• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KEBIJAKAN PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK DESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EVALUASI KEBIJAKAN PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK DESA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

182

EVALUASI KEBIJAKAN PENDIRIAN BADAN USAHA MILIK DESA

Oleh:

Tatang Sudrajat

Universitas Sangga Buana Bandung (Administrasi Bisnis)

Jalan PH.H. Mustofa (Suci) No.68, Cikutra, Kec. Cibeunying Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat 40124 Email : [email protected]

ABSTRACT

The state has provided a lot of welfare to the citizens of rural communities, who make up the largest part of this nation. Socio-economic welfare as a public interest has been pursued by the state with its authority, including in the form of a policy to establish Village Owned Enterprises (BUM Desa). The issuance of Law Number 6 of 2014, PP Number 43 of 2014 and the Village Regulation of PDTT Number 4 of 2015 relating to the interests of the village community, became a strong foundation for the establishment of BUM Desa. In Karawang Regency, this was followed up with the issuance of Regional Regulation Number 4 of 2019 and Perbup Number 35 of 2020. One of the problems when public policy was implemented started from the substance of policies that were bad policy, unclear, not operational/incomplete, ambiguous, and contradictory. The research uses normative juridical methods and literature review. The results of the study indicate that the issue of welfare of rural communities is embodied in various state/government regulations. There is a relationship between the local government as an operational policy maker and the policy environment as well as a hierarchical relationship with policy makers regarding BUM Desa at the national level. There are several policy substances that are considered bad policies, because they are unclear, not operational/incomplete, ambiguous and contradictory. This will have implications for the ineffective implementation of BUM Desa policies by implementers at the lowest level of government.

Keywords : evaluation, public policy, village-owned enterprises

ABSTRAK

Negara telah banyak memberikan kesejahteraan kepada warga masyarakat pedesaan, yang merupakan bagian terbesar dari bangsa ini. Kesejahteraan sosial ekonomi sebagai kepentingan publik telah diupayakan negara dengan otoritasnya, diantaranya dalam bentuk kebijakan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014, PP Nomor 43 Tahun 2014 dan Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat desa, menjadi landasan kuat bagi berdirinya BUM Desa. Di Kabupaten Karawang, ditindaklanjuti dengan terbitnya Perda Nomor 4 Tahun 2019 dan Perbup Nomor 35 Tahun 2020. Salah satu permasalahan ketika kebijakan publik diimplementasikan berawal dari substansi kebijakan yang bersifat bad policy, tidak jelas, tidak operasional/tidak lengkap, rancu, dan kontradiktif.

Penelitian mengunakan metode yuridis normatif dan kajian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isu kesejahteraan masyarakat pedesaan terwadahi dalam berbagai regulasi negara/pemerintah. Terdapat hubungan keterkaitan antara pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan operasional dengan lingkungan kebijakan serta hubungan hirarkis dengan pembuat kebijakan tentang BUM Desa di tingkat nasional. Terdapat beberapa substansi kebijakan yang termasuk bad policy, karena tidak jelas, tidak

(2)

183

operasional/tidak lengkap, rancu dan kontradiktif. Hal ini akan berimplikasi pada tidak efektifnya implementasi kebijakan BUM Desa oleh para implementor di level pemerintah yang paling bawah.

Kata kunci: evaluasi, kebijakan publik, badan usaha milik desa

PENDAHULUAN

Sejak Indonesia merdeka sampai dengan saat ini, bagian terbesar penduduk merupakan warga pedesaan, yang taraf kehidupan sosial ekonominya masih memprihatinkan. Berbagai langkah dan kebijakan telah diberikan pemerintah silih berganti untuk memberikan kesejahteraan kepada warga yang umumnya hidup di sektor pertanian.

Sejak pemerintahan Presiden Soekarno, sampai dengan saat ini, dengan pendekatan dan strategi yang berbeda, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengangkat taraf hidup warga pedesaan. Hal ini merupakan amanat konstitusi sehingga memiliki sandaran yang kokoh karena tertuang secara eksplisit dalam alinea ke 2 Pembukaan UUD 1945. Tidak lain ini sebagai cita-cita nasional yang pada hakikatnya merupakan visi kebangsaan Indonesia, antara lain mengenai masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran.

Secara lebih spesifik, hal ini selaras dengan termaktubnya rumusan tujuan nasional atau fungsi negara yang pada hakikatnya merupakan misi nasional Indonesia sebagaimana tersurat dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945, diantaranya fungsi untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam kaitan ini, negara beserta institusi utamanya yaitu pemerintah pada berbagai level beserta segenap aparaturnya merencanakan dan melaksanakan program pembangunan nasional. Hal ini ditujukan untuk menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat, termasuk warga pedesaan.

Salah satu langkah penting pemerintah untuk meningkatkan derajat

hidup warga pedesaan ini adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). Dalam kerangka ini, terbitnya Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permen Desa PDTT) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, menjadi sangat bermakna sebagai wujud nyata perhatian pemerintah. Terbitnya permen ini sebagai kelanjutan dari amanat Pasal 142 PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Sebagai tindak lanjut dari PP Nomor 43 Tahun 2014 ini, di tingkat kabupaten terbit peraturan daerah kabupaten dan peraturan bupati, yang memberikan landasan yuridis bagi pendirian BUM Desa ini. Dari perspektif kebijakan publik, terbitnya berbagai regulasi di daerah ini jelas merupakan entry point sekaligus landasan yuridis yang kuat bagi implementasinya di lapangan. Dalam kerangka inilah peran pemerintah daerah kabupaten sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat penting untuk menindaklanjuti keputusan politik negara dan pemerintah di bidang ekonomi dan sosial pedesaan ini.

