vi
D. Kerangka Berpikir Penelitian 25
BAB II PENDIDIKAN, PENDIDIKAN UMUM, KEPRIBADIAN KAFFAH,
ZIKIR/DOA, DAN TAREKAT 26
A. Pendidikan 26
1. Konsepsi Pendidikan 26
2. Kategori Pendidikan dan Tujuan Pembelajaran 31
3. Pendidikan Umum/Nilai 34
4. Pendidikan Hati 38
5. Pendidikan Nilai (Akhlaq) dan Pribadi Utuh (Kaffah) 44
a. Pengertian Akhlak 47
b. Pendidikan akhlak dalam Keluarga 50
B. Pesantren 54
1. Pesantren dan nilai tradisional 56
2. Peran Kyai 57
3. Keunggulan pesantren 58
C. Kepribadian, Guru dan Murid 60
1. Kepribadian dalam Al Qur`an Menurut Ahli
Tafsir/Hikmah 63
2. Kriteria dan karakteristik guru muslim (Mursyid) 67 3. Interaksi Mursyid/Guru-Murid menurut Al Ghazali 72 4. Sifat-sifat yang harus dimiliki Murid 78
D. Hakikat Zikir dan Doa 82
1. Zikir 83
a. Tata cara Melaksanakan Dzikir dalam Tarekat 85
b. Praktek Zikir 86
c. Manfaat Zikir 87
vii
3. Keutamaan Zikir/Doa 93
E. Tasawuf 95
1. Tarekat Sebagai Jalan Tasawuf 97
a. Sejarah Singkat Tarekat Qadiriyah 98 b. Sejarah Singkat Tarekat Naqsyabandiyah 99 c. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah 101 d. Inti Ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah 102 e. Silsilah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah 105
2. Penelitian Terdahulu 107
BAB III METODE PENELITIAN 115
A. Pendekatan dan Metode Penelitian 115
1. Pendekatan Kualitatif 118
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 131
1. Sejarah Singkat Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya 131
2. Riwayat Singkat Abah Sepuh 134
3. Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya 138
4. Aktivitas Talqin 140
B. Hasil Analisis Data
1. Deskripsi Profil Informan 141
2. Konstruksi Pengalaman Pezikir TQN 146
3. Interpretasi 175
a. Pembahasan terhadap Kategori Motif Pezikir 175 b. Pembahasan terhadap Praktek Zikir Pelaku/Informan 178 c. Pembahasan terhadap Manfaat Zikir bagi Pezikir 189
viii DAFTAR TABEL
Halaman
4.1 Latar Belakang Informan 145
ix DAFTAR BAGAN
Halaman
1.1 Kerangka Berpikir Penelitian 25
2.1 Silsilah Tarehoriqot Qadiriyah wa Naqsabandiyah 105
3.1 Bagan Desain Penelitian 129
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam dekade terakhir ini, suasana kehidupan bangsa Indonesia amat
memprihatinkan. Munncul berbagai perilaku menyimpang dari kaidah ajaran agama,
nilai moral, budaya bangsa yang selama ini dianut, dihormati dan dijunjung tinggi.
Hal tersebut mencerminkan seperti bangsa yang tidak beradab. Kecenderungan
masyarakat berperilaku negatif ini semakin nampak muncul dalam kehidupan
sehari-hari, bukan saja di kota-kota besar, bahkan telah melanda pula sebagian masyarakat
di pedesaan. Bukan saja masyarakat awam, tetapi merambah pula pada sebagian
masyarakat terpelajar, para penyelenggara negara, kelompok mahasiswa, dan para
siswa yang justru diharapkan sebagai generasi penerus bangsa.
Hampir setiap saat, media massa memberitakan berbagai penyimpangan
seperti maraknya korupsi (Kompas, 27 Juli 2008), jaringan narkoba/napza, minuman
keras, pelecehan seksual, sadisme, mutilasi, pornografi, pembalakan, kelompok geng
serta penyimpangan lainnya yang mengarah pada tindakan kekerasan dan amoral.
Sampai saat ini, berbagai ketegangan mental pun masih terus terjadi. Hanya karena
masalah kecil/sepele saja, seseorang bisa mencederai orang lain dan berujung pada
perkelahian massal (tawuran), sehingga memakan banyak korban, baik harta maupun
nyawa. Karena kecewa idola atau tim favorit yang dijagokannya tidak berhasil
milik masyarakat maupun pemerintah. Dalam mengatasi berbagai persoalan, tidak
jarang di antara mereka yang frustasi, stres, depresi lalu mereka memilih jalan pintas
(instan), seperti bunuh diri, membunuh orang lain bahkan ibu kandungnya sendiri,
tindakan kriminal, dan tindakan negatif lainnya yang mencerminkan kepribadian
masyarakat yang sedang sakit.
Kondisi masyarakat tersebut merupakan dampak reformasi dan globalisasi.
Selain itu hal ini terjadi akibat hak asasi manusia (HAM) yang ditafsirkan oleh
sebagian masyarakat sebagai era ”kebebasan”. Seperti dikemukakan Sularto
(Kompas, 21 Juli 2008), ”globalisasi dan neoliberalisme jangan dijadikan kambing
hitam. Kondisi sakit akut parah ini disebabkan antara lain oleh demokratisasi
pascareformasi yang terlanjur diartikan serba boleh dan saling berebut menang”.
Sedangkan Hasyim Muzadi sebagai salah seorang tokoh masyarakat (ulama)
menyatakan bahwa ”Sebab utama bangsa ini terpuruk, karena manusia di Indonesia
tidak lagi memiliki rasa takut kepada Allah SWT, sebagai bangsa yang beragama
Islam terbesar di dunia” (Republika, 7 Oktober 2008). Hilangnya rasa takut kepada
Allah mengakibatkan hilangnya rasa malu dan menghalalkan segala cara.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ”Idzā lam tastahi, fashna’ mā syi’ta” artinya:
”Jika kamu tidak punya lagi rasa malu, maka berbuatlah semaumu” (H.R Bukhari).
Demikian juga, sikap mahasiswa/siswa di beberapa kampus/sekolah dalam
mengatasi berbagai masalah atau menyampaikan aspirasinya, mereka lebih suka
berunjuk rasa daripada bermusyawarah. Pernyataan kebebasan berpendapat dengan
mengarah pada perbuatan destruktif/anarkis. Tawuran antar kelompok yang pro dan
kontra dan menjalar ke kampus/sekolah lain dan berakibat lebih fatal. Sebenarnya
mereka mengetahui bahwa berdemo itu banyak menyita waktu belajar dan
mengganggu ketenangan, baik di kampus/sekolah maupun lingkungan masyarakat
sekitarnya.
Perbuatan negatif lainnya yang mencemari dan merusak kepribadian
mahasiswa/siswa seperti sikap tidak jujur, kebiasaan buruk (nyontek), merokok di
sembarang tempat, kurang menghargai waktu, tidak disiplin, berkata kasar, saling
memanggil nama yang tidak pantas, laki-laki berperilaku seperti wanita, hilangnya
rasa hormat/tawadu’ terhadap guru/dosen, tindak kekerasan (sadisme), terjerat
jaringan narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, dan tindak kriminalitas.
Sikap dan perilaku di kalangan para pelajar, ketika mereka menerima
pengumuman kelulusan hasil ujian negara, dengan luapan kegembiraan yang
berlebihan, mereka lakukan hal-hal yang tidak wajar dan mubazir seperti
mencoret-coret baju seragam sekolah, mewarna-warni rambut dan wajah mereka. Mereka
berarak keliling kota mengganggu ketertiban lalu lintas dan ketertiban umum,
melanggar norma sopan santun kehidupan bermasyarakat dan aturan agama.
Perilaku para mahasiswa/siswa tersebut mencerminkan bangsa yang telah
kehilangan jati dirinya. Bukan lagi bangsa yang patut diteladani, sebagai bangsa yang
bermoral, berakhlak mulia, dan bermartabat. Padahal, di masa-masa silam masyarakat
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun, cinta kedamaian, suka
Kondisi bangsa yang mencemaskan dan membahayakan menjadikan bangsa
tidak punya masa depan. Apakah mungkin bangsa ini bisa bangkit kembali menjadi
bangsa yang hidup tenang, istiqamah, berwibawa, adil makmur wa Robbun ghofur
(diridhoi Tuhan) di tengah peradaban bangsa-bangsa di dunia seperti yang
dicita-citakan para pendiri/perintis kemerdekaan dahulu? Jawabannya ada pada diri kita
sendiri. Sebagaimana firman Allah swt: ”Innallaha la yughoyyiru ma biqaumin, hatta
yughoyyiru ma bianfusihim”. (Q.S Al Ra’du (13): 11), artinya: ”Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum/bangsa, sebelum mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri”.
