BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sastra merupakan bagian daripada kebudayaan. Bila kita mengkaji
kebudayaan kita tidak dapat melihatnya sebagai sesuatu yang statis, tetapi
merupakan sesuatu yang dinamis, yang senantiasa berubah. Hubungan
antara kebudayaan dalam masyarakat itu amatlah erat, karena kebudayaan
itu sendiri adalah cara suatu kumpulan manusia atau masyarakat
mengadakan sistem nilai, yaitu berupa aturan yang menentukan sesuatu
benda atau perbuatan lebih tinggi nilainya, lebih dikehendaki, dari yang lain
(Semi, 1984: 54). Kebudayaan tentulah tidak akan terlepas dari sastra,
begitu juga sebaliknya, sastra akan maju bila ditunjang oleh kebudayaan
yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat kita. Keduanya, sastra dan
budaya, saling mendukung.
Lebih lanjut Atar Semi (1984) mengatakan kesusastraan itu pada
dasarnya bukan saja mempunyai fungsi dalam masyarakat, tetapi juga
mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas
terlihat dalam masyarakat. Sebagaimana juga dengan karya seni yang lain,
sastra mempunyai fungsi sosial dan fungsi estetika. Memperhatikan fungsi
sosial dan estetika dalam suatu karya sastra sebaiknya kita hubungkan
dengan ciri-ciri simbolisme atau perlambangan dalam sastra. Kalau kita
perhatikan cerita rakyat, misalnya, mungkin kita tidak dapat menerimanya
semata, kalau hal itu tidak kita lihat dalam konteks tata nilai yang berlaku di
masyarakat tempat kesusastraan itu tumbuh dan berkembang.
Sastra lisan adalah bagian dari khazanah pengungkapan dunia sastra
tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai baru yang hidup dan berkembang pada
masyarakat. Banyak sastra tradisi lisan tidak lagi dikenal masyarakat,
padahal bentuk sastra ini dipandang secara antropologis dibentuk oleh tradisi
masyarakat. Ini berarti pula bahwa terdapat nilai-nilai yang pernah dianut
oleh masyarakat penciptanya. Bahkan, banyak di antara bentuk sastra lisan
itu yang memiliki mitos.
Finnegan (dalam Tuloli, 1991: 1) berpendapat sastra lisan adalah
salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat terpelajar dan
yang belum terpelajar. Ragamnya pun sangat banyak dan tiap-tiap ragam
mempunyai variasi yang sangat banyak pula. Isinya mungkin mengenai
berbagai peristiwa yang terjadi atau kebudayaan masyarakat pemilik sastra
tersebut.
Dalam khazanah sastra tradisional, sastra yang unggul adalah sastra
yang memiliki nilai rasa metafisik atau keterkaitannya dengan realitas hakiki
masyarakat. Oleh karena itu, sastra tradisional bukan saja ekspresi subjektif
pengalaman keseharian individu, melainkan hasil pengolahan yang
mendalam terhadap realitas yang mengatasi dirinya atau transenden
sifatnya. Tradisi sastra semacam itu telah menjadi pegangan masyarakat di
nusantara. Dalam bentuk seperti ini, misalnya, kita mengenal kentrung,
Jika dilihat dari laras pengucapannya, sastra lisan merupakan ciri
umum sastra tradisional. Jauh sebelum ekspresi tulis berkembang amat
pesatnya, opini yang disebarkan melalui tradisi lisan amat sukar tergeser.
Oleh karena itu, nilai tradisinya amat kuat dirasakan di tengah masyarakat.
Tidak jarang, sastra lisan sebagai bagian dari sistem komunikasi itu
merupakan proses pematangan pola pikir secara alamiah yang berlaku di
tengah masyarakat tertentu (Jarkasi dkk, 1997: 1-2).
Kedudukan dan fungsi sastra lisan dalam dekade terakhir tampaknya
semakin tergeser akibat kemajuan zaman yang memasuki segala
sendi-sendi kehidupan di masyarakat kita. Akibatnya banyak di kalangan generasi
muda yang tidak lagi mengetahui dan bahkan mencemooh sama sekali
terhadap budaya bangsanya yang mereka katakan ketinggalan zaman.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra daerah tidaklah jauh berbeda
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra Indonesia, bahkan dapat
dikatakan sederajat. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Rusyana (1997:
6) sebagai berikut.
Nampak bahwa dalam sastra-sastra daerah terkandung muatan nilai-nilai moral. Dalam sastra-sastra daerah, dalam wujud ekspresi estetik itu tersaji pula nilai-nilai etik. Dari percobaan terhadap cerita rakyat, berupa mite, legenda, dan dongeng, kita dapat mengapresiasi nilai-nilai moral yang terpadu secara halus di dalamnya. Begitu pula dalam hikayat, syair, pantun serta jenis sastra lama lainnya serta selanjutnya dalam novel, cerita pendek, drama dan fuisi modern. Nilai-nilai moral itu terungkap.
Begitu pula halnya dengan pendapat Ratna (2005: 12-13) peranan
sastra, baik fiksi maupun nonfiksi, dalam mengungkapkan aspek-aspek
sosiologi, psikologi, arkeologi, sejarah, dan ilmu bahasa. Artinya, relevansi
masing-masing disiplin tergantung dari tujuan penelitian, objek yang dikaji,
teori dan metode yang dimanfaatkan. Sastra modern, seperti: novel, pusi,
dan drama, demikian juga sastra lama, seperti: kakawin, babad, dongeng,
dan cerita rakyat, termasuk peribahasa, gosip, humor, dan berbagai tradisi
lisan yang lain, merupakan objek studi kultural yang kaya dengan nilai.