Dari perspektif studi kebijakan publik, hadirnya beberapa regulasi tersebut sebagai bukti satu diantara kebijakan publik (public policy). Menurut Lawrence dan Weber, kebijakan publik adalah ‘a plan of action undertaken by government officials to achieve some broad purpose of affecting a substantial segment of a nations citizens’

(2014:164). Dengan hadirnya berbagai regulasi ini maka para implementor kebijakan di daerah memiliki panduan

(3)

184

yang jelas sehingga akan dapat mempermudah tercapatnya tujuan kebijakan pendirian BUM Desa ini.

Terbitnya berbagai kebijakan publik tersebut tentu bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba. Antara negara/pemerintah dengan lingkungannya, khususnya lingkungan sosial ekonomi yang sangat dinamis, terjadi hubungan interaksi yang resiprokal. Permasalahan yang ada pada masyarakat dapat menjadi pemicu lahirnya satu bentuk keputusan negara/pemerintah sebagai solusinya.

Sebagai produk proses politik dan pemerintahan, keempat regulasi negara/pemerintah mengenai BUM Desa ini tentu terbit berdasarkan telaah mendalam dan komperehensif terhadap permasalahan pedesaan yang multidimensional. Demikian pula terbitnya Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa dan Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa tidak terlepas dari realita sosial ekonomi warga pedesaan di Kabupaten Karawang. Dengan jumlah penduduk 2.439 juta, kabupaten ini terdiri dari 297 desa, yang 237 (79 %) diantaranya termasuk desa swadaya (BPS, Kabupaten Karawang Dalam Angka, 2021). Penelitian Purnamasari dan Ramdani menunjukkan bahwa evaluasi program BUM Desa oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Karawang masih belum efektif, yang terlihat dari belum tercapainya tujuan pendirian BUM Desa (2019:98).

Hadirnya berbagai kebijakan publik sebagai dinamikanya administrasi publik yang area substantifnya terkait badan usaha milik desa dalam pembangunan nasional saat ini serta implementasinya oleh para agen implementasi kebijakan secara konsisten menjadi teramat penting.

Dikatakan demikian karena ekspektasi publik khususnya masyarakat pedesaan

untuk hadirnya program-program pembangunan sebagai realisasi kepentingan publik dari waktu ke waktu makin tinggi. Salah satu syarat untuk dapat efektifnya kebijakan diimplementasikan adalah substansi yang bersifat good policy. Karena itu, penting dilakukan evaluasi kebijakan yang berfokus pada substansi kebijakan (policy content) sebagai bagian integral dari proses kebijakan publik secara keseluruhan.

Tujuan penelitian untuk mengelaborasi dan mengevaluasi substansi kebijakan publik berkenaan dengan pendirian BUM Desa, berupa UU Nomor 6 Tahun 2014, PP Nomor 43 Tahun 2014, Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015, Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019, dan Perbup Karawang Nomor 35 Tahun 2020.

TINJAUAN PUSTAKA

Organisasi Bisnis dan BUM Desa Sebagai homo socius, seorang manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterlibatannya dalam organisasi, sekecil apapun aktivitas yang dilakukannya.

Berkaitan dengan ini, sudah lama para ahli menjadikannya sebagai pusat perhatian kajian ilmiah yang dilakukan untuk perbaikan berbagai aspek kehidupan manusia. Dalam kaitan ini, Narayanan dan Nath menyebut ‘there are several reasons why organizations are important entities. First, organizations are perpasive throghout the modern world. Infact, they have be comevital to the existence of the modern society.

Second, people working alone can do simple tasks. It is only through working together in an organization that complex tasks can be performed. Thus, organizations extend the capacities of individuals acting alone. Third, when human effort is organized effectively, its results in higher productivity than would

(4)

185

be possible with an unorganized collection of individuals (1993:5).

Berdasarkan itu tampak bahwa posisi dan peran signifikan organisasi dalam masyarakat modern untuk memperoleh target yang diinginkannya dengan berhasil.

Berbagai pakar telah banyak merumuskan batasan organisasi menurut perspektif atau fokus minat keilmuannya sebagai pakar. Organisasi menurut Frances Westley yang dikutip Rosenbloom dkk adalah a series of interlocking routines, habituated action patterns that bring the same people together around the same activities in the same time and places (2015:147).

Robbins mengemukakan bahwa organisasi (organization) adalah ‘a consciously coordinated social entity, with a relatively identifiable boundary, that functions on a relatively continous basis to achieve a common goal or set of goals’ (1990:4). Dalam rumusan Siagian, organisasi adalah ’setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam persekutuan, yang mana selalu terdapat hubungan antara seorang/sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang/sekelompok orang lain yang disebut bawahan’ (2008:95).

Organisasi adalah ‘suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi mempunyai fungsi dan tugasnya masing-masing, yang sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu, dan mempunyai batas-batas yang jelas sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya’ (Lubis, 1987:1). Narayanan dan Nath (1993:4) mendefinisikannya sebagai ‘an arena where human beings come together to perform complex tasks so as fulfill common goal(s)’. Beberapa karakteristik organisasi menurut James G. March dan Herbert A. Simon sebagaimana dikutip

Henry diantaranya adalah bahwa organisasi (organizations) ‘are purposeful, complex human activities, have specialized and limited goals, are characterized by sustained cooperative activity, provide services and products to their environment, and are dependent upon exchanges with their environment’

(1989:53).

Bisnis (business) consists of all profit-seeking activities and enterprises that provide goods and services necessary to an economic system (Boone dan Kurtz, 2006:5). Dengan lebih menekankan pada adanya organisasi, Griffin dan Ebbert mengemukakan bahwa bisnis adalah organizations that provide goods and services that are then sold to earn profits (2006:4). Sejalan dengan itu, Pride, Hughes dan Kapoor mendefinisikan bisnis sebagai the organized effort of individuals to produce and sell, for a profit, the goods and services, that satisfy society’s needs. To be sucessful, a business must perform three activites. It must be organized, it must satisfy needs, and it must earn a profit (2014:10).

Talcot Parsons sebagaimana dikutip Narayanan dan Nath menyebut adanya empat tipe organisasi, yaitu ‘production organization, political organization, integrative organization, dan pattern maintenance organization’.

Dikemukakan lebih lanjut bahwa production organization are organization that make things or products. (1993:4).

Berdasarkan tujuan pendiriannya, BUMDes ini dapat dikategorikan sebagai production organization, karena memberikan sesuatu yang berguna untuk rakyat, khususnya di pedesaan.

Hal ini berkenaan dengan rumusan Pasal 1 Angka 1, Pasal 2 dan Pasal 3 Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015, yang berkaitan dengan batasan/definisi BUM Desa, maksud dan tujuan pendirian BUM Desa.

Berdasarkan karakteristik organisasinya sebagaimana ditetapkan dalam beberapa

(5)

186

regulasi pemerintah, jelas bahwa BUM Desa ini tergolong sebagai organisasi bisnis.

Kebijakan Publik

Keberadaan pengaturan tentang BUM Desa ini secara faktual tentu tidak dapat terlepas dari administrasi publik dan kebijakan publik. Kebijakan publik faktanya menjadi dinamikanya administrasi publik, karena wujud nyata pencapaian tujuan negara adalah tindakan atau program nyata yang dilakukan negara untuk kepentingan publik.

Administrasi publik (public administration) menurut Dwight Waldo adalah “the organization and management of man and material to achieve the purpose of government”

(Rosenbloom dkk, 1994:4).

Kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat desa yang selalu menjadi perhatian pemerintah, berkenaan dengan salah satu tujuan negara, yang salah satu bentuknya berupa kebijakan pendirian BUM Desa.

Terkait dengan itu, Ranson dan Stewart menyebut bahwa government in its many levels and its many forms has differing roles in society. They can be conceptualized as a sustaining role, a maintenance role, a responsive role and a developmental role (1994:117). Dalam kerangka inilah peran kebijakan publik (public policy) akan memberi warna dan label tersendiri pada administrasi publik suatu negara. Oleh karena itu, dapat dipahami bila para penstudi administrasi publik menyebut kebijakan publik ini sebagai salah satu dimensi prima administrasi negara.

Kebijakan ini ‘merupakan salah satu aspek atau dimensi strategis dari enam dimensi strategis atau yang paling menentukan dinamika administrasi publik, yaitu berupa tanggapan yang tepat terhadap kebutuhan, kepentingan dan aspirasi masyarakat dalam bentuk pembuatan keputusan atau kebijakan publik’ (Keban, 2004:9). Tidak ada satu segmen kehidupan pun yang terlepas dari

perhatian administrasi negara. Public administration is an activist part of government. It is a means by which government seeks to intervene in aspect of the economy, society and polity (Rosenbloom dkk, 2015:363). Dengan demikian tepat disebutkan bahwa kebijakan publik merupakan realisasi setiap kehendak negara atau pemerintah.

Kebijakan publik terutama yang dapat diimplementasikan dengan efektif akan membawa dampak positif bagi reputasi pemerintah. Dalam konteks inilah dapat difahami ketika sebagian pakar administrasi publik mendefinisikannya

sebagai aktivitas untuk

mengimplementasikan kebijakan publik.

Faktanya, warga masyarakat di belahan dunia mana pun akan dihadapkan pada aneka macam permasalahan yang tidak selamanya dapat mereka selesaikan sendiri. Masalah faktual yang dirasakan itu lalu menjadi perhatian publik yang luas, dan menjadi perhatian dan agenda pemerintah. Pada tahapan lanjutnya terdapat serangkaian proses politik dan atau administratif, yang melalui pengambilan keputusan pemerintah melahirkan tindakan/program aktual untuk kepentingan publik, sehingga lahirlah kebijakan publik (public policy).

Gerston mendefinisikannya sebagai ‘the combination of basic decisions, commitments, and actions made by those who hold or influence government positions of authority’ (2010:7). Post dkk. mengemukakannya sebagai ‘a plan of action undertaken by government officials to achieve some broad purpose affecting a substansial segment of a nation’s citizens’ (1999:172).

Tidak jauh beda, dengan titik tekannya pada pilihan pemerintah, menurut Dunn adalah ‘long series or more less related choices (including decision not to act) made by governmental bodies and officials, are formulated in issue areas which range from defence, energy and health to education, welfare and crime

(6)

187

control’(1981:47). MacRae Jr. dan Wilde mendefinisikannya sebagai ‘a policy made by government. Policy is a chosen course of significantly affecting large numbers of people’ (1989:3). Pakar kebijakan publik lainnya, Ande

rson menyebutkan bahwa kebijakan publik adalah ‘those policies developed by governmental bodies and officials’.

Nongovernmental actors and factors may, of course, influence policy development’ (1978:3). Tampak bahwa negara atau pemerintah sangat strategis dalam pembentukan kebijakan publik ini.

Hal ini sejalan dengan pandangan Michael bahwa ‘without the existence of the state, the public policy making process, as we know it, could not operate.

It is the state that provides the basis for collective decision making, the application and enforcement of those decisions, and the means for changing or altering others’ (2006:11).

Terdapat lima komponen kebijakan publik menurut Gerston yaitu isu (issues), aktor (actor), sumberdaya (resource), lembaga (institution) dan tingkat pemerintahan (the level of government).

Dikemukakan lebih lanjut bahwa ‘issues that appear on the public agenda; actors who present, interpret, and respond to those issues; resources affected by those issues; institutions that deal with issues;

and the levels of government that address issues’ (2010:8). Untuk dapat memahami kebijakan publik dengan utuh maka bisa dikenali melalui identifikasi terhadap yang dinamakan Anderson sebagai kategori kebijakan, yaitu ‘policy demands, policy decisions, policy statements, policy output dan policy outcome’ (1978:4).

