(Studi Kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan )
SKRIPSI
Oleh:
Lu’luul Mukarromah NIM. C31212109
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul ‘’ Analisis Terhadap Perkawinan Seorang Suami
Yang Berpoligami Tanpa Izin Istri Pertamanya yang pernah terjadi di Desa
Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan’’ dalam kasus poligami tanpa
sepengetahuan istri pertamanya ini merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana deskripsi tentang Praktek Poligami yang dilakukan tanpa izin istri pertamanya? dan bagaimana analisis yuridis terhadap perkawinan seorang suami yag berpoligami tapa izin istri pertamanya ini yang pernah terjadi di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam betuk studi kasus tapi juga dengan melakukan kajian pustaka. Data penelitian dihimpun denga cara mengamati, observasi, wawancara dan mempelajari kembali terhadap praktek poligami tanpa izin istri pertamanya ini di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan. Kemudian dianalisis denga metode analisis deskripstif deduktif, yakni menggambarkan data hasil penelitian,,
mengemukakan kenyataan yag bersifat umum tentag fakta praktek ‚ poligami tanpa izin istri pertamnya‛ kemudian dianalisa menggunakan undang-undang yang menjelaskan tentang seorag yag ingin melakuka poligami harus meminta izin istri pertamnya terlebih dahulu.
Hasil penelitian menyimpulka bahwa ‚poligami tapa izin istri pertamnya’’ yang menjadikan sebagai alasan praktek poligami ini terjadi
dikarenakan suaminya telah mencintai perempuan lain, akan tetapi juga dijelaska dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 4, dalam pasal terseubut menyatakan bahwa izin akan diberikan kepada seorag suami yag akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalakan kewajibannya sebagai istri, b. istri mengalami sakit yag luar biasa dan juga tidak bisa disembuhkan, c. istrinya tidak bisa melahirkan keturunannya dalam prakteknya suaminya disini istrinya tidak mengalami permasalahan yang telah dijelaska diatas, dan dalam kasus ini juga suaminya telah memalsukan identitasnya kepada pihak KUA padahal status suami disini telah mempunyai istri dan juga memiliki 2 orang anak, dan juga disini suami yang meberikan mahar kepada istri keduanya itu menggunakan seekor sapi padahal sapi yang dibuat mahar itu adalah harta bawaan dari istri pertamnya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
B. Identifikasi dan Batasan Masalah. ... 9
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Kajian Pustaka. ... 10
E. Tujuan Penelitian. ... 12
F. Kegunaan Hasil Penelitian. ... 13
G. Definisi Operasional. ... 13
H. Metode Penelitian ... 15
I. Sistematika Pembahasan ... 19
BAB II KONSEP POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Poligami ... 22
B. Poligami Menurut Undang-Undang ... 29
C. Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 36
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
A. Gambaran Keadaan Desa Pataonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan ... 41
B. Praktek Poligami Seorang Suami Tanpa Izin Istri Pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan. ... 48
1. Proses Lamaran ... 49
2. Proses perkawinan... 51
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SEORANG SUAMI YANG BERPOLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMANYA DI DESA PATAONAN KECAMATAN SOCAH A. Analisis Yuridis Terhadap Praktek Poligami Seorang Suami Tanpa Sepengetahuan Istri Pertamanyadi Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan ... 56
1. Proses lamaran ... 56
2. Proses perkawinan ... 58
B. Analisis Yuridis TerhadapPerkawinan Seorang Suami Yang Berpoligami Tanpa Izin Isti Pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah kabupaten Bangkalan ... 59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 73
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.
Karena pekawinan tersebut mempunyai suatu cara yang dipilih oleh Allah
SWT untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.1Pada dasarnya,
manusia diberi hak-hak tertentu sebagai hak asasi yang kemudian disebut
dengan istilah fitrahatau sunnatullah, dalam dunia ilmiah disebut sebagai
insting bagi manusia. Perkawinan akan berperan setelah masing-masing
pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan
perkawinan itu sendiri.2
Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan bahwasanya
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing.3 Sedangakan perkawinan dalam fiqih memberikan kesan
bahwa perempuan disempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-laki.
Yang dilihat pada diri perempuan adalah aspek biologisnya saja. Ini terlihat
dalam penggunaan kata al-wat’ atau al-istimta’ yang semuanya berkonotasi
seks.
Bahkan mahar yang semula pemberian ikhlas sebagai tanda cinta
seorang laki-laki kepada perempuan juga didefinisikan sebagai pemberian
1
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1(Bandung: Pustaka Setia, 1999), 9.
2 Ibid. 3
Pasal 2 Ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan.
yang mengakibatkan halalnya seorang laki-laki berhubungan seksual dengan
perkawinan. Implikasi yang lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak
yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin dalam berbagai
perkawinan.4
Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan
hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga
dan memelihara serta meneruskan keturunan di dunia ini, juga mencegah
perzinaan, agar tercipta kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju
kebahagiaan dan keseteraan dunia dan akhirat.5 Hal ini dijelaskan dalam Q.S
Al-Nisa’ ayat 1
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah SWT menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah SWT memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah SWT yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah SWT selalu menjaga dan
Mengawasi kamu.6
Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam merupakan suatu
ikatan perkawinan antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Rukun
perkawinan merupakan faktor penentu bagi sah atau tidak sahnya suatu
perkawinan. Adapun syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus
4
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia(Jakarta: Rajawali Press,2006), 153. 5
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern(Yogyakarta: Graha Ilmu,2011),11.
6
dipenuhi oleh subyek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad
perkawinan.7
Adapun yang termasuk rukun perkawinan antara lain, mempelai
laki-laki dan perempuan, wali, saksi dan akad nikah.8 Sementara syarat
perkawinan menurut hukum Islam adalah bukan merupakan perkawinan yang
dilarang oleh Islam, diantaranya larangan perkawinan karena adanya
hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sesusuan, poliandri, dan beda
agama. Bukan hanya itu, setiap rukun perkawinan yang telah disebutkan di
atas, harus memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh peraturan yang
berlaku, dalam hal ini hukum agama dan hukum Negara. 9
Persyaratan yang harus dipenuhi, tidak lain adalah untuk
mengokohkan dan mempersiapkan kedua mempelai untuk mengarungi
bahtera rumah tangga. Perkawinan merupakan hubungan yang dijalin oleh
dua individu yang berbeda, sehingga tidak jarang masing-masing pihak
memiliki pemahaman dan pola pikir yang berbeda mengenai suatu hal.
Bukanlah suatu permasalahan yang berarti apabila perbedaan tersebut
disikapi dengan rasa saling memahami, saling mengerti.
Namun tidak sedikit pula, perbedaan tersebut menjadi benih-benih
perpecahan yang akan meledak ketika kedua belah pihak merasa sudah tidak
disatukan lagi. Konflik internal rumah tangga bahkan keluarga kedua belah
pihak menjadi taruhannya. Pada saat yang demikian, bukan tidak mungkin
7
NengDjubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis
di Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 107. 8
Soemiyati, Hukum Perkawinan..., 30. 9
Ibd, 117.
perpisahan menjadi jalan keluar yang dipilih sebagai penyelesaian
permasalahan ini. Inilah yang dinamakan perceraian.
Dalam dunia modern sekarang ini perkawinan yang dipandang baik
adalah perkawinan ‘monogami’, bahkan sampai bangsa-bangsa yang
menganut agama yang dalam ajarannya membolehkan berpoligami sekalipun
berpendapat, perkawinan monogami adalah perkawinan yang terbaik dan
ideal, sehingga dikalangan masyarakat di mana perkawinan poligami berlaku,
bilamana ada orang yang berpoligami selalu dibicarakan orang,
setidak-tidaknya para tetangganya akan membicarakan hal itu. Lebih-lebih di
kalangan intelektual, bilamana ada yang melakukan poligami akan menjadi
celaan dari teman-teman di kalangan mereka.10
Syari’at Islam meperbolehkan berpoligami dengan batasan sampai
empat orang dan mewajibkan berlaku adil bagi kepada mereka, baik dalam
urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifa kebendaan
tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang
berasal dari keturunan tinggi maupun dengan yang rendah. Bila suami
khawatir berbuat yang tidak baik dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak
mereka, maka ia diharamkan berpoligami.11Kaum perempuan mendapat
banyak kemudahan dalam risalah Islam. Salah satu tujuan risalah Islam
adalah membebaskan kaum perempuan dari belenggu keterkurangannya
sehingga mereka bebas beraktivitas dalam norma-norma kesopanan.12
10
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah(Jakarta:Prestasi Pustaka,2007),55. 11
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat ..., 34. 12
Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami(Jakrta: Lembaga Kajian Agama,1999),43.
Hingga saat ini poligami di Indonesia masih menjadi topik yang laku
untuk diteliti. Perform konsepnya yang menggugah, dan ditunjang maraknya
prakter poligami, tak terasa telah membawa berbagai pandangan yang
kontra-produktif di tengah masyarakat. Munculnya berbagai persepsi yang dilematis
ini, tentu saja salah satunya berawal dari alasan yang menjadi dasar poligami,
serta modus yang ditempuh pelaku poligami.
Akan tetapi adakalanya timbul situasi atau kondisi darurat, misalnya
dalam keadaan istri tidak dapat melahirkan keturunan, atau tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, karena cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan sebagainya.13Demi kepentingan
manusia, baik secara individual maupun masyarakat, poligami tidak
serta-merta diperbolehkan oleh Islam maupun aturan perundang-undangan yang
berlaku, tetapi diperbolehkannya poligami harus didasarkan alasan yang kuat.
Alasan tersebut adalah dasar atau faktor yang mempengaruhi orang tersebut
untuk melakukan poligami, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2 yaitu:14
Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
13
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat ...,143. 14
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembina Kelembagaan
Agama Islam, 1998), 76.
Di dalam kompilasi hukum Islam juga menyebutkan sebagaimana di
dalam pasal 57 dengan menggunakan syarat-syarat tertentu yaitu:
1. Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri.
b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dengan ini maksud dari poligami itu bukan suatu kewajiban
melainkan anjuran ketika mengalami hal-hal yang darurat. Telah dijelaskan
dalam Undang-Undang perkawinan yang melibatkan Pengadilan Agama
sebagai institusi yang cukup penting untuk mengesahkan kebolehan poligami
bagi seseorang namun harus sesuai dengan alasan yang telah di kemukakan di
atas.15Pada penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan: PengadilanAgama
dalam memberikan keputusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut
pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.
Sesuai dengan pasal 4 telah menunjukan ada tiga alasan yang dijadikan dasar
mengajukan izin poligami.16 Mengingat beberapa ketentuan diatas dirasakan
bahwa persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mengatur tertibnya
poligami, agar poligami tidak dilakukan secara liar semau hatinya. Oleh
karena itu poligami dapat dilakukan dalam keadaan darurat saja, dengan kata
15
Aminur Nuruddin, et al., Hukum Perdana Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 162. 16
Ibid.,163.
lain poligami dilakukan dengan memenuhi alasan dan syarat-syarat yang
ditentukan.
Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri
atau istri-istrinya tidak memunkinkan diminta persetujuannya dan tidak ada
kabar istrinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang
perlu mendapat penilaian hakim.17Apabila istri tidak mau memberikan
persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari satu orang, berdasarkan
salah satu alasan tersebut diatas, maka pengadilan agama dapat menetapkan
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di
persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini, istri atau suami
dapat mengajukan banding/kasasi.18
Dalam kasus ini telah terjadi pernikahan antara Abdul Rohim dan
Sariyeh (istri pertama) yang harmonis dan tidak pernah terjadi pertengkaran
selama terjadinya perkawinan, perkawinan ini telah berlangsung kurang lebih
enam tahun. Keluarga ini seperti layaknya keluarga yang lainnya yang tidak
pernah terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Namun si Abdul Rohim
melakukan poligami tanpa sepengetahuan Sariyeh (istri pertama). Pada saat
Abdul Rohim mengajukan surat izin menikah kepada kelurahan, Abdul
Rohim mengaku kepada kepala KUA Socah bahwasanya dia lajang (tidak
mempunyai istri).Sehingga dari pihak KUA memutuskan untuk melakukan
rafak dan memeriksa keaslian identitas sebelum terjadinya akad nikah.
17
Lihat, Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974. 18
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembina Kelembagaan
Agama Islam, 1998), 34.
Tiga hari kemudian setelah melakukan akad nikah datanglah Sariyeh
dan kakaknya ke KUA Socah, Namun Sariyeh tidak terima atas tindakan
KUA Socah yang memberikan izin kepada suaminya untuk melakukan
pernikahan yang kedua kalinya. Dari pihak KUA Socah tidak mengetahui
bahwasanya Abdur Rohimtelah mempunyai istri dan Abdur Rohim juga
mengaku kepada pihak KUA Socah bahwasanya dia memang benar jejaka
(tidak punya istri) dan dari kelurahan memang benar, tetapi dari pihak
Sariyeh berbicara kepada KUA Socah bahwasanya Abdur Rohim telah
melakukan pemalsuan identitas dalam melakukan pernikahan untuk yang
kedua kalinya. Abdur Rohim juga telah memberikan mahar seekor sapi
kepada Satima (istri keduanya)akan tetapi sapi tersebut adalah milik
Sariyeh.19Melihat realita poligami tanpa izin istri yang ada di Desa Pataonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan menyalahi apa yang ada dalam
Kompilahi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan, sedangkan
dalam konteks fiqih konvensional sah-sah saja.
Sehingga penulis menilai bahwasanya tindakan Abdur Rohim tersebut
telah melakukan pemalsuan identitas untuk melaksanakan poligami, untuk itu
penulis tertarik meneliti lebih lanjut mengenai tindakan Abdur Rohim yang
telah melakukan pemalsuan identitas izin poligami, oleh karena itu penulis
memberi judul: ‘’Analisis Yuridis terhadap Poligami Tanpa Izin Istri
Pertama: (Studi kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan Madura)”.
19
Mosleh, Wawancara, di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, 06 Oktober
2015.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasikan
permasalahan sebagai berikut:
1. keadilan dalam melakukan poligami.
2. prosedur melakukan izin poligami.
3. kasus seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya.
4. Pemalsuan identitas untuk melakukan poligami tanpa izin istri pertama.
5. praktek seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, penelitian terbatas
pada:
1. Praktek poligami seorang suami yang berpoligami tanpa sepengetahuan
istri pertama di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan .
2. Analisis yuridis terhadap praktek seorang suami yang berpoligami tanpa
sepengetahuan istri pertama di Desa Pataonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana praktek poligami seorang suami yang dilakukan tanpa izin
istri pertamanya yang terjadi di Desa Pataonan Kecamatan Socah
2. Bagaimana analisis yuridis terhadap praktek poligami yang dilakukan
seorang suami tanpa izin istri pertama yang terjadi di Desa Pataonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bagkalan?
D. Kajian Pustaka
Pembahasan yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana
pertimbangan hukum terhadap seorang suami yang melakukan poligami tanpa
izin istri pertamanya. Sebelumnya sudah ada penuliss dan peneliti yang
membahas mengenai izin poligami, diantaranya:
1. Skripsi yang diangkat oleh saudari Noer Musdalifah dalam skripsinya
yang berjudul ‘’Putusan Izin Poligami Karena Khawatir Zina Studi Kasus
di Pengadilan Agama Sidoarjo’’. Noeroul dalam skripsinya hanya
membahas seputar izin poligami karena takut zina maka pengadilan
agama sidoarjo memberi putusan untuk berpoligami hal imi tidak
semata-mata berpedoman pada ayat dalam UU saja melainkan juga berpatokan
pada Al-Qu’an Hadis dan Qiyas.20
2. Skripsi yang diangkat oleh saudari Rizqia Zakiah yang berjudul ‘’Analisis
Yuridis Dan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Karena Khawatir
Melanggar Syariat Agama (Studi Putusan Nomor:
0947/Pdt.G/2013/PA.Mlg). Skripsi ini menjelaskan keputusan Pengadilan
Agama Malang dalam mengabulkan permohonan izin poligami karena
khawatir melanggar syariat agama, padahal alasan tersebut tidak sesuai
20
Noeroul Musdalifah, “Putusan Izin Poligami Karena Khawatir Zina Studi Kasus d Pengadilan Agama Sidoarjo” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel,Surabaya, 2008),13.
dengan syarat pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan bukan alasan
yang logis untuk dijadikan bukti dalam permohonan izin poligami.21
3. Skripsi yang diangkat oleh saudari Nur Halimah yang berjudul“Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Tradisi Poligami Tanpa Izin Istri Sebelumnya
Dikalangan Tokoh Agama di Desa Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten
Bangkalan”. Pada skripsi ini menjelaskan tentang tradisi poligami tanpa
izin istri pertama ini menyalah apa yang ada dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan, sedangkan menurut
konteks fiqih konvensional sah-sah saja.22
4. Skripsi yang diangkat oleh saudara Aslikhan yang berjudul“Analisis
Yuridis Terhadap Putusan No: 235/PDT.G/2011/PA.SDA Tentang Izin
Poligami Karena Hamil di Luar Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo.”
Pada skripsi ini menjelaskan tentang keputusan hakim yang memutuskan
izin poligami karena hamil di lur nikah, dan mengetahui proses ijtihad
para hakim dan dasar-dasar hukum hakim dalam memutuskan kasusu
tersebut tentang diperbolehkannya izin poligami karena hamil di luar
nikah.23
Sekilas dari pemaparan skripsi di atas, maka dapat diyakinkan bahwa
skripsi yang ditulis oleh penulis kali ini bukanlah suatu pengulangan dari
21
Rizqia Zakiah, “Analisis Yuridis dan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Karena Khawatir
Melanggar Syariat Agama Studi Putusan Nomor: 0947/Pdt.G/2013/PA.Mlg”(Skripsi--UIN
Sunan Ampel, Surabaya,2014),8. 22
Nur Halimah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Poligami Tanpa Izin Istri Sebelumnya Dikalangan Tokoh Agama di Desa Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 10.
23
Aslikhan, “Analisis Yuridis Terhadap Putusan No: 235/PDT.G/2011/PA.SDA Tentang Izin Poligami Karena Hamil di Luar Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo” (Skripsi--UINSunan Ampel, Surabaya, 2014),9.
karya tulis ilmiah yang telah ada. Dalam tulisan ini penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dalam menemukan titik terang tentang hukum atas
praktek poligami tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Kemudian masalah
yang akan penulis teliti berjudul ‘’AnalisisYuridis terhadap PoligamiTanpa
Izin Istri Pertama (Studi kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan Madura)”, yang berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Penelitian ini lebih fokus terhadap pembahasan mengenai
analisis yuridis tentang seorang suami yang melakukan poligami tanpa
sepengetahuan izin istri pertama. Dengan itu kemudian penulis mencari dasar
pertimbangan seorang suami ini bisa melakukan poligami tanpa
sepengetahuan istri pertamanya dan tugas pejabat KUA Socah yang bisa
melaksanakan pernikahan yang kedua kalinya ini tanpa melakukan prosedur
bagi seorang suami yang melakukan poligami.
E. Tujuan Penelitian
Agar sejalan dan tidak menyimpang dari rumusan masalah di uraikan
di atas, maka tujuan penelitian di sini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang praktek seorang suami yang melakukan
poligami tanpa sepengetahuan istri pertamanya di Desa Pataonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.
2. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap praktek poligami yang
dilakukan seeorang suami tanpa sepengetahuan istri pertamanya di Desa
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran keilmuan, antara lain:
1. Aspek teoristis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah keilmuan
dan pengetahuan, yaitu untuk dijadikan bahan acuan dalam rangka
mengembangkan kajian hukum keluarga yang ingin mengkaji lebih dalam
lagi tentang hukum keluarga Islam mengenai syarat izin poligami,
khususnya yang berkenaan dengan poligami.
2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman
dan bahan bagi masyarakat untuk lebih memahami pantas atau tidaknya
hal-hal yang melanggar syariat agama dijadikan alasan dalam izin
poligami, dan berguna bagi penerapan suatu ilmu di lapangan atau
masyarakat dalam menegakkan ketentuan-ketentuan dalam hukum
keluarga Islam, khususnya berkenaan dengan pembahasan poligami.
G. Definisi Operasional
Untuk mempermudah pembahasan dan menghindari adanya multi
penafsiran, dibawah ini akan dijelaskan beberapa istilah pokok yang
tercantum di dalamnya, dari Analisis Yuridis Terhadap Poligami Tanpa Izin
Istri Pertama Studi Kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan. Maka penulis perlu menjelaskan atau membrikan definisi
Analisi yuridis : suatu penguraian mengenai suatu persoalan
berdasarkan hukum dan Undang-Undang yang
berlaku. Dalam hal ini adalah tentang
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Permasalahan yang
terjadi pada seorang suami yang berpoligami tanpa
sepengetahuan istri peertamnya itu yang telah terjadi
di Desa Pataoan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan.
Seorang suami yang berpoligami : yang dimaksud disini adalah perkawinan
seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri
pertamnya yang pernah terjadi di Desa Pataonan
Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan dan dari
pihak KUA dan kelurahan tempat tinggalnya itu
tidak mengetahui perkawinan tersebut padahal
laki-laki tersebut sudah memiliki istri yang sah. Dan dari
pihak istri sebelumnya itu tidak ada persetujuan,
laki-laki tersebut juga telah memberikan mahar kepada
istri keduanya tersebut seekor sapi padahal sapi
tersebut adalah milik pribadi dari istri pertamanya
Tanpa Izin Istri Pertama : yang dimaksud tanpa izin istri sebelumnya adalah
tidak ada persetujuan dari pihak istri pertama
sebelumnya.
H. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Data Yang Dikumpulkan
Data tentang praktek perkawinan seorang suami yang berpoligami
tanpa izin istri pertamanya yag telah terjadi di Desa Pataonan Kecamatan
Socah ini diperoleh dari sumber pihak KUA Socah yang menjelaskan
tentang praktek poligami tapa izin istri pertamanya ini, dan juga
menanyakan kembali terhadap para pelaku poligami tanpa izin istri
pertamanya yang telah terjadi di Desa Pataonan Kecamatan Socah
Kabupaten Bangkalan, selajutnya yang dilakukan oleh penulis adalah
meminta keterangan terhadap para pejabat Desa Pataonan Kecamatan
Socah Kabupaten Bangkalan terhadap perkawinan yseorang suami yang
berpoligami tanpa izin istri pertamanya ini.
Data yang dikumpulkan haruslah lengkap, agar penelitian ini
lengkap dan mempunyai nilai keilmuan yang tinggi sehingga bermanfaat
bagaimna bisa terjadi perkawianan seorang suami yang dilakukan tanpa
sepengetahuan istri pertamanya sehingga peneliti bisa mengkaji lebih
2. Sumber Data
Sumber data merupakan subjek dari mana asal data penelitian itu
diperoleh.24Sumber data penelitian dibagi menjadi 2 (dua) macam:
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat utama
dan penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah
informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan pebelitian.25data ini
diperoleh atau dikumpulkan langsung dari lapangan yang akan
mewawancarai kepada Kepala KUA dan pejabat kelurahan yang telah
melaksanakan perkawinan tersebut. Untuk bertanggung jawab atas
perkawinan seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri
pertamnya.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data.26sumber ini sebagai sumber
pelengkapan data. Sumber sekunder diperoleh dari bahan pustaka atau
dokumen yang relevan dengan masalah yang penulis bahas. Penelitin
ini meggunakan sumber sekunder berupa:
1) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
2) Kompilasi Hukum Islam
3) Dr. Musdah Mulia, MA, APU Pandangan Islam Tentang Poligami.
24
Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian (Yogyakrta: Pustaka Baru Press, 2014), 73. 25
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), 116.
26
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010), 225.
4) Titik Triwulan Tutik, S.H., M.h. & Trianto, S.Pd., M.pd, Poligami
Persepektif Perikatan Nikah.
5) Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami.
6) Dr. KH. Didin Hafiduddin, Memahami Keadilan Dalam Poligami.
7) Drs. Slamet Abidin & Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat.
3. Teknik pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan penulis
untuk mengungkapkan atau menjaring informasi data penelitian sesuai
dengan lingkup oenelitian itu sendiri.27 Untuk mempermudah dalam
mendapatkan data dan mengingat studi dalam skripsi ini adalah lapangan,
maka teknik pecarian datanya dilapagan sebagai berikut:
a. Interview(wawancara)
Yaitu cara melakukan Tanya jawab yang dikerjakan dengan
sistematik dan berlandaskan dalam tujuan penelitian, dilakukan pada
pelaku praktek terhadap seorang suami yang berpoligami tanpa
sepengetahuan istri pertamanya yang pernah terjadi di Desa Pataonan
Kecamatan Socah Kabupaaten Bangkalan.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang diperoleh
melalui dokumen-dokumen, atau menyelidiki benda-benda teertulis
seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, catatan harian. Data
27
data yang dikupulkan dengan metode iini cenderung merupakan data
sekunder.
4. Teknik Pengolahan Data
Oleh karena itu sumber data penelitian ini adalah studi
kasus/lapangan, maka teknik yang digunakan adalah documenter dan
interview data yang dikumpulkan dengan cara mencari datanya langsung
kelapangan, setelah mendapatkan data yang diinginkan dari lapangan itu
kemudian data tersebut dianalisis dan disimpulkan adalah sebagai berikut:
a. editing (pemeriksaan data) yakni memeriksa kembali data-data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, keserasian, dan
keterkaitan antara data satu dengan data yang lainnya.28
b. Organizing, yakni penulis data yang diatur dan disusun sehingga
menjadi sebuah kesatuan yang teratur. Untuk selanjutnya semua data
yang diperoleh akan disusun secara sistematis untuk dijadikan sebagai
bahan pebelitian.
5. Teknik Analisis Data
Hasil data-data tersebut, akan dianalisis dengan menggunakan
metode penelitian:
a. Metode deskriptif analisis adalah metode yang menggambarkan serta
menjelaskan data secara sistematis sehingga memperoleh pemahaman
secara menyeeluruh dan mendalam.29 Penelitian memaparkan atau
menggambarkan data yang terkumpul berupa literature yang berkaitan
28
Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 118. 29
Nasution S, Metode Research(Jakarta:Bumi Arkasa,2009),24.
dengan perkawinan seorang suami yang berpoligami tanpa
sepengetahuan istri pertamanya secara kritis dan objektif, yang secara
jelas sudah melanggar syariat agama dan perundang-undangan dan
hukum Islam kemudian menjelaskan secara rinci tentang perkawinan
seorang suami tanpa sepengetahuan istri pertamanya tersebut.
b. Pola pikir deduktif adalah pola pikir yang berasal dari pengetahuan
yang bersifat umum yang kemudian digunakan untuk menilai suatu
kejadian yang bersifat khusus.30 Penulis juga harus memaparkan teori
yang umum terlebih dahulu kemudian memakai teori yang khusus
yaitu tentang prosedur perizinan poligami untuk menganilisis tentang
perkawinan seorang suami tanpa sepengetahuan istri pertamanya
secara mendalam.
I. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan adalah alur dari struktur penelitian secara
sistematis dan logis. Adapun sistematika pembahasan dalam peelitian ini
adalah sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian serta sistematika pembahasan. Dari bab ini akan diketahui
tentang tatacara bagaimana peenelitian akan dilaksanakan.
30
Bab kedua menjelaskan mengenai kerangka konsepsional dan landasan
teori yang terdiri dari: poligami menurut hukum Islam, pengertian dan dasar
hukum, poligami dalam Undang-Undang di Indonesia, syarat-syarat poligami,
izin istri sebelum melakukan poligami, dan kompilasi hukum Islam (KHI).
Bab ketiga menjelaskan deskriptif hasil penelitian, yaitu memuat hasil
penelitian terhadap seorang suami yang melakukan pernikahan tanpa izin istri
pertmanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bnagkalan,
meliputi kondisi daerah dan pendapat pejabat KUA Socah yang
melaksanakan pernikahan tersebut tanpa sepengetahuan istri pertamanya.
Bab keempat merupaka analisis data terhadapdata penelitian yang
telah dideskripsikan guna menjawab masalah penelitian, menafsirkan dan
mengintegrasikan temuan penelitian kedalam pengetahuan yang sempurna,
yang didalamnya dijelaskan dan diungkapkan secara tuntas bagaimana
perkawinan seorang suami yang berpoligami tanpa sepengetahuan istri
pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan bisa
terlaksana.
Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat
penulis ambil dari keseluruhan isi skrpsi ini, dan diakhir dengan saran serta
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22 BAB II
KONSEP POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG DAN KOMPILASI
HUKUM ISLAM
A. Pengertian Poligami
1. Pengertian Poligami Secara Istilah dan Bahasa
Poligami merupakan kata bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab,
poligami disebut dengan تاج وزلا ددعت poligami secara bahasa adalah
‚sistem perkawinan yang salah satunya pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.‛ Secara bahasa,
poligami yang merupakan bahasa Indonesia ini bisa digunakan untuk
seorang wanita yang memiliki lebih dari satu istri. Adapun sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita
sebagai istrinya di waktu yang bersamaan disebut dengan poligini.
Poligami secara sederhana adalah poligami dari dasar Yunani.
Kata ini nerupakan penggalan dari poli atau polus yang artinya banyak,
dan kata gamen atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan.1 Jika
digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi
dalam arti yang tidak terbatas, atau poligami adalah perkawinan antara
seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang
sama.2
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Sedangkan poligami secara istilah adalah seorang laki-laki beristri
lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama. Jadi nampaknya
telah terjadi penyempitan makna poligami. Poligami yang semula
bermakna untuk laki-laki dan perempuan, menyemput untuk laki-laki
saja. Noleh jadi hal ini karena fitnah manusia bisa menerima atau paling
tidak bisa memberikan toleransi pada praktek poligami (poligini), tentu
saja dengan syarat-syarat cukup ketat yang akan penulis jelaskan
kemudian.3
Poligami dalam pembendaharaan bahasa Indonesia, kata poligami
bermakna sama dengan poligami dan permaduan yaitu perkawinan antara
satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih.4 Poligami menurut
kamus besar bahasa Indonesia adalah ikatan perkawinan yang salah satu
pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu
yang bersamaan.5 Kata tersebut mencakup poligami yakni sistem
perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita
dalam waktu yang sama. Kebalikan poligami adalah monogamy, yaitu
ikatan perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri
pada jangka waktu tertentu. Istilah lainnya monogamy yaitu prinsip
bahwa suami hanya mempunyai satu istri.6
3 http//ahdabbina.staf.umm.ac.id/archives/39.april 19 th,2010
4Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya:Kamus Ilmiah
Populer, 1994), 329.
5Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1986), 169.
6Musdah Mulia, MA, MPU, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang
salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam
waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal juga poliandri yaitu
seorang istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.7
Sayuti Thalib menjelaskan dalam bukunya bahwa seorang
laki-laki yang beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang
sama meemang diperbolehkan dalam hukum islam. Tetapi pembolehan itu
diberikan sebagai suatu pengecualian. Pembolehan diberikan dengan
batasan-batasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang
mendesak.8
Bahkan dalam UU No.1 Tahun 1974 telah dijelaskan bahwa
pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang, dari Undang-Undang tersebut dapat diartikan
selain poligami itu ada batasan-batasan tertentu yaitu paling banyak
empat orang, Tapi juga harus dilakukan izin terlebih dahulu di depan
pengadilan. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, poligami
yang dimaksudkan untuk menikahi lebih dari seorang itu hanya dibatasi
empat orang perempuan saja dan dengan persetujuan Pengadilan Agama
sebagai Institusi, dan juga persetujuan dari pihak istri sebelumnya,
sehingga tidak bisa disalah gunakan oleh seseorang yang hendak
melakukan poligami itu sendiri.
7 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jkarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),
43.
8Sayuti Thalib, Hukum Krluarga Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIpress)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Menurut hukum asalnya poligami adalah mubah (boleh).9 Allah
SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan berlaku
adil kepada mereka. Jika suami khawatir berbuat zina, maka ia haram
melakukan poligami. Tentunya banyak sekali pendapat para fuqaha’ dan
ulama modern yang menafsirkan tentang hukum poligami. Diantaranya
isu-isu hukum shari’at yang ditentang dan selalu dibicarakan oleh mereka
adalah apa yang berkaitan dengan poligami di dalam islam. Terutama
ayat yang menjelaskan tentang poligami, Allah SWT berfirman dalam
Al-qur’an Surat Al-Nisa’ :(3) terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya‛.10
Ayat tersebut di atas menurut pandangan Wahbah Zuhaily dalam
kitabnya AL-Tafsir Al-Munir bahwa seorang suami diperkenakan untuk
melakukan poligami kalau ia bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Akan
tetapi, seandainya ia tidak bisa atau bahkan tidak mampu untuk berbuat
9 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, 2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
adil terhadap istri-istrinya, maka Islam tidak memperbolehkannya untuk
berpoligami.
Menurut Zuhaily, Amir Syarifuddin mengatakan bahwa ayat
tersebut memberikan beberapa batasan. Pertama, batas maksimal empat
orang istri dan kedua, hanya boleh dilakukan bila mampu berlaku adil.
Kalau tidak terpenuhi syarat tersebut dilarang melakukan poligami.
Muhammad Baqir Habsyi berpendapat bahwa di dalam
Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan atau menganjurkan
poligami, sebutan tentang hal itu dalam Qs An-Nisa>’ ayat 3 hanyalah
sebagai informasi sampingan dalam kerangka perintah Allah SWT agar
melakukan sanak keluarga terutama anak-anak yatim piatu dan harta
mereka dengan perlakuan yang adil.11
Al-Maraghi dalam tafsirnya, yang terkenal dengan sebutan tafsir
Al-Maraghi, menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut
pada surat An-Nisa>’ ayat 3, merupakan kebolehan yang diperssulit dan
diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan
darurat, yang hanya bisa dilakukan poleh orang yang benar-benar
membutuhkan, kemudian beliau mencatat kaidah fiqiyah, dar’u al mafa>sid
muqaddamun ‘ala> jalbi al-masa>lih. Pencatatan ini dimaksudkan untuk
menunjukkan betapa pentingnya untuk laki-laki dalam melakukan
poligami.12 Maka dari penjelasan ini, ketika seseorang suami khawatir
11 Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama), (Bandung: Mizan Oktober, 2002), 91.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
melakukan perbuatan yang melanggar syariat agama, maka ia haram
melakukan poligami.
Menurut pandangan Quraisy Shihab menjelaskan sebagaimana
ayat diatas tidak mawajibkan poligami atau menganjurkan, ia hanya
berbicara tentang bolehnya poligami itu hanyalah merupakan sebuah
pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh oaring yang amat sangat
membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan, dengan demikian,
pembahasan tentang poligami dalam pandangan Al-Quran hendaknya
tidak ditinjau dari segi ideal saja atau dari segi baik dan buruknya, akan
tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi.13
Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu
perbuatan Rukhsah.Karena merupakan Rukhsah, maka bisa dilakukan
hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini
masih diisyaratkanberbuat adil terhadapistri-istrinya. Keadilan yang
dituntut disini dalam bidang nafkah, mu’amalah, pergaulan, serta
pembagian malam. Sedangkan bagi calon suami yang tidak bisa berbuat
adil, maka diharuskan cukup satu saja.14 Jika kita lihat dari segi
pandangan kewanitaan akan jelas bahwa jalan yang di berikan Islam ini
memperlihatkan betapa islam sangat menghormati eksistensi wanita,
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
meemberikan hak-hak, mengakui keinginan dan kebutuhannya untuk
mendapatkan pasangan, memberikan tempat kepadanya di masyarakat.15
Dengan ayat ini pula dapat di ambil dalil, bahwa haram kawin
dengan perempuan lebih dari empat orang, jika ada orang yang
berpendapat bahwa ayat yang menunjukkan bolehnya seorang laki-laki
perkawinan dengan Sembilan orang perempuan yaitu jumlah dari dua,
tiga, atau empat, tidaklah dapat diterima pendiriran yang seperti itu,
karena dalam ayat ini ada kata ‚atau‛, makanya boleh pilih dua, tiga atau
empat orang.16
Dalil dari Rasulullah SAW adalah hadist yang di riwayatkan oleh
Qais bin Al Harits ra, beliau berkata,‛ ketika masuk islam, saya memiliki
delapan istri. Saya menemui Rasulullah SAW dan menceritakan keadaan
saya, lalu beliau bersabda; pilih empat diantara mereka.’’17 Imamiyah dan
syafi’i mengatakan bahwa manakala salah seorang dari keempat istri itu
di ceraikan dalam bentuk talak raj’I maka laki-laki itu tidak boleh
melakukan akad nikah dengan wanita lain sebelum istri yang di nikahinya
itu habis masa iddahnya.18
Dikalangan masyarakat barat bahwa Islam merupakan
satu-satunya agama yang tidak mengharamkan poligami. Mereka
mengulang-ulang apa yang tersebar itu menurut mereka poligami itu merendahkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
derajat kaum wanita dan menginjak-injak martabat para istri.19 Allah
berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 5 yang berbunyi:
Artinya: Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.20
Humaidy menyimpulkan bahwa Islam bukan menciptakan
Undang-Undang poligami, tetapi hanya membatasi poligami dengan
ketentuan dan jumlah tertentu. Al-Quran tidak menyuruh poligami, tetapi
hanya membolehkan. Namun kebolehan di sini masih diancam dengan
sebuah kondisi berupa ketidakmampuan berbuat adil, sebagaimana pada
surat Al-Nisa’ ayat 129.21
B. Poligami Menurut Undang-Undang
Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, bahwa kawin
lebih dari seorang wanita adalah merupakan suatu pengecualian. Kebolehan
poligami disertai dengan pembatasan-pembatasan berat berupa syarat-syarat
dan alasan-alasan mendesak. Pada dasarnya segala sistem perkawinan itu
memerlukan pemenuhan persyaratan, tidak terkecuali dalam hal poligami,
baik yang berpendapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maupun
terdapat dalam hukum agama. Karena sebagaimana sibutkan bahwa
19Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, (Jakarta: Almahira, 2001), 221. 20 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus),295.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamnya
masing-masing dan kepercayaannya.
Bagi seorang yang akan menjalani poligami menurut Islam, syarat
yang utama adalah mampu berlaku adil diantara istri-istrinya. Antara istri
yang satu sama haknya dengan istri yang lain, baik yang sifatnya non materi
seperti pembagian waktu bermalam dan besenda gurau, maupun yang sifatnya
materi berupa pemberian nafkah, pakaian, tempat tinggal. Juga segaa sesuatu
yang bersifat kebendaan lainnya tanpa membedakan antara istri-istri yang
kaya dengan yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang
bawah.22 Jika tidak dapat atau dikhawatirkan tidak mampu berbuat adil,
maka sebaiknya mengawini satu wanita saja.
Keadilan yang dituntut adalah dalam masalah-masalah lahiriyah yang
dapat dikerjakan oleh manusia, bukan adil dalam masalah cinta dan kasih
sayang. Karena cinta dan kasih sayang atau semacamnya tidak dapat dikuasai
dan dikontrol oleh manusia, sebab masalah ini ada di luar kemampuan
seseorang.
Mendapatkan restu dari istri pertama merupakan hal yang sangat
diprioritaskan, karena keterbukaan harus ada dalam hubungan suami istri,
jika seorang suami hendak memadu istrinya maka terlebih dahulu harus izin
kepada istri yang pertama, agar mendapatkan restunya dan tidak sampai
menyakiti istri yang akan dimadu.Syarat-syarat poligami menurut
Undang-Undang yang digunakan oleh pengadilan sebagai sumber hukum, terdapat
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada pasal 3,4, dan 5 dan dan pada
PP No. 9 Tahun 1975 pasal 40, 41, 42, 43 yang telah dijelaskan pada bab
sebelumnya.23
Menurut Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, seorang suami
boleh melakukan poligami asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu yang
telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinanan No.1 tahun 1974.
Syarat-syarat tersebut yang terdapat dalam pasal 3 yang menjelaskan tentang
penjelasan bahwa seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang istri saja.
1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang
wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Yang terdapat dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan
menjelaskan tentang seorang jika ingin melakukan poligami maka suami
tersebut harus pengajukan permohonan terlebih dahulu kepada pengadilan di
daerah tempat tinggalnya itu, dan persyaratan yang harus dilakukan oleh
seorang suami yang ingin melakukan poligami maka harus menjelaskan di
hadapan majelis hakim tentang alasan suaminya itu ingin menikah lagi,
sebagaiman yang di jelasakan di bawah ini:
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada
suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Jika seorang suai yang ingin melakukan permohonan izin oligami
kepada pengadilan maka seorang suami tersebut harus memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan dan peraturan
hukum yang ada di Indonesia .sebagaimana yang akna di jelaskan di dalam
pasal 5 dengan terperinci.
3. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada peengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.
c. Adanya rlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
d. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadapistri-istri dan
anak-anak mereka.
4. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
atau apabila tidak dapat kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari hakim pengadilan.
Pada dasarnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami.
Hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam pasal 3 (1) UU. No. 1 Tahun 1974
pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunya seorang suami. Kaidah
dalam pasal tersebut sejalan dengan bunyi pasal 27 KUH Perdata (BW) yang
menyatakan bahwa ‘’Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya
dibolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang
perempuan hanya satu laki-laki sebagai suaminya‛.24 BW menganut asas
monogamy tertutup.
Namun ada perbedaan antara UU. No. 1 Tahun 1974 dengan BW
mengenai asas perkawinan. Pada pasal 3 (2) UU. No. 1 Tahun 1974
dinyatakan bahwa ‚pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan‛. Dengan adanya ketentuan dalam pasal tersebut maka UU. No.
1 Tahun 1974 menganut asas monogamy terbuka, oleh karena itu ada
kemunkinan seorang suami dalam keadaan terpaksa melakukan poligami
yang sifatnya tertutup dengan pengawasan Pengadilan Agama.
Walaupun poligami menurut Undang-undang diperbolehkan, beratnya
persyaratan yang harus ditempuh mengisyaratkan bahwa pelaksaan poligami
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
di Pengadilan agama menganut prinsip menutup pintu terbuka, artinya pintu
poligami itu tidak dibuka, kalau memang tidak diperlukan dan hanya dalam
hal atau keadaan tertentu pintu itu dibuka.
Menganai prosedur suami yang akan melakukan poligami, maka
diatur juga di dalam PP. No 9 Tahun 1975 pasal 40, 41, 42, dan 43 yang
menjelaskan tentang seorang suami yang ingin melakukan poligami. Yang di
dalamnya menjelaskan tentang jika seorang suami ingin melakukan poligami
maka suami tersebut harus mengajukan kepada pengadilan terlebih dahulu,
maka kemudian pengadilan akan memeriksa kembali berka-berkas seorang
suami yang ingin melakukan poligami ini.
Suami tersebut harus menjelaskan alasan kenapa dia ingin melakukan
poligami, misalnya alasannya itu bahwa istrinya tidak bisa menjalankan
kewajibannya sebagai istri, istrinya mendapat cacat badan, dan tidak bisa
memberiakannya keturunan. Jika alasan seorang laki-laki yang akan
melakukan poligami seperti itu maka dari pihak pengadilan akan
mengabulkan permohonannya tersebut, begitupula sebaliknya jika dari pihak
istrinya tersebut tidak mengalami gejala yang dijelaskan di atas maka pihak
pengadilan tidak akan mengabulkan permintaan suaimi terbut yang ingin
melakukan poligami itu.
Jika seorang suami ingin melakukan poligami sebagaimana yang telah
di tetapkan oleh PP. No 9 tahun 1975 maka yang harus dilakukan seoarang
suami tersebut harus meminta izin istri pertamanya terlebih dahulu, jika istri
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
menurut Undang-Undang suami terbut tidaak boleh melakukan poligami, dan
juga harus ada jaminan masa depan bahwa suami tersebut bisa berlaku adil
terhadap istri-istri dan anaknya, dan bisa menafkahi istri-istri dan
anak-anaknya itu secara adil dan merata.
Jika syarat-syaratnya telah di penuhi maka yang haru dilakukan oleh
pengadilan yaitu harus memanggil dan mendengar penjelasan dari pihak istri
yang bersangkutan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan biyasanya
dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat-aurat
permohonan beserta lampirannya sudah bisa dikatakan lengkap.
Apabila dari pengadilan sudah ada penjelasan mengenai alasan
seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
memberikan keputusannya itu bahwa suami tersebut boleh beristri lebih dari
seorang, dan dari putusan hakim tersebut maka kedua belah pihak tersebut
harus menerima putusan hakimnya tersebut.
Pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pernikahan
seoarang suami yang ingin melakukan poligami sebelum ada putusan
hakim terlebih dahulu. Jika pegawai pencatat nikah masih tetepa
melakukan perkawinan teerhadap seorang suami yang berpoligami itu
maka pegawai pencatat nikah yang bertugas itu akan di pecat dan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
C. Poligami Menurut Hukum Islam (KHI)
Dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya
menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk
melakukan poligami, maka hukum dan juga agama dari yang bersangkutan
mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yang demikian ini,
perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi berbagai
persyaratan yang telah ditentukan dan diputuskan oleh pengadilan.
Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal
55, 56, 57, dan 58. Dalam pasal 55 menjelaskan bahwa adil terhadap istri dan
anak-anak merupakan syarat utama untuk beristri lebih dari seorang.
Dilanjutkan dengan pasal 56 yang menjelaskan bahwa seseorang yang hendak
beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari pengadilan dan
permohonan izin tersebut dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur
dalam bab VIII PP No. 9 Tahun 1975.
Permasalahan poligami yang ditetapkan di dalam Kompolasi Hukum
Islam Khususnya pasal yang bersangkutan dengan permasalahan yang ada di
Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan yaitu:25 Terdapa
pada pasal 55 yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menjelaskan tentang batasan seorang suami yang ingin beristri lebih dari
seorang dalam waktu bersamaan dan syarat-syarat yang harus dilakukan si
suami tersebut ingin melakukan poligami .seperti yang dijelaskan di bawah
ini.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya
sampai empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
semua dilarang beristri lebih dari seorang.
Yang terdapat dalam pasal 56 yang menjelaskan tentang himbauan
bahwa seorang suami sebaiknya untuk beristri hanya satu orang saja
dikarenakan takut dikemudian harinya suami tersebut jika beristri lebih dari
seorang tidak bisa berlaku adil terhapa istri-istri dan anak-anaknya. Yang
penjelasan terdapat di bawah ini:
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
pengadilan agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
4. Harus didasarkan pada alasan yang jelas dan kuat. Tanpa dipenuhi salah
satu alasan tidak boleh poligami.
Yang terdapat dalam pasal 57 lebih menjelaskan kembali tentang
alasan kenapa seorang suami yang ingin melakukan pernikahan lagi. Yang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Yang terdapat dalam pasal 58 yang ada di dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menjelaskan tentang syarat utama seorang suami yang
ingin melakuka poligami yang izinya itu harus terdapat izin istri pertamanya
terlebih dahulu jika izin istri pertamanya itu belum dilakukan maka suami
tersebut tidak boleh melakukan perkawinan untk yang kesekian kalinya
sebagaimana di bawah ini:
1. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin pengadilan agama harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b peraturan
pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
istri pada sidang pengadilan agama.
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2
tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
Apabila kita bandingkan pelaksanaan poligami menurut hukum Islam
dan perundang-undangan, maka walaupun secara sepintas persyaratan yang
ditentukan antara kedua peraturan itu tidak sama, namun apabila kita kaji
lebih lanjut peraturan itu mempunyai persamaan tujuan, yaitu sama-sama
menghendaki teerwujudnya keluarga yang bahagia dan kekal untuk
selamanya. Disamping itu kedua peraturan itu juga menekankan bahwa
pelaksanaan poligami itu merupakan ssuatu pengecualian yang hanya dapat
diperbolehkan kepada seorang laki-lakii yang betul-betul memenui
persyaratan.
Yang mana di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan ini menyimpang dari fiqih Indonesia yang mana tertuang dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 58 ayat 1 haruf (a) dan Undang-Undang
Perkawinan pasal 5 ayat 1 huruf (a): adanya persetujuan dari istri, di Desa
Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan tanpa adanya persetujuan
dari istri sebelumnya. Hal seperti ini yang sudah pernah terjadi di Desa
Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan atau tanpa adanya
persetujuan dari istri sebelumnya. Bahwa dalam kasus perkawinan seorang
suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya itu telah memberikan
mahar kepada istri keduanya itu dengan sebuah sekor sapi padahal sapinya
tersebut adalah barang bawaan dari istri pertamanya. Dalam kasus ini telah
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Akan tetapi kalau kita merujuk pada Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang Perkawinan itu merupakan penyimpangan yang telah
melanggar Kompilasi Hukum Islam Pasal 58 ayat 1 huruf (a) yaitu: adanya
persetujuan istri. Sedangkan yang dilakukan oleh Abdur Rahim ini yang
berpoligami tanpa izin istri sebelumnya, suatu hal yang bertolak belakang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III
PERKAWINAN SEORANG SUAMI YANG BERPOLIGAMI
TANPA IZIN ISTRI PERTAMANYA DI DESA PATAONAN
KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN
A. Gambaran Keadaan Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan dan KUA Socah.
Desa Pataonan merupakan desa yang yang bisa dikatakan sebagai desa yang kurang begitu maju, karena masyarakat di Desa Pataonan ini pemikirannya masih terlalu fanatik terhadap agama Islam dan masyarakat Pataonan ini juga kurang bisa menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Agama Islam. Hal inilah yang menyebabkan banyak ketentuan-ketentuan yang bersifat fundamental diajarkan pada masyarakat, seperti dalam perkawinan dan sebagainya.
Dalam hal ini penulis akan lebih banyak membahas terkait dengan perkawinan khususnya tentang permasalahn poligami seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya. Akan dibahas lebih jelas lagi dalam pembahasan ini.
1. Sejarah Desa
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id peristiwa atau kejadian yang terjadi disuatu desa tersebut, begitu juga
nama Desa Pataonan menurut legenda rakyat, konon dahulu kala ada seorang tokoh yang disegani diwilayah tersebut melakukan Tapa Brata (MEDITASI) di Desa tersebut. Dalam meditasinya itu beliau berkeinginan mendapatkan suatu pusaka tersebut, kemudian pada suatu hari beliau melakukan pertapaannya hingga bertahun-tahun lamanya (ATAONAN), sehingga dari peristiwa itulah oleh masyarakat dijadikan suatu nama Desa menjadi Desa Pataonan disitulah awalmu mulanya Desa Pataonan terbentuk.
2. Letak Geografis
Desa Pataonan merupakan salah satu dari 11 desa di wilayah Kecamatan Socah, yang terletak 7 Km ke arah Barat Kecamatan Socah, desa Pataonan mempumyai luas wilayah seluas 445.982 hektar dan memiliki 4 dusun atau kampung yaitu:1
a. Desa Kramat b. Desa Dakiring c. Desa Socah d. Desa pernajuh
Secara geografis Desa Pataonan lebih dekat dengan Kecamatan Socah dari pada desa-desa yang disebutkan di atas. Dengan mayoritasnya adalah petani dan pedagang. Sementara minoritasnya adalah perantauan