BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri dalam pemenuhan kebutuhannya. Manusia memerlukan orang lain untuk dapat memenuhi berbagai macam kebutuhannya itu agar mencapai suatu kepuasan yang di inginkan. Sehingga dibutuhkan suatu upaya atau usaha tertentu dari manusia itu sendiri melalui suatu tindakan atau perilaku sosialnya.
Upaya atau usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini justru terkadang menjadi suatu masalah dalam masyarakat. Masalah tersebut dapat kita lihat dari adanya banyak tindakan atau perilaku sosial seseorang yang menyimpang. Salah satunya yaitu “kumpul kebo” yang semakin marak terjadi dalam masyarakat sebagai upaya pemuasan kebutuhan biologis seseorang.
Di Indonesia kumpul kebo menjadi hal yang tabu bahkan norma yang ada seolah-olah tidak memberi ruang untuk kumpul kebo. Sehingga berita seseorang kumpul kebo akan menjadi suatu pembicaraan yang menghebohkan yang membuat gaduh dalam lingkungan. Namun norma yang menabukan kumpul kebo dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk mencegah atau menghentikannya.
Perbuatan kumpul kebo atau hidup bersama tanpa menikah bukan hanya sebatas hubungan seks saja, tetapi bersepakat untuk tinggal berdua selama mereka mau. Dalam kehidupan masyarakat, perbuatan kumpul kebo atau hidup bersama
tanpa menikah juga kebanyakan dilakukan oleh kaum tuna wisma dan tuna karya, mereka umumnya menempati gubuk-gubuk liar maupun dibawah jembatan. Ada juga kaum terpelajar atau dari kalangan berduit yang hidup bersama, namun jumlahnya sangat sedikit dan biasanya pelakunya tidak ingin diketahui identitasnya karena malu kalau diketahui orang lain1.
Kumpul kebo merupakan istilah masyarakat Indonesia yang ditujukan kepada pasangan yang hidup bersama-sama sebagai suami istri di luar pernikahan.
Istilah ‘kumpul kebo’ merupakan istilah asli Indonesia. Kata‘kumpul’ yang artinya bersama-sama menjadi satu kesatuan atau kelompok (tidak terpisah- pisah); berhimpun; berkampung; berapat (bersidang); berkerumun. Lalu ‘kebo’
artinya: kerbau. Sudah tentu yang dimaksudkan adalah arti kiasan, bukan arti yang sebenarnya: kerbau berkumpul, tetapi pasangan laki-laki dan perempuan kumpul seperti kerbau. Oleh sebab itu ada yang mengartikan ‘kumpul kebo’ adalah suatu perbuatan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah2.
Kumpul Kebo semakin berkembang dalam masyarakat modern. Di satu sisi budaya modern mengajak individu untuk mempercayai cinta sebagai dasar tindakan. Di sisi lain mereka ketakutan untuk sungguh-sungguh melakukannya karena adanya nilai-nilai yang menekankan independensi individu. Akibatnya individu dalam masyarakat modern adalah individu yang terbelah. Sebagai manusia mereka perlu seks dan cinta, dan itu harfiah, tapi mereka enggan dengan
1Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 13
2http://keluargaumarfauzi.blogspot.com/2013/03/kumpul-kebo.html, pada tanggal 31/12/2018
legalisasinya. Sebuah legalisasi seks dan juga cinta dalam bentuk pernikahan bermakna gangguan terhadap independensi dan kebebasan individu. Maka, tak usah heran apabila kumpul kebo tumbuh subur sebab itulah jalan tengah bagi perasaan terbelah. Melalui kumpul kebo mereka mendapat cinta sekaligus seks tanpa mengorbankan kebebasan dan independesinya.
Selama ini kebanyakan pembicaraan mengenai kumpul kebo berjalan di aras norma dan moral. Tidaklah mengherankan apabila jawabannya tunggal, yakni bahwa kumpul kebo adalah sesuatu yang buruk dan harus dihindari. Moralitas agama paling ekstrem memburukkannya dengan melabelinya sebagai dosa.
Perbuatan kumpul kebo merupakan perilaku yang melanggar norma dalam masyarakat walaupun secara yuridis normatif hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini tidak dapat mengancam dengan sanksi pidana terhadap orang yang melakukan hubungan badan diluar pernikahan yang sah. Apabila melihat kehidupan masyarakat Indonesia yang masih dikenal sebagai bangsa yang teguh memegang norma-norma agama, kumpul kebo di dalamnya ada perbuatan zina tersebut merupakan perbuatan kotor.