Menurut Ikram (1997: 11) peristiwa kelahiran sastra lama atau
tradisional berbeda sekali dengan kelahiran suatu cipta karya sastra modern.
Dalam dunia tradisional, hubungan antara sastra dan masyarakat tempat
sastra itu lahir, amat erat. Sastra itu beredar di masyarakat dan menjadi
miliknya selama beberapa waktu sebelum dicatat. Jelaslah bahwa batas
antara sastra lisan dan tulisan sangat samar. Jika pada suatu saat seorang
penulis mencatatnya, membukukannya atau mengolahnya dalam bentuk
yang tradisional, maka ia tidak merasakan dirinya sebagai penciptanya,
sehingga ia takkan menyebut dirinya demikian. Oleh sebab itulah, sebagian
besar sastra tradisional bersifat anonim.
Demikian juga halnya dengan pendapat Ratna (2005: 18) yang
mengatakan bahwa “… dalam sastra lama, misalnya, pengarang pada
umumnya tidak mencantumkan namanya sebab karya seni dianggap
sebagai milik bersama, milik masyarakat”.
Pada bagian lain Ratna (2004: 310-311) juga menyebutkan
anonimitas sastra lama memiliki implikasi lain. Cerita bisa diceritakan
kembali, bahkan dimiliki oleh orang lain sebab setiap penceritaan kembali
demokratisasi masyarakat lama yang jelas tidak ada dalam masyarakat
modern. Hakikat kolektivitas membawa karya sebagai milik bersama.
Dengan menganggap pengarang tidak ada, maka karya seolah-olah menjadi
menjadi milik komunal, suatu paradigma yang memberikan kemungkinan
seluas-luasnya untuk menganalisisnya, tanpa perlu harus disesuaikan
dengan pendapat penulis asli.
Begitu juga halnya dengan tradisi sastra lisan randai ini, cerita yang
dibawakan oleh tukang cerita, begitu biasanya masyarakat Rantau Kuantan
Singingi menyebutnya, sama sekali cerita yang dibawakan tersebut banyak
yang tidak diketahui pengarangnya.
Saat ini kehidupan dan keberadaan sastra lisan randai di Rantau
Kuantan Singingi sangat jarang sekali dihadirkan pada pesta perkawinan,
pesta panen, sunatan atau hajatan. Hal ini disebabkan banyaknya grup
musik organ tunggal atau band yang disewa masyarakat dan mereka (para
penyewa) nampaknya enggan menggunakan alat hiburan randai, karena
sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Padahal organ tunggal, band
dan sejenisnya nyata-nyatanya adalah produk Barat yang banyak tak sesuai
lagi dengan budaya bangsa kita, walaupun masih ada sisi positifnya.
Yang membuat lebih mirisnya hati adalah para penyewa randai
hanyalah dari kalangan orang yang tidak berduit karena bayarannya tidaklah
terlalu mahal. Akibatnya derajat kehidupan para pemain randai boleh
dikatakan gali lubang tutup lubang dan sangat jauh dari tingkat
Penelitian tentang randai ini pernah dilakukan oleh UU. Hamidy pada
tahun 1971 yang berjudul Randai Rantau Kuantan. Tulisan ini
mengemukakan tentang fungsi dan nilai estetika dalam randai. Lagipula
penelitian yang dilakukan oleh UU. Hamidy sudah hampir 34 tahun lamanya
dilakukan. Tentu format dan ide cerita sudah berubah sesuai dengan
perkembangan zaman.
Akan tetapi, tulisan yang hendak penulis paparkan ini adalah
mengamati struktur randai secara intrinsik yang meliputi tema, alur,
penokohan, dan amanat. Kemudian keterkaitan tradisi lisan randai ini dengan
fungsinya yang dikaitkan dengan nilai budaya dan konteksnya.
Struktur intrinsik atau isi cerita dalam kisah randai adalah bagian yang
esensial dan sangat mendasar dari sistem yang membentuk kesenian
randai. Isinya inilah yang mencerminkan keterkaitan cerita ini antara satu
peristiwa dengan peristiwa lainnya. Isinya ini banyak memiliki simbol sebagai
transformasi nilai yang ditawarkan kepada pendengar. Simbol di sini
dipandang sebagai sesuatu yang dianggap dengan persetujuan bersama,
suatu yang memberikan sifat alamiah, mewakili atau mengingatkan kembali
dengan memiliki kualitas yang sama atau membayangkan dalam kenyataan
atau pikiran (Turner dalam Jarkasi, dkk, 1997: 4). Nilai-nilai ini banyak
berkaitan dengan moral atau pengajaran yang disampaikan melalui cerita
yang dibawakan.
Berangkat dari kegelisahan inilah, penulis mencoba mengung-kapkan
salah satu tradisi lisan yang masih eksis sampai sekarang di Indonesia.
kurang begitu digandrungi oleh kalangan muda, namun dengan idealisme
yang ada dalam masyarakat yang melakukannya masih hidup sampai kini.
Pengkajiannya lebih memfokuskan pada telaahan struktur instrinsik, nilai
budaya dan konteksnya bagi masyarakat Rantau Kuantan Singingi.
