• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE DALAM TRANSAKSI CASH ON DELIVERY (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH MUAMALAH) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE DALAM TRANSAKSI CASH ON DELIVERY (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH MUAMALAH) SKRIPSI"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE DALAM TRANSAKSI CASH ON DELIVERY (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN

FIKIH MUAMALAH)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Arleani Firizki Rimanadi 11170490000063

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/ 2022 M

(2)

ii

PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE DALAM TRANSAKSI CASH ON DELIVERY (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN

FIKIH MUAMALAH)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Arleani Firizki Rimanadi 11170490000063

Pembimbing:

Dr. Nahrowi, S.H., M.H.

NIP. 197302151999031002

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H/ 2022 M

(3)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda-tangan di bawah ini,

Nama : Arleani Firizki Rimanadi

NIM : 11170490000063

Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah Fakultas : Syariah dan Hukum

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Januari 2022

Arleani Firizki Rimanadi

(5)

v ABSTRAK

Arleani Firizki Rimanadi, NIM 11170490000063. PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE DALAM TRANSAKSI CASH ON DELIVERY (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH MUAMALAH). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443 H/2021 M.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan praktik pembatalan sepihak yang dilakukan oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery beserta akibatnya, seta menganalisis perspektif hukum positif dan fikih muamalah terhadap pembatalan sepihak yang dilakukan oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif empiris dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder yang terbagi menjadi tiga, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran kepustakaan, penelusuran dokumen dan wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya praktik pembatalan sepihak yang dilakukan oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery merupakan perbuatan wanprestasi. Pasal 1517 KUH Perdata menyebutkan bahwa jika pihak pembeli tidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu wanprestasi yang memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.

Berdasarkan syarat dan ketentuan Shopee tentang transaksi cash on delivery, pembeli/customer tidak diperkenankan untuk membuka pesanan sebelum membayar.

Dalam Pasal 19 UU ITE para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Artinya, segala syarat dan ketentuan yang berlaku harus disepakati dan dipatuhi. Namun jika barang yang dikirimkan kepada pembeli tidak sesuai atau terdapat kerusakan, pembeli berhak atas kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, dan penjual wajib memberikannya sebagaimana Undang-Undang Nomor 8 Tahnu 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 mengenai kewajiban pelaku usaha. Menurut Fikih Muamalah, pembatalan akad hukumnya diperbolehkan apabila penjual memberikan keridhaannya atas pembatalan transaksi tersebut. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan pada Q.s. An-Nisa (4): 29 bahwa suatu transaksi harus didasarkan pada kerelaan para pihak. Selain itu, pembatalan yang dilakukan oleh pembeli harus disesuaikan dengan syariat Islam.

Kata Kunci: Pembatalan Sepihak, E-commerce, Cash on delivery.

Pembimbing Skripsi : Dr. Nahrowi, S.H, M.H.

Daftar Pustaka : 1994 s.d. 2021

(6)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisanya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih pemggunaannya terbatas.

a. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

tidak dilambangkan

ب

b be

ت

t te

ث

ts te dan es

ج

j Je

ح

h ha dengan garis bawah

خ

kh ka dan ha

د

d de

ذ

dz de dan zet

ر

r Er

ز

z zet

س

s es

ش

sy es dan ye

(7)

vii

ص

s es dengan garis bawah

ض

d de dengan garis bawah

ط

t te dengan garis bawah

ظ

z zet dengan garis bawah

ع

‘ koma terbalik di atas hadap kanan

غ

gh ge dan ha

ف

f ef

ق

q Qo

ك

k ka

ل

l el

م

m em

ن

n en

و

w we

ه

h ha

ء

` apostrop

ي

y Ya

b. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

(8)

viii

ـــَـــ

a fathah

ـــِـــ

i kasrah

ـــُـــ

u dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي_َ__ ai a dan i

و_ُ__ au a dan u

c. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اـَــ â a dengan topi di atas

يِــ î i dengan topi di atas

وـُــ û u dengan topi di atas

d. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam (لا), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:

داهتجلإا

= al-ijtihad

ةصخرلا

= al-rukhsah, bukan ar-rukhsah e. Tasydîd(Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasyîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak

(9)

ix

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

ةعفشلا

= al-syuf’ah, tidak ditulis asy-syuf’ah.

f. Ta Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1

ةعيرش

syarî’ah

2

ةيملاسلإاةعيرشلا

al-syarî’ah al-islâmiyah 3

ةنراقم هاذملاب

muqâranat al-madzâhib

g. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.

Misalnya,

يراخبلا

= al-Bukhâri, tidak ditulis al-al-Bukhâri.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama

(10)

x

tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

h. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan beberapa contoh alih aksara dengan pedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1

ةرورضلا حيبت

تاروظحملا

al-darûrah tubîhu al-mahzûrât

2

يملاسلإا داصتقلإا

al-iqtishâd al-islâmî 3

هقفلا لوصأ

usûl al-fiqh

4

لصلأا يف

ءايشلأا

ةحابلإا

al-‘asl fî al-asyyâ’ al ibâhah 5

ةلسرملا ةحلصملا

al-maslahah al-mursalah

(11)

xi

KATA PENGANTAR

رلا ِه للّا ِمْسِب مْ ح

مْيِح رلا ِن

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji serta syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik serta hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE DALAM TRANSAKSI CASH ON DELIVERY (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH MUAMALAH)” dengan sebaik- baiknya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, kepada keluarganya, sahabatnya, serta para pengikutnya.

Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, namun besar harapan penulis setidaknya karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya, atau dapat menjadi sumber inspirasi untuk penelitian-penelitian berikutnya.

Merupakan suatu anugerah bagi penulis atas terselesaikannya skripsi ini dengan segala upaya, bantuan, bimbingan maupun arahan dari berbagai pihak dalam proses penulisan skripsi ini, maka dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S, Ag., S.H., M.H., M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak AM. Hasan Ali, M.A. selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah dan Bapak Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(12)

xii

3. Bapak Dr. Nahrowi., S.H., M.H. selaku Pembimbing Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran, keikhlasan serta kesabaran dalam membimbing, memberikan arahan, saran dan motivasi yang sangat berharga kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Semoga Allah membalas segala kebaikan bapak.

4. Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat

6. Pimpinan beserta Staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, guna mengadakan studi kepustakaan dalam penyelesaian skripsi.

7. Ega Shalsa Andari selaku owner Beautysweety_id, Nurul Fitri Febriyanti selaku owner The3angle.ic dan Ghina Maulida selaku owner Athelaskin.id yang telah berbaik hati meluangkan waktunya untuk mengizinkan penulis melakukan penelitian seta memberikan data-data dan juga informasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Wagiman dan Ibu Dewi Astorini yang menjadi alasan utama bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas segala doa, dukungan dan pengorbanan tanpa batas yang telah diberikan kepada penulis. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan dalam hidup bapak dan ibu. Selanjutnya adik tercinta Abdur Rasyid Rimanadi dan kakak tercinta Bagus Armega Rimanadi yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan penuh kepada penulis hingga lulus.

9. Ibu Inayah yang telah penulis anggap sebagai ibu kedua penulis. Terimakasih telah mendoakan dan memberikan dukungan serta nasihat kepada penulis.

(13)

xiii

10. Sepupu terbaik Ragil Ayu Renda Sari yang telah meminjamkan laptop kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. Tanpa bantuannya penulis tidak akan sampai hingga di titik ini. Terimakasih mba, semoga kebaikan selalu menyertai mba agil.

11. Sahabat-sahabat penulis yang paling baik. Sahabat sejak masa Aliyah yaitu Frida, Sofy, Dzaki yang selalu memberikan motivasi dan nasihat baik. Sahabat di rumah yaitu Egasyal, Haeni, Sarah yang menjadi pelipur lara dikala gundah.

Sahabat di kampus yaitu Febby Handayani dan Putri Sinalsalisa yang selalu menetap dan setia menemani penulis selama masa perkuliahan. Dan Sari Nurfajriyati yang selalu mendukung penulis dalam segala kondisi. Terimakasih kalian telah menjadi pendengar yang baik dan tempat berkeluh kesah untuk penulis, yang terpenting selalu menemani penulis baik suka maupun duka. Love you bestie!

12. Keluarga, saudara dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Terimakasih telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

Jakarta, 12 November 2021

Arleani Firizki Rimanadi

(14)

xiv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI... vi

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

A. Kerangka Konseptual ... 12

B. Kajian Teoretis ... 13

1. Perjanjian ... 13

a. Pengertian Perjanjian... 13

b. Syarat Sah Perjanjian ... 15

c. Akibat Hukum Perjanjian Sah ... 18

d. Wanprestasi ... 19

e. Berakhirnya Perjanjian ... 20

f. Pembatalan Perjanjian ... 20

2. Akad ... 24

(15)

xv

a. Pengertian Akad ... 24

b. Rukun dan Syarat Akad ... 25

c. Jenis-Jenis Akad ... 28

d. Berakhirnya Akad ... 30

3. E-commerce ... 31

a. Pengertian E-commerce ... 31

b. Jenis-Jenis E-commerce ... 33

c. Perjanjian Jual Beli Melalui E-commerce... 34

4. Cash on Delivery ... 37

a. Konsep Transaksi Cash on Delivery ... 37

C. Tinjauan (Review) Penelitian Terdahulu ... 39

BAB III PROFIL DAN MEKANISME PADA E-COMMERCE SHOPEE ... 43

A. Profil Shopee... 43

B. Hubungan Hukum Para Pihak ... 44

C. Alur Pendaftaran Akun Shopee ... 48

D. Prosedur Berjualan di Shopee ... 49

BAB IV PRAKTIK TRANSAKSI CASH ON DELIVERY DAN AKIBAT PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH MUAMALAH ... 51

A. Praktik Transaksi Cash on Delivery Pada E-commerce Shopee ... 51

1. Mekanisme Transaksi COD Shopee ... 51

2. Syarat dan Ketentuan COD Shopee ... 55

3. Implementasi Akad Wakalah dalam Transaksi Cash on delivery ... 58

B. Praktik dan Akibat Pembatalan Sepihak oleh Customer Shopee dalam Transaksi Cash on delivery ... 61

1. Praktik Pembatalan Sepihak oleh Customer Shopee dalam Transaksi Cash on delivery ... 61

(16)

xvi

2. Akibat dari Pembatalan Sepihak oleh Customer Shopee dalam

Transaksi Cash on Delivery bagi Seller ... 64

3. Sanksi bagi Customer Shopee atas Pembatalan Sepihak dalam Transaksi Cash on Delivery ... 65

C. Perspektif Hukum Positif dan Fikih Muamalah Terhadap Pembatalan Sepihak oleh Customer Shopee dalam Transaksi Cash on Delivery ... 66

1. Perspektif Hukum Positif Terhadap Praktik Pembatalan Sepihak Oleh Customer Shopee dalam Transaksi Cash on Delivery ... 66

2. Perspektif Fikih Muamalah Terhadap Praktik Pembatalan Sepihak Oleh Customer Shopee dalam Transaksi Cash on delivery ... 70

BAB V PENUTUP ... 73

A. Simpulan ... 73

B. Rekomendasi ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

LAMPIRAN ... 82

(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan teknologi informasi yang sangat pesat didukung oleh hadirnya internet. Kehadiran internet memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat modern dalam berbagai bidang. Internet dapat digunakan oleh masyarakat sebagai sarana informasi dan komunikasi, sarana pengetahuan dan edukasi, ataupun sebagai sarana hiburan. Selain itu, pada era yang semakin modern ini internet juga kerap dimanfaatkan dalam bidang ekonomi yaitu untuk berbisnis yang diistilahkan dengan perdagangan elektronik atau e-commerce.

Memasuki era revolusi industri 4.0, kemuculan e-commerce menjadi salah satu bukti dari digitalisasi bisnis. E-commerce diciptakan sebagai media bertransaksi atau jual beli barang/jasa secara praktis menggunakan jaringan internet. Bagi pelaku usaha, e-commerce ini menjadi solusi untuk melakukan ekspansi usaha bahkan hingga lintas negara atau Internasional. Sedangkan bagi pembeli, e-commerce sangat membantu untuk memenuhi kebutuhannya dalam berbelanja secara cepat dan praktis. Oleh karena itu, e-commerce sangat menguntungkan bagi pelaku usaha maupun pembeli, sehingga minat terhadap penggunaan e-commerce ini cukup tinggi.

