• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan antara C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin pada Anak dengan Disfungsi Multi Organ Akibat Sepsis. Hanik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan antara C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin pada Anak dengan Disfungsi Multi Organ Akibat Sepsis. Hanik"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sepsis adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh penyebaran mikroba atau toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan respons sistemik. Sepsis masih merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada anak di negara industri dan negara berkembang. Sepsis juga merupakan kedaruratan medik sehingga memerlukan pengobatan segera untuk menurunkan angka kematian. (Goldstein B, 2005; Powel KR, 2000; Hayden WR, 1994). Di negara kita angka kematian karena sepsis masih sangat tinggi, 50%-70% dan apabila terjadi syok septik serta disfungsi organ multipel kematian meningkat (80%) (Latief A, 2003).

Diagnosis sepsis seringkali sulit ditegakkan dalam waktu singkat karena hasil biakan kuman yang merupakan baku emas diagnosis didapat setelah beberapa hari (Latief A, 2003; Chairulfatah A, 2002; Watson RS, 2003; Proulx F, 1996, Schoendoer KC, 2004). Telah diketahui bahwa beberapa pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk mengetahui adanya proses inflamasi, antara lain jumlah leukosit, tumor nekrosis faktor alfa, serta interleukin 1 dan 6. Akan tetapi pemeriksaan tersebut tidak terlalu spesifik, oleh karena itu sulit sekali membedakan antara Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis pada pasien-

(2)

pasien di ruang rawat intensif secara cepat, karena harus menunggu hasil kultur darah selama beberapa hari, sementara pasien harus mendapat pengobatan yang tepat dengan segera. Hasil kultur yang positif bisa juga karena faktor kontaminasi dan kultur darah negatif belum bisa menyingkirkan adanya sepsis (Pohan HT, 2004; Meisner M, 2000; Vienna R, 2000; Simon L, 2004). Pemeriksaan prokalsitonin (PCT) serum merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis sepsis pada bayi dan anak, karena prokalsitonin merupakan surrogate marker untuk infeksi. Hasil prokalsitonin dapat dipakai baik sebagai alat diagnostik maupun prognostik (Assicot M, 1993; Meisner M, 2000).

(3)

multi organ pada sepsis (Meisner M, 2000; Vienna R, 2000; Balci C, β00γ; O’Connor E, 2001).

Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta, pemeriksaan prokalsitonin belum bisa dilakukan. Pemeriksaan yang biasa kita lakukan untuk penanda sepsis adalah hitung jumlah leukosit dan C-Reaktif Protein (CRP), disamping itu biaya untuk pemeriksaan prokalsitonin juga lebih mahal. Banyak penelitian yang meneliti hubungan antara kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin dengan sepsis, tetapi belum banyak yang mengamati hubungan antara kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin dengan disfungsi multi organ akibat sepsis, oleh karena itu penulis ingin membandingkan antara C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

B. Rumusan Masalah

Apakah prokalsitonin lebih baik untuk menunjukkan disfungsi multi organ akibat sepsis pada anak dibandingkan dengan C- Reaktif Protein?

C. Tujuan

1. Umum

Untuk membandingkan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

(4)

2. Khusus

a. Untuk mengetahui kadar C-Reaktif Protein pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

b. Untuk mengetahui kadar prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

c. Untuk membandingkan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

d. Untuk mengetahui adanya hubungan prognosis dengan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

D. Manfaat

1. Bidang Pelayanan Kesehatan

a. Sebagai landasan untuk memberikan tata laksana yang tepat pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

b. Sebagai acuan untuk mengetahui prognosis pasien sepsis dengan disfungsi multi organ.

(5)

2. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Menambah pengetahuan tentang hubungan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin dengan disfungsi multi organ akibat sepsis pada anak.

3. Bidang Penelitian

Sebagai landasan bagi penelitian selanjutnya, khususnya penelitian tentang kadar C-Reaktif Proteindan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sepsis

1. Definisi

Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) ditambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. (Fauci AS, 2008; Guntur A, 2006) Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang dibuktikan (proven) atau dengan suspek infeksi secara klinis (Trevino S, 2007).

Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria: suhu > 380C atau < 360C, denyut jantung > 90x/ mnt, laju respirasi > 20x/ mnt atau PaCO2 < 32 mmHg, hitung leukosit > 12.103/ mm3 atau > 10% sel imatur (Trevino S, 2007; Munford RS, 2005). Penyebab infeksi sistemik dihipotesiskan sebagai infeksi lokal yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan bakteremia atau toksemia (endotoksin atau eksotoksin) yang menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah dan organ lain (Munford RS, 2005).

(7)

kegagalan organ akibat hipoperfusi. Syok septik adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan. Pada 10-30% kasus syok septik didapatkan bakteremia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-50% (Guntur A, 2006).

2. Epidemiologi

Sepsis masih merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada anak di negara industri dan negara berkembang. Sepsis juga merupakan kedaruratan medik sehingga memerlukan pengobatan segera untuk menurunkan angka kematian (Goldstein B, 2005; Powel KR, 2000; Hayden WR, 1994). Sepsis selalu terjadi pada pasien dengan kondisi kritis dan angka kematiannya tinggi terutama di negara yang sedang berkembang (Hayden WR, 1994; Data Rekam Medis RSCM, 2009). Insiden sepsis pada anak 1-10 per 1000 kelahiran hidup dengan mortalitas 13%-50%. (Brooks GF, 2001) Data di Amerika Serikat menunjukkan kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (Pediatrics Intensive Care Unit/ PICU) mencapai lebih dari 42.000 kasus dengan angka kematian sebesar 10,3%. Di Amerika Serikat sepsis merupakan penyebab kematian urutan ke-13 pada anak yang berumur di atas 1 tahun dan dalam satu tahun dijumpai 500.000– 750.000 kasus, 50%-70% dilaporkan bertahan hidup (Brooks GF, 2001).

