Universitas Kristen Maranatha iii
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui derajat
Kecerdasan Emosional pada siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara yang disusun oleh peneliti dengan mengacu pada teori Kecerdasan Emosional (Goleman, 2001).
Sampel dalam penelitian ini adalah murid kelas 6 di SD ‘X’ Bandung berjumlah 20 orang dengan metode penelitian deskriptif. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan teknik analis coding.
Hasil penelitian yang diperoleh memperlihatkan bahwa sebanyak 55% siswa memiliki tingkat Kecerdasan Emosional yang rendah. Pada siswa dengan tingkat Kecerdasan Emosional yang rendah, sebagian besar siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Pada siswa dengan tingkat Kecerdasan Emosional yang tinggi, didapatkan 2 aspek yang rendah dalam memotivasi diri dan aspek mengenali emosi orang lain serta 3 aspek yang tinggi pada aspek mengenal emosi, mengelola emosi dan membina hubungan. Faktor yang menunjukkan adanya kecenderungan keterkaitan dengan Kecerdasan Emosional adalah modeling orangtua.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti mengajukan saran kepada
Universitas Kristen Maranatha vii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL………i
LEMBAR PENGESAHAN……….ii
ABSTRAK…...………...iii
KATA PENGANTAR………iv
DAFTAR ISI………..vii
DAFTAR TABEL……….viii
DAFTAR BAGAN………...viii
DAFTAR LAMPIRAN………..ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………1
1.2 Identifikasi Masalah………..8
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian………..8
1.3.2 Tujuan Penelitian………...8
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah………....8
1.4.2 Kegunaan Praktis………...9
1.5 Kerangka Pemikiran………..9
Universitas Kristen Maranatha viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KecerdasanEmosional
2.1.1 Latar Belakang Kecerdasan Emosional.………....17
2.1.2 Trait dari Kecerdasan Emosional………..18
2.1.3 Neurologi Otak Emosional………18
2.1.4 Pengertian Kecerdasan Emosioanal………..20
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosional.22 2.1.6 Peranan Kecerdasan Emosional………23
2.2 Masa Akhir Anak-anak 2.2.1 Definisi Masa Akhir Anak-anak………...23
2.2.2 Ciri-ciri Perkembangan Emosi Masa Akhir Anak………...24
2.3 Sekolah 2.3.1 Peranan Sekolah dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional………...28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian……..……….29
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.2.1 Variabel Penelitian……..………..30
Universitas Kristen Maranatha ix
3.3 Alat Ukur
3.3.1 Alat Ukur Kecerdasan Emosional……….…………....31
3.3.2 Sistem Penilaian………..………..36
3.3.3 Data Pribadi dan Data Penunjang……….39
3.3.4 Validitas dan reliabilitas Alat Ukur………..39
3.4 Populasi Penelitian 3.4.1 Populasi Sasaran Penelitian…..………39
3.4.2 Karakteristik Populasi………..……….39
3.4.3 Target Populasi……….40
3.5 Teknik Analisis Data………..………40
BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian 4.1.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin……….41
4.1.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Usia………..41
4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.2.1 Tingkat Kecerdasan Emosional……….42
Universitas Kristen Maranatha x
4.2.2.2 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek
Mengelola emosi……….44
4.2.2.3 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek Memotivasi diri………...45
4.2.2.4 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek Mengenali emosi diri………..46
4.2.2.5 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek Membina hubungan……….47
4.2.3 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan Setiap Aspek 4.2.3.1 Tabulasi silang EQ rendah dengan setiap aspek…48 4.2.3.2 Tabulasi silang EQ tinggi dengan setiap aspek….48 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian………...49
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………...58
5.2 Saran 5.2.1 Saran Teoretis………...59
5.2.2 Saran Praktis……….59
DAFTAR PUSTAKA………60
Universitas Kristen Maranatha xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kategori Tingkat Aspek kecerdasan Emosional………..…..38
Tabel 3.2 Kategori Tingkat Kecerdasan Emosional………...38