Betapa tingginya nilai moral/akhlak bagi suatu bangsa, Syauqy (Al Iskandari
et al, 1954: 112), seorang penyair Arab berkata: ”Wa innamā al-umamu al-akhlāqu
mā baqiyat. Fain humu dzahabat, akhlāquhum dzahabu. Wa laisa bi-’āmirin bunyānu
qaomin. Idzā akhlāquhum kanat khoroba”, artinya ”Sesungguhnya tegak bangsa
karena budi-bahasa (akhlak). Jika rusak budi-bahasa, maka runtuhlah bangsa. Mana
bisa membangun bangsa sejahtera, jika akhlak mereka rusak binasa”.
Pada hakekatnya krisis nilai-moral-akhlak yang menimpa bangsa ini adalah
krisis hati nurani, krisis sumber daya insani, krisis kemanusiaan yang berpribadi
retak (split personality) yang amat berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan
karena perilaku manusia amat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Peran
pendidikan moral-akhlak sebagai suatu wahana dalam mentranformasikan
nilai-nilai luhur, baik dalam konteks individual maupun kehidupan berbangsa menjadi
Seperti telah diketahui bahwa kehadiran manusia di dunia ini sebagai mahluk
yang dimuliakan Tuhan. Melihat kondisi bangsa seperti ini, jika dibiarkan, tidak
segera ditanggulangi, diprediksi bisa mengancam keselamatan dan keutuhan bangsa,
khususnya generasi muda yang akan meneruskan dan menghadapi kehidupan masa
depan, era global yang lebih kompleks dan kompetitif. Penyebab krisis
nilai-moral-akhlak ini diasumsikan antara lain karena terpicu oleh krisis ekonomi yang
berkepanjangan yang semakin menghimpit kehidupan masyarakat, kemudian memicu
krisis-krisis lainnya secara multidimensional. Selain itu, terjadi pula multibencana
dan musibah yang menimpa kehidupan bangsa ini baik karena faktor alam maupun
manusia. Akibatnya bangsa ini menjadi bangsa yang terpuruk, miskin nilai, nyaris
kehilangan arah dan cenderung pada kehidupan free value (bebas nilai).
Sebagaimana sabda Nabi SAW: ”Kāda al-faqru an yakūna kufron”, artinya:
”Kefakiran/kemiskinan bisa mendekatkan pada kekufuran” (HAMKA, juz 17, 1982:
45). Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa kemiskinan bisa memicu pada tindak
kejahatan karena kehidupan orang tersebut dalam keadaan tidak mampu yang
menyebabkan imannya jadi luntur.
Ditinjau secara kronologis faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya
ketahanan mental dan nilai-moral-akhlak bangsa Indonesia ini diprediksi karena
hal-hal berikut:
1. Kesalahan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam menyiapkan
generasi muda bangsa. Seperti dikemukakan Maman Rachman (Abdul
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara simultan dan
seimbang. Dunia pendidikan cenderung meremehkan mata pelajaran yang
berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Di sisi lain, tidak dipungkiri
bahwa pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa dalam pelaksanaan
pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif dari pada
aspek afektif dan psikomotor. Pendidikan nilai belum secara total mengukur
sosok utuh pribadi siswa.
Demikian pula menurut Abdul Hamid (2000) bahwa
Selama ini pendekatan hasil pendidikan lebih mengutamakan pada nilai-nilai kognisi yang teramati saja. Sedangkan transformasi nilai moral, pembinaan dan pengembangan kepribadian siswa yang justru penting bagi hubungan sosial, baik dalam kontek individual maupun bermasyarakat dan bernegara, kurang mendapat perhatian serius.
Jika menilik porsi waktu pembelajaran dalam kurikulum lama (1975), untuk
Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), khususnya Pendidikan Agama (Islam)
secara jelas bertujuan membina dan mengembangkan keimanan, ketakwaan,
akhlak mulia serta pembinaan kepribadian peserta didik, alokasi waktunya
sangat tidak memadai. Bagi mahasiswa program S1 selama masa studi
delapan semester (4 tahun), mereka hanya memperoleh pendidikan agama
sebanyak dua sks. Maka untuk memenuhi mata kuliah Seminar Pendidikan
Agama (SPAI) dalam mengembangkan wawasan keagamaan, ketajaman
emosional spritual dan bimbingan praktek ibadah, lazimnya diambil dari porsi
mata kuliah muatan lokal (mulok) atau mata kuliah pilihan lain dengan materi
pendidikan nasional yang begitu tinggi berbobot yaitu ”membangun manusia
Indonesia seutuhnya” dapat dicapai secara optimal hanya dengan bahan materi
dan alokasi waktu yang sangat minim, tidak seimbang dengan porsi mata
kuliah lainnya yang berkaitan dengan pengembangan kecerdasan intelektual.
Hal lain menunjukkan tidak adanya kesungguhan, ketekunan dan kedisiplinan
dari sebagian mahasiswa/siswa dalam proses pembelajaran. Mereka
tidak/belum terbiasa menekuni cara-cara belajar yang baik, bagaimana agar
studi mereka berhasil. Sebagian siswa hanya mau belajar sekedar untuk
mengejar nilai angka kelulusan ujian (Ujian Negara). Sebab itu, pelaksanaan
ujian, mahasiswa/siswa sering berbuat tidak jujur. Jika ada peluang mereka
cenderung melakukan ”kerja sama”, melihat catatan (nyontek), perjokian dan
menggunakan alat elektronik canggih yang bisa mengakses jawaban soal-soal
ujian. Sikap ini menunjukkan adanya gejala ketidaksiapan mereka, sehingga
timbul keraguan dan tidak percaya diri akan kemampuan yang mereka miliki.
Mereka tidak belajar secara sungguh-sungguh dengan persiapan yang matang.
Mereka ingin mendapatkan sesuatu yang instan dan tidak mau bersusah
payah. Besarnya minat para siswa untuk mengikuti kursus atau bimbingan
belajar di saat-saat menjelang pelaksanaan ujian negara dengan suatu harapan
agar mereka mampu menjawab soal-soal ujian. Kondisi seperti itu
menunjukkan bahwa angka kelulusan semata-mata merupakan target utama
dalam pembelajaran, bukannya ilmu pengetahuan yang harus mereka kuasai
Salah satu dampak negatif dari proses pembelajaran yang hanya
mementingkan nilai semu tersebut, maka terjadilah kasus di beberapa sekolah
di salah satu daerah di Jawa Barat. Mereka merekayasa nilai hasil Ujian
Negara dengan angka kelulusan siswa 100 %, padahal bukan hasil yang
sebenarnya (nilai murni). Hal itu bisa terjadi karena keinginan keras yang
dikehendaki oleh pimpinan daerah tersebut (Pikiran Rakyat, 15 Januari 2007).
Kasus-kasus lain seperti pengawas yang memberikan kunci jawaban ujian
pada kandidat. Maraknya ijazah ”aspal” asli tapi palsu, copy paste suatu karya
ilmiah dan kasus-kasus kecurangan lainnya yang menyimpang dari
nilai-moral-akhlak mulia (Makmun,1999: 9). Kasus-kasus tersebut menunjukkan
bahwa pencapaian nilai kognisi lebih dipentingkan dari pada nilai
pembentukan sikap yang tercermin dalam kepribadian utuh dan berarti pula
telah menyimpang jauh dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Kondisi
seperti ini mengisyaratkan pula sebagai kegagalan atau ketidakberhasilan
Pendidikan Nilai-Moral Akhlak di negeri ini.
2. Dampak kebijakan politik ”Etis” penjajah. Di masa pra-kemerdekaan,
pemerintah kolonial Belanda secara sengaja selalu berusaha menjauhkan
(memisahkan) agama (Islam) sebagai basis/sumber nilai-moral-akhlak dari
kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.
Pemerintah Kolonial Belanda menganggap bahwa Islam sebagai ajaran yang
selama pemerintahan Belanda maupun masa pendudukan Jepang, pendidikan
agama (Islam) tidak diajarkan di sekolah-sekolah umum negeri.