Dalam beberapa kasus kumpul kebo yang terjadi di Indonesia, sebenarnya aparat penegak hukum dalam hal penyidik agak sulit mencari penyelesaiannya, karena tidak ada satu pasal pun dalam KUHP yang mengatur tentang hal ini.
Begitu banyak kasus kumpul kebo yang terjadi di Indonesia, salah satu yang penulis ambil adalah Kasus Kumpul Kebo yang terjadi di Kecataman Baguala Desa Passo Kota Ambon, dimana terdapat tiga pasangan yang tinggal di Kompleks Air Besar Passo. Menariknya salah satu pasangan yang hidup serumah
bersama ketiga anak dari pihak lelaki yang dimana lelaki tersebut (DU) adalah seorang Duda dan Wanita (L) yang menjadi pasangannya tersebut belum bercerai dengan suaminya yang sah dan dari pernikahan dengan suaminya tersebut memperoleh dua orang anak perempuan dan seorang anak lelaki, mereka hidup bersama kurang lebih 4 tahun. Dari tiga pasangan tersebut, sepasang wanita dan lelaki yang hidup serumah akan dinikahkan setelah putusan perceraian antara wanita tersebut dengan suaminya dinyatakan Sah dan dua pasangan lainnya akan di usir dari Kompleks Air Besar Desa Passo Kota Ambon.
Dengan adanya fenomena kumpul kebo tersebut, para pembuat Undang- Undang melakukan upaya kriminalisasi terhadap permasalahan kumpul kebo demi menanggulangi keresahan masyarakat pada umumnya. Aturan ini tertuang dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pasal 485 yang menyebutkan:
“Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”.
Dengan adanya pasal yang baru dibuat tahun 2015 ini diharapkan kumpul kebo dijadikan sebagai tindak pidana dan memiliki sanksi pidana.3
Dengan RUU KUHP ini di harapkan penyakit sosial masyarakat tentang kumpul kebo dapat diatasi di masyarakat. Walaupun baru tahap rancangan undang-undang ini, terdapat pro dan kontra di masyarakat. Rancangan Undang- undang ini semua komponen terlibat diantaranya tokoh agama, tokoh masyarakat dan pihak-pihak yang berkompoten. Usaha pembaharuan KUHP atau kebijakan
3Sudarto, op.cit, hal.14
pembaharu untuk “mengangkat/menetapkan/menunjuk” suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal) diantaranya kriminalisasi kumpul kebo.
Kebijakan kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam aturan perundang- undangan. Pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal yang menggunakan sarana hukum pidana, dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana.
Dalam rangka menanggulangi kejahatan diperlukan berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan berupa pidana.
Pidana masih dianggap relevan untuk menanggulangi kejahatan, meski masih banyak reaksi lain yang berupa non-pidana dalam menanggulangi kejahatan.
Pidana sebagai sarana pengendalian kejahatan diperlukan adanya konsepsi politik dalam hukum pidana yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa-masa yang akan datang4.
Disamping itu dalam RUU KUHP delik zina dan kumpul kebo hanya masuk pada delik aduan sehingga kerangka hukum bagi pelaku zina dan kumpul kebo kurang begitu kuat, serta juga tidak dijelaskan secara rinci tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo, serta unsur yang ada dalam delik tersebut. Dari sinilah terutama hukum pidana diharapkan sangat memegang peranan penting.
Kaidah keagamaan seperti “zina” dipandang sebagai suatu kejahatan serius,
4Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Di Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 73
sehingga perlu hukum yang melindungi dan menegakan norma yang ada di dalamnya terdapat norma agama tersebut5. Sehingga berdasarkan latar belakang mengenai kriminalisasi kumpul kebo diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul :
KAJIAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PERBUATAN KUMPUL KEBO DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN SEKTOR (POLSEK) BAGUALA KOTA AMBON
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan dari proposal ini, yaitu :
Faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya kumpul kebo di wilayah hukum Kepolisian Sektor (Polsek) Baguala Kota Ambon?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian latar belakang penelitian di atas, sebagai tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
a. Untuk menganalisis faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya kumpul kebo di wilayah hukum Kepolisian Sektor (Polsek) Baguala Kota Ambon.
b. Sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
5http://www.diskusiskripsi.com/2010/11/kriminalisasi-kumpul-kebo-samen-leven.html, diakses pada tanggal 2/1/2019
D. Manfaat Penelitian
1. Ingin mengetahui faktor apa sajakah yang mempengaruhi terjadinya kumpul kebo di wilayah hukum Kepolisian Sektor (Polsek) Baguala Kota Ambon.
2. Sebagai bahan masukan kepada aparat penegak hukum dalam menanggulangi perbuatan kumpul kebo.
E. Kerangka Teori
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah diamandemen ketiga disahkan 10 Nopember 2001. Penegasan ketentuan konstitusi ini bermakna, bahwa segala aspek kehidupan dalam kemasyarakatan, kenegaraan dan pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.
Untuk mewujudkan negara hukum salah satunya diperlukan perangkat hukum yang digunakan untuk mengatur keseimbangan dan keadilan disegala bidang kehidupan dan penghidupan rakyat melalui peraturan perundang-undangan dengan tidak mengesampingkan fungsi yurisprudensi. Hal ini memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan mempunyai peranan yang penting dalam negara hukum Indonesia6.
Salah satu hukum yang mengaturnya adalah hukum pidana. Hukum Pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang
“dipidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang
6Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 13
oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari- hari dilimpahkan.
Tentunya ada alasan untuk melimpahkan pidana ini, dan alasan ini selayaknya ada hubungan dengan suatu keadaan, yang di dalamnya seorang oknum yang bersangkutan bertindak kurang baik. Maka, unsur “hukuman”
sebagai suatu pembalasan tersirat dalam kata “pidana”7.
Di Indonesia Hukum Pidana dibagi dalam dua macam, yaitu dikumpulkan dalam suatu kitab kodifikasi (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat dengan KUHP) yang merupakan Hukum Pidana Umum dan tersebar dalam pelbagai undang-undang tentang hal-hal tertentu, yang merupakan Hukum Pidana Khusus. Pelanggaran terhadap peraturan Hukum Pidana dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan atau pelanggaran8.
Tindak Pidana juga di sebut strafbaar feit. Menurut Moeljatno, strafbaar feit adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
2. Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan
7Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2003, hal. 1
8Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 3
ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
3. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya9.
Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan pada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum dimana negara dan kekuasaan harus tunduk pada hukum dan semua orang dihadapan hukum negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama.
Dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas telah disebutkan bahwa:
“Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum atau rechstaat”.
Oleh karena Indonesia sebagai negara hukum, maka dalam hukum negara Indonesia berlaku beberapa hal berikut ini :
a. Bahwa sistem Pemerintahan Negara Indonesia didasarkan kepada kedaulatan rakyat;
b. Bahwa Pemerintah Negara Indonesia dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan ketentuan dalam hukum negara Indonesia;
9Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 1
c. Bahwa hukum negara Indonesia harus memberikan jaminan terhadap hak asasi manusia10.
Menurut La Ode Husen, negara hukum adalah suatu pengertian yang berkembang, dan terwujud sebagai reaksi masa lampau, karena itu unsur Negara hukum berakar dari sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Lebih lanjut dikatakan bahwa setiap Negara memiliki sejarah yang tidak sama, oleh karenanya pengertian Negara Hukum di berbagai Negara akan berbeda11.
Selanjutnya menurut Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa setiap masyarakat harus ada hukum yang mengatur perilaku-perilaku dan tata kehidupan anggota masyarakat. Untuk adanya tata hukum dalam masyarakat diperlukan 3 komponen kegiatan yaitu :
1. Pembuatan norma-norma hukum
2. Pelaksanaan norma-norma hukum tersebut
3. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam tertib hukum tersebut12. Hukum yang telah terbentuk sejak dulu harus terus mengalami Pembaharuan hukum, khususnya pembaharuan hukum pidana mencakup pembaharuan hukum secara struktural, membangun lembaga-lembaga hukum, dan pembaharuan hukum secara substansial, menghasilkan produk aturan-aturan hukum yang bersifat kultural yang didasarkan pada nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pembaharuan hukum dimaksudkan untuk
10Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
11La Ode Husen, Hubungan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Keuangan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, CV Utomo, Bandung, 2005, hal. 59
12Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 7
membentuk hukum pidana yang didasarkan pada nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia13.
Secara normatif pembaruan hukum pidana (Penal reform) di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa:14
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini (UUD 1945)”.
Berdasarkan aturan peralihan tersebut, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku di Indonesia. Dan kemudian mulai tahun 1946 melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1946, karena berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat maka dibuatlah beberapa Undang-Undang Pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)15.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pembaruan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan. Oleh karena itu, pada hakikatnya pembaruan hukum pidana itu adalah merupakan bagian dari suatu kebijakan.
Dikatakan sebagai suatu upaya kebijakan karena pembaruan hukum pidana ini diperuntukkan sebagai pembaruan suatu substansi hukum (Legal subtance) dalam rangkaian lebih mengefektifkan penegakan hukum16.
13Ibid, hal. 9
14Yesmil Anwar Adang, Pembaruan Hukum Pidana Reformasi Hukum, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 15
15Ibid, hal. 16
16Ibid, hal. 21
Berbicara mengenai kejahatan atau crime ada suatu pendapat dari Edwin H. Sutherland yang menyatakan bahwa “setiap pembahasan kejahatan mempunyai ruang lingkup penalaahan proses pembuatan Undang-Undang”, pelanggaran Undang-Undang serta reaksi terhadap pelanggaran undang-undang itu. Proses tersebut dimulai dengan adanya proses kriminalisasi dan dekriminalisasi suatu perbuatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan itu dapat dihukum atau tidak lagi dapat dikatakan dihukum17.
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.
Jadi, pada hakikatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal).
Menurut Soedarto ada 4 syarat yang harus diperhatikan didalam melakukan kriminalisasi :
a. Tujuan kriminalisasi adalah menciptakan ketertiban masyarakat didalam rangka menciptakan Negara kesejahteraan.
b. Perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban.
c. Harus mempertimbangkan faktor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang.
d. Harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui bebannya atau melampaui batas.
17B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Tarsito, Bandung, 1981, hal. 4.
Sudarto juga mengatakan bahwa dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1. Penggunaan hukum harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional;
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki;
3. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan prinsip biaya dan hasil;
4. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari bahan-bahan penegak hukum18.
Perbuatan kumpul kebo tersebut juga dapat dianalisis menggunakan teori- teori kriminologi. Boger membedakan kriminologi dalam arti luas dan arti sempit.
Dalam arti luas adalah mempelajari kejahatan dan patologi sosial. Dalam objek kriminologi seperti, tuna wisma, prostitusi gelandangan, alkoholisme dan lain- lain. Semuanya itu termasuk ke dalam patologi sosial karena hal tersebut merupakan bibit-bibit dari kejahatan. Sedangkan dalam arti sempit mempelajari kejahatan menurut lingkup perundang-undangan19.
Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis perbuatan kumpul kebo tersebut adalah Differential association, yang menyatakan bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial.
Artinya semua tingkah laku dapat dipelajari dengan berbagai cara. Karena itu, perbedaan tingkah laku yang comform dengan kriminal adalah bertolak ukur pada
18 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 39
19B. Simandjuntak, op.cit, hal. 5
apa dan bagaimana sesuatu itu dipelajari. Yang dipelajari dalam kelompok tersebut adalah teknik untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan alasan-alasan yang mendukung perbuatan jahat tersebut20.
Selain teori Differential association, teori lain yang dapat digunakan untuk menganalisis perbuatan kumpul kebo adalah Social Bond Theory yang digunakan oleh Hirschi. Menurut Hirschi, penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian sosial. setiap manusia cenderung untuk tidak patuh terhadap hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran hukum21.
Manusia hidup bermasyarakat mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia sebagai pribadi pada dasarnya dapat berbuat menurut kehendaknya atau bebas. Dengan pembawaan sikap pribadinya biasanya manusia ingin dipenuhi kepentingannya terlebuh dahulu tanpa mengingat kepentingan orang lain. Jika keadaan seperti ini tidak diatur atau tidak dibatasi oleh ketentuan- ketentuan maka manusia yang lemah akan tertindas. Ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia atau yang menjadi pedoman manusia untuk berperilaku guna menjaga keseimbangan kepentingan mereka dalam masyarakat itu dinamakan kaidah sosial22. Kaidah sosial yang menjadi pedoman manusia berperilaku dalam masyarakat yaitu, kaidah agama, kaidah kesusilaan, kaidah kesopanan dan kaidah hukum23.
Perbuatan Kumpul Kebo tersebut dapat juga dianalisis menggunakan teori- teori kriminilogi. Menurut W.A. Bonger kriminologi adalah ilmu pengetahuan
20Nandang Sambas, Pengantar Kriminologi, Prisma Esta Utama, Bandung, 2010, hal. 5
21Yesmil Anwar Adang, Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2010, hal. 74
22J.B. Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, PT Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal. 15
23Ibid, hal. 16
yang bertujuan mempelajari kejahatan dalam arti seluas-luasnya. Kumpul kebo bukanlah tindak pidana karena sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengaturnya sehingga menimbulkan ketidak pastian mengenai tercela atau tidaknya perbuatan kumpul kebo tersebut. Berdasarkan norma sosial dan agama yang menjadi pegangan sebagian besar rakyat Indonesia, kumpul kebo merupakan hal yang dianggap sebagai perbuatan yang tercela.
Norma atau kaidah adalah petunjuk hidup, yaitu petunjuk bagaimana kita berbuat, bertingkah laku didalam masyarakat. Kaidah juga berisikan perintah atau larangan maka sudah selayaknya kaidah yang merupakan petunjuk hidup tersebut mempunyai sifat yang memaksa yang merupakan ciri norma hukum. Disamping sebagai pedoman atau panduan berbuat atau bertingkah laku, Norma juga dipakai sebagai tolak ukur di dalam mengevaluasi perbuatan di dalam masyarakat24.
Sehubungan dengan dimasukannya perbuatan kumpul kebo ke dalam konsep (RUU) KUHP 2015, muncul lagi pendapat pro dan kontra. Kritik dari pandangan kontra ialah bahwa dibanyak Negara masalah susila tidak pernah dipersoalkan karena memang Negara tidak berhak untuk mengurusi moral dan kesusilaan dan masalah kumpul kebo berarti memasuki ranah kehidupan seks pribadi. Menurut pendapat pro, kumpul kebo merupakan suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial tetapi tidak adanya aturan dan belum terjamaah oleh hukum25.
24Nandang Sambas, op.cit, hal. 6
25Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Prenada Media Grup, Jakarta, 2011, hal. 301
F. Metode Penelitian
Dalam rangka penelitian ini, penulis mempergunakan metode penelitian sebagai berikut :
a. Jenis Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian Yuridis Empiris. Penelitian ini menggunakan penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif yang tidak hanya pengumpulan data atas sesuatu hal tetapi juga dengan analisa terhadap hal tersebut menggunakan data primer.
b. Tipe Penelitian
Untuk mendekati pokok permasalahan penelitian, maka spesifikasi yang digunakan adalah Kualitatif26, yaitu metode penelitian yang berfokus pada pemahaman terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
c. Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang digunakan adalah Bahan hukum primer, data yang diperoleh langsung dari kehidupan masyarakat dengan wawancara, observasi, kuesioner, sampel, dll.
Bahan Hukum Sekunder yaitu, Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2015.
Bahan Hukum Tersier yaitu, data pendukung yang berasal dari buku-buku, literatur, media masa, kamus maupun data-data lainnya.
26Gumilar Rusliwa Somatri, Memahami Metode Kualitatif, Makara, 2005, hal. 58
d. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
Teknik Pengumpulan dan Analisa Data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini adalah analisa yang bersifat normatif kualitatif yaitu analisa terhadap asas-asas, konsep-konsep, perilaku dan sebagainya tanpa menggunakan rumus-rumus atau angka-angka dan data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,, menafsirkan, dan membandingkan. Sedangkan metode induktif dengan menterjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang dirumuskan.
G. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis ingin menjabarkan secara singkat mengenai penelitian ini, untuk memudahkan dan memperoleh gembaran secara keseluruhan mengenai isi pembahasan skripsi ini, kemudian dibagi ke dalam IV bab. Bab-bab dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut :
Bab I ini merupakan bab pendahuluan yang didalamnya terdapat uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori, metode penelitian yang digunakan serta diakhiri dengan sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tentang pengertian kumpul kebo dan pengaturannya dalam hukum nasional, ruang lingkup perbuatan kumpul kebo, dan teori-teori kriminologi.
Bab III menjelaskan gambaran umum wilayah hukum Polsek Baguala, teori kriminologi yang terkait dengan fenomena kumpul kebo di wilayah hukum Polsek Baguala, dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kumpul kebo di wilayah hukum Polsek Baguala.
Bab IV adalah penutup akhir penulisan ini yang memuat kesimpulan dan saran. Bab ini menyimpulkan hasil pembahasan yang telah dikaji pada bab sebelumnya serta masukan berupa saran.