KARYA TUGAS MAGISTER PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN USU
PERBANDINGAN KEAKURATAN ANTARA C – REAKTIF PROTEIN DAN HITUNG LEUKOSIT DALAM MENDIAGNOSIS RADANG APENDIKS AKUT
PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK USU
Oleh
Dr. KAPRI JAYA SAKTI \
Pembimbing :
Dr. MAHYONO , SpB - KBA
Dr. ERJAN FIKRI , M.Ked (Surg), SpB - KBA
DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN USU UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KARYA TULIS TUGAS MAGISTER
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH : NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI
RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN
PENELITI Dr. KAPRI JAYA S
PEMBIMBING 1: PEMBIMBING 2:
( Dr. MAHYONO SpB, SpBA ) ( Dr. ERJAN FIKRI, M. Ked (Surg), SpB, SpBA ) NIP : 140 161 421 NIP : 19630127198911101
DIKETAHUI OLEH
KETUA DEPARTEMEN ILMU BEDAH KETUA PROGRAM STUDI ILMU BEDAH FK USU, FK USU,
Dr. EMIR TARIS PASARIBU, SpB (K) Onk
KARYA TULIS TUGAS MAGISTER
NAMA : Dr. KAPRI JAYA SAKTI SEMESTER : XII
JUDUL : HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH:
NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING
HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN
PEMBIMBING 1 : Dr. MAHYONO SpB, SpBA
NIP : 140 161 421
PEMBIMBING 2 : Dr. ERJAN FIKRI, M. Ked (Surg), SpB, SpBA NIP : 19630127198911101
MEDAN, JUNI 2013 SEKSI ILMIAH
DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU
SURAT KETERANGAN
SUDAH DIPERIKSA KARYA TULIS TUGAS AKHIR
JUDUL : HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH: NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN
PENELITI : Dr. KAPRI JAYA S
DEPARTEMEN : DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU INSTITUSI : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN, 15 JUNI 2013 KONSULTAN
METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN
USU MEDAN
PERNYATAAN
HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH ( NEUTROFIL DAN CRP ) DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA
ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Medan, Juni 2013
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini yang
merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu
Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak
lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan
rasa terimakasih da penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
Kedua orang tua, ayahanda dan Ibunda terimakasih yang sedalam-dalamnya dan
setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran,
kasih sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang
waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani
kehidupan.
Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta, Tri Murti dan anak-anakku
Miranda , Kevin , Meisya dan Asyifa atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan
semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi penulis selama
menjalani masa pendidikan yang panjang ini.
Kepada kakak-kakak dan adik dan seluruh keluarga besar yang tidak mungkin saya sebutkan
satu-persatu di sini, penulis menucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang
diberikan selama penulis menjalani pendidikan.
Kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis
untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Kepada Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Dr. Emir T Pasaribu, SpB(K)ONK dan Sekretaris Departemen, Dr. Erjan Fikri, SpB,
SpBA (yang sekaligus pembimbing penulisan tesis ). Ketua Program Studi Ilmu Bedah, Dr.
yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran
selama penulis menjalani pendidikan.
Rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada
guru-guru di divisi Bedah Anak , Dr. Mahyono , Dr. Erjan Fikri , Dr. M. Iqbal , pembimbing
penulisan tesis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah sabar membimbing, mendidik, membuka
wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan
penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini.
Rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada
guru-guru saya: Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. IskandarJapardi, SpBS(K), Prof. Adril A
Hakim, SpS, SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB, SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB, SpOT,
Alm.Prof. Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof. BuchariKasim, SpBP, dr. Syahbuddin Harahap, SpB,
dr. Syahbuddin Harahap, SpB; dr. Liberti Sirait, SpB-KBD; dr. Budi Irwan SpB-KBD; dr.
Asrul S, SpB-KBD; dan dr. Adi Muradi SpB-KBD , dr. Harry Soejatmiko, SpB, SpBTKV,
dr. Edi Sutrisno, SpBP, dr. Chairiandi Siregar, SpOT, , dr. Riahsyah Damanik, SpB(K)Onk,
dr.Tiur Purba, SpB, dr. Kamal B Siregar, SpB(K)Onk, dr. Suyatno SpB (K) Onk , dr.
Bungaran Sihombing, SpU, dr. Syah M Warli, SpU, dr. Sumiardi Karakata, SpU, dr. Jaelani,
SpBP, dr. Frank Buchari, SpBP(K)RE, dr. Utama Tarigan, SpBP(K)RE, dr. Rasidi Siregar,
SpB, dr. Suhelmi, SpB, dr. Ramotan Purba, SpB, dr. Nazwir Nazar, SpB, dr. Manan, SpOT,
dr. Zahri A Rani, SpU, dr. Azwarto, SpB, dr. Albiner Simarmata, SpB(K)Onk, dr. Robert
Siregar, SpB, dr. Nasrun, SpB, dr. Afdol, SpB, dr. ErinaOutri, SpB-KBD, dr. Marahakim,
SpB, dr. Amrin Hakim, SpB, Alm. dr.Daten Bangun, SpB dan seluruh guru bedah saya yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi
Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya.
Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama
mengikuti program pendidikan ini.
Kepada Dr. Jamaluddin SpPA , Dr. Sutoyo SpPA , dan semua staf di Departemen
Patologi Anatomi saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya yang telah memberikan
bimbingan , masukan dan saran kepada saya sewaktu konsultasi karya tulis ini di Departemen
Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan
waktu serta motivasi beliau dalam membimbing metodologi dan statistik dari tulisan tugas
akhir ini.
Para senior, dan semua rekan seperjuangan peserta program studi Bedah Medan yang
bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan. Terima kasihku buat kalian semua di
sepanjang waktu kebersamaan kita.
Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga
kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam
Malik, RSU Pirngadi, RSUD Singkil, RSUD Panyabungan, RS Balige, RSUD Samosir ,
RSUD Sipirok, dan di semua tempat yang pernah bersama penulis selama penulis menimba
ilmu. Terima kasihku buat kalian semua di sepanjang waktu kebersamaan kita.