Di negara kita angka kematian karena sepsis masih sangat tinggi 50%-70% dan apabila terjadi syok septik serta disfungsi organ multipel kematian meningkat

(8)

(80%) (Brooks GF, 2001). Setiap tahun terdapat 750.000 kasus sepsis di Amerika Serikat. Sekitar 10% penyebab pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif adalah karena syok, dengan 3% di antaranya akan mengalami syok septik.

Secara umum mortalitas di rumah sakit 30% pada sepsis berat dan 50%- 60% untuk syok septic (Mims C, 2005). Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta sejak awal tahun 2009 hingga saat ini menangani 61 kasus syok septik pada anak, dan 28 kasus (45,9%) di antaranya berakhir dengan kematian (Brooks GF, 2001).

3. Etiologi

Sebagian besar kasus sepsis disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, beberapa disebabkan oleh infeksi jamur dan penyebab lain (virus dan protozoa). Bakteri merupakan salah satu organisme golongan prokariotik (tidak mempunyai selubung inti).DNA pada bakteri berbentuk sirkuler, panjang dan biasa disebut nukleoid.DNA bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri juga mempunyai DNA ekstrakromosomal yang tergabung menjadi plasmid yang berbentuk kecil dan sirkuler (Mims C, 2005).

(9)

larutan iodine. Semua bakteri akan terwarnai biru pada fase ini. Kemudian sediaan diberi alkohol. Sel gram positif akan tetap mengikat senyawa kristal violet-iodine sehingga berwarna biru, sedangkan gram negatif akan hilang warnanya oleh alkohol. Sebagai langkah terakhir, ditambahkan counterstain (misalnya safranin yang berwarna merah) sehingga sel gram negatif akan mengikat warna merah (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007).

Semua bakteri berkembang biak melalui pembelahan biner (aseksual) dimana dari satu sel membelah menjadi dua sel yang identik. Beberapa bakteri dapat membentuk struktur reproduktif yang lebih kompleks yang memfasilitasi penguraian dua sel yang baru terbentuk. Dalam laboratorium, bakteri dibiakkan melalui dua metode yaitu menggunakan medium padat dan medium cair. Media pertumbuhan padat seperti plat agar digunakan untuk mengisolasi kultur murni dari bakteri yang diinginkan. Jika kita menginginkan biakan dalam jumlah besar maka kita bisa menggunakan media cair karena sel biakan dapat dengan mudah berkembang biak dengan membelah diri dibandingkan dengan media padat (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007).

(10)

4. Patofisiologi

Patofisiologi sepsis sangat kompleks karena melibatkan interaksi antara proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi yang dikarakteristikkan sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis factor-a (TNF-α), interleukin-1 (IL-1 ), IL-6 daninterferon- (IFN ) dengan sitokin antiinflamasi seperti IL-1, reseptor antagonis (IL-1α), IL-4 dan IL-10. Overproduksi

sitokin inflamasi sebagai hasil dari aktivasi nuklear faktor кB(NF-кB) akan

menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati, ginjal usus dan organ lainnya yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan menginduksi perubahan metabolik sehingga terjadi apoptosis maupun nekrosis jaringan, Multiple Organ Failure (MOF), syok septik serta kematian (Hack GE, 2000; Wilson, 2007).

(11)

Respon inflamasi bakteri gram positif melalui dua mekanisme, yaitu menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui dua mekanisme yang sama dengan bakteri gram negatif, namun melalui TLR2. Berbeda dengan bakteri gram negatif, respon imun bakteri gram positif memerlukan perantaraan sel T limfosit yang kurang menimbulkan respon inflamasi yang hebat (Hack GE, 2000; Wilson, 2007).

Kedua kelompok mikroorganisme di atas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh tubuh dengan imunitas seluler (monosit, makrofag, neutrofil), serta humoral (membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen). Pengenalan patogen oleh CD14, TLR2 dan TLR4 di membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas seluler. Pengaktifan ini akan menyebabkan sel T berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) serta sel T helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi seperti TNF dan IFN , IL-1 , IL-2, IL-6, IL-8 dan IL-12.Sel Th2 mensekresikan sitokin anti inflamasi seperti IL-4, IL-10 dan IL-13.Pembentukan sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang

(12)

kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan bakteri penyebab infeksi, namun jika berlebihan dapat menyebabkan syok, gagal multi organ dan kematian. Sebaliknya sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi inflamasi berlebihan dan mempertahankan keseimbangan tubuh agar fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik. Sitokin proinflamasi dapat mempengaruhi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator sekunder (nitrit oxide, tromboksan, leukotrien, PAF, prostaglandin) dan komplemen. Kerusakan akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera endotel juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis, karena penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul anti trombik. Selain itu inflamasi pada endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah (Hack GE, 2000; Wilson, 2007).

5. Gejala Klinis

(13)

2006; Trevino S, 2007). Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ akibat hipoperfusi.Syok septik adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan. Pada 10-30% kasus syok septik didapatkan kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-50% (Guntur A, 2006).

6. Diagnosis

a. Pemeriksaan Klinis

Tidak ada tes diagnostik yang spesifik terhadap sepsis. Temuan yang cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien dengan suspek sepsis antara lain demam atau hipotermia, takipneu, takikardia, leukositosis atau leukopenia, perubahan status mental akut, trombositopenia atau hipotensi. Gejala sepsis dapat bervariasi. Pada satu studi, 36% pasien sepsis berat mempunyai suhu tubuh yang normal, 40% dengan laju respirasi normal, 10% laju nadi normal, 33% didapatkan nilai hitung leukosit normal. Selain itu terdapat pula kondisi- kondisi non infeksi dengan gejala seperti sepsis. Penyebab SIRS non infeksi antara lain pankreatitis, trauma, emboli paru, overdosis obat (Fauci AS, 2008).