1.2 Pembatasan Masalah
Berdasarkan paparan yang dikemukakan pada bagian Latar Belakang
Penelitian, rupanya cakupan terhadap sastra lisan begitu banyak kajian yang
akan dilakukan. Oleh sebab itu, agar penelitian ini lebih terfokus dan
mendalam, maka penelitian ini hanyalah akan mengkaji struktur pembentuk
randai tersebut. Unsur-unsur pembentuk itu terbagi atas 2 macam, yaitu
struktur intrinsik (internal) yang meliputi: bagian dasar dari sistem yang
membentuk kesenian randai seperti: tempat pagelaran, penyajian, alat
musik, unsur sastra dan struktur cerita. Dalam penelitian ini hanya unsur
struktur cerita yang menjadi bahan kajian yaitu; tema, alur, penokohan/
perwatakan, latar (setting) dan motif.
Berikutnya kajian nilai budaya apa saja yang terdapat dalam tradisi
lisan randai ini berupa teks dan konteks kalimat serta tema dari sebuah
cerita yang ada dalam randai. Nilai budaya dan konteks tersebut biasanya
terdapat dalam teks cerita randai yang disampaikan oleh tukang cerita.
1.3 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas, penelitian ini secara
1. Struktur intrinsik apa sajakah yang terdapat dalam teks dan konteks
pada tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi?
2. Nilai budaya apa sajakah yang terkandung dalam tradisi lisan randai
masyarakat Rantau Kuantan Singingi?
3. Apa yang menjadi ciri ketradisian dan kelisanan dalam teks dan
konteks tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi?
4. Genre cerita apa saja yang terdapat dalam tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi?
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuatu yang kita lakukan tentulah mempunyai tujuan. Penelitian ini
dilakukan bertujuan untuk:
1. Mentranskripsikan rekaman teks cerita dan konteks kalimat ke dalam
bahasa Melayu Riau Daratan (agak mirip dengan bahasa
Minangkabau) dan mengalihbahasakannya ke dalam bahasa
Indonesia.
2. Menganalisis struktur intrinsik (internal) teks cerita randai masyarakat
Rantau Kuantan Singingi.
3. Menganalisis dan mendeskripsikan nilai budaya yang terkandung
dalam tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi.
4. Mengelompokkan jenis cerita sesuai dengan genrenya.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Ilmu Sastra
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengembangkan ilmu sastra lisan, agar pola ceritanya menjadi lebih
bervariasi dan menimbulkan kisah yang menarik bagi pendengar atau
penikmatnya. Kemudian juga dapat dijadikan sumber inspirasi penulisan
sastra modern yang saat ini banyak digandrungi kawula muda, dan bacaan
relevan sebagai khazanah pengetahuan tradisi lama yang baik banyak
diketahui generasi muda sekarang.
2. Kurikulum Muatan Lokal
Hasil penelitian tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan
Singingi ini juga diharapkan bermanfaat sebagai bahan muatan lokal tentang
tradisi dan adat istiadat yang perlu diajarkan bagi siswa SMP, SMA/MA,
terutama di daerah Kabupaten Kuantan Singingi.
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya sebagai muatan lokal pada
mata pelajaran Kesenian Daerah yang diajarkan di SMP pada Kabupaten
Kuantan Singingi.
3. Pembangunan dan pendidikan
Nilai-nilai budaya yang ada dalam tradisi lisan randai masyarakat
Rantau Kuantan Singingi dapat diambil manfaat dan nilai positifnya dalam
pembangunan terhadap daerah, khususnya di sektor kebudayaan dan
diimplimentasikan dalam pendidikan di sekolah maupun pementasan di
kalangan masyarakat yang disampaikan melalui acara-acara pembangunan.
Kedua hal ini bila disatukan sangat baik bagi pembangunan mental dan
4. Para Peneliti
Suatu saat nanti apabila ada peneliti lain yang berminat meneliti
tentang tradisi lisan ini, dapat dijadikan bahan perbandingan dan dasar bagi
peneliti selanjutnya.
1.6 Asumsi Penelitian
Menurut Winarno Surakmad (dalam Arikunto, 2002: 58) anggapan
dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya
diterima oleh penyelidik. Dalam penelitian ini asumsi peneliti adalah:
1) randai mempunyai struktur cerita yang baik.
2) randai mempunyai nilai budaya bagi kehidupan masyarakat.
1.7 Definisi Operasional 1. Struktur
Struktur penulis artikan sebagai unsur yang membangun cerita yang
membentuk dan membangun sebuah cerita tersebut dan mempunyai
keterkaitan serta jalinan kisah/cerita, sehingga mempunyai makna yang
menyeluruh pada cerita tersebut. Dengan kata lain, hanya unsur instrinsik
dari tradisi lisan randai masyarakat Rantau Kuantan Singingi.
2. Nilai Budaya
Nilai budaya yang ditelitii dan peneliti bahas dalam penelitian ini
adalah nilai budaya yang terkandung dalam cerita randai berupa
nilai-nilai tolong-menolong antarsesama manusia, hubungan manusia dengan
3. Tradisi Lisan
Pengertian tradisi lisan dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada
pendapat Danandjaja (2002: 5) yaitu tradisi lisan hanya mencakup cerita
rakyat, teka teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat. Walau pun pada istilah
selanjutnya Danandjaja lebih sering menyebutkan sebagai folklor. Dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskan pada cerita rakyatnya yang
disampaikan melalui cerita randai.