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin………...…...40
Tabel 4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan………...41
Tabel 4.3 Tingkat Kecerdasan Emosional………...41
Tabel 4.4 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan Aspek Mengenali Emosi diri ….42 Tabel 4.5 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek Mengelola emosi………...43
Tabel 4.6 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek Memotivasi diri……….…44
Tabel 4.7 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek Mengenali emosi orang lain………,45
Tabel 4.8 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan aspek Membina hubungan…….46
Tabel 4.9 Tabulasi Silang Tingkat EQ dengan Setiap Aspek……...47
Universitas Kristen Maranatha xii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir………...17
Universitas Kristen Maranatha xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kerangka wawancara
Lampiran 2 : Lembar Coding
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu modal yang harus dimiliki untuk
hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari
tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi dan Intelligence Quotion (IQ)
dipandang sebagai salah satu komponen penting dalam meraih prestasi dan
keberhasilan, namun terdapat dimensi lain yang menjadi komponen
keberhasilan seseorang dalam kehidupan, yaitu Kecerdasan Emosional (EQ)
(Goleman, 2001). Kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mengenali perasaan diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hasil penelitian, setidaknya 75% kesuksesan manusia lebih
ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya dan hanya 4% yang ditentukan oleh
kecerdasan intelektualnya (IQ) (Eko Iman, www. Google.com). Di dunia
pendidikan, kecerdasan emosional yang tinggi dalam proses belajar juga
diperlukan. Kecerdasan emosional dalam belajar biasanya berkaitan dengan
kestabilan emosi untuk bisa tekun, konsentrasi, tenang, teliti, dan sabar dalam
memahami materi yang dipelajari.
Seorang siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, akan
2
Universitas Kristen Maranatha perasaan yang timbul, selain itu siswa mampu untuk mengendalikan emosinya
ketika mengalami suatu emosi tertentu seperti akan berdampak pada
berkurangnya ejekan verbal, perkelahian dan gangguan di ruang kelas. Dalam
proses pembelajaran, siswa juga mampu memotivasi diri untuk lebih
memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan. Ketika harus berhadapan
dengan orang lain, siswa mampu menerima sudut pandang orang lain,
misalnya siswa bersedia mendengarkan terlebih dahulu pendapat dari guru
atau temannya, mau mendengarkan cerita orang lain dan mempunyai empati
terhadap orang lain. Siswa juga mampu bekerja sama dalam kelompok, lebih
baik dalam menyelesaikan persoalan yang ada ketika berteman, lebih suka
menolong dan akan lebih terampil dalam berkomunikasi.
Sebaliknya siswa yang memiliki kecerdasan emosional rendah akan
mempunyai toleransi yang rendah terhadap penanganan masalah yang sedang
dihadapi (Goleman, 2006), misalnya memukul teman, melawan guru. Selain
itu siswa kurang mempunyai motivasi dalam belajar dan menyelesaikan
tugas-tugas yang dikerjakan, kurang mampu menguasai diri ketika siswa sedang
merasakan suatu perasaan tertentu, misalnya ketika siswa sedang merasa
marah dan dihadapkan dengan tugas-tugas yang banyak, siswa akan mengeluh
dan memilih untuk tidak mengerjakan tugasnya. Dalam berteman, siswa juga
akan sulit untuk menerima pendapat orang lain dan kurang peka terhadap
temannya. Ketika harus bekerja sama dengan orang lain, siswa akan sulit
untuk bertenggang rasa dengan teman yang lain, siswa juga kurang mampu
3
Universitas Kristen Maranatha Ketika siswa berada di tingkat Sekolah dasar (SD), siswa dituntut
untuk mempelajari hal-hal baru, pengetahuan baru yang lebih luas melalui
mata-mata pelajaran yang diberikan sekolah. Selain itu anak juga memasuki
dunia sosial, yaitu pertemanan. Pada siswa kelas 6, siswa dituntut untuk
belajar lebih giat, mempelajari materi pelajaran yang berat dan banyak,
terlebih mereka akan menghadapi Ujian Nasional.