Sepsis adalah Systemic Inflammation Respons Syndrome (SIRS) yang disertai dugaan atau bukti ditemukan infeksi di dalam darah. Diagnosis SIRS dapat ditegakkan jikaditemukan minimal 2 gejala seperti instabilitas suhu (suhu lebih dari

(14)

38,50C atau kurang dari 360C), takikardia, takipnea,danatau peningkatan maupun penurunan jumlah leukosit,atau neutrofil imatur lebih dari 10%. Standarbaku diagnosissepsis adalah dengan ditemukannya bakteri dalam darah ditambah dengan gejala klinis berupa gangguan multi organ (Guntur A, 2006; Munford RS, 2005).

b. Pemeriksaan Laboratorium

Untuk mendapatkan diagnosis definitif, dibutuhkan isolasi mikroorganisme dari darah atau situs lokal infeksi. Tidak begitu banyak studi yamg menjelasksn waktu yang optimal untuk melakukan pengambilan spesimen kultur darah agar dapat memaksimalkan keberadaan bakteri dalam darah. Beberapa data eksperimental menunjukkan bahwa masuknya bakteri ke aliran darah adalah sekitar 1 jam sebelum terjadi menggigil dan demam. Akan tetapi penelitian lain menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna dalam kepositifan kultur darah yang didapat terhadap puncak demam dari pasien (Fauci AS, 2008).

(15)

direkomendasikan untuk mengambil volume untuk kultur darah sebanyak 20-30 ml per kultur. Pada anak-anak volume darah yang diambil tidak melebihi 1% dari total volume darah (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009).

Faktor lain yang mempengaruhi adalah rasio darah-medium. Darah manusia normal mengandung substansi yang menghambat pertumbuhan mikroba seperti lisozime, fagosit, antibodi dan agen antimikroba (bila pasien menggunakan antimikroba sebelum pengambilan spesimen kultur darah). Untuk mereduksi konsentrasi faktor inhibitor dan menghambat aktivitasnya, darah harus didilusi pada media cair dengan rasio darah-medium 1:5 sampai 1:10. Kegagalan mempertahankan rasio ini dapat mengakibatkan hasil kultur negatif palsu. Spesimen darah anak dapat di inokulasi pada botol pediatrik yang didesain untuk mempertahankan rasio darah-medium dengan volume darah yang lebih sedikit (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009).

Faktor lainnya yang berpengaruh adalah zat tambahan (antikoagulan). Semua media cair untuk kultur darah mengandung antikoagulan. Antikoagulan yang paling efektif yaitu SPS (Sodium Polyanetholesulfonate), dapat menetralkan lisozim, menghambat fagositosis, meginaktivasi beberapa aminoglokosida, dan menghambat beberapa bagian kaskade komplemen. Namun SPS juga dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri, yaitu Neisseria, Peptostreptococcus anaerobius, Moxarella catarrhalis dan Garnerella vaginalis.Walaupun demikian SPS masih menjadi antikoagulan yang sering digunakan. Heparin, EDTA dan sitrat bersifat

(16)

toksik terhadap mikroorganisme, sehingga darah tidak boleh di inokulasi pada media yang menggunakan antikoagulan tersebut (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009).

Kondisi inkubasi juga merupakan faktor yang berpengaruh, meliputi temperatur dan lamanya inkubasi. Kultur darah harus di inkubasi pada suhu 350C setelah pengambilan dan dikirim ke laboratorium.Untuk metode konvensional manual, inkubasi yang direkomendasikan adalah selama 7 hari. Periode inkubasi standar untuk kultur darah rutin yang dikerjakan dengan sistem otomatis adalah selama 5 hari (Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009).

7. Tata Laksana

Penatalaksanaan pasien dengan sepsis harus disertai dengan pemantauan. Tata laksana yang baik antara lain dengan pengobatan yang tepat pada sumber infeksi dan mengeliminasi mikroorganisme penyebab disertai dengan tata laksana suportif (Fauci AS, 2008).

(17)

maka antimikroba disesuaikan dengan hasil kultur. Seringkali antimikroba tunggal dapat adekuat untuk pengobatan patogen yang diketahui (Fauci AS, 2008).

Pemilihan antimikroba yang tepat untuk mengobati suatu penyakit tergantung pada beberapa faktor, antara lain:

a. Sensitivitas mikroba penyebab terhadap zat anti mikroba tertentu

b. Efek samping dari zat antimikroba, tergantung dari toksisitas langsung terhadap sel mamalia dan mikrobiodata normal yang terdapat pada jaringan tubuh manusia c. Biotransformasi zat antimikroba secara in vivo, tergantung apakah zat antimikroba

akan tetap pada bentuk aktifnya pada jangka waktu yang cukup untuk mempunyai efek toksik pada patogen infektif

d. Bahan kimia pada zat antimikroba yang menetapkan distribusinya dalam tubuh, tergantung konsentrasi dari bahan kimia aktif antimikroba yang bermakna yang dapat mencapai tempat infeksi untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme patogen penyebab infeksi (Mims C, 2005).

Hampir 10% pasien tidak mendapatkan terapi antibiotik yang cepat untuk patogen penyebabnya, dan rata-rata mortalitasnya 10-15% lebih tinggi dibandingkan pasien yang mendapat terapi antibiotik yang cepat dan tepat.Tempat terjadinya infeksi yang tersembunyi, organism yang jarang atau organisme yang resisten terhadap antibiotik serta infeksi polimikrobial memungkinkan untuk dilakukan penanganan empiris yang cepat dan lengkap pada semua kasus. Pendekatan yang umumnya dilakukan adalah memulai terapi antibiotika spektrum luas bila patogennya belum dapat dipastikan,

(18)

kemudian mempersempit terapi bila telah didapatkan data mikrobiologi (Wolbink GJ, 1996).

B. Skor SOFA (Sepsis Related Organ Failure Assessment)

(19)

Tabel 1. Skor SOFA

(Dikutip dari Meisner M, Tschikowsky K, Palmaers T, Schmidt J, 1999. Comparison of Procalcitonin (PCT) and C-Reactive Protein (CRP) Plasms Concentrations at Different SOFA Scores During The Course of Sepsis and MODS. Crit Care 3;45-50)

C. C-Reaktif Protein

1. Definisi

C- Reaktif Protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit (Tillet WS, 1930).

Gen CRP terletak pada kromosom pertama (1q21-Q23). Pada manusia terletak pada kromosom 1q23,4, dan terdiri dari dua ekson dan satu intron. CRP disintesis sebagai asam amino 206 polipeptida dan disekresikan oleh hepatosit sekitar 23 monomer Kda non-glikosilasi, yang non-kovalen rekan untuk membentuk struktur

(20)

cincin karakteristik homopentamerik, termasuk kelompok Pentraxin (Volanakis JE, 1977; Thompson D, 1999).

Masing-masing monomer beratnya 23027Da dan sangat tahan terhadap proteolisis.Yang termasuk golongan pentraxin lainnya adalah komponen amiloid serum P. Protein ini ada dalam setiap evolusi vertebra, menunjukkan bahwa CRP memiliki peran sentral dalam respon imun. CRP serum akan meningkat ketika ada infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Infeksi jamur sistemik juga menyababkan peningkatan CRP serum, bahkan pada pasien dengan imunodefisiensi, sebaliknya kadar CRP cenderung lebih rendah pada pasien dengan infeksi virus yang akut. Belum ada data tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi beberapa protozoa seperti malaria, pneumocystosis dan toxoplasmosis juga dapat meningkatkan kadar CRP serum. Pada infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra, kadar CRP akan sedikit meningkat atau normal (Yeh ET, 2005).

2. Biosintesis

(21)

bereaksi dengan C-polisakarida yang terdapat pada pneumokokus. Semula disangka bahwa timbulnya protein ini merupakan respons spesifik terhadap infeksi pneumokokus, tetapi ternyata sekarang bahwa protein ini adalah suatu reaktan fase akut, yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi, sama seperti LED. Berbeda dengan LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau hiperglobulinemia. Pada penderita dengan inflamasi yang berkaitan dengan kelainan imunologis, kadar CRP kembali normal bila pengobatan immunosupresif berhasil 9 (Thompson D, 1999; Yeh ET, 2005; Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008).

CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh hepatosit, merupakan suatu penanda inflamasi yang yang memberikan respon terhadap keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan perubahan fase akut sebenarnya didasarkan pada perubahan konsentrasi dari protein-protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif atau negatif dalam artian dapat naik ataupun turun sebanyak 25%. Protein fase akut itu sendiri terdiri dari banyak jenis baik dari sistem komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolitik, antiprotease, protein transpor dan lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi baik berupa peningkatan maupun penurunan, termasuk di dalamnya CRP (Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008).

(22)
(23)

CRP naik sampai 50.000 kali lipat dalam peradangan akut, seperti infeksi. Peningkatan di atas batas normal dalam waktu 6 jam, dan puncak pada 48 jam. Waktu paruhnya konstan. Peningkatan terutama ditentukan oleh tingkat produksi (dan tingkat keparahan penyebab/ pencetus). Kadar CRP serum pada manusia normal memiliki rata-rata 8 mg/ l (0,3-1,7 mg/ l) dan dibawah 10 mg/ l pada 99% dari sampel yang normal. Nilai di atas nilai normal menunjukkan adanya suatu proses penyakit (Widman, 1995).

3. Cara Pemeriksaan

Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi (Balci C, 2003).

Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna menggunakan Nycocard Reader. Berturut-turut sampel (serum, plasma, whole blood) dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat

(24)

gold colloidal particle. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci (washing solution). Jika terdapat CRP dalam sampel pada levelpatologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan Nycocard reader II. Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah < 5 mg/L. Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang digunakan (Balci C, 2003).

D. Prokalsitonin

1. Definisi

Prokalsitinin (PCT) adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan prekursor hormon kalsitonin. Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa protein, yang disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin. Produksi diatur oleh kalsitonin I (CALC I), gen pada kromosom 11p15.2-p15.1, merupakan gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata diterjemahkan.

(25)

dengan sepsis bakteri pada anak-anak. Sejak awal tahun 1990-an PCT pertama kali digambarkan sebagai tanda spesifik infeksi bakteri. Kepekatan serum PCT meningkat saat inflamasi sistemik, khususnya ketika disebabkan oleh infeksi bakteri.Telah terbukti bahwa kadar PCT dalam serum meningkat secara signifikan bila terdapat infeksi bakteri, sehingga saat ini PCT dianggap merupakan suatu penanda awal yang spesifik untuk sepsis (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004).

2. Biosintesis dan Patofisiologi

Prokalsitonin pertama kali diidentifikasi dari tyroid medullary carcinoma cell Prokalsitonin adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul kurang lebih 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-1 yang terletak pada kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin (Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003, Rau B, 2004; Meisner M, 2002; Simon L, 2004; Reith HB, 2002; Lopez AT, 2008).

Gen Calc-1 menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh tissue specific alternative splicing. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exonyang merupakan kode untuk pre PCT, adalah sebuah rantai peptida yang terdiri dari 25 asam amino signal hidrofobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah fragmen N- terminal (57 AA), kalsitonin 32 (AA) dan katakalsin 21 (AA). Kehadiran

(26)

sinyalo peptida membuat PCT disekresikan secara intak oleh glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua dipotong secara terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan merupakan kode untuk Calcitonin Gene- Related Peptide (CGRP), dimana CGRP di ekspresikan secara luas pada saraf di otak, pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP ini mempunyai peranan dalam imunomodulasi, neurotransmitter dan mengontrol vaskuler (Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004; Simon L, 2004).

Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa tiroid C sel bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua produk-produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam homogenates small cell carcinoma pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel mononuklear darah perifer manusia dan bermacam-macam sitokin proinflamasi dan lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 1/3 limfosit dan monosit manusia yang tidak distimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara imunologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit pasien dengan syok septik menunjukkan nilai basal yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang distimulasi oleh lipopolisakarida (Harbarth S, 2001; Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004; Reith HB, 2002).

(27)

dianggap sebagai sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis (Rau B, 2004; Reith HB, 2002).

Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi lipopolisakarida (LPS) dalam jumlah rendah. Peningkatan PCT, pertama kali terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6-8 jam kadarPCT akan meningkat dan mencapai plateau dalam waktu kurang lebih 12 jam. Setelah 2-3 hari, kadar PCT akan kembali akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien dengan infeksi bakteri yang berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan patofisiologi pada respon imun akut (Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002).

Pada orang sehat, PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah, karena itu kadar PCT tidak terdeteksi (< 0,1 ng/ml). Tetapi selama infeksi berat yang bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat melebihi 100 ng/ml. Berbeda dengan waktu paruh kalsitonin yang singkat, PCT memiliki waktu paruh yang panjang, yaitu 25-35 jam (Harbarth S, 2001; Whicher J, 2001).

Kadar PCT sangat stabil baik in vivo maupun ex vivo walaupun pada suhu ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda.Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan yang berbeda, perbedaan yang signifikan hanya pada plasma lithium heparin (Shafig N, 2005). Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau ringannya infeksi, tetapi

(28)

tidak dipengaruhi oleh tipe kuman.Anna Fernandez dkk, tahun 2003 melakukan penelitian tentang PCT pada pediatri untuk diagnosis awal pada bayi yang demam karena infeksi bakteri. Mereka mendapatkan bahwa PCT merupakan marker yang baik untuk deteksi infeksi (Oberhoffer M, 1999).

3. Induksi Plasma PCT

PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri (virus), dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48-72 jam. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu >2 ng/ml. Pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT >0,05 ng/ml, tetapi biasanya <1 ng/ml (Oberhoffer M, 1999).

(29)

IL-6 mencapai puncak pada 3 jam dan kembali ke garis dasar setelah 8 jam.Peningkatan plasma PCT terjadi secara singkatsesudah kadar sitokin mencapai puncak. Penelitian lain pada pemberian rhTNF-αdan melphalan melalui isolasi perfusi tungkaimenunjukkan hasil yang hampir sama, tetapimelphalan menunjukkan perubahan kecil. Lebihlanjut, kadarIL-6 dan IL-8 meningkat sesudah perfusirhTNF-α dan mencapai puncak beberapa jam sesudah PCT. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadarserum PCT secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh sitokin rhTNF-α dan rhIL-6. CRP dan Serum Amiloid A Protein (SAA) tanggap terhadap rangsangan yang sama walaupun lebih lambat (Shafig N, 2005; Oberhoffer M, 1999).

4. Pemeriksaan Serum Prokalsitonin

PCT diukur pada serum dengan menggunakan pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigen spesifik, satu diarahkan ke kalsitonin (menggunakan label luminescence) dan lainnya ke katakalsin (Gambar 4). Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ng/ml dan koefisien variasinya 5 sampai 10% dengan rentang 1 sampai 1000 ng/ml. Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif dan agen vasoaktif yang secara umum digunakan di dalam unit perawatan intensif (Hatheril M, 1999).

(30)

Pemeriksaan PCT di laboratorium menggunakan bahan sampel serum atau plasma, stabilitas in vitro pada suhu kamar (mengalami penguraian/dekomposisi setelah 24 jam 10 %), pada suhu -20o C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku atau cair siklus 3 kali PCT sampel menurun 3 %. Waktu paruh in vivo kira-kira 24 jam, pengukuran PCT untuk memantau penderita minimum satu kali sehari.

(31)

serum PCT1,2 ng/ml dan 3,2% pada kepekatan 52 ng/ml. Pada pengamatan kepekatan PCT tidak dipengaruhi oleh hemoglobin, bilirubin ataupun trigliserida (kecuali pada kasus haemolisis berat). Kadar PCT kemungkinan juga meningkat selama24 jam pertama kehidupan. Penderita dengan carcinoma C-cell tiroid dan sel kecil kanker paru jugadilaporkan mempunyai peningkatan kepekatan serum PCT (Oberhoffer M, 1999).

E. C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin sebagai Penanda Sepsis dan Disfungsi

Multi Organ

1. Penanda Infeksi

Telah lama diketahui beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya proses- proses inflamasi seperti jumlah leukosit, laju endap darah, C-Reaktif Protein, Tumor Nekrosis Faktor α serta interleukin 1 dan 6. Akan tetapi tes-tes tersebut tidaklah terlalu spesifik, karena itu, sulit sekali membedakan diagnosis antara Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis pada pasien-pasien di ruang rawat intensif dengan cepat karena harus menunggu hasil kultur darah selama beberapa hari, sementara pasien harus mendapatkan pengobatan yang tepat dalam waktu segera. Sementara itu, hasil kultur darah positif bisa juga karena kontaminasi dan hasil kultur darah negatif belum tentu menyingkirkan sepsis (Hatheril M, 1999; Oberhoffer M, 1999).

(32)

Secara tradisional, infeksi berat dapat dikenali dari beberapa tanda klinis seperti hipertermia atau hipotermia, takikardi, takipnu, hipotensi, ditambah beberapa data laboratorium rutin seperti hitung leukosit, kadar C- Reaktif Protein. Namun demikian, tidak jarang ditemukan hasil laboratorium rutin dalam rentang normal.

Parameter lain yang digunakan antara lain sitokin pro inflamasi seperti TNF α, IL-1

dan IL-6. Sayangnya kadar sitokin pro inflamasi biasanya hanya meningkat untuk waktu yang relatif singkat. Oleh karena pengukuran klinis dan laboratorium yang kurang sensitif dan spesifik, diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi yang disebabkan karena infeksi dan non infeksi. Akhir-akhir ini telah dikembangkan tes baru yang digunakan untuk mendeteksi inflamasi karena infeksi yaitu prokalsitonin (PCT) (Whicher J, 2001).

2. C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin Sebagai Penanda Sepsis dan Disfungsi

Multi Organ

(33)
[image:33.612.115.521.190.465.2]

namun peneliti lain mengatakan kadar CRP tidak berbeda bermakna antara sepsis dan SIRS (Thompson D, 1999; Yeh ET, 2005).