Pada tahun 2018, Indonesia mendapatkan peringkat pertama dalam 10 besar negara pertumbuhan e-commerce dengan nilai pertumbuhan 78 persen.

Sementara peringkat kedua diraih oleh negara Meksiko dengan nilai pertumbuhan 59 persen.1 Penggunaan e-commerce di Indonesia yang mempengaruhi angka pertumbuhannya menandakan bahwa jumlah transaksi secara online atau jual beli

1 Tim Kominfo, Kemkominfo: Pertumbuhan Ecommerce Indonesia Capai 78 Persen, diakses dari https://kominfo.go.id/2019/02/28/kemkominfo-pertumbuhan-e-commerce-indonesiacapai-78- persen/ pada tanggal 27 Januari 2021

(18)

online di Indonesia mengalami peningkatan. Dan angka tersebut akan terus melonjak dari tahun ke tahun. Bahkan menurut Analytic Data Advertising (ADA), aktivitas belanja online naik 400% sejak Maret 2020 akibat pandemi covid. Bank Indonesia (BI) mencatat, transaksi pembelian lewat e-commerce pada bulan Maret 2020 mencapai 98,3 juta transaksi. Angka tersebut meningkat 18,1% dibandingkan bulan Februari.2

Perkembangan e-commerce yang sangat signifikan disebabkan karena saat ini banyak marketplace yang menguasai pasar Indonesia. Marketplace memberikan fasilitas untuk bertransaksi bagi pelaku usaha dan pembeli. Tidak heran jika marketplace menjadi pilihan terbaik dan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus berinteraksi dengan banyak orang. Terdapat beberapa marketplace yang beredar di Indonesia, seperti Shopee, Lazada, Tokopedia, BukaLapak dan lain-lain. Tentunya marketplace tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing.

Salah satu marketplace yang populer di Indonesia adalah Shopee. Berbagai fitur yang disediakan platform Shopee mendukung penggunanya untuk memenuhi kepentingannya dalam bertransaksi. Fitur cash on delivery merupakan salah satu fiturnya yang sedang marak digunakan. Cash on delivery merupakan pembayaran pesanan yang dilakukan ketika pesanan tersebut tiba pada alamat yang dituju dan pembayaran tersebut dilakukan melalui kurir. Metode pembayaran cash on delivery sering digunakan karena dianggap sebagai transaksi yang cukup praktis oleh para pembeli lantaran pembeli dapat membayar setelah pesanan tiba di tempat tujuan. Selain itu, cash on delivery juga menjadi solusi bagi pembeli yang tidak memiliki kartu kredit atau rekening bank, sehingga pembeli tetap dapat melakukan transaksi tanpa harus memiliki akun bank.

2 Tim BPKN, Belanja Online Meningkat 400 Persen, BPKN: Masih Banyak Dikeluhkan Konsumen, diakses dari www.bpkn.go.id/2020/06/11/Belanja-Online-Meningkat-400-Persen-BPKN- Masih-Banyak-Dikeluhkan-Konsumen pada tanggal 20 Februari 2021

(19)

Sejak bulan Febuari 2020, platform Shopee sedang gencar-gencarnya mempromosikan fitur cash on delivery melalui iklan di berbagai media seperti televisi maupun sosial media. Namun disamping itu, dalam praktiknya sering terjadi permasalahan yaitu pembatalan sepihak oleh pembeli. Pembeli kerap menolak pembayaran pesanan yang seharusnya dilakukan melalui kurir.

Pembatalan sepihak ini terjadi disebabkan karena berbagai alasan. Bahkan dalam kasusnya, setelah pembatalan terjadi tidak jarang pembeli yang tidak memberikan klarifikasi atau kejelasan tentang alasan pembatalan yang dilakukannya. Kasus seperti ini tentunya membuat pelaku usaha merasa dirugikan karena pembeli tidak dapat memenuhi kesepakatan yang telah dibuat sejak awal pemesanan.

Kesepakatan yang dibuat antara pembeli dengan penjual dalam jual beli online dengan pembayaran cash on delivery, terjadi sejak pembeli mengirim pemesanan kepada penjual dan penjual menerimanya. Sama halnya dengan jual beli konvensional, dalam jual beli online kesepakatan merupakan perjanjian bagi para pihak. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, bahwa transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima.

Perjanjian tersebut disebut dengan kontrak elektronik. Meskipun pembeli dan penjual tidak bertemu secara fisik, namun kesepakatan yang dibuat dengan kesadaran para pihak tetap dianggap sah. Sebagaimana 18 ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, menurut Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat secara sah dan mengikat berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya, tidak dapat dibatalkan sepihak tanpa persetujuan kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Dalam Fikih Muamalah, proses jual beli konvensional maupun online, keduanya tidak diperkenankan untuk memberatkan salah satu pihak. Proses ijab qabul dalam Islam dikatakan sah, apabila tidak ada unsur keterpaksaan atau ada

(20)

yang dirugikan dari salah satu pihak. Oleh karena itu walaupun proses ijab qabul tersebut tidak diikrarkan secara lisan dan langsung, namun ada tindakan konkret berupa syarat dan ketentuan yang telah dipahami atau disetujui oleh pembeli.

Dalam hal tersebut ada kerelaan pembeli untuk terikat pada ketentuan tata cara pembelian, pembayaran dan pengiriman barang.3

Salah satu kasus pembatalan sepihak dalam transaksi cash on delivery yang sedang ramai diperbincangkan adalah video pembeli yang memarahi dan memaki kurir karena menerima pesanan yang tidak sesuai dengan gambar atau deskripsi.

Pembeli merasa tidak terima karena menerima pesanan yang tidak sesuai akhirnya pesanan tersebut dibatalkan dan harganya tidak dibayarkan.4 Terjadinya pembatalan tersebut disebabkan karena pembeli yang malas membaca dan memahami syarat dan ketentuan terkait transaksi cash on delivery.