4. Cerita Rakyat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka Departemen Pendidikan Nasional (2001: 211) bahwa cerita rakyat
adalah cerita dari zaman dahulu yang hidup di kalangan rakyat dan
diwariskan secara lisan. Dalam penelitian ini, cerita rakyat yang diambil dan
diteliti adalah cerita rakyat yang terdapat di kalangan masyarakat Rantau
Kuantan Singingi Provinsi Riau.
5. Teks
Naskah yang berupa cerita rakyat masyarakat Rantau Kuantan
Singingi yang disampaikan melalui kesenian randai.
6. Konteks
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka Departemen Pendidikan Nasional (2001: 591) konteks adalah
bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah
7. Randai
Salah satu kesenian tradisional masyarakat Rantau Kuantan Singingi,
Provinsi Riau yang disampaikan dalam bentuk cerita dan diiringi dengan
musik dan tarian. Personil terdiri atas: tukang cerita (pencerita), tukang
gendang (pemukul gendang), pemain biola, dan para penari berjumlah 6-30
orang. Musik pengiringnya berupa: gendang, biola, saluang dan peluit.
Kesenian ini menurut sejarah berasal dari daerah Minangkabau, Sumatera
Barat, seperti yang dikemukakan Djamaris (2002: 183) “randai adalah drama
pentas tradisional Minangkabau, seperti makyong di Riau dan di Sumatra
Utara, mamanda di Kalimantan, dan lenong di Jakarta”.
8. Masyarakat Rantau Kuantan Singingi
Masyarakat di daerah (rantau) lebih sering menyebut diri mereka
orang Kuantan, hal ini disebutkan di sepanjang daerah ini mengalir sebuah
sungai yang bernama Kuantan. Daerah ini merupakan sebuah kabupaten
yang berdiri pada bulan Oktober 2000, dan merupakan pemekaran dari
Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau.
UU. Hamidy (1995: 1-2) mengatakan bahwa:
1.8 Sepintas tentang Randai Rantau Kuantan Singingi
Masuknya tradisi lisan randai ini ke Rantau (daerah) Rantau Kuantan
Singingi belum ada data yang pasti. Kesenian drama tradisional ini yang
jelas dibawa oleh para perantau Minangkabau. Masyarakat Rantau Kuantan
Singingi yang adat-istiadatnya sama dengan masyarakat Minangkabau yang
memakai sistem matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu) mulai
mengadopsinya dan juga sudah ada yang mempunyai grup dan mereka
mengambil cerita dari kalangan masyarakat atau cerita rakyat dari daerah
tempat mereka (grup) tadi tinggal.
Berdasarkan percakapan peneliti dengan salah seorang pimpinan
grup randai Pancang Kuantan yaitu Drs. Hamsirman, cerita yang sering mereka bawakan dalam pementasan adalah cerita yang berasal dari daerah
Kecamatan Kuantan Tengah tempat mereka berdiam. Cerita yang berjudul
Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun inilah nantinya yang akan peneliti ambil
sebagai sampel penelitian dan dianalisis.
Menurut Djamaris (2002: 183) randai dimainkan di lapangan terbuka
(open air theatre) dalam bentuk arena. Randai tergolong sendratari, yaitu
seni drama tari. Randai mengandung unsur dialog, tuturan, tari (gerak silat),
lagu, dan musik (saluang, talempong). Cerita yang dipertunjukkan pada
umumnya adalah cerita kaba atau cerita kehidupan yang popular di daerah
itu. Kaba yang dilakonkan disebut randai.
Semua peran dalam randai dimainkan oleh pria. Peran wanita
dimainkan oleh pria yang didandani seperti wanita. Inti cerita dilakonkan oleh
cerita. Bagian-bagian cerita yang melukiskan suasana, tempat, waktu
kejadian, peralihan cerita atau alur didendangkan oleh semua peserta secara
bersahut-sahutan sambil membuat gerak dasar pencak silat dalam beberapa
kali putaran. Ketika pelaku harus berdialog atau berlakon secara khusus
pada adegan-adegan tertentu, peserta-peserta yang lain segera mengambil
posisi duduk, tetap dalam satu bentuk lingkaran. Cakapan dalam randai
disusun dalam bentuk prosa berirama. Pemain terdiri dari 6 sampai 30 orang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan teknik
survai, pengamatan, dan wawancara. Metode deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan atau menggambarkan suatu gejala, peristiwa, kejadian
yang terdapat sewaktu penelitian dilakukan di daerah objek kajian. Jadi,
penelitian ini bersifat kualitatif atau naturalistik. Metode ini dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang sejelas-jelasnya tentang tradisi lisan randai
masyarakat Rantau Kuantan Singingi, dan selanjutnya dilakukan analisis
terhadap tradisi lisan randai tersebut.
Menurut Nasution (2002: 5) penelitian kualitatif pada hakikatnya
ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan
mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia
sekitarnya.
Titik berat penelitian ini adalah teks cerita randai masyarakat Rantau
Kuantan Singingi dan konteks dalam tradisi lisan randai masyarakat
Rantau Kuantan Singingi. Pengkajian lebih mendalam dilakukan terhadap
struktur intrinsik (tema, penokohan, alur, latar dan motif) cerita randai, nilai
3.2 Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah tradisi lisan randai masyarakat
Rantau Kuantan Singingi yang berupa teks dan konteksnya. Sedangkan
yang menjadi sumber datanya adalah penutur tradisi lisan randai
masyarakat Rantau Kuantan Singingi tersebut.
Menurut Bogdan dan S. K. Biklen (dalam Semi, 1990: 24) bahwa
penelitian yang bersifat deskriptif artinya data terurai dalam bentuk
kata-kata atau gambar-gambar, bukan dalam bentuk angka-angka. Data pada
umumnya berupa pencatatan, foto-foto, rekaman, dokumen, memoranda
atau catatan-catatan resmi lainnya.
Ada juga pendapat yang dikemukakan Lofland dan Lofland (dalam
Moleong, 2004: 157) yang mengatakan bahwa sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu pada
bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber
data tertulis, foto, dan statistik.
Sebenarnya tambahan statistik dalam sumber data yang
dikemu-kakan oleh Lofland dan Lofland di atas bukanlah data statistik yang begitu
mendetail dan sejelas mungkin, akan tetapi hanya sebagai sumber data
penunjang saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Moleong et al. (2004: 163)
Keseluruhan sumber dan jenis data yang disampaikan di atas, pada
dasarnya banyak bergantung pada peneliti untuk menjaringnya sehingga
yang diharapkan itu saja yang dapat dijangkau. Dengan kata lain, peranan
manusia sebagai alat atau instrumen penelitian besar sekali dalam
penelitian kualitatif.
3.3 Informan Penelitian
Dalam penelitian ini, sebagai pendukung dan lengkapnya penelitian
ini, peneliti juga mewawancarai beberapa pihak yang mempunyai
keterkaitan dengan tradisi lisan ini, yaitu:
a. Tokoh masyarakat, tokoh adat, dan seniman;
b. Pejabat yang berwenang di wilayah Rantau Kuantan Singingi, baik
pemerintahan tingkat bawah (desa/kelurahan) maupun Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan yang berkompeten terhadap kelanjutan
kehidupan tradisi lisan ini;
c. Informan sekitar masyarakat Rantau Kuantan Singingi yang
mengetahui tradisi lisan randai tersebut;
d. Warga masyarakat Rantau Kuantan Singingi, baik yang berada di
Kabupaten Kuantan Singingi maupun yang berada di perantauan
yang diambil secara acak.
Pihak-pihak yang disebutkan di atas adalah sebagai informan dalam
penelitian ini, hal ini berguna supaya ada data tambahan tentang tradisi
lisan randai yang diketahui oleh pihak-pihak tersebut. Mengapa demikian?
pementasan ini saja, dalam arti para pemain randai, tetapi juga diperlukan
masukan atau pendapat dari pihak lain yang kompeten.
3.4 Populasi dan Sampel
Palte (dalam Djojosuroto dan Sumaryati, 2004: 93) mengatakan
bahwa populasi adalah jumlah keseluruhan unit yang akan diselidiki
karakreristik atau ciri-cirinya. Ada pun sampel penelitian adalah sebagian
dari unit-unit yang ada dalam populasi yang ciri-ciri atau karakteristiknya
benar-benar diselidiki.
Populasi dalam penelitian ini semua kelompok (grup) randai yang
ada di Kabupaten Kuantan Singingi. Berdasarkan pembicaraan peneliti
dengan Bapak Drs. Maifadal Muin, staf kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Kuantan Singingi pada bulan Juli 2005 lalu, kelompok (grup)
randai yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi berjumlah 20 grup yang
tersebar pada 12 kecamatan yang ada. Yang tidak mempunyai grup randai
yaitu 3 kecamatan, yaitu: Kecamatan Singingi Hilir, Kecamatan Singingi
dan Kecamatan Logas Tanah Darat. Menurut penuturan beliau, yang aktif
melakukan pementasan hanya 4 sampai 5 grup saja, tergantung dari
banyaknya acara yang dilaksanakan dan berlangsung di Kabupaten
Kuantan Singingi.
Mengingat waktu, tenaga dan biaya yang diperlukan sangat besar
dalam penelitian ini, maka peneliti mengambil sampel hanya satu grup
Kedunai dan Niniak Jiruhun (Nenek Jiruhun). Mengapa grup ini yang
peneliti ambil sebagai sampel? Sebab grup ini sudah sering tampil dalam
acara-acara resmi dan juga sering mendapat juara dalam berbagai festival
randai yang diadakan 1 kali dalam setahun oleh Pemerintah Kabupaten
Kuantan Singingi dalam menyemarakkan acara Pacu Jalur. Kemudian grup
ini juga sering diundang ke luar daerah oleh orang-orang Kuantan Singingi
yang berada di perantauan untuk tampil di acara-acara hajatan dan pesta
perkawinan.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara survai, pengamatan di lokasi
penelitian, dan mewawancarai penutur tradisi lisan randai dan pihak-pihak
yang berkompeten terhadap tradisi ini. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini berupa kamera dan tape recorder (alat rekaman) dan juga
akan disertai dengan handycam untuk melihat secara jelas kegiatan para
pemain randai dalam melakukan pementasan.
Menurut Moleong (2004: 9): dalam penelitian kualitatif, peneliti
sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data
utama. Hal itu dilakukan karena, jika memanfaatkan alat yang bukan
manusia dan mempersiapkan dirinya terlebih dahulu sebagai yang lazim
digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat tidak mungkin untuk
mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan yang ada di
peneliti berperan serta pada situs penelitian dan mengikuti secara aktif
kegiatan kemasyarakatan.
