• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ANALISIS PERBEDAAN PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB TERHADAP SURAT AL NISA' 34.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI ANALISIS PERBEDAAN PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTUB TERHADAP SURAT AL NISA' 34."

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ANALISIS PERBEDAAN PENAFSIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTHB

TERHADAP QS. AL-NISA (4) : 34

Skripsi :

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

SITI MUWAHIDAH NIM: E03212038

JURUSAN ALQURAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

STUDI ANALISIS PERBEDAAN PENAFSIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB DAN SAYYID QUTHB

TERHADAP QS. AL-NISA (4) : 34

Skripsi :

Diaujukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Al Quran Dan Tafsir

Oleh:

SITI MUWAHIDAH NIM: E03212038

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Al-Qur’an adalah kitab Allah yang diturunkan pada nabi Muhammad, al-Quran adalah kitab yang berisi firman-firman Allah. Al-Qur’an yang berisi 30 juz, 114 surat ini sebagai arahan umat Manusia yang percaya akan Allah dan Rasulnya nabi Muhammad. Arahan dan sebagai petunjuk dalam kehidupan umat islam. Banyak pembahasan yang di bahas dalam al-Qur’an mulai dari sejarah, politik, ekonomi, dan kesehatan pula. Semuanya adalah pengetahuan bagi hamba yang ingin mengetahui.

Karena al Quran adalah kitab terakhir yang diturunkan maka banyak pula penafsiran-penafsiran yang sesuai dengan latar belakang mufasir atau pendidikan mufasir tersebut. Dan tak lain pula dalam surat an Nisa ayat 34 ini disini banyak pendapat mengenai makna lafad al rija>l dalam kalimat al rija>l qowwa>muna> a>la> nisa> pendapat itu mulai ada yang dipertentangkan dan ada yang tidak pula. Banyak juga pembahasan mengenai ayat ini maka dari beberapa pembahasan yang

belum di temukan yakni pada ayat ini di padukan dengan teori yang di gunakan dalam memahaminya, yakni mulai dari kaidah kebahasaaan dan kaidah fungsi hadis serta kaidah ulumul Quran yang hanya berfokus pada asba>b an nuzu>l dan munasabah ayat. Yang kedua ini memberikan perbedaan pemaknaan dalam memaknai lafad al rija>ldalam potongan ayat al rija>l qowwa>muna> a>la> nisa>.

Selain itu pula sebagai wawasan baru sengaja penulis mencangkupkan kedua mufasir disini yakni Qurasih shihab pengarang tafsir Al Misbah dan Sayyid Quthb pengarang tafsir Fi Dzilalil Quran. Yang kedua nya berbeda dalam menafsirkan, dalam hal ini berfokus pada permasalah dan menyelesaikan dalam bentuk kaidah bukan perbadingan tokoh tetapi kedua mufasir tersebut itu memnag lah berbeda dalam menafsirkanya. Kedua mufasir itu adalah sebagai rujukan karena penafsiran yang berbeda.

Penelitian ini adalah kategori penelitian keperpustakaan (library research) yaitu suatu penelitian yang menjadikan sumber penelitianya adalah bahan pustaka, tanpa melakukan survei maupun observasi. Dan sumber primer dari penelitian ini adalah al Misbah dan Fi Dzilalil Quran yang sumber sekundernya kitab-kitab tafsir lainya dan buku-buku yang masih berhubungan dengan permasalahan ini. Memahami ayat ini dengan kedua mufasir ini dalam tolak ukur pandang kaidah tertentu yang telah di sebutkan. Agar bagaimana tahu menyingkapi perbedaan antara mufasir karena berbeda kaidah dalam penafsiranya.

Kesimpulan dari permasalahan ini yakni mengentahui akan kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menafsiri surat al Nisa ayat 34 yang berfokus pada kaidah kebahasaan, kaidah ulumul quran (munasabah ayat dan asba>b an nuzu>l ) dan kaidah fungsi hadis dalam al Quran. Yang nantinya akan diketahui bahwa dalam lafadz ar rija>l dalam tafsir al Misbah mengunakan kaidah kebahasaan dan fungsi hadis dalam al Quran. Sedangkan lafadz al rija>l dalam

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…..………

ABSTRAK………..ii

SURAT PERSETUJUAN PEMBIMBING……….………iii

SURAT PENGESAHAN TIM PENGUJI………...iv

SURAT PERNYATAAN………...v

HALAMAN MOTTO………...vi

HALAMAN PERSEMBAHAN………..vii

KATA PENGANTAR……….viii

DAFTAR ISI………...x

PEDOMAN TRANSLITERASI……….xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Identifikasi Masalah………....5

C. Rumusan Masalah………...5

D. Tujuan Penelitian………6

E. Manfaat Penelitian………..6

F. Kajian Pustaka………7

G. Metode Penelitian………...8

H. Sistematika Pembahasan………...11

BAB II KAIDAH ANALISIS TAFSIR A. Kaidah kebahasaan………....14

B. Kaidah Ulumul Quran 1. Munasabah Ayat………..18

2. Asbab an Nuzul………....28

(8)

BAB III PENAFSIRAN SURAT AN NISA AYAT 34

A. Tafsir Al Misbah Karya Qurais Shihab………41 B. Tafsir Fi Zhilalil Quran Karya Sayyid Quthub………57

BAB VI ANALISIS

A. Pengunaan Kaidah Kebahasaan………76 B. Pengunaan Kaidah Ulumul Quran

1. Munasabah Ayat………..77

2. Asbabul Nuzul………..80

C. Kaidah Fungsi Hadis Dalam tafsir Al-Quran………85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………91

B. Saran………...92

(9)

Bab 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membicarakan sebuah kehidupan tak lain pula membahas makhluk hidup, manusia yang diciptkan dengan dua jenis yakni laki-laki dan perempuan. Maka dengan adanya perbedaan dari dua jenis disini maka banyak pula isu dan masalah yang mencangkup kedua nya yakni laki-laki dan perempuan. Membahas laki-laki dan perempuan tak lain pula membahas semua aspek nya dari aspek kesetaraan, aspek rumah tangga dan masih banyak lagi aspek lainya. Kesetaraan gender memang sempat menjadi isu yang sangat gempar dikalangan masyarakat ini, dengan kesetaraan yang diinginkan adanya keserasian dan persamaan antara hak-hak laki-laki dan perempuan.

Membahas sebuah kesetaraan ada beberapa yang selalu di jujung tinggikan antara kesetaraan laki-laki dan perempuan yakni salah satunya dalam kepemimpinan. Kepemimpinan dalam rumah tangga maupun kepemimpinan dalam khalayak publik dimana masih banyak perempuan disini yang masih sedikit mengambil alih sebagai pemimpin dalam segala hal.

(10)

surat perempuan karena membahas seluk beluk dari seorang perempuan. Dalam surat Al-Nisa ayat 34 yang berbunyi :

ها لضف ا ب ءاس لا ىلع وم وق لجرلا

ف أا بو ضعب ىلع مُضعب

ق

م او

ا ن

وم

لُ

ْم

ف

َّلا

ل

ح

ت

ق

ت

ت

ح

ف

ض

تا

ل

غل

ْي

ب

ب

ح ا

ف

ظ

و ها

َلات

ت ى

خ

فا

و

ش

و

ه

ن

ف

ع

ظ

هو

ن

و

ْها

ج

ر

هو

ن

ف

لا ى

ض

ج ا

ع

و

ْضا

ر

ب

هو

َن

ف

ا

ْ

ا

ط

ْع

ك

ْم

ف

ل

ت ا

ْغ

ع او

لْي

ُ

ن

س

ْي

ا

ا

َ

ها

ك

ا

ع

لَي

ك ا

اًرْي

kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri. ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Dalam ayat ini banyak pembahasan dan perbedaan para ulama mufasir yang menafsirkan ayat 34 surat An Nisa dimana dalam pemaknaan kalimat al rija>l qawwa>muna> ‘ala> nisa> dalam kalimat ini ada perbedaan pemaknaan yakni

pemaknaan kaum laki-laki dan pemaknaan suami. Dalam beberapa mufasir setuju bahwa penafsiran potongan ayat tersebut ini adalah pemaknaan kaum laki laki seperti dalam tafsir Al Misbah di nyatakan bahwa kalimat al rija>l adalah bentuk jamak dari kata ra>jul yag diterjemahkan lelaki, walaupun Al-Quran tidak selalu mengunaknnya dalam arti tersebut. Banyak ulama yang mengatakan bahwa kata

ar rijal disini adalah para suami. Penulis tadinya ikut mendukung pendapat itu.