Pembahasan pembatalan sepihak ini sangat menarik untuk dikaji dikarenakan banyaknya peminat metode pembayaran cash on delivey di Shopee sedangkan pada praktiknya juga banyak pembeli yang melakukan pembatalan secara sepihak. Maka berdasarkan permasalahan di atas perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE DALAM TRANSAKSI CASH ON DELIVERY (PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH MUAMALAH)’’.

3 Retno Dyah Pekerti dan Eliada Herwiyanti, Transaksi Jual Beli Online dalam Perspektif Syariah Madzhab Asy-Syafi’I, Jurnal Ekonomi, Bisnis dan Akuntansi (JEBA) Vol. 20 No. 02, Tahun 2018

4 Shella Latifa A, Viral Kurir Dimaki Pembeli Saat Antar Barang Pesanan COD, YLKI:

Tindakan yang Tidak Bisa Dibenarkan, diakses dari

https://www.tribunnews.com/nasional/2021/05/17/viral-kurir-dimaki-pembeli-saat-antar-barang- pesanan-cod-ylki-tindakan-yang-tak-bisa-dibenarkan pada tanggal 27 Mei 2021

(21)

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalahnya adalah : a. Mekanisme jual beli online dengan sistem cash on delivery

b. Gagalnya pembayaran transaksi cash on delivery oleh pembeli c. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan sepihak d. Kerugian pelaku usaha karena sistem cash on delivery

e. Tidak diberikannya kejelasan atau klarifikasi terkait alasan pembeli membatalkan transaksi sepihak.

f. Hubungan hukum para pihak dalam transaksi cash on delivery g. Akad yang digunakan dalam transaksi cash on delivery

h. Penyelesaian sengketa dalam transaksi e-commerce 2. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih jelas dan terarah sehingga pembahasannya tidak terlalu luas, maka penulis memberikan batasan masalah yang dibahas berdasarkan judul yang diteliti yaitu pembatalan sepihak dalam transaksi cash on delivery perspektif hukum positif dan fikih muamalah. Adapun dalam penelitian ini, subjek penelitian yang diteliti oleh penulis berfokus pada customer Shopee atau pembeli asli pada marketplace Shopee milik penjual.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diketahui fokus pembahasan yang ingin penulis bahas adalah :

a. Bagaimana praktik transaksi cash on delivery pada e-commerce Shopee?

b. Bagaimana praktik dan akibat pembatalan sepihak oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery?

c. Bagaimana perspektif hukum positif dan fikih muamalah terhadap pembatalan sepihak oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery?

(22)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan tujuan untuk :

a. Untuk menjelaskan praktik transaksi cash on delivery pada e-commerce Shopee

b. Untuk menjelaskan praktik pembatalan sepihak oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery

c. Untuk menganalisis perspektif hukum positif dan fikih muamalah terhadap pembatalan sepihak oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery 2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis

a. Manfaat Teoretis

1) Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan secara teoritis terhadap pengembangan hukum ekonomi syariah terkhusus mengenai pembatalan transaksi yang dilakukan secara sepihak oleh konsumen dalam perspektif hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia

2) Diharapkan dapat dijadikan referensi atau rujukan bagi peneliti selanjutnya

b. Manfaat Praktis

1) Bagi platform Shopee, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan tentang fitur transaksi cash on delivery di masa yang akan datang.

2) Bagi penjual online, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan untuk penjual dalam mempertimbangkan pengaktifan fitur cash on delivery pada toko onlinenya, baik dari sisi keuntungan pengaktifannya maupun resiko dalam pengaktifannya.

(23)

3) Bagi masyarakat, kajian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat agar tidak sewenang-wenang dalam membatalkan transaksi secara sepihak sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif empiris yang merupakan gabungan dari penelitian normatif dan penelitian empiris. Data utamanya adalah data normatif yang didukung dengan data empiris. Penelitian hukum normatif empiris ini dimaksudkan untuk melakukan penelitian dengan melihat peraturan perundang-undangan kemudian melihat dari segi praktik.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum normatif empiris pada kajian penulis, kemudian dipertajam dengan suatu pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

3. Sumber Data a. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

1) Bahan Hukum Primer. dalam penelitian ini terdapat beberapa bahan hukum primer yang digunakan, antara lain:

a) Al-Qura’an dan Hadis

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Ketiga tentang Perikatan;

(24)

c) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri atas buku, jurnal, artikel, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. diantaranya:

a) Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, 2011.

b) P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, 2017.

c) Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, 2014.

d) Abdul Halim Barkatullah, Bisnis E-commerce Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia, 2019.

e) Muhammad Rizqi Romdhon, Jual Beli Online Menurut Madzhab Asy-Syafi’I, 2015.

f) Dan lain-lain.

3) Bahan Hukum Tersier, merupakan pelengkap dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, internet dan lain sebagainya.

b. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melakukan melalui penelitian lapangan.5 Dalam hal ini data primer yang diperoleh peneliti diambil dari hasil wawancara dan dokumentasi.

5 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum, (Depok: Kencana, 2018), cet. 2, h. 149.

(25)

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan dua cara, antara lain:

a. Penelusuran Kepustakaan

Pengumpulan data melalui penelusuran kepustakaan dalam penelitian ini dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan nonhukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

Penelusuran kepustakaan dilakukan pada Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah serta Perpustakaan Digital yaitu https://ipusnas.id .

b. Penelusuran Dokumen

Penelusuran dokumentasi dilakukan oleh penulis dengan memperoleh bukti-bukti dokumentasi yang berkaitan dengan pembatalan sepihak oleh konsumen menggunakan transaksi cash on delivery.

c. Wawancara

Wawancara dilakukan oleh penulis dengan beberapa narasumber yang mengalami pembatalan sepihak oleh pembeli menggunakan transaksi cash on delivery pada platform penjualannya di Shopee yaitu Ega Shalsa sebagai pemilik usaha @beautysweey_id, Ghina Maulida sebagai pemilik usaha

@athelashin.co, dan Nurul Fitri sebagai pemilik usaha @the3angle.inc.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah semua data dan bahan hukum terkumpul, tahap selanjutnya yaitu pengolahan data dan bahan hukum. Pada tahap ini, pengolahan dilakukan melalui kegiatan editing dan pengkodean, kemudian dilakukan kegiatan kategorisasi sebagai langkah awal pengklasifikasian data dan bahan hukum.6

6 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum, (Depok: Kencana, 2018), cet. 2, h. 180-181

(26)

Teknik pengolahan tersebut digunakan dengan tujuan agar data dan bahan hukum yang telah dikumpulkan dapat tersusun secara sistematis.