Begitu juga halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Nasution
(2002: 54) bahwa dalam penelitian naturalistik (kualitatif) peneliti sendirilah
yang menjadi instrumen utama yang terjun ke lapangan serta berusaha
sendiri mengumpulkan informasi melalui observasi atau wawancara. Ia
mengobservasi apa adanya dalam kenyataan.
Data melalui observasi atau wawancara tidak segera dianggap
mantap bila diperoleh hanya dari satu sumber. Data itu masih “lunak” dan
tidak segera dipandang sebagai fakta “keras” yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Oleh sebab itu, setiap data perlu lagi dicek dan
dibandingkan dengan data yang diperoleh dari sumber lain. Dalam hal ini
manusialah sebagai alat yang paling serasi.
Dapat disimpulkan dalam penelitian ini data dikumpulkan atau
diperoleh dengan cara observasi, wawancara, dan kamera yang digunakan
selama penelitian berlangsung.
3.6 Teknik Analisis Data
Data dianalisis dengan cara bersamaan dengan pengumpulan data
dan juga diusahakan setelah data terkumpul semuanya, kemudian
dilakukan analisis terhadap unsur intrinsiknya (tema, penokohan, alur, latar
dan motif), nilai budaya dan konteks yang ada di dalamnya.
Supaya lebih rinci mengenai penganalisisan dan penginterpretasian
konteksnya dalam tradisi lisan, penulis menggunakan langkah-langkah
berikut:
a. Menentukan unsur-unsur struktur intrinsik karya sastra yaitu: tema,
penokohan, alur, latar dan nilai budaya (unsur didaktis) dalam teks
cerita dan konteks kalimat tradisi lisan randai;
b. Menganalisis unsur-unsur struktur intrinsik karya sastra, nilai budaya
yang terdapat dalam teks cerita dan konteks kalimat dalam tradisi
lisan randai;
c. Mendeskripsikan hasil analisis per unsur intrinsik karya sastra;
d. Mengambil simpulan dari cerita tradisi lisan randai.
3.7 Tahapan Penelitian
Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
3.7.1 Kegiatan Awal, yang dilakukan pada masa ini adalah:
a. Mengumpulkan informasi tentang siapa saja yang bisa dijadikan
informan yang valid untuk pendukung subjek penelitian;
b. Menentukan calon informan yang sesuai/relevan;
c. Mengumpulkan dan mengidentifikasi peralatan yang cocok dipakai
di lapangan sewaktu mengadakan pengumpulan data;
d. Melakukan studi pustaka yang mempunyai relevansi dengan bahan
penelitian;
e. Melakukan pendekatan secara pribadi (bukan dalam suasana resmi)
3.7.2 Kegiatan Pokok, hal yang akan dilakukan:
a. Wawancara secara bebas dengan para pemain randai, baik tukang
cerita, tukang gendang, maupun peniup peluit;
b. Wawancara dengan pihak terkait, seperti tokoh masyarakat, tokoh
adat, dan pejabat terkait sebagai bahan penunjang;
c. Merekam tradisi lisan randai sewaktu pementasan dilakukan
(diusahakan tidak diketahui/secara tersembunyi oleh informan).
3.7.3 Kegiatan Akhir, hal yang akan dilakukan adalah:
a. Mentranskripsikan hasil cerita tradisi lisan randai ke dalam tulisan
berbahasa Melayu Rantau Kuantan;
b. Mengalihbahasakan hasil transkripsi cerita tradisi lisan randai ke
dalam bahasa Indonesia;
c. Menganalisis hasil transkripsi cerita tradisi lisan randai;
12. 5 Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan
pedoman wawancara yang menggunakan alat rekaman, baik berupa
kamera maupun handycam. Pedoman lain adalah beberapa petunjuk yang
BAB V
MODEL PENGAJARAN CERITA RANDAI SEBAGAI BAHAN MUATAN LOKAL UNTUK SMP DI KABUPATEN
KUANTAN SINGINGI
5.1 Dasar Pemikiran
Cerita randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun yang telah selesai
dianalisis berdasarkan struktur, nilai budaya dan konteks dengan
menggunakan metode deskriptif-analitis hendaknya tidak sampai di situ
saja. Oleh sebab itu, perlu ditindaklanjuti dengan menawarkan cerita
randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun ini untuk dijadikan bahan muatan
lokal dalam bidang studi Kesenian Daerah di Sekolah Menengah Pertama
pada Kabupaten Kuantan Singingi, khususnya untuk kelas VII semester 1
dan 2.
Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Kesenian yang diterbitkan Pusat
Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan
Nasional mengatakan:
“…. pendidikan seni di sekolah umum pada dasarnya diarahkan untuk menumbuhkan sensitivitas dan kreativitas sehingga terbentuk sikap apresiatif, kritis, dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Kemampuan ini hanya mungkin tumbuh jika dilakukan serangkaian kegiatan meliputi pengamatan, analisis, penilaian, serta kreasi dalam setiap aktivitas seni baik di dalam kelas maupun di luar kelas”.
Dengan demikian, kegiatan randai merupakan salah satu sarana untuk
menumbuhkan kreativitas siswa dan jiwa yang mampu berapresiatif dalam
Demi terealisasinya dan adanya acuan yang dapat digunakan guru
untuk mengajarkan cerita ini kepada siswa kelas VII SMP, maka perlu
dibuatkan semacam model pengajaran. Dengan model ini diharapkan
lebih mudah guru dan siswa dalam memahami cerita randai tersebut.
Melalui cerita randai ini juga dapat pula dikembangkan dan diwariskan
nilai-nilai luhur dan norma-norma yang terdapat dalam cerita.
5.2 Model Pengajaran Cerita Randai
Mata Pelajaran : Muatan Lokal (Kesenian Daerah)
Kelas/Semester: VIII/1
Waktu : 2 kali pertemuan (4 x 45 menit)
Standar Kompetensi: Mampu mengungkapkan pikiran, pendapat, gagas- an, dan perasaan dalam berbagai bentuk wacana lisan nonsastra: menanggapi pembacaan kutipan novel terjemahan dan menanggapi pementasan drama.
Kompetensi Dasar :
1. Menanggapi pementasan drama.
1.1 Mampu mengidentifikasi karakter tokoh dalam pementasan drama. 1.2 Mampu mendeskripsikan fungsi latar dalam pementasan drama. 1.3 Mampu menemukan tema cerita dalam pementasan drama.
1.4 Mampu mendeskripsikan alur (jalan cerita) dalam pementasan drama.
1.5 Mampu menemukan motif dalam pementasan drama.
1.6 Mampu menemukan nilai budaya dalam pementasan drama.
1.7 Mampu menanggapi hasil pementasan drama dengan argumen yang logis.
Uraian Materi:
1. Mengenal unsur-unsur pementasan drama.
Skenario :
Proses Kegiatan:
1. Awal : Apersepsi: menyebutkan unsur-unsur pementasan drama. menyebutkan unsur-unsur intrinsik cerita dalam drama.
menyebutkan nilai-nilai budaya dalam cerita drama. Motivasi : Sebutkan unsur-unsur pementasan drama.
2. Inti : Beberapa unsur pementasan drama. Beberapa unsur intrinsik cerita. Beberapa nilai budaya dalam cerita.
Menyebutkan unsur-unsur pementasan drama: - skenario
- pemain - sutradara - dekorasi
- busana dan rias - musik pengiring
Menyebutkan unsur-unsur intrinsik cerita: - tema
- alur
- tokoh/penokohan - amanat
- latar - motif
Menyebutkan unsur nilai-nilai budaya dalam cerita : - hubungan manusia dengan Tuhan
Pengalaman Belajar:
- Menjelaskan unsur-unsur pementasan drama - Menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerita
- Menjelaskan unsur nilai-nilai budaya dalam cerita Alokasi Waktu :
4 x 45 menit (2 kali pertemuan)
Indikator :
Menyebutkan unsur-unsur pementasan drama.
- Memberikan penilaian sederhana atas bentuk penyajian pementasan drama.
- Menyebutkan unsur-unsur tema, isi, dan amanat dari penyajian pementasan drama.
- Mengungkapkan pendapat atas unsur-unsur pementasan drama yang dilakukan siswa.
- Menyebutkan unsur-unsur nilai budaya yang terdapat dalam pementasan drama.
- Menyebutkan contoh masing-masing unsur nilai budaya dalam pementasan drama.
Tagihan (Soal) :
Jenis : Individu dan kelompok Bentuk : Lisan, tulisan dan praktek Soal :
1. Sebutkan unsur-unsur dalam pementasan drama.
2. Berikan satu contoh drama tradisi daerah di Kuantan Singingi. 3. Sebutkan unsur-unsur intrinsik yang ada dalam cerita.
4. Sebutkan unsur-unsur nilai budaya yang ada dalam drama.
Sumber/Bahan :
a. DRAMA Karya dalam Dua Dimensi
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Karya sastra tradisi lisan randai Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun
yang direkam dan dianalisis mempunyai struktur yang dijalin oleh
beberapa unsur yang membentuknya. Dengan jalinan itu unsur-unsur
cerita tersebut tampak dengan jelas mempunyai susunan yang baik.
Unsur-unsur yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun
adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan motif. Kelima unsur
tersebut dapat penulis simpulkan satu persatu.
1) Tema dalam cerita Dang Gedunai adalah anak yang tidak mau turut
pada perintah orang tuanya, sedangkan tema dalam cerita Niniak
Jiruhun adalah anak yang tidak mempunyai rasa belas kasihan
terhadap orang tua.
2) Tokoh dalam cerita Dang Gedunai sebanyak 5 orang, satu tokoh
utama dan 4 tokoh tambahan, sedangkan tokoh dalam cerita Niniak
Jiruhun sebanyak 9 orang dengan 2 tokoh utama dan 7 tokoh
tambahan. Penokohan/perwatakan dalam cerita Dang Gedunai
terdapat 4 tokoh protagonis dan 1 tokoh antagonis, sedangkan
dalam cerita Niniak Jiruhun terdapat 5 tokoh protagonis dan 4 tokoh
antagonis.
3) Alur dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun memakai pola
4) Latar yang digunakan dalam cerita Dang Gedunai dan Niniak
Jiruhun hampir sama yaitu berkisar nama-nama tempat seperti di
rumah, surau dan kedai (warung). Kemudian juga lingkungan alam
yang ada di sekitarnya seperti: hutan, sungai, rawang (danau kecil),
sawah dan kebun karet. Hal ini menunjukkan bahwa latar yang
dominan dalam kedua cerita randai ini adalah kondisi alam yang
terdapat di Rantau Kuantan Singingi.