Tabel 2. CRP pada Beberapa Keadaan Tertentu

(Dikutip dari RuntunuwuAL, Manopo JI, Rampengan NH, Kosim S, 2008.Sari Pediatri 9(5);319-22)

CRP merupakan reaktan fase akut yang akan meningkat jika terjadi proses peradangan atau infeksi bakteri. Infeksi bakteri akan memicu makrofag untuk memproduksi sitokin-sitokin pro inflamasi. Peningkatan kadar sitokin di dalam plasma akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar CRP dalam plasma. Sekresi CRP dimulai dalam 4-6 jam dari adanya rangsangan, dua kali lipat dalam 8 jam dan memuncak pada 36-50 jam (Pasceri V, 2000).

Prokalsitonin (PCT) adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino dan merupakan prohormon kalsitonin. Kalsitonin terdiri dari 32 asam amino, sedangkan PCT dibentuk oleh pre PCT yang terdiri dari 141 asam amino dengan bobot molekul 16 KDa. Pemecahan terjadi di sel C kelenjar tiroid. Pemeriksaan semi kuantitatif PCT sangat praktis. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi bila terdapat reaksi

(34)

peradangan sistemik yang disebabkan oleh endotoksin bakteri, eksotoksin dan beberapa jenis sitokin. Beberapa penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan PCT antara lain malaria, penyakit jamur sistemik, penyakit autoimun bedah jantung, pankreatitis, luka bakar, penyakit kawasaki dan syok kardiogenik. Terjadi peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT. Konsentrasi normal PCT dalam serum plasma di bawah 0,5 ng/ml. Pada keadaan inflamasi kronik dan penyakit autoimun, infeksi virus dan infeksi lokal kadar PCT < 0,5 ng/ ml, sedangkan pada keadaan SIRS, multipel trauma dan luka bakar kadar PCT 0,5-2 ng/ ml dan kadar PCT > 2 ng/ ml merupakan prediktor infeksi berat, sepsis dan kegagalan beberapa organ (paling sering 10-100 ng/ ml) (Meisner M, 1996).

PCT menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada limfosit in vitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur whole blood. Menurut Whicher et al, pemberian rekombinan human PCT terhadap sepsis pada tupai menghasilkan peningkatan mortalitas yang berbanding terbalik dengan pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan peran PCT dalam fisiologi sepsis yang didukung oleh untaian (sequencing homolog) antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL-6 dan granulocyte colony stimulating factor (Guntur A, 2006).

(35)

disertai dengan SIRS berkaitan dengan kadar PCT yang tinggi dibandingkandengan infeksi bakteri dan virus yang bersifat lokal. Nilai 5 ng/ml pada anak-anak telah dilaporkan untuk mengenali sepsis bakteri yang bernilai peramalan positif dan negatif adalah 100% dan 82% (Guntur A, 2006). Kadar PCT dalam darah ≥ 10 ng/ml selalu berhubungan dengan sepsis berat (sepsis yang disertai paling tidak 1 disfungsi organ) (Trevino S, 2007). Kadar PCT ≥ β0 ng/ml hampir selalu berhubungan dengan terjadinya syok septik (Watson RS, 2003).

(36)

Kondisi Penderita Kadar PCT (ng/ml)

Normal <0,5

Inflamasi kronik dan penyakit <0,5 autoimun

Infeksi virus <0,5 Infeksi lokal s.d berat <0,5 SIRS, multiple trauma, luka bakar 0,5-2 Infeksi berat, sepsis, kegagalan >2

[image:36.612.104.513.116.474.2]

beberapa organ (multiple organ (paling sering 10-100) failure)

Tabel 3. Daftar Rujukan Kadar PCT pada Beberapa Keadaan Tertentu

(Dikutip dari Oberhoffer M, Vogelsang H, Russwurm S, Hartung T, Reinhart K, 1999. Outcame Prediction by Traditional and New Markers of Inflamation in Patients with Sepsis. Clin Chem Med 37;363-8)

3. Perbandingan Antara C-Reaktif Protein dan Prokalsitinin sebagai

Penanda Dini Sepsis dan Disfungsi Multi Organ

(37)

membentuk struktur cincin karakteristik homopentamerik, termasuk kelompok Pentraxin (Yeh ET, 2005; Pasceri V, 2000). Masing-masing monomer beratnya 23027Da dan sangat tahan terhadap proteolisis. Sedangkan prokalsitonin (PCT) adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan prekursor hormon kalsitonin. Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa protein (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004).

Gen CRP terletak pada kromosom pertama (1q21-Q23). Pada manusia terletak pada kromosom 1q23, 4, dan terdiri dari duaekson dan satu intron (Volanakis JE, 1977; Thompson D, 1999), sedangkan PCT disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin. Produksi diatur oleh kalsitonin I (CALC I), gen pada kromosom 11p15.2-p15.1, merupakan gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata diterjemahkan (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004).

CRP serum akan meningkat ketika ada infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Infeksi jamur sistemik juga menyababkan peningkatan CRP serum, bahkan pada pasien dengan imunodefisiensi. Sebaliknya kadar CRP cenderung lebih rendah pada pasien dengan infeksi virus yang akut. Belum ada data tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi beberapa protozoa seperti malaria, pneumocystosis dan toxoplasmosis juga dapat meningkatkan kadar CRP serum. Pada infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra, kadar CRP akan sedikit meningkat atau

(38)

normal (Despres JP, 2008). PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri (virus), dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT (Meisner M, 1996). Terjadi peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT. Pola produksi prokalsitonin tampak mirip dengan beberapa komponen tangga sitokin, dan penanda aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan pereaksi fase akut. Kadar prokalsitonin dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS. Infeksi yang terjadi terbatas di organ tunggal tanpa ada tanggap sistemik reaksi inflamasi, kadar prokalsitonin rendah atau sedang (Hatheril M, 1999).

(39)

dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48-72 jam. Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau ringannya infeksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. PCT memiliki waktu paruh yang panjang, yaitu 25-35 jam (Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001). Kadar prokalsitonin sangat stabil baik in vivo maupun ex vivo walaupun pada suhu ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda. Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan yang berbeda (Oberhoffer M, 1999).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Runtunuwu, dkk didapatkan hasil bahwa sensitifitas PCT dalam diagnosis sepsis adalah 80%, namun spesifitasnya rendah (Runtunuwu AL, 2008), berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

O’Connor, dkk yang menyatakan PCT mempunyai sensitifitas 82-100% dan

spesifitas 70-100% dalam diagnosis sepsis (O’Connor E, 2001). Penelitian lain, yang dilakukan oleh Gendrel, dkk serta Lopez, dkk menyatakan bahwa PCT mempunyai spesifisitas yang tinggi, yaitu 100% dan sensitivitas 69%. Penelitian Somech, dkk menyebutkan bahwa PCT mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik daripada CRP, IL-6 dan interferon α dalam membedakan infeksi virus dan bakteri (Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002; Shafig N, 2005; Oberhoffer M, 1999; Runtunuwu AL, 2008; Gendrel D, 1997).

Penelitian lain yang dilakukan Meynaar, dkk mendapatkan bahwa PCT lebih baik dalam membedakan antara SIRS dan sepsis dibandingkan dengan CRP dan IL-6,

(40)
(41)
[image:41.612.132.528.123.568.2]

F. Kerangka Teori

Gambar 1. Kerangka Teori

Bakteri Jamur

Virus

Gram (-) Gram (+)

Eksotoksin

Sel T

Sitokin proinflamasi LPS

Kompleks LPB-LPS

CD14

TLR4

Aktivasi makrofag LPB

CRP ↑ PCT ↑

Sepsis Parasit

Disfungsi multi organ

(42)

G. Kerangka Pikir Penelitian

[image:42.612.109.550.122.603.2]

Keterangan: Ruang lingkup penelitian

Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian Pasien dengan sepsis di PICU:

Klinis: Laboratorium:

1. Suhu >380C Leukosit > 12.103/ mm3 2. HR > 90x/ mnt atau < 3.103/ mm3 3. RR > 20x/ mnt

Eksklusi:

Disfungsi multi organ bukan akibat sepsis, keganasan, pankreatitis

CRP↑ Prokalsitonin↑

Kadar CRP dan PCT dihubungkan dengan

skor SOFA Aktivasi makrofag dan sitokin pro inflamasi

Skor SOFA, dengan parameter: sistem respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskuler, saraf pusat dan ginjal

(43)

Pasien dengan sepsis yang dirawat di PICU berdasarkan kriteria klinis yaitu suhu > 380C, HR > 90x/mnt, RR > 20x/ mnt dan kriteria laboratorium leukosit > 12.103/mm3, dengan kriteria eksklusi disfungsi multi organ bukan akibat sepsis, adanya keganasan dan pankreatitis. Karena adanya sepsis, terjadi aktivasi makrofag dan sitokin pro inflamasi, sehingga bisa menyebabkan disfungsi multi organ. Hal ini menyebabkan CRP dan PCT meningkat. Pada pasien dengan sepsis tersebut juga dilakukan perhitungan skor SOFA dengan parameter sistem respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskuler, saraf pusat dan ginjal. Selanjutnya peningkatan kadar CRP dan PCT tersebut dihubungkan dengan skor SOFA untuk menilai adanya disfungsi multi organ.

H. Hipotesis

Prokalsitonin lebih baik untuk menunjukkan disfungsi multi organ akibat sepsis pada anak dibandingkan dengan C-Reaktif Protein.

(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan metode cross sectional untuk membandingkan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di PICU Rumah Sakit Dr. Muwardi Surakarta pada bulan Maret-Agustus 2014.

C. Populasi

(45)

D. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel

Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling pada anak dengan sepsis yang dirawat di PICU, yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut:

Kriteria inklusi:

1. Menderita sepsis berdasarkan diagnosis dari PICU berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

2. Bersedia mengikuti penelitian

Kriteria eksklusi:

1. Pasien disfungsi multi organ bukan akibat sepsis 2. Pasien dengan keganasan

3. Sepsis dengan pankreatitis

(46)

E. Besar Sampel

Pada penelitian ini ukuran sampel dihitung berdasarkan rumus rule of thumb, dimana jumlah subjek berkisar antara 10-50 kali jumlah variabel bebas, Variabel bebas penelitian ini ada 2, yaitu kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin. Jumlah subjek yang diperlukan minimal 2x10 sampai 2x50, sehingga diperlukan 20 subjek sampai dengan 100 subjek.

F. Alur Penelitian

(47)
[image:47.612.120.497.107.475.2]

Gambar 3. Alur Penelitian

G. Variabel Penelitian

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah disfungsi multi organ akibat sepsis.

Penderita yang dirawat di ruang PICU RSUD Dr.Moewardi

Subyek penelitian

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Pemeriksaan darah rutin, kultur darah, CRP, prokalsitonin,

penghitungan skor SOFA

Analisa Kadar CRP, prokalsitonin dan

skor SOFA

(48)

H. Ijin Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan atas persetujuan orangtua atau wali dengan cara menandatangani informed consent yang diajukan oleh peneliti, setelah sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian tersebut. Penelitian dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik yang ada di RS Dr. Moewardi Surakarta.

I. Definisi Operasional

1. C-Reaktif Protein (CRP) adalah protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut. Sampel darah diambil pada saat pasien terdiagnosis sepsis untuk diperiksa kadar CRP –nya. Pemeriksaan CRP menggunakan metode nefelometri, hasil yang didapatkan dalam satuan mg/l. Data dalam skala rasio. 2. Prokalsitonin (PCT) adalah suatu protein asam, amino 116, merupakan

(49)

3. Disfungsi multi organ akibat sepsis adalah kegagalan fungsi dari beberapa organ akibat sepsis yang dinilai berdasarkan skor SOFA, dengan parameter sistem respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskuler, saraf pusat dan ginjal. Nilai paling rendah adalah 1 dan nilai tertinggi adalah 24. Dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu skor 1-6, skor 7-12, skor 13-18, skor 19-24. Semakin banyak skor berarti semakin banyak organ yang mengalami disfungsi dan semakin buruk prognosisnya. Data dalam skala interval.