Jika pengolahan data dan bahan hukum telah dilakukan, maka langkah selanjutnya dilakukan analisis untuk memperoleh hasil penelitian. Analisis disesuaikan dengan pendekatan penelitian. Dalam tahap menganalisis, data yang diperoleh dari responden berdasarkan fakta di lapangan, dianalisis dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan nonhukum.

Bahan hukum yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan hukum yang telah diperoleh dan disusun sistematis, kemudian ditarik kesimpulan. Dalam hal ini maka penulis menggunakan metode analisis berupa deduktif yaitu menganalisis dengan cara menerangkan bahan-bahan hukum ada yang bersifat umum untuk menentukan kesimpulan yang bersifat khusus. Dalam melakukan seleksi bahan hukum hasil penelitian tersebut harus secara sistematis dan pragmatis, yang dilakukan dengan logis dengan mencari keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum hasil penelitian.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini merujuk kepada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memahami penelitian ini, peneliti membagi penelitian ini menjadi lima bab yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Berisi deskripsi tentang masalah penelitian secara keseluruhan dan dirincikan ke dalam beberapa subbab yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah,

(27)

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini terdiri dari beberapa sub bab yaitu Kerangka Konseptual, Kajian Teoritis dan Tinjauan (Review) Penelitian Terdahulu.

BAB III PROFIL DAN MEKANISME PADA E-COMMERCE SHOPEE Bab ini berisi data penelitian yang terbagi menjadi beberapa sub bab yaitu Profil Shopee, Hubungan Hukum Para Pihak, Alur Pendaftaran Akun Shopee, dan Prosedur Berjualan di Shopee.

BAB IV PRAKTIK TRANSAKSI CASH ON DELIVERY DAN AKIBAT PEMBATALAN SEPIHAK OLEH CUSTOMER SHOPEE PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIKIH MUAMALAH Pada bab ini menjawab permasalahan penelitian, yaitu membahas praktik transaksi cash on delivery pada ecommerce Shopee, praktik dan akibat pembatalan sepihak oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery. Serta menganalisis perspektif hukum positif dan fikih muamalah terhadap mengenai pembatalan sepihak oleh customer Shopee dalam transaksi cash on delivery yang dikaji dengan bahan hukum dan bahan kepustakaan yang berkaitan.

BAB V PENUTUP

Merupakan bagian terakhir dari penelitian yang berisi Simpulan dari hasil analisis penelitian dan Rekomendasi yang memuat saran dari permasalahan penelitian ini.

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari terjadinya kerancuan dan kekaburan dalam menafsirkan judul skripsi penelitian ini, maka penulis perlu memberikan penegasan istilah dalam judul tersebut dan menjadi batasan dalam pembahasan selanjutnya:

1. Pembatalan Sepihak pada suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah satu pihak untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian.7 Pada penelitian ini pembatal sepihak yang dimaksud adalah transaksi yang batal atau gagal dibayar oleh pihak pembeli.

Dalam hal ini antara penjual dan pembeli sebelumnya telah membuat kesepakatan dalam jual beli online, namun pada akhirnya pembeli membatalkan pembayaran kepada penjual melalui kurir.

2. Customer mencakup pengertian pelanggan (repeat buyer), pembeli sekali (one- time buyer), maupun konsumen (consumer).8 Customer adalah individu atau kelompok yang terbiasa membeli barang atau jasa berdasarkan keputusan mereka atas pertimbangan manfaat maupun harga yang kemudian melakukan hubungan dengan perusahaan melalui telepon, surat, dan fasilitas lainnya untuk mendapatkan suatu penawaran baru dari perusahaan.9 Dalam jual beli online, customer (pembeli) melakukan hubungan transaksi dengan seller (penjual) melalui e-commerce.

7 Gerry R. Weydekamp, Pembatalan Perjanjian Sepihak Sebagai Suatu Perbuatan Melawan Hukum, Jurnal Lex Privatum, Vo. 1, No. 4, Oktober 2013, h. 151

8 Mulyadi, Sistem Perencanaan & Pengendalian Manajemen, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), h. 75

9 Greenberg dalam Ovi Hamidah Sari, dkk., Manajemen Bisnis Pemasaran, (Yogyakarta:

Yayasan Kita Menulis, 2021) , h. 29

(29)

3. Cash on delivery (COD) merupakan pembayaran yang dilakukan ketika barang yang di pesan tiba pada alamat yang dituju.10 Pada marketplace, jual beli dengan pembayaran cash on delivery dilakukan melalui perantara kurir.

4. Hukum Positif merupakan hukum atau kaidah yang sedang berlaku di masyarakat atau suatu negara dalam waktu tertentu. Artinya, hukum positif yang berlaku di Indonesia berfungsi untuk mengatur masyarakat Indonesia.11 Pada pembahasan hukum positif, penulis menggunakan berbagai hukum yang sedang berlaku di Indonesia yang relevan dengan tema penelitian ini.

5. Fikih Muamalah adalah hukum Islam tentang kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia.12 Dalam pengkajian fikih muamalah, penulis hanya fokus pada pembatalan akad.

Berdasarkan penjelasan beberapa istilah di atas, maka yang penulis maksud dari keseluruhan judul ini adalah mengkaji secara seksama tentang pembatalan transaksi sepihak khususnya mengenai bagaimana perspektif fikih muamalah dan hukum positif terhadap praktik pembatalan transaksi sepihak dalam jual beli online dengan metode pembayaran cash on delivery.