Pada siswa kelas 6 SD yang memasuki masa akhir anak-anak ini pun,
terjadi perkembangan emosi, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan
emosi secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Oleh karena itu dia mulai
belajar untuk mengendalikan dan mengontrol emosinya. Selain itu, ditemukan
bahwa pertemanan dengan teman sebaya mengambil peranan penting ketika
memasuki dunia SD (Santrock, 2002). Menurut penelitian Barker & Wright
(dalam Santrock, 1995) anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10% dari waktu
siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu
yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi
20%. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40%
waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Dengan kecerdasan
emosional yang tinggi, siswa akan mampu menghadapi tekanan dari teman
sebaya, mampu mengatasi rasa marah, belajar tentang akibat dari tindakan
yang telah dilakukan, berusaha untuk tidak menggunakan kekerasan dalam
menyelesaikan masalah mereka.
4
Universitas Kristen Maranatha Dari hasil wawancara dengan guru-guru kelas 6 di SD ‘X’
Bandung, terungkap bahwa siswa kelas 6 dituntut untuk mengingat dan
mengulang materi pelajaran kelas 4 sampai dengan kelas 6 secara cepat
karena guru-guru harus mengejar materi untuk persiapan ujian. Selain itu
murid disibukkan dengan banyaknya pekerjaan rumah yang diberikan untuk
memantapkan materi yang diajarkan guru. Kegiatan lain di luar jam sekolah
yang cukup menguras tenaga dan pikiran siswa, seperti les pelajaran, latihan
futsal, bulu tangkis mengakibatkan siswa menjadi kurang istirahat dan kurang
waktu bermain. Jadwal yang cukup padat, ulangan dan latihan ujian yang terus
menerus menuntut siswa untuk dapat terus memotivasi diri agar tetap fokus
terhadap pelajaran agar mampu memperoleh nilai yang baik.
Dalam menghadapi semua kegiatan tersebut, setiap anak memiliki
penghayatan emosi yang berbeda-beda. Sebagian anak menjadi tidak fokus
terhadap pelajaran, seperti mengobrol dengan temannya sehingga prestasinya
menurun. Sedangkan tuntutan dari orangtua dan guru terhadap nilai mereka
dan tuntutan untuk lulus dengan nilai yang baik semakin besar. Guru juga
menghayati bahwa ketika tugas-tugas yang diberikan semakin banyak,
motivasi berprestasi dalam diri siswa kelas 6 menjadi turun. Siswa menjadi
malas untuk mengerjakan tugas yang diberikan.
Selain itu adanya pengaruh teman sebaya, seperti pergaulan siswa
dengan teman yang mempunyai need of achievement tinggi, hal tersebut akan
memacu siswa untuk berprestasi, dan sebaliknya pergaulan siswa dengan
5
Universitas Kristen Maranatha malas untuk berprestasi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, siswa juga
menjadi lebih senang bermain game online dan mencari informasi-informasi
melalui internet, salah satunya situs porno. Ada juga beberapa siswa yang
bergaul dengan siswa SMP yang kurang berprestasi sehingga siswa SD
terbawa tidak mau belajar.
Menurut salah seorang guru kelas 6, siswa melampiaskan emosi
dengan seenaknya seperti membanting pintu sampai pegangan pintu rusak, lari
dari sekolah, berkata kasar kepada guru, menyakiti diri sendiri dengan
menyayatkan penggaris besi ke tubuh. Data-data kenakalan dan pelanggaran,
seperti keterlambatan, tidak membawa buku, berkata kasar juga tercatat dalam
buku pelanggaran dan buku konseling
Berdasarkan wawancara dengan 10 siswa kelas 6 SD ‘X’, terungkap
fakta bahwa seluruh siswa (100%) mengatakan bahwa mereka mengetahui apa
yang mereka rasakan ketika marah, sedih, kesal atau bosan sewaktu
mengerjakan pelajaran. Mereka juga mengetahui apa yang menjadi penyebab
dari kemarahan atau rasa bosan tersebut, seperti bosan terhadap pelajarannya,
terlalu banyak menulis, terlalu banyak tugas, soal-soal yang sulit. Hal ini
mencerminkan kemampuan untuk mengenali emosi. Dari 10 siswa tersebut, 4
siswa (40%) mengatakan bahwa mereka dapat menahan diri ketika merasa
bosan atau kesal terhadap tugas yang dikerjakan, mereka akan diam beberapa
menit baru kemudian akan mengerjakan lagi ketika ia sudah tenang.
Sedangkan sebanyak 5 siswa (50%) menyatakan bahwa ketika mereka
6
Universitas Kristen Maranatha ketidaksukaan ataupun ketidaksetujuan mereka mengenai tugas yang
seharusnya dikerjakan, tidak mau mengerjakan tugas sama sekali, memukul
pintu, mengeluarkan kata-kata kasar ketika guru keluar kelas, bertengkar
dengan orangtua dan adik ketika sampai di rumah. Seorang siswa (10%)
menyatakan bahwa kadang-kadang tidak mampu menahan diri ketika bosan,
kesal atau marah, misalnya tidak mau mengerjakan tugas dari guru dan setelah
dipaksa baru akan mengerjakan tugasnya. Hal ini mencerminkan beragamnya
kemampuan siswa untuk mengelola emosi.
Sebanyak 6 siswa (60%) menyatakan bahwa ketika mereka merasa
malas atau bosan ataupun kesal, mereka akan menenangkan diri terlebih
dahulu, atau menonton TV, mengobrol dengan teman, setelah merasa tenang,
mereka akan melanjutkan pekerjaan. Sedangkan 4 siswa (40%) menyatakan
ketika merasa malas, jenuh terhadap tugas yang seharusnya mereka kerjakan,
mereka lebih memilih untuk sama sekali tidak mengerjakan tugas dan lebih
baik dihukum, mereka juga memilih untuk tidak mengerjakan tugas karena
berpikir bila mengerjakan akan menjadi berantakan, atau bahkan lebih
memilih keluar kelas. Hal ini menunjukkan beragamnya kemampuan siswa
dalam memotivasi diri.
Sebanyak 7 siswa (70%) menyatakan bahwa mereka mau berteman
dengan siapa saja walaupun temannya mempunyai kekurangan seperti
berteman dengan anak berkebutuhan khusus, selain itu, ketika ada anak
berkebutuhan khusus yang tantrum, mereka membantu menenangkan seperti
7
Universitas Kristen Maranatha memanggil guru. Selain itu, ketika ada teman yang diganggu, mereka
membela, ketika salah satu teman sedang mempunyai masalah, mereka mau
mendengarkan cerita temannya. Sedangkan 3 siswa (30%) menyatakan
mereka memilih-milih teman, mereka tidak mau berteman dengan siswa yang
kurang pintar atau kurang mau diajak kerjasama. Selain itu mereka tidak
senang satu kelompok dengan anak berkebutuhan khusus karena mengganggu.
Fakta tersebut mencerminkan beragamnya kemampuan siswa dalam
memahami sesama.
Sebanyak 7 siswa (70%) menyatakan bahwa mereka mau menerima
saran dan kritik dari teman-temannya ketika melakukan diskusi, mau
membantu temannya yang kesulitan dalam mengerjakan tugas, membantu
teman ketika temannya mempunyai masalah. Sedangkan 3 siswa (30%)
menyatakan mereka tidak suka dikritik orang lain karena merasa tidak tenang
bila dikritik dan langsung memusuhi temannya atau kurang suka apabila
pendapat orang lain yang lebih diterima ketika berdiskusi kelompok. Hal ini
menunjukkan beragamnya kemampuan siswa dalam mengolah hubungan
dengan sesamanya.
Dengan adanya kesenjangan antara fakta dengan apa yang diharapkan
dari sekolah, maka peneliti tertarik untuk meneliti gambaran aspek-aspek
8
Universitas Kristen Maranatha 1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, identifikasi permasalahan
pada penelitian ini adalah : Seberapa besar Derajat Kecerdasan Emosional pada
Siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kecerdasan
emosional pada siswa kelas 6 di SD ’X’ di Bandung.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran secara
detil mengenai kecerdasan emosional dan aspek-aspeknya pada siswa kelas 6 di
SD ‘X’ Bandung.
1.4. Kegunaan Penelitian 1.4.1. Kegunaan Ilmiah
1. Menambah informasi mengenai gambaran kecerdasan emosional bagi
bidang kajian psikologi pendidikan.
2. Menambah informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut
9
Universitas Kristen Maranatha 1.4.2. Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada guru-guru SD ‘X’ mengenai gambaran
kecerdasan emosional pada siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung sebagai
bahan pertimbangan untuk membimbing siswa.