5) Motif yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai adalah motif
perkawinan dan impian, sedangkan dalam cerita Niniak Jiruhun
adalah motif perkawinan (pelanggaran janji) dan perpisahan. Hal ini
berarti bahwa motif yang ada dalam kedua cerita menggambarkan
tentang kondisi sosial masyarakat di Rantau Kuantan Singingi.
6) Nilai budaya yang terdapat dalam cerita Dang Gedunai terdapat 7
macam dan dalam cerita Niniak Jiruhun terdapat 8 macam. Pada
cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun tersebut dikelompokkan
menjadi 5 sistim nilai budaya yaitu: hubungan manusia dengan
Tuhan, hubungan manusia dengan karya, hubungan manusia
dengan waktu, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan
hubungan manusia dengan sesamanya. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai budaya yang ada dalam kedua cerita tersebut masih
eksis dan digunakan dalam kehidupan dalam kehidupan sehari-hari
7) Ciri ketradisian dan kelisanan dalam cerita Dang Gedunai dan
Niniak Jiruhun masih berlangsung sampai penelitian ini dilakukan.
Hal ini berarti ciri ketradisian dan kelisanan tersebut masih tetap
dilakukan walaupun ada juga yang dimodifikasi sesuai dengan
tuntutan zaman dan penonton.
8) Genre cerita Dang Gedunai adalah legenda, sedangkan cerita
Niniak Jiruhun tergolong jenis dongeng. Hal ini menunjukkan bahwa
cerita randai juga banyak yang mengisahkan cerita yang berasal
dari daerah tempat grupnya berasal dan juga diambil dari
cerita-cerita yang ada di masyarakat.
6.2 Saran
Penelitian ini jelas berimplikasi dengan guru-guru sastra, kesenian
daerah (khusus di daerah Riau), pengembangan ilmu sastra dan pihak
yang mempunyai komitmen untuk mengembangkan kebudayaan daerah.
Untuk itu penulis menyampaikan harapan dan sekaligus menyarankan:
1) Guru bidang studi Kesenian Daerah yang mengajar pada SMP di
Kabupaten Kuantan Singingi dapat memanfaatkan cerita randai
Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun untuk dijadikan sebagai salah
satu bahan pelajaran karena cerita ini digali dari ranah Kuantan
Singingi sendiri. Guru bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia
juga bisa memanfaatkannya sebagai salah satu pengayaan
2) Para peneliti lain yang tertarik dengan dunia tradisi sastra lisan
hendaknya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan
acuan karena masih banyak cerita-cerita rakyat yang belum tergali
khususnya di daerah-daerah pedalaman dan pesisir pantai.
3) Cerita Dang Gedunai dan Niniak Jiruhun penulis tawarkan kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi untuk dijadikan
salah satu bahan ajar muatan lokal. Hal ini disebabkan karena
kedua cerita ini banyak memuat nilai-nilai budaya dan norma
BIBLIOGRAFI
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badan Pusat Statistik. 2004. Kuantan Singingi dalam Angka. Teluk Kuantan: Pemda Kuantan Singingi.
Baried, Baroroh St dkk. 1985. Memahami Hikayat dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, Dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Darma, Budi. 1981. Moral dalam Sastra. Pidato Ilmiah. Surabaya: IKIP.
Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2003. Unsur Didaktis dalam Fabel Nusantara: Cerita Kera Jakarta: Pusat Bahasa.
Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Djojosuroto, Kinayati dan Sumaryati, M.L.A. 2004. Prinsip-Prinsip Dasar Penelitian Bahasa & Sastra. Bandung: Nuansa.
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik 1. Jakarta: Erlangga.
Hasanuddin. 1996. DRAMA Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.
Hamidy, UU. 1995. Kamus Antropologi Dialek Melayu Rantau Kuantan Riau. Pekanbaru: Unri Press.
Hamidy, UU, dan Ahmad, Muchtar. 1993. Beberapa Aspek Sosial Budaya Daerah Riau. Pekanbaru: UIR Press.
Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Keraf, Gorys. 2001. KOMPOSISI Sebuah Pengantar Kemahiran Berbahasa. Flores: Nusa Indah.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Khristina. 2004. Analisis Struktur, Nilai Budaya, dan Konteks dalam Tradisi Berebab pada Masyarakat Padang Pariaman. Tesis. Bandung: UPI.
Lubis, Mochtar. 1978. Teknik Mengarang. Jakarta: Nunang Jaya.
Luxemburg, Jan Van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra (terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. 1998. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Muslihin, Endin. 2002. Kajian Struktur dan Fungsi Pendidikan dalam Tradisi Lisan Masyarakat Kanekes. Tesis. Bandung: UPI
Nasution, S. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pudentia. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Ratna, Nyoman K. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman K. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Indonesia dan Asosiasi Tradisi Lisan.
Rusyana, Yus. 1979. Novel Sunda sebelum Perang. Jakarta: Depdikbud.
Semi, Atar. 1990. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Semi, Atar. 1993. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sudardi, Bani. 2002. Wacana Perubahan dan Adaptasi Sastra Lisan di Indonesia (jurnal penelitian). Bandung: UPI.
Sudjana, Nana. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sumardjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI Press.
Sutrisno, Sulastin, dkk (Ed.). 1991. Bahasa Sastra Budaya (Kumpulan Makalah). Yogyakarta: UGM Press.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tuloli, Nani. 1991. Tanggomo Salah Satu Ragam Sastra Lisan Gorontalo. Jakarta: Intermasa.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1990. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.