Mohon maaf penulis pada semua orang, atas kesalahan ucapan dan perbuatan yang
telah terjadi. Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.
Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan spesialisasi ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, Juni 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN TESIS ………. i
LEMBAR PERNYATAAN ……… iv
KATA PENGANTAR ……… v
2.1.4. Patofisiologi ………. 10
2.1.5. Klasifikasi Histopatologi ………. 11
2.2. Gejala Klinis ... 15
2.3. Pemeriksaan Penunjang ... 16
2.3.1. Pemeriksaan darah ( Penanda Inflamasi ) ……… 16
BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain ... 19
3.2. Tempat dan Waktu ... 19
3.3. Populasi dan Sampel ... 19
3.4. Perkiraan Besar Sampel ... 19
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 19
3.5.1. Kriteria inklusi ... 19
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 19
3.7. Etika Penelitian ... 20
3.8. Cara Kerja ... 20
3.8.1.Alokasi Subjek ...…20
3.8.2.Tahap persiapan ... 20
3.8.3.Tahap pelaksanaan ... 20
3.8.4.Tahap akhir penelitian ... 20
3.9. Identifikasi Variabel ... 20
3.10. Kerangka Kerja ………... 21
3.11. Kerangka Teori ……… ………..…… 22
3.12. Rencana Pengolahan dan Analisa Data ... 22
BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sampel ……… 23
4.2. Histopatologi Apendisitis ……… 25
4.3. Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis…27 4.4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ………....… 27
4.5. Hubungan antara Nilai Neutrofil dan CRP dengan Grading Histopatologi…. 28 BAB 5. PEMBAHASAN Pembahasan ………. 31
BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ………. 33
6.2. Saran ………33
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1.1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin ………..… 23
4.1.2. Distribusi pasien berdasarkan usia ………..……….….... 24
4.2.1. Distribusi Frekuensi Pasien berdasarkan Diagnosis ………..… 26
4.2.2 Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis …….. 27
4.4.1. Kadar Neutrofil menurut diagnosis Apendisitis ……….. 29
4.4.2. Kadar CRP menurut diagnosis Apendisitis ………. 30
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Variasi Posisi Apendiks ……… 8
Gambar 2. Sel-sel radang akut di lapisan mukosa ……….. 12
Gambar 3. Sel-sel radang akut di lapisan mukosa , submukosa dan muskularis ………… 12
Gambar 4. Sel-sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik ……….. 13
Gambar 5. Sel-sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai
Diskontinuitas jaringan ………. 13
Gambar 6. Sel-sel radang akut menginfiltrasi sampai serosa ………. 14
Gambar 7. Induction and synthesis of CRP in hepatocytes ……… 18
Diagram 4.1.1. Persentase jenis kelamin penderita radang apendiks akut pada anak ……. 24
Diagram 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan Usia ………..… 25
Diagram 4.2.1. Frekuensi pasien berdasarkan diagnosis histopatologi ……….. 26
Diagram 4.4.1. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda
Neutrofil ……… 28
Diagram 4.4.2. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda CRP …… 28
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Variabel Data Penelitian
2. Susunan Peneliti
3. Rencana Anggaran Penelitian
4. Jadwal Penelitian
5. Naskah Penjelasan kepada Orang Tua /Kerabat Pasien lainnya
6. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
7. Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian
Hubungan antara Penanda Inflamasi Darah ( Neutrofil dan CRP ) dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut pada Anak di Rumah Sakit Pendidikan
FK – USU Medan Abstrak Latar belakang
Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Ulrich sach dkk di Jerman mengatakan bahwa Sitokin dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk beratnya radang Appendiks . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000 anak antara usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17 tahun . Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem pada bidang bedah, angka negative Apendectomy berkisar 20 – 35 % . C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan . Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional untuk mengetahui hubungan antara penanda inflamasi ( Neutrofil dan CRP ) dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak. Penelitian dilakukan di sub bagian Bedah Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan , selama kurun waktu Desember 2012 sampai April 2013.
Hasi Penelitian
Selama periode Desember 2012 sampai dengan April 2013 terdapat 26 pasien anak dengan radang apendiks akut yang datang ke RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan. Dari 26 pasien anak tersebut , jumlah anak laki-laki 15 orang , perempuan 11 orang , umur terendah yang dijumpai 3,5 tahun , dengan rata-rata umur 9 tahun ( 9,7 ± 3, 45 ). Dari hasil analisa statistik nilai Neutrofil dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,165 (α = 0,05). Analisa statistik nilai CRP dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,022 (α = 0,05) . Dari penelitian ditemukan 18 anak dengan apendisitis akut perforasi ( 68 % ) dan terbanyak pada kelompok umur 6 – 10 tahun , 11 orang (42 %) dengan apendisitis akut perforasi.
Kesimpulan
Jenis radang apendiks akut pada anak yang banyak djumpai setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adalah apendisitis akut perforasi. Pada penelitian ini pemeriksaan CRP menunjukkan hubungan yang bermakna dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak , dimana peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi yang meningkat.
Hubungan antara Penanda Inflamasi Darah ( Neutrofil dan CRP ) dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut pada Anak di Rumah Sakit Pendidikan
FK – USU Medan Abstrak Latar belakang
Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Ulrich sach dkk di Jerman mengatakan bahwa Sitokin dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk beratnya radang Appendiks . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000 anak antara usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17 tahun . Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem pada bidang bedah, angka negative Apendectomy berkisar 20 – 35 % . C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan . Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional untuk mengetahui hubungan antara penanda inflamasi ( Neutrofil dan CRP ) dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak. Penelitian dilakukan di sub bagian Bedah Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan , selama kurun waktu Desember 2012 sampai April 2013.
Hasi Penelitian
Selama periode Desember 2012 sampai dengan April 2013 terdapat 26 pasien anak dengan radang apendiks akut yang datang ke RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan. Dari 26 pasien anak tersebut , jumlah anak laki-laki 15 orang , perempuan 11 orang , umur terendah yang dijumpai 3,5 tahun , dengan rata-rata umur 9 tahun ( 9,7 ± 3, 45 ). Dari hasil analisa statistik nilai Neutrofil dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,165 (α = 0,05). Analisa statistik nilai CRP dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,022 (α = 0,05) . Dari penelitian ditemukan 18 anak dengan apendisitis akut perforasi ( 68 % ) dan terbanyak pada kelompok umur 6 – 10 tahun , 11 orang (42 %) dengan apendisitis akut perforasi.