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hasil Penelitian dan Pembahasan

[image:50.612.105.525.217.514.2]

Dari penelitian ini didapatkan 22 subyek penelitian. Karakteristik responden yang diteliti antara lain : umur pasien, jenis kelamin, jenis bakteri, jenis gram bakteri yang menginfeksi pasien. Karakteristik responden ini dapat dilihat pada tabel 4.1 sampai tabel 4.5.

Tabel 4.1 Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur pasien.

USIA JUMLAH

≥ 5 tahun 7 anak

< 5 tahun 15 anak

Total 22 anak

(51)

Tabel 4.2 Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin

JENIS KELAMIN JUMLAH

Perempuan 13 anak

Laki-laki 9 anak

Total 22 anak

[image:51.612.100.528.138.712.2]

Dari tabel 4.2 tampak bahwa sebagian besar subyek penelitian ini berjenis kelamin perempuan, sebanyak 13 anak, sedangkan sisanya sebesar 9 anak berjenis kelamin laki-laki.

Tabel 4.3 Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis bakteri yang menginfeksi.

JENIS BAKTERI JUMLAH

Acinetobacter boumannii 5

Acinetobacter jejuni 1

Enterobacter cloacae 2

Escherichia coli 2

Klebsiella pneumonia e 5 Pseudomonas aeruginosa 1 Staphylococcus haemolyticus 4

Staphylococcus warneri 1 Streptococcus anhemolyticus 1

Total 22

(52)
[image:52.612.101.514.217.465.2]

Dari tabel 4.3 tampak bahwa bakteri yang paling banyak menginfeksi subyek penelitian adalah Acinetobacter boumanii dan Stafilococcus haemoliticus.

Tabel 4.4 Distribusi subyek penelitian berdasarkan jenis gram

JENIS GRAM JUMLAH

Positif 6

Negatif 16

Total 22

(53)
[image:53.612.103.536.159.729.2]

Tabel 4.5 Hasil skor SOFA, kadar C-reaktif protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT) pada pasien sepsis dengan disfungsi multi organ di ruang PICU RS dr. Moewardi Surakarta

No SKOR SOFA CRP PCT

1 8 20 9,40

2 13 100 50,0

3 4 4 2,00

4 9 50 14,54

5 8 45 14,13

6 6 5 6,95

7 10 75 27,02

8 11 75 30,00

9 4 2 2,50

10 10 50 34,9

11 9 40 19,60

12 6 20 7,46

13 9 50 19,60

14 14 100 60,00

15 19 175 65,00

16 4 0,5 2,49

17 8 40 14,43

18 9 4 19,71

19 11 50 40

20 6 10 7,08

21 6 4 6,42

22 9 40 23,48

(54)
(55)

oleh Irawati dan kawan-kawan pada tahun 2010, menyatakan bahwa CRP dan PCT sama dan bisa saling menggantikan dalam diagnosis pneumonia berat pada anak (Irawati, 2010). Keterbatasan penelitian ini adalah jumlah subyek penelitian yang didapatkan terlalu sedikit, yaitu hanya 22 subyek. Selain itu beberapa pasien dengan sepsis juga merupakan rujukan dari beberapa RS yang sebelumnya sudah dirawat disana dan sudah diberikan terapi antibiotik sehingga mungkin akan mempengaruhi kadar CRP maupun PCT dalam serum darah pasien.

(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

C-Reaktif Protein (CRP) sama baiknya bila dibandingkan prokalsitonin (PCT) dalam menilai disfungsi multi organ akibat sepsis pada anak.

B. Saran

1. Untuk petugas pelayanan kesehatan di RS Dr. Moewardi Surakarta:

Pemeriksaan prokalsitonin (PCT) belum perlu dilakukan di RS Dr. Moewardi Surakarta untuk pasien sepsis karena dengan pemeriksaan CRP sudah bisa menilai disfungsi multi organ pada anak dengan sepsis dan pemeriksaan PCT membutuhkan biaya yang lebih mahal.

2. Untuk peneliti selanjutnya:

Gambar

Tabel 1. Skor SOFA (Dikutip dari Meisner M, Tschikowsky K, Palmaers T, Schmidt J, 1999
Tabel 2. CRP pada Beberapa Keadaan Tertentu
Tabel 3. Daftar Rujukan Kadar PCT pada Beberapa Keadaan Tertentu
Gambar 1. Kerangka Teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian pengaruh pemberian FPP terhadap kayu sengon, dapat diketahui bahwa keenam jenis FPP yang dicoba lebih baik dibandingkan dengan FPP acuan, karena

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk merumuskan prinsip sistem kerja yang mengikuti konsep autopoiesis (self-organizing system) dalam ergonomi sistem kerja dengan

Permasalahan yang diteliti: “Bagaimana meningkatkan minat studi lanjut melalui layanan informasi dengan media grafis pada siswa kelas VIII H MTs N 1 Kudus tahun

Beban lain-lain bersih naik jadi Rp1.61 triliun dibandingkan beban lain-lain bersih yang Rp1.57 triliun dan laba sebelum pajak naik jadi Rp1.36 triliun dari laba sebelum

Staf serta karyawan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, penulis ucapkan terimakasih atas partisipasinya selama ini, selama masa

Pengelolaan pendidikan karakter pada kegiatan inti pembelajaran matematika didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Pala (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “The

Dari hasil perbandingan hasil sekuan DNA barcode antara gedi merah dan gedi hijau menunjukan kemiripan yang lestari yaitu sekitar &gt;95%, dan hanya terdapat perbedaan

Setelah dilakukan perhitungan dan analisis data hasil penelitian menggunakan software minitab 16 dapat diketahui bahwa dengan menggunakan level of significant ( α )