(11)

seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah “karena mereka para suami menafkahkan sebagian harta mereka” yakni untuk istri-istri mereka.1

Seandainya yang di maksud kaum lelaki adalah kaum pria secara umum maka tentu konsideranya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara mata jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah tangga. Demikian yang penulis tulis beberapa tahun yang lalu. 2

Tetapi kemudian penulis menemukan Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa al rija>l tidak digunakan Bahasa Arab, bahkan bahasa Al-Quran dalam arti suami. Berbeda dengan kata an nisa> atau imro’ah yang digunakan untuk makna istri. 3

Dalammenafsirkan al rija>l qawwa>muna> ‘ala> nisa> bermakna bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita yang lebih dituangkan atasnya, yang menjadi pemutus atas segala perkaranya, dan berkewajiban mendidiknya jika melenceng atau melakukan kesalahan. seorang pria berkewajiban untuk melakukan kesalahan perlindungan dan pemeliharaan atas wanita oleh karena itu jihad menjadi kewajiban atas pria, dan tidak berlaku pada wanita karena prialah yang mendapatkan beban untuk menanggung nafkah atas wanita. Secara tidak langsung tafsir ini menjelaskan bahwa kalimat al rija>l itu merujuk pada suami karena ada penjelasan di atas mengatakan secara rinci bahwa pemeliharaan atas wanita yakni pria. Berbeda dengan tafsir ibnu katsir yang menyatakan bahwa dalam tafsirnya Allah SWT berfirman bahwa kaum lelaki adalah pemimpin, penguasa, kepala dan

1

Quraish Shihab, Tafsir Al Misba,. Vol.2 (Jakarta : Lentera Hati, 2012), 424 2

Ibid 3

(12)

guru pendidik bagi kaum wanita, karena kaum laki-laki mempunyai kelebihan di atas kaum wanita yang di buktikan nya dengan di khususkan kenabian dan kerasulan hanya bagi kaum lelaki. Demikian pula kepemimpinan Negara dalam bangsa di anjurkan oleh rasulullah saw agar berada di tangan pihak lelaki.4 Rasulullah bersabda :

لفي نل

ح

ق

و

ول

او

ْم

ر

ه

ا م

رم

ا

Tidaklah beruntung suatu kaum yang menyerah kan pimpinanya kepada seorang perempuan.5

Maka ada beberapa kejelasan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa kepemimpinan merujuk pada kaum lelaki karena dalam tafsiran nya dihubungkan dengan hadis yang dimana hadis tersebut adalah hadis kepemimpinan, yakni kepemimpinan memang harus dalam kepemimpinan lelaki.

Dalam hal menyatakan bahwa kaum pria memiliki wewenang untuk mengeluarkan perintah maupun larangan yang wajib ditaati oleh para wanita (istri-istrinya) serta memliki kewajiban untuk memberikan belanja (nafkah) dan pengarahan sebagaiamana kewajian seorag wali (penguasa) atas rakyatnya. Dalam hal ini maka ada beberapa perbedaan penafsiran dari beberapa mufasir dalam memaknai surat Al-Nisa ayat 34, maka dengan itu ada beberapa metode, pedekatan dan teori yang digunakana mufasir dalam menafsirkan ayat tersebut yang nanti akan mejadikan kejelasan dalam penafsiran ayat tersebut dengan kelemahan dan kelebihan dari beberapa teori dalam menafsirkan ayat tersebut.

4

M. Abdul Ghoffar, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir, Vol.2,(Tp : Pustaka Imam Syafi’i 2009) 5

(13)

Karena dalam hal ini kritik penafsiran yang berbeda dari kedua mufasir bukan hanya pendapat satu mufasir tetapi kedua mufasir pula. Maka dalam hal ini ada pembedaan pula dalam menafsirkan karena setiap mufasir pasti mempunyai metode, pendekatan dan teori masing-masing yang nanti akan membedakan dari mufasir lain.

B. Identifikasi Masalah

Untuk memberi arahan yang jelas dan ketajaman analisa dalam pembahasan, maka perlu adanya pembatasan suatu permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini hanya akan membahas tentang kritik penafsiran dalam surat Al-Nisa ayat 34.

1. Tentang ayat 34 Surat Al-Nisa dalam ilmu Al-Quran menurut mufasir seperti M. Quraish Shihab dan Sayyid Quthb.

2. Makna ayat 34 surat Al-Nisa dalam Al-Quran menurut mufasir seperti M.Quraish Shihab, dan Sayyid Quhtb.

3. Teori beberapa mufasir seperti Quraish Shihab dan Sayyid Qhutub terkait ayat 34 surat An Nisa.

C. Rumusan Masalah

(14)

1. Mengapa sebagian Quraish Shihab menafsirkan lafad al rijal yakni makna laki-laki ?

2. Mengapa sebagian Sayyid Quthb menafsirkan lafad al rijal dengan makna suami ?

D. Tujuan Penelitian

Berangkat dari rumusan masalah di atas, tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah:

1. Mengetahui Quraish Shihab mengunakan pemaknaan laki-laki dalam memaknai al rijal dalam surat Al-Nisa ayat 34

2. Mengetahui Sayyid Quthb mengunakan pemaknaan suami dalam memaknai al rijal dalam surat Al-Nisa ayat 34.

3. Mengetahui tentang ayat 34 surat Al-Nisa dalam ilmu Al-Quran.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.

Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut :

1. Menambah wawasan dalam perkembangan tafsir yakni khusus pada ayat 34 surat Al-Nisa.

(15)

3. Melengkapi kaidah-kaidah yang belum pernah ada dalam penelitian sebelumnya.

F. Kajian Pustaka

Dalam penelusuran yang awal bahwa belum menemukan adanya pembahasan yang membahas kritik penafsiran yang terjadi pada masalah ayat ini, hanya ada beberapa ayat ini di bahas dalam konteks lain.

1. Skripsi yang berjudul Studi Perbandingan Penafsiran M.Qurais Shihab Dan

Hamka Dalam Surat An Nisa 34. Karya Rina Maitasari. Jurusan Tafsir Hadis

Fakultas Ushuluddin Institute Agama Islam Negeri Tahun 2010. Dalam penelitianya meneliti beberapa kalimat dalam Surat An-Nisa ayat 34 yang dilihat dari asbabul nuzul dan kepemimpinan yag hanya mencangkup dua mufasir Indonesia yakni perbadingan penafsiran Quraish Shihab dan Hamka. Perbedaan dengan judul penulis adalah jika skripsi ini membahas tentang perbadingan kedua mufasir nya, tapi tak pernah membahas lafadz ar rijal dari segi makna yang berbeda. Karena dalam kedua tafsir ini memaknai lafadz ar

rizal sama.

2. Skripsi yang berjudul Kepemimpinan Laki-Laki Atas Perempuan Dalam Al-Quran : Studi Komparatif Penasiran Quraish Shihab Dan Tengku Muhammad

Hasbi Ash Shiddieqy Telaah Surat An Nisa Ayat 34. Karya Muhammad.

(16)

Quraish Shihab dan Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Dan kekurangan dalam tafsir ini hanya membadingkan kedua penafsiran mufasir tersbut yang nanti akan memberikan penafsiran baru.