Kesimpulan
Jenis radang apendiks akut pada anak yang banyak djumpai setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adalah apendisitis akut perforasi. Pada penelitian ini pemeriksaan CRP menunjukkan hubungan yang bermakna dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak , dimana peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi yang meningkat.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum
berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa Sitokin
dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk
beratnya radang Appendiks ( Ulrich Sach, 2006 ) . Radang apendiks akut banyak dijumpai
pada usia muda, 40 % penderita radang apendiks akut dijumpai antara umur 10 – 30 tahun,
sangat jarang pada bayi . Ratio laki-laki dibandingkan dengan perempuan pada usia remaja
3:2 dan menjadi 1 :1 sesudah usia 25 tahun . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000
anak usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17
tahun ( Schwartz, 2009 ) Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu
problem pada bidang bedah, angka negative Appendectomy berkisar 20 – 35 % . ( Lawrence ,
2002 )
Secara umum bahwa appendectomy adalah terapi pilihan pada anak , keterlambatan dalam diagnosis apendisitis akut dikaitkan dengan peningkatan resiko perforasi dan
komplikasi lebih lanjut. Saat ini , angka kematian akibat radang apendiks akut yang telah
dilakukan pengobatan dilaporkan < 1 %. Penatalaksanaan secara konservatif telah dievaluasi
pada beberapa penelitian pada orang dewasa , tetapi tidak ditetapkan pada anak-anak . Di sisi
lain pada anak-anak , pasien geriatri dan wanita usia remaja , tingkat negative appendectomy
dapat mencapai 50 % ( Ulrich Sach, 2006 ). Banyak upaya telah dilakukan untuk
menentukan cara mengurangi tingkat negative appendectomy setelah klinis dicurigai
apendisitis akut . Berdasarkan hal ini akan menjadi sangat penting untuk dapat membedakan
gejala awal apendisitis dengan nyeri abdominal non spesifik. ( Sabiston, 2008 )
Selama ini radang apendiks akut ditegakkan berdasarkan anamnese , pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium / darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/ml (
leuko sitosis ) , walaupun WBC count lazim digunakan pada anak-anak dengan sangkaan
radang apendiks akut , ini tidak spesifik dan tidak sensisitif untuk penyakit ini. Pada suatu
penelitian dikatakan bahwa leukositosis ( wbc count ≥ 15.000 /mm3 , pada usia anak < 10
tahun , dan ≥ 13.000/mm3 pada usia > 10 tahun ) adalah 18 % sensitivitasnya untuk
% jika gejala dijumpai dalam 48 jam atau lebih. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa
Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 %
untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam , persentase wbc count
dan neutrofil pada anak-anak dengan apendisitis adalah tinggi 90% - 96 % .
( Santacrose, 2006 )
C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif
terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan. CRP adalah suatu mediator
inflamasi non spesifik, ditemukan jumlah serum yang meningkat , sensitivitas 43 % - 92 %
dan spesifisitas 33 % - 95 % untuk apendisitis dengan akut abdomen . Dari penelitian
memberi kesan bahwa CRP adalah lebih sensitif ( > 90 % ) dari WBC count untuk
mendeteksi apendiks perforasi dan abses apendiks. Pada tahun 1992 s/d 1996 dengan 211
kasus yang di diagnosa sebagai apendisitis akut, pada kelompok umur 4 s/d 14 tahun ,
dikatakan bahwa WBC count , CRP berkolerasi secara signifikan dengan beratnya
peradangan apendiks. Identifikasi pada anak-anak dengan radang apendiks berat didukung
oleh CRP, tetapi tidak dengan WBC. ( Ulrich Sach et all, 2006 )
Dari penanda inflamasi ini masing-masing memiliki tempat untuk menegakkan
radang apendiks akut pada anak. WBC count memiliki sensitivitas ≥ 90 % jika infeksi
dijumpai sejak hari ke-2, Neutrofil memiliki sensitivitas 95 % jika klinis dijumpai <24 jam.
CRP dengan sensitivitas 92 % pada radang apendiks yang disertai dengan akut abdomen. (
Rothrock S.G, 2006 )
Pemeriksaan histopatologi adalah standard emas (gold standard) untuk diagnosis
apendisitis akut. Gambaran histopatologi erat hubungannya dengan patofisiologi apendisitis
akut. Proses peradangan apendiks dimulai dari lapisan mukosa yang akan berlanjut sampai
keseluruhan dinding, juga disertai pembentukan nanah dan akhirnya terjadi perforasi. Selain
terjadi perubahan histologi jaringan apendiks, juga terdapat pengimpulan sel
Klasifikasi Klinikopatologi Robbins Cotran
Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut adalah
klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran , klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
Apendisitis Simpel (grade I):
Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis
ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.
Apendisitis Supurativa (grade Il):
Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema,
kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat
fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada
stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan
mesenterium didekatnya.
Apendisitis Gangrenosa (grade III):
Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang
berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium
ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen
dengan bau busuk.
Apendisitis Ruptur (grade IV):
Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang
antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan
berbau busuk.
Apendisitis Abses (grade V):
Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang
rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau
seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.
Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II belum
terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III,IV, dan V
telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).
Penulis mencoba melakukan penelitian yang dilakukan pada Divisi Bedah Anak RS.
Pendidikan FK – USU ( RS. H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan ) , hingga saat ini
antara penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP, dengan grading histopatologi radang
apendiks akut pada anak .
1.2. Perumusan Masalah
Apakah ada hubungan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading
histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi
Medan
1.3. Hipotesa
Ada hubungan antara peningkatan nilai marker inflamasi Neutrofil dan CRP dengan
grading histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr.
Pirngadi Medan
1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Umum
Menentukan hubungan antara peningkatan marker inflamasi Neutrofil dan CRP
dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak.
