• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SEORANG SUAMI YANG BERPOLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMA : STUDI KASUS DI DESA PATAONAN KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SEORANG SUAMI YANG BERPOLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMA : STUDI KASUS DI DESA PATAONAN KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan )

SKRIPSI

Oleh:

Lu’luul Mukarromah NIM. C31212109

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul ‘’ Analisis Terhadap Perkawinan Seorang Suami

Yang Berpoligami Tanpa Izin Istri Pertamanya yang pernah terjadi di Desa

Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan’’ dalam kasus poligami tanpa

sepengetahuan istri pertamanya ini merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana deskripsi tentang Praktek Poligami yang dilakukan tanpa izin istri pertamanya? dan bagaimana analisis yuridis terhadap perkawinan seorang suami yag berpoligami tapa izin istri pertamanya ini yang pernah terjadi di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan?

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dalam betuk studi kasus tapi juga dengan melakukan kajian pustaka. Data penelitian dihimpun denga cara mengamati, observasi, wawancara dan mempelajari kembali terhadap praktek poligami tanpa izin istri pertamanya ini di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan. Kemudian dianalisis denga metode analisis deskripstif deduktif, yakni menggambarkan data hasil penelitian,,

mengemukakan kenyataan yag bersifat umum tentag fakta praktek ‚ poligami tanpa izin istri pertamnya‛ kemudian dianalisa menggunakan undang-undang yang menjelaskan tentang seorag yag ingin melakuka poligami harus meminta izin istri pertamnya terlebih dahulu.

Hasil penelitian menyimpulka bahwa ‚poligami tapa izin istri pertamnya’’ yang menjadikan sebagai alasan praktek poligami ini terjadi

dikarenakan suaminya telah mencintai perempuan lain, akan tetapi juga dijelaska dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 4, dalam pasal terseubut menyatakan bahwa izin akan diberikan kepada seorag suami yag akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalakan kewajibannya sebagai istri, b. istri mengalami sakit yag luar biasa dan juga tidak bisa disembuhkan, c. istrinya tidak bisa melahirkan keturunannya dalam prakteknya suaminya disini istrinya tidak mengalami permasalahan yang telah dijelaska diatas, dan dalam kasus ini juga suaminya telah memalsukan identitasnya kepada pihak KUA padahal status suami disini telah mempunyai istri dan juga memiliki 2 orang anak, dan juga disini suami yang meberikan mahar kepada istri keduanya itu menggunakan seekor sapi padahal sapi yang dibuat mahar itu adalah harta bawaan dari istri pertamnya.

(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

B. Identifikasi dan Batasan Masalah. ... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka. ... 10

E. Tujuan Penelitian. ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian. ... 13

G. Definisi Operasional. ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II KONSEP POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Poligami ... 22

B. Poligami Menurut Undang-Undang ... 29

C. Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 36

(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

A. Gambaran Keadaan Desa Pataonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan ... 41

B. Praktek Poligami Seorang Suami Tanpa Izin Istri Pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan. ... 48

1. Proses Lamaran ... 49

2. Proses perkawinan... 51

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SEORANG SUAMI YANG BERPOLIGAMI TANPA IZIN ISTRI PERTAMANYA DI DESA PATAONAN KECAMATAN SOCAH A. Analisis Yuridis Terhadap Praktek Poligami Seorang Suami Tanpa Sepengetahuan Istri Pertamanyadi Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan ... 56

1. Proses lamaran ... 56

2. Proses perkawinan ... 58

B. Analisis Yuridis TerhadapPerkawinan Seorang Suami Yang Berpoligami Tanpa Izin Isti Pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah kabupaten Bangkalan ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

(9)

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada

semua mahluk-Nya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Karena pekawinan tersebut mempunyai suatu cara yang dipilih oleh Allah

SWT untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.1Pada dasarnya,

manusia diberi hak-hak tertentu sebagai hak asasi yang kemudian disebut

dengan istilah fitrahatau sunnatullah, dalam dunia ilmiah disebut sebagai

insting bagi manusia. Perkawinan akan berperan setelah masing-masing

pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan

perkawinan itu sendiri.2

Dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan bahwasanya

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya

masing-masing.3 Sedangakan perkawinan dalam fiqih memberikan kesan

bahwa perempuan disempatkan sebagai objek kenikmatan bagi sang laki-laki.

Yang dilihat pada diri perempuan adalah aspek biologisnya saja. Ini terlihat

dalam penggunaan kata al-wat’ atau al-istimta’ yang semuanya berkonotasi

seks.

Bahkan mahar yang semula pemberian ikhlas sebagai tanda cinta

seorang laki-laki kepada perempuan juga didefinisikan sebagai pemberian

1

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1(Bandung: Pustaka Setia, 1999), 9.

2 Ibid. 3

Pasal 2 Ayat (2) Undang Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan.

(10)

yang mengakibatkan halalnya seorang laki-laki berhubungan seksual dengan

perkawinan. Implikasi yang lebih jauh akhirnya perempuan menjadi pihak

yang dikuasai oleh laki-laki seperti yang tercermin dalam berbagai

perkawinan.4

Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan

hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga

dan memelihara serta meneruskan keturunan di dunia ini, juga mencegah

perzinaan, agar tercipta kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju

kebahagiaan dan keseteraan dunia dan akhirat.5 Hal ini dijelaskan dalam Q.S

Al-Nisa’ ayat 1

   

   Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah SWT menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah SWT memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah SWT yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah SWT selalu menjaga dan

Mengawasi kamu.6

Rukun dan syarat perkawinan dalam hukum Islam merupakan suatu

ikatan perkawinan antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Rukun

perkawinan merupakan faktor penentu bagi sah atau tidak sahnya suatu

perkawinan. Adapun syarat perkawinan adalah faktor-faktor yang harus

4

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia(Jakarta: Rajawali Press,2006), 153. 5

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern(Yogyakarta: Graha Ilmu,2011),11.

6

(11)

dipenuhi oleh subyek hukum yang merupakan unsur atau bagian dari akad

perkawinan.7

Adapun yang termasuk rukun perkawinan antara lain, mempelai

laki-laki dan perempuan, wali, saksi dan akad nikah.8 Sementara syarat

perkawinan menurut hukum Islam adalah bukan merupakan perkawinan yang

dilarang oleh Islam, diantaranya larangan perkawinan karena adanya

hubungan darah, hubungan semenda, hubungan sesusuan, poliandri, dan beda

agama. Bukan hanya itu, setiap rukun perkawinan yang telah disebutkan di

atas, harus memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh peraturan yang

berlaku, dalam hal ini hukum agama dan hukum Negara. 9

Persyaratan yang harus dipenuhi, tidak lain adalah untuk

mengokohkan dan mempersiapkan kedua mempelai untuk mengarungi

bahtera rumah tangga. Perkawinan merupakan hubungan yang dijalin oleh

dua individu yang berbeda, sehingga tidak jarang masing-masing pihak

memiliki pemahaman dan pola pikir yang berbeda mengenai suatu hal.

Bukanlah suatu permasalahan yang berarti apabila perbedaan tersebut

disikapi dengan rasa saling memahami, saling mengerti.

Namun tidak sedikit pula, perbedaan tersebut menjadi benih-benih

perpecahan yang akan meledak ketika kedua belah pihak merasa sudah tidak

disatukan lagi. Konflik internal rumah tangga bahkan keluarga kedua belah

pihak menjadi taruhannya. Pada saat yang demikian, bukan tidak mungkin

7

NengDjubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis

di Indonesia dan Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 107. 8

Soemiyati, Hukum Perkawinan..., 30. 9

Ibd, 117.

(12)

perpisahan menjadi jalan keluar yang dipilih sebagai penyelesaian

permasalahan ini. Inilah yang dinamakan perceraian.

Dalam dunia modern sekarang ini perkawinan yang dipandang baik

adalah perkawinan ‘monogami’, bahkan sampai bangsa-bangsa yang

menganut agama yang dalam ajarannya membolehkan berpoligami sekalipun

berpendapat, perkawinan monogami adalah perkawinan yang terbaik dan

ideal, sehingga dikalangan masyarakat di mana perkawinan poligami berlaku,

bilamana ada orang yang berpoligami selalu dibicarakan orang,

setidak-tidaknya para tetangganya akan membicarakan hal itu. Lebih-lebih di

kalangan intelektual, bilamana ada yang melakukan poligami akan menjadi

celaan dari teman-teman di kalangan mereka.10

Syari’at Islam meperbolehkan berpoligami dengan batasan sampai

empat orang dan mewajibkan berlaku adil bagi kepada mereka, baik dalam

urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifa kebendaan

tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang

berasal dari keturunan tinggi maupun dengan yang rendah. Bila suami

khawatir berbuat yang tidak baik dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak

mereka, maka ia diharamkan berpoligami.11Kaum perempuan mendapat

banyak kemudahan dalam risalah Islam. Salah satu tujuan risalah Islam

adalah membebaskan kaum perempuan dari belenggu keterkurangannya

sehingga mereka bebas beraktivitas dalam norma-norma kesopanan.12

10

Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah(Jakarta:Prestasi Pustaka,2007),55. 11

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat ..., 34. 12

Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami(Jakrta: Lembaga Kajian Agama,1999),43.

(13)

Hingga saat ini poligami di Indonesia masih menjadi topik yang laku

untuk diteliti. Perform konsepnya yang menggugah, dan ditunjang maraknya

prakter poligami, tak terasa telah membawa berbagai pandangan yang

kontra-produktif di tengah masyarakat. Munculnya berbagai persepsi yang dilematis

ini, tentu saja salah satunya berawal dari alasan yang menjadi dasar poligami,

serta modus yang ditempuh pelaku poligami.

Akan tetapi adakalanya timbul situasi atau kondisi darurat, misalnya

dalam keadaan istri tidak dapat melahirkan keturunan, atau tidak dapat

menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, karena cacat badan atau

penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan sebagainya.13Demi kepentingan

manusia, baik secara individual maupun masyarakat, poligami tidak

serta-merta diperbolehkan oleh Islam maupun aturan perundang-undangan yang

berlaku, tetapi diperbolehkannya poligami harus didasarkan alasan yang kuat.

Alasan tersebut adalah dasar atau faktor yang mempengaruhi orang tersebut

untuk melakukan poligami, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2 yaitu:14

Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristri lebih dari seorang apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

13

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat ...,143. 14

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembina Kelembagaan

Agama Islam, 1998), 76.

(14)

Di dalam kompilasi hukum Islam juga menyebutkan sebagaimana di

dalam pasal 57 dengan menggunakan syarat-syarat tertentu yaitu:

1. Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang

akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri.

b. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan ini maksud dari poligami itu bukan suatu kewajiban

melainkan anjuran ketika mengalami hal-hal yang darurat. Telah dijelaskan

dalam Undang-Undang perkawinan yang melibatkan Pengadilan Agama

sebagai institusi yang cukup penting untuk mengesahkan kebolehan poligami

bagi seseorang namun harus sesuai dengan alasan yang telah di kemukakan di

atas.15Pada penjelasan pasal 3 ayat 2 tersebut dinyatakan: PengadilanAgama

dalam memberikan keputusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut

pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah

ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.

Sesuai dengan pasal 4 telah menunjukan ada tiga alasan yang dijadikan dasar

mengajukan izin poligami.16 Mengingat beberapa ketentuan diatas dirasakan

bahwa persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mengatur tertibnya

poligami, agar poligami tidak dilakukan secara liar semau hatinya. Oleh

karena itu poligami dapat dilakukan dalam keadaan darurat saja, dengan kata

15

Aminur Nuruddin, et al., Hukum Perdana Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 162. 16

Ibid.,163.

(15)

lain poligami dilakukan dengan memenuhi alasan dan syarat-syarat yang

ditentukan.

Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri

atau istri-istrinya tidak memunkinkan diminta persetujuannya dan tidak ada

kabar istrinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang

perlu mendapat penilaian hakim.17Apabila istri tidak mau memberikan

persetujuan kepada suaminya untuk beristri lebih dari satu orang, berdasarkan

salah satu alasan tersebut diatas, maka pengadilan agama dapat menetapkan

pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di

persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini, istri atau suami

dapat mengajukan banding/kasasi.18

Dalam kasus ini telah terjadi pernikahan antara Abdul Rohim dan

Sariyeh (istri pertama) yang harmonis dan tidak pernah terjadi pertengkaran

selama terjadinya perkawinan, perkawinan ini telah berlangsung kurang lebih

enam tahun. Keluarga ini seperti layaknya keluarga yang lainnya yang tidak

pernah terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Namun si Abdul Rohim

melakukan poligami tanpa sepengetahuan Sariyeh (istri pertama). Pada saat

Abdul Rohim mengajukan surat izin menikah kepada kelurahan, Abdul

Rohim mengaku kepada kepala KUA Socah bahwasanya dia lajang (tidak

mempunyai istri).Sehingga dari pihak KUA memutuskan untuk melakukan

rafak dan memeriksa keaslian identitas sebelum terjadinya akad nikah.

17

Lihat, Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974. 18

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Dirjen Pembina Kelembagaan

Agama Islam, 1998), 34.

(16)

Tiga hari kemudian setelah melakukan akad nikah datanglah Sariyeh

dan kakaknya ke KUA Socah, Namun Sariyeh tidak terima atas tindakan

KUA Socah yang memberikan izin kepada suaminya untuk melakukan

pernikahan yang kedua kalinya. Dari pihak KUA Socah tidak mengetahui

bahwasanya Abdur Rohimtelah mempunyai istri dan Abdur Rohim juga

mengaku kepada pihak KUA Socah bahwasanya dia memang benar jejaka

(tidak punya istri) dan dari kelurahan memang benar, tetapi dari pihak

Sariyeh berbicara kepada KUA Socah bahwasanya Abdur Rohim telah

melakukan pemalsuan identitas dalam melakukan pernikahan untuk yang

kedua kalinya. Abdur Rohim juga telah memberikan mahar seekor sapi

kepada Satima (istri keduanya)akan tetapi sapi tersebut adalah milik

Sariyeh.19Melihat realita poligami tanpa izin istri yang ada di Desa Pataonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan menyalahi apa yang ada dalam

Kompilahi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan, sedangkan

dalam konteks fiqih konvensional sah-sah saja.

Sehingga penulis menilai bahwasanya tindakan Abdur Rohim tersebut

telah melakukan pemalsuan identitas untuk melaksanakan poligami, untuk itu

penulis tertarik meneliti lebih lanjut mengenai tindakan Abdur Rohim yang

telah melakukan pemalsuan identitas izin poligami, oleh karena itu penulis

memberi judul: ‘’Analisis Yuridis terhadap Poligami Tanpa Izin Istri

Pertama: (Studi kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan Madura)”.

19

Mosleh, Wawancara, di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan, 06 Oktober

2015.

(17)

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut:

1. keadilan dalam melakukan poligami.

2. prosedur melakukan izin poligami.

3. kasus seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya.

4. Pemalsuan identitas untuk melakukan poligami tanpa izin istri pertama.

5. praktek seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya.

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, penelitian terbatas

pada:

1. Praktek poligami seorang suami yang berpoligami tanpa sepengetahuan

istri pertama di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan .

2. Analisis yuridis terhadap praktek seorang suami yang berpoligami tanpa

sepengetahuan istri pertama di Desa Pataonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana praktek poligami seorang suami yang dilakukan tanpa izin

istri pertamanya yang terjadi di Desa Pataonan Kecamatan Socah

(18)

2. Bagaimana analisis yuridis terhadap praktek poligami yang dilakukan

seorang suami tanpa izin istri pertama yang terjadi di Desa Pataonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bagkalan?

D. Kajian Pustaka

Pembahasan yang dikaji dalam tulisan ini adalah bagaimana

pertimbangan hukum terhadap seorang suami yang melakukan poligami tanpa

izin istri pertamanya. Sebelumnya sudah ada penuliss dan peneliti yang

membahas mengenai izin poligami, diantaranya:

1. Skripsi yang diangkat oleh saudari Noer Musdalifah dalam skripsinya

yang berjudul ‘’Putusan Izin Poligami Karena Khawatir Zina Studi Kasus

di Pengadilan Agama Sidoarjo’’. Noeroul dalam skripsinya hanya

membahas seputar izin poligami karena takut zina maka pengadilan

agama sidoarjo memberi putusan untuk berpoligami hal imi tidak

semata-mata berpedoman pada ayat dalam UU saja melainkan juga berpatokan

pada Al-Qu’an Hadis dan Qiyas.20

2. Skripsi yang diangkat oleh saudari Rizqia Zakiah yang berjudul ‘’Analisis

Yuridis Dan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Karena Khawatir

Melanggar Syariat Agama (Studi Putusan Nomor:

0947/Pdt.G/2013/PA.Mlg). Skripsi ini menjelaskan keputusan Pengadilan

Agama Malang dalam mengabulkan permohonan izin poligami karena

khawatir melanggar syariat agama, padahal alasan tersebut tidak sesuai

20

Noeroul Musdalifah, “Putusan Izin Poligami Karena Khawatir Zina Studi Kasus d Pengadilan Agama Sidoarjo” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel,Surabaya, 2008),13.

(19)

dengan syarat pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan bukan alasan

yang logis untuk dijadikan bukti dalam permohonan izin poligami.21

3. Skripsi yang diangkat oleh saudari Nur Halimah yang berjudul“Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Tradisi Poligami Tanpa Izin Istri Sebelumnya

Dikalangan Tokoh Agama di Desa Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten

Bangkalan”. Pada skripsi ini menjelaskan tentang tradisi poligami tanpa

izin istri pertama ini menyalah apa yang ada dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan, sedangkan menurut

konteks fiqih konvensional sah-sah saja.22

4. Skripsi yang diangkat oleh saudara Aslikhan yang berjudul“Analisis

Yuridis Terhadap Putusan No: 235/PDT.G/2011/PA.SDA Tentang Izin

Poligami Karena Hamil di Luar Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo.”

Pada skripsi ini menjelaskan tentang keputusan hakim yang memutuskan

izin poligami karena hamil di lur nikah, dan mengetahui proses ijtihad

para hakim dan dasar-dasar hukum hakim dalam memutuskan kasusu

tersebut tentang diperbolehkannya izin poligami karena hamil di luar

nikah.23

Sekilas dari pemaparan skripsi di atas, maka dapat diyakinkan bahwa

skripsi yang ditulis oleh penulis kali ini bukanlah suatu pengulangan dari

21

Rizqia Zakiah, “Analisis Yuridis dan Hukum Islam Terhadap Izin Poligami Karena Khawatir

Melanggar Syariat Agama Studi Putusan Nomor: 0947/Pdt.G/2013/PA.Mlg”(Skripsi--UIN

Sunan Ampel, Surabaya,2014),8. 22

Nur Halimah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Poligami Tanpa Izin Istri Sebelumnya Dikalangan Tokoh Agama di Desa Tlagah Kecamatan Galis Kabupaten Bangkalan” (Skripsi--IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2002), 10.

23

Aslikhan, “Analisis Yuridis Terhadap Putusan No: 235/PDT.G/2011/PA.SDA Tentang Izin Poligami Karena Hamil di Luar Nikah di Pengadilan Agama Sidoarjo” (Skripsi--UINSunan Ampel, Surabaya, 2014),9.

(20)

karya tulis ilmiah yang telah ada. Dalam tulisan ini penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dalam menemukan titik terang tentang hukum atas

praktek poligami tanpa sepengetahuan istri pertamanya. Kemudian masalah

yang akan penulis teliti berjudul ‘’AnalisisYuridis terhadap PoligamiTanpa

Izin Istri Pertama (Studi kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan Madura)”, yang berbeda dengan penelitian

sebelumnya. Penelitian ini lebih fokus terhadap pembahasan mengenai

analisis yuridis tentang seorang suami yang melakukan poligami tanpa

sepengetahuan izin istri pertama. Dengan itu kemudian penulis mencari dasar

pertimbangan seorang suami ini bisa melakukan poligami tanpa

sepengetahuan istri pertamanya dan tugas pejabat KUA Socah yang bisa

melaksanakan pernikahan yang kedua kalinya ini tanpa melakukan prosedur

bagi seorang suami yang melakukan poligami.

E. Tujuan Penelitian

Agar sejalan dan tidak menyimpang dari rumusan masalah di uraikan

di atas, maka tujuan penelitian di sini adalah:

1. Untuk mengetahui tentang praktek seorang suami yang melakukan

poligami tanpa sepengetahuan istri pertamanya di Desa Pataonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

2. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap praktek poligami yang

dilakukan seeorang suami tanpa sepengetahuan istri pertamanya di Desa

(21)

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

pemikiran keilmuan, antara lain:

1. Aspek teoristis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah keilmuan

dan pengetahuan, yaitu untuk dijadikan bahan acuan dalam rangka

mengembangkan kajian hukum keluarga yang ingin mengkaji lebih dalam

lagi tentang hukum keluarga Islam mengenai syarat izin poligami,

khususnya yang berkenaan dengan poligami.

2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman

dan bahan bagi masyarakat untuk lebih memahami pantas atau tidaknya

hal-hal yang melanggar syariat agama dijadikan alasan dalam izin

poligami, dan berguna bagi penerapan suatu ilmu di lapangan atau

masyarakat dalam menegakkan ketentuan-ketentuan dalam hukum

keluarga Islam, khususnya berkenaan dengan pembahasan poligami.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pembahasan dan menghindari adanya multi

penafsiran, dibawah ini akan dijelaskan beberapa istilah pokok yang

tercantum di dalamnya, dari Analisis Yuridis Terhadap Poligami Tanpa Izin

Istri Pertama Studi Kasus di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan. Maka penulis perlu menjelaskan atau membrikan definisi

(22)

Analisi yuridis : suatu penguraian mengenai suatu persoalan

berdasarkan hukum dan Undang-Undang yang

berlaku. Dalam hal ini adalah tentang

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI). Permasalahan yang

terjadi pada seorang suami yang berpoligami tanpa

sepengetahuan istri peertamnya itu yang telah terjadi

di Desa Pataoan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan.

Seorang suami yang berpoligami : yang dimaksud disini adalah perkawinan

seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri

pertamnya yang pernah terjadi di Desa Pataonan

Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan dan dari

pihak KUA dan kelurahan tempat tinggalnya itu

tidak mengetahui perkawinan tersebut padahal

laki-laki tersebut sudah memiliki istri yang sah. Dan dari

pihak istri sebelumnya itu tidak ada persetujuan,

laki-laki tersebut juga telah memberikan mahar kepada

istri keduanya tersebut seekor sapi padahal sapi

tersebut adalah milik pribadi dari istri pertamanya

(23)

Tanpa Izin Istri Pertama : yang dimaksud tanpa izin istri sebelumnya adalah

tidak ada persetujuan dari pihak istri pertama

sebelumnya.

H. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Data Yang Dikumpulkan

Data tentang praktek perkawinan seorang suami yang berpoligami

tanpa izin istri pertamanya yag telah terjadi di Desa Pataonan Kecamatan

Socah ini diperoleh dari sumber pihak KUA Socah yang menjelaskan

tentang praktek poligami tapa izin istri pertamanya ini, dan juga

menanyakan kembali terhadap para pelaku poligami tanpa izin istri

pertamanya yang telah terjadi di Desa Pataonan Kecamatan Socah

Kabupaten Bangkalan, selajutnya yang dilakukan oleh penulis adalah

meminta keterangan terhadap para pejabat Desa Pataonan Kecamatan

Socah Kabupaten Bangkalan terhadap perkawinan yseorang suami yang

berpoligami tanpa izin istri pertamanya ini.

Data yang dikumpulkan haruslah lengkap, agar penelitian ini

lengkap dan mempunyai nilai keilmuan yang tinggi sehingga bermanfaat

(24)

bagaimna bisa terjadi perkawianan seorang suami yang dilakukan tanpa

sepengetahuan istri pertamanya sehingga peneliti bisa mengkaji lebih

(25)

2. Sumber Data

Sumber data merupakan subjek dari mana asal data penelitian itu

diperoleh.24Sumber data penelitian dibagi menjadi 2 (dua) macam:

a. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data yang bersifat utama

dan penting yang memungkinkan untuk mendapatkan sejumlah

informasi yang diperlukan dan berkaitan dengan pebelitian.25data ini

diperoleh atau dikumpulkan langsung dari lapangan yang akan

mewawancarai kepada Kepala KUA dan pejabat kelurahan yang telah

melaksanakan perkawinan tersebut. Untuk bertanggung jawab atas

perkawinan seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri

pertamnya.

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpul data.26sumber ini sebagai sumber

pelengkapan data. Sumber sekunder diperoleh dari bahan pustaka atau

dokumen yang relevan dengan masalah yang penulis bahas. Penelitin

ini meggunakan sumber sekunder berupa:

1) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

2) Kompilasi Hukum Islam

3) Dr. Musdah Mulia, MA, APU Pandangan Islam Tentang Poligami.

24

Wiratna Sujarweni, Metodologi Penelitian (Yogyakrta: Pustaka Baru Press, 2014), 73. 25

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), 116.

26

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010), 225.

(26)

4) Titik Triwulan Tutik, S.H., M.h. & Trianto, S.Pd., M.pd, Poligami

Persepektif Perikatan Nikah.

5) Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami.

6) Dr. KH. Didin Hafiduddin, Memahami Keadilan Dalam Poligami.

7) Drs. Slamet Abidin & Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat.

3. Teknik pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang dilakukan penulis

untuk mengungkapkan atau menjaring informasi data penelitian sesuai

dengan lingkup oenelitian itu sendiri.27 Untuk mempermudah dalam

mendapatkan data dan mengingat studi dalam skripsi ini adalah lapangan,

maka teknik pecarian datanya dilapagan sebagai berikut:

a. Interview(wawancara)

Yaitu cara melakukan Tanya jawab yang dikerjakan dengan

sistematik dan berlandaskan dalam tujuan penelitian, dilakukan pada

pelaku praktek terhadap seorang suami yang berpoligami tanpa

sepengetahuan istri pertamanya yang pernah terjadi di Desa Pataonan

Kecamatan Socah Kabupaaten Bangkalan.

b. Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang diperoleh

melalui dokumen-dokumen, atau menyelidiki benda-benda teertulis

seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, catatan harian. Data

27

(27)

data yang dikupulkan dengan metode iini cenderung merupakan data

sekunder.

4. Teknik Pengolahan Data

Oleh karena itu sumber data penelitian ini adalah studi

kasus/lapangan, maka teknik yang digunakan adalah documenter dan

interview data yang dikumpulkan dengan cara mencari datanya langsung

kelapangan, setelah mendapatkan data yang diinginkan dari lapangan itu

kemudian data tersebut dianalisis dan disimpulkan adalah sebagai berikut:

a. editing (pemeriksaan data) yakni memeriksa kembali data-data yang

diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, keserasian, dan

keterkaitan antara data satu dengan data yang lainnya.28

b. Organizing, yakni penulis data yang diatur dan disusun sehingga

menjadi sebuah kesatuan yang teratur. Untuk selanjutnya semua data

yang diperoleh akan disusun secara sistematis untuk dijadikan sebagai

bahan pebelitian.

5. Teknik Analisis Data

Hasil data-data tersebut, akan dianalisis dengan menggunakan

metode penelitian:

a. Metode deskriptif analisis adalah metode yang menggambarkan serta

menjelaskan data secara sistematis sehingga memperoleh pemahaman

secara menyeeluruh dan mendalam.29 Penelitian memaparkan atau

menggambarkan data yang terkumpul berupa literature yang berkaitan

28

Rianto, Metode Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 118. 29

Nasution S, Metode Research(Jakarta:Bumi Arkasa,2009),24.

(28)

dengan perkawinan seorang suami yang berpoligami tanpa

sepengetahuan istri pertamanya secara kritis dan objektif, yang secara

jelas sudah melanggar syariat agama dan perundang-undangan dan

hukum Islam kemudian menjelaskan secara rinci tentang perkawinan

seorang suami tanpa sepengetahuan istri pertamanya tersebut.

b. Pola pikir deduktif adalah pola pikir yang berasal dari pengetahuan

yang bersifat umum yang kemudian digunakan untuk menilai suatu

kejadian yang bersifat khusus.30 Penulis juga harus memaparkan teori

yang umum terlebih dahulu kemudian memakai teori yang khusus

yaitu tentang prosedur perizinan poligami untuk menganilisis tentang

perkawinan seorang suami tanpa sepengetahuan istri pertamanya

secara mendalam.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan adalah alur dari struktur penelitian secara

sistematis dan logis. Adapun sistematika pembahasan dalam peelitian ini

adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian

pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,

metode penelitian serta sistematika pembahasan. Dari bab ini akan diketahui

tentang tatacara bagaimana peenelitian akan dilaksanakan.

30

(29)

Bab kedua menjelaskan mengenai kerangka konsepsional dan landasan

teori yang terdiri dari: poligami menurut hukum Islam, pengertian dan dasar

hukum, poligami dalam Undang-Undang di Indonesia, syarat-syarat poligami,

izin istri sebelum melakukan poligami, dan kompilasi hukum Islam (KHI).

Bab ketiga menjelaskan deskriptif hasil penelitian, yaitu memuat hasil

penelitian terhadap seorang suami yang melakukan pernikahan tanpa izin istri

pertmanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bnagkalan,

meliputi kondisi daerah dan pendapat pejabat KUA Socah yang

melaksanakan pernikahan tersebut tanpa sepengetahuan istri pertamanya.

Bab keempat merupaka analisis data terhadapdata penelitian yang

telah dideskripsikan guna menjawab masalah penelitian, menafsirkan dan

mengintegrasikan temuan penelitian kedalam pengetahuan yang sempurna,

yang didalamnya dijelaskan dan diungkapkan secara tuntas bagaimana

perkawinan seorang suami yang berpoligami tanpa sepengetahuan istri

pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan bisa

terlaksana.

Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan yang dapat

penulis ambil dari keseluruhan isi skrpsi ini, dan diakhir dengan saran serta

(30)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22 BAB II

KONSEP POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG DAN KOMPILASI

HUKUM ISLAM

A. Pengertian Poligami

1. Pengertian Poligami Secara Istilah dan Bahasa

Poligami merupakan kata bahasa Indonesia. Dalam bahasa Arab,

poligami disebut dengan تاج وزلا ددعت poligami secara bahasa adalah

‚sistem perkawinan yang salah satunya pihak memiliki atau mengawini

beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.‛ Secara bahasa,

poligami yang merupakan bahasa Indonesia ini bisa digunakan untuk

seorang wanita yang memiliki lebih dari satu istri. Adapun sistem

perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita

sebagai istrinya di waktu yang bersamaan disebut dengan poligini.

Poligami secara sederhana adalah poligami dari dasar Yunani.

Kata ini nerupakan penggalan dari poli atau polus yang artinya banyak,

dan kata gamen atau gamos, yang berarti kawin atau perkawinan.1 Jika

digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi

dalam arti yang tidak terbatas, atau poligami adalah perkawinan antara

seorang laki-laki dengan lebih dari seorang wanita dalam waktu yang

sama.2

(31)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Sedangkan poligami secara istilah adalah seorang laki-laki beristri

lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama. Jadi nampaknya

telah terjadi penyempitan makna poligami. Poligami yang semula

bermakna untuk laki-laki dan perempuan, menyemput untuk laki-laki

saja. Noleh jadi hal ini karena fitnah manusia bisa menerima atau paling

tidak bisa memberikan toleransi pada praktek poligami (poligini), tentu

saja dengan syarat-syarat cukup ketat yang akan penulis jelaskan

kemudian.3

Poligami dalam pembendaharaan bahasa Indonesia, kata poligami

bermakna sama dengan poligami dan permaduan yaitu perkawinan antara

satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih.4 Poligami menurut

kamus besar bahasa Indonesia adalah ikatan perkawinan yang salah satu

pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu

yang bersamaan.5 Kata tersebut mencakup poligami yakni sistem

perkawinan yang membolehkan seorang pria mengawini beberapa wanita

dalam waktu yang sama. Kebalikan poligami adalah monogamy, yaitu

ikatan perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri

pada jangka waktu tertentu. Istilah lainnya monogamy yaitu prinsip

bahwa suami hanya mempunyai satu istri.6

3 http//ahdabbina.staf.umm.ac.id/archives/39.april 19 th,2010

4Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer,(Surabaya:Kamus Ilmiah

Populer, 1994), 329.

5Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1986), 169.

6Musdah Mulia, MA, MPU, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian

(32)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Menurut Musdah Mulia poligami adalah ikatan perkawinan yang

salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam

waktu yang bersamaan. Selain poligami, dikenal juga poliandri yaitu

seorang istri mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan.7

Sayuti Thalib menjelaskan dalam bukunya bahwa seorang

laki-laki yang beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang

sama meemang diperbolehkan dalam hukum islam. Tetapi pembolehan itu

diberikan sebagai suatu pengecualian. Pembolehan diberikan dengan

batasan-batasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang

mendesak.8

Bahkan dalam UU No.1 Tahun 1974 telah dijelaskan bahwa

pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristri lebih dari seorang, dari Undang-Undang tersebut dapat diartikan

selain poligami itu ada batasan-batasan tertentu yaitu paling banyak

empat orang, Tapi juga harus dilakukan izin terlebih dahulu di depan

pengadilan. Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan, poligami

yang dimaksudkan untuk menikahi lebih dari seorang itu hanya dibatasi

empat orang perempuan saja dan dengan persetujuan Pengadilan Agama

sebagai Institusi, dan juga persetujuan dari pihak istri sebelumnya,

sehingga tidak bisa disalah gunakan oleh seseorang yang hendak

melakukan poligami itu sendiri.

7 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jkarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007),

43.

8Sayuti Thalib, Hukum Krluarga Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIpress)

(33)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Menurut hukum asalnya poligami adalah mubah (boleh).9 Allah

SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan berlaku

adil kepada mereka. Jika suami khawatir berbuat zina, maka ia haram

melakukan poligami. Tentunya banyak sekali pendapat para fuqaha’ dan

ulama modern yang menafsirkan tentang hukum poligami. Diantaranya

isu-isu hukum shari’at yang ditentang dan selalu dibicarakan oleh mereka

adalah apa yang berkaitan dengan poligami di dalam islam. Terutama

ayat yang menjelaskan tentang poligami, Allah SWT berfirman dalam

Al-qur’an Surat Al-Nisa’ :(3) terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya‛.10

Ayat tersebut di atas menurut pandangan Wahbah Zuhaily dalam

kitabnya AL-Tafsir Al-Munir bahwa seorang suami diperkenakan untuk

melakukan poligami kalau ia bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Akan

tetapi, seandainya ia tidak bisa atau bahkan tidak mampu untuk berbuat

9 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, 2.

(34)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

adil terhadap istri-istrinya, maka Islam tidak memperbolehkannya untuk

berpoligami.

Menurut Zuhaily, Amir Syarifuddin mengatakan bahwa ayat

tersebut memberikan beberapa batasan. Pertama, batas maksimal empat

orang istri dan kedua, hanya boleh dilakukan bila mampu berlaku adil.

Kalau tidak terpenuhi syarat tersebut dilarang melakukan poligami.

Muhammad Baqir Habsyi berpendapat bahwa di dalam

Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang memerintahkan atau menganjurkan

poligami, sebutan tentang hal itu dalam Qs An-Nisa>’ ayat 3 hanyalah

sebagai informasi sampingan dalam kerangka perintah Allah SWT agar

melakukan sanak keluarga terutama anak-anak yatim piatu dan harta

mereka dengan perlakuan yang adil.11

Al-Maraghi dalam tafsirnya, yang terkenal dengan sebutan tafsir

Al-Maraghi, menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut

pada surat An-Nisa>’ ayat 3, merupakan kebolehan yang diperssulit dan

diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan

darurat, yang hanya bisa dilakukan poleh orang yang benar-benar

membutuhkan, kemudian beliau mencatat kaidah fiqiyah, dar’u al mafa>sid

muqaddamun ‘ala> jalbi al-masa>lih. Pencatatan ini dimaksudkan untuk

menunjukkan betapa pentingnya untuk laki-laki dalam melakukan

poligami.12 Maka dari penjelasan ini, ketika seseorang suami khawatir

11 Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama), (Bandung: Mizan Oktober, 2002), 91.

(35)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

melakukan perbuatan yang melanggar syariat agama, maka ia haram

melakukan poligami.

Menurut pandangan Quraisy Shihab menjelaskan sebagaimana

ayat diatas tidak mawajibkan poligami atau menganjurkan, ia hanya

berbicara tentang bolehnya poligami itu hanyalah merupakan sebuah

pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh oaring yang amat sangat

membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan, dengan demikian,

pembahasan tentang poligami dalam pandangan Al-Quran hendaknya

tidak ditinjau dari segi ideal saja atau dari segi baik dan buruknya, akan

tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka

kondisi yang mungkin terjadi.13

Sayyid Qutub mengatakan bahwa poligami merupakan suatu

perbuatan Rukhsah.Karena merupakan Rukhsah, maka bisa dilakukan

hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini

masih diisyaratkanberbuat adil terhadapistri-istrinya. Keadilan yang

dituntut disini dalam bidang nafkah, mu’amalah, pergaulan, serta

pembagian malam. Sedangkan bagi calon suami yang tidak bisa berbuat

adil, maka diharuskan cukup satu saja.14 Jika kita lihat dari segi

pandangan kewanitaan akan jelas bahwa jalan yang di berikan Islam ini

memperlihatkan betapa islam sangat menghormati eksistensi wanita,

(36)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

meemberikan hak-hak, mengakui keinginan dan kebutuhannya untuk

mendapatkan pasangan, memberikan tempat kepadanya di masyarakat.15

Dengan ayat ini pula dapat di ambil dalil, bahwa haram kawin

dengan perempuan lebih dari empat orang, jika ada orang yang

berpendapat bahwa ayat yang menunjukkan bolehnya seorang laki-laki

perkawinan dengan Sembilan orang perempuan yaitu jumlah dari dua,

tiga, atau empat, tidaklah dapat diterima pendiriran yang seperti itu,

karena dalam ayat ini ada kata ‚atau‛, makanya boleh pilih dua, tiga atau

empat orang.16

Dalil dari Rasulullah SAW adalah hadist yang di riwayatkan oleh

Qais bin Al Harits ra, beliau berkata,‛ ketika masuk islam, saya memiliki

delapan istri. Saya menemui Rasulullah SAW dan menceritakan keadaan

saya, lalu beliau bersabda; pilih empat diantara mereka.’’17 Imamiyah dan

syafi’i mengatakan bahwa manakala salah seorang dari keempat istri itu

di ceraikan dalam bentuk talak raj’I maka laki-laki itu tidak boleh

melakukan akad nikah dengan wanita lain sebelum istri yang di nikahinya

itu habis masa iddahnya.18

Dikalangan masyarakat barat bahwa Islam merupakan

satu-satunya agama yang tidak mengharamkan poligami. Mereka

mengulang-ulang apa yang tersebar itu menurut mereka poligami itu merendahkan

(37)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

derajat kaum wanita dan menginjak-injak martabat para istri.19 Allah

berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 5 yang berbunyi:



Artinya: Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.20

Humaidy menyimpulkan bahwa Islam bukan menciptakan

Undang-Undang poligami, tetapi hanya membatasi poligami dengan

ketentuan dan jumlah tertentu. Al-Quran tidak menyuruh poligami, tetapi

hanya membolehkan. Namun kebolehan di sini masih diancam dengan

sebuah kondisi berupa ketidakmampuan berbuat adil, sebagaimana pada

surat Al-Nisa’ ayat 129.21

B. Poligami Menurut Undang-Undang

Sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, bahwa kawin

lebih dari seorang wanita adalah merupakan suatu pengecualian. Kebolehan

poligami disertai dengan pembatasan-pembatasan berat berupa syarat-syarat

dan alasan-alasan mendesak. Pada dasarnya segala sistem perkawinan itu

memerlukan pemenuhan persyaratan, tidak terkecuali dalam hal poligami,

baik yang berpendapat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maupun

terdapat dalam hukum agama. Karena sebagaimana sibutkan bahwa

19Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, (Jakarta: Almahira, 2001), 221. 20 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus),295.

(38)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamnya

masing-masing dan kepercayaannya.

Bagi seorang yang akan menjalani poligami menurut Islam, syarat

yang utama adalah mampu berlaku adil diantara istri-istrinya. Antara istri

yang satu sama haknya dengan istri yang lain, baik yang sifatnya non materi

seperti pembagian waktu bermalam dan besenda gurau, maupun yang sifatnya

materi berupa pemberian nafkah, pakaian, tempat tinggal. Juga segaa sesuatu

yang bersifat kebendaan lainnya tanpa membedakan antara istri-istri yang

kaya dengan yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang

bawah.22 Jika tidak dapat atau dikhawatirkan tidak mampu berbuat adil,

maka sebaiknya mengawini satu wanita saja.

Keadilan yang dituntut adalah dalam masalah-masalah lahiriyah yang

dapat dikerjakan oleh manusia, bukan adil dalam masalah cinta dan kasih

sayang. Karena cinta dan kasih sayang atau semacamnya tidak dapat dikuasai

dan dikontrol oleh manusia, sebab masalah ini ada di luar kemampuan

seseorang.

Mendapatkan restu dari istri pertama merupakan hal yang sangat

diprioritaskan, karena keterbukaan harus ada dalam hubungan suami istri,

jika seorang suami hendak memadu istrinya maka terlebih dahulu harus izin

kepada istri yang pertama, agar mendapatkan restunya dan tidak sampai

menyakiti istri yang akan dimadu.Syarat-syarat poligami menurut

Undang-Undang yang digunakan oleh pengadilan sebagai sumber hukum, terdapat

(39)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pada pasal 3,4, dan 5 dan dan pada

PP No. 9 Tahun 1975 pasal 40, 41, 42, 43 yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya.23

Menurut Perundang-Undangan yang ada di Indonesia, seorang suami

boleh melakukan poligami asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu yang

telah ditentukan dalam Undang-Undang Perkawinanan No.1 tahun 1974.

Syarat-syarat tersebut yang terdapat dalam pasal 3 yang menjelaskan tentang

penjelasan bahwa seorang laki-laki hanya boleh memiliki seorang istri saja.

1. Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang

wanita hanya boleh memiliki seorang suami.

2. Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri

lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Yang terdapat dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan

menjelaskan tentang seorang jika ingin melakukan poligami maka suami

tersebut harus pengajukan permohonan terlebih dahulu kepada pengadilan di

daerah tempat tinggalnya itu, dan persyaratan yang harus dilakukan oleh

seorang suami yang ingin melakukan poligami maka harus menjelaskan di

hadapan majelis hakim tentang alasan suaminya itu ingin menikah lagi,

sebagaiman yang di jelasakan di bawah ini:

1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib

mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

(40)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada

suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Jika seorang suai yang ingin melakukan permohonan izin oligami

kepada pengadilan maka seorang suami tersebut harus memenuhi

syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan dan peraturan

hukum yang ada di Indonesia .sebagaimana yang akna di jelaskan di dalam

pasal 5 dengan terperinci.

3. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada peengadilan, sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.

c. Adanya rlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

d. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadapistri-istri dan

anak-anak mereka.

4. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila istri/ istri-istrinya tidak mungkin

(41)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

atau apabila tidak dapat kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2

(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat

penilaian dari hakim pengadilan.

Pada dasarnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami.

Hal tersebut secara jelas dinyatakan dalam pasal 3 (1) UU. No. 1 Tahun 1974

pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai

seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunya seorang suami. Kaidah

dalam pasal tersebut sejalan dengan bunyi pasal 27 KUH Perdata (BW) yang

menyatakan bahwa ‘’Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya

dibolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang

perempuan hanya satu laki-laki sebagai suaminya‛.24 BW menganut asas

monogamy tertutup.

Namun ada perbedaan antara UU. No. 1 Tahun 1974 dengan BW

mengenai asas perkawinan. Pada pasal 3 (2) UU. No. 1 Tahun 1974

dinyatakan bahwa ‚pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami

untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan‛. Dengan adanya ketentuan dalam pasal tersebut maka UU. No.

1 Tahun 1974 menganut asas monogamy terbuka, oleh karena itu ada

kemunkinan seorang suami dalam keadaan terpaksa melakukan poligami

yang sifatnya tertutup dengan pengawasan Pengadilan Agama.

Walaupun poligami menurut Undang-undang diperbolehkan, beratnya

persyaratan yang harus ditempuh mengisyaratkan bahwa pelaksaan poligami

(42)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

di Pengadilan agama menganut prinsip menutup pintu terbuka, artinya pintu

poligami itu tidak dibuka, kalau memang tidak diperlukan dan hanya dalam

hal atau keadaan tertentu pintu itu dibuka.

Menganai prosedur suami yang akan melakukan poligami, maka

diatur juga di dalam PP. No 9 Tahun 1975 pasal 40, 41, 42, dan 43 yang

menjelaskan tentang seorang suami yang ingin melakukan poligami. Yang di

dalamnya menjelaskan tentang jika seorang suami ingin melakukan poligami

maka suami tersebut harus mengajukan kepada pengadilan terlebih dahulu,

maka kemudian pengadilan akan memeriksa kembali berka-berkas seorang

suami yang ingin melakukan poligami ini.

Suami tersebut harus menjelaskan alasan kenapa dia ingin melakukan

poligami, misalnya alasannya itu bahwa istrinya tidak bisa menjalankan

kewajibannya sebagai istri, istrinya mendapat cacat badan, dan tidak bisa

memberiakannya keturunan. Jika alasan seorang laki-laki yang akan

melakukan poligami seperti itu maka dari pihak pengadilan akan

mengabulkan permohonannya tersebut, begitupula sebaliknya jika dari pihak

istrinya tersebut tidak mengalami gejala yang dijelaskan di atas maka pihak

pengadilan tidak akan mengabulkan permintaan suaimi terbut yang ingin

melakukan poligami itu.

Jika seorang suami ingin melakukan poligami sebagaimana yang telah

di tetapkan oleh PP. No 9 tahun 1975 maka yang harus dilakukan seoarang

suami tersebut harus meminta izin istri pertamanya terlebih dahulu, jika istri

(43)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

menurut Undang-Undang suami terbut tidaak boleh melakukan poligami, dan

juga harus ada jaminan masa depan bahwa suami tersebut bisa berlaku adil

terhadap istri-istri dan anaknya, dan bisa menafkahi istri-istri dan

anak-anaknya itu secara adil dan merata.

Jika syarat-syaratnya telah di penuhi maka yang haru dilakukan oleh

pengadilan yaitu harus memanggil dan mendengar penjelasan dari pihak istri

yang bersangkutan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh pengadilan biyasanya

dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat-aurat

permohonan beserta lampirannya sudah bisa dikatakan lengkap.

Apabila dari pengadilan sudah ada penjelasan mengenai alasan

seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang, maka pengadilan

memberikan keputusannya itu bahwa suami tersebut boleh beristri lebih dari

seorang, dan dari putusan hakim tersebut maka kedua belah pihak tersebut

harus menerima putusan hakimnya tersebut.

Pegawai pencatat nikah dilarang untuk melakukan pernikahan

seoarang suami yang ingin melakukan poligami sebelum ada putusan

hakim terlebih dahulu. Jika pegawai pencatat nikah masih tetepa

melakukan perkawinan teerhadap seorang suami yang berpoligami itu

maka pegawai pencatat nikah yang bertugas itu akan di pecat dan

(44)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

C. Poligami Menurut Hukum Islam (KHI)

Dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya

menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk

melakukan poligami, maka hukum dan juga agama dari yang bersangkutan

mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yang demikian ini,

perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi berbagai

persyaratan yang telah ditentukan dan diputuskan oleh pengadilan.

Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal

55, 56, 57, dan 58. Dalam pasal 55 menjelaskan bahwa adil terhadap istri dan

anak-anak merupakan syarat utama untuk beristri lebih dari seorang.

Dilanjutkan dengan pasal 56 yang menjelaskan bahwa seseorang yang hendak

beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari pengadilan dan

permohonan izin tersebut dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur

dalam bab VIII PP No. 9 Tahun 1975.

Permasalahan poligami yang ditetapkan di dalam Kompolasi Hukum

Islam Khususnya pasal yang bersangkutan dengan permasalahan yang ada di

Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan yaitu:25 Terdapa

pada pasal 55 yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

menjelaskan tentang batasan seorang suami yang ingin beristri lebih dari

seorang dalam waktu bersamaan dan syarat-syarat yang harus dilakukan si

suami tersebut ingin melakukan poligami .seperti yang dijelaskan di bawah

ini.

(45)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya

sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil

terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,

semua dilarang beristri lebih dari seorang.

Yang terdapat dalam pasal 56 yang menjelaskan tentang himbauan

bahwa seorang suami sebaiknya untuk beristri hanya satu orang saja

dikarenakan takut dikemudian harinya suami tersebut jika beristri lebih dari

seorang tidak bisa berlaku adil terhapa istri-istri dan anak-anaknya. Yang

penjelasan terdapat di bawah ini:

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari

pengadilan agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut

tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa

izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

4. Harus didasarkan pada alasan yang jelas dan kuat. Tanpa dipenuhi salah

satu alasan tidak boleh poligami.

Yang terdapat dalam pasal 57 lebih menjelaskan kembali tentang

alasan kenapa seorang suami yang ingin melakukan pernikahan lagi. Yang

(46)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Yang terdapat dalam pasal 58 yang ada di dalam Kompilasi Hukum

Islam (KHI) yang menjelaskan tentang syarat utama seorang suami yang

ingin melakuka poligami yang izinya itu harus terdapat izin istri pertamanya

terlebih dahulu jika izin istri pertamanya itu belum dilakukan maka suami

tersebut tidak boleh melakukan perkawinan untk yang kesekian kalinya

sebagaimana di bawah ini:

1. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk

memperoleh izin pengadilan agama harus pula dipenuhi syarat-syarat

yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

a. Adanya persetujuan istri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup

istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b peraturan

pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat

diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada

persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan

istri pada sidang pengadilan agama.

3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang

suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai

(47)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2

tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.

Apabila kita bandingkan pelaksanaan poligami menurut hukum Islam

dan perundang-undangan, maka walaupun secara sepintas persyaratan yang

ditentukan antara kedua peraturan itu tidak sama, namun apabila kita kaji

lebih lanjut peraturan itu mempunyai persamaan tujuan, yaitu sama-sama

menghendaki teerwujudnya keluarga yang bahagia dan kekal untuk

selamanya. Disamping itu kedua peraturan itu juga menekankan bahwa

pelaksanaan poligami itu merupakan ssuatu pengecualian yang hanya dapat

diperbolehkan kepada seorang laki-lakii yang betul-betul memenui

persyaratan.

Yang mana di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten

Bangkalan ini menyimpang dari fiqih Indonesia yang mana tertuang dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 58 ayat 1 haruf (a) dan Undang-Undang

Perkawinan pasal 5 ayat 1 huruf (a): adanya persetujuan dari istri, di Desa

Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan tanpa adanya persetujuan

dari istri sebelumnya. Hal seperti ini yang sudah pernah terjadi di Desa

Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan atau tanpa adanya

persetujuan dari istri sebelumnya. Bahwa dalam kasus perkawinan seorang

suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya itu telah memberikan

mahar kepada istri keduanya itu dengan sebuah sekor sapi padahal sapinya

tersebut adalah barang bawaan dari istri pertamanya. Dalam kasus ini telah

(48)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Akan tetapi kalau kita merujuk pada Kompilasi Hukum Islam dan

Undang-Undang Perkawinan itu merupakan penyimpangan yang telah

melanggar Kompilasi Hukum Islam Pasal 58 ayat 1 huruf (a) yaitu: adanya

persetujuan istri. Sedangkan yang dilakukan oleh Abdur Rahim ini yang

berpoligami tanpa izin istri sebelumnya, suatu hal yang bertolak belakang

(49)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB III

PERKAWINAN SEORANG SUAMI YANG BERPOLIGAMI

TANPA IZIN ISTRI PERTAMANYA DI DESA PATAONAN

KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

A. Gambaran Keadaan Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan dan KUA Socah.

Desa Pataonan merupakan desa yang yang bisa dikatakan sebagai desa yang kurang begitu maju, karena masyarakat di Desa Pataonan ini pemikirannya masih terlalu fanatik terhadap agama Islam dan masyarakat Pataonan ini juga kurang bisa menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Agama Islam. Hal inilah yang menyebabkan banyak ketentuan-ketentuan yang bersifat fundamental diajarkan pada masyarakat, seperti dalam perkawinan dan sebagainya.

Dalam hal ini penulis akan lebih banyak membahas terkait dengan perkawinan khususnya tentang permasalahn poligami seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya. Akan dibahas lebih jelas lagi dalam pembahasan ini.

1. Sejarah Desa

(50)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id peristiwa atau kejadian yang terjadi disuatu desa tersebut, begitu juga

nama Desa Pataonan menurut legenda rakyat, konon dahulu kala ada seorang tokoh yang disegani diwilayah tersebut melakukan Tapa Brata (MEDITASI) di Desa tersebut. Dalam meditasinya itu beliau berkeinginan mendapatkan suatu pusaka tersebut, kemudian pada suatu hari beliau melakukan pertapaannya hingga bertahun-tahun lamanya (ATAONAN), sehingga dari peristiwa itulah oleh masyarakat dijadikan suatu nama Desa menjadi Desa Pataonan disitulah awalmu mulanya Desa Pataonan terbentuk.

2. Letak Geografis

Desa Pataonan merupakan salah satu dari 11 desa di wilayah Kecamatan Socah, yang terletak 7 Km ke arah Barat Kecamatan Socah, desa Pataonan mempumyai luas wilayah seluas 445.982 hektar dan memiliki 4 dusun atau kampung yaitu:1

a. Desa Kramat b. Desa Dakiring c. Desa Socah d. Desa pernajuh

Secara geografis Desa Pataonan lebih dekat dengan Kecamatan Socah dari pada desa-desa yang disebutkan di atas. Dengan mayoritasnya adalah petani dan pedagang. Sementara minoritasnya adalah perantauan

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini menjadi topik utama dalam skripsi penulis yang berjudul: “KAJIAN YURIDIS GUGATAN PERCERAIAN AKIBAT SUAMI MENINGGALKAN ISTRI TANPA ALASAN YANG SAH (Studi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (I) Penerapan hukum pidana materil oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap pelaku tindak pidana menikah lagi tanpa izin istri

Adapun hasil dari penulisan ini Isteri pertama dapat mengajukan pembatalan atas perkawinan kedua suaminya yang telah meninggal dunia karena dilaksanakan tanpa sepengetahuannya

Proses pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam dengan terapi rsional emotif (RET) untuk menangani kecemasan seorang istri akibat suami selingkuh ini memilki

Sebelum istri meninggal harta sudah dihibahkan kepada anak-anaknya tanpa sepengetahuan suami dengan alasan suami juga telah menjual harta bersama tanpa persetujuan

Tetapi jika ia berkehendak, maka diperbolehkan seorang wanita bekerja atas izin suami jika ia sudah bekerja, jika belum atas izin orangtuanya, akan tetapi seorang istri

Hal ini menjadi topik utama dalam skripsi penulis yang berjudul: “KAJIAN YURIDIS GUGATAN PERCERAIAN AKIBAT SUAMI MENINGGALKAN ISTRI TANPA ALASAN YANG SAH (Studi

Permasalahan yang dibahas adalah Prosedur dalam Pemberian izin poligami bagi Pegawai Negeri Sipil, akibat hukum dalam poligami tanpa izin istri pertama, Pertimbangan Hukum oleh Hakim