• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae

DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)

SKRIPSI

TRIBUANA HAPSARI

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

TRIBUANA HAPSARI. D24104015. 2008. Efek Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Produk Fermentasi Rhizopus oryzae Dalam Ransum Terhadap Reproduksi Mencit (Mus musculus). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, M.Rur.Sc.

Pembimbing anggota : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.

Bungkil biji jarak merupakan hasil ekstraksi minyak dari biji jarak. Indonesia merupakan penghasil tanaman jarak sejak zaman Jepang. Bungkil biji jarak terdiri dari isi dan cangkang yang dapat diekstraksi sehingga menghasilkan minyak yang dapat dijadikan biodiesel dan biji juga menghasilkan bungkil yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Kandungan protein yang terdapat dalam bungkil biji jarak pagar sangat tinggi. Akan tetapi didalam biji maupun bungkil biji jarak terdapat racun curcin sehingga penggunaannya sangat terbatas untuk dijadikan pakan ternak.

Bungkil biji jarak dapat dikonsumsi jika racun curcin dapat dihilangkan atau diturunkan terlebih dahulu. Jika tidak demikian maka bungkil biji jarak dapat mematikan hewan yang mengkonsumsinya. Konsumsi bungkil biji jarak saat ini masih sangat sedikit karena racun yang terdapat didalamnya sangat membahayakan hewan yang mengkonsumsinya. Upaya untuk menurunkan kandungan racun yang terdapat dalam bungkil biji jarak sudah banyak dilakukan antara lain secara biologis dengan cara fermentasi oleh berbagai kapang. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari sejauh mana efektivitas proses fermentasi dengan kapang Rhizopus oryzae pada level 2,5, 5, 7,5, dan 10% terhadap BBJP melalui evaluasi nutrisi dan reproduksi mencit.

Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah.

Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Penelitian ini menggunakan lima perlakuan masing-masing dengan enam ulangan.

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif karena beberapa perlakuan dengan ulangannya ada yang mati semua.

Substitusi BBJP dalam ransum menurunkan konsumsi ransum, litter size lahir, bobot lahir dan bobot sapih dan bobot badan seluruh mencit. Penggunaan BBJP pada taraf 2,5% dapat dikonsumsi oleh mencit jantan maupun betina, sedangkan 5%

BBJP yang disubstitusi dalam ransum hanya mampu dikonsumsi tiga ekor mencit jantan. Penggunaan 7,5% dan 10% BBJP yang difermentasi dalam ransum mengakibatkan kematian 100% pada induk mencit. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengurangi taraf pemberian BBJP dalam ransum.

Kata-kata kunci : Fermentasi, Jatropha curcas L., Mus musculus, penampilan reproduksi

(3)

ABSTRACT

Effect of The Use of Jatropha curcas L. Meal Fermented with Rhizopus oryzae in Diet on Reproductive Perfomance of Mice (Mus musculus)

Hapsari, T, A. S. Tjakradidjaja, and P.H. Siagian

This experiment was conducted to evaluate the use of Jatropha curcas meal fermented with Rhizopus oryzae at different levels (0, 2,5, 5, 7,5 and 10%) on reproductive perfomance of diet mice (Mus musculus). The variables observed were feed consumption, litter size at birth and weaning, birth and weaning weight, body weight gain and mortality rate. The data were analyzed with descriptive analysis. The results showed that Jatropha curcas seed cake detoxificated levels in ration had no significant effects on feed consumption, litter size at birth, birth and weaning weight and body weight gain.The substitution of Jatropha curcas meal up to 2,5% could still be consumed by both male and female mices, otherwise, the 5% substitution of Jatropha curcas meal in ration could only be consumed by three male mices. The 7,5% and 10% levels produced high mortality rate 100%. The high mortality rates were due to the presence of curcin and phorbolester in Jatropha curcas L. meal fermented with R.oryzae. Jatropha curcas meal can be used in mice diet if the level of Jatropha curcas L. is decreased.

Key words : Fermentation, Jatropha curcas L., Mus musculus, Reproduction performance

(4)

EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae

DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)

TRIBUANA HAPSARI D24104015

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

EFEK PEMBERIAN BUNGKIL BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) PRODUK FERMENTASI Rhizopus oryzae

DALAM RANSUM TERHADAP REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus)

Oleh

TRIBUANA HAPSARI D24104015

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 21 Agustus 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.

NIP. 131 624 189 NIP. 130 674 521

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr.

NIP. 131 955 531

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 20 Mei 1986. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dengan dua orang kakak dari pasangan Bapak H.

Sugiyo dan Ibu Hj. Nuraini.

Pendidikan Penulis diawali dengan memasuki jenjang Sekolah Dasar (SD) YKPP 2 Plaju Palembang pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) YKPP 1 Plaju Palembang dan lulus pada tahun 2001. Di tahun yang sama Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 4 Plaju Palembang lulus pada tahun 2004.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui Undangan Saring Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2006-2007.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan.

Skripsi ini berjudul ”Efek Pemberian Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas) Produk Fermentasi Rhizopus oryzae dalam Ransum Terhadap Reproduksi Mencit (Mus musculus)”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama lima bulan dari bulan Agustus 2007 hingga bulan Januari 2008.

Bungkil biji jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan limbah industri pertanian hasil pengolahan minyak jarak menjadi biodiesel. Pengolahan biji jarak menjadi biodiesel minyak jarak menghasilkan hasil samping sebesar 55-65% bungkil biji jarak pagar (BBJP), yang telah diteliti mengandung protein kasar tinggi, namun beberapa zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam BBJP dapat menghambat proses pencernaan jika diberikan pada ternak. Untuk mengurangi zat antinutrisi dan racun yang terkandung dalam BBJP perlu dilakukan detoksifikasi BBJP. Dalam penelitian ini detoksifikasi dilakukan dengan secara biologis yaitu dengan fermentasi menggunakan kapang Rhizopus oryzae yang bertujuan untuk mengikat lemak sehingga mengurangi kandungan phorbolester dalam BBJP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toleransi dan menentukan pemakaian BBJP dalam ransum mencit (Mus musculus).

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai sumber informasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN... ii

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Jarak Pagar (Jatropha curcas)... . 3

Curcin... ... 7

Phorbolester... 10

Efek Negatif Penggunaan Bungkil Biji Jarak Pagar ... 11

Detoksifikasi Racun Bungkil Biji Jarak Pagar ... ... 13

Rhizopus oryzae... . 14

Mencit (Mus musculus)... 18

Pertambahan Bobot Badan Induk Mencit ... 20

Mortalitas Induk Mencit ... 21

Litter Size Lahir Anak Mencit ... 21

Bobot Lahir Anak Mencit ... 21

Litter Size Sapih ... ... 22

Bobot Sapih Anak Mencit ... 23

Ransum Mencit ... 23

METODE Waktu dan Lokasi ... 25

Materi ... 25

Kandang dan Peralatan ... 25

Ransum ... 25

Rancangan ... 26

Perlakuan ... 26

Analisa Data ... 26

Peubah yang Diamati ... 27

Prosedur Persiapan Mikroorganisme ... 28

(9)

Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar ... 28

Pembuatan Ransum Pellet ... 29

Pemberian Ransum Pellet... 29

Persiapan Kandang ... 30

Identifikasi dan Penimbangan Awal Mencit ... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum ... 31

Kondisi Ransum Penelitian ... 32

Kondisi Mencit Selama Penelitian ... 35

Konsumsi Ransum Mencit ... 35

Perubahan Bobot Badan Induk Mencit ... 37

Mortalitas Induk Mencit... 39

Penampilan Reproduksi Mencit ... 43

Litter Size Lahir Mencit ... ... 43

Bobot Lahir ... ... 46

Litter Size Sapih ... ... 48

Bobot Sapih ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... ... 51

Saran ... ... 51

UCAPAN TERIMA KASIH ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 59

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBJP

dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar... ... 5

2. Beberapa Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas ... 7

3. Komposisi Zat Makanan dan Fraksi Serat Bungkil Biji Jarak Pagar yang Difermentasi Berbagai Kapang... 14

4. Sifat Biologis dan Reproduksi Mencit (Mus musculus) ... 20

5. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan ... 32

6. Rataan Konsumsi Ransum dan Zat Makanan Mencit Jantan dan Betina Selama Penelitian ... 36

7. Perubahan Bobot Badan Mencit Selama Penelitian .. ... 38

8 Mortalitas Mencit Selama Penelitian ... 39

9. Rataan Litter Size Lahir pada R1 dan R2 Selama Penelitian ... 44

10. Rataan Bobot Lahir pada R1 dan R2 Selama Penelitian ... ... 47

11 Litter Size Sapih pada R1 dan R2 Selama Penelitian ... 48

12. Bobot Sapih pada R1 dan R2 Selama Penelitian ... 49

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Jatropha curcas L. (www.Biotechcitylucknow.org, 2007) ... ... 3

2. Bagan Eksploitasi Tanaman Jarak Pagar (Guibitz et al., 1999) .... 4

3. Struktur Curcin (www.rni.co.id, 2006)... 8

4. Rumus Bangun Ricin dan Mekanisme Aksi Ricin (Hadi, 2008) ... 10

5. Struktur Kimia Phorbolester (Evans, 1986)... .... 10

6. Rhizopus oryzae ... 16

7. Mencit Putih (Mus musculus) ... ... 19

8. Tempat Pemeliharaan dan Penelitian Mencit ... ... 31

9. Perbandingan Mencit Perlakuan Kontrol (a) dan Perlakuan 5% BBJP (b), 7,5% BBJP (c)dan 10% BBJP (d) yang Difermentasi dengan Kapang R. oryzae ... 40