1.4.2. Khusus
Diharapkan peningkatan penanda inflamasi Neutrofil dan CRP dapat digunakan
sebagai indikator untuk mengetahui grading histopatologi dan memprediksi beratnya radang
apendiks pada anak-anak .
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bidang Ilmiah
Peningkatan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP pada radang apendiks akut
anak diharapkan dapat digunakan sebagai indikator untuk menegakkan diagnosis dan
memprediksi beratnya radang apendiks akut
1.5.2. Bidang Pelayanan Masyarakat
Sebagai bahan informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya radang apendiks akut pada anak sehingga dapat digunakan sebagai bahan
1.5.3. Bidang Pengembangan Penelitian
Memberikan data awal kepada Divisi Bedah Anak tentang karakteristik dan hubungan antara peningkatan marker inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Apendisitis
Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai saat ini belum diketahui
secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau
obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan
flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi
perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses
disekitar apendiks ( Schwartz, 2006 )
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang
dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal
dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
radang apendiks, diantaranya
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
: ( Sabiston , 2008 )
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringanlymphoid sub
mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,
karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu
Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang
menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.
3. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit
pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola
makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
2.1.1. Anatomi
Apendiks vermikularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang lebih 6 –
10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen yang sempit pada
bagian proksimal dan melebar pada bagian distal , kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1
ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT ( Gut
Associated Lymphoid Tissue ). Lo kasi apendiks t erbanyak berasal dari bagian
posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium
yang mengelilinginya, yang disebut mesoapendiks yang berasal dari bagian posterior
mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis.
Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari
lokasi apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya
retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat
terjadi peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah sebagai berikut
: ( Aschraff, 2000 )
1 . R e t r o c a e c a l ( 6 5 % )
2 . P e l v i c
3 . A n t e c a e c a l
4 . P r e i l e a l
Gambar 1. Variasi Posisi Appendix
Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat ditemukan
dengan me ne lusuri ket iga t aenia ya ng t erdapat pada caecum (dan co lo n), ya it u
taenia co lica, taenia libra dan taenia omentalis.
Vaskularisasi appendik berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari
arteri mesent erika superior. Cabang arteri ileo ko lika ini d isebut art eri
appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena mesenterika
superior. Art eri appendicular is ini t ida k me milik i ko lateral sehingga ket ika
terjadi o klusi a p a p u n p e n y e b a b n y a , m a k a m u d a h t e r j a d i i s k e m i a d a n
g a n g r e n , h i n g g a a k h i r n y a perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang
n . v a g u s yang me ng ikut i a.mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilicus.
2.1.2. Fisiologi
Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan
Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil,
berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya
(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum
dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia
omentum)
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. .
Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem
imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah
jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.
Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang
mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan
terjadi
obliterasi lumen apendiks komplit.
Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar.
Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian
luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa
yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh
tunika serosa.
Histologis
- Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus. :
- Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika muskularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale
( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum viscerale.
2.1.3. Etiologi
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetus. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi
ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hyperplasia
jaringan limfoid, tumor apendiks, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris dapat pula
menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah
disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi
yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah
ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan semakin
meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga
semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks
sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding
apendiks. Selain infeksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara Hematogen ke apendiks.
2.1.4. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,
atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya
dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60
cmH20 .
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi Apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendisitis supuratif akut. Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan obstruksi lumen
apendiks oleh fekalith atau hiperplasia. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut
dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke dalam rongga peritoneum yang mengakibatkan peritonitis dan dapat berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan
kematian.
Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam pertama. Bila semua proses tersebut
berjalan lambat maka usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan
menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat. ( Hermanto, 2011 )
2.1.5. Klasifikasi Histopatologi
Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran ,
klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :
Apendisitis Simpel / Apendistis akut fokal (grade I):
Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis
Gambar 2. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa
Apendisitis Supurativa (grade Il):
Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema,
kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat
fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada
stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan
mesenterium didekatnya.
Apendisitis Gangrenosa (grade III):
Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang
berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium
ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen
dengan bau busuk.
Gambar 4. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik
Apendisitis Ruptur (grade IV):
Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang
antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan
berbau busuk.
Gambar 5. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai disertai diskontinuitas jaringan
Apendisitis Abses (grade V):
Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang
rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau
seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.
Gambar 6. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,
daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi
masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh
karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu
ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (
2.2. Gejala Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
( nyeri tumpul ) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu
makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,
ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di
daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Apendisitis kadang juga disertai dengan
demam derajat rendah sekitar 37,5 – 38,5 derajat celcius
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar
umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah
(titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa
nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan
mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.
1. Nyeri abdominal
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel
dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang
tidak spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. ( Aiken et all ,
2007 )
2.3. Pemeriksaan Penunjang
2.3.1.Pemeriksaan Darah ( Penanda Inflamasi ) 1. Neutrofil
Disebut juga leukosit polimorfonuklear ( PMN ) karena gumpalan-gumpalan inti yang
berikat secara fleksibel dapat mengambil sekian banyak (poly) bentuk (morf) , merupakan
jenis granulosit sel darah putih dan yang paling banyak dalam leukosit 45 -75 % . Neutrofil
berperan di dalam garis depan pertahanan seluler terhadap invasi kuman –kuman.
Fungsi utama neutrofil adalah sebagai fagositosis dan pembersihan debris , partikel
dan bakteri serta pemusnahan organisme mikroba , dan hal ini mungkin disebabkan
spesialisasi membrannya untuk proses ini. Peran bermanfaat neutrofil yang telah terbukti
adalah mencegah invasi oleh mikroorganisme patogen , serta melokalisasi dan mematikan
patogen tersebut apabila telah terjadi invasi . ( Ronald A, 2004 )
Neutrofil ditemukan dalam aliran darah , selama fase akut peradangan , terutama
sebagai akibat infeksi bakteri , paparan lingkungan dan beberapa jenis kanker , neutrofil
adalah salah satu yang pertama merespon sel-sel inflamasi untuk bermigrasi ke arah sumber
peradangan. Bermigrasi melalui pembuluh darah , kemudian melalui jaringan interstitial ,
ditargetkan oleh sinyal kimia seperti interleukin -8 , interferon gamma , dalam proses yang
disebut kemotaksis.
Neutrofil berpindah dari plasma menuju daerah radang melalui diapedesis sel karena
adanya sinyal-sinyal kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Perpindahan tersebut
dikenal dengan kemotaksis atau perpindahan yang dirangsang oleh zat kimia. Kepekaan
neutrofil terhadap rangsangan kimia tersebut menyebabkan neutrofil yang paling dahulu
sampai di daerah inflamasi.
Adapun urutan yang dialami oleh sel neutrofil adalah neutrofil bergerak ke tepi pembuluh
darah → melekat pada dinding pembuluh darah → keluar dari pembuluh darah→ neutrofil
menelan bakteri dan debris jaringan (fagositosis). ( Dalal I , 2005 )
2. C – Reaktif Protein
C -Reaktif Protein merupakan protein darah yang terikat dengan C-polisakarida,
pentamer 120 kDa. Kadarnya dapat meningkat 100 . 200 kali atau lebih tinggi pada inflamasi
sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. CRP merupakan penanda inflamasi yang
mengukur jumlah protein C –reaktif di dalam tubuh. CRP yang meningkat sebagai respon
terhadap peradangan (alat ukur beratnya peradangan dalam tubuh). ( Ronald A, 2004 )
C-reactive protein (CRP) adalah protein yang mengikat fraksi C polisakarida dari dinding sel pneumokokus. Protein ini adalah protein fase akut klasik yang dapat disintesis di hati.Protein ini dibentuk akibat proses infeksi,peradangan, luka bakar dan keganasan.Respon fase akut diikuti dengan peningkatan aktifitas koagulasi,fibrinolitik, leukositosis, efek sistemik dan perubahan kadar beberapa jenisprotein plasma seperti CRP atau hsCRP.
Kadar CRP biasanya meningkat 6 – 8 jam setelah demam dan mencapai puncak 24 –48 jam. Pada orang normal kadar CRP < 5 mg/L dan dapat meningkat 30x dari nilai normal pada respon fase akut. ( Lorentz, 2000 )
C – Reaktif Protein dipakai untuk :
• memberikan informasi seberapa akut dan seriusnya suatu penyakit. • deteksi proses peradangan sistemik di dalam tubuh.
• membedakan antara infeksi aktifdan inaktif.
• mengikuti hasil pengobatan infeksibakterial setelah pemberian antibiotika.
• mendeteksi infeksi dalam kandungankarena robeknya amnion. • untuk mengetahui adanya infeksi pasca operasi.
• membedakan antara infeksi dan reaksi penolakan pada transplantasisumsum tulang. • mempunyai korelasi yang baik dengan laju endap darah (LED).
Sebagaimana disebutkan diatas, dikenal 2 macam protein fase akut reaktif yaitu 1. C-reactive protein (CRP)
2. high sensitive C-reactive protein (hsCRP).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Rancangan penelitian ini merupakan penelitian studi analitik Cross Sectional Studi
3.2.Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sub Bagian Bedah Anak RSUP H.Adam Malik dan RSUD Dr
Pirngadi Medan.
Waktu : Desember 2012 – April 2013
3.3.Objek Penelitian / Sampel
Sampel penelitian adalah anak-anak yang telah di diagnosa radang apendiks akut di
Divisi Bedah Anak Rumah Sakit H. Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.
3.4.Besar sampel
Jumlah sampel diambil berdasarkan jumlah pasien yang masuk ke divisi Bedah Anak
RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi
- pasien anak , usia 1 hari s/d 15 tahun
- penderita dengan diagnosis radang apendiks akut
3.5.2. Kriteria Eksklusi
- pasien anak dengan diagnosis radang apendiks kronis
- penderita anak dengan radang apendiks akut , disertai penyakit infeksi lain
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan
Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari pasien dan keluarga pasien
setelah diberi penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian ,
yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari komisi etika penelitian Fakultas
Kedokteran USU
3.8. Cara Kerja
3.8.1. Alokasi subjek
Pemilihan subjek ditetapkan melalui total sampling dan kriteria inklusi
pada penelitian ini.
3.8.2. Tahap Persiapan
- Melakukan anamneses dan alloanamnese pada anak penderita radang akut appendix
- Melakukan Pemeriksaan fisik diagnostik
- Melakukan pengambilan sample dengan menilai kriteria inklusi dan eksklusi
3.8.3. Tahap Pelaksanaan
- Melakukan pemeriksaan darah lengkap, neutrofil dan CRP
3.8.4. Tahap Akhir Penelitian
1. Melakukan pengumpulan data
2. Melakukan pengolahan dan analisis data hasil penelitian
3. Melakukan penyusunan dan penggandaan laporan
3.9. Identifikasi Variabel
Variabel Bebas : Radang Apendiks akut , Histopatologi ( PA )
3.10. Kerangka kerja
3.11. Kerangka Teori
Kriteria inklusi
Nilai Neutrofil, CRP
Kriteria eksklusi
Appendectomy
Histopatologi
- Neutrofil ↑ - Mc burney sign (+)
- CRP ↑ - Blumberg sign
- Rovsing sign
- demam subfebril
- local rigidity difossa iliaka kanan
3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data
Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan korelasi Pearson serta
disajikan dengan menggunakan program komputer. Interval kepercayaan 95 % dan p < 0,05
dinyatakan secara statistik bermakna.
BAB IV
Gejala klinis Laboratorium
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013. Dalam
kurun waktu tersebut didapatkan kasus sebanyak 26 sampel penelitian pasien anak dengan
radang apendiks akut . Dari sampel tersebut dilakukan pemeriksaan laboratorium darah
lengkap dan CRP test pre operasi dan pemeriksaan histopatologi jaringan paska operasi di
RS. H. Adam Malik dan RS . Pirngadi Medan.
4.1. Karakteristik Sampel
Dari 26 penderita radang apendiks akut pada anak didapatkan 15 orang berjenis kelamin laki-laki dan 11 orang berjenis kelamin perempuan. Data demografi subjek yang mengikuti penelitian ini ditampilkan dalam tabel 4.1.1 dan diagram 4.1.1
Tabel 4.1.1 Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin Jumlah Proporsi
Laki-laki 15 15 / 26
Perempuan 11 11 / 26
Diagram 4.1.1 Persentase jenis kelamin penderita radang apendiks akut pada anak
Peneliti kemudian mengelompokkan subjek penelitian berdasarkan usia. Distribusi subjek penilitian ditampilkan pada tabel 4.1.2 dan diagram 4.1.2
Tabel 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan kelompok usia
Usia ( tahun ) Jumlah Proporsi
0 – 5 2 2 / 26
6 – 10 15 15/ 26
11 – 15 9 9 / 26
Total 26
58% 42%
Diagram 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan Usia
Dari tabel 4.1.2 dan diagram 2 diketahui bahwa kelompok usia terbanyak yang
menderita radang apendiks akut adalah pada kelompok usia anak 6 - 10 tahun , sebanyak 15
kasus (58 %) , kedua terbanyak pada kelompok usia 11 – 15 ,sebanyak 9 kasus (34 %) dan 2
kasus (8 %) pada kelompok usia 0 – 5 tahun , dengan rentang usia 0 – 15 tahun. Rata-rata
usia pasien yang menderita radang apendiks akut adalah 9,7 +
4.2. Histopatologi Apendisitis
3,45 tahun dengan usia
terendah adalah 3 1/2 tahun.
Frekuensi apendisitis yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan histopatologi , dapat
dilihat pada tabel 4.2 dan diagram 4.2
Tabel 4.2.1. Distribusi Frekuensi Pasien berdasarkan Diagnosis
Diagnosis PA Frekuensi Persentase
Apendisitis akut 6 24
Apendisitis akut perforasi 18 68
Apendisitis gangrenous 1 4
Apendisial abses 1 4
Jumlah 26 100
Apendisitis akut perforasi adalah diagnosis apendisitis yang paling banyak ditemukan,
sebanyak 18 dari 26 kasus (68 %) , dan kedua terbanyak adalah apendisitis akut sebanyak 6
kasus (24 %). Apendisial abses dan apendisitis gangrenosa masing masing 1 kasus (4 %)
Diagram 4.2.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis Histopatologi
0 5 10 15 20
Distribusi Pasien berdasarkan Diagnosis
Histopatologi
Apendisitis akut
Tabel 4.2.2 Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis
Diagnosis PA Kelompok Umur Jumlah
0 – 5 thn 6 – 10 thn 11 – 15 thn
Apendisitis akut 1 3 2 6
Apendisitis akut perforasi 1 11 6 18
Apendisitis gangrenous - 1 - 1
Apendisial abses - - 1 1
Jumlah 2 15 9 26
Dari table 4.3 dapat diketahui , bahwa pada kelompok umur 6 – 10 tahun , kasus
terbanyak dengan apendisitis akut perforasi sebanyak 11 kasus (44 % ) , pada kelompok umur
11 -15 tahun dijumpai sebanyak 6 kasus (24 %) dengan apendisitis akut perforasi.
4.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Pada 26 penderita yang diteliti yang sudah dilakukan pemeriksaan histopatologi ,
sebanyak 16 penderita (62 %) dengan nilai Neutrofil meninggi dan 10 penderita (38 %)
dengan nilai Neutrofil normal (Diagram 4.4.1). Pada hasil pemeriksaan CRP test terhadap 26
penderita dijumpai sebanyak 23 (88 %) penderita dengan serum CRP meninggi dan 3
Diagram 4.4.1. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda Neutrofil
Diagram 4.4.2 Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda CRP
4.4. Hubungan antara Nilai Neutrofil dan CRP test dengan Grading Histopatologi.
Peneliti melakukan tabulasi terhadap seluruh sampel berdasarkan variabel , umur ,
jenis kelamin, diagnosis, nilai Neurofil, CRP test dan grading histopatologi. Data tabulasi
ditampilkan pada tabel 4.5.1 dan diagram 4.5.1
58% 42%
Neutrofil (↑)
Neutrofil (N)
88% 12%
CRP (↑)
Tabel 4.4.1. Kadar Neutrofil menurut diagnosis Apendisitis
No Diagnosis paska bedah Neutrofil
Normal Meninggi Jumlah
1 Apendisitis akut 4 2 6
2 Apendisitis akut perforasi 6 12 18
3 Apendisitis gangrenosa - 1 1
4 Apendisitis abses - 1 1
10 16 26
X2 = 1,930 df = 1 p = 0,165
Berdasarkan tabel 4.5.1 diketahui bahwa pada diantara 6 penderita apendisitis akut, 4
orang (67 %) dengan nilai Neutrofil normal dan 2 orang (33 %) dengan Neutrofil meninggi .
Sedangkan diantara 18 orang dengan apendisitis akut perforasi , 6 orang (33 %) dengan nilai
Neutrofil normal dan 12 orang dengan Neutrofil meninggi (67 %). Penderita apendisial abses
dan apendistis gangrenosa mempunyai nilai Neutrofil meninggi.
Kemudian dilakukan analisa secara statistik untuk melihat hubungan antara nilai
Netrofil dengan grading histopatologi. Dengan menggunakan uji hipotesa Chi square setelah
dilakukan perhitungan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
secara statistik antara Neutrofil dengan grading histopatologi (p = 0,165) , dengan kata lain nilai Neutrofil belum dapat menunjukkan grading histopatologi apendisitis akut pada anak,
dan demikian pula sebaliknya tingginya grading histopatologi apendistis akut belum dapat
memastikan tingginya nilai Neutrofil . Hubungan ini kemudian dilakukan uji korelasi dengan
menggunakan Spearman. Hasil yang didapatkan adalah bahwa terdapat hubungan yang lemah
Peneliti juga mencari hubungan antara kadar CRP dengan grading histopatologi pada
pasien appendisitis. Data diuji secara analitik dengan p<0,05 dianggap bermakna secara
statistik.