3. Artikel, Kepemimpinan Pria Dan Wanita : Tinjuan Terhadap Surat An Nisa

Ayat 34. Oleh Lilik Andar Yuni. Yang membahas kepemimpinan pria dan

wanita akankah sama atau ada perbedaan dalam kepemimpinan. Dalam artikel ini berfokus pembahasan kepemimpinan yang di tinjau dari surat an-Nisa.

Dengan demikian belum ada yang membahas penafsiran dalam surat An-Nisa Ayat 34 karena masalah dalam hal adalah perbedaan pemaknaan dari beberapa mufasir dengan mufasir lainya dan bukan hanya salah satu mufasir.

G. Metode Penelitian

Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan dengan teknik serta alat-alat tertentu. Harus diketahui bahwa jumblah dan jenis metodologi penelitan memang banyak, sebanyak jenis masalah yang dihadapi, tujuan dan situasi penelitian.6

Kata metode berasal dari bahasa yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa inggris kata ini di tulis dengan method, dan bahasa arab menterjemahkan dengan al-thariqah dan al manhaj, dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengadung arti, “cara yang teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai

6

(17)

maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya), 7 sedangkan menurut Poerwadaminta, metode ialah “ cara kerja yang bersistem untuk memudahkan

pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu kegiatan”.8

Penelitian ilmiah banyak bergantung pada cara penelitian mengumpulkan fakta. Dalam batas-batas tertentu metode dan rancangan penelitian menentukan validitasi penelitian.

1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustkaan (library research). Kepustakaan yakni metode pengumpulan data membaca serta mencatat dan mengelola bahan penelitian tertentu.9 Dalam penelitian ini data dikumpulkan awalnya di susun, dijelaskan setelah itu dianalisa.10

Sumber data yag akan dijadikan dalam penelitian ini bersifat kepustakaan, diambil dari dokumen kepustakaan buku-buku, majalah, kitab-kitab dan berbagai literature lainya yang sesuai dengan penelitian ini, agar mendapat data yang konkret serta ada kaitanya dengan masalah di atas meliputi sumber data primer dan sekunder.

a. Sumber primer

Sumber yang menjadi rujukan utama dalam penelitian. Adapun sumber primer dalam penelitian ini adalah kitab-kitab tafsir yakni Al Misbah, tafsir fi dzilalil Qur’an dan masih banyak lagi.

7

Muhammad, Kepemimpinan Laki Laki Atas Perempuan Dalam Alquan “Studi Komparatif Penafsiran Qurais Shihab Dan Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddie”, (2010, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya)

8Ibid,… 14 9Ibid,…

14 10

(18)

Dalam penafsiran ini mengunakan beberapa kaidah analisis tafsir yakni dari kaidah kebahasaan mengapa memilih kaidah kebahasaan karena dalam surat an nisa ayat 34 ini kemungkinan ada perbedaan penafsiran ini salah satunya mengunkan bahasa dalam pemaknaanya. Selain itu mengunakan munasabah ayat karena dari beberapa mufasir menafsirkan dari surat An Nisa ayat 1-33 mengunakan permasalahan rumah tangga. Dan dengan pula asbabul nuzul karena dalam surat An-Nisa ayat 34 ini mempunyai asbabul nuzul yang dimana nanti nya apakah asbabul nuzul ini menjadi penafsiran yang berbeda juga. Dan tak lain pula ada kaidah analisis fungsi hadis dalam al-quran karena data yang dipilih dari peneliti ada yang berlandasan dan menjadi penguat ayat dari hadis tersebut.

b. Sumber sekunder

Yaitu sebagai acuan yang terkait langsung dalam pokok permasalahan yakni karya-karya yang berhubungan dengan Ilmu Tafsir Dan Al Quran karya Abdul Mustaqin dan Wawasan Baru Ilmu Tafsir Karya Nasruddin Baidan serta kitab Tafsir Manna Al Khatan. Serta kitab tafsir-tafsir lainya.

2. Teknik pengumpulan data

(19)

klasifikasikan menurut materi yang di bahas.11 Dengan cara megunakan metode dokumentasi dengan begitu laporan penelitian akan berisi dengan kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Metode dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun data dan menganalisis dokumen, baik dokumen tertulis gambar maupun elektroik.12

3. Teknik analisis data

Penelitian ini menguanakan metode deskriptif dan komparatif analitis, metode deskriptif yang mengadakan penyelidikan mengemukakan beberapa data yang diperoleh kemudian menganalisis dan mengklasifikasikan.13 Dan dianalisis sesuai dengan sub bahasa masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan mengunakan analisi isi, yakni suatu teknik sistematik utuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari beberapa pertayaan. Selain itu, analisis isi juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak peneliti.

11

Muhammad, Kepemimpinan Laki Laki Atas Perempuan Dalam Alquan (Studi Komparatif Penafsiran Qurais Shihab Dan Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieq, 2010, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya 15

12

Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) 60

13

(20)

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan laporan ini tersusun menjadi empat bagian. Masing-masing bagian akan menjelaskna deskripsi singkat mengenai isi tulisan. Dengan demikian diharapka dapat mempermudah dalam penyajian dan pembahasan serta pemahaman terhadapa apa yang akan di teliti. Berikut merupakan sistematika laporan penelitian :

BAB I Yang merupakan pendahuluan dari laporan akan dibahas megenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II Akan di bahas secara fokus tentang kaidah analisis yang digunakan dalam menganalisis tafsir surat An Nisa ayat 34 yakni dari kaidah kebahasaan, kaidah munasabah ayat, kaidah asbabul nuzul dan fungsi hadis dalam tafsir Al-Quran.

BAB III Data tentang penafsiran tafsir surat An-Nisa ayat 34 yang di lihat dari dua mufasir yang menafsiri ar rijal dalam kaum laki-laki dan mufasir menafsiri ar rijal dalam suami. Yakni tafsir al Misbah dan tafsir Fi Dzilalil Qur’an.

(21)
(22)

Bab 2

KAIDAH ANALISIS TAFSIR

A. Kaidah Kebahasaan

kata linguistik (berpadanan dengan linguitik dalam bahasa Inggris,

linguistique dalam bahasa Prancis, dan linguistik dalam bahasa Belanda)

diturunkan dari kata bahasa latin ligua yang berarti bahasa di dalam bahasa-bahasa “Roman” yaitu bahasa bahasa yang berasal dari bahasa latin, terdapat kata

yang serupa atau mirip dengan kata latin lingua itu, antara lain, lingua dalam bahasa Italia, lengeu dalam bahasa Spayol, langue (dan langage) dalam bahasa Prancis mengunakan bentuk language, tidak diketahui apakah kata bahasa arab

lunghotun masih berkaitan dengan kata kata di atas.1

Disini perlu diperhatikan bahwa bahasa Prancis mempunyai dua istilah, yaitu langue dan lanage dengan makna yang berbeda. Langue berarti sutu bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, bahasa Jawa, tau bahas Prancis. Sedangkan

langage berarti bahasa secara umum, seperti tampak dalam ungkapan “manusia

punya bahasa sedangkan binatang tidak” di samping istilah langue dan langage

bahasa Prancis masih punya istilah lain mengenai bahasa yaitu parale. Yang di maksud dengan parale adalah bahasa dalam wujudnya yang nyata, yang konkret, yaitu yang berupa ujaran. Karena itu bisa dikatakan ujaran atau parale itu adalah wujud bahasa yang konkret, yang diucapkan anggota masyarakat dalam kegiatan sehari-hari, langue mengacu pada suatu sistem bahasa tertentu. Jadi, sifatnya lebih

1

(23)

asbtrak sedangkan langage adalah sistem bahasa manusia secara umum jadi sifatnya paling abstrak.2

Ilmu lingusitik sering juga sering juga disebut linguistic umum (general

linguistics) artinya ilmu linguistic itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja,

seperti bahasa jawa atau bahasa arab, melainkan mengkaji seluk beluk bahasa pada umunya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial milik manusia, yang dalam perselisihan Prancis disebut sebagai langange.3

Selain linguistic ada juga ilmu semantik yakni, semantik nama disiplin ilmu yang membahas tentang makna. Kata semantik dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa inggris semantic yang mempunyai arti “tanda” dengan alasan ini semantik dipakai oleh para ahli bahasa untuk menyebut bagian dari ilmu bahasa yang fokus pada mempelajari makna. Bagian lain yang juga termasuk kepada bagian ilmu bahasa fonologi, dan sintaksis.

Dalam arti luas semantik dapat mencakup bidang yang lebih luas dari sekedar struktur dan fungsi bahasa, tetapi dalam arti sempit, semantik mempunyai ruang lingkup saja : kata fase, klausa, kalimat dan wacana, atau dalam istilah ilmunya di sebut dengan fonologi, morfologi, sintaksis dan wacana bahkan teks.

Makna menjadi perhatian khusus dalam semantik karena makna menjadi penghubung antara bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakianya sehingga dapat saling mengerti.

2

Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta, PT Renika Cipta, 2003) 02 3

(24)

Mempelajari semantik pada dasarnya adalah mempelajari kondisi saling mengerti diantara para pemakai bahasa, baik dalam pemilihan kata, pemilihan struktur bahasa.

Dalam semantik ada empat aspek makna yang tidak bisa di abaikan dalam menentukan makna suatu bahasa keempat aspek itu adalah :

1. Aspek pengertian (sense) 2. Aspek perasaan (feeling) 3. Aspek nada (tone) 4. Aspek tujuan (intension)4

Pada ahli balaghah (stilistika) telah mengenal adanya pertentangan makna dalam pengkajian bahasa. Menurutnya, pertetangan makna dapat diwujudkan dalam suatu kalimat dua acara yang di sebut al tibaq dan al

muqabalah, menurut Ali Hasyimi (1960-1966) yang di maksud dengan al tibaq

adalah dua kata berlawanan makna yang berada (berkumpul) dalam suatu kalimat, seperti dalam ayat watahsabuhum ayqadan wahum ruqud “dan kamu mengira bahwa mereka itu bangun, padahal mereka tidur ( QS. Al Kahfi : 18) bila diperhatikan contoh itu, kata aiqadan/ bangun dan ruqud tidur berlawanan makna.

Al jarim dan Amin (1998-4023) membagi dua macam al itibaq al ijab yaitu kedua kata yang berlawanan tidak berbeda positif dan negatifnya, al tibaq al

salab yaitu kedua katanya yang berlawanan berbeda positif dan negatifnya, yang

dimaksud dengan berbeda positif dan negatif yakni salah satu kata yang

4

(25)

berlawanan berbentuk dari akar kata yang sama dan menambahkan berbentuk dari akar kata yang sama dan menambahkan afiks negatif berupa ia tidak contoh :

1) al tibaq al ijab.

2) Al tibaq al salab

Sementara itu, yang di maksud dengan muqabalah adalah dua kata yang berlawanan atau lebih terletak di awal kalimat lalu secara berurut kata pembandingnya terdapat pada akhir kalimat (Al jarim dan Amin, 1998: 409).

Yuhillu lahum al tayyibat wa yuharrimu alaihim al habais / menghalalkan bagi

mereka segala apa yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. Al A’raf 157), pada ayat itu yuhilu menghalalkan dan al tayyibat yang baik

terletak di bagian awal kalimat, lalu sesudahnya, secara berturut lawan maknanya disebutkan yaitu kata yuharrimu mengharamkan dan al habais yang buruk.

Apa yang di bahas dalam ilmu balaghah tidak menjelaskan lebih jauh pertentangan makna dalam bahasa arab. Yang menjadi perhatian mereka hanya melihat bagaimana pasangan pertentangan diwujudkan dalam sebuah kalimat (sastra) bagaimana efek pemakian kata yang berlawanan makna terhadap pendengaranya (misalnya dalam syair) sedangkan ihwal macam-macam pertentanga yang muncul tidak dibicarakan.

Umar dalam bukunya ilmu al dalalah semantik (1982) membahas pertentangan makna atau at tadad. Umar (1982 102 105). Dalam hal ini mengikuti pendapat lyons (1997) yang membagi jenis-jenis anatomi dalam bahasa arab :

1) Al tadad al had (antonimi tak bertingkat)

(26)

3) Al aks (konversif/berkebalikan)

4) Al tadad al ittijah (pertentangan direksional).

B. Kaidah Ulumul Quran

1. Munasabah Ayat

Kata “munasabah” secara etimologis berarti “musyakalah” (keserupaan)

dari “muqarobah” (kedekatan).5 Munasabah ayat adalah hubungan yang terdapat di antara ayat-ayat Al-Quran dan surat-surat nya baik dari sudut makna, susunan kalimat, letak surat, ayat dan sebagainya. Dalam buku kaidah tafsir karya M.Quraisy Shihab mengatakan bahwa munasabah dari segi bahasa bermakna kedekatan. Nasab adalah kedekatan hubungan antara seseorang yang lain disebabkan oleh hubungan darah/keluarga. Dalam pengertian lain di singung juga bahwa penjelasan munasabah yakni yang menerangkan kolerasi atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada dimukanya.6

Menurut al-Zarkasyi munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhiranya mengaitkan lafaz umum dan lafaz khusus atau hubungan antara ayat yang terkait dengan sebab akibat.7

5

Acep Hermawan, Ulumul Quran (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011),122

6

Ahmad Syadali, Ulumul quran I (Bandung : Pustaka Setia, 1997),168

7

(27)

Dengan redaksi yang berbeda al Qaththan berkata munasabah adalah menghubungkan antara jumblah dengan jumblah dalam suatu ayat atau antara ayat dengan ayat pada sekumpulan ayat atau antara surah dengan surah8

Menurut Ibnu al Arabi munasabah adalah keterkaitan ayat ayat Al-Quran sehingga seolah olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi.9

Ulama-ulama Al-Quran mengunakan kata muna^sabah untuk dua

makna.10

Pertama, hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat Al-Quran satu dengan lainya. Ini dapat mencangkup banyak ragam, antara lain :

a) Hubungan kata demi kata dalam satu ayat b) Hubungan ayat dengan ayat sesudahnya

c) Hubungan kandungan ayat dengan fa^shilah/penutupnya d) Hubungan dengan surah dengan surah berikutnya e) Hubungan awal surah dengan penutupnya

f) Hubungan nama surah dengan tema utamanya

g) Hubungan uraian akhir surah dengan uraian awal surah dan berikutnya.11

Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat lain, misalnya pengkhususkanya, atau penetapan syarat terhadap ayat lain yang tidak bersyarat, dan lain-lain. QS. Al-Ma’idah (5): 3, misalnya, menjelaskan aneka makanan yang

8

Acep Hermawan, Ulumul Quran, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2011) 122

9

Ibid

10

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang : Lentera Hati, 2013) 243

11

(28)

haram, antara lain darah. Tetapi QS. Al-An’am (6):145 menjelaskan bahwa yang haram adalah darah yang mengalir. Nah, ada munasabah antara ayat Al-Maidah dan Al-An’am yang disebut di atas.12

Banyak ulama yang membatasi apa yang mereka namakan dengan „Ilm

al-munasabah hanya bagian pertama di atas. Bahasan tentang hal ini dimunculkan

pertama kali oleh Abu bakar Abdullah bin Muhammad Ziyad An-Naisabury yang wafat tahun 324 H. 13

Ulama berbeda pendapat menyangkut ada atau tidak-nya hubungan/munasabah dalam pengertian pertama di atas. Ada yang menolak dengan alasan, antara lain. Bahwa ayat-ayat Al-Quran turun dalam masa yang berbeda-beda dan tidak mungkin ada kaitan antara uraian masa lalu dan masa kemudian.14

Pendapat di atas tidak sepenuhnya benar, karena setiap ayat yang turun. Rasul SAW menjelaskan kepada penulis wahyu dimana ayat itu ditempatkan. Memang penempatan sesuatu katakanlah para tamu undangan tidak harus berdasar masa kehadiranya. Presiden yang datang paling akhir menempati tempat paling depan. Yang mendapingi beliaupun bisa berbeda-beda antara satu acara dengan acara yang lain. Sekali meteri ini dan dikali lain menteri itu sesuai acara yang diselenggarakan.15

Di sisi lain, bahasan ulama-ulama yang mendukung adanya munasabah cukup banyak dan menarik. Salah seorang yang paling memperhatikan bidang ini

12

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir 244

13

Ibid

14

Ibid

15

(29)

adalah Ibrahim bin Umar al-Biqa’i (1406-1480), pengarang tafsir Nazhem

ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar yang menghidangkan dalam tafsirnya itu

ragam-ragam hubungan yang dikemukan di atas.16

Harus diakui bahwa bahasan tentang hubungan itu sangat mengadalkan pemikiran, bahkan imajinasi atau ragam hubungan yang dikemukakan oleh para mufasir, bahkan bisa jadi seorang mufasir menghidangkan dua tiga hubungan buat satu ayat yang dibahasnya, sebagaimana terlihat dalam karya al-Biqa;i di atas. Di sisi lain, dapat saja pandangan-pandangan tentang munasabah yang ditampilkan oleh ulama/pemikir tidak diterima baik oleh ulama/pemikir yang lain.17

Asy-Syatibi menjelaskan bahwa satu surat walaupun dapat mengadung banyak masalah namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan yang lainya. Sehingga seorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal suatu tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu. 18

“tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari

satu pembicaraan, kecuali pada saat apa yang dimaksud untuk memahami arti lahiriyah dari satu kosa kata menurut tinjauan, etimologis, bukan maksud si pembicaraan. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera

16

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang : Lentera Hati, 2013),24

17

Ibid

18

(30)

memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir”, demikian kata As

Syuyuti.19

Mengenai hubungan antara suatu ayat/surat dengan ayat/surat lain sebelum/sesudah, tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sabab nuzul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu untuk memahami dengan tepat ayat-ayat dan surat-surat yang bersangkutan dalam Al-Quran.20

Para ulama mendukung adanya munasabah menyatakan bahwa tidak semua ayat atau bagianya harus dicarikan munasabahnya. Ayat yang di susul pengecualinya tidak perlu dicarikan munasabahnya, seperti ayat 3 surat Al-Ashr (103) dengan ayat kedua. Demikian juga yang kandungannya menguatkan kandungan sebelumnya, seperti QS. Al-Qiyamah (75):32 yang menguatkan ayat 31 sebelumnya.21

. َ ت َك . َص َصاف

Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat,tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran).

Tidak dibahas juga hubungan antara sepengal ayat dengan bagianya yang lain, atau satu ayat dengan ayat yang lain bila di sela ayat atau bagian satu ayat ada jumblah Mu’taradhah, yakni kata/kalimat yang berada di tengah dengan tujuan menguatkan pesan atau pilihan yang bersifat sementara. firman allah :

19

Ahmad Syadali, Ulumul quran I, 169

20

Ibid

21

(31)

ي

عا

ح ا َ ا

ق ت ا َ ا َت ف ا ع ت ا ع ت مَ ف

Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. QS. al-Baqarah (2): 24 Bermacam-macam penjelasan tentang hubungan yang ditemukan antara lain :

a) Kebertolak belakangan seperti :

ي م م عي غ ا ميح َ ا يف عي م ء َّ ا م ي م م ي م اا ف

Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar dari padanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi Maha Pengampun. (QS. Saba (34):2

Perhatikan pada kata-kata bumi dan langit, masuk dan turun, serta keluar dan naik.22

b) Al-Istihrad23

Seperti QS. al-A’raf (7) 26

"Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat."

c) Pencontohan tentang keadaan seperti :24

"Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung."

22

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 247

23

Ibid 248

24

(32)

Menurut Az-Zarkasyi, ayat di atas seakan-akan menyatakan bahwa semua yang dilakukan Allah ada hikmah dan tujuanya yang benar. Tidak seperti kalian, hai kaum musyrik Mekkah, yang melubangi atau atau enggan masuk rumah dari pintu-pintunya.25

d) Menjawab pertayaan/kean yang diduga lahir. Dalam QS. al-Baqarah Allah memerintahkan bersedekah (ayat 272-273). Kemudian mengecam dan melarang praktik riba (274-279), lalu memerintahkan menulis utang-piutang (282). Hubungan ayat-ayat di atas adalah : ketika ada perintah bersedekah dan larangan mengembangkan harta riba, bisa jadi timbul kesan bahwa allah tidak menghendaki kaum muslimin menghargai uang. Maka untuk menghapus kesan itu, ayat 282 memberi petunjuk betapa harta harus dipelihara dan di syukuri sehingga utang-piutang, walau sedikit hedaknya di catat dan ditagih pada waktu pelunasanya demi memelihara harta dan menjaga nya agar tidak hilang atau terlupakan, di samping menghindari persilisihan yang mungkin terjadi akibat lupa atau kecurangan. 26

e) Menghadirkan gambaran tentang keadaan yang dialami. Misalnya, ajakan untuk memperhatikan secara menurut ibil / unta,

25

Ibid,249

26

(33)

as-asma’ / langit. Al-jibal / gunung, dan al-ardh / bumi. QS. al-Ghasyiyah (88):17-20.

Ada ulama yang menghubungkanya dengan mengambarkan dalam benaknya keadaan masyarakat ketika itu. Mereka hidup di padang pasir. Mereka diajak memikirkan hal-hal di sekelilingnya dan yang pertama terlihat oleh masyarakat ketika itu sekaligus sangat berharga bagi mereka adalah unta. Binatang inilah yang membawa mereka mengembala. Dalam pengembaraan, mereka tidak melihat kecuali unta yang mereka tungangi, langit, gunung dan bumi. Maka itulah keadaan mereka dan itu pula yang menghubungkan penyebutan hal-hal tersebut. Ada juga yang memahami kata ibil dalam arti awan. Dan bila demikian. Hubungan penyebutan makhluk-makhluk allah itu sangat jelas.27 Para ulama juga menemukan hubungan antara awal ayat/kandungan pesanya dengan akhir ayat. Di sini ditemukan anatara lain :28

1) Tamkin, yakni penutup ayat perlu ditampilkan karena pesanya

belum tuntas tanpa penutup itu, seperti :

ا ت ك

ي ا فيط ا باا ي بءاا

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.

2) Penyesuaian dengan konteks umum uraian.

27

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 250

28

(34)

Badingkanlah konteks kedua ayat berikut yang berbicara tentang persoalan yang sama, tetapi fashilah nya berbeda. Dalam QS. an-Nahl (16): 18. Allah berfirman :

ا ع ا ع ها ت ح ا ها غ ح مي

Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Masih banyak ragam hubungan yang ditemukan dalam al-Quran yang tidak dapat ditemukan kesemuanya di sini, namun sekali lagi penulis ingin tekan kan bahwa : upaya menghubungkan ayat-ayat bersifat ijtihadi dan dapat ditemukan, bukan saja melalui pertimbangan nalar, tetapi juga dengan mengangkat kenyataan yang dialami bahkan imajinasi yang melahirkan hal-hal baru, termasuk antara lain mengasumsikan lahirnya pertayaan-pertayaan akibat kandungan uraian yang lalu. Bukankah jika yang bercakap-cakap. Tidak jarang topik pembicaraan beralih dari satu topik ke topik yang lain akibat adanya situasi dan kondisi yang terjadi / muncul saat pembicaraan. Sehingga tema berpindah ke tema yang lain.29

Selanjutnya harus digaris bawahi juga bahwa kendati diperselisihkan tentang ada atau tidaknya munasabah dalam al-Quran, demikian juga adanya perbedaan penelitian terhadap munasabah yang dikemukakan oleh seorang ulama. Namun yang pasti adalah bahasan tentang masalah ini tetap diperlukan. Bukan

29

(35)

saja untuk menampik dugaan kekacauan sistematika perurutan ayat/surat al-Quran tetapi juga untuk membantu memahami kanduanga ayat :30

Ayat-ayat Al-Quran telah tersusun sebaik-baiknya berdasarkan petunjuk dari Allah SWT. Sehingga pengertian tentang suatu ayat kurang dapat dipahami begitu saja tanpa mempelajari ayat-ayat sebelumnya. Kelompok ayat yang satu tidak dapat dipisahkan dengan sebelumnya. Kelompok ayat yang satu tidak dapat dipisahkan dengan kelompok ayat berikutnya. Antara satu ayat dengan ayat sebelum kelompok ayat berikutnya. Antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya mempunyai hubungan yang erat dan kait mengait merupakan mata rantai yang sambung bersambung. Hal inilah yang disebut dengan istilah Munasabah Ayat.31

2. Asbabul Nuzul a. Definisi

Latar belakang turunya ayat yang mengungkap permasalahan dan menerangkan hukum pada saat terjadi dan menerangkan hukum pada saat terjadi suatu peristiwa atau timbulnya pertayaan.

Menurut bahasa “sabab an-nuzul” berarti turunya ayat-ayat Al-Quran di

turunkan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad SAW. Secara berangsur-angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun. Al-Quran diturunkan untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak dan itu dapat dikatakan bahwa terjadinya penyimpangan dan kerusakan dalam tatanan kehidupan manusia merupakan sebab turunya

30

Ibid, 252

31

(36)

Quran. Hal ini tidak termasuk dalam pembahasan yang hendak dibicarakan. Sabab al nuzul atau asbab nuzul (sebab turunya ayat) disini dimaksudkan sebab-sebab yang secara khusus berkaitan dengan turunya ayat-ayat tertentu.32

Salah satu definisi yang cukup populer yang digunakan para ulama adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat di kaitan dengan peristiwa itu.33

Peristiwa yang dimaksud bisa jadi berupa kejadian tertentu, bisa juga dalam bentuk pertanyaan yang diajukan, sedang yang dimaksud dengan sesudah turunya ayat adalah bahwa peristiwa tersebut terjadi pada masa turunya al-Quran, yakni dalam tentang waktu dua puluh dua tahun, yakni masa yang bermula dari turunya al-Quran pertama kali sampai ayat terakhir turun.34

Definisi di atas dirumuskan seperti itu oleh para ulama untuk menghindari pemahaman makna kata sebab dalam konteks sebab dan akibat. Memang diyakini oleh semua pihak bahwa firman Allah bersifat Qadim (tidak didahului oleh sesuatu), sedang sebab bersifat hadits (baru), jika ia dipahami dalam arti sebab, maka itu mengesankan bahwa kalam Allah itu turun setelah terjadinya sebab dan tanpa sebab ia tidak akan turun padahal kalam-nya diyakini

qadim.35

Terlepas dari definisi di atas, riwayat-riwayat menujukan bahwa sabab

an Nuzul dapat merupakan jawaban atas pertayaan dan dapat juga berupa

32

Ahmad Syadali, Ulumul quran I, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) ,89

33

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 235

34

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir , 236

35

(37)

komentar/petunjuk hukum atas satu lebih kejadian, baik komentar itu hadir sesaat sebelum maupun sesudah turunya ayat, dari sini bila ada satu peristiwa yang terjadi pada masa kerasulan yang kandungan ayat nya dapat menjelaskan hukumanya atau ayat itu merupakan tuntunan menyangkut peristiwa itu, betapapun banyaknya peristiwa itu, maka ini pun masing-masing dapat dinamai

sabab an nuzul.36

Semua ulama mengakui peranan sabab an nuzul dalam memahami kandungan ayat, atau penjelasanya bahkan ada ayat yang tidak dapat dipahami dengan benar tanpa mengetahui sebab-nya,

Harus diakui pula bahwa tidak semua ayat ditemukan riwayatnya sabab

an nuzul, sementara ada juga ayat dapat dipahami dengan baik tanpa mengetahui/

memperhatikan sebab-nya.37

Dari redaksi riwayat yang menampilkan sabab an nuzul tersifat-sifat sebab itu. Jiwa perawinya menyebut satu peristiwa kemudian menyatakan fa

nazalat al-ayat atau menegaskan bahwa “ayat ini turun disebabkan oleh ini, yakni

menyebut peristiwa tertentu maka itu berarti ayat tersebut turun semasa/berbarengan dengan peristiwa yang di sampaikan. Tetapi kalau redaksinya menyatakan : nazalat al ayat fi yang menegaskan bahwa “ayat ini turun menyangkut baru kemudian menyebut peristiwa, maka itu berarti bahwa kandungan ayat itu mencakup peristwa itu.38

36

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 236

37

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang, Lentera Hati, 2013) 238

38

(38)

Satu hal yang harus di garis bawah dan merupakan salah satu kaidah tafsir adalah sabab an nuzul haruslah berdasar riwayat yang shahih. Tidak ada

peranan dalam akal dalam penetapanya. Peranan akal dalam bidang ini hanya

dalam men-takhrij riwayat-riwayat yang ada. Syekh Muhammad Abduh dikritik oleh banyak ulama karena beliau berpendapat bahwa al-Fatiha adalah wahyu pertama yang diterima nabi mendahului Iqra’ Bismi Rabbika. Alasan yang dikemukakanya adalah argumen logika bersama satu riwayat yang lemah. Riwayat yang dikemukanya itu bertentangan dengan aneka riwayat yang kuat sehingga secara otomatis gugur, sedang argumentasinya, walau sepintas terbaca logis tetapi karena sabab an nuzul tidak dapat ditetapkan berdasarkan logika, maka alasan ulama pembaru itu pun gugur demi kaidah ini. 39

Setiap peristiwa memiliki/terdiri dari unsur-unsur yang tidak dapat dilepaskan darinya, yaitu waktu, tempat, situasi pelaku, kejadian, dan faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu. 40

Kaidah di atas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, tetapi terhadapan siapa pun selama redaksi yang digunakan ayat bersifat umum. Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan khusus as-sabab adalah sang pelaku saja sedang yang dimaksud dengan redaksinya yang bersifat umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi, bukan nya terlepas dari peristiwa. 41

Pendapat tentang khushush as sabab itu di anut oleh sementara cendekiawan yang sangat terpengaruh dengan heremeneutika sehinga secara sadar

39

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 239

40

M.Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang, Lentera Hati, 2013) ,239

41

(39)

atau tidak mengatarnya berpendapat bahwa Al-Quran adalah produk sejarah yang tidak dapat diterapkan lagi dewasa ini.42

b. Sebab Nuzul Lebih Dari Satu, Sedangkan Ayat Yang Diturunkan Hanya Satu, Dan Ayat Yang Di Turunkan Lebih Dari Satu Sedangkan Sebab Nuzulnya Hanya Satu.43

 Sebab nuzul lebih dari satu, sedang ayat yang diturunkan hanya satu

Ketika wahyu turun kadang-kadang mempunyai satu atau lebih sebab nuzul, sebab nuzul itu sendiri, kadang-kadang berulang ulang terjadi di suatu tempat atau suatu waktu, atau berkaitan dengan lebih dari satu orang atau suatu keadaan, yang menyebabkan turunya wahyu sebagai jawaban terhadap peristiwa peristiwa yang menjadi sebab nuul tadi. Keadaan tersebut di sebut dengan sebab nuzul lebih dari satu, sedangkan ayat yang diturunkan hanya satu”.

 Ayat yang turun lebih dari satu sedangkan sebab turunya hanya satu.

Sebagaimana halnya ada satu ayat yang turun engan sebab nuul nya lebih dari satu, maka terkadang juga ada ayat yang diturunkan lebih dari satu, sedangkan sebab nuulnya hanya satu. Contohnya : ummu salamah berkata :”wahai rasulullah say tidak mendengar sedikit pun

Allah menyebutkan perempuan dalam hijrah” maka Allah SWT menurunkan ayat :“maka tuhan mereka memperkenankan

42

Ibid,242

43

(40)

permohonanya (dengan berfirman): “sesunguhnya aku tidak menyia

yiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuann karea sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain, maka orang-orang yang berhijrah yang diusir dari kampung halamanya yang disakiti pada jalan ku yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan kuhapuskan kesalahn kesalahanmereka dan pastilah aku maukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi allah dan Allah pada sisinya ada pahala yang baik (QQS. Ali Imran 19).44

c. Cara Mengetahui Asbab al-Nuzul

Asbab al-nuzul tidak bisa diketahui semata mata dengan akal, tidak lain

mengetahuina harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar langsung dari orang orang yang mengetahui turunya al quran atau dari orang orang yang memahami asbabun nuul lalu mereka menelitinya dengan cermat baik dari kalangan sahabat tabiin atau lainya dngan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama ulama yang dapat dipercaya.

Ibnu Sirin mengatakan saya pernah bertanya kepada abidah tentang satu ayat al quran beliau menjawab bertaqwalah kepada allah dan berkataah yang benar sebagaimana orang orang yang mengetahui di nama al quran turun.

Cara mengetahui asbab al-nuzul berupa riwayat yang shahih adalah. (1) apabila perawi sendiri menyatakan lafadz sebab secara tegas dalam hal ini tentu

44

(41)

merupakan nash yang nyata, seperti kata atau perwi sebab turun ayat ini. (2) bila perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukan huruf fa ta’ qibiyah pada kata nazala seperti kata-kata perawi”. Riwayat yang demikian juga merupakan nash yang shahih dalam sebab nuzul.45

Syekh Imam Abi Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahidiy Al Nisabury dalam kitab asbab al nuzul mengatakan “di dalam pembicaraan asbab nuzul al quran

tidak dibenarkan kecuali dengan riwayat dan mendengar dari mereka yang secara langsung menyaksikan peristiwa nuzul, dan bersunguh-sunguh di dalam mebcarinya”.46

C. Kaidah Fungsi Hadis Dalam Al-Quran

Al Quran dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam silam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Kedunya merupakan satu kesatuan. Al Quran sebagai sumber pertama dan uatama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.47 Banyak ayat al quran yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada Allah dan rasul nya. Imam pada rasulullah sebagai utusan Allah, merupakan suatu keharusan setiap induidu. 48Oleh karena itulah kehadirann hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampl untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al quran tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.

45

Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Studi Al Quran (Bandung: Alma’arif, 1996) 46

46

Acep Hermawan,Ulumul Quran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 41

47

Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002) ,57

48

(42)

keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

Allah SWT. Menurunkan al-Quran bagi umat manusia agar al-Quran ini dapat dipahami oleh manusai, maka Rasul SAW diperinahkna untuk menjelaskna kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui haids haidsnya.

Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelasan (bayan) al-Quran itu bermacam macam. Imam malik in anas menyebutkan lima macam fungsi, yaitu bayan al taqrir, bayan al tafsir, bayan al tafshil, bayan al ba’ts,

1. Bayan at Taqrir

Bayan al taqrir disebut juga dengan bayan al ta’kid dan bayan al itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al quran, fungsi hads dlam hal ini anya memperkokoh isi kandungan al quran. Satu contoh hadis yang diriwayatkan muslim dari ibnu umar yang berbunyi sebagai berikut :

ف ا اي تم ا ف م ا ا ا تي ف م ف ط )م ّم ا (

Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah (HR. Muslim)

Hadis ini datang men-taqrir ayat al quran di bawah ini :

ي ف َّ ا م م ش ف

(43)

2. Bayan al tafsir

Yang dimaksud dengan bayan al tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al quran yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat al quran yang bersifat mutlak, dan mengkhusukan (takhsish) terhadap ayat-ayat al quran yang masih bersifat umum.

a. Merinci ayat ayat mujmal yakni ringkas atau singkat, dari ungkapan singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini, karena belum jelas makna mana yang dimaksudkan, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain ungkapanya masih bersifat global yang memrlukan mubayyin.49 Di antara contoh tentang ayat-ayat al quran yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat disyariatkan jual beli, nikah, qhsisa, hudud dan sebagainya. Ayat ayat al quran tentan masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan sebab sebabnya syarat syart atau halagan halanganya. Oleh karena itulah rasululah SAW, melalui hadis nya menafsirkan dan menjelaskan masalah masalah tersebut. Sebagai contoh di bawah ini akan dikemukakan sebagai hadis yang berfungsi sebagai bayan al tafsir.

ص ا ك م ا تي ا ص ) ا ا ( ي

Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku sahalat(HR.Bukhari)

49

(44)

Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al quran tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahan shalat adalah :

يعك ا عم عك ا ك ا تا ا يقا

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.

b. Men taqyid ayat-ayat yang mutlak

Kata mutlaq artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya dengan tanpa memandang kepada jumblah maupun sifatnya. Mentaqyid yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dan sifat, keadaan atau syarat syarat tertentu. Penjelasan rasulullah berupa mentaqyid ayat ayat yang bersifat mutlaq. 50

Sedangkan contoh yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al quran yang bersifat mutlaq, antara lain seperti sabda rasulullah SAW :

ات س ه ا ص ها ع ي س م ب ّ ف ط ي ع م م ا ف

Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.

Hadis ini mentaqyid QS. al maidah 38 yang berbunyi :

ق ف ق َّ َّ ا ط ع ا ي ي اب ك ّ ا م ها ها ع ي ح مي

laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

c. Men taksis ayat yang Am’

Kata am ialah kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata taksis atau khas, ialah kata yang mrnujuk arti khusus,

50

(45)

tertentu, atau tunggal. Yang di maksud mentaksis am’ disini, ialah membatasi keumuman ayat alquran sehingag tidak berlaku pada bagian bagian tertentu. Mengigat fungsinya ini, maka para ulama berbeda pendapat, apabila mukhasisnya dengan hadis ahad. Menurut imam al syafi’I dan ahmad bin hambal, keumuman ayat bisa di takhsis oleh hadis ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedang menurut ulama hanafiyah sebaliknya.

Contoh hadis berfungsi untuk mentakhsis keumuman ayat-ayat al quran ialah sabda Rasulullah SAW yang berbunyi :

) حا ا ( آيش ت ا م ت ث يا

Pembunuh tidak berhak mendapat harta warisan dari orang yang di bunuh. Hadis tersebut mentaksish keumuman firman Allah an nisa ayat 11 yang berbunyi :

ظح م ك مك ا ف ها م يص ي ي اا

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.

3. Bayan at Tasyri

Yang di maksud dengan bayan al tasyri adalah mewujudkan satu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al quran atau dalam al quran hanya terdapat pokok-pokoknya ashl saja. Abbas mutawalli hammadah juga menyebut bayan ini dengan zaid ala al kitab al karim. Hadis rsul SAW dalam segala bentuknya baik yang qauli fi’li maupun taqriri berusaha menujukan suatu

(46)

dalam al quran. Ia berusaha menjawab pertayaan pertayaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak dekethuinya, dengan menujukan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.

Hadis hadis rasul saw yang termsuk ke dalam kelompok ini dianatarana hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara anatar isteri dengan bibinya hukum syu’fah hukum merajam pezina wanita yang masih

perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak.

Hadis rasul SAW yang termasuk bayan at tasyri ini wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan hadis hadis lainya. Ibnu Qayim berkata , bahwa hadis rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al quran merupakan kewajiban atau aturn yang harus di taati tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukanlah sikap rsul SAW mendahuli al quran melainkan semata mata karena perintahnya.

4. Bayan al Nasakh

Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan di atas disepakati oleh para ulama meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisi (pngertian) nya saja.

Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nsikh terhadap sebagian hukum al quran ada juga yang menolkanya

(47)

di antara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkanya. Termasuk

perbedaan pendapat anatara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipengang dari ulama mutaqaddimin bahwa terjadinya masakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum

(ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuaanya serta tidak bisadiamalkan lagi, dan syari (pembaut syariat) menurunkan yat tersebut tidak diberlakukan untuk selam lamanya (temporal).

Jadi intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu karena yang akhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. 51

Di antara para ulama yang mebolehkan adanya naskh hadis terhadap al Quran juga berbeda pendapat, terhadap macam hadis yang dapat untuk mentakshih. Dalam hal ini mereka berbagai pada tiga kelompok.

 Yang membolehkan mennasakh al Quran dengan berbagai macam hadis,

meskipun dengan hadis ahad. Pendapat ini, diantaranya dikemukakan oleh para ulama Mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut zahiriyah.52

 Yang membolehkan menaskh dengan syarat, bahwa hadis tersebut harus

mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipengang oleh mu’tazilah.

 Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadis masyhur, tanpa harus

dengan hadis mutawatir. Pendapat ini dipengang di antaranya oleh ulama hanafiyah.

51

Munzier Suparta,Ilmu Hadis (Jakarta: Rajagrafindo Persada 2002), 65

52

(48)

40 Bab 3

PENAFISRAN SURAT AN NISA AYAT 34

A. Tasir Al-Misbah Karya Qurais Shihab

ْمُلوما نم اوقف أا بو ضعب ىلع مُضعب ها لضف ا ب ءاس لا ىلع وم وق لجرلا

ىتَلاو ها ظفح ا ب بْيغلل تاضفح تت ق تحلَّلاف

نهوظعف نه وش وفاخت

اك ها َ ا اْي س نُْيلع اوغْت الف ْمك ْعطا ْ اف َنهوبرْضاو عج اض لا ىف نهورجْهاو

اًرْي ك اَيلع

kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri. ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

(49)

41

jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami, telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah dan juga kepada suaminya, setelah mereka bermusyawarah bersama dan bila perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah serta tidak mencabut hak-hak pribadi istrinya. Di samping itu juga ia memelihara diri, hak-hak suami, dan rumah tangga ketika suaminya tidak di tempat. oleh karena Allah telah memelihara mereka. Pemeliharaan Allah terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara cinta suaminya, ketika suami tidak ditempat, cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya.1

Karena tidak semua istri taat kepada Allah demikian juga suami maka ayat ini memberi tuntunan kepada suami bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembengkangan mereka berlanjut dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya kehidupan rumah tangga.

Pentujuk Allah itu adalah : wanita-wanita yang kamu khawatirkan, yakni sebelum menjadi nusyu>z mereka, yaitu pembangkangan terhadap hak-hak yang dianugerahkan Allah kepada kamu, wahai para suami, maka nasehatilah mereka pada saat yang tepat dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengkelan, dan bila nasehat belum mengakhiri pembangkanganya maka tingalkanlah mereka bukan dengan keluar dari rumah tetapi di tempat

1

(50)

42

pembaringan kamu berdua dengan memalingkan wajah dan membelakangi mereka. Kalau perlu tidak mengajak mereka berbicara paling lama tiga hari berturut-turut untuk menujukan rasa kesal dan ketidakbutuhan mu terhadap mereka jika sikap mereka berlanjut dan kalau ini pun belum mempan, maka demi memelihara kelanjutan rumah tanggamu maka pukullah meraka. Tetapi pukulan yang tidak menyakitkan agar tidak mencederai namun menunjukan sikap tegas lalu jika mereka telah menaati kamu, baik sejak awal nasihat, atau sebab meningalkanya di tempat tidur, atau saat memukulnya, maka janganlah kamu mencari-cari pembangkanganya yang lalu. Tetapi, tutuplah lembaran lama itu dan buka lembaran baru dengan bermusyawarah dalam segala hal persoalan rumah tangga, bahkan kehidupan bersama. Sesuguhnya Allah sejak dahulu hingga kini maha tinggi lagi maha besar. Karena itu, merendahlah kepada Allah dengan menaati perintahya dan jangan merasa angkuh apalagi membangkang bila perintah itu datang dari Allah SWT.

Kata al rija>l adalah bentuk jamak dari kata rajul yang biasa diterjemahkan lelaki, walapun dalam Al-Quran tidak selalu mengunakanya dalam arti tersebut. Banyak ulama yang memahami kata arlrija>l dalam ayat ini dalam arti para suami. Penulis tadinya ikut mendukung pendapat itu, dalam buku wawasan Al-Quran, penulis mengemukakan bahwa al rija>lu qawwa>muna> ‘ala> an nisa>, bukan berarti lelaki secara umum karena konsideran peryataan diatas, seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah “karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta

(51)

43

Sebagian yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum, tentu konsidersnya tidak demikian. Lebih-lebih lagi lanjutan ayat tersebut dan ayat berikutnya secara amat jelas berbicara tentang pria istri dan kehidupan rumah tangga. Demikian yang penulis tulis beberapa tahun yang lalu.

Tetapi kemudian, penulis menemukan Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam tafsirnya mengemukakan satu pendapat yang amat perlu dipertimbangkan yaitu bahwa kata ar-rija>l tidak digunakan oleh bahasa arab, bahkan bahasa Al-Quran, dalam arti suami. Berbeda dengan kata An-Nisa> atau Imra’ah yang digunakan untuk makna istri.

Menurutnya, pengalan ayat di atas berbicara secara umum tetang pria dan wanita dan berfungsi sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat ini, yaitu tentang sikap dan sifat istri-istri yang salehah.

Kata qawwamun adalah bentuk jamak dari kata qawwa>m yang terambil dari kata qama, kata ini berkaitan denganya. Perintah shalat misalnya juga mengunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanaknaya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunah-sunahnya. Seorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang di harapkan darinya dinamai qa’im. Kalau dia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkeseimbangan dan berulang-ulang dan dinamai qawwam. Ayat di atas mengunakan bentuk jamak, yakni qawwa>mu>n sejalan dengan makna kata al

rija>l yang berarti banyak lelaki. Sering kali kata ini diterjemahkan dengan

(52)

44

kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikadungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian,

pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan.2

Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan suatu yang mutlak, kelebihan bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama dan merasa memiliki pasangan dan keluarganya. Persoalan yang dihadapi suami istri, sering kali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam kecerian wajah atas cemberutnya sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian terperinci yang dapat diselesaikan pengadilan. Nah, siapakah yang harus memimpin? allah SWT. melalui Menetapkan lelaki sebagai pemimpin dengan dua pertimbanagn pokok yaitu :

Pertama,  bi>ma> fadhdhala-lla>hu ba’dhahum a>la> ba’dhi karena Allah

melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni masing-masing memiliki keistimewaan-keistimewaan. Tetapi, keistimewaan yang dimiliki lelaki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih menudukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.3

2

M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah (Jakarta Lentera Hati 2002) 425 3

(53)

45

Ada ungkapan yang menyatakan bahwa fungsi menciptakan bentuk atau bentuk disesuaikan dengan fungsi, mengapa pisau diciptakan lancip dan tajam.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa pendapatan asli daerah (PAD) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap peningkatan alokasi anggaran belanja

13 Budaya tidak menyalahkan pada kepada perawat perlu dikembangkan dalam menumbuhkan budaya keselamatan pasien.Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon positif pada

Hasil pengujian hipotesis (H 4 ) ditemukan bahwa variabel kualitas pelayanan dalam penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan konsumen Mc

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan dari laporan ini adalah untuk merancang dan membuatkan sebuah aplikasi penjadwalan marketing pada PT

Final results showed that in all nature reserves, the top three were the Lushan Nature Reserve, the Jinggangshan Nature Reserve, the Taohongling National Nature Reserve of Sikas

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara trust kelompok dengan kecemasan menghadapi pertandingan pada pemain futsal

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merasa tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui perilaku agresif anak berkebutuhan khusus di SLB-BC ARAS Cimahi dan

(3) Rencana Detail Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rencana yang memuat perhitungan detail teknis dari semua prasarana dan sarana pengelolaan air limbah yang layak