• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Dalam Ilmu Ushuluddin

oleh:

M. SUBKHAN NIM: 4104030/PA

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2011

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Dalam Ilmu Ushuluddin

oleh : M. SUBKHAN

NIM: 4104030/PA

Semarang, Maret 2011 Disetujui oleh, Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Tafsir, M.Ag Drs. Djurban.M.A

NIP. 19640116 199203 1003 NIP. 19581104 199203 1001

(3)

iii

Mahasiswa 4104030 telah dimunaqosyahkan oleh dewan penguji skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :

Juli 2010

dan telah diterima serta disyahkan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Fakultas Ushuluddin.

Dekan Fakultas / Ketua Sidang,

Drs. H. Adnan M.Ag.

NIP. 150 260 178

Pembimbing,

Ahmad Musyafiq, M.Ag.

NIP. 150 290 934

Penguji I, Penguji II,

Prof.Dr.H. Suparman M.Ag Drs. Muh. Parmudi, M,Si

NIP. 150 178 271 NIP. 150 276 118

Sekretaris Sidang,

H. Sukendar M.Ag. MA NIP. 150 290 934

(4)

iv











Artinya: Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Q.S. Al- Kaafirun : ayat 6)

(5)

v

Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:

o Orang tuaku tercinta yang selalu memberi semangat, membimbing dan mengarahkan hidupku, yang memberi tahu arti hidup.

o Kakak-Kakakku tersayang kakak Malikha, Soimah, Nur Hikmah, Asrori, dan Adikku Tercinta Uliyah yang telah banyak mencurahkan segala tenaga, pikiran dan do'a serta selalu memotivasiku dalam keadaan suka dan duka baik dalam menempuh studi maupun dalam menuntaskan skripsi ini.

o Semua teman-temanku Al-Iman Azul, Eko, Adi, Rokhim, Kodrat, Marzuki, Syafa’, Ulum, Iqbal, Joko, Irul, Riziq, Bang Kahfi, Atta, yang tak henti-hentinya memberiku motivasi, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis

(6)

vi

pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.

Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak- hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara sukarela. Permasalahannya yaitu bagaimana pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama? Bagaimana relevansi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia? Adapun teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Jenis data skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Data primernya yaitu beberapa karya tulis Nurchlolish Madjid, di antaranya: (1) Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer; (2) Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi Baru Islam Indonesia; (3) Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Data sekunder yaitu data sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya dengan judul di atas. Sebagai analisis data, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pendapat Nurcholish Madjid dalam konteks ilmu perbandingan agama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapat Nurcholish Madjid patut didukung karena pemikiran dan analisisnya itu sesuai dengan ajaran Islam yang sangat menghormati keberadaan agama lain. Sebenarnya Islam merupakan pelopor toleransi, dan Islam sangat mencela sikap fanatisme dalam arti yang negatif yaitu membabi buta dan mengklaim kebenaran sebagai otoritas sendiri. Apabila konsep toleransi yang digulirkan Nurcholish Madjid dihubungkan dengan kehidupan keagamaan di Indonesia, maka jika pendapatnya di apresiasi dan mendapat tempat serta penerimaan maka kedamaian dalam beragama bisa terwujud, setidaknya konflik horisontal yang bernuansa agama dapat diperkecil. Masalah ini bila melihat kondisi kehidupan umat antar agama di Indonesia maka dapat dijadikan sebuah pelajaran, khususnya terhadap beberapa peristiwa yang telah terjadi. Dengan kata lain, apabila toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid dihubungkan dengan Kehidupan Keagamaan di Indonesia, maka pendapat Nurcholish Madjid dapat sedikitnya meredam konflik antar agama, sehingga kehidupan agama dapat hidup secara damai dan berdampingan.

(7)

vii

Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul: "TOLERANSI BERAGAMA MENURUT PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID ", ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Nasihun Amin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.

2. Bapak Drs. Tafsir.M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Drs.

Djurban.M.A selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi. Dan segenap staff karyawan- karyawati di lingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Penulis

(8)

viii

(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pokok Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Metode Penelitian ... .10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TOLERANSI BERAGAMA A. Pengertian Toleransi Beragama ... 13

B. Toleransi Beragama Pada Masa Rasulullah ... 19

C. Toleransi Beragama Pada Masa Khulafa al-Rasyidin ... 22

D. Dialog Antar Umat Beragama ... 25

1. Pengertian dan Hakikat Dialog ... 25

2. Dialog Dalam Pendekatan Ilmu Perbandingan Agama ... 28

E. Toleransi di Indonesia ... 30

BAB III : TOLERANSI BERAGAMA MENURUT NURCHOLISH MADJID A. Biografi Nurcholish Madjid ... 33

(10)

x

B. Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama .... 40

1. Nilai keislaman dalam Asas Kerukunan Antar Umat Beragama ... 40

2. Asas Kerjasama Antar Umat Beragama ... 42

3. Etika Beragama ... 45

4. Menuju Persamaan Sejati dan Doa Bersama ... 50

BAB IV : ANALISIS PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG TOLERANSI BERAGAMA DI INDONESIA A. Analisis Pendapat Nurcholish Madjid tentang Toleransi Beragama ... 73

B. Relevansi Toleransi Beragama Perspektif Nurcholish Madjid bagi Kehidupan Keagamaan di Indonesia ... 87

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 92

B. Saran-saran ... 92

C. Penutup ... 93

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.

Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hak- hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara mutlak oleh para pemeluknya.1

Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi. Pemahaman diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan unsur kritis pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak akar-akar pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama Ibrahimi termuda ini sebenarnya bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama pluralistis. Islam mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah menolaknya atau menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam sudah berada di tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi Muhammad Saw., ketika menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak agama semisal Yahudi dan Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak

1Adeng Muchtar Ghazali, Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang Dialogis, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 55-58

(12)

ditemukan rekaman kontak Islam serta kaum muslimin dengan komunitas- komunitas (masyarakat) agama yang ada di sana. Perdagangan yang dilakukan bangsa Arab pada waktu itu ke Syam, Irak, Yaman, dan Etiopia, dan posisi kota Mekah sebagai pusat transit perdagangan yang menghubungkan daerah- daerah di sekeliling jazirah Arab membuat budaya Bizantium, Persia, Mesir, dan Etiopia, menjadikan agama-agama yang ada di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi Muhammad Saw.2

Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat ar-Rum (30) ayat 30 :

)

Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini sesuai dengan kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang dia telah ciptakan manusia atasnya. Itulah agama yang tegak lurus, namun sebagian besar manusia tidak mengetahui (Q.S. ar- Rum (30): 30).3

Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip di atas ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran

2Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 36-38

3Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1986, hlm. 645

(13)

(hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari.4

Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana keharmonisan hubungan antarumat beragama ini. Kegagalan dalam merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma terpecah belahnya sebagai bangsa.5 Dalam Al-Qur’an surat al-Mumtahanah (60) ayat 8 Allah SWT berfirman:

Artinya:Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 8).6

Akhir-akhir ini wacana tentang pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku, tulisan- tulisan media massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium, diskusi, dialog seputar hubungan antarumat beragama semakin sering kita saksikan dalam berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar toleransi beragama dan hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab topik ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang mencita-

4Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 24

5Abd. Rohim Ghazali dalam M. Quraish Shihab, Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988), hlm.133

6Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, op. cit, hlm. 924.

(14)

citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.7 Itulah sebabnya Harun Nasution (2000, 273) menyatakan:

Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain.

Ayat 256 surat Al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat. Terserahlah kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan mana jalan benar yang akan membawa kepada keselamatan dan mana pula jalan salah yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih jalan yang dikehendakinya. Manusia telah dewasa dan mempunyai akal dan tak perlu dipaksa, selama kepadanya telah dijelaskan perbedaan antara jalan salah dan jalan benar. kalau ia memilih jalan salah ia harus berani menanggung risikonya yaitu kesengsaraan. Kalau ia takut pada kesengsaraan, haruslah ia pilih jalan benar.8

Harun Nasution mengatakan lebih lanjut:

Dalam hubungan ini ayat 29 surah Al-Kahfi mengatakan: Kebenaran telah dijelaskan Tuhan, siapa yang mau percaya, percayalah dan siapa yang tak mau, janganlah ia percaya. Ayat ini memberikan kemerdekaan bagi orang untuk percaya kepada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad dan tidak percaya kepadanya. Manusia tidak dipaksa untuk percaya kepadanya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah Al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah agamamu dan bagiku agamaku. Semua ajaran itu dapat dijadikan landasan bagi jiwa toleransi beragama dalam Islam. Dan kalau kita kembali kepada sejarah toleransi beragama, ini memang dijalankan oleh umat Islam yang pertama.9

Nurcholish Madjid adalah salah seorang tokoh pembaru yang banyak mengemukakan gagasan pembaruan Islam yang banyak ditentang oleh kalangan Islam tradisionalis. Gagasannya yang berkaitan dengan sekularisasi dalam Islam, serta pernyataannya tentang "Islam Yes, Partai Islam No" hingga kini masih banyak diperbincangkan orang. Demikian pula kesadarannya untuk

7Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm. ix

8Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan anggota IKAPI, 2000), hlm. 273.

9Ibid

(15)

menggunakan institusi pendidikan untuk menyosialisasikan gagasan dan pemikirannya itu telah pula ia lakukan. Bahkan gagasanya yang mengelaborasi makna nilai keislaman terhadap agama lain telah menuai kritik.

Kritik yang dimaksud misalnya ketika melontarkan pernyataan sebagai berikut: menurut Nurcholish Madjid nilai keislaman itu tidak hanya dipandang dari sudut internal umat Islam dalam berhubungan umat seagama, melainkan bagaimnaa sikap orang Islam itu terhadap agama lain yaitu mampukah ia membangun sikap-toleransi terhadap agama lain. Menurut Nurcholish Madjid:

Semua agama itu Islam, dalam arti mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Tetapi lihat saja, di antara semua agama, yang mengakui agama lain hanya Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad. Ini berarti bahwa agama ini adalah agama yang paling unggul dan paling sempurna. Yang demikian ini tidak usah kita ragukan. Justru kesempurnaannya Islam itu adalah karena agama ini bersifat ngemong, mengayomi semua agama yang ada. Mushaddiqan lima bayn yaday hiwa muhaymin an alayhi..muhaimyminan artinya adalah melindungi, mengayomi, juga terhadap agama-agama yang lain. Sikap itulah yang dulu dilakukan oleh para sahabat nabi, kepada orang-orang Kristen dan pemeluk agama-agama lain yang macam-macam itu.10 Pernyataan Nurcholish Madjid dilatarbelakangi oleh kekecewaannya terhadap sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam dan ajaran jihad yang melakukan pengeboman terhadap sejumlah tempat di Indonesia, tidak terkecuali gereja-gereja sebagai tempat peribadatan orang Kristen.

Adapun sebabnya penulis memilih tokoh Nurcholish Madjid sebagai berikut:

Pertama, dilihat dari segi keahliannya, Nurcholish Madjid adalah seorang pemikir Islam generalis dengan kajian utamanya pada sejarah peradaban Islam. Sejarah adalah cerminan perjalanan umat masa lalu untuk dijadikan bahan renungan masa lalu. Karena manusia itu banyak seginya, yaitu aspek keyakinannya, politik, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan lain sebagainya, maka pikiran dan gagasan Nurcholish Madjid menjangkau semua itu. la dapat dikatakan sebagai ilmuwan muslim yang ensiklopedik. Kedua,

10Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 267-268.

(16)

dilihat dari segi sifat dan coraknya, pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid dapat dikategorikan sebagai bercorak modern. Namun kemodernannya itu bertolak dari sifat ajaran Al-Quran yang modern. Al-Qur'an menghargai akal manusia, menuntut berpikir dan bekerja keras, melakukan sesuatu yang bermanfaat, produktif, inovatif, terbuka, menghargai waktu, berwawasan global, dan berpandangan jauh ke depan. Gagasan nilai keislaman dalam konteks toleransi beragama yang dibawa oleh Nurcholish Madjid bertolak dari ajaran Al-Qur'an yang dijabarkan oleh Al-Sunnah, dan hasil pemikiran kreatif manusia.

Dengan berpedoman pada keterangan di atas mendorong peneliti mengangkat tema skripsi ini dengan judul: Signifikansi Pemikiran Nurcholish Madjid bagi Kerukunan Umat Beragama

B. Pokok Permasalahan

Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.11 Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:

1. Bagaimana pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama?

2. Bagaimana relevansi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama

2. Untuk mengetahui relevansi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama bagi kehidupan keagamaan di Indonesia

11Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 312.

(17)

Adapun Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis, yaitu diharapkan dari hasil penelitian ini menjadi bahan masukan dalam mengkaji masalah toleransi bagi mahasiswa perbandingan agama khususnya dan mahasiswa IAIN pada umumnya.

2. Secara Praktis, yaitu diharapkan dari hasil penelitian ini akan menambah khasanah dan cakrawala berfikir serta menambah sikap toleransi dan kerukunan antar umat beragama.

D. Tinjauan Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis ada beberapa karya ilmiah berupa buku yang membahas masalah toleransi, namun belum ada yang membahas secara khusus pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama. Di antara karya ilmiah yang membahas secara umum sebagai berikut:

1. Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. Dalam buku ini diungkapkan bahwa jiwa toleransi beragama rasanya dapat dipupuk melalui usaha-usaha berikut: 1). Mencoba melihat kebenaran yang ada dalam agama lain. 2). Memperkecil perbedaan yang ada di antara agama- agama. 3). Menonjolkan persamaan-persamaan yang ada dalam agama- agama. 4). Memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. 5). Memusatkan usaha pada pembinaan individu-individu dan masyarakat manusia baik yang menjadi tujuan beragama dari semua agama monoteis. 6). Mengutamakan pelaksanaan ajaran-ajaran yang membawa kepada toleransi beragama. 7).

Menjauhi praktik serang-menyerang antaragama.12

2. Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.

Menurut penulis buku ini bahwa pada era globalisasi masa kini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antaragama, adalah fenomena nyata. Di masa lampau kehidupan keagamaan relatif lebih tentram karena umat-umat

12Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan, 2000), hlm.

275

(18)

beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis yang harus ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan merisaukan 13

3. A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia. Penulis buku ini mengungkapkan bahwa tujuan mempelajari ilmu perbandingan agama adalah untuk ikut serta bersama-sama dengan orang-orang yang mempunyai maksud baik, menciptakan dunia yang aman dan damai berdasarkan etika dan moral agama, dan bukan dunia yang penuh dengan ancaman rudal dan nuklir yang akan membinasakan umat manusia itu sendiri.14

4. Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama. Dalam buku ini ditegaskan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain, menimbulkan sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam hidup sehari- hari, sehingga tumbuh pula kerukunan beragama. Kerukunan hidup beragama itu dimungkinkan karena agama-agama memiliki dasar ajaran hidup rukun. Semua agama menganjurkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun dalam hidup dan kehidupan sehari-hari.15

5. M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia. Agama Islam memberantas intoleransi agama serta menegakkan kemerdekaan beragama dan meletakkan dasar-dasar bagi keragaman hidup antaragama. Kemerdekaan menganut agama adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap- tiap muslimin dan muslimat. Islam melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan menurut agama masing-masing, baik di mesjid maupun gereja.16 6. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban. Menurut Nurcholish

Madjid, bahwa salah satu kesadaran yang sangat berakar dalam pandangan seorang muslim ialah bahwa agama Islam adalah sebuah agama universal,

13Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 39.

14A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), , hlm.

88.

15Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 139.

16M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hlm.. 200.