10. Anak Mencit ... ... 44

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pertambahan Bobot Badan Mencit Menurut Perlakuan... 60 2. Data Litter Size Lahir dan Bobot Lahir Anak Mencit

Selama Penelitian ... 62 3. Data Litter Size Sapih dan Bobot Sapih Anak Mencit

Selama Penelitian ... 62 4. Hasil Analisa Proksimat ... 63 5. Pertambahan Bobot Badan Mencit Menurut Perlakuan... 64

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Bungkil biji jarak pagar (BBJP) merupakan hasil ikutan dari ekstraksi minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.). Indonesia merupakan penghasil tanaman jarak sejak zaman Jepang. Bungkil biji jarak pagar terdiri dari isi dan cangkang yang dapat diekstraksi sehingga menghasilkan minyak yang dapat dijadikan biodiesel dan proses ekstraksi biji jarak pagar juga menghasilkan bungkil yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Kandungan protein yang terdapat dalam BBJP sangat tinggi. Akan tetapi didalam biji maupun BBJP terdapat racun curcin sehingga penggunaannya sangat terbatas untuk dijadikan pakan ternak. Bungkil biji jarak pagar dapat dikonsumsi jika racun curcin dapat diturunkan atau dihilangkan terlebih dahulu. Jika belum dihilangkan maka BBJP dapat mematikan hewan yang mengkonsumsinya.

Konsumsi bungkil biji jarak saat ini masih sangat sedikit karena hewan sangat rentan akan racun yang terdapat didalamnya.

Menurut Wardoyo (2007), BBJP dapat digunakan sebagai pakan mencit sebanyak 5% dalam ransum tanpa mempengaruhi konsumsi ransum, litter size lahir, bobot lahir dan bobot sapih, tetapi dapat mengakibatkan mortalitas yang tinggi, sedangkan penggunaan BBJP pada taraf 10% dalam ransum dapat menyebabkan 50% kematian pada induk mencit dan taraf 15% BBJP menyebabkan kematian lebih cepat dan lebih tinggi. Upaya untuk menurunkan kandungan racun yang terdapat dalam bungkil biji jarak sudah banyak dilakukan antara lain secara biologis yaitu cara fermentasi dengan menggunakan berbagai kapang.

Penelitian ini menggunakan hewan percobaan mencit (Mus musculus).

Penggunaan mencit sebagai hewan percobaan dikarenakan siklus kehidupan mencit yang pendek sehingga menghemat waktu penelitian, mudah pemeliharaannya dan lebih murah bila dibandingkan dengan ternak kecil atau hewan yang lebih besar.

Perumusan Masalah

Bungkil biji jarak pagar mengandung protein kasar yang tinggi yaitu 50-58%, namun mempunyai kekurangan jika ingin dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein yaitu keberadaan kandungan zat antinutrisi berupa curcin dan phorbolester.

Zat antinutrisi bersifat senyawa toksik dan dapat mengganggu proses pencernaan

(14)

didalam tubuh ternak. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya untuk menurunkan atau menghilangkan kandungan curcin dan phorbolester yang terdapat didalamnya.

Salah satu caranya adalah memfermentasi menggunakan Rhizopus oryzae, karena kapang ini mampu menghasilkan enzim yang dapat memecah zat antinutrisi. Hasil fermentasi tersebut diujicobakan pada hewan percobaan untuk melihat efektivitasnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sejauh mana efektivitas proses fermentasi dengan kapang Rhizopus oryzae terhadap BBJP melalui evaluasi nutrisi dan reproduksi mencit.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Jarak Pagar (Jatropha curcas)

Jatropha curcas termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini termasuk tanaman yang banyak kegunaan, berasal dari Mexico dan Amerika Tengah. Tanaman ini banyak tumbuh di negara tropis. Jatropha curcas merupakan tanaman yang dapat memproduksi minyak. Biji yang dihasilkan dapat mencapai lima ton per tahun dari satu hektar tanaman. Tanaman jarak diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Jatropha curcas L. (www.Biotechcitylucknow. org, 2007)

Jatropha curcas dikenal sebagai tanaman pagar dan umumnya ditanam sepanjang tepi jalan, oleh sebab itu dikenal dengan sebutan tanaman jarak pagar.

Tanaman perdu asal Amerika ini memiliki klasifikasi (Anonim, 2006) sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Rosidae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Jatropha

Spesies : Jatropha curcas

(16)

Bungkil biji jarak pagar (BBJP) menghasilkan protein kasar yang tinggi yaitu 58-60%BK. Jatropha curcas juga mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi sebagai pakan ternak jika toksin yang ada dapat dihilangkan. Kandungan protein kasar sangat tinggi sebesar 55-64%BK meskipun varietas Jatropha curcas berbeda.

Kandungan asam amino dari BBJP cukup tinggi kecuali lisin sehingga sangat potensial digunakan untuk ransum ternak sebagai sumber protein. Namun kandungan antinutrisi dalam bungkil ini dapat menjadi racun bagi beberapa hewan seperti mencit, tikus dan ruminansia. Sedangkan kandungan lemak yang dimiliki sangat rendah sekitar 27-32%BK (Makkar and Becker, 1998). Dua buah biji jarak pagar dapat berfungsi sebagai pencahar perut dan 4-5 buah biji jarak dapat menimbulkan kematian terutama pada anak-anak (Duke dan Atchley, 1983). Gambar 3 menjelaskan manfaat dari tanaman Jatropha curcas.

Jatropha curcas

-Pengendali erosi -Kayu bakar

-Tanaman pagar -Pelindung tanaman

Daun Buah Lateks -Pakan ulat sutera

-Obat-obatan -Zat anti radang

Biji Kulit Buah

Insektisida Material bakaran Pakan ternak (varietas non-toksik) Pupuk hijau

Produksi biogas

Tempurung Biji Bungkil Biji Minyak Biji Material bakaran Pupuk Produksi sabun

Biogas Bahan bakar

Pakan ternak (varietas non-toksik) Insektisida Obat-obatan Gambar 2. Bagan Eksploitasi Tanaman Jarak Pagar (Guibitz et al., 1999)

(17)

Bungkil biji jarak pagar mengandung trypsin inhibitor, aktivitas lectin, saponin dan phytat. Curcin yang terdapat dalam biji jarak hampir sama dengan yang biasa dikenal dengan lectin, ricin dan abrin. Aktivitas lectin yang tinggi terdapat pada biji jarak Kanga dari India. Kandungan phorbolester yang paling tinggi terdapat dalam biji jarak asal Kenya dan Kitui, sedangkan phorbolester tidak terdeteksi pada biji jarak Papantla dan Mexico (Makkar et al., 1997). Lectin dapat diinaktifkan dengan cara pemanasan, sedangkan phorbolester tetap aktif meskipun dilakukan pemanasan (Aregheore et al., 2003).

Tabel 1. Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBJP dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar

Kandungan Nutrien BBJP tanpa

Cangkang BBJP dengan

Cangkang Cangkang BBJP

Bahan Kering (%) 86,26 89,71 88,31

Komposisi bahan kering

Abu (% BK) 7,71 5,20 4,22

Protein Kasar (% BK) 37,56 24,28 10,21

Lemak Kasar (% BK) 35,02 15,99 5,71

Serat Kasar (% BK) 7,23 38,49 59,62

Beta- N (% BK) 12,47 16,06 20,24

Fraksi serat

NDF (% BK) 16,30 57,64 93,40

Hemiselulosa (% BK) 0,72 10,45 12,48

ADF (% BK) 15,86 46,78 80,90

Selulosa (% BK) 11,31 19,22 34,85

Lignin (% BK) 4,51 23,98 46,00

Silika (% BK) 0,01 3,51 0,03

Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007)

Keterangan : BBJP = Bungkil Biji Jarak Pagar; BK= Bahan Kering; NDF= Neutral Detergent Fiber;

ADF= Acid Detergent Fiber

Bungkil biji jarak pagar dengan cangkang memiliki kandungan abu, protein kasar dan lemak kasar yang lebih rendah daripada BBJP tanpa cangkang (Tabel 1).

Pengupasan cangkang biji jarak sebelum proses ekstraksi minyak jarak menghasilkan BBJP dengan dengan kadar serat kasar dan BETN yang rendah (Tjakradidjaja et al., 2007). Hal ini disebabkan cangkang pada biji jarak pagar mengandung kadar protein kasar dan lemak kasar yang sangat rendah, tetapi kadar serat, BETN dan komponen fraksi serat, terutama kadar NDF, ADF dan lignin, sangat tinggi (Tabel 1).

Kandungan fraksi serat yang tinggi juga dapat menjadi faktor pembatas dalam ransum ternak. Pengupasan cangkang dari biji jarak pagar tidak dilakukan dalam proses ekstraksi minyak jarak karena pemisahan cangkang dari biji jarak

(18)

membutuhkan tenaga dan biaya ekstra yang relatif besar. Selain itu adanya cangkang dapat membantu proses ekstraksi minyak jarak secara pengepresan sehingga dapat meningkatkan produk minyak jarak yang dihasilkan. Hasil penelitian Makkar et al.

(1998) menyatakan memiliki kadar protein kasar biji jarak pagar (56,4%BK) lebih tinggi, dan kadar lemak kasarnya (1,5%BK). Perbedaan dalam komposisi nutrien dapat terjadi karena sampel yang digunakan berbeda sumbernya yang mengakibatkan perbedaan dalam hal asal daerah sehingga berkaitan dengan kesuburan tanah, waktu panen buah/biji, pengupasan cangkang, dan proses pembuatan minyak jarak (Makkar et al., 1998).

Jatropha curcas juga terkenal dengan produksi toksin (bersifat racun).

Minyak dari tanaman tersebut merupakan toksin, namun dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk mesin diesel. Akan tetapi bungkil dari biji jarak pagar tidak sesuai digunakan sebagai bahan pakan ikan, ruminansia, dan monogastrik (Makkar dan Becker, 1999). Bungkil biji jarak yang diberikan pada anak kambing Nubian dengan dosis 0,25 g/kg/hari dan 1 g/kg/hari dapat menyebabkan kematian antara 7-21 hari.

Tanda-tanda keracunan adalah berak darah, dyspnea, dehidrasi, dan terbaring lemah lalu mati (Gadir et al., 2003). Dua hari setelah pemberian bungki biji jarak pada kambing Nubian dapat menyebabkan biopsy hati dan mata cekung (Adam dan Magzoub, 1975). Domba gurun yang diberikan bungkil biji jarak dengan dosis 0,05 g/kg/hari; 0,5 g/kg/hari dan 1g/kg/hari menunjukkan gejala klinis dan luka pada organ saluran pencernaan (Aregheore et al., 2003).

Zat antinutrisi dan racun yang terdapat dalam BBJP dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan lectin lebih tinggi dibandingkan dengan phorbolester (Tabel 2).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi kandungan lectin dan phorbolester yang terdapat dalam BBJP, agar penggunaan BBJP lebih dapat ditolerir oleh hewan. Salah satu contoh penelitian yang telah dilakukan untuk mengurangi kandungan phorbolester maupun lectin adalah dengan cara biologis yaitu perlakuan fermentasi yang menggunakan berbagai kapang (Tjakradidjaja et al., 2007). Biji jarak pagar mengandung acro-nacrotic, beracun terhadap manusia dan sapi yang dapat digunakan untuk melawan kanker dan kutil. Jarak pagar mengandung phorbolester (Inga et al., 2002).

(19)

Tabel 2. Beberapa Zat Antinutrisi dan Racun dalam Jatropha curcas

Komponen Toxic variety Non-toxic

variety

Phorbolesters (mg/g kernel) 2,79 0,11

Total phenols (% tannic acid equivalent) 0,36 0,22 Tannins (% tannic acid equivalent) 0,04 0,02

Phytates (% dry matter) 9,40 8,90

Saponins (% diosgenin equivalent) 2,60 3,40 Trypsin inhibitor (mg trypsin inhibited per g sample) 21,3 26,5 Lectins (1/mg of meal that produced

haemaglutination per ml of assay medium) 102 51 Sumber : Francis et al. 2006

Aderibigbe et al. (1997), Aregheore et al. (2003), dan Martinez-Herrera et al.

(2006) berpendapat lectin dapat dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 121°C (25 menit) atau 160ºC, pemanasan basah pada suhu 100ºC (60 menit, kadar air 67%) atau 130°C (30 menit, kadar air 80%) dan penggunaan berbagai pelarut organik yang dikombinasikan dengan pencucian. Nurhikmawati (2007) menyatakan terjadinya penurunan kandungan curcin dari 0,09% menjadi 0,03% pada perlakuan fisik (pemanasan suhu 121C selama 30 menit), 0,02% pada perlakuan kimia (penambahan 4% NaOH) dan 0,07% pada perlakuan biologis (fermentasi dengan Rhizopus oligosporus).

Curcin

Curcin adalah sejenis racun lectin yang terdapat pada jarak pagar (Jatropha curcass L.). Lectin pertama kali ditemukan tahun 1888 oleh Stillmark pada ekstrak biji jarak. Lectin mempunyai sifat mampu menyebabkan mitosis, atau perubahan biokimia lain dalam sel (Wikipedia, 2006).

Secara sederhana lectin adalah protein yang secara spesifik mengikat karbohidrat (glikoprotein). Protein ini mengenal dan mengikat secara spesifik monosakarida dan diklasifikasikan dengan gula yang dikenalnya. Peran lectin dalam tanaman adalah melindungi benih tanaman dari agen patogen seperti jamur, virus dan

(20)

bakteri dengan mengikat pada permukaan mikroorganisme melalui residu gula dan menghambat pertumbuhannya. Sedangkan peran ternak adalah mengikat cairan ekstraseluler dan interseluler glikoprotein. Efek racun lectin terhadap usus adalah tahan terhadap proteolisis usus, mengikis dinding sel, merusak membran mikrovili, pergantian sel, mengurangi kemampuan usus halus dalam proses penyerapan, menambah endositosis dan pergantian sel epitel dan memberikan efek langsung maupun efek tidak langsung terhadap hormon pada sistem metabolisme. Lectin adalah protein keras yang tidak mudah rusak. Lectin dapat mengikat pada dinding usus, merusak dan merubah permeabilitas usus sehingga menyebabkan alergi.

Pengikatan ini mungkin sebuah reaksi antigen-antibodi yang diawali oleh keracunan autoimun (Wikipedia, 2006). Struktur bangun curcin disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Curcin (www.rni.co.id, 2006)

Aktivitas lectin atau curcin yang tinggi terdapat pada biji jarak Kangra dari India. Lectin merupakan racun pada Jatropha curcas varietas Cape Verde dan tidak beracun pada Jatropha curcas varietas Mexico (Papantla). Bungkil jarak asal Mexico ini diketahui aman digunakan sebagai pakan tikus dan ikan karena tidak mengandung phorbolester meskipun mengandung sedikit lectin (Makkar dan Becker, 2004).

Curcin merupakan fitotoxin (racun yang terdapat pada tumbuhan) yang memiliki molekul protein besar, kompleks dan sangat beracun. Wikipedia (2007) memaparkan bahwa curcin juga merupakan suatu tipe reseptor protein yang secara spesifik berinteraksi dengan molekul gula (karbohidrat) tanpa memodifikasi molekul gula tersebut. Fungsi curcin atau lectin ini yaitu sebagai pengikat (binding) dari glikoprotein (biomolekul yang merupakan gabungan dari protein dan karbohidrat) pada permukaan sel. Mekanisme dari curcin berhubungan dengan aktivitas enzim

(21)

N-glikosidase yang dapat mempengaruhi metabolisme. N-glikosidase merupakan enzim glikosidase yang berfungsi sebagai pengatur kenormalan sel, anti bakteri dan pendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Diduga kuat mekanisme curcin hampir sama dengan ricin dan lectin.

Aderibigbe et al. (1997) menyatakan bahwa lectin merupakan racun utama yang terdapat dalam tanaman jarak pagar dan lectin dapat dikurangi dengan perlakuan panas. Kandungan curcin didalam Jatropha curcas tidak sebesar kandungan ricin dalam Ricinus comunis (Aregheore et al., 2003). Curcin dapat menjadi inaktif dengan perlakuan pemanasan dan pemanasan kering akan jauh lebih baik daripada pemanasan basah (Aregheore et al., 1998).

Mekanisme kerja ricin dalam menghancurkan sel diawali dengan pengikatan rantai B ricin kepada reseptor permukaan sel. Rantai B ricin ini akan menempel pada molekul glikoprotein dan glikolipid yang merupakan senyawa penyusun membran sel. Sekitar 106 sampai 108 molekul ricin dapat terikat pada setiap sel. Selanjutnya, ricin akan memasuki bagian dalam sel melalui mekanisme endositosis yaitu peristiwa internalisasi zat asing oleh sel. Namun, dari sekian banyak ricin yang menempel pada permukaan sel, hanya satu molekul yang dapat masuk kedalam sel target. Didalam sel, rantai A dan B molekul ricin akan terpisah. Rantai A yang bersifat toksik akan menginaktivasi pabrik pembuat protein yaitu ribosom. Satu molekul ricin yang masuk kedalam sel sanggup menginaktivasi lebih dari 1.500 molekul ribosom per menit (Hadi, 2008). Jika ribosom tidak aktif bekerja, maka ribuan protein yang dibutuhkan untuk kehidupan sel akan berhenti diproduksi, dan akhirnya sel pun akan mati. Hal inilah yang menginspirasi pakar kedokteran untuk menggunakan ricin sebagai obat antikanker yang kini telah terbukti berhasil menghancurkan sel kanker. Dosis ricin yang tidak menimbulkan kematian yaitu 0,00000001% dari bobot badan yang diberi dengan cara penyuntikan (Kingsbury, 1964). Rumus bangun ricin dan mekanisme aksi ricin dapat dilihat pada Gambar 4.

Ditinjau dari segi fungsinya, kedua rantai penyusun ricin berbeda satu sama lain. Rantai A memiliki aktivitas toksik karena dapat menghambat sintesis protein.

Sedangkan rantai B berfungsi mengikat reseptor permukaan sel yang mengandung galaktosa (Hadi, 2008). Rumus bangun dan mekanisme aksi ricin sendiri dapat dilihat pada Gambar 4.

(22)

Gambar 4. Rumus Bangun Ricin dan Mekanisme Aksi Ricin (Hadi, 2008) Phorbolester

Phorbolester merupakan senyawa organik dari tumbuhan yang merupakan anggota diterpenes. Phorbolester disebut juga dengan ester. Phorbolester dapat larut dalam larutan organik yang bersifat polar. Berbagai ester dari phorbol memiliki sifat biologis yang penting, khususnya kemampuannya sebagai pemacu tumor (Wikipedia, 2007). Phorbolester merupakan komponen toksik dalam Jatropha curcas yang diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol (Rug et al., 2006). Sifat fisiologis yang paling dikenal dari phorbolester adalah kemampuannya sebagai penyebab tumor atau kanker. Phorbolester merupakan analog dari diacyglycerol (DAG) dan merupakan pemacu tumor yang menyebabkan berbagai fisiologis ketika berada didalam sel dan jaringan (UniProt, 2007). Struktur kimia phorbolester dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur Kimia Phorbolester (Evans, 1986)

(23)

Bentuk phorbolester menyerupai diacyglycerol, turunan gliserol yang diperoleh dari dua kelompok hidroksil yang telah bereaksi dengan asam lemak membentuk ester dan bersifat karsinogenik. Bentuk phorbolester yang paling terkenal yaitu phorbolester disebut juga dengan 12-0-tetradecanoylphorbol-13- acetate (TPA). Rumus kimia TPA adalah C20H28O6 dengan berat molekul 364,44 g/mol yang dapat mencair pada suhu 25-251ºC atau dapat juga disebut dengan phorbol-12-myristate-13-acetate (PMA) (Wikipedia, 2007).

Phorbolester diketahui dapat mengaktivasi protein kinase C (PKC) yang meniru aktivitas diacygliserol (DAG). Protein kinase C (PKC) merupakan enzim kinase yang memodifikasi protein lain dengan menambahkan fosfat secara kimiawi dan memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap aktivitas sel. Phorbolester dapat meningkatkan afinitas PKC Ca2+ secara dramatis dan bersifat stabil dan tidak dapat terdegradasi secara tepat setelah menstimulasi PKC, sehingga menyebabkan aktivitas yang mengarah pada respon fisiologis seperti proliferasi dan diferensiasi sel yang tidak terkontrol (Asaoka et al., 1992).

Phorbolester diketahui berperan dalam mengakibatkan sakit perut, efek iritasi kulit dan pemacu tumor karena phorbolester merangsang PKC yang dibutuhkan dalam sinyal transduksi dan proses perkembangan seluruh sel dan jaringan (Makkar dan Becker,1997b). Phorbolester (phorbol-12-myristate-13-acetate) pada biji jarak diidentifikasi sebagai zat toksik utama (Makkar dan Becker, 1997a; Becker dan Makkar, 1998). Hal ini dikarenakan phorbolester stabil terhadap pemanasan (Wink, 1993; Martines-Herrera et al., 2006) dan dapat bertahan pada pemanasan diatas suhu 160ºC selama 30 menit (Makkar dan Becker, 1997b). Hasil penelitian Aregheore et al. (1998) menduga bahwa pemberian bungkil biji jarak yang diberi perlakuan panas dapat menyebabkan kematian tikus.

Efek Negatif Penggunaan Bungkil Biji Jarak Pagar

Penggunaan BBJP dalam ransum dapat memberikan efek negatif pada hewan yang mengkonsumsinya pada taraf pemberian yang tinggi Wardoyo (2007) menyatakan bahwa penggunaan 5% BBJP tanpa detoksifikasi masih mungkin digunakan, sedangkan penggunaan 10% BBJP menyebabkan kematian sebesar 50%

dalam waktu 40 hari dan 15% BBJP menyebabkan kematian 100% dalam waktu 29 hari. Lusiana (2007) menyatakan bahwa efektivitas penggunaan BBJP

(24)

terdetoksifikasi dalam ransum dan adanya fase recovery terhadap performa ayam broiler mengalami kematian sebanyak 22 ekor (12,57%) dari 175 ekor total ayam penelitian. Menurut Fajariah (2007) bahwa puncak mortalitas mencit yang disebabkan BBJP terdetoksifikasi terjadi pada hari ke-6 sampai dengan hari ke-14.

Mortalitas pada hari ke-15 mengalami penurunan. Pada hari ke-27 sampai akhir penelitian (hari ke-28) tidak ada mortalitas. Mahajati (2008) menunjukkan bahwa mencit dewasa kelamin jantan untuk BBJP tanpa fermentasi dalam ransum, 5%

BBJP yang difermentasi Aspergillus niger dan 5% BBJP difermentasi Trichoderma viridae dalam ransum mengakibatkan tingkat mortalitas yang tinggi yaitu sebesar 100%. Sedangkan 5% BBJP yang difermentasi R. oryzae dalam ransum, 5% BBJP yang difermentasi R. oligosporus dalam ransum, 5% BBJP yang difermentasi T.

reesei dalam ransum mortalitas yang dihasilkan sebesar 80%. Kematian mencit dimulai pada minggu pertama sebesar 40% dengan penambahan 5% BBJP yang difermentasi dengan kapang R. oryzae. Hadriyanah (2008) menyatakan bahwa mortalitas pada mencit jantan sebesar 20% dan mencit betina tidak mengalami kematian dengan pemberian 5% BBJP detoksifikasi menggunakan metanol dalam ransum kontrol, sedangkan 5% BBJP detoksifikasi dengan NaOH 4% dalam ransum kontrol mencit jantan maupun betina tidak mengalami kematian hingga akhir penelitian.

Dua hari setelah pemberian bungkil biji jarak pada kambing Nubian dapat menyebabkan biopsy hati dan mata cekung (Adam dan Magzoub, 1975). Domba gurun yang diberikan bungkil biji jarak dengan dosis 0,05 g/kg/hari; 0,5 g/kg/hari dan 1g/kg/hari menunjukkan gejala klinis dan luka pada organ saluran pencernaan (Aregheore et al., 2003). Toksin yang diisolasi dari bungkil biji jarak pada kelinci dapat menyebabkan reaksi iritasi diikuti oleh nekrosis (Gandhi et al., 1995). Tikus yang diberikan bungkil biji jarak selama 23 hari akan mati. Anak sapi yang diberi bungkil biji jarak dengan dosis 0,25 g/kg ; 1 g/kg ; 2,5 g/kg akan mati 19 jam setelah pemberian, sedangkan yang diberikan pada dosis 0,025 g/kg menunjukkan gejala keracunan setelah 10-14 hari pemberian dan kemudian anak sapi mati (Aregheore et al., 2003). Pemberian bungkil biji jarak pada ransum ayam broiler dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan dan mortalitas yang tinggi (Hidayah, 2007).

Hasil penelitian Fajariah (2007) menunjukkan bahwa pemberian BBJP yang

(25)

terdetoksifikasi kepada mencit menyebabkan penurunan bobot badan drastis dan diakhiri dengan kematian. Nurbaeti (2007) menyimpulkan dari hasil penelitiannya efisiensi penggunaan BBJP yang difermentasi dengan kapang R.oligosporus adalah perlakuan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan yang diolah secara fisik dan kimia.

Adam (1974) menyatakan bahwa pemberian J. curcas dalam ransum mengakibatkan terjadinya perubahan patologi pada usus halus, hati, jantung, ginjal dan pembuluh darah. Wardoyo (2007), juga menyatakan bahwa mencit mengalami pendarahan usus (enteritis) yang terjadi karena peradangan pada usus halus akibat banyaknya racun curcin dan phorbosleter dalam BBJP yang diserap usus halus.

Racun tersebut kemudian dibawa oleh darah kedalam hati, lalu menyebabkan kerusakan hati untuk menetralisir racun yang terakumulasi didalamnya. Zat makanan yang tidak bermanfaat bagi tubuh dikeluarkan oleh hati ke ginjal, sehingga terjadi pendarahan (hipermi) dan pembesaran kapiler darah (kongesti) di ginjal mengakibatkan kematian pada mencit.

Detoksifikasi Racun Bungkil Biji Jarak Pagar

Setelah melalui proses detoksifikasi, kandungan protein bungkil biji jarak dapat melebihi kandungan protein pada kedelai sehingga menjadikannya potensial digunakan sebagai bahan makanan tidak konvensional bagi ternak (Alamsyah, 2006).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengurangi kandungan lectin dan phorbolester yang terdapat dalam BBJP, agar penggunaan BBJP dapat ditolerir oleh hewan. Salah satu contoh penelitian yang telah dilakukan dengan cara biologis yaitu perlakuan fermentasi menggunakan berbagai kapang (Tjakradidjaja et al., 2007).

Nurbaeti (2007) menyimpulkan bahwa pengolahan BBJP secara biologis difermentasi dengan kapang R. oligosporus adalah perlakuan yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan yang diolah secara fisik dan kimia. Tabel 3 menunjukkan bahwa kandungan protein kasar yang tertinggi dimiliki oleh BBJP cangkang yang difermentasi dengan kapang R. oligosporus. Komposisi zat makanan dan fraksi serat BBJP yang difermentasi berbagai kapang disajikan pada Tabel 3.

(26)

Tabel 3. Komposisi Zat Makanan dan Fraksi Serat Bungkil Biji Jarak Pagar yang Difermentasi Berbagai Kapang

Zat

Makanan BBJ Tanpa Fermentasi

BBJP dengan Fermentasi

A. niger R. oryzae R.oligosporus T. viridae T. reesei

BK (%) 89,7 37,6 36,9 37,8 39,2 37,3

Abu (%BK) 5,2 5,6 5,7 5,8 5,6 5,9

PK (%BK) 24,3 22,1 22,2 22,6 20,1 22,2

LK (%BK) 16,0 12,6 8,8 7,9 11,9 11,2

SK (%BK) 38,5 46,6 44,0 47,5 45,7 46,6

BeTN (%BK) 16,1 13,1 19,3 16,3 16,8 14,1

Sumber : Tjakradidjaja et al. (2007)

Keterangan : BBJP= Bungkil Biji Jarak Pagar; BK= Bahan Kering; PK= Protein Kasar;

LK=Lemak Kasar; SK= Serat Kasar; BETN= Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

Ansori (1989) menyatakan bahwa kapang dapat menghasilkan enzim protease selama proses fermentasi (proteolitik) yang dapat merombak protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yang menyebabkan terjadinya peningkatan kadar nitrogen dan asam amino. Gejala peracunannya, yaitu diare berat, muntah, pusing, kolaps, dan lain lain. Hasil detoksifikasi BBJP dengan cara fermentasi berbagai kapang dapat dilihat pada Tabel 3. Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan Rhizopus spp. kemungkinan akan lebih baik untuk menghilangkan kandungan curcin dan phorbolester didalamnya. Meskipun demikian, produk fermentasi BBJP dengan berbagai kapang perlu dikaji lebih dalam lagi untuk penggunaannya sebagai pakan ternak (Tjakradidjaja et al.,2007).

Rhizopus oryzae

Fardiaz (1992) mendefenisikan fermentasi sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asama amino. Fermentasi oleh berbagai kapang, khamir dan bakteri dapat terjadi secara anerobik fakultatif. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu. Aktivitas metabolisme mikroorganisme pada proses fermentasi ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti pH, suhu, tekanan oksigen dan konsentrasi substrat. Bagian terbesar dari substrat akan terfermentasi setelah mikroorganisme hampir menyempurnakan pertumbuhan maksimumnya. Fermentasi

(27)

oleh bakteri digunakan untuk mengubah dan memberi flavor, bentuk dan tesktur yang bagus dari bahan yang difermentasi (Buckle et al., 1987).

Menurut Suhartono (1989), spesies Rhizopus dikenal juga sebagai “wet weather fungi”, karena kapang ini menyebabkan kerusakan pada sayuran dan buah- buahan dengan cara menumbuhi bagian yang lembab dan rusak. Kerusakan oleh kapang ini menimbulkan “fermentatif odor”. Rhizopus oryzae digunakan sebagai mikroba pemfermentasi karena selain dapat memecah protein dan lemak, Rhizopus oryzae juga dapat menguraikan protein sebagai bahan pengemulsi yang terdapat dalam santan dan memecah emulsi santan sehingga terjadi pemisahan fraksi air, minyak dan protein. Analisa kualitatif minyak kelapa hasil proses fermentasi dengan Rhizopus oryzae dilakukan sesuai dengan syarat mutu Standar Industri Indonesia (SNI) yang meliputi kotoran, kadar air, bilangan Iod, bilangan penyabunan, peroksida, asam lemak bebas dan minyak pelikan. Dari hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa minyak kelapa dapat dibuat secara fermentasi dengan Rhizopus oryzae dan karakteristik fisika kimia minyak kelapa hasil proses fermentasi dengan Rhizopus oryzae memenuhi SNI (Pujianti, 2007).

Menurut Wang et al. (1978), pertumbuhan miselium pada kapang tergantung kepada lingkungan fisikokimianya. Miselium dapat berbentuk panjang dan melebar, pendek dan bercabang, atau suatu campuran dari keduanya. Bila kapang ditumbuhkan pada suatu permukaan, miselianya akan tumpang tindih dan membentuk lapisan tebal. Sedangkan pada kultur terendam miselia akan tersebar atau membentuk pellet dengan diameter 0,1-10 mm. Lapisan dan pellet miselium sangat penting untuk pertumbuhan karena pada saatnya akan mempengaruhi lingkungan fisikokimia individual sel-sel tersebut. Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi. Selain kapang, mikroorganisme lain yang tergolong fungi dan penting dalam mikrobiologi pangan adalah khamir (yeast) dan jamur (mushroom).

Perbedaan utama dari antara organisme yang tergolong fungi, misalnya khamir dan kapang merupakan fungi multiseluler yang mempunyai filamen, sedangkan khamir merupakan fungi tunggal tanpa filamen (Fardiaz, 1992). Pertumbuhan kapang R.oryzae dapat dilihat pada Gambar 6.

(28)

Gambar 6. Rhizopus oryzae

Rhizopus oryzae tumbuh pada kisaran 5-37ºC, dan optimum pada suhu 25ºC.

Beberapa spesies dari genus ini memproduksi asam fumarat, suksinat, dan asam laktat serta memproduksi berbagai jenis enzim seperti glukoamilase, pektinase, protease dan lipase. Beberapa spesies juga dapat memfermentasi pati menjadi alkohol (Cousin, 1987). Alkohol merupakan hidrokarbon berikat tunggal. Salah satu atom hidrogennya merupakan gugus OH yang bersifat tidak berwarna. Berdasarkan senyawa organik yang berikatan dengan gugus hidroksil senyawa alkohol terdiri atas R-OH primer (R-CH2-OH), sekunder ((R)2CH-OH), dan tersier ((R)3C-OH).

Alkohol dapat dihasilkan dari peragian atau fermentasi karbohidrat (gula dan pati).

Prinsip pembentukan alkohol adalah pelepasan energi yang tersimpan pada bahan- bahan organik, yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, dengan bantuan mikroba sebagai fermentor. Terdapat sejumlah jenis mikroba yang memiliki kemampuan untuk memfermentasikan alkohol, diantaranya khamir dan bakteri.

Proses pembentukan alkohol dengan perantara mikroba tersebut berlangsung secara anaerobik. Secara sederhana, proses fermentasi merupakan penguraian karbohidrat menjadi alkohol (etanol) dan gas karbondioksida (CO2) dengan bantuan enzim. Jika tahapan proses anaerobik ini dihentikan pada tahapan fermentasi saja, yakni tahapan sebelum pembentukan gas metana, maka dapat dihasilkan alkohol yang memiliki nilai kalori tinggi. Dalam proses pembentukan alkohol untuk skala produksi besar yang mampu memenuhi kebutuhan industri, diperlukan perencanaan teknis yang sistematis untuk membangun reaktor anaerobik yang dapat lebih mudah dimonitor dan dikontrol (Balitbang, 2006).

Alkohol adalah derivat dari hidroksi yang mempunyai ikatan langsung maupun rantai cabang dari alifatik hidrokarbon. Bentuk rantai alkohol yang sering ditemukan adalah yang mengandung tiga gugus hidroksil dengan ikatan satu gugus

(29)

hidroksi dalam satu rantai karbon. Sedangkan jenis alkohol lainnya ialah alkohol yang mengandung lebih dari satu gugus hidroksi dalam satu atom karbon. Jenis alkohol yang kedua inilah yang bersifat toksik yaitu ethanol (ethyl alkohol), methanol (methyl alkohol) dan isipropanol (isoprophyl alkohol). Pada umumnya semakin panjang rantai karbon maka semakin tinggi daya toksisitasnya. Tetapi ada kekecualian dalam teori ini yaitu methanol lebih toksik daripada ethanol (Geocities, 2008).

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), galur Aspergilus dan Rhizopus dapat menghasilkan enzim glukoamilase. Tergantung pada organisme asalnya, enzim tersebut memiliki sifat-sifat kimia enzim yang dapat menghidrolisis pati secara sempurna menjadi glukosa. Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian yang tidak mereduksi dari molekul tersebut. Mahajati (2008) menyatakan bahwa penggunaan 5% BBJP difermentasi kapang R.oligosporus dalam ransum masih dapat ditolerir oleh mencit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nurbaeti (2007) bahwa perlakuan biologis dengan penggunaan fermentasi R.oligosporus dapat menghasilkan respon terbaik dalam meningkatkan efisiensi penggunaan protein dan energi metabolis pada ayam broiler.

Astawan (2008) menyatakan bahwa proses fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan brem. Proses fermentasi meliputi empat tahap penguraian. Tahap pertama, molekul-molekul pati akan dipecah menjadi dekstrin dan gula-gula sederhana. Proses ini merupakan hidrolisis enzimatis. Tahap kedua, gula yang terbentuk akan diolah menjadi alkohol. Tahap ketiga, alkohol kemudian diubah menjadi asam organik oleh bakteri Pediococcus dan Acetobacter melalui proses oksidasi alkohol. Tahap keempat, sebagian asam organik akan bereaksi dengan alkohol membentuk cita rasa yang khas, yaitu ester. Enzim yang mampu mengubah glukosa menjadi alkohol dan karbondioksida selama fermentasi adalah enzim zimase yang dihasilkan oleh khamir Saccharomyces cereviseae. Dalam proses fermentasi, selain alkohol, juga terbentuk asam piruvat dan laktat. Asam piruvat adalah produk antara yang terbentuk pada hidrolisis gula menjadi etanol dan dapat diubah menjadi etanol atau asam laktat. Perubahan asam piruvat menjadi asam laktat dikatalisis oleh bakteri Pediococcus pentasaeus.

(30)

Menurut Darmono (2008), toksisitas etanol relatif lebih rendah daripada metanol ataupun isopropanol. Mekanisme penyerapan etanol didalam tubuh mencit yaitu didalam usus kecil dan kurang efisien didalam lambung dan usus besar.

Walaupun etanol mempunyai berat molekul yang kecil, agak lama etanol terlarut dalam lemak dan proses pelarutannya adalah secara difusi pasif. Proses oksidasi enzimatik etanol pertama terjadi dalam hati kemudian dalam ginjal. Proses metabolisme melibatkan tiga jenis enzim. Pada proses pertama etanol dioksidasi menjadi acetaldehyd oleh enzim “alkohol dehydrogenase” dan memerlukan kovaktor (NAD) nicotinamid adenin dinucleotida. Enzim alkohol dehydrogenase dalam hati adalah enzim yang tidak spesifik, enzim ini juga mengubah alkohol primer lainnya menjadi aldehyd, begitu juga pada alkohol sekunder dan keton. Pada tahap kedua acealdehyd diubah menjadi asam asetat oleh enzim aldehyd dehydrogenase juga dibantu oleh kovaktor NAD. Tahap berikutnya diubah lagi menjadi acetyl coenzim A (CoA), yang kemudian CoA masuk kedalam siklus Krebs dan mengalami metabolisme menjadi CO2 dan H2O.

Menurut Hendriks dalam Astawan (2008) menyatakan bahwa konsumsi alkohol dalam takaran tertentu akan menurunkan resiko tersumbatnya saluran arteri darah dari peradangan, pembekuan darah, dan sejumlah asam lain yang ada pada darah. Alkohol juga dapat meningkatkan dehydroepiandrosterone (DHEAS) yang bermanfaat memperlancar aliran darah. Terdapat bukti yang konsisten bahwa alkohol meningkatkan resiko kanker dibeberapa bagian tubuh tertentu, termasuk mulut, kerongkongan, tenggorokan, laring, dan hati. Alkohol memicu terjadinya kanker melalui berbagai mekanisme. Salah satunya, alkohol mengaktifkan enzim-enzim tertentu yang mampu memproduksi senyawa penyebab kanker. Alkohol dapat pula merusak DNA, sehingga sel akan berlipat ganda (multiplying) secara tidak terkendali.

Mencit (Mus musculus)

Storer et al. (1979) menyatakan bahwa mencit termasuk Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Rodentia, Famili Muridae, Genus Mus dan Spesies Mus musculus. Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan untuk hewan percobaaan yaitu sebesar 40–80%, karena mencit sangat produktif dan

(31)

pengelolaannya mudah. Mencit liar atau mencit rumah adalah hewan semarga dengan mencit laboratorium.

Semua galur mencit laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peternakan selektif. Bulu mencit liar berwarna keabu-abuan, dan warna perut sedikit lebih pucat. Mata berwarna hitam dan kulit berpigmen. Berat badan bervariasi, tetapi umumnya pada umur empat minggu berat badan mencapai 18-20 gram. Mencit liar dewasa mencapai 30–40 gram pada umur enam bulan atau lebih. Mencit lebih suka pada suhu lingkungan yang tinggi (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Mencit merupakan hewan yang prolifik. Kelahiran mencit biasanya berlangsung satu sampai empat jam. Mencit betina akan menjilat vulvanya sebelum anaknya lahir, kemudian mencit itu akan menolong proses kelahiran dengan menarik anaknya keluar menggunakan mulutnya. Setelah itu mencit induk akan memakan plasenta sebelum memijat atau menjilat anaknya sampai kering. Mencit betina biasanya akan mengelompokkan anaknya setelah anaknya keluar semua kemudian akan menyusui anak-anaknya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Menurut Malole dan Pramono (1989), mencit apabila diperlakukan dengan lembut akan mudah dikendalikan. Sebaliknya jika diperlakukan dengan kasar maka mencit akan menjadi agresif dan bahkan menggigit. Bila pejantan baru dicampurkan kedalam kelompok yang susunan hierarkinya sudah stabil, mencit akan berkelahi untuk menentukan siapa pemimpin kelompok tersebut. Contoh mencit putih yang dipakai dalam penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 7 dengan sifat biologis dan reproduksi yang tertera pada Tabel 4.

Gambar 7. Mencit Putih (Mus musculus)

(32)

Tabel 4. Sifat Biologis dan Reproduksi Mencit (Mus musculus) Kriteria Keterangan

Lama hidup 1-3 tahun

Lama produksi dan ekonomis 9 bulan

Lama bunting 19-21 hari

Kawin sesudah beranak 1-24 jam

Umur disapih 21 hari

Umur dewasa 35 hari

Umur dikawinkan 8 minggu

Berat dewasa

Jantan 20-40 gram

Betina 18-35 gram

Berat lahir 0,5-1,0 gram

Berat sapih 18-20 gram

Jumlah anak rata-rata 6-15 ekor

Suhu tubuh 35-39° C

Suhu rektal rata-rata 37-40° C Komposisi air susu

Kadar Gula 3%

Kadar Lemak 10-12%

Kadar Protein 10%

Kadar Air 75%

Jumlah puting susu 5 pasang

Kecepatan tumbuh 1 gram/hari

Sumber : Smith dan Mankoewidjojo (1988)

Jumlah puting susunya lima pasang, yaitu terletak pada dada dan perut masing-masing dan dua pasang. Panjang telinganya 9-12 mm dan panjang telapak kaki belakangnya 12-18 mm (Boeadi, 1979).

Pertambahan Bobot Badan Induk Mencit

Petumbuhan dapat terjadi dengan penambahan jumlah sel (hyperlasia) dan penambahan ukuran tubuh (hypertrophy) (Anggorodi,1984). Pertumbuhan merupakan suatu perubahan yang meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh dimana pertumbuhan tersebut mencakup tiga komponen utama yaitu peningkatan berat otot, ukuran skeleton dan jaringan lemak tubuh (Rose,1997). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyatakan bahwa kecepatan rata-rata seekor mencit adalah satu g/hari. Pertumbuhan dapat terhambat karena kekurangan protein, sedangkana kelebihan protein oleh tubuh dijadikan sebagai sumber energi dalam keadaan kekurangan energi dari karbohidrat dan lemak.

(33)

Mortalitas Induk Mencit

Mortalitas adalah perbandingan antara jumlah seluruh ternak mati dengan jumlah total ternak yang dipelihara (Eisen dan Durrant, 1980). Semakin meningkatnya taraf pemberian BBJP dalam ransum mencit menyebabkan mortalitas mencit semakin tinggi (Wardoyo, 2007). Fajariah (2008) menyatakan bahwa mortalitas mencit akibat penggunaan BBJP dalam ransum terjadi kematian mulai hari keempat sampai dengan hari ke-26 penelitian. Mortalitas yang tinggi terjadi pada ransum ayam broiler sebesar 34,29% dengan penggunaan 4% BBJP tanpa perlakuan (Lusiana,2008).

Litter Size Lahir Anak Mencit

Menurut Eisen dan Durrant (1980), litter size lahir adalah jumlah total anak yang dilahirkan oleh induk mencit baik hidup maupun mati. Jumlah anak per kelahiran mencit rata-rata berjumlah enam ekor anak bahkan dapat mencapi 15 ekor anak per induk (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Menurut Kon dan Cowie (1961), jumlah anak per kelahiran juga bergantung pada umur dan ukuran tubuh induk, sedangkan nutrisi induk akan menentukan ukuran tubuh atau rataan bobot lahir anak.

Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi jumlah kelahiran antara lain kualitas dan kuatintas pakan yang diberikan pada induk, musim kawin, jumlah sel telur yang dihasilkan serta tingkat kematian embrio yang sangat berpengaruh terhadap jumlah anak kelahiran (Toelihere,1979) dan jumlah sel telur yang dihasilkan dan tingkat awal pertumbuhan embrio (Warwick et al., 1983). Day et al., (1989) menyatakan bahwa penurunan fertilitas dan jumlah anak per kelahiran terjadi pada mencit yang mempunyai siklus estrus tidak teratur pada umur setengah tua, sehingga menurunkan jumlah blastosit normal pada hari kelima kebuntingan.

Bobot Lahir Anak Mencit

Bobot lahir adalah bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan.

Pertumbuhan foetus sebelum lahir atau sebelum pertumbuhan selama didalam kandungan induknya menentukan bobot lahir ternak (Hafez dan Dyer, 1969).

Toelihere (1979) menyebutkan bahwa pertumbuhan selama didalam kandungan induk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya mutu genetik ternak, umur serta bobot badan induk yang melahirkan, pakan induk dan suhu lingkungan selama

(34)

kebuntingan yang kurang baik dapat menyebabkan bobot lahir rendah dan anak yang dilahirkan menjadi lemah. Malnutrisi pada induk juga menyebabkan kurang terpenuhinya nutrisi fetus sehingga dapat mengurangi bobot lahir dan viabilitas anak (McDonald et al., 1995). Hasil penelitian Jaenuddin (2002) menyatakan bahwa dengan perlakuan stimulan monogastrik menghasilkan rataan bobot lahir 1,67 g/ekor.

Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa bobot lahir anak mencit berkisar antara 1 g/ekor. Menurut Arrington (1972), suhu optimum untuk memelihara mencit berkisar antara 21-22°C, dengan kelembaban udara 45-55%.

Suhu lingkungan mempengaruhi bobot lahir ternak secara langsung dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Pada kondisi suhu yang tinggi dapat menyebabkan penurunan nafsu makan, sehingga memungkinkan tejadinya defisiensi zat makanan yang diperlukan foetus. Keadaan tersebut menyebabkan bobot lahir rendah. Kon dan Cowie (1961) menyatakan bahwa bobot litter secara keseluruhan akan meningkat seiring dengan menigkatnya litter size, akan tetapi rataan bobot lahir tiap anak menjadi lebih rendah. Bobot lahir anak mencit dipengaruhi oleh pertumbuhan foetus selama dalam kandungan induknya.

Litter Size Sapih

Litter size sapih adalah jumlah anak yang hidup hingga umur disapih yang sangat dipengaruhi oleh umur induk, konsumsi pakan, kondisi induk, sistem perkawinan, dan kualitas pejantan (Quijandria et al., 1983). Menurut Malole dan Pramono (1989), sistem perkawinan monogami dan poligami pada mencit berbeda pengaruhnya terhadap jumlah anak waktu sapih. Jumlah anak yang disapih akan meningkat bila program pembiakan dilakukan dengan sistem perkawinan poligami atau harem. Pada sistem ini anak-anak baru dipisahkan menjelang kelahiran berikutnya, karena betina memanfaatkan estrus postpartum sehingga anak-anak mengalami kematian selama menyusu. Mencit betina pada sistem perkawinan ini tidak mengalami estrus postpartum sehingga produksi susu yang dibutuhkan oleh anak lebih banyak dan jumlah anak yang disapih tinggi karena mengalami sedikit kematian anak selama menyusu.

(35)

Hasil penelitian Wardoyo (2007) menyatakan bahwa rataan litter size sapih yang dihasilkan dengan perlakuan kontrol tanpa adanya penambahan BBJP sebesar 7,67 ekor. Rataan litter size sapih yang dihasilkan pada penelitian Hermawan (2007) dengan penggunaan 3% zeolit dalam ransum sebesar sembilan ekor.

Bobot Sapih Anak Mencit

Bobot sapih adalah bobot badan ternak saat dipisahkan dari induknya untuk disapih. Besarnya bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan induk, umur induk, keadaan pada saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak, kuantitas dan kualitas makanan yang diberikan serta suhu lingkungan (Hafez dan Dyer, 1969). Toelihere (1977) menyatakan bahwa penyapihan adalah umur paling muda dimana anak dapat dipisahkan dari induk tanpa pengurangan berat badan.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), bobot sapih mencit berkisar antara 18-20 g/ekor dan anak mencit dapat disapih pada umur 21 hari. Induk yang memiliki produksi air susu yang tinggi akan menghasilkan anak dengan bobot sapih yang tinggi. Eisen (1975) menyatakan bahwa anak mencit betina memiliki bobot sapih tinggi, cenderung lebih cepat mengalami dewasa kelamin.

Menurut Malole dan Pramono (1989), kehilangan bobot badan pada mencit dapat disebabkan oleh dehidrasi, kelaparan dan berbagai macam penyakit menular maupun yang tidak menular. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rataan bobot sapih mencit adalah 14,07 g/ekor dengan penambahan zeolit dalam ransum (Hermawan, 2007), 17,85 g/ekor dengan penambahan 5% BBJP dalam ransum (Wardoyo, 2007) dan penambahan ampas kunyit 9% menghasilkan rataan bobot sapih 7.55 g/ekor (Dian, 2007).

Ransum Mencit

Ransum adalah makanan yang diberikan pada ternak selama 24 jam dan dapat diberikan sekali atau beberapa kali dalam kurun waktu 24 jam. Ransum sempurna adalah kombinasi beberapa bahan makanan yang dikonsumsi secara normal dan mensuplai zat-zat yang penting kedalam tubuh ternak dengan perbandingan jumlah atau bentuk yang sedemikian rupa sehingga fungsi fisiologis dalam tubuh berjalan dengan normal (Parakkasi, 1999). Zat-zat yang dibutuhkan mencit untuk pertumbuhan hampir sama dengan manusia yaitu karbohidrat yang terdiri dari pati,

(36)

selulosa, gula, minyak, atau lemak terutama linolenat, protein terutama asam amino esensial, mineral-mineral mikro, vitamin-vitamin baik yang larut dalam air maupun dalam lemak (Muchtadi, 1989). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya ransum yang dikonsumsi (Mujiasih, 1999). Ransum yang tinggi kandungan energinya harus diimbangi dengan protein, mineral, vitamin yang cukup untuk ternak, tidak mengalami defisiensi protein, vitamin, dan mineral.

Pellet adalah bahan pakan atau ransum yang dibentuk dengan cara menekan dan memadatkannya melalui lubang cetakan secara mekanis. Proses pembentukan pakan campuran konsentrat atau ransum komplit menjadi silinder disebut pelleting (Pathak, 1997). Proses pembuatan pellet terbagi menjadi tiga tahap yaitu 1) Pengolahan pendahuluan meliputi pencacahan, pengeringan dan penggilingan, 2) Pembuatan pellet meliputi pencetakan pendinginan dan pengeringan dan 3) Perlakuan akhir meliputi sortasi, pengepakan, dan penggudangan. Tujuan pembuatan pellet yaitu untuk mengurangi sifat debu, meningkatkan palatabilitas, mengurangi pakan yang terbuang, mengurangi voluminous, dan mempermudah penanganan saat penyimpanan dan transportasi.

Mencit membutuhkan makanan berkadar protein 22%. Untuk kondisi di Indonesia protein tersebut dapat dipenuhi dari makanan ayam pedaging dengan kadar protein 19%. Seekor mencit dewasa membutuhkan 15 gram per 100 g bobot badan/hari dengan kadar protein diatas 14% dan 15 ml air minum per 100 g bobot badan/hari bervariasi menurut temperatur kandang, kelembaban, kualitas makanan, kesehatan dan kadar air dalam makanan (Malole dan Pramono, 1989). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi ransum 3-5 g/hari dengan komposisi ransumnya protein 17%, lemak 15%, serat kasar 5% dan abu 4-5%. Sedangkan pada mencit dewasa yang sedang bunting dibutuhkan pakan sekitar 7 g/ekor/hari atau lebih. Kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan mencit adalah protein kasar 20-25%, kadar lemak 10-12%, pati 44-45%, serat kasar maksimal 4% dan abu 5-6%. Juga harus mengandung vitamin A, vitamin D, alfa-tokoferol, piridoksin, dan inositol. Status protein untuk ransum mencit yaitu 12-21% bahan kering (BK), penggunaan makanan dengan kandungan protein 17% akan menghasilkan pertumbuhan yang sama dengan makanan yang mempunyai protein 19% dan 21% (NRC, 1995).

(37)

METODE Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2007 sampai dengan Januari 2008, di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Biokimia Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 ekor mencit putih (Mus musculus) yang terdiri dari 30 ekor jantan dan 30 ekor betina (dewasa kelamin) dengan perkiraan bobot badan awal mencit yang dipelihara 18-25 g per ekor.

Kandang masing-masing beralaskan sekam dan penutup kawat, serta dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum.

Kandang dan Peralatan

Kandang mencit menggunakan baki yang mempunyai ukuran 36 x 28 x 12 cm3 untuk sepasang mencit atau kandang yang beralaskan sekam padi sebanyak 100 gram/baki. Kandang yang digunakan sejumlah 30 buah. Peralatan yang digunakan adalah timbangan elektrik, tempat pakan, kotak kaca untuk penimbangan mencit, drum penampungan air, sikat botol, gunting, sarung tangan, masker, pinset dan alat tulis.

Ransum

Ransum yang digunakan adalah pakan ayam broiler komersial dengan penambahan 0, 2,5, 5, 7,5 dan 10% BBJP yang telah difermentasi dengan kapang Rhizopus oryzae. Penambahan BBJP dalam ransum ayam broiler komersial dilakukan secara substitusi. Bungkil biji jarak pagar berasal dari Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB. Interval dosis level yang diberikan pada penelitian ini dari 2,5% sampai 10% berdasarkan penelitian sebelumnya mencit yang diberikan pada taraf 10% masih dapat bertahan hidup sebanyak 50% (Wardoyo, 2007). Pakan dalam bentuk pellet diberikan setiap hari. Air minum yang diberikan dalam penelitian ini berasal dari Perusahaan Air Minum (PAM). Ransum dan air minum diberikan ad libitum (selalu tersedia).

(38)

Rancangan Perlakuan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan lima perlakuan, masing-masing enam ulangan, yang terdiri dari :

R1 : Ransum basal 100% (tanpa pemberian kapang bungkil biji jarak)

R2 : 97,5% R1 + 2,5% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae R3 : 95% R1 + 5% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae R4 : 92,5% R1 + 7,5% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae R5 : 90% R1 + 10% bungkil biji jarak yang difermentasi Rhizopus oryzae Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993) :

Yij = µ+ αi + εij Keterangan :

Yij : Nilai pengamatan (konsumsi pakan induk, efisiensi pakan induk, litter size lahir, bobot lahir, litter size sapih, bobot sapih, pertambahan bobot

badan anak mencit, dan mortalitas) µ : Nilai rataan umum perlakuan

αi : Pengaruh pemberian ransum dengan bungkil biji jarak yang difermentasi R. oryzae dengan taraf ke-i ; i = 1, 2, 3, 4, 5

εij : Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j ;

i : Penambahan 0; 2,5; 5,0; 7,5 dan 10% bungkil biji jarak yang difermentasi dengan kapang R. oryzae

j : Ulangan ke – j ; j = 1, 2, 3, 4, 5, 6

Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Analisis secara deskriptif dilakukan karena mencit betina yang diberi ransum R3, R4 dan R5 mengalami mortalitas mencapai 100%, sementara untuk mencit jantan dengan ransum R3 mengalami kematian sebanyak 50%.

(39)

Peubah yang Diamati

Dalam penelitian ini peubah yang diamati adalah pertambahan bobot badan induk, mortalitas induk, konsumsi pakan induk, litter size lahir, bobot lahir, litter size sapih, dan bobot sapih

Pertambahan Bobot Badan Induk Mencit (g/ekor)

Penimbangan bobot badan mencit jantan dan betina pada penelitian ini dilakukan setiap satu minggu sekali dan juga mencit yang mati lebih awal yang kandang yang sama. Perhitungan pertambahan bobot badan induk mencit dilakukan dengan mengurangkan bobot badan awal dari bobot badan akhir mencit.

Mortalitas Induk Mencit (%)

Mortalitas induk mencit adalah jumlah induk mencit yang mati dari seluruh populasi mencit yang ada. Mortalitas diperoleh dengan menghitung jumlah mencit yang mati selama penelitian.

Konsumsi Ransum Mencit (g/ekor)

Konsumsi ransum adalah jumlah pakan (g) yang dimakan oleh seekor mencit setiap hari. Perhitungan dilakukan setiap tujuh hari sekali dan juga bila seekor mencit mengalami kematian lebih awal. Konsumsi ransum diperoleh dari selisih antara jumlah pakan awal dengan jumlah sisa dengan pemberian pakan ad libitum.

Litter Size Lahir (ekor)

Litter size lahir diketahui dengan melakukan perhitungan jumlah anak mencit yang lahir hidup dari setiap ekor induk mencit yang beranak.

Bobot Lahir (g/ekor)

Rataan bobot anak mencit pada saat dilahirkan, pengukurannya dilakukan dengan menimbang seluruh anak yang lahir dari induk per kelahiran (g) dibagi dengan jumlah anak mencit (ekor) yang ditimbang.

Litter Size Sapih (ekor)

Litter size sapih diperoleh dengan menghitung dari jumlah anak yang disapih dari setiap ekor induk mencit yang menyapih.

Bobot Sapih (g/ekor)

Rataan bobot sapih diperoleh dengan menimbang (g) seluruh anak yang masuk masa disapih dari induk yang sama dibagi dengan jumlah anak (ekor) yang ditimbang.

(40)

Prosedur Persiapan Mikroorganisme

Rhizopus oryzae ditumbuhkan pada agar-agar miring dalam tabung reaksi dan diinkubasikan pada suhu 30ºC selama tujuh hari, kemudian kedalam tabung reaksi tersebut ditambahkan lima ml air steril. Larutan spora yang diperoleh dengan cara tersebut digunakan untuk inokulasi pada proses fermentasi bungkil biji jarak.

Konsentrasi spora dalam larutan tersebut adalah 107 spora/ml.

Fermentasi Bungkil Biji Jarak Pagar a. Pembuatan Media Kapang

Tauge ditimbang sebanyak 250 gram, lalu ditambah dengan aquades sebanyak satu liter. Campuran ini kemudian dipanaskan hingga mendidih, kurang lebih selama satu jam. Selama proses pemanasan, volume medium dijaga agar tetap satu liter. Setelah mendidih, medium disaring dengan kain kasa, filtrat diambil dan tauge dibuang. Filtrat ekstrak tauge (100 ml) yang telah ditambah Agar Bacto (dua gram) dipanaskan pada suhu 100ºC hingga media menjadi bening. Medium ini kemudian dimasukkan kedalam 10 tabung reaksi masing-masing sebanyak tiga ml.

Tabungnya kemudian ditutup dengan kapas aluminium foil, lalu diautoclave pada suhu 121ºC selama 15 menit, setelah itu medium didinginkan dalam posisi dimiringkan.

b. Pembuatan Kultur Kapang.

Setelah media miring Ekstrak Tauge Agar (ETA) didinginkan, maka tahap selanjutnya adalah mensterilkan aquades dengan autoclave. Aquades sebanyak 10 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi kultur stock, lalu diaduk dengan pengaduk kaca sampai hancur supaya spora miseliumnya lepas yang ditunjukkan dengan warna larutan menjadi keruh. Ose dicelupkan lalu ditempelkan kedalam agar dengan cara zig-zag yang selanjutnya diinkubasi selama tiga hari.

c. Fermentasi

Bungkil biji jarak pagar yang telah diinkubasi dengan aquades steril sebanyak enam ml, lalu diaduk hingga warna larutan keruh. Sementara itu, bungkil biji jarak dicampur aquades dengan perbandingan 1 : 0,5, diaduk sampai homogen,

(41)

lalu diautoclave. Setelah didinginkan, bungkil biji jarak pagar tersebut diletakkan dalam baki plastik, diratakan dengan sendok steril, lalu diinokulasi dengan kultur kapang sebanyak tiga ml untuk setiap 50 g BBJP dan tutup plastik dilubangi dengan jarum steril agar cukup oksigen (aerob). Campuran difermentasi selama enam hari, sehingga diperoleh produk bungkil biji jarak yang siap dicampurkan kedalam ransum basal.

Pembuatan Ransum Pellet

Bungkil biji jarak tanpa fermentasi maupun bungkil biji jarak hasil fermentasi dikeringkan terlebih dahulu didalam oven 60oC selama 24 jam. Setelah kering, kedua jenis bungkil biji jarak tersebut dihaluskan dengan cara digiling sampai menjadi tepung. Kemudian dicampur dengan bahan makanan lain menggunakan mixer hingga homogen, lalu dimasukkan kedalam mesin pellet. Pellet yang baru keluar dari mesin pellet diangin–anginkan terlebih dahulu, lalu disimpan dalam kantong plastik yang telah diberi tanda sesuai dengan perlakuan. Pembuatan pellet dilakukan di Laboratorium Nutrisi Pakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pemberian Ransum Pellet

Pemeliharaan mencit dilakukan selama delapan minggu dengan periode preliminary selama satu minggu dan selama tujuh minggu berikutnya dilakukan penerapan perlakuan serta pengumpulan feses. Pakan diberikan ad libitum setiap dua hari sekali dengan berpatokan pada sisa pakan. Air minum diberikan ad libitum, dan setiap minggu dilakukan pergantian. Konsumsi pakan dihitung setiap satu minggu sekali. Ransum perlakuan ditimbang sebanyak 56 g dan dimasukkan kedalam kantong untuk persediaan satu minggu. Ransum dalam kantong dan dalam wadah serta yang tercecer dihitung sebagai sisa ransum. Sampel ransum yang diberikan dan sisa ransum dikeringkan didalam oven dengan suhu 1050C selama 24 jam, untuk digunakan dalam perhitungan konsumsi bahan kering ransum. Pada awal percobaan mencit ditimbang. Penimbangan dilakukan seminggu sekali. Setiap minggu mencit diukur bobot badannya dengan menggunakan timbangan, dan wadah plastik bertutup sebagai alat bantu dalam penimbangan mencit.

Gambar

Gambar 1. Jatropha curcas L. (www.Biotechcitylucknow. org, 2007)
Tabel 1.  Komposisi Nutrien dan Fraksi Serat BBJP tanpa Cangkang, BBJP  dengan Cangkang dan Cangkang Biji Jarak Pagar
Gambar 5. Struktur Kimia Phorbolester (Evans, 1986)
Gambar 6. Rhizopus oryzae
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dampak keseriusan dalam menangani limbah yang berasal dari 3 (tiga) unit pabrik tersebut diputuskan untuk melakukan investasi dalam proyek pembangunan bangunan Incinerator

For this purpose, spatial distribution maps of all fertility parameters in soil obtained by ordinary Kriging based on exponential model for surface (0 – 15cm) soil

menggunakan uji statistik Annova dengan nilai p value sebesar 0,79 (0,79 > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh shift pagi, shift siang dan shift

Dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan pergantian kelamin Hakim Pengadilan Negeri seharusnya lebih mempertimbangkan banyak aspek dalam penentuan jenis

pada pasien penyakit jantung koroner di ruang rawat inap

Hasil penelitian menyatakan (1) kesulitan aspek bahasa yaitu beberapa siswa membaca soal kurang tepat sehingga terjadi kesalahan penafsiran, sulit memahami bahasa

Guru juga dapat bertanya secara langsung atau melakukan wawancara tentang sikap berkaitan dengan sesuatu hal. Misalnya, bagaimana tanggapan peserta didik tentang kebijakan

Subjektif Terhadap Minat Mahasiswa Dalam Menggunakan Internet Sebagai Sumber. Pustaka Dalam Penyelesaian Tugas-Tugas Kuliah (Survey di