Dengan demikian, kebijakan publik merupakan serangkaian keputusan yang ditetapkan oleh pejabat dan atau lembaga negara/pemerintah yang sebelumnya melibatkan banyak kalangan dan dilanjutkan dengan tindakan nyata sesuai dengan kewenangan yang dimiliki untuk menangani masalah publik. Dalam

konteks BUM Desa, salah satu bentuk atau wujud kebijakan publik tersebut adalah UU Nomor 6 Tahun 2014, PP Nomor 43 Tahun 2014, Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015, Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 dan Peraturan Bupati Karawang Nomor 35 Tahun 2020. Dalam sistem pemerintahan daerah saat ini, kedudukan dan keberadaan peraturan daerah, peraturan kepala daerah dan keputusan kepala daerah ini merupakan kebijakan daerah sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dikatakan sebagai kebijakan publik karena semuanya lahir dari kewenangan lembaga publik yaitu DPR, Presiden, Menteri dan Pemda Kabupaten Karawang untuk menangani masalah warga masyarakat berkaitan adanya berbagai tuntutan dan harapan publik terkait kebutuhan dan tuntutan masyarakat pedesaan mengenai mengenai kesejahtreraan sosial ekonominya.

Evaluasi Kebijakan

Dengan menggunakan model proses untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang kebijakan publik, tampak jelas bahwa siklus kebijakan merupakan proses yang multidimensional serta melibatkan banyak aktor, baik pada institusi masyarakat maupun negara/pemerintah. Salah satu tahapannya adalah evaluasi kebijakan (policy evaluation) yang menurut Gerston

‘assesses the effectiveness of a public policy in terms of its perceived intentions and results’ (2010:112). Tahapan ini oleh Jones didefinisikan sebagai ‘an activity designed to judge the merits of government programs or processes. It varies in the specification of criteria, the techniques of measurement, the methods of analysis, and the forms of recommendation’ (1984:199).

Evaluasi kebijakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kebijakan publik yang berperan sangat

(7)

188

penting untuk mengetahui tingkat pencapaian target kebijakan atau program organisasi. Fase evaluasi ini bermakna strategis karena dalam kenyatannya belum tentu target akhir dari suatu kebijakan atau program publik akan dapat terlaksana secara efektif. Berbagai harapan ideal sebagaimana telah dirumuskan pada saat penetapan kebijakan akan diketahui tingkat ketercapaiannya dengan tahapan evaluasi ini. Ini berarti, informasi komprehensif tentang hasil akhir kebijakan sangat penting bagi perumus kebijakan dan implementor kebijakan sebagai media untuk penyempurnaan kebijakan di waktu yang akan datang.

Dalam pandangan Wibawa,

‘evaluasi kebijakan bermaksud untuk mengetahui empat aspek, yaitu proses pembuatan kebijakan, proses implementasi, konsekuensi kebijakan dan efektivitas dampak kebijakan. Keempat aspek ini dapat mendorong seorang evaluator untuk secara khusus mengevaluasi isi kebijakan, baik pada dimensi hukum dan terutama kelogisannya dalam mencapai tujuan, maupun konteks kebijakan, kondisi lingkungan yang mempengaruhi seluruh proses kebijakan’ (1994:9). Merujuk kepada Howlet dan Ramesh, evaluasi proses (process evaluation) merupakan satu diantara lima tipe evaluasi administratif (administrative evaluation) yaitu ‘examine the organizational methods, including rules and operating procedures, used to deliver programs’

(1995:171).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang dikombinasikan dengan studi kepustakaan. Menurut Marzuki (2015:47) tergolong penelitian hukum (legal research), atau penelitian hukum normatif atau hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder belaka (Soekanto dan Mamudji, 2015:13).

Penelitian dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam bentuk peraturan sehingga biasa dikenal dengan penelitian analisis dokumen atau analisis isi (content analysis).

Sesuai dengan tujuan penelitian, peneliti fokus pada seluruh dokumen peraturan perundang-undangan mengenai atau berkaitan dengan BUM Desa, serta data sekunder yang berasal dari dokumen lain yang relevan. Untuk kepentingan tersebut peneliti menggunakan teknik dokumentasi. Dokumen yang menjadi pusat perhatian penelitian ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 dan Peraturan Bupati Karawang Nomor 35 Tahun 2020, serta dokumen terkait lainnya, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2014, PP Nomor 43 Tahun 2014 dan Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil, Hirarki dan Konteks Kebijakan BUM Desa

Dari perspektif kebijakan publik, sebagaimana dikemukakan Anderson bahwa in its positive form based on law and is authoritative (1978:4) dan Gerston bahwa the levels of government that address isuess (2020:8), maka berkenaan dengan BUM Desa ini terdapat regulasi negara/pemerintah pada berbagai tingkatan. Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015, Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019, dan Peraturan Bupati Karawang Nomor 35 Tahun 2020, merupakan wujud nyata kebijakan publik. Ini karena mengandung kepentingan publik berupa fakta masih adanya warga masyarakat pedesaan yang mengharapkan dapat hidup lebih baik secara sosial ekonomi.

Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 pada 15 Januari 2014 dan terdiri dari 122 pasal ini, mencabut dan

(8)

189

menyatakan tidak lagi berlaku Pasal 200 sampai dengan Pasal 216 mengenai desa yang terdapat dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berkenaan dengan BUM Desa, diatur dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 90. PP Nomor 43 Tahun 2014 yang terbit pada 30 Mei 2014, terdiri dari 159 pasal ini mencabut dan menyatakan tidak lagi berlaku PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Substansi yang berkenaan dengan BUM Desa diatur dalam Pasal 132 sampai dengan Pasal 142.

Ditetapkannya Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 pada 13 Februari 2015 yang terdiri dari 35 pasal, merupakan regulasi yang menyatakan tidak lagi berlaku ketentuan tentang BUM Desa yang terdapat pada Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Badan Usaha Milik Desa.

Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 sebagai pengganti Perda Nomor 13 Tahun 2014, yang terbit pada 12 Maret 2019 dan terdiri dari 2017 pasal ini, tidak menyebut UU Nomor 6 Tahun 2014 dan Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 sebagai salah satu dasar hukumnya, meskipun menyebut PP Nomor 43 Tahun 2014. Substansi yang berkaitan dengan pengaturan BUM Desa terdapat dalam Pasal 168 sampai dengan Pasal 180. Tidak disebutnya kedua regulasi pemerintah pusat tersebut merupakan sesuatu yang tidak tepat, karena penyantuman dasar hukum tertentu pada satu produk kebijakan memberikan fondamen legitimasi yuridis yang kokoh.

Peraturan Bupati Karawang Nomor 35 Tahun 2020 yang terbit pada 1 Maret 2018 yang terdiri dari 44 pasal, merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 180 Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019. Perda ini menyebut sebagai salah satu dasar hukumnya UU Nomor 6 Tahun 2014, PP Nomor 43 Tahun 2014 dan Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015.

Mengadopsi pandangan Bromley (1989:32-33), maka UU Nomor 6 Tahun 2014, beberapa undang-undang lain berkaitan dengan BUM Desa serta PP Nomor 43 Tahun 2014 berada pada policy level, selanjutnya dijabarkan Menteri Desa PDTT dalam Permen Nomor 4 Tahun 2015 yang berada pada organizational level. Di Kabupaten Karawang hal ini dijabarkan lebih lanjut dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 dan Peraturan Bupati Nomor 35 Tahun 2020 yang keduanya berada pada operational level.

Dari perspektif hirarki kebijakan publik, terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 ini merupakan pedoman bagi kebijakan pembentukan BUM Desa yang ditetapkan penyelenggara negara level nasional dan mengikat semua stakeholders. Selain itu, selaras pula dengan yang dikemukakan Gerston mengenai level pemerintahan, serta prinsip hierarki yang tercantum pada Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Intinya bahwa penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Terbitnya PP Nomor 43 Tahun 2014 merupakan sesuatu yang imperatif berdasarkan ketentuan beberapa pasal dalam UU Nomor 6 Tahun 2014. Fakta adanya penggantian atau pengubahan beberapa UU, PP, Permen, Perda dan Perbup tersebut menunjukkan adanya relasi interdependensi antara lembaga negara/pemerintah dengan lingkungannya. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Robert Eyestone bahwa kebijakan publik sebagai “the relationship of a government unit to its environment” (Anderson, 1978:2).

Ini sejalan dengan yang dikemukakan Dunn tentang sistem kebijakan (The Policy System) A Policy

(9)

190

System, or the overall institutional pattern within which policies are made, involves interrelationship among three elements : public policies, policy stakeholders, and policy environments.’

(1981:47). Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 dan beberapa undang-undang lain terkait dengan pedesaan, PP Nomor 43 Tahun 2014, Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015, Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019, dan Perbup Karawang Nomor 35 Tahun 2020, jelas pada dasarnya merupakan wujud kebijakan publik (Public Policy).

Hal ini merupakan respon terhadap lingkungan kebijakan (Policy Environment) berupa kondisi makin tumbuhnya kesadaran dan tuntutan masyarakat pedesaan terhadap bentuk pelayanan negara/pemerintah mengenai kondisi sosial ekonominya. Sebaliknya terbitnya berbagai regulasi itupun akan mempengaruhi lingkungan kebijakan.

Dalam kaitan dengan kebijakan administrasi negara mengenai aspek- aspek BUM Desa ini, pemerintah nasional/pusat sebagai pembentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri berposisi sebagai policy maker, pemerintah kabupaten sebagai policy implementor sekaligus sebagai policy maker yang lebih bersifat teknis operasional, serta pengelola BUM Desa dan warga masyarakat berkedudukan sebagai policy target.

Terbitnya semua regulasi tersebut karena peran para pemangku kepentingan (stakeholders) kebijakan pendirian BUM Desa, yang terdiri dari institusi dan aktor- aktor negara/pemerintah (governmental actors) dan aktor di masyarakat (nongovernmental actors). Aktor negara yaitu pejabat negara / pemerintah, lembaga kepresidenan, legislator, birokrat pemerintah serta aktor di masyarakat, diantaranya para pengusaha/pelaku bisnis, semuanya berada elemen sendiri yang dinamakan pemangku kepentingan kebijakan (Policy Stakeholders). Kedudukan para pembuat

kebijakan (policy maker) yang berada tataran lembaga legislatif maupun eksekutif di pusat dan daerah, yang dalam konteks sistem kebijakan merupakan bagian dari sistem politik, wewenang dan kewajibannya diatur dalam berbagai undang-undang yang mengaturnya. Antara regulasi pengembangan BUM Desa sebagai kebijakan publik dengan para pemangku kepentingan kebijakan ini terjadi hubungan saling pengaruh mempengaruhi

Secara skematis, hal tersebut dapat terlihat pada gambar berikut :

Gambar 1

Regulasi BUM Desa Dalam Sistem Kebijakan

Sumber : Adaptasi dari Dunn (1981: 47)

Mengacu dan mengadaptasi pandangan Bromley (1989:32-33), maka hadirnya UU Nomor 6 Tahun 2014, beberapa UU yang terkait, dan PP Nomor 43 Tahun 2014 berada pada policy level, sedangkan Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 berada pada organizational level. Pada operational level terdapat Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 dan Perbup Nomor 35 Tahun 2020. Dalam implementasinya, semua produk kebijakan tersebut menimbulkan pola-pola interaksi yang berlangsung pada tataran pelaksana kebijakan dan pada publik atau warga masyarakat sebagai target kebijakan. Secara faktual tentu akan banyak respon dari publik dan para pemangku kepentingan BUM Desa lainnya kepada pemerintah desa dan pengelola BUM Desa pada berbagai forum. Salah satu masukan tersebut berkenaan dengan kendala dan permasalahan ketika pembentukan BUM

(10)

191

Desa serta ketika para pengelola menjalankan tugasnya. Dalam kaitan ini sangat penting adanya evaluasi yang obyektif terhadap aspek implementasinya termasuk masukan dari para pemangku kepentingan program ini sebagai dasar penyempurnaan kebijakan di masa yang akan datang. Faktor lain yang harus juga mendapat perhatian adalah evaluasi terhadap substansi kebijakan, karena good policy merupakan modal awal bagi berjalannya kebijakan pendirian BUM Desa secara efektif.

Secara skematis, hierarki dan proses kebijakan pendirian BUM Desa ini dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Gambar 2.

Hirarki Kebijakan BUM Desa

Sumber: Adaptasi dari Bromley (1989:32-33)

Dari perspektif kebijakan publik, sebagaimana dikemukakan Anderson bahwa setiap keputusan atau kebijakan yang ditetapkan para pejabat publik itu harus berdasarkan hukum, maka Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa, dasar yuridisnya mengenai BUM Desa mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP Nomor 4 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain itu terdapat beberapa regulasi lain yang terkait dengan pendirian BUM Desa yang

menjadi landasan yuridisnya, diantaranya Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, dan Permen Desa PDTT Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewenangan Desa.

Demikian pula Perbup Karawang Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, yang dalam penyusunannya berdasarkan pada Pasal 180 Perda Nomor 4 Tahun 2019. Selain itu juga berdasarkan pada beberapa UU dan PP yang terkait, diantaranya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Permen Desa DTT Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa.

Substansi Kebijakan BUM Desa

Beberapa aspek pengaturan kebijakan pendirian BUM Desa adalah maksud, tujuan dan susunan organisasi lembaga ini, yang tercantum dalam beberapa regulai negara/pemerintah.

Maksud pendirian BUM Desa menurut Pasal 2 Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 adalah sebagai upaya menampung seluruh kegiatan di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antar-Desa. Tujuannya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 adalah meningkatkan perekonomian Desa;

mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa;

meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi Desa;

mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga; menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga; membuka lapangan kerja; meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi

(11)

192

Desa; dan meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.

Dari perspektif kebijakan publik, keberadaan pengaturan mengenai maksud dan tujuan ini sangat tepat dan penting.

Ini selaras dengan yang dikemukakan Anderson bahwa salah satu konsep kebijakan publik adalah purposive or goal oriented action rather than random or chance behavior is our concern (1978:3). Pengaturan dalam Permen Desa PDTT tersebut menjadi panduan bagi para implementor di daerah ketika menetapkan kebijakan yang lebih operasional.

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 terdapat empat pasal tentang BUM Desa, tetapi tidak secara khusus yang berkaitan dengan organisasinya. Seharusnya hal tersebut diatur meskipun tidak harus secara detail, sehingga menjadi rujukan ketika dijabarkan ke dalam kebijakan yang lebih operasional. Beberapa karakteristik organisasi BUM Desa tampak sebagaimana diatur dalam beberapa regulasi, sebagai berikut :

a. Berdasarkan Pasal 132 ayat (3) PP Nomor 43 Tahun 2014, organisasi pengelola BUM Desa terpisah dari pemerintahan desa, yang secara struktural paling sedikit terdiri atas penasihat dan pelaksana operasional.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 134 lembaga ini bertugas untuk mengurus dan mengelola BUM Desa sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Ketegasan pada terma ”terpisah” merupakan klausul yang sangat penting untuk terwujudnya organisasi yang sehat.

b. Bentuk organisasi BUM Desa dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (1) Permen Desa DTT. Unit usaha yang berbadan hukum dapat berupa lembaga bisnis yang kepemilikan sahamnya berasal dari BUM desa dan masyarakat. Ketegasan

ketentuan ini memberikan kepastian hukum dan organisasi ketika pelaksana operasional akan melaksanakan tugasnya.

c. Berdasarkan Pasal 9 Permen Desa DTT Nomor 4 Tahun 2015, organisasi pengelola BUM desa terpisah dari organisasi pemerintahan desa, yang susunannya terdiri dari penasihat, pelaksana operasional dan pengawas, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1). Kewajiban penasihat diatur dalam Pasal 11 ayat (2), sedangkan kewenangannya tersebut dalam ayat (3). Ketegasan tentang keterpisahan dari organisasi pemerintah desa merupakan salah satu karakteristik organisasi yang penting diatur dalam kebijakan pendirian BUM Desa ini.

d. Tugas pelaksana operasional sebagaimana tersebut dalam Pasal 12 ayat (1) adalah mengurus dan mengelola BUM Desa sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Adapun kewajibannya sebagaimana tersebut dalam ayat (2) adalah melaksanakan dan mengembangkan BUM Desa agar menjadi lembaga yang melayani kebutuhan ekonomi dan/atau pelayanan umum masyarakat Desa;

menggali dan memanfaatkan potensi usaha ekonomi Desa untuk meningkatkan Pendapatan Asli Desa;

dan melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga perekonomian Desa lainnya. Adapun wewenangnya tersebut dalam ayat (3) yaitu membuat laporan keuangan seluruh unit-unit usaha BUM Desa setiap bulan; membuat laporan perkembangan kegiatan unit-unit usaha BUM Desa setiap bulan;

memberikan laporan perkembangan unit-unit usaha BUM Desa kepada masyarakat Desa melalui Musyawarah Desa sekurang- kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. Ketegasan tentang tugas

(12)

193

dan kewajiban pelaksana operasional sebagai the operating core dalam implementasi kebijakan pendirian BUM Desa ini sangat penting diatur dalam regulasi pemerintah.

e. Berdasarkan Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 Pasal 168 ayat (5), organisasi pengelola BUM Desa terpisah dari organisasi pemerintahan desa, yang susunannya sebagaimana tersebut dalam ayat (6) paling sedikit terdiri dari penasihat dan pelaksana operasional. Dalam perda ini tidak diatur lebih lanjut tentang tugas, wewenang dan kewajiban dari penasihat dan pelaksana operasional.

f. Pelaksana operasional tugasnya menurut Pasal 170 ayat (3) adalah mengurus dan mengelola BUM Desa sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pengaturan tentang tugas organ organisasi sangat penting, meskipun dalam pasal tersebut tidak diatur mengenai wewenang dan kewajibannya.

Terdapat beberapa ketentuan yang tidak jelas/rancu, yaitu :

a. Kepala Desa dalam kedudukan sebagai penasihat sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Permen Desa DTT Nomor 4 Tahun 2015, memiliki kewajiban sebagaimana disebut dalam ayat (2) yaitu memberikan nasihat kepada Pelaksana Operasional dalam melaksanakan pengelolaan BUM Desa; memberikan saran dan pendapat mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengelolaan BUM Desa; dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUM Desa. Kewenangannya sebagaimana tersebut dalam ayat (3) adalah meminta penjelasan dari Pelaksana Operasional mengenai persoalan yang menyangkut pengelolaan usaha Desa; dan melindungi usaha Desa terhadap hal-

hal yang dapat menurunkan kinerja BUM Desa. Salah satu tugas penasihat yang dapat mengendalikan kegiatan BUM Desa memberikan kesan tumpah tindih atau kerancuan dengan tugas elemen lain dalam susunan organisasi BUM Desa yaitu adanya pengawas.

b. Pada Pasal 132 ayat (5) PP Nomor 43 Tahun 2014, karena kedudukannya, kepala desa menjabat secara ex officio sebagai penasihat organisasi pengelola BUM Desa.

Tugasnya sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) adalah melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada pelaksana operasional dalam menjalankan kegiatan dan pengelolaan usaha desa.

Kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (2) adalah meminta penjelasan pelaksana operasional mengenai pengurusan dan pengelolaan usaha desa. Selain itu, kepala desa juga berwenang mengangkat dan memberhentikan pelaksana operasional BUM Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 132 ayat (6). Tampak bahwa tugasnya sebagai penasihat yang antara lain harus melaksanakan pengawasan akan menimbulkan tumpah tindih dengan elemen organisasi yang lain, yaitu pengawas.

c. Pada Pasal 16 Perbup Karawang Nomor 35 Tahun 2020 tidak terdapat kejelasan tentang Ketua Pengawas yang tidak sekaligus merangkap sebagai anggota. Padahal Wakil Ketua dan Sekretaris Pengawas secara eksplisit disebutkan sebagai merangkap sebagai anggota.

Kejelasan tentang kerangkapan sebagai Ketua dan anggota ini penting disebutkan karena berkenaan dengan otoritas yang melekat pada momen tertentu, misalnya pengambilan keputusan dalam rapat.

d. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Perbup Karawang Nomor 35 Tahun 2020,

(13)

194

kepala desa secara ex officio sebagai penasihat. Kewajiban penasihat sebagaimana tersebut pada Pasal 9 ayat (1) adalah memberikan nasihat kepada pelaksana operasional dalam melaksanakan pengelolaan BUM Desa, memberikan saran dan pendapat mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengelolaan BUM Desa dan mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUM Desa. Tampak pula bahwa kewajiban untuk mengendalikan yang melekat sebagai Penasihat ini terkesan tumpang tindih dan menimbulkan kerancuan dengan elemen lain yang tugasnya sebagai pengawas.

Terdapat ketentuan yang kontradiktif, yaitu

a. Pasal 10 ayat (2) huruf c Perbup Nomor 35 Tahun 2020 yang menyebutkan bahwa salah satu kewajiban Penasihat adalah mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUM Desa. Hal ini menjadi hal yang kontradiktif karena secara organisatoris fungsi kepenasihatan itu berbeda secara mendasar dengan fungsi pengendalian.

b. Pasal 13 yang menyebutkan bahwa susunan kepengurusan BUM Desa dipilih oleh masyarakat desa melalui Musyawarah Desa, diantaranya bertentangan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (4), bahwa Pelaksana Operasional diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desa.

Terdapat ketentuan yang kurang lengkap, yaitu :

a. Pada Pasal 170 Perda Nomor 4 Tahun 2019, hanya diatur tentang tugas Pelaksana Operasional, sedangkan kewajibannya sebagai the operating core tidak diatur. Secara organisatoris, tugas/wewenang dan

kewajiban suatu elemen organisasi seharusnya diatur secara eksplisit.

b. Pada Pasal 2 ayat (1) Perbup Nomor 35 Tahun 2020 tidak terdapat terma

“pengurusan”. Seharusnya selaras dengan judul perbup mengenai Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, muncul terma “pengurusan”

pada pasal tersebut.

c. Pada Pasal 12 Perbup Nomor 35 Tahun 2020 tidak diatur tentang persyaratan menjadi pengawas, terutama syarat minimal pendidikan

dan minimal lama

berdomisili/menetap di desa. Aspek ini perlu dikemukakan karena berkaitan dengan kualitas kinerjanya sebagai organ organisasi yang melaksanakan fungsi fact finding, serta potensi akseptabilitasnya sebagai pengawas di mata masyarakat.

d. Pada Pasal 12 Perbup Nomor 35 Tahun 2020 tidak diatur tentang lembaga yang berwenang memilih dan menetapkan personalia Pengawas. Hal ini berpotensi timbulnya over use of authority dari kepala desa yang kesehariannya dominan dalam pelaksanaan pemerintahan.

e. Pengawas sebagaimana tersebut dalam Pasal 17 ayat (3) Perbup Nomor 35 Tahun 2020 mempunyai kewajiban menyelenggarakan rapat umum untuk membahas kinerja BUM Desa sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali. Adapun wewenangnya dalam Pasal 18 adalah menyelenggarakan rapat umum pengawas untuk pemilihan dan pengangkatan pengurus, penetapan kebijakan pengembangan kegiatan usaha dari BUM Desa dan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pelaksana operasional. Pada Pasal 17 dan 18 tidak ada yang secara eksplisit mengatur tentang tugas dan

(14)

195

wewenang sebagai pengawas yang seharusnya fact finding tentang perbandingan antara target pekerjaan dengan capaian pekerjaan.

PENUTUP

Simpulan

Publik dihadapkan pada aneka permasalahan, tidak terkecuali yang berdiam di pedesaan. Perhatian terhadap masalah publik ini, setelah melalui serangkaian proses dalam tatanan infrastuktur maupun suprastruktur politik, ditetapkan menjadi kebijakan publik, diantaranya kebijakan publik mengenai pendirian BUM Desa. Terdapat hubungan yang erat antara administrasi publik, kebijakan publik dan pendirian BUM Desa sebagai salah satu area substantif kebijakan publik. Bahwa produk kebijakan publik tentang atau yang berkaitan dengan BUM Desa yang meliputi UU Nomor 6 Tahun 2014, dan beberapa UU terkait, PP 43 Nomor Tahun 2014, Permen Desa DTT Nomor 4 Tahun 2015, Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019, dan Perbup Karawang Nomor 35 Tahun 2020, menunjukkan adanya levelering dalam tatanan kebijakan publik secara keseluruhan. Terdapat dua substansi kebijakan yang kontradiktif, lima aspek yang kurang lengkap/tidak jelas, dan empat aspek yang rancu/tidak jelas.

Untuk efektifnya implementasi kebijakan, perlu penyempurnaan terhadap beberapa regulasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James E. (1978). Public Policy-Making. Second Edition.

New York: Holt, Rinehart and Winston.

Boone, Louis E. dan David L. Kurtz.

(2006). Contemporary Business.

Mason, USA : Thomson South- Western.

BPS (2021). Kabupaten Karawang Dalam Angka.

Bromley, Daniel W, (1989). Economic Interest and Institution. The Conceptual Foundation of Public Policy. New York: Basil Blackwell Inc.

Dunn, William N. (1981). Public Policy Analysis: An Introduction. Prentice Hall Inc.Englewood Cliffts.

Gerston, Larry N. (2010). Public Policy Making. Process and Principles.

Third Edition. New York: E Sharpe.

Griffin, Ricky W. dan Ronald J. Ebbert.

(2006). Business. Eight Edition.

New Jersey : Perason Education International.

Henry, N. (1989). Public Administration and Public Affaairs. Fourth Edition. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentice Hall International, Inc.

Hughes, Owen S. (1994). Public Management & Administration. An Introduction. New York: St. Martin Press.

Keban, Yeremias T. (2004). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Konsep, Teori dan Isu.

Yogyakarta : Gaya Media.

Lawrence, Anne T. and James Weber.

(2014). Business and Society.

Stakeholders, Ethics, and Public Policy. New York: McGraw-Hill International Edition.

Lubis, S.B. H. dan Martani Husaini.

(1987). Teori Organisasi (Suatu

(15)

196

Pendekatan Makro). Jakarta : PAU Ilmu-Ilmu Sosial.

MacRae Jr. D. dan Wilde James. (1989).

Policy Analysis for Public Decisions. New York: University Press of America.

Michael, Ewen J. (2006). Public Policy.

The Competitive Framework.

Victoria: Oxford University Press.

Narayanan, V.K. dan Raghu Nath.

(1993). Organization Theory. A Strategic Approach. Homewood IL Boston : Richard D. Irwin Inc.

Peraturan Bupati Karawang Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa

Perda Kabupaten Karawang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa

Permen Desa PDTT Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa

Post, James E dkk. (1999). Business and Society. Corporate Strategy, Public Policy, Ethics. Boston, Irwin McGraw-Hill.

PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pride, William M., Robert J. Hughes dan Jack R. Kapoor. (2014). Business.

Twelfth Edition. Australia : South- Western Ceugage Learning.

Purnamasari, Hanny dan Rachmat Raamdani (2019). Evaluasi Program Badan Usaha Milik Desa Oleh Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa di

Kabupaten Karawang.

International Journal of Demos.

Volume 1 Issue 1, April 2019.

Ranson S. dan John Stewart. (1994).

Management for The Public Domain. Enabling The Learning Society. New York: St. Martins Press.

Robbins, S. P. (1990). Organization Theory : Structures, Designs and Applications. Third Edition.

London : Prentice-Hall International, Inc.

Rosenbloom, David H. dkk (2015).

Public Administration.

Understanding Management, Politics, and Law in The Public Sector. Eighth Edition. New York : McGraw-Hill International Edition.

Rosenbloom, David H. dkk. (1994).

Contemporary Public

Administration. New York : McGraw-Hill. Inc.

Siagian, S. P., (2008). Filsafat Administrasi. Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara

UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 2015, peneliti terlibat dalam perumusan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendesa, PDTT) tentang pembangunan

Pendapatan bersih adalah hasil yang diperoleh petani baik petani yang memproduksi biji basah maupun biji kering yang dinyatakan dalam rupiah yang diperoleh

Adanya komitmen dari Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem transportasi perkotaan pada kawasan percontohan, sesuai dengan kaidah-kaidah transportasi. Adanya kerjasama

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab IV, dapat disimpulkan sebagai berikut. Proses pengembangan media pembelajaran berbasis Sparkol

- Roset basal/roset akar : pada setiap buku hanya terdapat 1 daun, namun karena ruas batangnya pendek, daun tersusun rapat pada pangkal daun - Roset apical/roset

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan

Berdasarkan penulusuran peneliti terhadap Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa PDTT) yang mengatur tentang prioritas penggunaan dana

Ketiga-tiga kesan pengalaman pembelajaran informal dalam kalangan sukarelawan bersesuaian dengan tiga konsep dalam teori humanistik yang tergolong dalam teori pembelajaran oleh