberatkan pada pemulihan hukum dapat ditemukan pada pelaku zina ghairu muhsan atau dalam hal ini tentang kumpul kebo atas dasar pengakuan taubat sebelum ada putusan dan pemaafan dari masyarakat sosial. Jadi kumpul kebo dalam pandangan hukum pidana Islam dapat dilakukan dengan restorasi atau pemulihan dari pelaku, korban dan masyarakat.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

MOTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Kajian Pustaka ... 7

F. Tujuan Penelitian ... 9

G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9

H. Definisi Operasional ... 9

I. Metode Penelitian ... 11

J. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II HAD ZINA DALAM HUKUM ISLAM ... 17

A. Pengertian Had ... 17

B. Zina dalam Hukum Islam ... 18

(8)

BAB III PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DELIK

KUMPUL KEBO ... 35

A. Pendekatan Restoratis Sebagai Pemulihan Keadilan ... 35

1. Realitas Sanksi Pidana ... 40

2. Peran Masyarakat dalam Keadilan ... 42

B. Gambaran Umum Delik Kumpul Kebo dalam RUU KUHP 44 1. Delik Kumpul Kebo dalam RUU KUHP ... 45

C. Keadilan Restoratif Terhadap Delik Kumpul Kebo ... 49

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG KEADILAN RESTORATIF DALAM DELIK KUMPUL KEBO ... 53

A. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Delik Kumpul Kebo 53 1. Sanksi Hudud Terhadap Delik Kumpul Kebo ... 54

2. Macam-macam Sanksi Hudud dalam Delik KumpulKebo 56 B. Analisis Hukum Pidana Islam Tentang Keadilan Restoratif dalam Delik Kumpul Kebo ... 59

BAB V PENUTUP ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman merupakan keniscayaan dalam kehidupan, terutama dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat sebagai lingkungan yang majemuk dan heterogen sangat mudah terpengaruh dan berubah. Perubahan itu terjadi karena adanya norma sebagai kontrol sosial tidak mampu untuk menahannya. Pergaulan masyarakat adalah salah satu hal yang selalu berubah, terutama di kalangan anak muda saat ini, meskipun terdapat aturan yang mengekang dan ilmu agama yang dimiliki, akan tetapi dengan lajunya perkembangan sosial yang semakin tidak terkendali, pengetahuan agama tidak menjadi kuat dalam mengukuhkan prinsip, khususnya dalam kebutuhan seksual.

Pengaruh lingkungan, tayangan televisi dan media sosial lainnya menjadi pemicu perubahan, terutama dalam hal hubungan asmara, pacaran, hubungan dua anak manusia yang berlainan jenis. Berpacaran dikalangan anak muda saat ini adalah hal yang lazim, tetapi akan sangat tabu jika sudah masuk ke ranah hubungan intim. Hal itu tentu bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, terutama norma agama dan norma kesusilaan.

(10)

2

demikian itu dikalangan masyarakat dikenal dengan istilah kumpul kebo1, hal ini dipersamakan dengan kerbau (binatang) yang hidup dalam satu kandang namun belum menikah. Bagi sebagian masyarakat memaknai sebagai perbuatan yang negatif karena pola hubungan di antara dua orang yang belum menikah merupakan hal yang tidak dibenarkan oleh aturan agama, masyarakat dan negara. Jejak tentang kumpul kebo bisa ditelusuri dalam masyarakat modern, perkembangan zaman mempengaruhi pola pergaulan sepasang kekasih yang mengajak untuk mempercayai cinta sebagai dasar tindakan. Konsep kebutuhan manusia memang perlu seks dan cinta, tetapi mereka enggan dengan legalisasinya. Maka tidak usah heran apabila kumpul kebo tumbuh subur, sebab itulah jalan menyenangkan bagi perasaan mereka. Sehingga akan ada potensi untuk diulangi kembali, karena melalui kumpul kebo tersebut mereka (sepasang kekasih) akan mendapatkan cinta sekaligus seks.

Pada dasarnya mereka mengerti akan konsekuensi atas tindakan mereka (sepasang kekasih), hanya saja mereka masih mengedepankan nafsu sesaat daripada memikirkan akibat yang akan ditimbulkan. Selama ini banyak pembicaraan mengenai kumpul kebo. Tidak mengherankan apabila jawabannya tunggal, yakni bahwa kumpul kebo adalah sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Hubungan tanpa legalisasi dari agama dan negara yang dijalani oleh kalangan anak muda zaman sekarang ini adalah hal tabu yang harusnya tidak

1 Istilah yang asli dahulunya adalah koempoel gebouw. Dalam bahasa Belanda, gebouw bermakna

(11)

3

dibiarkan berkembang begitu saja, karena tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada serta dari pandangan agama.

Hal tabu yang dimaksud mengacu pada pandangan sosial yang dianggap negatif dan juga tidak dibenarkan oleh agama. Dalam hukum positif delik kumpul kebo masih belum ada aturan normatif yang mengikatnya, karena dalam hukum positif hal ini tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tentu tidak dihukum, selama tidak ada yang merasa dirugikan. Sebagai salah satu delik kesusilaan, sangat sulit dibuktikan unsur kerugiannya apalagi jika dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Sementara perbuatan kumpul kebo yang dimaksud masih dalam rancangan undang-undang, mengenai penjelasan tentang kriteria delik kumpul kebo dan unsur yang ada di dalam delik tersebut juga masih belum teperinci.

Dari sisi lain, hal yang lebih penting lagi dari kumpul kebo adalah bagaimana pengaruhnya terhadap para pelaku kumpul kebo itu sendiri. Kiranya hal tersebut lebih objektif untuk menilai apakah kumpul kebo itu baik atau buruk. Jika memang pelaku kumpul kebo memperoleh manfaat positif dari perilakunya mengapa mereka harus dikecam lalu diberantas. Sebaliknya jika memang memperoleh manfaat negatif yang lebih banyak maka selayaknya kumpul kebo ditekankan untuk dihindari.

(12)

4

menikah padahal disana kumpul kebo dilazimkan.2 Apalagi di Indonesia yang jelas-jelas memandang kumpul kebo sebagai hal yang tabu. Tentunya kumpul kebo di Indonesia akan berefek lebih buruk bagi pelakunya daripada di Amerika.

Dalam pandangan hukum pidana Islam, tidak ada pembahasan yang spesifik mengenai tindak pidana kumpul kebo. Namun jika dilihat dari unsur deliknya yaitu adanya persetubuhan antara sepasang kekasih yang diharamkan dan kesengajaan bersetubuh atau niat melakukan sesuatu yang diharamkan tadi. Maka, perbuatan ini dalam hukum pidana Islam dapat dikategorikan ke dalam jarimah zina, karena jarimah zina adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang peremuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan.3

Hukum Islam melarang keras segala perbuatan yang mengarah pada zina, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau orang yang telah menikah, selama persetubuhan tersebut berada di luar kerangka pernikahan. Sekalipun Alquran dan hadis, tidak menjelaskan secara rinci terhadap delik kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman, namun Alquran dan hadis memberikan penjelasan terhadap sanksi yang harus dijatuhkan kepada pelaku, dan tentunya masih banyak pendapat para ulama yang menjelaskan tentang kriteria kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman.

Dengan demikian, persoalan di atas mengundang perhatian untuk melakukan penelitian. Di mana penelitian ini ingin menitikberatkan pada

2 http://smartpsikologi.blogspot.co.id/2007/08/kumpul-kebo-itu.html Diakses Kamis, 16 Maret

2017.

(13)

5

pandangan hukum pidana Islam. Delik kumpul kebo sengaja dipilih, sebab kajian ini tersebut masuk dalam kajian hukum pidana Islam pada kategori zina ghairu muhs}an, yang sanksinya berupa hukuman jilid atau dera seratus kali dan diasingkan selama 1 (satu) tahun.

Namun yang menjadi perhatian dalam fenomena ini, apakah jilid atau dera tersebut bisa diatasi dengan perbaikan, yakni dengan cara restorasi bagi para pelaku. Karena tidak sedikit dari masyarakat saat diketahui anak atau kerabatnya melakukan hubungan di luar nikah sampai dengan hamil, maka mereka lebih memberikan jalan dengan menikahkan mereka secara sah lewat lembaga perkawinan, supaya lebih terpelihara kehormatan dari pelaku maupun kehormatan keluaga dan masyarakat.

Cara itu sebenarnya menjadi alternatif bagi masyakat yang menunjukkan pemulihan atas perilaku kumpul kebo menjadi hubungan yang sah sebagai suami dan istri. Telaah ini juga menjadi kajian sebagai kearifan lokal (local wisdom) di berbagai teritorian masyarakat tertentu, hingga bila ditarik pada pandangan qawa̅idul fiqh hal tersebut merupakan paradigma masyarakat sebagaimana al’adatu muhakkamatun.

(14)

6

Sekalipun dalam kumpul kebo merupakan perbuatan pidana, namun terdapat pula unsur perdata yang memungkinkan memilih atau memutuskan untuk menikah agar selamat dari sanksi moral dan agama. Maka apakah dengan hukum pidana Islam ini delik kumpul kebo dapat diselesaikan dengan cara restorasi tanpa harus disanksi pidana? Dengan ini, penulis sengaja menggunakan tema dengan judul "tinjauan hukum pidana Islam terhadap keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015."

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian di atas ada beberapa identifikasi masalah yang perlu dikaji serta tidak menutup kemungkinan ada batasan tertentu untuk pendisiplinan pembahasan, hal ini ditemukan identifikasi masalah diantaranya:

1. Banyaknya perilaku kumpul kebo di kalangan masyarakat. 2. Delik kumpul kebo masih dalam RUU KUHP.

3. Tidak terdapat konsep keadilan restoratif pada delik kumpul kebo.

4. Dasar hukum atau redaksi hukum pidana Islam mengenai keadilan restoratif dalam delik kumpul kebo masih belum spesifik.

C. Batasan Masalah

Dengan adanya identifikasi masalah tersebut, perlunya batasan-batasan yang sekiranya tidak keluar dari pembahasan yang lain. Maka dari itu dalam rancangan penulisan ini kami membatasi beberapa batasan masalah, yaitu:

(15)

7

2. Hukum pidana Islam terhadap keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015.

D. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan, penulis telah merumuskan masalah yang akan dikaji sebagaimana berikut:

1. Bagaimana deskripsi tentang keadilan restoratif?

2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015?

E. Kajian Pustaka

Pada bagian ini berisi kajian pustaka pendukung yang berkaitan dengan konsep, teori, data atau temuan hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dan yang mendasari penelitian yang sedang dijalankan.4 Dalam penelusuran awal, sampai saat ini penulis masih memandang bahwa, restorasi bagi pelaku kumpul kebo masih dalam perspektif para tokoh atau ulama. Belum pula menemukan penelitian atau tulisan yang spesifik mengkaji tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015. Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, ada karya tulis yang hampir serupa mengkaji mengenai kumpul kebo, namun tidak menggunakan pendekatan hukum keadilan restoratif dalam pemasalahan tersebut, di antara skripsi yang ditemui yaitu:

4Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu,

(16)

8

1. Skripsi yang ditulis oleh A. Arwani yang berjudul “Zina dan Kumpul Kebo dalam Perspektif hukum Islam (Studi atas Delik Zina dan kumpul Kebo dalam RUU KUHP 2005). Skripsi ini diterbitkan pada tahun 2008 dan berdasarkan isi skripsi tersebut menguraikan atau menjelaskan pada pandangan hukum Islam bahwa, hukum Islam tetap menghukumi dosa bagi para pelaku zina.5

2. Skripsi yang ditulis oleh Zainur Ridlo, yaitu tentang “Kebijakan Hukum Pidana Tentang Delik Kesusilaan: Studi Terhadap Pasal 485 RUU KUHP Tentang Hidup Bersama Sebagai Suami Istri di Luar Perkawinan yang Sah.”6

Sedangkan pembahasan dalam penelitian ini berbeda dengan pembahasan yang dilakukan sebelum-sebelumnya, karena selama melakukan peninjauan pustaka, penulis sama sekali belum menemukan penelitian tentang keadilan restoratif dalam delik kumpul kebo. serta metode pengambilan hukumnya dalam hukum pidana Islam, supaya hukum pidana Islam bisa menyikapi hal tersebut dengan keadilan restoratif bagi delik kumpul kebo itu lebih baik atau tetap menjalani hukuman sebagaimana sanksi yang terdapat dalam hukum pidana Islam.

5 A. Arwani, Zina dan Kumpul Kebo dalam Perspektif hukum Islam, Studi atas Delik Zina dan

kumpul Kebo dalam RUU KUHP 2005, (Skripsi UIN—Sunan Kalijaga Jogyakarta, 2008).

6

(17)

9

Maka, penulis membahas masalah tersebut dengan judul “Tinjauan

Hukum Pidana Islam Terhadap Keadilan Restoratif Delik Kumpul Kebo Dalam RUU KUHP Tahun 2015. Sekalipun hampir menyerupai dengan judul di atas namun secara teknis dan substansi bahkan objek yang digunakan berbeda.

F. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang diharapkan tercapai pada penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui deskripsi konsep keadilan restoratif (restorative justice). 2. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap keadilan

restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP Tahun 2015.

G. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan hasil yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai salah satu sumber teoritis dalam hukum pidana Islam terhadap keadilan restoratif delik kumpul kebo dalam RUU KUHP tahun 2015, dan dengan adanya karya tulis ini upaya dijadikan referensi bagi pembaca guna meningkatkan pendidikan bagi masyarakat.

2. Sebagai dasar praktis guna memperkaya wawasan atau memperdayakan masyarakat dalam melakukan tindakan preventif terhadap tindakan seksual para remaja diluar pernikahan atas dasar suka sama suka.

H. Definisi Operasional

(18)

10

1. Hukum pidana Islam, yang dimaksud hukum pidana Islam di sini adalah hukuman yang berkaitan dengan jarimah. Jarimah (tindak pidana) menurut Imam al-Mawardi adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum had atau takzir.7

Dalam hal ini jarimah yang dimaksud lebih menitikberatkan pada jarimah had. Sehingga secara spesifik hukum pidana Islam dalam pembahasan ini lebih diorientasikan pada teori maupun konsep tentang perzinaan.

2. Keadilan resoratif (restorative justice) adalah penyelesaian perkara dengan

melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.8

3. Kumpul kebo merupakan kata majemuk yang disatukan antara kumpul dan

kebo. Kata kebo sendiri berawal dari kata yang diciptakan oleh masyarakat yang digunakan sebagai bahasa daerah, kendati demikian berangsurnya perkembangan kata kebo sendiri mulai banyak diketahui oleh masyarakat luas sehingga kata kebo tersebut telah dan terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), di mana kata tersebut disamakan dengan dengan kerbau.9 Penyatuan kata kumpul dan kebo merupakan istilah yang sudah lama masyarakat ketahui. Kumpul kebo adalah praktek hubungan intim yang

7 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthoniyah, 1973, 219.

8 Pasal 1 angka 6 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sisitem Peradilan Anak

9

(19)

11

dilakukan antara sepasang kekasih yang belum menikah, hal ini dipersamakan dengan kerbau (binatang) yang hidup dalam satu kandang namun belum menikah10 atau dalam kalimat lain kumpul kebo belum melakukan akad baik secara formal dan non formal. Mengenai aturan hukum delik kumpul kebo masih dalam RUU KUHP.

I. Metode Penelitian

1. Data yang Dikumpulkan

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.11 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum, serta untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata

10https://id.wikipedia.org/wiki/Kumpul_kebo Diakses Kamis, 16 Maret 2017.

11Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(20)

12

cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif.12 Dengan tujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti.

Dengan demikian perlunya data yang harus dikumpulkan yang meliputi, data pustaka yang berkaitan dengan keadilan restoratif yang secara spesifik membahas tentang hukum perzinahan. Sehingga data mengenai keadilan restorasif dapat menjawab rumusan masalah bagaimana deskripsi tentang keadilan restoratif?

Jadi dalam objek penelitian ini, data yang dibutuhkan adalah mengenai data kumpul kebo (RUU KUHP Tahun 2015). Hal ini menjadi telaah analisis dengan pandangan hukum pidana Islam dan mempertimbangkan tentang keadilan restorasi agar nantinnya dapat menjawab rumusan masalah yang kedua yaitu bagaimana analisis hukum pidana Islam tentang keadilan restoratif dalam delik kumpul kebo?

2. Sumber Data

Dalam penelitian yuridis, sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat kepustakaan.13 Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari:

a. Sumber Bahan Hukum Primer:

Bahan hukum primer yang dimaksud adalah Alquran, Hadis, serta RUU KUHP Nasional.

(21)

13

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder:

Bahan hukum sekunder yang dimaksud adalah bahan hukum yang memberikan tinjauan luas tentang pokok persoalan dan mengidentifikasi perundang-undangan (statutes), regulasi (regulations), ketentuan-ketentuan pokok (constitutional provision) dan kasus-kasus penting yang berkaitan dengan topik penelitian, jenis-jenis bahan hukum sekunder berupa:14

1) Buku-buku ilmu hukum. 2) Jurnal tentang hukum

3) Internet dan bahan yang terkait dengan permasalahan yang dibahas. 4) Kamus hukum.

5) Ensiklopedia hukum.

6) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 3. Objek Kajian

Objek kajian terhadap hubungan kumpul kebo (kohabitasi) ini, dilakukan pendekatan keadilan restoratif dalam pandangan hukum pidana Islam.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, maupun bahan hukum sekunder.

14Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), (Jakarta: Sinar

(22)

14

5. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap sumber-sumber data akan diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing yaitu memeriksa kembali lengkap atau tidaknya data-data yang diperoleh dan memperbaiki bila terdapat data yang kurang jelas atau meragukan.15 Teknik ini betul-betul menuntut kejujuran intelektual (intelektual honestly) dari penulis agar nantinya hasil data konsisten dengan rencana penelitian.

b. Organizing yaitu mengatur dan menyusun sumber dokumentasi sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai dengan rumusan masalah, serta mengkelompokkan data yang diperoleh.16 Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh gambaran secara jelas tentang keadilan restorasi bagi delik kumpul kebo.

6. Teknik Analisis Data

Hal ini merupakan metode deduktif yang digunakan untuk mencari dasar-dasar ketentuan undang-undang untuk diterapkan pada kasus. Secara khusus teknik analisis ini merupakan deskriptif normatif yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. Hal ini dapat dilakkukan dengan cara:

a. Evaluatif yaitu melakukan penilaian/mengevaluasi tepat atau tidak tepat, benar atau tidak benar, sah atau tidak sah terhadap sesuatu

15 Moh. Kasiram, Metodelogi Penelitian, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 125.

(23)

15

pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera dalam bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.

b. Interpretatif adalah menggunakan jenis penafsiran menurut dasar hukum yang digunakan (hukum pidana Islam).

c. Kontruksi yaitu pembentukan kontruksi-kontruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi.

J. Sistematika Pembahasan

Pembagian penulisan akan disusun secara sistematis, agar pembaca mudah memahami isi dari karya ilmiah ini, yang diatur sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan yakni menjelaskan tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab yang kedua membahas tentang landasan teori, mengenai had zina dalam hukum Islam yang meliputi: pengertian, dasar hukum, unsur-unsur, macam-macam, sanksi dan pelaksanaan sanksi.

(24)

16

Bab yang keempat merupakan inti dari karya tulis ilmiah yaitu memuat analisis hukum pidana Islam tentang keadilan restoratif pada delik kumpul kebo. Kajian ini juga mendeskripsikan dinamika hukum yang tentunya bersinggungan dengan keadilan restoratif.

(25)

17

BAB II

HAD ZINA DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Had

Had artinya larangan, biasa juga digunakan sebagai kata yang bermakna

“pembatas antara dua hal”, atau “yang membedakan sesuatu dari selainnya”.

Adapun menurut istilah syariat, had adalah sanksi yang ditentukan dalam syariat.

Keduanya (yakni “sanksi” dan “yang ditentukan”) adalah untuk membendung

tindakan dosa demi menjaga hak Allah, misalnya sanksi pada zina atau bisa juga

untuk hal di mana terpadu hak Allah dan hak hamba, seperti sanksi pada tuduhan

zina tanpa bukti.1

Adapun had, menurut pengertian Pembuat syariat, adalah lebih umum

daripada itu. karena yang dimaksud dengannya adakalanya sebagai sanksi, dan

adakalanya yang dimaksud adalah pelanggaran itu sendiri, seperti firma Allah

Swt.:

اَوُبَرْقَ ت َيَ ِ للا ُووُ ُا َ ْلِت

“Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.”

(Abaqarah: 187)2

1

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah- Jilid 5, (Jakarta: Pustaka at-Tazkia), 3.

2

(26)

18

Selain itu pengertian hukuman had, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir

Audah adalah:3

َىلاَ َ ت ّلل اًقَاُةَر َقُ ْلا ُ َبْوُقُ ْلا َوُ َ ْلاَو

“Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.”

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud

itu adalah sebagai berikut:4

1. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut

telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak

manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.

B. Zina dalam Hukum Islam

Sebelum jauh membahas mengenai zina dalam hukum Islam tentunya

terlebihdulu mendeskripsikan secara induktif bagaimana hukum Islam itu sendiri

dan selanjutnya merincikan berbagai hukum di dalamnya.Hukum adalah

seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku

manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat

dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa

hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis

3Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). x.

4

(27)

19

dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia

untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda.

Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi

bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum Islam, dasar, dan kerangka hukumnya

ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia

dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia

dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri,

hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan

manusia dengan benda alam sekitarnya.

Sehubungan begitu kompleksnya hukum Islam maka perlunya mengambil salah satu hukum sebagai fokus pembahasan ini.Dengan demikian hukum Islam juga terdapat hukum pidana yang juga mengatur secara spesifik tingkah laku manuasia. Hukum pidana ini merupakaninstrumen agar dapat menjastifikasi terhapat peristiwa pelanggaran atau kejahatan. Berdasarkan istilah yang dipakai, hukum pidana ini juga diistilahkan sebagaijarimah/jinayah.

(28)

20

kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat Islam dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orag lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiaban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.5

Hukum pidana Islam dapat pula diistilahkan dengan jarimah. Jarimah mempunyai arti larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had, qishas, atau ta’zir.6 Larangan yang dimaksud adalah mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, karena perintah dan larangan tersebut datang dari syara’.

Para fuqaha’ sering menggunakan kata jinayah untuk jarimah. Mereka

mengartikan jinayah dengan suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik

perbuatan tersebut mengenai harta, jiwa dan lainnya. Selain itu terdapat beberapa

fuqaha’ yang membatasi kata jarimah pada jarimah hudud dengan

mengesampingkan perbedaan pemakaian kata jinayah dan jarimah, sehingga

dapat dikatakan kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama.

Untuk mengetahui suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai jarimah,

dalam fiqih jinayah unsur-unsur jarimah dapat dibedakan menjadi tiga bagian:7

5Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 1.

(29)

21

1. Al-rukn al-syar´î atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang

yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak

pidana.

2. Al-rukn al-mâdî atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan

sebuah jarimah, baik yang bersifat positif, maupun yang bersifat negatif

(pasif dalam melakukan sesuatu).

3. Al-rukn al-adabî atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa

seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur,

atau sedang berada di bawah ancaman.

Hukum kepidanaan atau yang disebut jarimah dalam hukum Islam

diklasifikasikan dalam dua masalah pokok, diantaranya sebagai berikut:8

1. Jarimah kisas yang terdiri atas:

a. Jarimah pembunuhan.

b. Jarimah penganiayaan.

2. Jarimah hudud yang terdiri atas:

a. Jarimah zina.

b. Jarimah qad}f (menuduh orang baik-baik berbuat zina).

c. Jarimah shurb al-khamr (meminum minuman keras).

d. Jarimah al-baghyu (pemberontakan).

e. Jarimah al-riddah (murtad).

(30)

22

f. Jarimah al-sariqah (pencurian).

g. Jarimah al-hirabah (perampokan).

Jarimah kisas/diat, meliputi: pembunuhan sengaja, pembunuhan semi

sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja, penganiayaan

semi sengaja. Imam Malik membagi pembunuhan menjadi dua macam:

pembunuhan sengaja dan pembunuhan karena kesalahan. Alasannya Alquran

hanya mengenal kedua jenis jarimah tersebut.

Adapun jarimah takzir terbagi menjadi tiga bagian:9

1. Jarimah hudud dan kisas/diat yang subhat atau tidak memenuhi syarat,

namun sudah merupkan maksiat. Misalnya, percobaan pencurian, percobaan

pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.

2. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Alquran dan Hadis, namun tidak

ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaaan, saksi palsu, tidak

melaksanakan amanah, dan menghina agama.

3. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulul Amri untuk kemaslahatan umum.

Dalam hal ini, nilai ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan

kemaslahatan umum. Persyaratan kemaslahatan ini secara rinci diuraikan

dalam bidang studi us}ul fiqh. Misalnya, pelanggaran atas peraturan

lalu-lintas.

Sebungan lebih menitikberatkan pada jarimahsebagai maka perlunya untuk

mengetahui bahwa, salah satu jarimah yang terdapat dalam hudud adalah jarimah

zina, berikut pengertian zina oleh para ulama:10

(31)

23

1. Ulama Malikiyah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan mukalaf yang

menyetubuhi farji anak Adam yang bukan miliknya secara sepakat (tanpa

ada syubhat) dan disengaja.

2. Ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan lelaki yang

menyetubuhi perempuan di dalam kubul tanpa ada milik yang menyerupai

milik.

3. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar ke

dalam farji yang haram tanpa ada syubhat dan secara naluri mengundang

syahwat.

4. Ulama Hanabilah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan keji pada

kubulatau dubur.

5. Ulama Zahiriyah mendefinisikan bahwa zina adalah menyetubuhi orang yang

tidak halal dilihat, padahal ia tahu hukum keharamannya, atau persetubuhan

yang diaramkan.

6. Ulama Zaidiyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan kemaluan

ke dalam kemaluan orang hidup yang diharamkan, baik ke dalam

kubulmupun duburtanpa ada syubhat.

1. Unsur-unsur Jarimah Zina

Dari beberapa definisi yang ada, jelaslah bahwa para fukaha memberi

definisi yang berbeda tentang zina. Akan tetapi mereka sepakat bahwa

(32)

24

jarimah zina adalah persetubuhan yang diharamkan dan disengaja. Atas dasar

inilah, mereka sepakat bahwa jarimahzina mempunyai dua unsur yaitu:11

a. Persetubuhan yang diharamkan.

b. Kesengajaan bersetubuh atau niat melakukan jarimah.

2. Dasar Hukum Larangan Jarimah Zina

Islam telah mengatur segala hal dalam Alquran dan hadis, kedua

sumber hukum Islam tersebut adalah sumber pokok dalam penentuan suatu

perbuatan larangan atau perintah dalam Islam. Termasuk perbuatan zina,

juga mempunyai dasar hukum sebagai perbuatan yang dilarang. Karena

perbuatan zina adalah perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar

yang paling keji, tidak ada satu agama pun yang menghalalkannya.

Terdapat beberapa ayat Alquran yang mengharamkan jarimahzina,

diantaranya sebagai berikut:12

اَنّزلا اوُبَرْقَ ت َََو

ۖ

ًي ِ َ َااَ َو ً َ ِااَ َناَ ُ نِ

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah

suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’

(17): 32)13

Dalam ayat lain Allah Swt. berfirman:

َِ ُ للا َمرَا يِ لا َ ْ نلا َنوُلُ ْقَ َََو َرَخ ًاهَلِ ِ للا َ َ َنوُ ْ َ ََ َ ِذلاَو

ا اَثَأ َقْلَ َ ِلَذ ْلَ ْ َ َ َو َنوُنْزَ َََو ّقَ ْلاِب

11Ibid.,154.

12M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah 2013), 18-19.

13

(33)

25

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (QS. Al-Furqan (25): 68)14

3. Macam-macam Jarimah Zina dan Sanksinya

Terdapat dua jenis jarimah zina, yaitu zina muhs}an dan zina ghairu.

Zina muhs}an ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda atau

janda. Artinya pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau

pernah menikah secara sah. sedangkan zina ghairu muhs}an ialah zina yang

pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Artinya, pelaku belum pernah

menikah secara sah dan tidak sedang dalam ikatan pernikahan.

Syariat Islam memberlakukan dua sanksi yang berbeda terhadap

kedua jenis jarimah tersebut. Sanksi bagi pelaku zina muhs}an adalah rajam,

yaitu pelaku dilempari batu hingga meninggal. Adapun sanksi bagi pelaku

zina ghairu muhs}an adalah dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan

selama satu tahun.

Dasar hukuman bagi pelaku zina ghairu muhs}an yaitu:15

ٍةَ ْلَج َ َئاِ اَ ُهْ نِ ٍ ِااَو لُ اوُ ِلْجاَ يِنازلاَو ُ َ ِنازلا

ۖ

ِ للا ِ ِو يِ ٌ َ ْأَر اَ ِهِب ْ ُ ْذُخْ َت َََو

ِرِخ ْْا ِمْوَ ْلاَو ِ للاِب َنوُنِ ْؤُ ت ْ ُ ْنُ ْنِ

ۖ

َ ِنِ ْؤُ ْلا َ ِ ٌ َ ِئاَ اَ ُهَ باَذَ ْ َهْ َ ْلَو

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari mereka seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian dari menjalankan agama

14

Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 366.

(34)

26

Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disakikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nuur: 2)16

َبِرُ ِ ْ َلَ َلِزْنُأاَذ ؛ ّل و ل ها ّلص ّيِ َن َناَ ؛لاق ، ن ها ضر ِتِ اصلا ِ ْب َةَواَ ُ ْ َ

؛ لاق ُ ْنَ َيّرُ ا َلَ ،َ ِلاَذَ َيِقُلَ ،ٍمْوَ َتاَذ ِ ْ َلَ َلِزْن ؛ لاق ،ُ ُهْجَو ُ َل َ بَرَ ت َو َ ِلاَذِل

ها لَ َج ْ َقَ ،ىّنَ وُذُخ

ُث ، ٍة ِ ُ ْلَج ُبّ ثلا ، ُرْكِ ْلاِب رْكِ ْلاَو بّ ثلاِب بّ ثلا ، يْ ِ َ ٍََ ُهَل

ُرْكِ ْلاَو،ِةَراَ ِ ْلاِب ٌ ْجَر

َنَ ُىْ َ ن ُث ٍة ِ ُ ْلَج

لس جرخأ

Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit r.a., dia berkata, “Apabila

turun ayat kepada Nabi s.a.w. beliau sering mengalami kepayahan, dan wajah beliau pun langsung berubah. Pada suatu hari wahyu turun kepada beliau dan kondisi beliau pun berubah seperti kebiasaannya ketika menerima wahyu. Maka, ketika wahyu itu telah turun beliau bersabda, ‘Ambillah (hukum) dariku. ‘Ambillah (hukum) dariku. Allah telah membuat jalan untuk mereka (para pezina). Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus cambukan dan diasingkan setahun. Duda berzina dengan janda hukumannya seratus cambukan dan

dirajam”. (HR. Muslim 1690. An-Nawawi 11/337-338).17

Berdasarkan uraian tentang sanksi dari perbuatan zina di atas dapat

ditarik garis besar sebagai berikut:

a. Sanksi zina bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus pemudi

dan/atau pemuda adalah hukuman cambuk seratus kali.

b. Sanksi zina bagi yang sudah menikah, berlaku juga untuk duda dan janda

akan dikenakan hukuman cambuk sebanyak seratus kali dan kemudian

dirajam.

16

Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 350.

17

(35)

27

4. Pelaksanaan Hukuman zina

Hukuman terhadap pelaku zina dapat dilaksanakan apabila telah

melalui beberapa tahapan untuk memperoleh kebenaran tentang perbuatan

zina tersebut. Perbuatan zina harus dapat dibuktikan sebelum akhirnya

dilakukan proses hukuman agar tidak terjadi tuduhan palsu. Untuk

membuktikan hal tersebut yang perlu diperhatikan adalah alat bukti zina.

Dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai berikut:18

a. Saksi

Berdasarkan firman Allah, ulama menyepakati bahwa perbuatan

zina dapat dibuktikan dengan empat orang saksi, yaitu:

ْ ُكْنِ ً َ َ بْرَأ ِهْ َلَ اوُ ِهْ َ ْ اَ ْ ُكِئاَسِن ْ ِ َ َ ِااَ ْلا َ ِتْ َ يِ ّلاَو

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya) (QS an-Nisa’: 15).19

Saksi ini juga mempunyai syarat-syarat umum untuk menjadi

saksi yang sah. Diantaranya yaitu baligh, berakal, Al-Hifzhu (dapat

dipercaya perkataannya), dapat berbicara, bisa melihat, adil dan Islam.

Untuk persaksian terhadap perbuatan zina sendiri terdapat beberapa

syarat khusus, yaitu sebagai berikut:

18 H.A. Djazuli Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo 1997), 44-60.

19

(36)

28

1) Laki-laki

Jumhur ulama mengisyaratkan untuk persaksian zina semua saksinya

harus orang laki-laki, sesuai kata arba’ah yang menunjukkan empat

orang laki-laki.

2) Menyaksikan secara langsung

Para saksi itu menyaksikan dengan mata kepala sendiri terhadap

peristiwa perzinaan itu dan dengan penuh keyakinan bahwa perzinaan

itu terjadi sesuai definisinya.

3) Tidak kadaluwarsa

Untuk hal ini terdapat perbedaan karena ada ulama yang

mengisyaratkan untuk batas waktu selama enam bulan, tapi ada juga

yang tidak mengenal kadaluarsa.

4) Persaksian diberikan dalam satu majelis

Para saksi zina dihadapkan dan mengucapkan persaksiannya dalam

satu majelis persidangan.

b. Pengakuan

Zina dapat ditetapkan dengan pengakuan. Pengakuan ini

disyaratkan harus empat kali, karena diqiyaskan dengan empat orang

saksi, juga atas dasar riwayat Abu Huraira, bahwa telah datang seorang

kepada Rasulullah SAW, yang mengulang pengakuannya sampai empat

kali. Tetapi ada pula yang mengisyaratkan cukup sekali pengakuan,

karena pengakuan itu adalah berita dan berita itu tidak memerlukan

(37)

29

terperinci dalam menjalankan perbuatanya supaya tidak menimbulkan

syubhat.

c. Qarinah

Qarinah atau tanda-tanda yang dapat dianggap sebagai bukti

perzinaan yang sah adalah jelasnya kehamilan wanita yang tidak

bersuami. Qarinah yang berupa kehamilan ini ditetapkan oleh sahabat

Nabi, seperti Umar berkata: ‘Bahwa sanksi zina wajib dikenakan atas

setiap pelaku zina bila ada pembuktian atau hamil atau mengaku”. Akan

tetapi kehamilan wanita yang tidak bersuami tidak lantas dimungkinkan

sebagai hasil dari perbuatan zina. Karena hal itu dapat terjadi karena

adanya perkosaan atau kesalahan dalam persetubuhan.

Apabila alat dan bukti zina itu telah terpenuhi maka tibalah untuk

pelaksanaan dalam perbuatan zina. Pihak yang berhak melaksanakan

hukuman terhadap pelaku zina adalah pemerintah atau orang yang diberi

wewenang oleh pemerintah untuk tugas tersebut. Sebagaimana telah

diketahui apabila pezina telah terbukti, maka hakim wajib menjatuhkan

hukuman had kepada para pelakunya. Bila pezina telah berkali-kali

melakukan perzinaan baru tertangkap, maka baginya cukup dijatuhi

hukuman satu kali saja. Jika disamping perzinaan pelaku juga melakukan

pencurian atau tindak pidana lain maka dikenakan dua hukuman berbeda

sesuai dengan aturan karena perbedaan tujuan dalam melaksanakan

(38)

30

Pelaksanaan sanksi zina ini harus dilaksanakan di tempat terbuka,

yakni diketahui umum, sesuai firman Allah SWT yang artinya:

ٍةَ ْلَج َ َئاِ اَ ُهْ نِ ٍ ِااَو لُ اوُ ِلْجاَ يِنازلاَو ُ َ ِنازلا

ۖ

ٌ َ ْأَر اَ ِهِب ْ ُ ْذُخْ َت َََو

ِرِخ ْْا ِمْوَ ْلاَو ِ للاِب َنوُنِ ْؤُ ت ْ ُ ْنُ ْنِ ِ للا ِ ِو يِ

ۖ

َ ِ ٌ َ ِئاَ اَ ُهَ باَذَ ْ َهْ َ ْلَو

َ ِنِ ْؤُ ْلا

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (Q.S. Annur ayat 2)20

Meskipun tidak ada kesepakatan mengenai jumlah orang yang

menyaksikan, ada yang berpendapat cukup satu orang, ada yang harus empat

orang dan bahkan ada yang harus sepuluh orang. Yang pasti adalah hukuman

itu diberikan agar mampu member efek jera untuk tidak mengulangi

perbuatan bagi pelaku dan pencegahan (preventif) bagi khalayak yang

menyaksikan sanksi tersebut.

C. Spesifikasi Hukum Pidana Islam dalam Perzinaan

Secara universal mengenai hukum yang bersumber dari Alquran terdapat

beberapa dalil yang mengatur hukum secara vertikal dan hukum secara

horizontal. Alquran adalah sumber utama dari segala hal, tidak terkecuali

mengenai hukum atau aturan yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Alquran

20

(39)

31

mengatur hukum yang berkaitan dengan kepercayaan dan ibadah kepada Allah

yang bersifat vertikal dan hukum-hukum yang berkaitan dengan interaksi

kemanusiaan yang bersifat horizontal.21

Alquran sebagai sumber dari segala sumber hukum menjadi ide dasar

lahirnya hukum dan peraturan yang berhubungan dengan kehidupan sosial

kemasyaratan, termasuk persoalan yang memelurkan ijtihad para ulama.

Beberapa firman Allah dalam Alquran yang menyatakan bahwa Alquran adalah

sumber utama bagi ketentuan hukum:

اً ِصَخ َ ِنِئآَخْلِل ْ ُكَت ََو ُ للا َكاَرَأ اَ ِب ِسانلا َ ْ َ ب َ ُكْ َ ِل ّقَ ْلاِب َباَ ِكْلا َ ْ َلِ اَنْلَزْ نَأ ان

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. An Nisa ayat 105).22

Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah telah menurunkan sebuah kitab

yaitu Alquran yang di dalamnya mengandung kebenaran (hukum) untuk

mengadili manusia yang melakukan kejahatan dan melarang manusia untuk

menjadi pembela orang-orang yang berkhianat. Ayat-ayat hukum yang terdapat

dalam Alquran terdiri atas ayat-ayat yang memerintah, melarang, menganjurkan,

dan memberikan pilihan untuk umat manusia.23 Telah dikemukakan bahwa

hakikat zina adalah “menyetubuhi kemaluann tanpa ada hak kepemilikan dan

21Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani,Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2013),

116.

22

Alquran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 95.

23Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani. Hukum Pidana Islam. (Bandung: Pustaka Setia,

(40)

32

tidak dalam keadaan syubhat.” Perbuatan ini terealisir dengan masuknya kepala

penis ke dalam vagina yang diharamkan (yakni dengan tanpa akad syar’i) tanpa

ada syubhat pernikahan, baik sampai ejakulasi ataupun tidak.

Jarimah zina merupakan bagian dari jarimah hudud (hukuman yang telah

ditentukan). Secara bahasa hudud merupakan bentuk jamak dari had, artinya

larangan. Adapun menurut syariat, hadd adalah sanksi yang ditentukan dalam

syari’at. Sedangkan dari segi dominasi hak, terdapat dua jenis hudud, sebagai

berikut yaitu hudud yang termasuk hak Allah dan hudud yang termasuk hak

manusia.24

Menurut Abu Ya’la, hudud jenis pertama adalah semua jenis sanksi yang

wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang

diperintahkan, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Adapun hudud dalam

kategori yang kedua adalah semua jenis sanksi yang diberlakukan kepada

seseorang karena ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri, dan

meminum khamar.

Hudud jenis kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama, hudud yang

merupakan hak Allah, seperti hudud atas jarimah zina, meminum minuman keras,

pencurian, dan pemberontakan. Kedua, hudud yang merupakan hak manusia,

seperti qadzf dan qis}as}.

Had diberlakukan untuk jarimah zina, hal ini telah ditegaskan dalam

Alquran dan Sunnah. bahwa hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah

(ghoiru muhshan) didasarkan pada Q.S. Annur ayat 2 seperti yang telah

(41)

33

dijelaskan sebelumnya. Sedangkan bagi orang yang sudah menikah (muhs}an)

hukumannya menurut para ahli hukum Islam adalah rajam (dilempari batu)

sampai mati.

Zina dapat dibuktikan baik dengan pengakuan maupun dengan persaksian.

Dalam hal terdapat pengakuan, menurut Syafi’i dan Malik, bila pelakunya

dewasa dan berakal yang mengakui perbuatannya itu, maka hukuman harus

dijatuhkan. Abu Hanifah, Ahmad, dan Syiah Imamiah berpendapat bahwa

hukuman tidak dijatuhkan, kecuali pengakuan pelaku diulang-ulang sebanyak

empat kali.25 Masalah pelaksanaan hukuman ini diserahkan kepada hakim muslim

atau yang dapat menggantikan perannya, dan tidak setiap orang bisa

melaksanakan hukuman tersebut, dikarenakan hukuman ini merupakan hak Allah

yang memerlukan ijtihad, dan orang ang lemah tidak terjamin menjalankan

dengan baik. Karena itu, tidak diperbolehkan hukuman ini dilaksanaan kecuali

dengan seizin imam (penguasa).

Hudud (hukuman yang telah ditentukan) bagi pezina muhshan ataupun

ghairu muhshan bisa menjadi gugur karena beberapa hal:26

1. Menarik kembali pengakuan (dari orang yang telah membuat pengakuan

tentang dirinya sendiri).

2. Syubhat (kerancuan/kesamaran). Para ahli fiqih sepakat bereda dengan Ibnu

Hazm dan para sahabatnya bahwa hudud bisa gugur karena adanya syubhat.

Syubhat adalah sesuatu yang menyerupai sesuatu yang asli.

25Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 24. 26Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah – Jilid 5, (Jakarta: Pustaka

(42)

34

3. Pengakuan taubat terhadap hudud, sebagai pencegah dan sebagai penetap,

memiliki dua kondisi:

Pertama, bertaubat setelah adanya keputusan terhadapnya. Taubat ini

disepakati tidak dapat menggugurkan hukuman. Kedua, bertaubat sebelum

adanya keputusan terhadapnya. Pengaruh taubat ini terhadap pengguguran

hukuman dalam kondisi ini terbagi dua: satu disepakati dan yang lain

diperselisihkan:

a. Yang disepakati: tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ahli

fiqih bahwa hukuman bagi perampok dan orang murtad bisa digugurkan

dengan taubat, bila taubat pelaku terealisasi sebelum tertangap. Begitu

juga hukuman meninggalkan shalat, bagi yang menggapnya sebagai had.

b. Yang diperselisihkan: mereka yang berpendapat mengenai sanksi-saksi

lainnya, bila pelaku kejahatan yang mengakibatkan had bertaubat

(43)

35

BAB III

PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF TERHADAP

DELIK KUMPUL KEBO

A. Pendekatan Restoratif Sebagai Pemulihan Keadilan

Fakta dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Keadilan restoratif adalah bentuk keadilan yang berpusat pada kebutuhan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Berbeda juga dengan keadilan retributif yang menekankan hukuman bagi pelaku kejahatan, keadilan restoratif mementingkan pemulihan korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa di dalam setiap tindak kejahatan, korbanlah yang pertama-tama menderita sebagai akibat tindak kejahatan. Selanjutnya pelaku kejahatan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tindakannya. Dengan bertanggung jawab itulah martabatnya sebagai pribadi dipulihkan. Masyarakat pun harus dipulihkan, karena tindak kejahatan juga merusak harmoni kehidupan di dalam masyarakat.1

Konsep pendekatan restoratif merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

(44)

36

Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Pada proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.

Pandangan di atas tidak mau mengatakan bahwa pelaku tidak bersalah. Palaku tindakan kejahatan tetap bersalah. Namun di dalam mempertanggungjawabkan tindakan tersebut dia tidaklah seorang diri. Menyikapi tindakan yang salah bukanlah hanya dengan menghukum si pelaku, tetapi harus dilihat dari perspektif yang lebih luas. Maka menyelesaikan sebuah tindak kejahatan harus dilibatkan dengan tiga belah pihak, yaitu korbn, pelaku tindak kejahatan, dan masyarakat. Oleh karena itulah yang harus dilakukan adalah memulihkan tiga pihak, yaitu korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat. Pemulihan tiga belah pihak dapat terjadi di dalam masyarakat dan dialog yang melibatkan tiga tersebut.2

Pengadilan dalam komunitas otentik lebih cenderung mendamaikan daripada menghukum. Kalaupun menghukum, maka amat dipikirkan agar

(45)

37

hubungan lama tidak rusak. Jadi memulihkan hubungan lama (to restore former ke relations) menjadi unsur pertimbangan lebih tinggi daripada menghukum. Semua proses mengadili harus berakhir pada perdamaian, bukan penghukuman. Konflik harus berakhir pada perdamaian, bukan penghukuman, itulah kredo dalam komunitas otentik.3

Praktek ini mampu mengakomodir segala tindak pidana yang memang perlu dipulihkan. Pada prinsipnya keadilan restoratif terlihat menafikan proses normatif hukum, kendati demikian masyarakat akan lebih apresiatif terhadap konsep pemulihan, karena selama bisa diselesaikan di luar lembaga peradilan, maka lembaga peradilan hanya sebagai alternatif terakhir.

Secara benar bisa dikatakan, hukum modern datang dengan mempropagandakan tatanan yang lama atau asli. Itu terjadi dengan cara menata hukum dan memproses hukum secara terorganisir dan birokratis. Tatanan lama yang otentik, luwes, hubungan sosial yang sudah mapan, oleh hukum modern diubah mejadi serba terstruktur formal, rasional dan kaku.4

Indikasi ini merupakan salah satu penyebab kemandegan/stagnan yang terjadi di dalam dunia hukum adalah karena masih terjebak kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang selaras dengan tabel hidup karakteristik manusia, yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit,

(46)

38

yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai di luar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.

Dalam penegakan keadilan belum mencapai cita-cita keadilan bagi para pihak, terutama korban dari suatu tindak kejahatan. Kegagalan menegakkan keadilan disebabkan oleh beberapa hal: pertama, perlakuan yang tidak adil, beberapa perlakuan tersebut diantaranya penahanan dan penangkapan tanpa alasan kuat, pemaksaan pengakuan, pemalsuan bukti-bukti forensik, pembelaan hukum oleh para penasehat hukum di bawah standar profesi, atau kesesatan hakim yang terlanjur membebaskan terdakwa karena kesalahan teknis. Kedua, peraturan hukum yang tidak adil, semata-mata demi kepastian hukum. Ketiga, tindakan adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap orang yang tidak bersalah, akibat kesalahan dalam sistem pembuktian. Keempat, perlakuan yang merugikan dan tidak proposional terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana, dibandingkan dengan kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain. Kelima, hak-hak orang lain tidak dilindungi secara efektif dan proposional oleh negara. Keenam, perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak kondusif.5

Maka perlunnya prinsip sebagai dasar praktek menyelesaikan persoalan hukum yang lebih efektif. Prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif yang dimaksut yaitu:6

pertama, keadilan restorative mengutamakan pemulihan atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari tindak kejahatan, yaitu korban,

5 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: BP. Universitas

Diponegoro, 2002), 274.

(47)

39

pelaku dan masyarakat. Korban adalah pihak pertama yang paling dirugikan oleh karena kejahatan. Ia menderita secara fisik dan mental. Bisa jadi ia menderita kehilangan kehormatan karena diejek, dipermalukan, dilecehkan atau diperkosa.

Kedua, berkaitan dengan cita-cita pemulihan (restorasi) di atas, keadilan restoratif fokus pada kebutuhan tiga pihak, yaitu korban, pelaku kejahtan dan masyarakat, yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan. Dalam proses peradilan, korban tindak kejahatan diabaikan, karena tindak kejahatan dimengerti sebagai tindakan yang melawan atau merugikan Negara. Peranan korban diambilalih oleh negara. Negaralah yang mempunyai tanggung jawab menghukum pelaku tindak kejahatan, sementara korban tindak kejahatan tidak mendapatkan hak apa-apa. Hukuman yang diberikan pada pelaku tindak kejahatan sama sekali tidak bersangkut paut dengan penderitaan korban. Dalam hal inilah kebutuhan korban diabaikan. Oleh karena itulah keadilan restorative akan fokus pada kebutuhan korban.

(48)

40

penderitaan fisik dan material. Kewajiban ini dapat dipenuhi dengan memmberikan kompensasi untuk membayar biaya penyembuhan luka-luka fisik dan mengganti kehilangan materi korban.

1. Realitas Sanksi Pidana

Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum? Banyak jawaban yang terlontar, namun yang pasti tolak ukur keberhasilannya sebuah sistem pemidanaan ialah bukan terletak pada banyaknya jumlah tahanan maupun narapidana yang menghuni rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan.

Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, over capacity rutan dan lapas malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan masiv-nya jumlah tahanan narapidana. Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam me-masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolah Lapas telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat di mana para narapidana lebih diasah kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.

(49)

41

tidak pernah memperbaiki keadaan masyarakat, karena tidak pernah membuat jera para penjahat agar tidak melakukan kejahatan serupa atau bahkan yang lebih keji. Kejahatan mesti harus didefinisikan ulang, dan dianalisis akar dan sebab musababnya. Kejahatan manusia tidak akan hilang oleh karena hukuman, sebab adanya hukuman disadari oleh konsep yang sama sekali berbeda.7

Dengan demikian, praktek keadilan restoratif merupakan upaya mendorong terciptanya peradilan yang adil dan mendorong para pihak untuk ikut serta di dalamnya. Korban merasa bahwa penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang disepakati seimbang dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak mesti mengalami penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru dengan kesepakatan untuk mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut dapat diperolehnya. Semenntara bagi masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh pemerintah.

Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Sehingga

(50)

42

peranan pemerintah berkurang dalam memonopoli proses peradilan. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.8

2. Peran Masyarakat dalam Keadilan

Munculnya sebuah ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.

Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi. Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian masyarakat yang diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide restorative justice karena proses pidana belum memberikan keadilan pada korban. Usaha

8 Septa Candra, “RESTORATIVE JUSTICE: SUATU TINJAUAN TERHADAP

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA (Restorative Justice: a Review of

(51)

43

ke arah restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan, meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya, menempatkan masa pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana dan korban.

Tindak kejahatan tidak boleh diambil alih oleh negara melalui proses peradilan yang kemudaian memberi hukuman pada pelaku, sementrara korban dan masyarakat diabaikan. Maka masyarakat, dan paguyuban-paguyuban harus terlibat aktif meneyelesaikan masalah-masalah tindak kejahatan yang ada. Sebisa mungkin masalah-masalah tindak kejahatan dielesaikan sendiri oleh masyarakat, komunitas atau paguyuban-paguyuban yang ada, tidak perlu dibawa ke proses peradilan.9

Dengan demikian hukum yang melibatkan masyarakat mencerminkan integritas sosial yang mapan, sehingga masyarakat tidak terpusatkan pada atauran kaku dan masyarakat mampu menjadi subjek hukum yang mengimplementasikan hukum dengan prisip das sollen and de sain. Sebagaimana pernyataan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. “hukum adalah

untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri

manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemulyaan manusia.”10

9 Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, 52.

(52)

44

B. Gambaran Umum Delik Kumpul Kebo dalam RUU KUHP

Beberapa negara sebenarnya telah mengatur mengenai tindak pidana cohabitation dalam KUHPnya namun tujuan utama yang dimasukkan dalam elemen kejahatannya dalam pengaturan di beberapa negara sangat berbeda. Pertama, cohabitation yang dianggap sebagai tindak pidana, jika dilakukan terhadap anak (KUHP Yugoslavia 1951 Pasal 193, Norwegia dan polandia). Kedua, cohabitation yang masuk kategori pidana dalam hal praktek cohabitation, yakni dengan seorang perempuan yang dipercaya bahwa ia telah kawin secara sah dengan pihak laki-laki (Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, India, Islandia dan Fiji). Ketiga, cohabitation yang masuk kategori pidana yaitu cohabitation dengan istri atau suami dari anggota angkatan bersenjata aktif (cina), Keempat, cohabitation yang masuk kategori pidana, apabila dilakukan dengan poligami (conjugialunion) hidup bersama sebagai suami istri dengan lebih dari satu orang pada saat yang sama (kanada). Kelima, pelarangan cohabitation total sebagai perilaku zina yang dilarang (arab, dan Negara-negara penganut pidana Islam).11

Berikut disampaikan mengenai pengaturan tindak pidana kumpul kebo di berbagai negara, diantaranya:

No Negara Pasal Ruang Lingkup Keterangan

1 KUHP Republik Federal Yugoslavia 1951

193 cohabitation antara orang dewasa dengan anak yang telah mencapai usia 14 tahun

Arah nya kepada pasangan kumpul kebo yang dewasa, juga wali atau orang tua yang mengijinkan,mendorong atau membantu upacara

11Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan,

(53)

45

poligami.

2 KUHP Singapura 493 cohabitation dalam hal perempuannya percaya bahwa ia telah

dikawinkan secara resmi

Arahnya kepada laki-laki yang menipu

3 KUHP Malaysia, Kanun Kaseksaan

493 Idem Idem

4 KUHP Brunei

Dasrussalam 493 Idem Idem

5 KUHP India 493 Idem Idem

6 KUHP Fiji 184 Idem Idem

7 KUHP Cina 259 Hidup bersama dengan istri atau suami dari anggota angkatan bersenjata aktif

8 KUHP Kanada 293 (1) Conjugal union (kumpul kebo) dengan lebih dari salah satu orang pada saat yang sama

Tindak pidana poligami, tanpa diperlukan syarat terganggunya perasaan kesusilaan, keagaam, masyarakat dan lingkunagn setempat, bukan delik aduan (indictable offence)

Disusun oleh: Barda Nawawi Arief12

1. Delik Kumpul Kebo dalam RUU KUHP

Indonesia memiliki pandangan berbeda dengan pengaturan kumpul kebo di beberapa negara. Cohabitation atau kumpul kebo yang dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang keduanya belum menikah sebenarnya tidak terdapat aturan yang tertulis. Hal tersebut masih terbatas pada pasangan yang sudah menikah, keduanya atau salah satu sesuai dengan

(54)

46

KUHP pasal 284 ayat (1). Sampai dengan saat ini delik kumpul kebo masih diatur dalam RUU KUHP yang memasukkan tindak pidana tersebut dalam Pasal 488 yakni:

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II. Penjelasan: Pasal 488 Ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah “kumpulkebo.”

Sebelumnya dalam RUU KUHP 2012. Hal ini diatur dalam Pasal 485 Rancangan Undang-Undang KUHP disebutkan:

Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta).

Konsep 2012 juga ruang lingkup sebetulnya mengurangi ruang lingkup tindak pidana kumpul kebo dari konsep tahun 1999/2000. Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP tersebut dalam Pasal 422 dinyatakan bahwa:

(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang sah dipidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II (paling banyak Rp 30 juta). (2) Tindak pidana sebagaimana diatur dalam ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga salah satu pembuat tindak pidana sampai derajat ketiga, Kepala adat, atau oleh kep

Referensi

Dokumen terkait

Voter registration process Information on where and when to vote Information on voting procedures and how to mark the ballots Competency of the polling station commissioners Adequacy

Jadi dapat disimpulkan bahwa mengenai jawaban dari Ulama Nahdlatul Ulama dan Ulama Muhammadiyah yang sudah dipaparkan di atas, penulis lebih setuju dengan

pasien glaukoma primer sudut terbuka lebih tebal dari pada mata. individu yang sehat, yang menandakan bahwa ketebalan

Juni, 2013.. 7 3) Surat gugatan kabur (obscure libel) artinya posita dan petitum dalam gugatan tidak saling mendukung atau dalil gugatan kontradiksi, mungkin juga

Observasi pembelajaran di kelas bertujuan agar mahasiswa dapat secara langsung melihat dan mengamati proses belajar dalam kelas. Berdasarkan observasi yang

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Senandung Bertelur Kau Sinangin Pada Masyarakat Melayu di Kota Tanjungbalai (Studi Terhadap Bentuk Musik, Fungsi dan Makna), dapat

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa menurut persepsi auditor di Kota Malang setuju, laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran dari dana APBD partai politik