Tabel 4.4.2. Kadar CRP menurut diagnosis Apendisitis
No Diagnosis paska bedah
C R P
Normal Meninggi Jumlah
1 Apendisitis akut 3 3 6
Berdasarkan tabel 4.5.2 diketahui bahwa pada 6 penderita apendisitis akut, 3 orang
diantaranya (50 %) memiliki nilai CRP normal dan 3 orang ( 50 % ) dengan CRP meninggi
. Sedangkan pada 18 orang pasien dengan apendisitis akut perforasi , seluruh penderita (100
%) dengan nilai CRP meninggi , penderita apendisial abses dan apendistis gangrenosa
mempunyai nilai CRP yang juga meninggi.
= 7,63 df = 1 p = 0,022
Kemudian dilakukan analisa secara statistik untuk melihat hubungan antara nilai CRP
dengan grading histopatologi. Dengan menggunakan uji hipotesa Chi square setelah
dilakukan perhitungan didapatkan hasil hubungan yang bermakna secara statistik ( p = 0,022 ) , dengan arti kata terdapat hubungan peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi apendisitis yang makin tinggi dan sebaliknya tingginya grading histopatologi
menunjukkan peningkatan nilai CRP yang signifikan. Kemudian kekuatan hubungan pada 2
variabel diatas memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara CRP
BAB V
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini , penderita apendisitis akut terbanyak adalah laki-laki 15 (58
%) dari 26 kasus , perempuan sebanyak 11 kasus (42 %) , dari data epidemiologi dikatakan
insiden apendisitis sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan pada masa anak-anak
(prapuber). Usia anak terbanyak yang didiagnosis dengan apendistis akut pada usia 6-10
tahun ,sebanyak 15 kasus (58 %), kelompok umur 11 – 15 tahun sebanyak 9 kasus (34 %)
dan sedikit kasus apendisitis dijumpai pada usia 0 – 5 tahun , 2 kasus (8 %). Hal ini sesuai
dengan data epidemiologi dimana apendisitis akut jarang dijumpai pada balita , meningkat
pada pubertas dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan umur awal 20-an. ( Schwartz,
2009 )
Suatu penelitian yang dilakukan di Netherland (Rotterdam Hospital) oleh V.C
Cappendijk dkk ,mendapatkan hasil dari 129 sampel apendisitis akut pada anak dijumpai 71
% dengan apendisitis akut perforasi , dan pada usia dibawah 5 tahun angka apendisitis
perforasi mencapai 82 % . Keterlambatan dalam mendiagnosis suatu apendisitis akut
merupakan faktor yang menyebabkan tingginya komplikasi dari apendisitis akut pada
anak-anak dan ini sering terjadi karena pada awalnya anak-anak dibawa ke Pediatrik dengan keluhan
gastrointestinal. Komplikasi berupa apendisitis akut perforasi terbanyak dijumpai setelah
diatas 48 jam datang ke Surgeon,
Pada penelitian ini apendisitis akut dengan perforasi adalah diagnosis apendisitis akut
terbanyak pada anak yang dilakukan operasi dan dikirim ke Patologi Anatomi untuk diperiksa
lebih lanjut. Pasien yang didiagnosis apendistis akut perforasi dengan pemeriksaan
histopatologi sebanyak 18 kasus (68 %) dari 26 kasus yang didiagnosis apendisitis akut pada
Desember 2012 s/d April 2013 , yang kedua terbanyak dengan apendisitis akut , 6 kasus (24
%) , kemudian dijumpai masing-masing 1 kasus (4 %) dengan diagnosis apendistis
gangrenosa dan apendisial abses. Hal ini sesuai dengan penelitian V.C Cappendijk dkk ,
komplikasi apendisitis akut perforasi terbanyak dijumpai dalam penelitian ini dan anak
dibawa ke rumah sakit diatas 48 - 72 jam setelah timbul gejala.
Ulrich Sack ,dkk (2006) , menyatakan keterlambatan diagnosis apendistis akut pada
anak berhubungan dengan peningkatan resiko perforasi dan pilihan terapinya yang paling
baik pada anak adalah Appendectomy. Perforasi merupakan komplikasi dari apendisitis akut
yang tidak tertangani dalam 24-36 jam. Pada umumnya , makin lama penundaan dari
diagnosis dan tindakan bedah , kemungkinan terjadinya perforasi makin besar. Resiko
perforasi setelah 36 jam setelah timbulnya gejala sedikitnya 15 % .
Santacroce R dan Craig S (2006) , anak-anak memiliki kecenderungan perforasi yang
lebih tinggi yaitu sebesar 50 – 85 %. Pada anak-anak dengan omentum yang lebih pendek ,
apendiks yang lebih panjang dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh
yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Intervensi bedah pada pasien
apendistis akut sangat penting untuk menghindari perforasi apendiks.
Pada penelitian ini , dari 26 kasus yang masuk ke rumah sakit melalui unit gawat
darurat , 90 – 95 % datang dengan gejala lebih dari 48 jam. Seperti dikatakan Ulrich dkk ,
peningkatan resiko perforasi sering dijumpai pada kasus apendisitis akut yang tidak
tertangani dalam 24 – 36 jam. Dari penelitian ini didapatkan yang terbanyak berdasarkan
diagnosis paska bedah , pada kelompok unur 6 – 10 tahun dengan diagnosis apendistis akut
perforasi , sebanyak 11 kasus (44 %) dari 26 kasus apendistis. Pada kelompok umur 11 – 15
Selama ini radang apendiks akut ditegakkan berdasarkan anamnese , pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium / darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). C – reaktive
Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri
, peradangan dan kerusakan jaringan, sensitivitas 43 % - 92 % dan spesifisitas 33 % - 95 %
untuk apendisitis dengan akut abdomen . Pada tahun 1992 s/d 1996 dengan 211 kasus yang
di diagnosa sebagai apendisitis akut, pada kelompok umur 4 s/d 14 tahun , dikatakan bahwa
WBC count , CRP berkolerasi secara signifikan dengan beratnya peradangan apendiks.
Identifikasi pada anak-anak dengan radang apendiks berat didukung oleh CRP, tetapi tidak
dengan WBC. ( Ulrich Sach et all, 2006 )
Pada peneletian ini dilakukan pemeriksaan CRP , didapatkan hasil hubungan yang
bermakna antara peningkatan nilai CRP dengan grading histopatologi apendisitis akut pada
anak ( p = 0.022 ). Kemudian kekuatan hubungan pada 2 variabel diatas memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara CRP dengan grading hitopatologi pasien
apendisitis ( r = 0,542 ; p = 0,022).
Santacrose dkk, 2006, dalam penelitiannya mengatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis
apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam , persentase wbc count dan neutrofil pada
anak-anak dengan apendisitis adalah tinggi 90% - 96 % .
Pada penelitian ini pemeriksaan nilai Neutrofil didapatkan hasil hubungan yang tidak
bermakna antara nilai Neutrofil dengan grading histopatologi ( p = 0,165 ). Hal ini bisa disebabkan karena penderita datang ke rumah sakit umumnya lebih dari 48 jam , sehingga
menggunakan Spearman. Hasil yang didapatkan adalah bahwa terdapat hubungan yang lemah
BAB VI.
SIMPULAN DAN SARAN
I. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS. H. Adam Malik / RS. Pirngadi Medan ,
didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar CRP dengan grading histopatologi
pada pasien dengan appendisitis (p = 0,022), sedangkan hubungan antara nilai
neutrofil dengan grading histopatologi tidak memberikan hubungan yang bermakna
secara statistik (p = 0,165)
2. Kasus terbanyak pada apendisitis adalah pasien dengan apendisitis akut perforasi
yaitu dengan jumlah 18 (69 %) dari 26 kasus dan dijumpai terbanyak kasus
apendisitis akut perforasi pada anak kelompok umur 6 – 10 tahun dengan jumlah 11
kasus (42 %).
II. SARAN
1. Tingginya kasus apendistis akut perforasi pada anak-anak (69 %) ,agar kiranya pihak yang
terkait dengan pelayanan kesehatan ( paramedis maupun medis ) dapat memprediksi
dengan cepat jika anak yang datang berobat dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
disertai mual muntah kemungkinan dengan suatu gejala apendisitis akut , sehingga dapat
2. Pemeriksaan CRP agar kiranya dapat dipakai untuk pemeriksaan darah lengkap pada
kasus anak yang disangkakan dengan diagnosis apendisitis akut
3. Penelitian lebih lanjut terhadap hubungan penanda inflamasi : Neutrofil dan CRP dengan
grading histopatologi perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan dalam
DAFTAR PUSTAKA
Aiken J.J.,Oldham K.T. 2007. Acute appendicitis. In Kliegman, Behrman, Jenson,
Stanton: Nelson Textbook of Pediatrics.18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.1628-35.
Andersson RE, Hugander A, Thulin AJ: Diagnostic accuracy and perforation rate in
appendicitis: association with age and sex of the patient and with appendicectomy
rate. Eur J Surg 1992, 158:37-41.
Aschraff, K.W., Pediatric Surgery, 3 th Edition, WB Saunders Company,
Philadelpia-NewYork-London-Tokyo, 2000: p. 406-21.
Bangert SK. Marshall WJ, Clinical Chemistry , CRPHS C-reactive protein (latex) high sensitive assay . 5th ed. Edinburgh. 2004. p241-2.
Berger D.H., Jaffe B.M. 2006. The appendix. In F. Charles Brunicardi: Schwartz Manual Surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill. p.784-99.
Bickley L.S. 2004. Assessing possible appendicitis. In Lynn S. Bickley., Peter G. Szilagyi., Barbara Bates: Guide to Physical Examination and History Taking. 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins. p.347-8.
Dalal I, Somekh E, Bilker-Reich A, Boaz M, Gorenstein A, Serour F: Serum and
peritoneal inflammatory mediators in children with suspected acute appendicitis.
Arch Surg 2005, 140:169-173.
Dueholm S, Bagi P, Bud M. Laboratory aid in the diagnosis of acute appendicitis: a
blinded, prospective trial concerning diagnostic value of leukocyte count, neutrophil
differential count, and C-reactive protein. Dis Colon Rectum 1989;32:855-9.
Eriksson S, Granstrom L, Bark S: Laboratory tests in patients with suspected acute
appendicitis. Acta Chir Scand 1999,155:117-120.
Hermanto : Apendisitis pada Anak , emergency department diagnosis &
Jasonni V. 2006. Appendectomy. In Puri P., Hollwarth M: Pediatric Surgery. Berlin: Springer. p.321-6
Kirby CP, Sparnon AL. Active observation of children with possible appendicitis
does not increase morbidity. ANZ J Surg 2001;71:412-3.
Kumar, Abbas, Fausto. 2005. Appendix. In Kumar, Abbas, Fausto: Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.870-1.
Lawrence PF MD, Bell RM.MD, Dayton MT.MD : Small Intestine and Appendix in
Essentials of General Surgery, 4th ed. Baltomore : William & Wilkin, 2002 : 202-6.
Lorentz R. Dr. Med : Clinical Significance od C- Reactive Protein, Diagnostic and
Monitoring, Boehringer Memheinm, GMBH, 2000,5-6.
O’neil JA, Grosfeld JL, Fonkalsrud EW, Coran AG, Caldamone. Apendicitis In Principle of Pediatric Surgery 2nd ed. Mosby Elsevier. 2003 p. 565-572
Paajanen H, Mansikka A, Laato M, Kettunen J, Kostiainen S: Are serum
inflammatory markers age dependent in acute appendicitis? J AmColl Surg 1997, 184:303-308.
Robbins and Cotran : Pathologic Basic of Disease , 8th ed Philadelpia : by Saunders,
an imprint of Elsevier Inc , 2004
Rodriguez-Sanjuan JC, Martin-Parra JI, Seco I, Garcia-Castrillo L, Naranjo A: C-
reactive protein and leukocyte count in the diagnosis of acute appendicitis in
children. Dis Colon Rectum 1999, 42:1325-1329.
Ronald A. Sacher , Richard A.McPherson : Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium , EGC , 2004 .
Rothrock S.G., Pagane J. 2000. Acute appendicitis in children: emergency department diagnosis & management.