• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Keakuratan Antara C – Reaktif Protein Dan Hitung Leukosit Dalam Mendiagnosis Radang Apendiks Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Pendidikan FK USU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Keakuratan Antara C – Reaktif Protein Dan Hitung Leukosit Dalam Mendiagnosis Radang Apendiks Akut Pada Anak Di Rumah Sakit Pendidikan FK USU"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA TUGAS MAGISTER PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

ILMU BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN USU

PERBANDINGAN KEAKURATAN ANTARA C – REAKTIF PROTEIN DAN HITUNG LEUKOSIT DALAM MENDIAGNOSIS RADANG APENDIKS AKUT

PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK USU

Oleh

Dr. KAPRI JAYA SAKTI \

Pembimbing :

Dr. MAHYONO , SpB - KBA

Dr. ERJAN FIKRI , M.Ked (Surg), SpB - KBA

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN USU UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARYA TULIS TUGAS MAGISTER

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS BEDAH DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH : NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI

RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

PENELITI Dr. KAPRI JAYA S

PEMBIMBING 1: PEMBIMBING 2:

( Dr. MAHYONO SpB, SpBA ) ( Dr. ERJAN FIKRI, M. Ked (Surg), SpB, SpBA ) NIP : 140 161 421 NIP : 19630127198911101

DIKETAHUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN ILMU BEDAH KETUA PROGRAM STUDI ILMU BEDAH FK USU, FK USU,

Dr. EMIR TARIS PASARIBU, SpB (K) Onk

(3)

KARYA TULIS TUGAS MAGISTER

NAMA : Dr. KAPRI JAYA SAKTI SEMESTER : XII

JUDUL : HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH:

NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING

HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

PEMBIMBING 1 : Dr. MAHYONO SpB, SpBA

NIP : 140 161 421

PEMBIMBING 2 : Dr. ERJAN FIKRI, M. Ked (Surg), SpB, SpBA NIP : 19630127198911101

MEDAN, JUNI 2013 SEKSI ILMIAH

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU

(4)

SURAT KETERANGAN

SUDAH DIPERIKSA KARYA TULIS TUGAS AKHIR

JUDUL : HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH: NEUTROFIL DAN CRP DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

PENELITI : Dr. KAPRI JAYA S

DEPARTEMEN : DEPARTEMEN ILMU BEDAH FK USU INSTITUSI : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN, 15 JUNI 2013 KONSULTAN

METODOLOGI PENELITIAN FAKULTAS KEDOKTERAN

USU MEDAN

(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN ANTARA PENANDA INFLAMASI DARAH ( NEUTROFIL DAN CRP ) DENGAN GRADING HISTOPATOLOGI RADANG APENDIKS AKUT PADA

ANAK DI RUMAH SAKIT PENDIDIKAN FK – USU MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang

pengetahuan saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh

orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar

pustaka.

Medan, Juni 2013

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT penulis panjatkan, karena berkat segala rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini yang

merupakan salah satu persyaratan tugas akhir untuk memperoleh keahlian dalam bidang Ilmu

Bedah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Selawat dan salam tak

lupa penulis sampaikan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan

rasa terimakasih da penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

Kedua orang tua, ayahanda dan Ibunda terimakasih yang sedalam-dalamnya dan

setulus-tulusnya, yang telah membesarkan dan mendidik penulis sejak kecil dengan penuh kesabaran,

kasih sayang dan perhatian, dengan diiringi doa dan dorongan yang tiada hentinya sepanjang

waktu, memberikan contoh yang sangat berharga dalam menghargai dan menjalani

kehidupan.

Terima kasih yang tak terkira kepada istriku tercinta, Tri Murti dan anak-anakku

Miranda , Kevin , Meisya dan Asyifa atas segala pengorbanan, pengertian, dukungan

semangat, kesabaran dan kesetiaan dalam segala suka duka mendampingi penulis selama

menjalani masa pendidikan yang panjang ini.

Kepada kakak-kakak dan adik dan seluruh keluarga besar yang tidak mungkin saya sebutkan

satu-persatu di sini, penulis menucapkan terima kasih atas pengertian dan dukungan yang

diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

Kepada Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis

untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah di lingkungan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kepada Ketua Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara, Dr. Emir T Pasaribu, SpB(K)ONK dan Sekretaris Departemen, Dr. Erjan Fikri, SpB,

SpBA (yang sekaligus pembimbing penulisan tesis ). Ketua Program Studi Ilmu Bedah, Dr.

(7)

yang telah bersedia menerima, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran

selama penulis menjalani pendidikan.

Rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada

guru-guru di divisi Bedah Anak , Dr. Mahyono , Dr. Erjan Fikri , Dr. M. Iqbal , pembimbing

penulisan tesis, terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang

setinggi-tingginya yang dapat penulis sampaikan, yang telah sabar membimbing, mendidik, membuka

wawasan penulis, senantiasa memberikan dorongan dan motivasi yang tiada hentinya dengan

penuh bijaksana dan tulus ikhlas disepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan

tesis ini.

Rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada

guru-guru saya: Prof. Bachtiar Surya, SpB-KBD, Prof. IskandarJapardi, SpBS(K), Prof. Adril A

Hakim, SpS, SpBS(K), Prof. Nazar Moesbar, SpB, SpOT, Prof. Hafas Hanafiah, SpB, SpOT,

Alm.Prof. Usul Sinaga, SpB, Alm.Prof. BuchariKasim, SpBP, dr. Syahbuddin Harahap, SpB,

dr. Syahbuddin Harahap, SpB; dr. Liberti Sirait, SpB-KBD; dr. Budi Irwan SpB-KBD; dr.

Asrul S, SpB-KBD; dan dr. Adi Muradi SpB-KBD , dr. Harry Soejatmiko, SpB, SpBTKV,

dr. Edi Sutrisno, SpBP, dr. Chairiandi Siregar, SpOT, , dr. Riahsyah Damanik, SpB(K)Onk,

dr.Tiur Purba, SpB, dr. Kamal B Siregar, SpB(K)Onk, dr. Suyatno SpB (K) Onk , dr.

Bungaran Sihombing, SpU, dr. Syah M Warli, SpU, dr. Sumiardi Karakata, SpU, dr. Jaelani,

SpBP, dr. Frank Buchari, SpBP(K)RE, dr. Utama Tarigan, SpBP(K)RE, dr. Rasidi Siregar,

SpB, dr. Suhelmi, SpB, dr. Ramotan Purba, SpB, dr. Nazwir Nazar, SpB, dr. Manan, SpOT,

dr. Zahri A Rani, SpU, dr. Azwarto, SpB, dr. Albiner Simarmata, SpB(K)Onk, dr. Robert

Siregar, SpB, dr. Nasrun, SpB, dr. Afdol, SpB, dr. ErinaOutri, SpB-KBD, dr. Marahakim,

SpB, dr. Amrin Hakim, SpB, Alm. dr.Daten Bangun, SpB dan seluruh guru bedah saya yang

tidak dapat saya sebutkan satu persatu, di lingkungan RSUP H Adam Malik, RSU Pirngadi

Medan dan di semua tempat yang telah mengajarkan ketrampilan bedah pada diri saya.

Semua telah tanpa pamrih memberikan bimbingan, koreksi dan saran kepada penulis selama

mengikuti program pendidikan ini.

Kepada Dr. Jamaluddin SpPA , Dr. Sutoyo SpPA , dan semua staf di Departemen

Patologi Anatomi saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya yang telah memberikan

bimbingan , masukan dan saran kepada saya sewaktu konsultasi karya tulis ini di Departemen

(8)

Prof. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah membimbing, membantu dan meluangkan

waktu serta motivasi beliau dalam membimbing metodologi dan statistik dari tulisan tugas

akhir ini.

Para senior, dan semua rekan seperjuangan peserta program studi Bedah Medan yang

bersama-sama menjalani suka duka selama pendidikan. Terima kasihku buat kalian semua di

sepanjang waktu kebersamaan kita.

Para pegawai dilingkungan Departemen Ilmu Bedah FK USU, dan para tenaga

kesehatan yang berbaur berbagi pekerjaan memberikan pelayanan Bedah di RSUP H Adam

Malik, RSU Pirngadi, RSUD Singkil, RSUD Panyabungan, RS Balige, RSUD Samosir ,

RSUD Sipirok, dan di semua tempat yang pernah bersama penulis selama penulis menimba

ilmu. Terima kasihku buat kalian semua di sepanjang waktu kebersamaan kita.

Mohon maaf penulis pada semua orang, atas kesalahan ucapan dan perbuatan yang

telah terjadi. Akhirnya hanya Allah SWT yang dapat membalas segala kebaikan.

Semoga ilmu yang penulis peroleh selama pendidikan spesialisasi ini dapat

memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, Juni 2013

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN TESIS ………. i

LEMBAR PERNYATAAN ……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

2.1.4. Patofisiologi ………. 10

2.1.5. Klasifikasi Histopatologi ………. 11

2.2. Gejala Klinis ... 15

2.3. Pemeriksaan Penunjang ... 16

2.3.1. Pemeriksaan darah ( Penanda Inflamasi ) ……… 16

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain ... 19

3.2. Tempat dan Waktu ... 19

3.3. Populasi dan Sampel ... 19

3.4. Perkiraan Besar Sampel ... 19

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 19

3.5.1. Kriteria inklusi ... 19

(10)

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 19

3.7. Etika Penelitian ... 20

3.8. Cara Kerja ... 20

3.8.1.Alokasi Subjek ...…20

3.8.2.Tahap persiapan ... 20

3.8.3.Tahap pelaksanaan ... 20

3.8.4.Tahap akhir penelitian ... 20

3.9. Identifikasi Variabel ... 20

3.10. Kerangka Kerja ………... 21

3.11. Kerangka Teori ……… ………..…… 22

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisa Data ... 22

BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Karakteristik Sampel ……… 23

4.2. Histopatologi Apendisitis ……… 25

4.3. Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis…27 4.4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium ………....… 27

4.5. Hubungan antara Nilai Neutrofil dan CRP dengan Grading Histopatologi…. 28 BAB 5. PEMBAHASAN Pembahasan ………. 31

BAB 6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ………. 33

6.2. Saran ………33

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1.1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin ………..… 23

4.1.2. Distribusi pasien berdasarkan usia ………..……….….... 24

4.2.1. Distribusi Frekuensi Pasien berdasarkan Diagnosis ………..… 26

4.2.2 Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis …….. 27

4.4.1. Kadar Neutrofil menurut diagnosis Apendisitis ……….. 29

4.4.2. Kadar CRP menurut diagnosis Apendisitis ………. 30

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1. Variasi Posisi Apendiks ……… 8

Gambar 2. Sel-sel radang akut di lapisan mukosa ……….. 12

Gambar 3. Sel-sel radang akut di lapisan mukosa , submukosa dan muskularis ………… 12

Gambar 4. Sel-sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik ……….. 13

Gambar 5. Sel-sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai

Diskontinuitas jaringan ………. 13

Gambar 6. Sel-sel radang akut menginfiltrasi sampai serosa ………. 14

Gambar 7. Induction and synthesis of CRP in hepatocytes ……… 18

Diagram 4.1.1. Persentase jenis kelamin penderita radang apendiks akut pada anak ……. 24

Diagram 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan Usia ………..… 25

Diagram 4.2.1. Frekuensi pasien berdasarkan diagnosis histopatologi ……….. 26

Diagram 4.4.1. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda

Neutrofil ……… 28

Diagram 4.4.2. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda CRP …… 28

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Variabel Data Penelitian

2. Susunan Peneliti

3. Rencana Anggaran Penelitian

4. Jadwal Penelitian

5. Naskah Penjelasan kepada Orang Tua /Kerabat Pasien lainnya

6. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)

7. Persetujuan dari Komisi Etika Penelitian

(14)

Hubungan antara Penanda Inflamasi Darah ( Neutrofil dan CRP ) dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut pada Anak di Rumah Sakit Pendidikan

FK – USU Medan Abstrak Latar belakang

Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Ulrich sach dkk di Jerman mengatakan bahwa Sitokin dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk beratnya radang Appendiks . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000 anak antara usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17 tahun . Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem pada bidang bedah, angka negative Apendectomy berkisar 20 – 35 % . C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan . Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional untuk mengetahui hubungan antara penanda inflamasi ( Neutrofil dan CRP ) dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak. Penelitian dilakukan di sub bagian Bedah Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan , selama kurun waktu Desember 2012 sampai April 2013.

Hasi Penelitian

Selama periode Desember 2012 sampai dengan April 2013 terdapat 26 pasien anak dengan radang apendiks akut yang datang ke RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan. Dari 26 pasien anak tersebut , jumlah anak laki-laki 15 orang , perempuan 11 orang , umur terendah yang dijumpai 3,5 tahun , dengan rata-rata umur 9 tahun ( 9,7 ± 3, 45 ). Dari hasil analisa statistik nilai Neutrofil dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,165 (α = 0,05). Analisa statistik nilai CRP dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,022 (α = 0,05) . Dari penelitian ditemukan 18 anak dengan apendisitis akut perforasi ( 68 % ) dan terbanyak pada kelompok umur 6 – 10 tahun , 11 orang (42 %) dengan apendisitis akut perforasi.

Kesimpulan

Jenis radang apendiks akut pada anak yang banyak djumpai setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adalah apendisitis akut perforasi. Pada penelitian ini pemeriksaan CRP menunjukkan hubungan yang bermakna dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak , dimana peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi yang meningkat.

(15)

Hubungan antara Penanda Inflamasi Darah ( Neutrofil dan CRP ) dengan Grading Histopatologi Radang Apendiks Akut pada Anak di Rumah Sakit Pendidikan

FK – USU Medan Abstrak Latar belakang

Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Ulrich sach dkk di Jerman mengatakan bahwa Sitokin dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk beratnya radang Appendiks . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000 anak antara usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17 tahun . Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu problem pada bidang bedah, angka negative Apendectomy berkisar 20 – 35 % . C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan . Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Cross Sectional untuk mengetahui hubungan antara penanda inflamasi ( Neutrofil dan CRP ) dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak. Penelitian dilakukan di sub bagian Bedah Anak Fakultas Kedokteran USU / RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan , selama kurun waktu Desember 2012 sampai April 2013.

Hasi Penelitian

Selama periode Desember 2012 sampai dengan April 2013 terdapat 26 pasien anak dengan radang apendiks akut yang datang ke RSUP H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan. Dari 26 pasien anak tersebut , jumlah anak laki-laki 15 orang , perempuan 11 orang , umur terendah yang dijumpai 3,5 tahun , dengan rata-rata umur 9 tahun ( 9,7 ± 3, 45 ). Dari hasil analisa statistik nilai Neutrofil dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,165 (α = 0,05). Analisa statistik nilai CRP dengan grading histopatologi menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,022 (α = 0,05) . Dari penelitian ditemukan 18 anak dengan apendisitis akut perforasi ( 68 % ) dan terbanyak pada kelompok umur 6 – 10 tahun , 11 orang (42 %) dengan apendisitis akut perforasi.

Kesimpulan

Jenis radang apendiks akut pada anak yang banyak djumpai setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi adalah apendisitis akut perforasi. Pada penelitian ini pemeriksaan CRP menunjukkan hubungan yang bermakna dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak , dimana peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi yang meningkat.

(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Radang apendiks ( apendisitis ) akut adalah masalah bedah yang secara umum

berhubungan dengan suatu reaksi fase akut.. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa Sitokin

dan protein pada fase akut mengalami aktivasi dan dapat berfungsi sebagai indikator untuk

beratnya radang Appendiks ( Ulrich Sach, 2006 ) . Radang apendiks akut banyak dijumpai

pada usia muda, 40 % penderita radang apendiks akut dijumpai antara umur 10 – 30 tahun,

sangat jarang pada bayi . Ratio laki-laki dibandingkan dengan perempuan pada usia remaja

3:2 dan menjadi 1 :1 sesudah usia 25 tahun . Insiden apendisitis dari 1 – 2 kasus pada 10.000

anak usia 1 hari – 4 tahun meningkat hingga 25 kasus untuk setiap 10.000 anak usia 10 – 17

tahun ( Schwartz, 2009 ) Diagnosa apendisitis akut masih sulit dan merupakan salah satu

problem pada bidang bedah, angka negative Appendectomy berkisar 20 – 35 % . ( Lawrence ,

2002 )

Secara umum bahwa appendectomy adalah terapi pilihan pada anak , keterlambatan dalam diagnosis apendisitis akut dikaitkan dengan peningkatan resiko perforasi dan

komplikasi lebih lanjut. Saat ini , angka kematian akibat radang apendiks akut yang telah

dilakukan pengobatan dilaporkan < 1 %. Penatalaksanaan secara konservatif telah dievaluasi

pada beberapa penelitian pada orang dewasa , tetapi tidak ditetapkan pada anak-anak . Di sisi

lain pada anak-anak , pasien geriatri dan wanita usia remaja , tingkat negative appendectomy

dapat mencapai 50 % ( Ulrich Sach, 2006 ). Banyak upaya telah dilakukan untuk

menentukan cara mengurangi tingkat negative appendectomy setelah klinis dicurigai

apendisitis akut . Berdasarkan hal ini akan menjadi sangat penting untuk dapat membedakan

gejala awal apendisitis dengan nyeri abdominal non spesifik. ( Sabiston, 2008 )

Selama ini radang apendiks akut ditegakkan berdasarkan anamnese , pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium / darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). Pada

pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000 – 20.000/ml (

leuko sitosis ) , walaupun WBC count lazim digunakan pada anak-anak dengan sangkaan

radang apendiks akut , ini tidak spesifik dan tidak sensisitif untuk penyakit ini. Pada suatu

penelitian dikatakan bahwa leukositosis ( wbc count ≥ 15.000 /mm3 , pada usia anak < 10

tahun , dan ≥ 13.000/mm3 pada usia > 10 tahun ) adalah 18 % sensitivitasnya untuk

(17)

% jika gejala dijumpai dalam 48 jam atau lebih. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa

Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 %

untuk diagnosis apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam , persentase wbc count

dan neutrofil pada anak-anak dengan apendisitis adalah tinggi 90% - 96 % .

( Santacrose, 2006 )

C – reaktive Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif

terhadap infeksi bakteri , peradangan dan kerusakan jaringan. CRP adalah suatu mediator

inflamasi non spesifik, ditemukan jumlah serum yang meningkat , sensitivitas 43 % - 92 %

dan spesifisitas 33 % - 95 % untuk apendisitis dengan akut abdomen . Dari penelitian

memberi kesan bahwa CRP adalah lebih sensitif ( > 90 % ) dari WBC count untuk

mendeteksi apendiks perforasi dan abses apendiks. Pada tahun 1992 s/d 1996 dengan 211

kasus yang di diagnosa sebagai apendisitis akut, pada kelompok umur 4 s/d 14 tahun ,

dikatakan bahwa WBC count , CRP berkolerasi secara signifikan dengan beratnya

peradangan apendiks. Identifikasi pada anak-anak dengan radang apendiks berat didukung

oleh CRP, tetapi tidak dengan WBC. ( Ulrich Sach et all, 2006 )

Dari penanda inflamasi ini masing-masing memiliki tempat untuk menegakkan

radang apendiks akut pada anak. WBC count memiliki sensitivitas ≥ 90 % jika infeksi

dijumpai sejak hari ke-2, Neutrofil memiliki sensitivitas 95 % jika klinis dijumpai <24 jam.

CRP dengan sensitivitas 92 % pada radang apendiks yang disertai dengan akut abdomen. (

Rothrock S.G, 2006 )

Pemeriksaan histopatologi adalah standard emas (gold standard) untuk diagnosis

apendisitis akut. Gambaran histopatologi erat hubungannya dengan patofisiologi apendisitis

akut. Proses peradangan apendiks dimulai dari lapisan mukosa yang akan berlanjut sampai

keseluruhan dinding, juga disertai pembentukan nanah dan akhirnya terjadi perforasi. Selain

terjadi perubahan histologi jaringan apendiks, juga terdapat pengimpulan sel

(18)

Klasifikasi Klinikopatologi Robbins Cotran

Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut adalah

klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran , klasifikasi

ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

Apendisitis Simpel (grade I):

Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis

ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat serosa.

Apendisitis Supurativa (grade Il):

Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema,

kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat

fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada

stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan

mesenterium didekatnya.

Apendisitis Gangrenosa (grade III):

Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang

berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium

ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen

dengan bau busuk.

Apendisitis Ruptur (grade IV):

Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang

antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan

berbau busuk.

Apendisitis Abses (grade V):

Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang

rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau

seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan II belum

terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III,IV, dan V

telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

Penulis mencoba melakukan penelitian yang dilakukan pada Divisi Bedah Anak RS.

Pendidikan FK – USU ( RS. H. Adam Malik dan RS. Pirngadi Medan ) , hingga saat ini

(19)

antara penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP, dengan grading histopatologi radang

apendiks akut pada anak .

1.2. Perumusan Masalah

Apakah ada hubungan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading

histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi

Medan

1.3. Hipotesa

Ada hubungan antara peningkatan nilai marker inflamasi Neutrofil dan CRP dengan

grading histopatologi radang apendiks akut pada anak di RS H.Adam Malik dan RSUD Dr.

Pirngadi Medan

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Umum

Menentukan hubungan antara peningkatan marker inflamasi Neutrofil dan CRP

dengan grading histopatologi radang apendiks akut pada anak.

1.4.2. Khusus

Diharapkan peningkatan penanda inflamasi Neutrofil dan CRP dapat digunakan

sebagai indikator untuk mengetahui grading histopatologi dan memprediksi beratnya radang

apendiks pada anak-anak .

1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bidang Ilmiah

Peningkatan penanda inflamasi darah Neutrofil dan CRP pada radang apendiks akut

anak diharapkan dapat digunakan sebagai indikator untuk menegakkan diagnosis dan

memprediksi beratnya radang apendiks akut

1.5.2. Bidang Pelayanan Masyarakat

Sebagai bahan informasi berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya radang apendiks akut pada anak sehingga dapat digunakan sebagai bahan

(20)

1.5.3. Bidang Pengembangan Penelitian

Memberikan data awal kepada Divisi Bedah Anak tentang karakteristik dan hubungan antara peningkatan marker inflamasi darah Neutrofil dan CRP dengan grading histopatologi

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Apendisitis

Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan

merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Sampai saat ini belum diketahui

secara pasti apa fungsi apendiks sebenarnya. Apendisitis dapat disebabkan karena infeksi atau

obstruksi pada apendiks. Obstruksi menyebabkan apendiks menjadi bengkak , perubahan

flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan, dapat terjadi

perforasi pada apendiks. Sehingga akibatnya terjadi Peritonitis atau terbentuknya abses

disekitar apendiks ( Schwartz, 2006 )

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh terjadinya proses radang bakteria yang

dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfe, fekalith,

tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal

dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya

radang apendiks, diantaranya

1. Faktor sumbatan (obstruksi)

: ( Sabiston , 2008 )

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang

diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringanlymphoid sub

mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya

sumbatan oleh parasit dan cacing

2. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya

fekalith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,

karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan

terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu

Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang

menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob < 10%.

3. Faktor ras dan diet

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.Bangsa kulit

(22)

pola makannya banyak serat. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola

makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini

beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.

2.1.1. Anatomi

Apendiks vermikularis adalah divertikulum intestinal yang berukuran kurang lebih 6 –

10 cm dan terletak pada caecum. Organ ini berbentuk tabung dengan lumen yang sempit pada

bagian proksimal dan melebar pada bagian distal , kapasitas apendiks sendiri kurang lebih 0,1

ml. Organ ini tersusun dari jaringan limfoid dan merupakan bagian integral dari GALT ( Gut

Associated Lymphoid Tissue ). Lo kasi apendiks t erbanyak berasal dari bagian

posteromedial caecum, di bawah ileocaecal junction. Apendiks sendiri memiliki mesenterium

yang mengelilinginya, yang disebut mesoapendiks yang berasal dari bagian posterior

mesenterium yang mengelilingi ileum terminalis.

Posisi terbanyak dari apendiks adalah retrocaecal, namun demikian ada variasi dari

lokasi apendiks ini. 65 % dari posisi apendiks terletak intraperitoneal sementara sisanya

retroperitoneal. Disini variasi posisi apendiks menentukan gejala yang akan muncul saat

terjadi peradangan, Beberapa variasi posisi apendiks terhadap caecum adalah sebagai berikut

: ( Aschraff, 2000 )

1 . R e t r o c a e c a l ( 6 5 % )

2 . P e l v i c

3 . A n t e c a e c a l

4 . P r e i l e a l

(23)

Gambar 1. Variasi Posisi Appendix

Posisi terbanyak adalah retrocaecal, namun demikian posisi apendiks dapat ditemukan

dengan me ne lusuri ket iga t aenia ya ng t erdapat pada caecum (dan co lo n), ya it u

taenia co lica, taenia libra dan taenia omentalis.

Vaskularisasi appendik berasal dari arteri ileocolica yang merupakan cabang dari

arteri mesent erika superior. Cabang arteri ileo ko lika ini d isebut art eri

appendicularis, dengan aliran venanya berasal dari vena ileocolica dan akan kembali ke vena mesenterika

superior. Art eri appendicular is ini t ida k me milik i ko lateral sehingga ket ika

terjadi o klusi a p a p u n p e n y e b a b n y a , m a k a m u d a h t e r j a d i i s k e m i a d a n

g a n g r e n , h i n g g a a k h i r n y a perforasi. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang

n . v a g u s yang me ng ikut i a.mesenterica superior dan a. appendicularis, sedangkan

persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di

sekitar umbilicus.

2.1.2. Fisiologi

Apendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan

Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. Apendiks adalah suatu struktur kecil,

berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya

(24)

(Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di

bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum

dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia

omentum)

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke

dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks

tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. .

Dinding apendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem

imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut

associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,

ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah

jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna

dan di seluruh tubuh.

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.

Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang

mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan

terjadi

obliterasi lumen apendiks komplit.

Secara histologis, apendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar.

Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian

luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Apendiks terbungkus oleh tunika serosa

yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di

mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh

tunika serosa.

Histologis

- Tunika mukosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus. :

- Tunika submukosa : banyak folikel lymphoid.

- Tunika muskularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale

( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.

- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum viscerale.

(25)

2.1.3. Etiologi

Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai

faktor pencetus. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi

ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hyperplasia

jaringan limfoid, tumor apendiks, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris dapat pula

menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah

disebutkan di atas, fekalit dan hyperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi

yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah

ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mucosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini akan semakin

meningkatkan tekanan intraluminal sehingga menyebabkan tekanan intra mucosa juga

semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks

sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus atau nanah pada dinding

apendiks. Selain infeksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ

lain yang kemudian menyebar secara Hematogen ke apendiks.

2.1.4. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia

folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,

atau neoplasma.

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya

dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi

tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama

mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya

sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60

cmH20 .

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,

menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan

pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis

pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi Apendisitis akut fokal

yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36

(26)

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri

didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan Apendisitis supuratif akut. Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan obstruksi lumen

apendiks oleh fekalith atau hiperplasia. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

infark dinding apendiks yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut

dengan apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut pecah,

akan terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke dalam rongga peritoneum yang mengakibatkan peritonitis dan dapat berkembang menjadi septikemia dan menyebabkan

kematian.

Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh

lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam pertama. Bila semua proses tersebut

berjalan lambat maka usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan

menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa

periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya

dapat terjadi nekrosis jaringan

berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan

sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri

secara lambat. ( Hermanto, 2011 )

2.1.5. Klasifikasi Histopatologi

Klasifikasi apendisitis pada anak secara umum yang sampai saat ini banyak dianut

adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Robbins Cotran ,

klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi :

Apendisitis Simpel / Apendistis akut fokal (grade I):

Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal atau hiperemis

(27)

Gambar 2. Sel –sel radang akut di lapisan mukosa

Apendisitis Supurativa (grade Il):

Sering didapatkan adanya obstruksi,apendiks dan mesoapendiks tampak edema,

kongesti pembuluh darah,mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat

fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada

stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses walling off oleh omentum, usus dan

mesenterium didekatnya.

(28)

Apendisitis Gangrenosa (grade III):

Selain didapatkan tanda-tanda supurasididapatkan juga adanya dinding apendiks yang

berwarna keunguan,kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium

ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen

dengan bau busuk.

Gambar 4. Sel –sel radang akut dengan jaringan ikat fibrous dan daerah nekrotik

Apendisitis Ruptur (grade IV):

Sudah tampak dengan jelas adanya rupture apendiks, umumnya sepanjang

antemesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan

berbau busuk.

Gambar 5. Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai disertai diskontinuitas jaringan

(29)

Apendisitis Abses (grade V):

Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,abses terbentuk disekitar apendiks yang

rupture biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau

seluruh rongga pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Gambar 6. Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang

memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena

telah ada gangguan pembuluh darah.

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme,

daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum

parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan

melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi

perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi

masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh

karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.

Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu

ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (

(30)

2.2. Gejala Klinis

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar

( nyeri tumpul ) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau periumbilikus. Keluhan ini

biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu

makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah,

ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga

merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di

daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Apendisitis kadang juga disertai dengan

demam derajat rendah sekitar 37,5 – 38,5 derajat celcius

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan

samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar

umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah

(titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa

nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan

mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.

1. Nyeri abdominal

2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.

3. Nafsu makan menurun.

4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

Gejala apendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel

dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang

tidak spesifik ini sering diagnosis apendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. ( Aiken et all ,

2007 )

(31)

2.3. Pemeriksaan Penunjang

2.3.1.Pemeriksaan Darah ( Penanda Inflamasi ) 1. Neutrofil

Disebut juga leukosit polimorfonuklear ( PMN ) karena gumpalan-gumpalan inti yang

berikat secara fleksibel dapat mengambil sekian banyak (poly) bentuk (morf) , merupakan

jenis granulosit sel darah putih dan yang paling banyak dalam leukosit 45 -75 % . Neutrofil

berperan di dalam garis depan pertahanan seluler terhadap invasi kuman –kuman.

Fungsi utama neutrofil adalah sebagai fagositosis dan pembersihan debris , partikel

dan bakteri serta pemusnahan organisme mikroba , dan hal ini mungkin disebabkan

spesialisasi membrannya untuk proses ini. Peran bermanfaat neutrofil yang telah terbukti

adalah mencegah invasi oleh mikroorganisme patogen , serta melokalisasi dan mematikan

patogen tersebut apabila telah terjadi invasi . ( Ronald A, 2004 )

Neutrofil ditemukan dalam aliran darah , selama fase akut peradangan , terutama

sebagai akibat infeksi bakteri , paparan lingkungan dan beberapa jenis kanker , neutrofil

adalah salah satu yang pertama merespon sel-sel inflamasi untuk bermigrasi ke arah sumber

peradangan. Bermigrasi melalui pembuluh darah , kemudian melalui jaringan interstitial ,

ditargetkan oleh sinyal kimia seperti interleukin -8 , interferon gamma , dalam proses yang

disebut kemotaksis.

Neutrofil berpindah dari plasma menuju daerah radang melalui diapedesis sel karena

adanya sinyal-sinyal kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Perpindahan tersebut

dikenal dengan kemotaksis atau perpindahan yang dirangsang oleh zat kimia. Kepekaan

neutrofil terhadap rangsangan kimia tersebut menyebabkan neutrofil yang paling dahulu

sampai di daerah inflamasi.

Adapun urutan yang dialami oleh sel neutrofil adalah neutrofil bergerak ke tepi pembuluh

darah → melekat pada dinding pembuluh darah → keluar dari pembuluh darah→ neutrofil

menelan bakteri dan debris jaringan (fagositosis). ( Dalal I , 2005 )

2. C – Reaktif Protein

C -Reaktif Protein merupakan protein darah yang terikat dengan C-polisakarida,

pentamer 120 kDa. Kadarnya dapat meningkat 100 . 200 kali atau lebih tinggi pada inflamasi

sistemik yang menyebabkan kerusakan endotel. CRP merupakan penanda inflamasi yang

(32)

mengukur jumlah protein C –reaktif di dalam tubuh. CRP yang meningkat sebagai respon

terhadap peradangan (alat ukur beratnya peradangan dalam tubuh). ( Ronald A, 2004 )

C-reactive protein (CRP) adalah protein yang mengikat fraksi C polisakarida dari dinding sel pneumokokus. Protein ini adalah protein fase akut klasik yang dapat disintesis di hati.Protein ini dibentuk akibat proses infeksi,peradangan, luka bakar dan keganasan.Respon fase akut diikuti dengan peningkatan aktifitas koagulasi,fibrinolitik, leukositosis, efek sistemik dan perubahan kadar beberapa jenisprotein plasma seperti CRP atau hsCRP.

Kadar CRP biasanya meningkat 6 – 8 jam setelah demam dan mencapai puncak 24 –48 jam. Pada orang normal kadar CRP < 5 mg/L dan dapat meningkat 30x dari nilai normal pada respon fase akut. ( Lorentz, 2000 )

C – Reaktif Protein dipakai untuk :

• memberikan informasi seberapa akut dan seriusnya suatu penyakit. • deteksi proses peradangan sistemik di dalam tubuh.

• membedakan antara infeksi aktifdan inaktif.

• mengikuti hasil pengobatan infeksibakterial setelah pemberian antibiotika.

• mendeteksi infeksi dalam kandungankarena robeknya amnion. • untuk mengetahui adanya infeksi pasca operasi.

• membedakan antara infeksi dan reaksi penolakan pada transplantasisumsum tulang. • mempunyai korelasi yang baik dengan laju endap darah (LED).

Sebagaimana disebutkan diatas, dikenal 2 macam protein fase akut reaktif yaitu 1. C-reactive protein (CRP)

2. high sensitive C-reactive protein (hsCRP).

(33)

(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Rancangan penelitian ini merupakan penelitian studi analitik Cross Sectional Studi

3.2.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Sub Bagian Bedah Anak RSUP H.Adam Malik dan RSUD Dr

Pirngadi Medan.

Waktu : Desember 2012 – April 2013

3.3.Objek Penelitian / Sampel

Sampel penelitian adalah anak-anak yang telah di diagnosa radang apendiks akut di

Divisi Bedah Anak Rumah Sakit H. Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.

3.4.Besar sampel

Jumlah sampel diambil berdasarkan jumlah pasien yang masuk ke divisi Bedah Anak

RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr Pirngadi Medan.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1. Kriteria Inklusi

- pasien anak , usia 1 hari s/d 15 tahun

- penderita dengan diagnosis radang apendiks akut

3.5.2. Kriteria Eksklusi

- pasien anak dengan diagnosis radang apendiks kronis

- penderita anak dengan radang apendiks akut , disertai penyakit infeksi lain

3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan

Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari pasien dan keluarga pasien

setelah diberi penjelasan mengenai kondisi pasien dan tindakan yang akan dilakukan

(35)

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian ,

yang selama pelaksanaannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan

kode etik penelitian biomedik. Izin didapat dari komisi etika penelitian Fakultas

Kedokteran USU

3.8. Cara Kerja

3.8.1. Alokasi subjek

Pemilihan subjek ditetapkan melalui total sampling dan kriteria inklusi

pada penelitian ini.

3.8.2. Tahap Persiapan

- Melakukan anamneses dan alloanamnese pada anak penderita radang akut appendix

- Melakukan Pemeriksaan fisik diagnostik

- Melakukan pengambilan sample dengan menilai kriteria inklusi dan eksklusi

3.8.3. Tahap Pelaksanaan

- Melakukan pemeriksaan darah lengkap, neutrofil dan CRP

3.8.4. Tahap Akhir Penelitian

1. Melakukan pengumpulan data

2. Melakukan pengolahan dan analisis data hasil penelitian

3. Melakukan penyusunan dan penggandaan laporan

3.9. Identifikasi Variabel

Variabel Bebas : Radang Apendiks akut , Histopatologi ( PA )

(36)

3.10. Kerangka kerja

3.11. Kerangka Teori

Kriteria inklusi

Nilai Neutrofil, CRP

Kriteria eksklusi

Appendectomy

Histopatologi

(37)

- Neutrofil ↑ - Mc burney sign (+)

- CRP ↑ - Blumberg sign

- Rovsing sign

- demam subfebril

- local rigidity difossa iliaka kanan

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan korelasi Pearson serta

disajikan dengan menggunakan program komputer. Interval kepercayaan 95 % dan p < 0,05

dinyatakan secara statistik bermakna.

BAB IV

Gejala klinis Laboratorium

(38)

HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2012 sampai dengan April 2013. Dalam

kurun waktu tersebut didapatkan kasus sebanyak 26 sampel penelitian pasien anak dengan

radang apendiks akut . Dari sampel tersebut dilakukan pemeriksaan laboratorium darah

lengkap dan CRP test pre operasi dan pemeriksaan histopatologi jaringan paska operasi di

RS. H. Adam Malik dan RS . Pirngadi Medan.

4.1. Karakteristik Sampel

Dari 26 penderita radang apendiks akut pada anak didapatkan 15 orang berjenis kelamin laki-laki dan 11 orang berjenis kelamin perempuan. Data demografi subjek yang mengikuti penelitian ini ditampilkan dalam tabel 4.1.1 dan diagram 4.1.1

Tabel 4.1.1 Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Jenis kelamin Jumlah Proporsi

Laki-laki 15 15 / 26

Perempuan 11 11 / 26

(39)

Diagram 4.1.1 Persentase jenis kelamin penderita radang apendiks akut pada anak

Peneliti kemudian mengelompokkan subjek penelitian berdasarkan usia. Distribusi subjek penilitian ditampilkan pada tabel 4.1.2 dan diagram 4.1.2

Tabel 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan kelompok usia

Usia ( tahun ) Jumlah Proporsi

0 – 5 2 2 / 26

6 – 10 15 15/ 26

11 – 15 9 9 / 26

Total 26

58% 42%

(40)

Diagram 4.1.2 Distribusi pasien berdasarkan Usia

Dari tabel 4.1.2 dan diagram 2 diketahui bahwa kelompok usia terbanyak yang

menderita radang apendiks akut adalah pada kelompok usia anak 6 - 10 tahun , sebanyak 15

kasus (58 %) , kedua terbanyak pada kelompok usia 11 – 15 ,sebanyak 9 kasus (34 %) dan 2

kasus (8 %) pada kelompok usia 0 – 5 tahun , dengan rentang usia 0 – 15 tahun. Rata-rata

usia pasien yang menderita radang apendiks akut adalah 9,7 +

4.2. Histopatologi Apendisitis

3,45 tahun dengan usia

terendah adalah 3 1/2 tahun.

Frekuensi apendisitis yang didiagnosis berdasarkan pemeriksaan histopatologi , dapat

dilihat pada tabel 4.2 dan diagram 4.2

(41)

Tabel 4.2.1. Distribusi Frekuensi Pasien berdasarkan Diagnosis

Diagnosis PA Frekuensi Persentase

Apendisitis akut 6 24

Apendisitis akut perforasi 18 68

Apendisitis gangrenous 1 4

Apendisial abses 1 4

Jumlah 26 100

Apendisitis akut perforasi adalah diagnosis apendisitis yang paling banyak ditemukan,

sebanyak 18 dari 26 kasus (68 %) , dan kedua terbanyak adalah apendisitis akut sebanyak 6

kasus (24 %). Apendisial abses dan apendisitis gangrenosa masing masing 1 kasus (4 %)

Diagram 4.2.1. Frekuensi Pasien Berdasarkan Diagnosis Histopatologi

0 5 10 15 20

Distribusi Pasien berdasarkan Diagnosis

Histopatologi

Apendisitis akut

(42)

Tabel 4.2.2 Distribusi Frekuensi Kelompok Umur Anak menurut Diagnosis Apendisitis

Diagnosis PA Kelompok Umur Jumlah

0 – 5 thn 6 – 10 thn 11 – 15 thn

Apendisitis akut 1 3 2 6

Apendisitis akut perforasi 1 11 6 18

Apendisitis gangrenous - 1 - 1

Apendisial abses - - 1 1

Jumlah 2 15 9 26

Dari table 4.3 dapat diketahui , bahwa pada kelompok umur 6 – 10 tahun , kasus

terbanyak dengan apendisitis akut perforasi sebanyak 11 kasus (44 % ) , pada kelompok umur

11 -15 tahun dijumpai sebanyak 6 kasus (24 %) dengan apendisitis akut perforasi.

4.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pada 26 penderita yang diteliti yang sudah dilakukan pemeriksaan histopatologi ,

sebanyak 16 penderita (62 %) dengan nilai Neutrofil meninggi dan 10 penderita (38 %)

dengan nilai Neutrofil normal (Diagram 4.4.1). Pada hasil pemeriksaan CRP test terhadap 26

penderita dijumpai sebanyak 23 (88 %) penderita dengan serum CRP meninggi dan 3

(43)

Diagram 4.4.1. Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda Neutrofil

Diagram 4.4.2 Persentase Hasil Pemeriksaan Histopatologis dengan penanda CRP

4.4. Hubungan antara Nilai Neutrofil dan CRP test dengan Grading Histopatologi.

Peneliti melakukan tabulasi terhadap seluruh sampel berdasarkan variabel , umur ,

jenis kelamin, diagnosis, nilai Neurofil, CRP test dan grading histopatologi. Data tabulasi

ditampilkan pada tabel 4.5.1 dan diagram 4.5.1

58% 42%

Neutrofil (↑)

Neutrofil (N)

88% 12%

CRP (↑)

(44)

Tabel 4.4.1. Kadar Neutrofil menurut diagnosis Apendisitis

No Diagnosis paska bedah Neutrofil

Normal Meninggi Jumlah

1 Apendisitis akut 4 2 6

2 Apendisitis akut perforasi 6 12 18

3 Apendisitis gangrenosa - 1 1

4 Apendisitis abses - 1 1

10 16 26

X2 = 1,930 df = 1 p = 0,165

Berdasarkan tabel 4.5.1 diketahui bahwa pada diantara 6 penderita apendisitis akut, 4

orang (67 %) dengan nilai Neutrofil normal dan 2 orang (33 %) dengan Neutrofil meninggi .

Sedangkan diantara 18 orang dengan apendisitis akut perforasi , 6 orang (33 %) dengan nilai

Neutrofil normal dan 12 orang dengan Neutrofil meninggi (67 %). Penderita apendisial abses

dan apendistis gangrenosa mempunyai nilai Neutrofil meninggi.

Kemudian dilakukan analisa secara statistik untuk melihat hubungan antara nilai

Netrofil dengan grading histopatologi. Dengan menggunakan uji hipotesa Chi square setelah

dilakukan perhitungan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna

secara statistik antara Neutrofil dengan grading histopatologi (p = 0,165) , dengan kata lain nilai Neutrofil belum dapat menunjukkan grading histopatologi apendisitis akut pada anak,

dan demikian pula sebaliknya tingginya grading histopatologi apendistis akut belum dapat

memastikan tingginya nilai Neutrofil . Hubungan ini kemudian dilakukan uji korelasi dengan

menggunakan Spearman. Hasil yang didapatkan adalah bahwa terdapat hubungan yang lemah

(45)

Peneliti juga mencari hubungan antara kadar CRP dengan grading histopatologi pada

pasien appendisitis. Data diuji secara analitik dengan p<0,05 dianggap bermakna secara

statistik.

Tabel 4.4.2. Kadar CRP menurut diagnosis Apendisitis

No Diagnosis paska bedah

C R P

Normal Meninggi Jumlah

1 Apendisitis akut 3 3 6

Berdasarkan tabel 4.5.2 diketahui bahwa pada 6 penderita apendisitis akut, 3 orang

diantaranya (50 %) memiliki nilai CRP normal dan 3 orang ( 50 % ) dengan CRP meninggi

. Sedangkan pada 18 orang pasien dengan apendisitis akut perforasi , seluruh penderita (100

%) dengan nilai CRP meninggi , penderita apendisial abses dan apendistis gangrenosa

mempunyai nilai CRP yang juga meninggi.

= 7,63 df = 1 p = 0,022

Kemudian dilakukan analisa secara statistik untuk melihat hubungan antara nilai CRP

dengan grading histopatologi. Dengan menggunakan uji hipotesa Chi square setelah

dilakukan perhitungan didapatkan hasil hubungan yang bermakna secara statistik ( p = 0,022 ) , dengan arti kata terdapat hubungan peningkatan nilai CRP menunjukkan grading histopatologi apendisitis yang makin tinggi dan sebaliknya tingginya grading histopatologi

menunjukkan peningkatan nilai CRP yang signifikan. Kemudian kekuatan hubungan pada 2

variabel diatas memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara CRP

(46)

BAB V

PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini , penderita apendisitis akut terbanyak adalah laki-laki 15 (58

%) dari 26 kasus , perempuan sebanyak 11 kasus (42 %) , dari data epidemiologi dikatakan

insiden apendisitis sama banyaknya antara laki-laki dan perempuan pada masa anak-anak

(prapuber). Usia anak terbanyak yang didiagnosis dengan apendistis akut pada usia 6-10

tahun ,sebanyak 15 kasus (58 %), kelompok umur 11 – 15 tahun sebanyak 9 kasus (34 %)

dan sedikit kasus apendisitis dijumpai pada usia 0 – 5 tahun , 2 kasus (8 %). Hal ini sesuai

dengan data epidemiologi dimana apendisitis akut jarang dijumpai pada balita , meningkat

pada pubertas dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan umur awal 20-an. ( Schwartz,

2009 )

Suatu penelitian yang dilakukan di Netherland (Rotterdam Hospital) oleh V.C

Cappendijk dkk ,mendapatkan hasil dari 129 sampel apendisitis akut pada anak dijumpai 71

% dengan apendisitis akut perforasi , dan pada usia dibawah 5 tahun angka apendisitis

perforasi mencapai 82 % . Keterlambatan dalam mendiagnosis suatu apendisitis akut

merupakan faktor yang menyebabkan tingginya komplikasi dari apendisitis akut pada

anak-anak dan ini sering terjadi karena pada awalnya anak-anak dibawa ke Pediatrik dengan keluhan

gastrointestinal. Komplikasi berupa apendisitis akut perforasi terbanyak dijumpai setelah

diatas 48 jam datang ke Surgeon,

Pada penelitian ini apendisitis akut dengan perforasi adalah diagnosis apendisitis akut

terbanyak pada anak yang dilakukan operasi dan dikirim ke Patologi Anatomi untuk diperiksa

lebih lanjut. Pasien yang didiagnosis apendistis akut perforasi dengan pemeriksaan

histopatologi sebanyak 18 kasus (68 %) dari 26 kasus yang didiagnosis apendisitis akut pada

(47)

Desember 2012 s/d April 2013 , yang kedua terbanyak dengan apendisitis akut , 6 kasus (24

%) , kemudian dijumpai masing-masing 1 kasus (4 %) dengan diagnosis apendistis

gangrenosa dan apendisial abses. Hal ini sesuai dengan penelitian V.C Cappendijk dkk ,

komplikasi apendisitis akut perforasi terbanyak dijumpai dalam penelitian ini dan anak

dibawa ke rumah sakit diatas 48 - 72 jam setelah timbul gejala.

Ulrich Sack ,dkk (2006) , menyatakan keterlambatan diagnosis apendistis akut pada

anak berhubungan dengan peningkatan resiko perforasi dan pilihan terapinya yang paling

baik pada anak adalah Appendectomy. Perforasi merupakan komplikasi dari apendisitis akut

yang tidak tertangani dalam 24-36 jam. Pada umumnya , makin lama penundaan dari

diagnosis dan tindakan bedah , kemungkinan terjadinya perforasi makin besar. Resiko

perforasi setelah 36 jam setelah timbulnya gejala sedikitnya 15 % .

Santacroce R dan Craig S (2006) , anak-anak memiliki kecenderungan perforasi yang

lebih tinggi yaitu sebesar 50 – 85 %. Pada anak-anak dengan omentum yang lebih pendek ,

apendiks yang lebih panjang dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh

yang masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Intervensi bedah pada pasien

apendistis akut sangat penting untuk menghindari perforasi apendiks.

Pada penelitian ini , dari 26 kasus yang masuk ke rumah sakit melalui unit gawat

darurat , 90 – 95 % datang dengan gejala lebih dari 48 jam. Seperti dikatakan Ulrich dkk ,

peningkatan resiko perforasi sering dijumpai pada kasus apendisitis akut yang tidak

tertangani dalam 24 – 36 jam. Dari penelitian ini didapatkan yang terbanyak berdasarkan

diagnosis paska bedah , pada kelompok unur 6 – 10 tahun dengan diagnosis apendistis akut

perforasi , sebanyak 11 kasus (44 %) dari 26 kasus apendistis. Pada kelompok umur 11 – 15

(48)

Selama ini radang apendiks akut ditegakkan berdasarkan anamnese , pemeriksaan

fisik, pemeriksaan laboratorium / darah lengkap dan tes protein reaktif (CRP). C – reaktive

Protein (CRP) menurut Lorentz R merupakan indikator yang sensitif terhadap infeksi bakteri

, peradangan dan kerusakan jaringan, sensitivitas 43 % - 92 % dan spesifisitas 33 % - 95 %

untuk apendisitis dengan akut abdomen . Pada tahun 1992 s/d 1996 dengan 211 kasus yang

di diagnosa sebagai apendisitis akut, pada kelompok umur 4 s/d 14 tahun , dikatakan bahwa

WBC count , CRP berkolerasi secara signifikan dengan beratnya peradangan apendiks.

Identifikasi pada anak-anak dengan radang apendiks berat didukung oleh CRP, tetapi tidak

dengan WBC. ( Ulrich Sach et all, 2006 )

Pada peneletian ini dilakukan pemeriksaan CRP , didapatkan hasil hubungan yang

bermakna antara peningkatan nilai CRP dengan grading histopatologi apendisitis akut pada

anak ( p = 0.022 ). Kemudian kekuatan hubungan pada 2 variabel diatas memberikan hasil bahwa terdapat hubungan yang cukup kuat antara CRP dengan grading hitopatologi pasien

apendisitis ( r = 0,542 ; p = 0,022).

Santacrose dkk, 2006, dalam penelitiannya mengatakan bahwa Neutrofil adalah lebih sensitif daripada wbc count. Sensitivitas dari Neutrofil adalah 95 % untuk diagnosis

apendisitis jika gejala dijumpai kurang dari 24 jam , persentase wbc count dan neutrofil pada

anak-anak dengan apendisitis adalah tinggi 90% - 96 % .

Pada penelitian ini pemeriksaan nilai Neutrofil didapatkan hasil hubungan yang tidak

bermakna antara nilai Neutrofil dengan grading histopatologi ( p = 0,165 ). Hal ini bisa disebabkan karena penderita datang ke rumah sakit umumnya lebih dari 48 jam , sehingga

(49)

menggunakan Spearman. Hasil yang didapatkan adalah bahwa terdapat hubungan yang lemah

(50)

BAB VI.

SIMPULAN DAN SARAN

I. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RS. H. Adam Malik / RS. Pirngadi Medan ,

didapatkan kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar CRP dengan grading histopatologi

pada pasien dengan appendisitis (p = 0,022), sedangkan hubungan antara nilai

neutrofil dengan grading histopatologi tidak memberikan hubungan yang bermakna

secara statistik (p = 0,165)

2. Kasus terbanyak pada apendisitis adalah pasien dengan apendisitis akut perforasi

yaitu dengan jumlah 18 (69 %) dari 26 kasus dan dijumpai terbanyak kasus

apendisitis akut perforasi pada anak kelompok umur 6 – 10 tahun dengan jumlah 11

kasus (42 %).

II. SARAN

1. Tingginya kasus apendistis akut perforasi pada anak-anak (69 %) ,agar kiranya pihak yang

terkait dengan pelayanan kesehatan ( paramedis maupun medis ) dapat memprediksi

dengan cepat jika anak yang datang berobat dengan keluhan nyeri perut kanan bawah

disertai mual muntah kemungkinan dengan suatu gejala apendisitis akut , sehingga dapat

(51)

2. Pemeriksaan CRP agar kiranya dapat dipakai untuk pemeriksaan darah lengkap pada

kasus anak yang disangkakan dengan diagnosis apendisitis akut

3. Penelitian lebih lanjut terhadap hubungan penanda inflamasi : Neutrofil dan CRP dengan

grading histopatologi perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan dalam

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Aiken J.J.,Oldham K.T. 2007. Acute appendicitis. In Kliegman, Behrman, Jenson,

Stanton: Nelson Textbook of Pediatrics.18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.1628-35.

Andersson RE, Hugander A, Thulin AJ: Diagnostic accuracy and perforation rate in

appendicitis: association with age and sex of the patient and with appendicectomy

rate. Eur J Surg 1992, 158:37-41.

Aschraff, K.W., Pediatric Surgery, 3 th Edition, WB Saunders Company,

Philadelpia-NewYork-London-Tokyo, 2000: p. 406-21.

Bangert SK. Marshall WJ, Clinical Chemistry , CRPHS C-reactive protein (latex) high sensitive assay . 5th ed. Edinburgh. 2004. p241-2.

Berger D.H., Jaffe B.M. 2006. The appendix. In F. Charles Brunicardi: Schwartz Manual Surgery. 8th ed. New York: McGraw-Hill. p.784-99.

Bickley L.S. 2004. Assessing possible appendicitis. In Lynn S. Bickley., Peter G. Szilagyi., Barbara Bates: Guide to Physical Examination and History Taking. 8th ed. Lippincott Williams & Wilkins. p.347-8.

Dalal I, Somekh E, Bilker-Reich A, Boaz M, Gorenstein A, Serour F: Serum and

peritoneal inflammatory mediators in children with suspected acute appendicitis.

Arch Surg 2005, 140:169-173.

Dueholm S, Bagi P, Bud M. Laboratory aid in the diagnosis of acute appendicitis: a

blinded, prospective trial concerning diagnostic value of leukocyte count, neutrophil

differential count, and C-reactive protein. Dis Colon Rectum 1989;32:855-9.

Eriksson S, Granstrom L, Bark S: Laboratory tests in patients with suspected acute

appendicitis. Acta Chir Scand 1999,155:117-120.

Hermanto : Apendisitis pada Anak , emergency department diagnosis &

(53)

Jasonni V. 2006. Appendectomy. In Puri P., Hollwarth M: Pediatric Surgery. Berlin: Springer. p.321-6

Kirby CP, Sparnon AL. Active observation of children with possible appendicitis

does not increase morbidity. ANZ J Surg 2001;71:412-3.

Kumar, Abbas, Fausto. 2005. Appendix. In Kumar, Abbas, Fausto: Robbins and Cotran’s Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.870-1.

Lawrence PF MD, Bell RM.MD, Dayton MT.MD : Small Intestine and Appendix in

Essentials of General Surgery, 4th ed. Baltomore : William & Wilkin, 2002 : 202-6.

Lorentz R. Dr. Med : Clinical Significance od C- Reactive Protein, Diagnostic and

Monitoring, Boehringer Memheinm, GMBH, 2000,5-6.

O’neil JA, Grosfeld JL, Fonkalsrud EW, Coran AG, Caldamone. Apendicitis In Principle of Pediatric Surgery 2nd ed. Mosby Elsevier. 2003 p. 565-572

Paajanen H, Mansikka A, Laato M, Kettunen J, Kostiainen S: Are serum

inflammatory markers age dependent in acute appendicitis? J AmColl Surg 1997, 184:303-308.

Robbins and Cotran : Pathologic Basic of Disease , 8th ed Philadelpia : by Saunders,

an imprint of Elsevier Inc , 2004

Rodriguez-Sanjuan JC, Martin-Parra JI, Seco I, Garcia-Castrillo L, Naranjo A: C-

reactive protein and leukocyte count in the diagnosis of acute appendicitis in

children. Dis Colon Rectum 1999, 42:1325-1329.

Ronald A. Sacher , Richard A.McPherson : Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan

Laboratorium , EGC , 2004 .

Rothrock S.G., Pagane J. 2000. Acute appendicitis in children: emergency department diagnosis & management.

Gambar

Gambar 1. Variasi Posisi Appendix
Gambar  2.   Sel –sel radang akut di lapisan mukosa
Gambar 5.     Sel –sel radang akut pada seluruh ketebalan dinding apendiks disertai
Gambar 6.  Sel –sel radang akut menginfiltrasi sampai lapisan serosa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan yang dianalisa dibatasi pada pola hubungan antara perkembangan sistem keuangan, yang diwakili oleh variabel sektor perbankan (Kredit dan Pembiayaan),

Bandung:Program Magister Manajemen Bisnis dan Administrasi Teknologi PPS- ITB,2003. Tesis (Magister Manajemen Bisnis dan Administrasi

Since the attitude to English of the Islamic school students of madrasa is positive, they seem to perceive the teaching of the foreign language and the culture of the speakers

Pendidikan kesehatan tentang proses penuaan merupakan hal yang sangat diperlukan untuk membantu keluarga dalam memberikan perawatan kepada lansia dengan demensia

Sebagai umat pengikut Rasullulah tentunya jejak langkah beliau merupakan guru besar umat Islam yang harus diketahui dan patut ditiru,karena kata rasululah yang

 Berdasarkan keterbukaan informasi yang dipublikasikan perseroan, TRAM menjual saham Trada Dryship sebesar 225.430.000 lembar dengan nilai nominal sebesar Rp22,54

Tidak hanya untuk mengantisipasi krisis, kenaikan ini juga disebabkan oleh usaha BI untuk memperkecil Current Account Deficit (CAD), yang pada Kuartal-II melebar hingga

3 Untuk itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan diri sebagai instrumen, bertindak sebagai perencana, pelaksana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir