Masa Depan Pancasila
Setelah beberapa waktu sangat jarang menjadi tema diskursus publik,
Pancasila akhir‐akhir ini mendapat perhatian. Setidak‐tidaknya Pancasila banyak
disebut sebagai dasar atau legitimasi suatu pendapat atau tindakan. Frekuensi
perbincangan tentang Pancasila meningkat tajam pada 1 Juni yang telah ditetapkan
sebagai hari kelahiran Pancasila. Berbagai forum kajian, bahkan kongres
diselenggarakan untuk membahas berbagai hal seputar Pancasila.
Pancasila memang telah menempati posisi penting dalam sejarah kehidupan
bangsa Indonesia. Walaupun masih terdapat perbedaan pandangan, namun
beberapa posisi penting yang dilekatkan pada Pancasila antara lain adalah sebagai
dasar filsafat bangsa, pandangan hidup, dasar negara, bahkan sebagai ideologi
negara.
Namun posisi penting Pancasila tidak beriringan dengan realitas sosial.
Dalam berbagai forum ilmiah maupun tulisan yang selalu mengemuka adalah
kekecewaan dan kekhawatiran. Kekecewaan karena banyak realitas, baik berupa
kebijakan maupun praktik kehidupan sosial, yang dinilai tidak sesuai dengan
Pancasila. Kekhawatiran karena melihat perkembangan masyarakat, utamanya
generasi muda, dinilai tidak memahami Pancasila. Khawatir karena banyak yang
tidak hafal sila‐sila Pancasila, walaupun hal ini tentu merupakan kekhawatiran yang
dangkal.
Kekecewaan dan kekhawatiran ini melahirkan pemikiran dan sikap berupa
penghakiman dan berbagai pelarangan yang justru semakin menjauhkan Pancasila
dari masyarakat, utamanya dari generasi muda. Kekecewaan dan kekhawatiran
yang dilandasi oleh alam pikir masa lalu yang jauh relevansinya dengan realitas
sehingga sulit diterima oleh alam pikir generasi kekinian.
Pancasila sebagai Sistem Nilai
Apapun label atau kedudukan yang diberikan pada Pancasila, inti dari
Pancasila adalah suatu sistem nilai. Kelima sila Pancasila adalah sistem nilai yang
diyakini kebenaran dan kebermanfaatannya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana
sistem nilai yang lain, baik berupa pandangan hidup, filsafat, bahkan agama
sekalipun, dapat saja dianggap telah aus atau ketinggalan jaman.
Sistem nilai yang mampu bertahan sebagai rujukan bersama adalah sistem
nilai yang tetap memiliki relevansi dengan realitas individu dan masyarakat.
Pancasila tidak akan ditinggalkan tatkala masih mampu menjadi rujukan
menyelesaikan problem individu dan masyarakat Indonesia. Sebaliknya, ketika
Pancasila, atau sebenarnya adalah pemikiran elaboratif tentang Pancasila, tidak
dapat lagi menjadi pedoman menyelesaikan masalah warga dan bangsa Indonesia,
diakui atau tidak Pancasila akan ditinggalkan.
Oleh karena itu sistem nilai Pancasila harus terus berkembang dari lima sila
yang ada dalam Pembukaan UUD 1945. Perkembangan sistem nilai itu dibentuk
oleh pemahaman yang didasarkan pada realitas yang sedang dialami. Pemahaman
yang sesuai dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara dari semua
aspek pasti berbeda antara satu masa dengan masa yang lain. Hal ini pasti
melahirkan perbedaan pemahaman antar generasi, dan sudah seharusnya
perbedaan pemahaman itu melahirkan perbedaan elaborasi atas nilai‐nilai
Pancasila.
Karena itulah sungguh tepat saat Pancasila ditempatkan sebagai ideologi
terbuka, bukan ideologi tertutup. Konsekuensi dari ideologi terbuka adalah
Pancasila berada pada level abstrak yaitu nilai‐nilai universal yang diterima oleh
segenap komponen bangsa. Pancasila memberikan ruang dinamika yang luas bagi
manifestasi nilai‐nilai itu dalam bentuk dan pilihan‐pilihan kebijakan sesuai dengan
realitas dan alam pikir tiap generasi. Dengan sendirinya setiap generasi memiliki
hak sepenuhnya menentukan pemahaman yang memengaruhi perkembangan
sistem nilai Pancasila.
Untuk merawat masa depan Pancasila yang harus dijaga adalah membuat
Pancasila tetap relevan dengan kehidupan bangsa. Menjaga Pancasila tidak lagi
dapat dilakukan dengan mitos “Pancasila Sakti” karena telah mampu melewati
upaya penggantian dengan ideologi lain. Merawat Pancasila juga tidak dapat
dilakukan dengan menghakimi pemikiran‐pemikiran baru yang pasti berbeda
dengan pemikiran yang disampaikan oleh para pendiri bangsa, oleh angkatan 66,
maupun oleh angkatan Orde Baru. Setiap generasi hidup di jaman dan alam pikir
yang berbeda. Apalagi jika penghakiman itu diikuti dengan pelarangan buku dan
aktivitas karena dicap bertentangan dengan Pancasila. Ironisnya lagi tindakan itu
dilakukan kelompok masyarakat tertentu dengan kepentingan tertentu.
Jika hal itu dilakukan, akan terjadi monopoli kebenaran atas Pancasila yang
sering dipaksakan dengan kekerasan. Pancasila turun derajat sebagai label
pembenar atas pemikiran dan tindakan yang tidak sesuai dengan semangat jaman.
Pancasila pun akan lebih dipersepsi secara negatif sebagai pikiran masa lalu, atau
setidak‐tidaknya sebagai pikiran orang masa lalu yang tidak mampu beradaptasi
dengan masa kini. Lebih khawatir lagi ketika Pancasila dipersepsi sebagai cara‐cara
paksaan dan kekerasan seperti yang dipraktikkan oleh kelompok yang mengklaim
sebagai penjaga Pancasila.
Masa depan Pancasila tetap akan cerah dan terjaga ketika dielaborasi melalui
pemikiran yang terbuka. Untuk menemukan keunggulan dan relevansi Pancasila
tentu harus membandingkan dengan sistem nilai lain, atau bahkan menemukan
pemahaman dan pemaknaan baru dari dialog antar sistem nilai. Upaya
mensosialisasikan dan membumikan Pancasila tidak dapat lagi dilakukan dengan
doktrinasi, pidato berapi‐api, ataupun orasi dengan penuh kemarahan, sembari
menciptakan halusinasi ancaman‐ancaman terhadap Pancasila, padahal sumber
masalah ada pada diri sendiri. Sosialisasi dan pembumian Pancasila harus dilakukan
secara dialogis dan kontekstual sehingga nyaman dan relevan dengan persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia.
Sebagaimana hasil beberapa survey, kita tentu masih percaya dan berharap
tetap menjadi falsafah dasar bernegara dan memiliki relevansi dalam kehidupan
karena ketakutan, baik ketakutan dicap tidak Pancasilais maupun ketakutan akan
kekerasan. Kepercayaan dan harapan itu hanya dapat tumbuh dan terjaga tatkala
generasi bangsa meyakini dengan kesadaran sendiri akan kebenaran serta
merasakan kebermanfaatan Pancasila dalam berkehidupan. Hal ini terjadi ketika
diberi ruang mengembangkan pemahaman Pancasila sesuai kondisi jaman dan alam