2. Memberikan informasi kepada siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung mengenai
kecerdasan emosional dan aspek-aspeknya untuk lebih memahami diri.
3. Memberi informasi kepada orang tua siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung
mengenai kecerdasan emosional dan aspek-aspeknya dalam membimbing
anak.
1.5 Kerangka Pemikiran
Menurut Daniel Goleman (2006), keberhasilan manusia tidak hanya
ditentukan oleh kecerdasan intelektual, namun terlebih lagi kecerdasan emosional
dalam dirinya. Kecerdasan emosional dapat didefinisikan sebagai kemampuan
untuk mengenali perasaan diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman,2006).
Dalam kecerdasan emosional terdapat lima aspek, yaitu mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain,
kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Aspek pertama yaitu kemampuan mengenali emosi diri, yang merupakan
dasar dari kecerdasan emosional. Pada tahap ini, diperlukan adanya pemantauan
10
Universitas Kristen Maranatha Siswa kelas 6 SD merupakan tahap akhir masa kanak-kanak. Sepanjang masa
pertengahan dan masa akhir kanak-kanak, anak secara aktif dan terus menerus
mengembangkan dan memperbaharui pemahaman tentang diri, anak akan
mengorganisasi dan memahami tentang siapa dirinya, yang didasarkan atas
pandangan orang lain, pengalaman-pengalamannya sendiri, dan atas dasar
penggolongan budaya seperti gender, ras. Siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung
diharapkan mampu mengenali emosi diri mereka sendiri. Siswa kelas 6 di SD ‘X’
Bandung yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dalam aspek mengenali
emosi akan mampu untuk mengetahui apa yang dirasakan, apakah sedang marah
atau kesal, atau apabila harus berhadapan dengan orang lain. Sebaliknya, siswa
kelas 6 SD di SD ‘X’ di Bandung yang memiliki kecerdasan emosional yang
rendah, mereka tidak mampu untuk mengenal perasaan mereka ketika mereka
sedang marah, kesal atau bosan.
Aspek kedua dalam kecerdasan emosional adalah kemampuan mengelola
emosi diri yang berarti menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat.
Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri.
Kemampuan mengelola emosi dikatakan berhasil apabila siswa mampu menyadari
rasa sakit hati yang memicu amarah dan kesedihan, mampu mempelajari cara
untuk menangani kecemasan, amarah dan kesedihan, bertanggung jawab atas apa
yang dikerjakan, seperti siswa yang menyadari bahwa siswa harus menyelesaikan
pekerjaan rumah walaupun sebenarnya sedang merasa malas. Dengan adanya
kesadaran diri terhadap emosinya, siswa kelas 6 SD di SD ’X’ diharapkan mampu
11
Universitas Kristen Maranatha memiliki kecerdasan emosional tinggi dalam aspek mengelola emosi akan mampu
menahan rasa bosan ketika harus mengerjakan tugas sekolah, menahan diri ketika
menghadapi teman dan guru di sekolah yang membuatnya merasa kesal, menahan
rasa kesal ketika mendapatkan persoalan yang sulit di sekolah. Jika Siswa kelas 6
SD di SD ’X’ di Bandung tidak mampu untuk mengendalikan emosi seperti
marah-marah ketika diberi soal yang banyak, tidak mau mengerjakan tugas ketika
sedang kesal, tidak mau mengerjakan tugas dikarenakan tidak menyukai gurunya,
maka hal tersebut mencerminkan kecerdasan emosional yang rendah dalam aspek
mengelola emosi.
Aspek ketiga yaitu memotivasi diri sendiri. Dengan kemampuan
memotivasi, siswa akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam
menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Kemampuan siswa memotivasi
diri dapat ditelusuri melalui bagaimana siswa mengendalikan dorongan hati untuk
fokus terhadap apa yang sedang dikerjakan. Siswa kelas 6 di SD ’X’ Bandung
diharapkan mampu untuk memotivasi diri untuk mencapai prestasi belajar. Siswa
kelas 6 SD yang mampu mengendalikan keinginan untuk bermain sedangkan saat
itu harus menyelesaikan tugasnya, optimistik bahwa ia mampu menyelesaikan
tugas sekolah dengan hasil yang baik, fokus terhadap tugas yang sedang
dikerjakan, mencerminkan adanya kecerdasan emosional yang tinggi dalam aspek
memotivasi diri. Sebaliknya, siswa kelas 6 SD yang memiliki kecerdasan
emosional rendah dalam aspek memotivasi diri, ditunjukkan dengan perasaan
12
Universitas Kristen Maranatha dihadapkan dengan tugas-tugas sekolah yang dirasakan sulit, tidak fokus terhadap
tugas yang diberikan
Aspek keempat yaitu mengenali emosi orang lain. Dalam berelasi dengan
teman, hal utama adalah empati, yaitu bagaimana siswa mampu memahami
perrasaan orang lain, menerima sudut pandang orang lain dan menghargai
perbedaan. Siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung diharapkan mampu untuk
mengetahui emosi orang lain. Jika Siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung mempunyai
kecerdasan emosional tinggi dalam aspek ini, siswa akan mampu untuk mengenal
teman-teman sekolahnya dan berinteraksi dengan mereka, memahami kelebihan
dan kekurangan dirinya dan mau menerima sudut pandang temannya sehingga
siswa tersebut juga mampu untuk memahami perasaan orang lain. Namun
sebaliknya, jika siswa kelas 6 di SD ’X’ Bandung tidak mampu bersikap empati
dan tidak mau mengenal teman-temannya dan berinteraksi dengan mereka, maka
hal ini mencerminkan kecerdasan emosional yang rendah dalam aspek mengenali
emosi orang lain.
Aspek kelima yaitu kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama)
dengan orang lain. Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan
keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang
lain. Tanpa memiliki keterampilan kerjasama siswa akan mengalami kesulitan
dalam pergaulan sosial. Tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan dapat
menyebabkan siswa seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak
berperasaan. Siswa kelas 6 SD ‘X’ Bandung diharapkan mampu untuk bekerja
13
Universitas Kristen Maranatha membantu teman dalam belajar dan bekerja sama saat mengerjakan tugas, mampu
menyelesaikan pertikaian dengan teman, mau bekerja sama dengan teman
mencerminkan kecerdasan emosional yang tinggi dalam membina hubungan
dengan orang lain. Sebaliknya, jika siswa kelas 6 SD ‘X’ Bandung tidak mampu
untuk bekerja sama dengan baik, hal ini mencerminkan kecerdasan emosional
yang rendah.
Setiap siswa mempuyai derajat kecerdasan emosional yang berbeda-beda.
Hal ini tergantung bagaimana siswa menghayati emosi ketika mengalami emosi
tertentu dan hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dari kecerdasan
emosional itu sendiri. Pergolakan emosi yang terjadi pada siswa tidak terlepas dari
bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan
teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan
sehari-hari. Faktor pertama, yaitu keluarga. Kehidupan keluarga merupakan
sekolah pertama siswa untuk mempelajari emosi. Dalam lingkungan ini siswa
belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri dan bagaimana orang lain
menanggapi perasaannya, bagaimana berpikir mengenai perasaan tersebut dan
pilihan-pilhan apa yang kita miliki untuk bereaksi serta bagaimana membaca dan
mengungkapkan harapan dan rasa takut. Pembelajaran emosi bukan hanya melalui
hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orangtua secara langsung kepada
siswa, melainkan juga melalui contoh yang mereka berikan sewaktu menangani
perasaan mereka sendiri sebagai orangtua. Dalam hal ini, apabila mempunyai
orangtua yang cerdas secara emosional, seperti mampu bersikap sabar terhadap
14
Universitas Kristen Maranatha membantu anak menyelesaikan permasalahan mereka, dan mau mendengarkan
anak serta tidak memaksakan kehendak mereka, maka hal ini akan menghasilkan
kecerdasan emosional yang tinggi pada anak. Sebaliknya, orangtua yang suka
memaksa, sering marah dengan nada mencemooh, kehilangan kesabaran
menghadapi ketidakmampuan anaknya akan membuat anak memiliki kecerdasan
emosional yang rendah. Masa anak juga identik dengan lingkungan sosial tempat
berinteraksi, yang membuat siswa dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara
efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah seperti bertemu dengan
teman-temannya, berinteraksi dengan mereka dan dengan guru (pada umumnya
mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk
memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka siswa seringkali meluapkan
kelebihan energinya ke arah yang tidak positif.
15
Universitas Kristen Maranatha Siswa kelas 6 di SD ‘X’
Bandung
- Mengenali emosi diri - Mengelola emosi - Memotivasi diri
- Mengenali emosi orang lain
- Membina hubungan
Kecerdasan Emosional pada siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung
1. Modeling Orangtua 2. Sekolah
16
Universitas Kristen Maranatha 1.6. Asumsi
Dari kerangka pemikiran di atas, peneliti mempunyai asumsi, yaitu :
1. Siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung memiliki derajat Kecerdasan
Emosional yang berbeda-beda
2. Kecerdasan emosional siswa kelas 6 SD ‘X’ Bandung mencakup
aspek-aspek kecerdasan emosional yaitu mengenal emosi, mengelola
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan
kemamuan bekerja sama dengan orang lain.
3. Kecerdasan emosional siswa kelas 6 di SD ‘X’ Bandung dipengaruhi
faktor eksternal, yaitu modeling terhadap orang tua dan hubungan
58
Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan mengenai tingkat Kecerdasan Emosional siswa kelas 6 SD ‘X’
Bandung sebagai berikut:
1. Sebanyak 55% siswa kelas 6 SD ‘X’ Bandung memiliki tingkat
Kecerdasan Emosional yang rendah dan 45% siswa kelas 6 SD ‘X’
Bandung memiliki tingkat Kecerdasan Emosional yang tinggi.
2. Sebagian besar siswa kelas 6 SD ‘X’ Bandung dengan tingkat Kecerdasan
Emosional yang rendah memiliki kemampuan mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan
membina hubungan yang rendah pula.
3. Pada siswa dengan tingkat Kecerdasan Emosional yang tinggi, tidak
seluruhnya memiliki kemampuan yang tinggi pada setiap aspeknya, yaitu
tinggi dalam aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi dan membina
hubungan, rendah dalam aspek memotivasi diri dan mengenali emosi
orang lain.
59
Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoretis
1. Dengan adanya penelitian ini, disarankan bagi peneliti lain untuk
melanjutkan penelitian mengenai keterkaitan Modeling terhadap orangtua
dengan Kecerdasan Emosional.
5.2.2 Saran Praktis
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak siswa kelas 6 SD ‘X’
memiliki kecerdasan Emosional yang rendah, oleh karena itu disarankan
bagi para guru SD ‘X’ Bandung untuk memberikan pembinaan mengenai
kecerdasan emosional terutama bagaimana agar siswa mampu memotivasi
dirinya ketika siswa sedang mengalami suatu emosi tertentu dan bagimana
siswa lebih bisa bersikap empati terhadap orang lain.
2. Disarankan bagi orangtua untuk lebih memotivasi anak ketika anak
mengalami suatu emosi tertentu dan bersikap lebih peka, empati terhadap
60
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel, Ph.D, Gardner,Horward, Launer, Greenspan, Salovey & Mayer, Petrides, Belsky 2006 Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Saphiro, Lawrence E., Ph.D 1998. Mengajarkan Emotional Intelligence pada anak. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John, Ph. D, DeClaire, Joan 1998 (Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki kecerdasan emosional). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tony Lake., 1995 (Mengatasi Gangguan Emosi). Jakarta: Arcan.
Santrock, John W., seifert & Hoffnung, Atwater, Abound, Skerry S., Livesly & Bromley, Ausbel, Montemayor & Svajian, Mc.candles 2002. Life Span Development Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
61
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Mulyana, Sari 2001. Hubungan Gaya Pengasuhan Orangtua dan Kecerdasan
Emosional. Skripsi.Fakultas Psikologi.Universitas Kristen Maranatha.
http://www.fedus.org.
Dermawan P. Fredrick, S.Psi. Makalah Mengembangkan Kecerdasan Emosional
pada Anak. Temu Ilmiah IPPI-IPS Psikologi Universitas Airlangga.2007