B. Kajian Teoretis 1. Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst dalam bahasa Belanda, atau contract dalam bahasa Inggris. Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian, yaitu teori lama dan teori

10 Mohammad Aldrin Akbar dan Sitti Nuralam, E-Commerce Dasar Teori dalan Bisnis Digital, (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2020), h. 60

11 Hanafi Arief, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tataran Historis, Tata Hukum dan Politik Hukum Nasional, (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2016), cet.1, h.4

12 Harun, Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h.3

(30)

baru. Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan dalam teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian yaitu ‘’suatu hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.’’13

Perjanjian diatur di dalam Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Buku III tentang Perikatan. Pengaturan perjanjian terdapat dalam bab perikatan dikarenakan perjanjian merupakan sumber perikatan.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, definisi perjanjian adalah: “suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan pengertian perjanjian pada Pasal 1313 KUH Perdata sebenarnya belum jelas. Ketidakjelasan beberapa unsur dalam rumusan Pasal 1313 diuraikan sebagai berikut:14

1) Lingkup perjanjian terlalu luas.

2) Perbuatan yang dimaksud dapat dengan persetujuan ataupun tanpa persetujuan.

3) Perjanjian dari sepihak saja.

4) Tanpa menyatakan tujuan.

Ketidaklengkapan pengertian tentang perjanjian dalam KUH Perdata, membuat para ahli hukum mengemukakan pandangannya untuk menjelaskan pengertian perjanjian lebih rinci. Yahya Harahap menyatakan bahwa perjanjian merupakan suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

13 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 161

14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 289-290

(31)

menunaikan prestasi.15 Dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.

b. Syarat Sah Perjanjian

Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan bahwa terdapat empat syarat sah yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, yaitu:

1) Kesepakatan

Kesepakan merupakan sepakat bagi para pihak yang saling mengikatkan dirinya. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika memang menghendaki apa yang mereka sepakati.16

Namun dalam keadaan tertentu dimana di dalam perjanjian ada suatu hal yang mencerminkan tidak terwujudnya kesepakatan. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam KUH Perdat, cacat kehendak meliputi 3 (tiga) hal, yaitu:17

a) Kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 KUH Perdata) b) Penipuan atau bedrog (Pasal 1323 KUH Perdata) c) Paksaan atau dwang (Pasal 1328 KUH Perdata) 2) Kecakapan

15 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 6

16 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), h. 175

17 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 122

(32)

Kecakapan yaitu kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum atau yang dimaksud juga dengan cakap hukum. Untuk membuat suatu perjanjian, Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang- undang dinyatakan tidak cakap.

Pasal 1330 KUH Perdata menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu:

a) Orang yang belum mencapai dewasa, menurut Pasal 330 KUH Perdata ukuran dewasa yang dimaksud adalah bagi orang yang sudah memasuki umur 21 tahun dan sudah kawin/menikah meskipun belum berusia 21 tahun.

b) Berada di bawah pengampuan, yaitu setiap orang yang dungu, sakit otak, atau mata gelap, atau boros.

c) Perempuan yang sudah menikah atau telah menjadi istri, akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo.

SEMA No. 3 Tahun 1963.18 3) Suatu hal tertentu

Menurut KUHPerdata hal tertentu adalah satu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus suatu hal atas suatu barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit ditentukan jenisnya sesuai dengan pasal 1333 KUHPerdata. Perjanjian haruslah mengenai barang/objek tertentu atau suatu perjanjian haruslah mengenai sutu hal tertentu.19 Objek dalam perjanjian harus memenuhi: dapat

18 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h. 34

19 R. Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 13

(33)

ditentukan, dapat diperdagangkan, mungkin dilakukan dan dapat dinilai dengan uang.20

4) Sebab yang halal

Kata “sebab” ini jika dikaitkan dengan kata “halal” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka kata sebab disini tidak diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan atau mendorong seseorang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri atau tujuan yang hendak dicapai” oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.21 Suatu sebab dikatakan halal jika perjanjian tersebut:22

a) Tidak bertentangan dengan undang-undang;

b) Tidak bertentangan dengan ketertiban umum;

c) Tidak bertentangan dengan kesusilaan.

Syarat pertama dan syarat kedua dari keempat syarat tersebut merupakan syarat subjektif, dimana syarat tersebut merupakan terapan dari para pihak yang melakukan perjanjian atau tepatnya syarat yang mengatur para pihak dalam perjanjian. Jika dalam syarat subjektif tidak terpenuhi dalam pembuatan perjanjian maka perjanjian tersebut tidak akan mengakibatkan perjanjian itu batal sepanjang para pihak yang karena ketidak cakapan atau ketidak bebasnya dalam memberikan sepekatnya tidak mengajukan upaya pembatal kepada hakim (vernitigbaar). Syarat yang ketiga dan keempat dalam Pasal 1320 merupakan syarat objektif, jika syarat tersebut tidak terpeuhi maka akan mengakibatkan perjanjian itu tidak pernah ada atau batal demi hukum. Suatu perjanjian yang mengandung cacat dalam syarat subyeknya tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal

20 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Peerjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h.108

21 Marilang, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian), (Makassar: Alauddin University Press, 2013), cet.1, h.180

22 Ratna Artha Windari, Hukum Perjanjian, (Yogyakarta: Graha Ilmu. 2014), h. 18

(34)

dengan sendirinya (Nietig) namun hanya memberikan kemungkinan bagi para pihak yang berkepentingan untuk mengajukan pembatalan (vernitiegbaar) sementara apabila cacat ini terjadi pada syarat obyektifnya maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.23

c. Akibat Hukum Perjanjian Sah

Perjanjian yang telah disepakati para pihak, menimbulkan akibat hukum dalam pelaksanaanya. Pasal 1338 KUH Perdata membagi tiga akibat hukum perjanjian yang sah yaitu:24

1) Berlaku sebagai undang-undang

Perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Sama halnya seperti undang-undang, perjanjian wajib ditaati bagi para pihak yang membuatnya. Apabila perjanjian tersebut dilanggar, berlaku akibat hukum berupa sanksi hukum.

2) Tidak dapat dibatalkan sepihak

Perjanjian yang dibuat dengan persetujuan para pihak, jika akan di batalkan harus melalui persetujuan para pihak juga. Namun jika pembatalan disertai alasan yang cukup menurut undang-undang, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan secara sepihak.

3) Pelaksanaan dengan Iktikad baik

Yang dimaksud dengan iktikad baik dalam Pasal 1338 KUH Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar.

23 J Satrio, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995) h. 167

24 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 305-307

(35)

d. Wanprestasi

Istilah Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk (Bandingkan : wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad perbuatan buruk).25 Wanprestasi timbul akibat kelalaian atau kesalahan pihak debitur yang tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah disepakati dalam perjanjian.26 Selain itu, kata wanprestasi juga sering disepadankan dengan kata lalai atau alpa, ingkar janji atau menggar perjanjian, ketika debitur melakukan atau berbuat sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan.27

Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:28

1) Tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan;

2) Melaksanakan apa yang diperjanjikan, namun tidak sesuai dengan perjanjian tersebut;

3) Melakukan apa yang diperjanjikan namun pelaksanaanya terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.

Wanprestasi yang dilakukan oleh debitur menimbulkan akibat hukum berupa sanksi yaitu:29

1) Membayar ganti rugi yang diderita oleh kreditur (1243 KUH Perdata);

2) Pembatalan perjanjian;

3) Peralihan risiko (1237 KUH ayat 2 Perdata);

4) Membayar biaya perkara atas tuntutan yang dilayangkan oleh kreditur.

25 Subekti, Hukum Perjanjan, (Jakarta: Intermasa, 2005), h.45

26 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbit UT 2003), h, 2.

27 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), h. 19

28 Subekti, Hukum Perjanjan, (Jakarta: Intermasa, 2005), h.45

29 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariat Teori dan Praktik, (Jakarta:

Kencana 2017) h, 132.

(36)

e. Berakhirnya Perjanjian

Ketentuan mengenai berakhirnya perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata bahwa berakhir atau hapusnya perjanjian terjadi karena beberapa hal yaitu:30

1) Pembayaran

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan 3) Pembaharuan hutang (novasi)

4) Perjumpaan hutang (kompensasi) 5) Percampuran hutang

6) Pembebasan hutang

7) Musnahnya barang yang terhutang 8) Pembatalan

9) Berlakunya syarat batal 10) Lewat waktu

f. Pembatalan Perjanjian

Pembatalan dalam pembuatan suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak yang dirugikan. Pada dasarnya, suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan apabila:31

a) Perjanjian itu dibuat oleh mereka yang tidak cakap hukum seperti belum dewasa, ditaruh di bawah pengampuan dan wanita yang bersuami sebagaimana dalam Pasal 1330 KUH Perdata.

b) Perjanjian itu bertentangan dengan undang–undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

c) Perjanjian itu dapat dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan sebagaimana Pasal 1321 KUH Perdata.

30 Shidarta, dkk., Aspek Hukum Ekonomi & Bisnis, (Jakarta: Kencana, 2018), cet. 1, h. 59

31 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kecana, 2017), h. 298

(37)

Pasal 1266 KUH Perdata menjelaskan syarat bahwa terdapat tiga syarat pembatalan perjanjian, yaitu:32

a) Perjanjian harus bersifat timbal balik

b) Pembatalan harus dilaksanakan di muka hakim c) Harus ada wanprestasi

Pasal 1454 KUH Perdata menjelaskan bahwa meminta pembatalan dibatasi sampai dengan batas waktu tertentu, yaitu 5 tahun. Dimana waktu mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum. Dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.33

Ada dua cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu. Pertama pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu dibatalkan. Kedua, menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut.

1) Actio Pauliana

Action Pauliana adalah hak kreditur untuk mengajukan batalnya perbuatan yang tidak diwajibkan dari yang mengetahui perbuatannya tersebut merugikan kreditur.34 Pasal 1341 menyebutkan bahwa “(1) meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun juga, yang merugikan kreditur dan orang yang denganya atau untuknya debitur itu tidak bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi kreditur. (2) Hak-hak yang

32 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kecana, 2017), h. 298

33 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), h. 24

34 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga Yurisprudensi, Doktin, serta Penjelasan (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2015), h. 89.

(38)

diperoleh pihak ketiga dengan iktikad baik atas barang-barang yang menjadi objek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati (3) Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan cuma-cuma yang dilakukan debitur, cukuplah kreditur membuktikan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang menerima keuntungan juga mengetahui hal itu atau tidak”.

Untuk meminta pembatalan atau mengajukan pembatalan suatu perjanjian diperlakukan syarat-syarat:35

a. Yang meminta pembatalan adalah kreditur dari salah satu pihak b. Perjanjian itu merugikan baginya

c. Perbuatan atau perjanjian itu tidak diwajibkan

d. Debitur dan pihak lawan, kedua-duanya mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan kreditur.

2) Pembatalan Perjanjian Karena Kekhilafan (Dwaling)

Sebagai manusia yang jauh dari kata sempurna, pasti pernah melakukan kekhilafan. Namun tidak semua kekhilafan atau kekeliruan relevan bagi hukum. Dalam praktiknya, perjanjian yang sering dilakukan adalah perjanjian jual beli. Dalam perjanjian jual beli, misalnya pernah kita temukan kekeliruan mengenai harga, jumlah, mutu, atau jenis benda tertentu yang diperjualbelikan. Meskipun terdapat kekeliruan atau kekhilafan dalam perjanjian jual beli, hukum menentukan bahwa akibat yang timbul dari kekeliruan tersebut ditanggung oleh dan menjadi risiko pihak yang membuatnya atau kekeliruan yang terjadi.36

35 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kecana, 2017), h. 299

36 Herlien Budiono, h. 99 dalam Muhammad Teguh Pangestu, Pokok-Pokok Hukum Kontrak, (Makassar: CV Social Politic Genius, 2019), h. 114

(39)

Kekhilafan adalah gambaran yang keliru mengenai subjek atau objek dengan siapa perjanjian itu dilaksanakan. Menurut Pasal 1322 KUH Perdata, pembatalan perjanjian berdasarkan kekhilafan hanya mungkin dalam dua hal, yaitu :37

a. Apabila kekhilafan terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.

b. Apabila kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam perjanjian yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut.

3) Pembatalan Perjanjian Karena Paksaan (Dwang)

Paksaan (Dwang), yaitu suatu ancaman yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain atau pihak ketiga, sehingga member kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya terancam rugi besar dalam waktu dekat (Pasal 1324 KUH Perdata).38

4) Pembatalan Perjanjian Karena Penipuan (Bedrog)

Penipuan menurut arti undang-undang adalah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya tidak menyetujui objek yang ditawarkan. Menurut ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata, jika tipu muslihat itu digunakan oleh salah satu pihak sedemikian rupa sehingga terang dan nyata membuat pihak lainnya tertarik untuk membuat perjanjian. Jika tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lain tidak akan membuat perjanjian. Penipuan ini merupakan alasan untuk membatalkan perjanjian.39

37 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kecana, 2017), h. 299

38 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017) h. 172

39 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 301

(40)

2. Akad

a. Pengertian Akad

Akad berasal dari bahasa Arab al-‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud yang mempunyai arti, antara lain:40

1) Mengikat (ar-Rabthu), yaitu:

ِ ب اَ مُ هُ دَ حَ أ ُّ دُشَ يَ و ِنْيَ لْ بَ ح ٌّيِ فْ رَ ط ٌ عْ مَج ا

ِ رَ خ لآ ىَّ تَ ح

ٍ ةَ دِحاَ و ٍ ةَ عْ طَ قَ ك اَحِبْ صُ يَ ف َ لاِ صَّ تَ ي

“mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung dikemudian menjadi sebagai sepotong benda”.

2) Sambungan (Aqdatun), yaitu:

اَ مُ هُ قِ ثْ و ُ يَ و اَ مُ هُ كِ سْ م ُ ي ىِ ذ َّ لا ُ لْ وُ صْ وَ م ْ لَ أ

“Sambungan yang memegang kedua ujung itu mengikatnya”.

3) Janji (Al-Ahdu) sebagaimana dijelaskan kedalam Alquran dalam Q.s. Ali- Imran (3): 76:

ََّ للّٱ َّ نِ إَ ف ٰىَقَّ تٱَ و ۦ ِ هِ دۡ هَ عِ ب ٰىَفۡو َ أ ۡ نَ م ٰۚ ٰ ىَ لَ ب ُ

ُّ بِح ي

ِ قَّ تُ م ۡ لٱ َ ني

Artinya: “(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertakwa”.

Secara istilah (terminologi) yang dimaksud dengan akad adalah ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.41

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Pasal 20, Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

40 Hariman Surya Siregar dan Koko Khoerudin, Hukum islam Teori dan Implementasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2019), h.19-20

41 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 44

(41)

Dalam hukum Islam kesepakatan atau perikatan dapat dikategorikan akad didasarkan pada keridhaan dan kesesuaian dengan syariat Islam.

Apabila ada dua janji antara para pihak disepakati dan dilanjutkan dengan ijab dan kabul, maka terjadilah akad (perikatan Islam). Dengan demikian, sesuatu disebut akad apabila:42

1) Diwujudkan dalam ijab dan kabul yaitu pernyataan kehendak para pihak yang melakukan akad yaitu pernyataan melakukan atau tidak melakukan sesuatu (ijab) dan pernyataan menerima (kabul).

2) Sesuai dengan kehendak syariat yaitu pelaksanaan akad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan syariat baik terutama terkait dengan rukun dan syaratnya.

3) Adanya akibat hukum pada objek akad yaitu timbulnya hak dan kewajiban yang mengikat masing-masing pihak yang berakad.

b. Rukun dan Syarat Akad

Suatu akad harus memenuhi rukun dan syarat yang harus ada dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada dalam kontrak yang dibuatnya, maka tersebut dipandang tidak sah dalam hukum Islam. Adapun syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan suatu hal yang esensinya sebagaimana hal yang tersebut pada rukun.43 Adapun unsur-unsur akad yang harus terpenuhi yaitu:

1) Para pihak yang membuat akad (aqidain)

42 Andri Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keuangan dan Bisnis Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2019), h. 39

43 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah: dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2012). h.82

(42)

Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad.44 Subjek hukum dalam akad (aqidain) yang dapat berbentuk perseorangan dan badan hukum. Syarat menjadi subjek akad yaitu:

a) Mukallaf adalah orang yang memiliki kedudukan sehingga dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Tolak ukur penentu mukallaf yaitu telah baligh atau dewasanya seseorang.

b) Badan hukum yaitu persekutuan yang dibentuk berdasarkan hukum dan memiliki tanggungjawab kehartaan yang terpisah dari pendirinya.

2) Pernyataan kehendak para pihak (shighat ‘aqd)

Shighat akad atau ijab kabul (serah terima) adalah perkataan yang menunjukkan kepada kedua belah pihak sebagai tanda kesepakatan.45 Wahbah Zuhaili menguraikan tentang syarat yang harus dipenuhi dalam shigat akad menjadi tiga, yaitu:46

a) Jala’ul ma’na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.

b) Tawaquf, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan kabul.

c) Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak berada di bawah tekanan, dan tidak berada dalam keadaan terpaksa.

3) Objek akad (mahallul ‘aqd)

Ma’qud ‘alaih adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran atau tujuan akad. Jenisnya kadang-kadang benda yang bersifat maliyah, seperti barang

44 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 48

45 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017), h.146

46 Wahbah Zuhaili, Al Fiqh al Islam wa Adillatuhu, h. 104-106 dalam Abdul Mannan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 83

(43)

yang dijual, digadaikan, atau dihibahkan, dan adakalanya bukan maliyah.47

Syarat untuk memenuhi objek akad, yaitu:48 a) Halal menurut syara’

b) Bermanfaat (bukan merusak atau digunakan untuk merusak) c) Dimiliki sendiri atau atas kuasa pemilik

d) Dapat diserahterimakan (benda dalam kekuasaan) e) Dengan harga jelas

4) Tujuan akad (maudu’u aqd)

Tujuan akad atau maudu’u aqd atau yang disebut dengan prestasi. Tujuan ini sesuai dengan jenis akadnya, misalnya jual beli yaitu menyerahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan ganti/bayaran (iwadh).49

Menurut Ahmad Azhar Basyir, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum sebagai berikut:50

a) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak- pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan, tujuan hendaknya baru ada pada saat akad diadakan.

b) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.

47 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.

127-128

48 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h.17

49 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018), h.27

50 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, h. 99-101 dalam Abdul Mannan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 89-90

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait