PENDAHULUAN ...................................................................... 1-15
Rumusan Masalah
Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
Kajian Pustaka
Metode Penelitian
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Garis-garis Besar Isi Skripsi
Dalam II. Pada bab ini penulis memberikan gambaran umum tentang hidup bersama, yang meliputi pengertian hidup bersama, unsur-unsur kejahatan dan kasus-kasus kejahatan yang berkaitan dengan hidup bersama, serta pandangan hukum Islam tentang hidup bersama. Pada Bab III menjelaskan tentang pengaturan kohabitasi sebagai tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia yang meliputi landasan sosio-filosofis dan sosio-kultural peraturan perundang-undangan nasional, landasan nilai moral, landasan hasil penelitian, pengertian, tujuan dan kondisi kriminalisasi. Pada Bab IV yang membahas tentang kebijakan pemerintah untuk mengkriminalisasi kehidupan di luar nikah, maka pengaturan kehidupan di luar nikah ditinjau tidak hanya dari segi peraturan perundang-undangan yang akan berlaku di kemudian hari (Ius Constitutendum), tetapi juga berdasarkan hukum positif yang ada saat ini ( Konstitusi Ius).
Bab ini menyimpulkan hasil pembahasan yang telah dipelajari pada bab sebelumnya dan memberikan masukan berupa saran.
KUMPUL KEBO SEBAGAI SUATU DELIK DALAM PEMBAHARUAN
Pengerian Kumpul Kebo
Faktor-faktor Kumpul Kebo
Mereka yang terlibat dalam “kohabitasi” umumnya tidak siap secara psikologis untuk menikah, meskipun mereka memenuhi persyaratan usia, pekerjaan, atau kondisi ekonomi.Menurut Popenoe dan Whitenhead (dalam Pabila, Olds, & Felman, 2001), laki-laki mempersepsikan “kohabitasi” " sebagai kesempatan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidup, sedangkan perempuan "hidup bersama". dianggap sebagai persiapan untuk melangsungkan perkawinan yang sah.. dari segi usia seseorang mungkin memenuhi syarat, namun dari segi ekonomi mungkin belum merasa siap untuk menikah. Mereka yang tergolong mandiri secara ekonomi, misalnya mereka yang masih bersekolah, mempunyai gelar sarjana dari universitas atau akademi, namun masih menganggur, atau sudah bekerja, namun penghasilannya tidak cukup untuk dibelanjakan sementara untuk kehidupan perkawinan bersama. . , dorongan seks yang ada dalam diri mereka harus disebarluaskan secara teratur dan sah sesuai dengan pengertian hukum perkawinan. Ibarat individu yang pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis namun putus, pada akhirnya mengalami patah hati, disertai perasaan kecewa (prustasi), sedih, putus asa dan dendam yang sangat besar, individu tersebut mempunyai pemikiran (niat) untuk tidak secara resmi. nikah . Pada akhirnya, mereka pun masuk ke dalam “hidup bersama” dan tinggal serumah dengan pasangan hidupnya.
Jika salah satu dari dua orang yang “hidup bersama” sebelumnya pernah menikah, namun kemudian bercerai.
Contoh Kasus Kumpul Kebo
Gara-gara peristiwa itu, kedua pasangan suami istri itu bisa dikenakan Pasal 284 KUHP tentang perzinahan yang berbunyi. 16http://m.depokinterangkat.com/headline/2013/04/oknum-satpol-pp-kabupaten-tulang-bayar-kepergok-kumpul-kebo-dengan-suami-orang-di-depok.html. Contohnya adalah keterangan saksi, jarang sekali ada saksi yang melihat langsung peristiwa tersebut, karena peristiwa kumpul kebo berlangsung di tempat yang tertutup.
Selain menggunakan Pasal 284 KUHP untuk beberapa kasus kohabitasi di Indonesia, aparat kepolisian juga menggunakan peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana ringan (Tipiring), seperti Peraturan Daerah Keamanan dan Ketertiban Masyarakat atau Peraturan Daerah Perbuatan Asusila.
Pandangan Fiqih Jinayah terkait Kumpul Kebo
Istilah zina dalam kosa kata hukum Islam dan hukum positif (konvensional) sendiri sangatlah berbeda. Semua hal ini akan menimbulkan kekacauan dalam persatuan umat, hal yang sangat ditekankan dalam Islam. Lalu pintu manakah yang lebih lebar dan dekat dengan ruang zina dibandingkan dengan pintu “hidup bersama”?
Jika kita menganggap zina sebagai sebuah ruangan yang banyak pintunya, maka yang “menginap” adalah orang yang sudah mempunyai semua kuncinya.
Delik
- Pengertian Delik
- Unsur-unsur Delik
- Macam-macam Delik
- Delik Adat yang Berkaitan Dengan Kumpul Kebo
- Landasan Sosio Filosofis dan Sosio Kultural Sistem
- Landasan Nilai-Nilai Kesusilaan/Kesepakatan Nasional. 66
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur, berkeadilan materil dan rohani berdasarkan Pancasila. Perbuatan yang coba dicegah atau diperbaiki oleh hukum pidana haruslah merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang menimbulkan kerugian (baik materil maupun batin) terhadap anggota masyarakat. Aturan hukum termasuk hukum pidana dalam perspektif kebijakan lebih berorientasi pada realisasi kebijakan. Jadi upaya untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan sebagai tindak pidana lebih ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu tujuan yang ingin dicapai oleh pembentuk undang-undang dengan melakukan kriminalisasi 'an'. bertindak.
Selain tujuan tersebut, hukum pidana juga berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial (law as instrument of social engineering) (Arief Amrullah, 2004: 9). Tujuan mengkriminalisasi suatu tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak jauh berbeda dengan tujuan dan fungsi hukum pidana. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan kriminalisasi suatu tindak pidana bertujuan untuk menciptakan keadilan, kedamaian dan supremasi hukum dalam masyarakat. masyarakat dalam konteks reformasi hukum nasional jangka panjang. Upaya reformasi hukum pidana (penal reform) terutama mencakup bidang “kebijakan peradilan pidana”, yang merupakan bagian dan berkaitan erat dengannya.
Selain itu, reformasi hukum pidana ditinjau dari pendekatan nilai merupakan upaya untuk merevisi dan mengevaluasi kembali (reorientasi dan evaluasi kembali) titik tolak mental utama, gagasan mendasar atau nilai-nilai sosio-filosofis, sosio-politik, dan budaya. yang menjadi dasar kebijakan pidana dan (penegakan hukum) hukum pidana selama ini. Reformasi hukum pidana yang diinginkan tidak sama dengan orientasi nilai hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS). Oleh karena itu, reformasi hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi politik.
Artinya, pembaharuan KUHP Nasional juga harus berlandaskan dan berorientasi pada gagasan dasar Pancasila, yang memuat keseimbangan nilai atau paradigma: (a) moralitas agama (ketuhanan), (b) kemanusiaan (humanistik). ), (c) kebangsaan, (d) demokrasi dan (e) keadilan sosial. 58 Rony Hernotijo Soetmiko, reformasi hukum pidana hal.13. . untuk menciptakan pemahaman dan memberi izin agar efektif di masyarakat. Oleh karena itu, dalam upaya reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perlu dilakukan pengkajian dan pendalaman terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat (nilai agama dan nilai budaya/adaptif).
Rekomendasi untuk melakukan pengkajian/penggalian hukum yang hidup (bersumber dari nilai-nilai hukum agama dan hukum adat/adat) juga menjadi trend dalam kongres-kongres internasional di bidang hukum pidana dan kriminologi.
KEBIJAKAN PEMBUAT UNDANG-UNDANG UNTUK
Analisis Hukum Pidana Tentang Pasal Zina
Laki-laki yang tidak sedang mengadakan hubungan perkawinan melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan, padahal perempuan tersebut diketahui sedang mengadakan hubungan perkawinan; Perempuan yang tidak terikat perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang terikat perkawinan; Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dituntut, kecuali jika pengaduan dilakukan oleh laki-laki, perempuan, atau pihak ketiga yang tertular.
Ancaman pidana bagi pelaku zina lebih berat dibandingkan KUHP yang berlaku saat ini, yaitu hanya 9 (sembilan) bulan penjara, sedangkan dalam usulan KUHP ditingkatkan menjadi 5 (lima) tahun penjara. Perselingkuhan yang dikriminalisasi dalam RUU KUHP seharusnya dipidana lebih berat dibandingkan perzinahan, karena kalau dilihat dari penagihannya bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja (tanpa memandang status perkawinan). Apalagi dibandingkan dengan perbuatan zina yang didasari oleh hubungan pengkhianatan terhadap lembaga perkawinan dan dikutuk oleh masyarakat, kehidupan di luar nikah dua orang yang belum menikah sebenarnya merupakan bentuk perbuatan yang lebih serius. yang menyinggung nilai-nilai kesopanan dalam masyarakat Indonesia. .
Namun dalam Rancangan KUHP (2005), ancaman hukuman terhadap pasangan suami istri hanya 5 (lima) tahun penjara, sama dengan hukuman bagi orang yang melakukan perzinahan dan divonis 5 (selama) tahun penjara. penjara . . Kohabitasi sebelumnya dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kejahatan moral dalam masyarakat hukum adat di Indonesia. Jadi hidup bersama oleh sebagian masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi hukum adat. Misalnya di Bali dikenal dengan hukum adat Logika Sanggraha dan Mamitra Ngalang, dan di Sumatera sekarang dikenal hukum adat pelanggaran adalah Sumbang Salah. Pergaulan bebas antara gadis lajang, laki-laki dan perempuan di Minahasa merupakan hal yang wajar dan tidak dipengaruhi oleh orang tua; masing-masing bebas memilih pasangan nikahnya sendiri, memilih pasangan di luar hubungan keluarga yang masih berkerabat dekat.
Kohabitasi dalam KUHP tidak diatur (Wet Boek van Starfrecht) karena KUHP dibuat dan bukan oleh orang Indonesia asli yang prinsip konkordansinya diberlakukan di Indonesia sebagai bagian dari negara kolonial Belanda. Kohabitasi dalam budaya Barat dianggap suatu hal. biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan sehingga KUHP tidak memasukkan hidup bersama sebagai pelanggaran moral. Oleh karena itu, kohabitasi harus diatur dalam peraturan hukum yang baru (misalnya KUHP asli Indonesia), dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living legal system).
Analisis Hukum Adat Tentang Kesusilaaan
Perbuatan kumpul kebo tidak dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat dan tidak dapat digolongkan sebagai pelanggaran adat menurut beberapa ahli hukum Andi Hamzah dan J.E. Misalnya saja, tindakan hidup bersama (samen leven) dianggap oleh masyarakat Minahasa, Nias dan suku Dayak batin (suku Sawu) sebagai suatu perbuatan yang lumrah (biasa), namun di masyarakat Aceh, pulau Jawa dan Bali itu merupakan pelanggaran yang umum terjadi. Hidup berdampingan dalam perjalanannya banyak menimbulkan kontroversi seiring dengan berkembangnya masyarakat yang majemuk.Peraturan hukum-.
Kohabitasi sebenarnya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan (hukum positif) di Indonesia. Kohabitasi merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum tertulis dan tertulis mengenai perkawinan. Semua agama dan kepercayaan yang ada diakui ada di Indonesia, tidak ada satupun yang memberikan toleransi terhadap tindakan hidup bersama karena dianggap melanggar norma agama dan dianggap sebagai perbuatan zina (pelanggaran norma agama dan moralitas).
Akibat dari tindakan hidup bersama sangat beragam, berkaitan dengan kondisi dan reaksi masyarakat terhadap tindakan hidup bersama. Sementara itu, di komunitas yang sangat menolak hidup bersama, tidak jarang orang yang tinggal bersama diusir dari kota. Dalam hal ini masyarakat memandang kohabitasi sebagai aib umum (perbuatan yang melanggar norma kesusilaan masyarakat) sehingga apabila terjadi di tengah-tengah masyarakat maka masyarakat merasa dirugikan atas perbuatannya.
Pengaturan hidup bersama dalam hukum positif di Indonesia hendaknya diperlukan untuk mengurangi dan mencegah tindakan menghakimi diri sendiri. Walaupun kohabitasi yang dilakukan oleh sebagian kecil (minoritas) masyarakat di Indonesia bukan merupakan tindak pidana adat, namun secara nasional kohabitasi merupakan perbuatan tercela yang patut dikriminalisasi sebagai tindak pidana karena tidak sesuai dengan nilai filosofis dan budaya masyarakat. sistem hukum nasional, perjanjian nasional (moralitas) dan berbagai hasil penelitian dan studi banding.
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori Pemidanaan dan Batasan Penerapan Hukum Pidana. UU No. 1 Tahun 1946 tentang KUHP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660). UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Peradilan Perdata, Susunan, Wewenang, Tata Cara, Tindakan Sementara Untuk Melaksanakan Suatu Struktur Kewenangan dan Acara Peradilan Perdata yang Unik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 9).