Untuk mempercepat maksud tersebut, Belanda melancarkan politik ”Etis”
dengan tujuan ”De-Islamisasi” (pendangkalan/pemurtadan) dan
”Westernisasi” (pem-Barat-an/ala Barat) sebagai sublimasi ”Kristenisasi”
terhadap keyakinan sebagian masyarakat Indonesia. Seperti dikemukakan
Husein (1969: 7) menukil pidato Ratu Belanda (1901):
Als Christelijke in Nederland verplicht in den Indischen Archipel de rechtpositie der Indische Christenen beter te regelen,van de Christelijke zanding op vaster voet steun te verleenen, en geheel het regeringbeleid te doordringen van het besef, dat Nederland tegen over de bevolking dezer geweeste een zedelijke roeping heeft te vervullen
Arti/terjemahnya:
Sebagai negara Kristen, Pemerintah Belanda berkewajiban mengatur lebih baik kedudukan hukum rakyat Kristen yang berada di Kepulauan Hindia Belanda (Indonesia), memperkuat zending Kristen, meneruskan kebijaksanaan Pemerintah tentang keinsafan bahwa Pemerintah Belanda harus mengisi panggilan moral terhadap negeri jajahan ini
Atas dasar kebijakan politik tersebut, Belanda berhasil memecah masyarakat
Indonesia dalam kelompok Kristen, kaum “abangan” di satu sisi dan kaum
“santri” di sisi lain. Demikian juga dengan politik Devide et Impera, Belanda
berhasil memperlebar dan menyuburkan perbedaan kebihnekaan bangsa
Indonesia. Dampak dari kebijakan tersebut masih dirasakan pengaruhnya
baik di masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, karena sebagian
masyarakat beranggapan bahwa semua yang datang dari Barat adalah baik.
sebagian masyarakat Indonesia yang merasa rendah diri (hina/malu), jika
berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia atau bahasa ibu, cara beradat istiadat
dan berbudaya sebagai orang ”timur/pribumi”, seperti dalam menampilkan
nilai dan pesan moral kesenian daerah, mengkonsumsi jenis
makanan/minuman dan berbusana yang sesuai adat ketimuran (muslim).
3. Sekularisasi ajaran agama (Islam). Di masa pemerintahan Orde Lama, sejak
pascakemerdekaan (1945) hingga berakhirnya pemerintahan presiden pertama
(1965), bahwa fokus tujuan pendidikan (agama) lebih diorientasikan bagi
kepentingan politik penguasa yang cenderung mengarah pada sekularisme.
Seperti terlihat pada Undang-undang nomor 4 tahun 1950 dalam
penjelasannya menunjukkan bahwa Pendidikan Agama dalam sistem
Pendidikan Nasional berstatus; a. sebagai mata pelajaran elektif (pilihan), b.
murid-murid dewasa boleh menentukan apakah ikut atau tidaknya dalam
pelajaran agama, c. sifat dan jam pelajaran agama disesuaikan dengan jenis
sekolah, d. pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas bagi siswa.
Suatu hal yang ironis, bagaimana moral-akhlak bangsa dapat dibina dan
dikembangkan dengan baik, jika sumbernya sendiri (Islam) diangggap sebagai
ajaran yang tidak penting atau sebagai ”anak bawang”.
Demikian pula pada tahun 1965, Presiden RI mengeluarkan keputusan
(Kepres) nomor 145, tentang dasar dan tujuan pendidikan yang sangat
dipengaruhi oleh politik NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis)
nilai moral agama dengan moral nasional/internasional yang tidak jelas
rumusannya. (Natsir, dalam Al- Muslimun, No. 207/ XVlll,1987: 58-59)
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka terdapat kecenderungan kuat
adanya upaya sekularisasi dalam pendidikan agama. Karena para siswa diberi
kebebasan boleh memilih belajar atau tidak belajar agama sama saja,
nonkredit dan tidak turut menentukan kenaikan kelas (ujian). Pada masa
pemerintahan Orde Lama juga ada pembinaan watak bangsa melalui “Nation
and Character building” (karakter moral bangsa), namun hanya sebatas
wacana yang dikenal dengan politik ”mercusuar” suatu kecenderungan untuk
mencari popularitas belaka.
4. Di masa pemerintahan Orde Baru, Pendidikan Nilai dengan bahan materi
nilai-nilai moral bangsa yang diajarkan guna membentuk, membina dan
mengembangkan karakter/kepribadian bangsa. Sayangnya ajaran tersebut
belum diaplikasikan sepenuhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
baru sekedar wacana pengkajian, penataran, bedah masalah, diskusi, simulasi
dan laporan karya tulis. Sosialisasi nilai-nilai moral agama (Islam) dalam
kehidupan masyarakat selalu dipantau dan dicurigai terutama pada masa
awal-awal pemerintahan. Dampaknya menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa
hingga saat ini, karena masih banyak terjadi penyimpangan seperti
merebaknya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), terkoyaknya supremasi
material yang amat merugikan masyarakat serta melumpuhkan perekonomian
negara.
Kondisi buruk seperti itu menunjukkan ketidaksiapan masyarakat dalam
menghadapi era reformasi (keterbukaan) akibat pembodohan, hilangnya
ketajaman berpikir, lunturnya demokrasi (semu) dan apa yang diperoleh dari
penataran selama ini ”mubadzir” (kurang bermanfaat). Sebagaimana
dikemukakan Sumantri (Pikiran Rakyat, 22 Oktober 2007), ”Pemerintahan
Orde Baru berupaya membangun karakter bangsa yang berjiwa Pancasila
melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Sayangnya dalam praktiknya penataran ini kemudian digunakan untuk
kepentingan elite politik, sehingga mengalami resistensi yang tinggi”.
Selain itu, dewasa ini semakin sulit menemukan figur masyarakat yang
mencerminkan pribadi teladan seperti kepemimpinan Rasulullah SAW dan
sirah (pola hidup) para sahabat untuk dijadikan panutan oleh generasi muda
bangsa Indonesia. Kepemimpinan yang berwibawa, adil, ikhlas, jujur, disiplin,
sederhana, bijak, tanggung jawab dan sifat-sifat terpuji lainnya. Moto
kepemimpinan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara: ”Ing ngarso sungtulodo,
ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, sistem among kerja sama
yang serasi antara pemimpin dan yang dipimpin. Di depan (pemimpin)
menjadi teladan, di belakang (yang dipimpin) turut pula menyukseskan.
Terjadinya kesenjangan dalam kepemimpinan ini, karena generasi muda kita
pada saat itu tidak dipersiapkan secara sungguh-sungguh untuk menjadi
pemimpin sejati, ikhlas, tanpa pamrih seperti keberhasilan Rasulullah SAW
dalam membina para sahabat beliau dengan keteladanan uswah hasanah.
Karena itu cermin kehidupan bangsa Indonesia pada saat ini adalah
merupakan refleksi pewarisan dari kondisi masa lalu.
Pada masa Orde Baru-pun (1978) adanya kecenderungan sekularisasi terhadap
moral para pelajar, terutama di sekolah-sekolah swasta (Islam) dengan
diberlakukannya kebijakan pemerintah (Mendikbud) yaitu larangan
meliburkan para siswa di bulan Ramadhan dengan sanksi subsidinya akan
ditinjau kembali (dicabut). Sejak dahulu setiap bulan Ramadhan hampir di
semua sekolah menyelenggarakan banyak program yang ditawarkan kepada
para siswa, terutama dalam pembinaan praktek keagamaan, agar mereka
mengikutinya, seperti pesantren kilat, baca Al-Qur’an intensif, lomba dakwah
dan puisi serta kegiatan lainnya guna meningkatkan keimanan, ketakwaan
dan pembinaan akhlak para siswa. Masa libur Ramadhan itu bukan untuk
bermalas-malas, tetapi merupakan kesempatan kerja sama antara pihak
sekolah (guru/pembimbing) dan orang tua, dimana anak-anak mereka dituntun
dan dibina untuk mendalami ilmu agama sebagai basis nilai, agar mereka
memiliki kepribadian yang mantap (utuh). Menurut M. Natsir (Al Muslimun,
No. 207 Thn. XVIII, 1987: 62), kebijakan pemerintah secara sepihak yang
diselipkan melalui peraturan karena menurut pemahaman menteri pada saat
itu, negara RI ini adalah negara ”Laique”, yakni negara sekuler.
5. Bisnis media massa yang disalahfungsikan. Seperti dinyatakan Tisna
Amidjaja D. (1980: 68), bahwa dalam kehidupan moderen sekarang ini telah
terjadi ”complex bussiness-science-technology”. Selain menuju
super-efisiensi, dapat menimbulkan pula gejala dehumanisasi seperti krisis
kejiwaan, krisis kejujuran, lenyapnya sense of vocation (kesempatan kerja)
pada para remaja dan materialis oriented (serba materialis), lebih
mengutamakan kepentingan pribadi, keduniawian dan jauh dari tujuan akhirat.
Bergulirnya reformasi di negeri ini yang termotivasi pula oleh lajunya era
globalisasi, menjadikan kehidupan masyarakat dunia ini seakan-akan telah
menyatu, tidak ada lagi batas wilayah/negara,saling ketergantungan yang
salah satu cirinya ditandai dengan pesatnya teknologi canggih dan derasnya
arus informasi. Begitu mudahnya komunikasi antar individu maupun
kelompok masyarakat dan bangsa. Merebaknya teknologi informasi canggih
ini, selain memberikan kemudahan dapat pula menimbulkan gejala adanya
kristalisasi ragam nilai yang mengglobal sebagai medan magnet yang saling
mengimbas dan saling mempengaruhi. Memang hasil teknologi mutakhir
media audio visual elektronik ini amat membantu bagi kemudahan proses
pembelajaran, namun di sisi lain dapat menimbulkan dampak negatif, karena
bisa disalahfungsikan oleh para pengguna komoditas media massa yang tidak
yang memuat kisah-kisah fiktif, cerita dunia hitam, gambar, foto adegan
vulgar dan tontonan-tontonan lainnya yang tidak mendidik yang bisa
mempercepat hancurnya nilai-moral-akhlak masyarakat dan kepribadian anak
bangsa (mahasiswa/pelajar) sebagai dampak penyebaran virus-virus (bakteri)
yang menggerogoti rohani manusia yang ditebarkan oleh iblis (syetan).
Berkaitan dengan bahaya penyalahgunaan media massa ini, seperti dinyatakan
Meutia Hatta, Menteri Negara Pemberdayaan Wanita (Pikiran Rakyat, 20
Oktober 2008) tentang pornografi: ”Kejahatan seksual sudah merajalela tidak
bisa terbendung lagi. Jika anak kecil sudah bisa menonton film atau gambar
porno, mereka akan selalu memikirkan apa yang dilihatnya, sehingga mereka
tidak punya lagi semangat belajar”. Data-data lain mengenai bahaya
pornografi seperti diungkapkan dari hasil penelitian Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) tahun 2008 yang dilakukan di dua belas kota besar
dengan responden anak remaja berusia 12-18 tahun tentang menurunnya
moral akhlak mereka menunjukkan bahwa: 97% anak Indonesia telah
menonton film dewasa, 33% melakukan kegiatan seksual dan 21% anak di
bawah usia 18 tahun melakukan aborsi. (Republika, 22 Oktober 2008).
Sekaitan dengan rendahnya ketahanan mental kepribadian anak remaja awal
abad ini, Djawad Dahlan (2006) menyatakan bahwa abad 21 adalah abad
”kehilangan anak”.
Demikian juga hasil penilaian Komisi Penyiaran Indonesia selama 1,5 tahun
melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3-SPS). Pelanggaran tayangan tersebut terutama karena mengandung unsur
kekerasan, mistik, pornografi dan memberi contoh buruk/negatif kepada anak.
(Kompas, 4 Juni 2008). Survey UNICEF (2007), anak Indonesia menonton
TV rata-rata lima jam sehari atau 30-35 jam seminggu atau 1.560-1.820 jam
per tahun dengan 220 hari efektif belajar dalam setahun (Kompas, 27 April
2009).
Menyikapi data-data hasil dari beberapa penelitian di atas menunjukkan
bahwa betapa bahayanya penyalahgunaan media massa bagi
nilai-moral-akhlak bangsa, khususnya bagi generasi muda (pelajar/mahasiswa). Sebab itu
kebebasan media massa yang tidak diatur dengan undang-undang dan sanksi
yang memadai akan lebih mempercepat keterpurukan dan kehancuran bangsa
ini.
6. Lemahnya pendidikan keluarga dan tanggung jawab orang tua. Keluarga
merupakan lembaga/institusi pendidikan yang pertama dan utama dalam
pembinaan moral-akhlak anak. Seyogianya orang tua mendidik anak-anak
mereka dengan menanamkan nilai-nilai moral keagamaan dan nilai-nilai luhur
budaya bangsa. Ketika anak baru lahir segera diperkenalkan dengan bisikan
kalimat thayyibah (baik), dilantunkan adzan dan iqamah di kedua telinganya.
Para orang tua harus mencontohkan dan membimbing anak-anak mereka
dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti mengamalkan
berusia dini, masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa dengan sentuhan kasih
sayang, akrab, sabar, harmonis, saling menyintai antar anggota keluarga dan
penuh tanggung jawab. Besarnya tanggung jawab orang tua terhadap
pendidikan anaknya, Rasulullah SAW bersabda: ”Kullu maulūdin yūladu ’alā
al-fitrah, fainnamā abawāhu yuhawwidānihī aw yunassirānihī aw
yumajjisānihī”. Artinya ”Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah,
maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau
Nasrani atau Majusi ” (H.R Bukhari dan Muslim).
Keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap perilaku
kepribadian anak sepanjang hayatnya dan berpengaruh juga bagi anggota
lainnya di lingkungan keluarga tersebut. Peribahasa mengatakan: ”Buah jatuh
tidak jauh dari pohonnya”. Oleh sebab itu suasana keluarga yang tidak
kondusif (lost/broken family) akan membekas (mirror image) pada jiwa anak
dan akan terbaca kembali dalam memori selama hidupnya seperti halnya
pembinaan keluarga yang baik/sukses akan menerap pada jiwa anak dalam
pengalaman hidupnya, sehingga mereka memiliki pribadi yang mantap dan
menjadi anggota masyarakat yang baik.
Krisis ekonomi saat ini merupakan salah satu faktor yang memicu rapuhnya
kehidupan keluarga dengan suasana yang selalu tegang, tidak ada rasa
kedamaian, individualistik hedonis dan egois,sehingga banyak orang tua yang
lalai terhadap masa depan pendidikan anak-anak mereka. Orang tua
Allah SWT atas kepercayaan yang dibebankan kepada mereka. Firman Allah
SWT: ”Yā ayyuhalladzīna āmanū qū anfusakum wa ahlīkum nāron” (Q.S At
Tahrim (66): 6), artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Kelalaian, kesibukan dan longgarnya pengawasan orang tua terhadap
pergaulan anak, seperti dengan siapa dia berteman, makanan/minuman yang
dikonsumsi, buku-buku bacaan, waktu pulang dari sekolah, tontonan acara
televisi, narkoba, geng motor dan lain sebagainya, dapat mengakibatkan
terimbasnya anak-anak mereka pada perbuatan-perbuatan yang negatif.
Pemantuan dan perawatan ini merupakan hal yang amat penting terhadap
proses perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Menurunnya moral
akhlak para remaja yang sudah hampir merata ini salah satu penyebabnya
karena faktor kesibukan, kurangnya kepedulian dan perhatian orang tua dalam
menanamkan nilai-moral-akhlak terhadap anak-anak mereka.
Akhir-akhir ini timbul gejala/kasus dalam kehidupan masyarakat kita yang
kurang beruntung di suatu daerah di Jawa Barat. Guna menopang ekonomi
keluarga, maka ada orang tua yang rela membiarkan anaknya mencari nafkah
dengan melakukan perbuatan asusila di lembah hitam. Berapa banyak orang
tua yang sudah tidak peduli lagi terhadap keselamatan dan masa depan
anak-anak mereka. Akibatnya terjadi kasus anak-anak yang membunuh ibu kandungnya
sendiri karena permintaannya tidak dipenuhi, anak yang bunuh diri karena
membuat mereka telah kehilangan kendali arah hidup, rasa malu, terhina dan
perasaan dosa. Bukti-bukti tersebut menunjukkan adanya gejala
ketidakmampuan atau kegagalan orang tua terhadap pembinaan
nilai-moral-akhlak anak-anak mereka dalam kehidupan keluarga yang berdampak pula
dalam kehidupan masyarakat luas.
7. Suasana pembelajaran di sekolah yang kurang kondusif. Sarana ibadah di
sekolah belum difungsikan secara maksimal. Praktek pembinaan keagamaan
siswa di sebagian besar sekolah sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas masih terabaikan, belum dilaksanakan secara
sungguh-sungguh. Dalam kehidupan beragama setiap sekolah baik negeri maupun
swasta, seyogianya menyediakan tempat ibadah yang memadai dan strategis,
seperti masjid atau mushala beserta sarana tempat bersuci, sehingga para
siswa dengan mudah dapat melaksanakan shalat berjamaah setiap waktu.
Pelaksanaan shalat berjamaah di sekolah ini amat penting bagi pembinaan
mental, spiritual dan kehidupan sosial, minimal selama siswa berada di
sekolah pada waktu siang, sore hari dan momen tertentu. Demikian juga
guru-guru sebagai pendidik harus menjadi teladan bagi mereka para siswa,
sehingga pada waktu-waktu shalat berjamaah dilaksanakan, baik pimpinan
sekolah, guru-guru maupun para karyawan, mereka beribadah bersama para
siswa tersebut. Kegiatan yang dilakukan siswa terutama dalam pembinaan
keagamaan (kepribadian) di sekolah akan terkesan dan terpolakan dalam
dan akhlak mulia seyogianya bukanlah monopoli tugas guru atau dosen agama
semata, tetapi kewajiban seluruh guru/dosen bidang studi termasuk para
karyawan di sekolah tersebut.
Selain berfungsi sebagai sarana ibadah, masjid dan mushala dapat
dimanfaatkan juga sebagai arena pentas acara-acara keagamaan dan ibadah
sosial lainnya seperti zikir/doa bersama, latihan berpidato (kutbah) yang baik,
pembacaan puisi (keagamaan), pembagian santunan, praktik penyembelihan
hewan qurban dan bentuk ibadah lainnya yang dilaksanakan oleh para siswa,
warga sekolah dan orang tua (masyarakat). Sebagaimana Rasul SAW
memanfaatkan halaman mesjid untuk membina generasi muda para sahabat
dengan mengadakan perlombaan ketangkasan berkuda, memanah, berlari,
mencontohkan membaca syair yang baik dan keterampilan lainnya
(An-Nahlawi, 1989: 266).
Karena itu fungsi mesjid dan mushala di sekolah merupakan laboratorium
untuk praktikum dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat seperti
halnya fungsi laboratorium bahasa, ilmu kimia, biologi dan ilmu-ilmu lainnya.
Program sekolah seharusnya mampu memadukan antara konsep/teori
pendidikan nilai kehidupan beragama dengan praktek pengamalan, baik dalam
suasana belajar di kelas maupun lingkungan sekolah. Mental kerohanian para
siswa bagaikan tanaman yang harus dipupuk, dibina dan dirawat sejak usia
dini setiap saat, jika mereka diharapkan menjadi bibit-bibit unggul (khoiru
di masa mendatang. Sebagaimana peribahasa Arab menyatakan: ”Bidzru al-
yaumi wa tsamaru al- ghadi”, artinya : ”Hari ini berupa benih, esok-lusa
menjadi buah”.
Berdasarkan pada prediksi/asumsi tersebut, maka salah satu upaya untuk
menyelamatkan dan mengembalikan martabat bangsa Indonesia khususnya generasi
muda (mahasiswa/pelajar), transformasi penyampaian pendidikan nilai-akhlak-moral
perlu direvitalisasi kembali. Tujuan pendidikan nilai-akhlak-moral yang pada masa
lalu lebih cenderung sebatas pencapaian nilai kognisi, pengetahuan dan keilmuan
semata, maka harus diupayakan pendidikan akhlak yang menyentuh kalbu, hati
nurani dan kesadaran pribadi yang mendalam pada peserta didik. Untuk itu
diperlukan kolaborasi, terpadu antara lembaga pendidikan formal (sekolah),
pendidikan informal (keluarga) dan pendidikan nonformal (masyarakat). Perlunya
perubahan tersebut sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah SAW: ”Addibu
auladakum fainnahum makhluquna lizamanin ghoiri zamanikum”, artinya: ”Didiklah
anak-anakmu, karena sesungguhnya mereka itu (generasi) yang hidup pada zaman
yang berbeda dengan zamanmu” (Athiyah Al-Abrasyi, 1996: 33).
Untuk merevitalisasi pendidikan nilai-akhlak-moral seperti yang dijelaskan di
atas, proses pendidikan dapat melibatkan aktivitas berdimensi spriritual. Proses
pendidikan berdimensi spiritual itu dilakukan dengan pendekatan zikir. Seperti yang
disampaikan Sobarna (Jurnal Mimbar, No. 4/XV, 1999: 19) bahwa ”Proses
pendidikan selama ini baru menggunakan dua pendekatan logis dan empiris. Dengan
melibatkan dimensi lain yang selama ini belum banyak terjamah yaitu dimensi
spiritual dengan dzikir sebagai pendekatannya”.
Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya merupakan lembaga pendidikan
nilai-moral-akhlak yang selama ini telah menjadikan zikir sebagai pendekatannya.
Zikir adalah metode utama membina dan mengembangkan pendidikan dengan
pendekatan spiritual (zikir dan doa). Dengan zikir dan doa, diharapkan tujuan
pendidikan nilai mengembangkan manusia berakhlak karimah dan berjiwa sehat
seutuhnya (kaffah) tercapai.
Zikir dan doa adalah aktivitas penting bagi muslim. Zikir merupakan suatu
ibadah utama yang diperintahkan Tuhan dalam jumlah yang banyak. Kata zikir tidak
kurang dari 283 kali disebut dalam Al Qur’an yang bertebar dalam berbagai ayat
(surat). Makna zikir adalah ingatan. Dalam hal ini, ada dua tingkatan ingatan yaitu
tingkat kesadaran mental dan tingkat kesadaran eksistensial. Zikir sebagai upaya
untuk meningkatkan ingatan kepada Allah SWT dari tingkat kesadaran mental
menuju kesadaran eksistensial. Menurut Shihab (2006: 175-178), Setiap zikir kendati
redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati dan rasa butuh kepada
Allah yang selalu menghiasi pezikir, menjadikan zikir mengandung doa. Jadi doa
adalah bagian dari zikir. Selanjutnya mengenai doa, Shihab menambahkan,
Berzikir dan berdo’a merupakan dua kegiatan ibadah yang saling berkorelasi
dan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hadits Nabi SAW: ”Doa itu
otaknya ibadah” (H.R Tirmidzi). ”Tak ada sesuatu yang mulia di sisi Allah yang
dapat membandingi doa” (H.R Ibnu Majah dan Al Hakim). ”Tidak menolak takdir
selain doa dan tidak menambah umur selain kebajikan (H.R Tirmidzi). ”Doa itu
bermanfaat untuk apa-apa yang telah terjadi dan apa-apa yang belum terjadi, karena
itu berdoalah wahai hamba-hamba Allah” (H.R Hakim dan Ahmad).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berupaya untuk menggali mutiara
nilai-nilai zikir dan doa dalam membina dan mengembangkan kepribadian kaffah seperti
yang dilakukan para mursyid terhadap murid-murid di Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya. Diharapkan hal itu dapat dimanfaatkan sebagai pedoman model
pembelajaran bagi para guru/pendidik dan siswa, khususnya pengajar Pendidikan
Nilai Agama (Islam).
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada uraian di atas, penulis melakukan penelitian ini di Pondok
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, salah satu pesantren yang membina dan
mengembangkan nilai-nilai zikir dan doa. Masalah penelitian dijabarkan ke dalam
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana motif murid sebagai pezikir Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah?
3. Bagaimana manfaat zikir dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
pandangan pezikir?
C. Tujuan Penelitian.
1. Tujuan Umum
Untuk memperoleh gambaran bahwa ibadah zikir dan doa yang diamalkan
secara tulus dan istiqamah akan memberi kontribusi positif terhadap perilaku
penzikir sebagai insan kamil dan mengarah pada kepribadian kaffah.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian yaitu untuk menjawab:
1. Menggali motif dan latar keterlibatan murid sebagai pezikir Tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah
2. Menguraikan praktek amaliah pezikir Tarekat Qadiriyah
Naqsyabandiyah
3. Menggali manfaat zikir dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan
BAB II
PENDIDIKAN, KEPRIBADIAN KAFFAH, ZIKIR DAN DOA, SERTA TAREKAT
A. Pendidikan
1. Konsepsi Pendidikan
Setiap manusia lahir dalam keadaan lemah, tidak berdaya, tidak tahu informasi,
kemudian Allah SWT memberinya potensi pendengaran (as sam’u), penglihatan (al
abshar) dan akal pikiran (al af’idah), agar manusia berterima kasih (Q.S an Nahl
(16): 78). Berbeda dengan hewan, begitu lahir pada umumnya telah memiliki
kemampuan untuk hidup mandiri.
Untuk pemeliharaan, perawatan dan pengembangan potensi tersebut, anak
manusia membutuhkan bantuan, bimbingan, pelatihan dan keteladanan (kebiasaan)
dari orang dewasa, agar potensi tersebut tumbuh berkembang secara fungsional dan
optimal. Ciri kedewasaan secara normatif didasarkan pada individualitas, sosialitas
dan moralitas. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya akan menjadi manusia, dapat
hidup sebagai manusia, melalui pendidikan. Sebagai realisasinya diperlukan suatu
sistem/konsep pendidikan yang terencana, terarah dan sistimatis. Dalam skala
nasional konsep tersebut secara sistimatis seperti tertuang dalam Undang-undang
Pendidikan Nasional.
Seiring dengan retorika kehidupan bangsa Indonesia dari masa ke masa,
tiga kali sejak pasca kemerdekaan (1952, 1989 dan 2003). Perubahan rumusan ini
bertujuan untuk lebih memberi arahan akan perbaikan dan pengembangan pemikiran,
guna menemukan jati diri bangsa (Makmun, 2004: 8). Penyempurnaan paradigma
tersebut nampak pada dua rumusan Undang-undang Pendidikan Nasional (UUSPN)
nomor 2 tahun 1998 dan nomor 20 tahun 2003 yang berbunyi ”Pendidikan adalah
usaha sadar menyiapkan peserta didik, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.
Sedangkan konsep pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003, Bab I, pasal 1, ayat 1 :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Ditinjau dari fungsi dan tujuannya
Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Kedua rumusan tersebut menunjukkan bahwa hal-hal berikut:
a. Hakikat pendidikan itu sebagai ikhtiar/upaya yang dilakukan generasi tua
(terdahulu) untuk membina dan mendewasakan generasi muda/anak bangsa
melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa, berlangsung dalam lingkungan
keluarga, sekolah dan masyarakat.
b. Pendidikan merupakan upaya membawa peserta didik dari satu keadaan ke
keadaan lain yang lebih baik dalam pengertian yang komprehensif, baik moral
maupun intelektual. Oleh karena itu pendidikan merupakan upaya yang
seharusnya diprioritaskan dalam keseluruhan kehidupan kemanusiaan, jika
tujuan hidup ini agar menjadi lebih baik dari kondisi pada saat ini (Abdul
Hamid, 2001: 1). Seperti sabda Rasul SAW: ”Addabani Robbi faahsana
ta’dibi”, artinya “Tuhanku telah mendidikku, maka dengan pendidikan itu
menjadikan aku orang yang baik”. Karena itu hasil dari proses pendidikan harus
memberi dampak positif kepada pembelajar dari kondisi tidak tahu menjadi
manusia yang memiliki pengetahuan, meningkatkan pengalaman dan
pengamalan, menjadikan ilmunya itu ilmu yang amaliah dan amal ilmiah.
Langeveld M.J (Makmun A.S, 1996: 23) mengemukakan pendidikan yang
berorientasi pedagogis dan andragogis. Pedagogis dikonsepsikan sebagai suatu proses
pendewasaan seseorang untuk menunaikan tugas-tugas hidupnya secara mandiri yang
indikatornya:
- mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara ekonomis, siap berumah tangga : prinsip individualitas;
- memiliki pandangan dan pegangan hidup tertentu serta mampu membuat keputusan normatif secara bertanggung jawab; prinsip moralitas;
Sedangkan pendidikan yang berorientasi andragogik (adult education) berpendirian
bahwa dalam realitasnya, manusia yang telah mencapai dan berada pada tingkat/
kategori dewasa pun pada umumnya masih membutuhkan bimbingan dan bantuan
orang lain dalam hal dan batas tertentu seperti mengembangkan karir, penyesuaian
sosial, pemecahan masalah-masalah pribadi. Maka pada dasarnya pendidikan
merupakan suatu proses interaksi (perjumpaan) antara dua orang (dewasa) atau lebih
dimana yang satu membantu yang lain atau saling membantu dalam rangka
menemukan, memantapkan pandangan hidup dan keterampilan hidup secara lebih
memadai.
Jika proses perjumpaan dilakukan secara terencana, maka dapat melahirkan
pendidikan formal atau non-formal. Tetapi jika peristiwa tersebut terjadi tanpa
direncanakan, namun mempunyai dampak yang serupa, maka dapat disebut
pendidikan informal. Seperti dirumuskan Jarvis (Makmun, 1996), `Planned series of
events, having a humanistic basis, directing toward person’s or person’s learning
and understanding.`
Jumsai (2008: 18) mengemukakan pendapatnya mengenai ada dua jenis
pendidikan lain, yaitu worldy ecucation (pendidikan duniawi) dan educare.
Pendidikan duniawi akan memberikan seseorang pengetahuan-pengetahuan yang
dibutuhkan untuk mencari nafkah dan dapat membantu seseorang menjadi terkenal,
sedangkan educare akan membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan yang laten dari
dalam diri dan akan mengubah seseorang menjadi orang baik. Education berkaitan
Hati nurani berasal dari pikiran super sadar di mana hati nurani akan mendikte
seseorang untuk melakukan tindakan yang benar yang harus dilakukan. Hati nurani
juga akan memberi tahu, mana perbuatan yang baik tanpa dibutuhkan pemikiran atau
diskriminasi. Orang tersebut mengetahuinya begitu saja. Pada tahapan ini siswa
menjadi guru bagi dirinya sendiri dan inilah bentuk belajar yang paling tinggi. Belajar
melampaui jangkauan buku-buku, internet, guru-guru atau sumber pengetahuan
lainnya.
Lebih lanjut, Jumsai mengemukakan ada lima nilai kemanusiaan yaitu
kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa kekerasan yang merupakan
satu kesatuan. Jika satu nilai hilang, maka semua nilai akan hilang. Orang tidak akan
merasakan kedamaian, bila tidak ada cinta kasih. Tanpa kedamaian, kasih sayang,
kebenaran dan kebajikan, maka akan terjadi kekerasan atau violence. Nilai-nilai
tersebut tidak bisa diajarkan, tapi harus dibangkitkan dari dalam diri siswa itu. Telah
menjadi suatu kesalahan di masa lampau, guru-guru mengajarkan moralitas, etika,
nilai-nilai, karakter yang baik, hanya sebagai mata pelajaran. Siswa bisa menghapal
semua itu dan lulus ujian, tetapi mereka gagal dalam menerapkannya dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Nampaknya secara umum sedang terjadi kemerosotan moral.
Transformasi seseorang tidak bisa terjadi hanya melalui pengajaran, tetapi hal itu
dapat dicapai melalui upaya-upaya membangkitkan kesadaran diri (self-realization)
yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.
Tujuan model pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan terpadu untuk membantu
hanya dalam dimensi fisik dan mental, tetapi juga dalam dimensi spiritual. Tujuan
tersebut bisa dimaknai untuk menghasilkan seseorang dengan kepribadian terpadu
yaitu terjadinya keselarasan (keharmonisan) antara 3 H, Head/kepala (pikiran dan
emosi), Heart/hati nurani (aspek spiritual) dan Hands/tangan (tindakan dan
perkataan).
2. Kategori Pendidikan dan Tujuan Pembelajaran
Ditinjau dari programnya menurut P.H Coombs (Sudjana, 2000: 1-2), ada tiga
kategori pendidikan:
a. Pendidikan Formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, berjenjang dan bertingkat dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setarap dengannya termasuk di dalamnya kegiatan studi yang berorientasi akademik dan umum, program spesialis dan latihan yang diselenggarakan dalam waktu yang terus menerus.
b. Pendidikan Nonformal ialah setiap kegatan terorganisasi dan sistematis di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajarnya.
c. Pendidikan Informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia, sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan, permainan, pasar, perpustakaan dan media masa.
Selanjutnya Sudjana mengemukakan bahwa ketiga lembaga pendidikan tersebut
mempunyai fokus tujuan yang berbeda, seperti berikut ini:
a. Pendidikan sekolah, programnya bersifat formal, keluaran utamanya kognisi
b. Pendidikan nonformal, pendidikan di lingkungan masyarakat, ranah utamanya
pada psikomotorik (skill) diikuti ranah kognisi dan afeksi.
c. Pendidikan informal di lingkungan keluarga, fokus keluarannya pada afeksi
diikuti ranah psikomotorik dan kognisi.
Agar memperoleh produk pendidikan secara utuh (total), maka perlu dibina
keterkaitan dan kesinambungan dari setting ketiga institusi/lembaga pendidikan
tersebut. Selain memiliki ranah-ranah tersebut, tujuan utama pendidikan harus
mampu pula menciptakan dan menumbuhkan suasana budaya belajar bagi peserta
didik atau menjadikan manusia pembelajar, sehingga mereka mampu menghadapi
kehidupan masa depan yang penuh tantangan. Aktivitas belajar merupakan nafas dan
pintu gerbang kemajuan suatu bangsa, karena bangsa yang maju dan moderen adalah
bangsa yang berpendidikan. Bangsa yang berpendidikan akan tetap eksis dalam
menghadapi persaingan hidup dengan bangsa lain.
Dalam membudayakan suasana belajar menurut Jauques Delores (UNESCO:
1996) ada empat pilar tujuan pembelajaran:
a. Learning to know, belajar untuk mengetahui dan memahami. Hasil belajar
bukan semata-mata untuk memahami informasi, tapi agar bisa beradaptasi dan
mampu berinteraksi serta berkomunikasi dengan lingkungannya. Mampu
memberi motivasi untuk terus memperoleh ilmu pengetahuan. Seperti kata Al
Ghazali semakin dipelajari ilmu itu semakin banyak yang perlu diketahui,
maka timbul kebiasaan belajar atau tolabul ilmi sepanjang hayat. Menuntut
tentang materi agama, tapi dituntut pula untuk mengamalkannya. Ilmu bukan
hanya semata untuk dibicarakan, tapi untuk diamalkan (Q.S As Shaf (61):
2-3).
b. Learning to do, belajar untuk melakukan apa yang telah dipahami.
Mengimplementasikan ilmu dalam kehidupan, sehingga mampu beradaptasi
dan mengkritisi nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan lainnya.
Mampu mengembangkan kompetensi, baik yang bersifat intelektual maupun
mental spiritual. Sebagaimana firman Allah SWT, ”Sesunguhnya manusia
dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan beramal shaleh serta saling
menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran” (Q.S
Al-’Ashr (103): 3).
c. Learning to be, belajar untuk mengembangkan semua potensi secara optimal
dan utuh (total). Belajar untuk mencapai kemandirian. Mampu mengambil
keputusan sendiri dan bertanggung jawab yang mencerminkan kepemilikan
pribadi utuh/kaffah.
d. Lerning to live together (in peace and harmony), belajar untuk
mengembangkan kemampuan dan kesalehan sosial dengan damai dan
harmonis. Mau bekerja sama dengan orang lain, bersikap toleran dengan tidak
mengorbankan kepribadian yang dimilikinya. Allah SWT menciptakan
manusia bersuku-suku (kabilah), berbangsa untuk saling mengenal dan
Dampak era global yang semakin dirasakan, tak dapat dihindari
keberadannya, terjadi saling ketergantungan hidup antara satu bangsa dengan
masyarakat/bangsa lainnya. Jika sikap egoisme yang ditonjolkan dan bukannya
kebersamaan, ukhuwwah insaniyah seperti dalam menghadapi krisis moral, masalah
global warming, krisis ekonomi dan aspek-aspek kehidupan lainnya, maka manusia
akan semakin jauh dari moralitas dan nilai-nilai akhlak karimah.
3. Pendidikan Umum/Nilai
Pendidikan Umum dimaknai sebagai Pendidikan Nilai-Moral-Norma seperti
dinyatakan Djahiri A.K (1989: 17) bahwa Pendidikan Nilai-Moral-Norma adalah
proses pilihan nilai-nilai, norma-norma, harapan serta proses transformasi, transaksi
dan interaksi seluruh struktur organisme diri dengan lingkungan kehidupan
nilai-moral-norma tersebut dan atau media stimulus terarah, sehingga tercapainya proses
afektual dan internalisasi-personalisasi moral-pilihan tadi ke dalam tatanan
nilai-keyakinan dengan penuh arti, kegunaan serta manusiawi. Nilai moral itu penting bagi
pembentukan totalitas kepribadian seseorang, namun tidak kalah pentingnya
membina, mengembangkan dan meningkatkan affectual-skills yang bersangkutan
dalam kehidupan yang selalu dinamis. Pendidikan nilai, moral, etika, budi pekerti
dalam Pendidikan Agama Islam disebut dengan akhlak karimah (mulia) atau akhlak
mahmudah (terpuji).
Fokus dan arah Pendidikan Umum dalam pembinaan aspek-aspek kepribadian
pendidikan yang mengarah program dan tujuannya untuk membina seluruh aspek
kepribadian siswa secara merata dan umum. Bersesuaian dengan pendapat Dawam
Raharjo (1985) bahwa Pendidikan Umum sebagai ikhtiar Pendidikan Nilai dan
Kepribadian (pembentukan jati diri manusia sebagai mahluk individu, sosial
sekaligus hamba Allah Swt). Pada saat dilahirkan, manusia dibekali dengan
seperangkat potensi yang meliputi kesadaran indrawi, akal dan kesadaran rohani.
Potensi tersebut diwujudkan dalam taksonomi kognitif, afektif dan psikomotorik yang
harus dikembangkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi sebagai Insan Kamil
(kaffah, paripurna).
Berkaitan dengan Pendidikan (Umum), Phenix PH (1964: 6-8)
mengemukakan enam dunia makna sebagai acuan dalam kurikulum: “Six
fundamental patterns of manning emerge from the analysis of the possible distinctive
modes of human understanding. These six patterns may be designated respectively as
symbolics, empirics, esthetics, synoetics, ethics and synoptics”.
Mengutip enam dunia makna yang disampaikan Phenix, Mulyana (2004:
36-38) menerjemahkannya sebagai berikut:
1. Simbolik
2. Empirik
Makna ini terdiri atas ilmu pengetahuan tentang dunia fisik, benda hidup, dan manusia. Ilmu pengetahuan ini menyediakan uraian fakta, kesimpulan, rumusan dan penjelasan teori yang didasarkan pada hasil pengamatan dan uji coba tentang benda, kehidupan, pemikiran, atau masyarakat. Melalui makna ini seseorang dapat menguji kemungkinan-kemungkinan kebenaran empiris yang dikaji berdasarkan bukti-bukti, dikuatkan oleh data tertentu, dan didukung oleh sejumlah analisis tertentu.
3. Estetik
Makna ini terdiri atas sejumlah seni seperti seni musik, seni visual, seni gerak, dan sastra. Makna estetik terkait dengan keindahan tentang sesuatu obyek yang dipersepsi. Pada tingkat yang lebih rendah, sifat makna estetik berlaku subyektif, artinya setiap individu dapat memiliki cita rasa keindahan masing-masing. Namun pada wilayah estetik tingkat tinggi, makna ini berlaku dapat sampai pada keindahan yang hakiki yang semua orang dapat mengakuinya.
4. Sinoetik
Penggunaan istilah sinoetik ini, menurut Phenix, digunakan karena tidak ada konsep lain yang lebih tepat untuk mewakili pemahaman yang hendak dijelaskan. Namun demikian pemahaman dunia makna ini dapat dijelaskan dari pengertian pengetahuan pribadi, hubungan Aku-Tuhan, dan kesadaran-kesadaran yang bersifat langsung. Istilah itu pun sebagai analog untuk menggambarkan adanya hubungan antara pengetahuan yang dimiliki seseorang dengan kesadaran makna dalam menjalin hubungan secara interpersonal dan transendental. Pengetahuan personal ini merupakan suatu yang konkret, langsung dan penting.
5. Etik
Makna ini mencakup makna-makna moral yang memiliki konsekuensi tanggung jawab bagi seseorang untuk memenuhi suatu kewajiban. Makna etika lahir karena fakta, persepsi, atau kepedulian seseorang untuk melakukan hubungan sosial secara harmonis. Berbeda dari ilmu pengetahuan yang terkait dengan pemahaman kognitif yang abstrak, seni yang mengekspresikan persepsi estetik, pengetahuan pribadi yang merefleksikan pemahaman intersubyektif, moralitas ini harus dilakukan melalui perilaku manusia yang didasarkan pada kebebasan, tanggung jawab, dan kehati-hatian.
6. Sinoptik
paripurna dan mutlak kebenarannya, sedangkan filsafat berkenaan dengan upaya melakukan penafsiran reflektif terhadap semua jenis makna. Untuk itu, menurut Phenix, pengajaran bahasa, matematika, ilmu pengetahuan, seni, hubungan pribadi, moral, sejarah, agama dan filsafat merupakan bidang kajian yang penting dalam menyadarkan manusia terhadap enam makna yang digagasnya. Penyadaran makna itu dapat memberikan jawaban atas persoalan pendidikan yang dinilai Phenix tengah menghadapi tantangan berat akibat modernitas kehidupan yang diikuti oleh lahirnya nilai-nilai destruktif.
Selanjutnya, Pendidikan Umum memiliki ciri dan karakteristik sebagai berikut :
1. Diarahkan untuk membina dan mengembangkan kepribadian agar mencapai kesempurnaan/keutuhan (pribadi utuh)
2. Diberikan kepada semua orang, pada semua jenis, jenjang dan tingkat pendidikan (holistik).
3. Bertujuan membina Insan Kamil (manusia paripurna) atau manusia kaffah.
4. Membina sifat-sifat atau akhlak Ilahi yang harus dimiliki oleh semua manusia.
5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai, sikap, pengertian dan keterampiln yang harus dimiliki oleh semua orang.
6. Membina makna-makna esensial bagi manusia yang mencakup makna simbolik, empirik, sinoetik, estetik, etik dan sinoptik.
7. Menekankan pada pengetahuan terintregrasi dan hubungan antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan (integrated knowledge system).
8. Berorientasi pada penyesuaian diri siswa dengan lingkungan/kondisi kehidupannya.
9. Bertanggung jawab tentang perkembangan emosional, sosial, moral dan intelektual secara seimbang dan integral.
10. Berkenaan dengan persoalan-persoalan individu, anggota keluarga, anggota masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab (good citizen) dan sebagai hamba Allah.
Sepuluh karakteristik tersebut tentunya masih bisa dikembangkan lagi, bukan
suatu hal yang sudah final, minimal sudah dapat memberi gambaran perbedaan antara
4. Pendidikan Hati
Hakikat Pendidikan Umum adalah pendidikan yang bertujuan memanusiakan
manusia. Karena itu pendidikan umum dapat dikategorikan dengan pendidikan hati.
Hati (qalbu) merupakan salah satu komponen tubuh yang mempunyai peranan
penting dalam konsep manusia utuh sebagaimana visi Pendidikan Umum SPS UPI,
yaitu membentuk dan mengembangkan kepribadian manusia secara utuh (kaffah).
Sebagai komponen tubuh yang berperanan penting itu, qalbu itulah yang bisa
memerintahkan perilaku baik dan buruk. Baik dan buruk manusia ditentukan oleh
hatinya. Sabda Rasulullah SAW, ”..Ala wa Inna fi al-jasadi mudghatan, idza
shalahat, shalaha al- jasadu kulluhu, wa idza fasadat fasada al- jasadu kulluhu, ala
wahiya al- qalbu”m artinya ”..Sesungguhnya pada jasad (tubuh) itu ada segumpal
daging, jika dia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya dan jika dia rusak/buruk, maka
rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah itulah qalbu” (H.R Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan pendapat Al-Ghazali (tt, juz III : 6-8), ada empat potensi/dimensi
yang mempengaruhi perilaku manusia : al-Qalbu, ar-Ruhu, an-Nafsu dan al-’Aqlu.
a. Dimensi al-Qalbu(hati) ada dua pengertian, pertama qalbu berupa segumpal daging yang berbentuk bulat memanjang seperti buah shanaubar terletak di
pinggir dada sebelah kiri didalamnya ada rongga yang mengandung darah
hitam sebagai sumber/pusat ruh. Hati (jasmani) ini ada pada hewan bahkan
pada orang mati. Pengertian kedua, qalbu (hati) berupa sesuatu yang amat
halus (lathifah) bersifat Robbaniah (ketuhanan/kerohanian), tidak kasat mata
mengenal hakikat segala sesuatu. Hati lathifah ini yang jadi fokus
pembicaraan yang akan diperkarakan (disiksa), dicela dan dituntut, ia
mempunyai hubungan dengan hati jasmani. Begitu eratnya hubungan antara
hati jasmani dan hati rohani, tidak banyak manusia yang tahu akan hubungan
keduanya, terkadang membingungkan akal. Karena itu harus cermat dalam
memahaminya seperti memahami sebuah benda dengan sifat/ karakteristik
yang ada pada benda tersebut. Namun jika dilimpahi cahaya Allah, maka hati
rohani ini dapat mengetahui rahasia-rahasia Allah. Selain itu kesulitan
memahami hati rohani (robbaniah) karena hubungannya yang sangat erat
dengan ilmu mukasyafah (ilham) dan untuk memahaminya memerlukan
terbukanya rahasia ruh yang bagi Rasul Saw sendiri jarang membicarakannya.
Hati mempunyai aparat yang terlihat (lahir) dan yang tak terlihat (batin).
Aparat yang terlihat oleh kasat mata seperti tangan, kaki, telinga, lidah,mata
dan lain-lain seluruh anggota badan. Semua itu menjadi pelayan hati
mengikuti perintahnya. Secara naluri semua anggota badan tunduk dan patuh
kepada hati seperti kapatuhan para malaikat kepada perintah Allah. Hanya
bedanya para malaikat amat menyadari akan ketaatannya, sedangkan anggota
badan mematuhi perintah hati karena taskhir (terpaksa).
Sesungguhnya hati memerlukan aparat tersebut sabagai kendaraan dan bekal
untuk menuju Allah dengan melalui tempat-tempat yang dapat mengantarkan
”Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan untuk berbakti
(beribadah) kepada-Ku” (Q.S Adz-Dzaria (51): 56).
b. Dimensi al-Ruhu (ruh) ada dua pengertian, pertama ruh bermakna al-lathifah (halus) bersumber dari rongga hati jasmani kemudian menyebar ke
seluruh tubuh melalui sarana nadi. Penyebaran ruh ke seluruh tubuh
mengalirkan kehidupan dalam ujud perasaan, penglihatan, pendengaran dan
penciuman seperti cahaya lampu menyinari seluruh sudut rumah
(listrik/batre). Makna kedua, ruh yang berpotensi untuk mengetahui dan
mengenal segala sesuatu (abstrak). Ruh inilah yang menimbulkan kecerdasan
qalbu (jisim lathif) sehingga menacapai kematangan yang sempurna. Jika
manusia berada pada anasir malaikat, maka manusia berada pada tingkat
musyahadah (penyaksian) pada Dzat Maha Agung, Maha Indah dan
melepaskan diri dari nafsu angkara murka. Dalam konteks ini, manusia harus
mengenal dirinya sendiri sehingga mampu menuju jalan Ilahi. Sabda Nabi
saw: ”Barangsiapa telah mengenal dirinya, maka ia akan mengenal
Tuhannya” (al-Hadits).
Al-Ghazali (2000: 41) mengatakan:
Manusia tidak akan mampu memahami hakikat ruh yang sesungguhnya
karena merupakan kerahasiaan ilmu Allah, seperti firman-Nya: ” Dan mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah Ruh itu termasuk
urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit”
(Q.S Al-Isra (17): 85). Oleh karena itu hakikat ruh merupakan bagian dari
kekuasaan dan hak prerogatif kewenangan Allah semata. Memahami hakikat
ruh ini begitu unik, ajaib dan sungguh mengagumkan, semua potensi akal
manusia tidak akan mampu untuk memahami substansi dan hakikat yang
sebenarnya.
c. Dimensi al-Nafs (nafsu) ada tiga macam. Menurut ahli tasawuf, nafsu itu tempat berkumpulnya segala sifat-sifat (sumber dominan) yang cenderung
tercela pada diri manusia. Karena itu nafsu ini harus dilawan dan diperangi
sebagaimana diisyaratkan Rasulullah SAW, ”Musuhmu yang perlu engkau
lawan adalah nafsumu yang ada di antara dua lambungmu” (H.R. Baihaqi).
Nafsu model pertama ini, disebut nafsu Ammarah ada kecenderungan selalu
menentang kepada Allah dan sulit untuk kembali kepada-Nya. Nafsu yang
amat tercela termasuk kelompok iblis syaetan yang selalu mengajak pada
kejahatan (Q.S Yusuf (12): 53). Kedua nafs al-lathifah (muthmainnah) nafsu
yang terpuji, membawa ketenangan yaitu sesuatu yang abstrak yang
membentuk jati diri dan esensi manusia serta mempunyai kemampuan untuk
lawwamah nafsu yang selalu mencela (menyesali) dirinya ketika lalai
manakala tidak beribadah (Q.S al-Qiyamah (75): 2).
d. Dimensi al-Aqlu (akal)
Al-Aqlu dalam bahasa Indonesia (akal) berarti mengikat atau memahami
sesuatu pada format hakikatnya. Menurut Al-Ghazali ada dua makna akal.
Pertama diartikan sebagai pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sebagai
sifat dari ilmu yang tempatnya di dalam hati. Maka akal berarti pula hati
nurani. Kedua diartikan bagian dari manusia yang memiliki kemampuan
untuk menyerap ilmu pengetahuan. Akal merupakan ilmu awal yang menjaga
manusia dari kejelekan. Barangsiapa penjagaannya lebih kuat, maka dia lebih
berakal. Sabda Rasul SAW, ”Barang pertama yang Allah ciptakan adalah
akal”. Jika Adam AS tidak berakal, maka dia tidak mungkin dapat menerima
ilmu dari Tuhan.
Langkah seseorang yang ingin menjadi hamba Allah yang baik, dia harus
memperbaiki dan membersihkan hati terlebih dulu. Manusia tidak mungkin dapat
memperbaiki hatinya, jika dia tidak mengerti dan mengenal karakteristik (hakikat)
hati tersebut. Karena itu pengetahuan tentang hakikat hati dan sifat-sifatnya
merupakan pokok ajaran agama sebagai sumber utama ajaran akhlak mahmudah
(akhlak terpuji). Sesungguhnya kemuliaan dan keutamaan manusia dari mahluk lain
karena dia memiliki kemampuan untuk makrifat kepada Allah SWT. Dengan
bermakrifat kepada Allah, manusia akan selalu berupaya untuk berbuat baik menuju