(19)

untuk sekalian umat manusia. Meskipun kesadaran serupa juga dipunyai oleh hampir semua penganut agama yang lain (Yahudi, maka mereka menolak Kristen dan Islam; dan Kristen sendiri, maka mereka menolak Yahudi dan Islam), namun kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran tersebut melahirkan sikap- sikap sosial-keagamaan yang unik, yang jauh berbeda dengan sikap-sikap keagamaan para pemeluk agama lain, kecuali setelah munculnya zaman modern dengan ideologi modern ini. Tanpa mengurangi keyakinan seorang Muslim akan kebenaran agamanya (hal yang dengan sendirinya menjadi tuntutan dan kemestian seorang pemeluk suatu sistem keyakinan), sikap- sikap unik Islam dalam hubungan antaragama itu ialah toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran (fairness).

Prinsip-prinsip itu nampak jelas pada sikap dasar sebagian besar umat Islam sampai sekarang, namun lebih-lebih lagi sangat fenomenal pada generasi kaum Muslim klasik (salaf).17

7. Yusuf al-Qaradhawi, Kebangkitan Gerakan Islam dari Masa Transisi Menuju Kematangan. Dalam buku itu ditegaskan bahwa fanatisme terjadi bila seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan tidak mau membuka jendela untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan keyakinan, pemikiran, pandangan fikih, pandangan politik, serta tidak mau melakukan introspeksi sedikit pun. la malah menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar, tidak mungkin salah, serta pendapat orang lain sebagai yang salah dan tak mungkin benar. Sedangkan agama memerintahkan dan menganjurkannya untuk bertoleransi. Di antara bidang garapan toleransi agama ini ialah; penerimaan dialog Islam-Kristen, selama jelas tujuan-tujuannya, gamblang pengertiannya, dan kaum muslimin yang terlibat dalam dialog tersebut merupakan orang-orang yang memiliki kapasitas keagamaan dan keilmuan yang memadai. Terlebih

17Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hlm. 178-179

(20)

dahulu, kita harus memiliki kesepakatan tentang tujuan dialog semacam ini.18

Karya-karya ilmiah sebagaimana disebutkan di atas belum ada yang membahas toleransi beragama dalam perspektif Nurcholish Madjid, dan yang ada hanya mengkaji toleransi secara umum.

E. Metode Penulisan

Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Data

Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Kepustakaan yang dimaksud berupa hasil-hasil penelitian, buku-buku, jurnal, buletin dan sebagainya.

2. Pendekatan

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analisis yakni menggambarkan dan menganalisis pendapat Nurcholish Madjid dalam konteks ilmu perbandingan agama.

3. Sumber Data

a. Data primer, yaitu beberapa karya tulis Nurchlolish Madjid, di antaranya: (1) Dialog Keterbukaan Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer; (2) Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan visi Baru Islam Indonesia; (3) Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan.

b. Data sekunder, yaitu sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya dengan judul di atas baik langsung maupun tidak langsung.

18Yusuf al-Qaradhawi, Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan, Terj. Abdullah Hakam Syah dan Aunul Abied Syah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm, 264-265

(21)

Pengambilan kepustakaan didasarkan pada otoritas keunggulan pengarangnya dibidang masing-masing.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data menggunakan studi kepustakaan.19 Dalam hal ini menggunakan sumber primer dan sekunder sebagaimana telah dijelaskan di atas.

5. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data,20 digunakan metode deskriptif analisis, yaitu menganalisis data tanpa menggunakan angka-angka statistik.21 Dengan demikian penulis akan menggambarkan, atau memaparkan tentang toleransi Beragama dalam pandangan Nurcholish Madjid.

F. Sistematika Penulisan

Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka skripsi disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.

Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul, dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas sudah dapat ditangkap substansi skripsi. Selanjutnya untuk lebih memperjelas maka dikemukakan pula tujuan dan manfaat penulisan baik ditinjau secara

19Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, (Yogyakarta: Andi, 2001), hlm. 9.

20Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1999), hlm, 419.

21Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 134. Bandingkan dengan Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kulitatif, (Bandung:

PT Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970), hlm. 269.

(22)

teoritis maupun praktis. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan penjiplakan maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang dituangkan dalam tinjauan pustaka. Demikian pula metode penulisan diungkap apa adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data. Pengembangannya kemudian tampak dalam sistematika penulisan. Dengan demikian, dalam bab pertama ini tampak penggambaran isi skripsi secara keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi pedoman untuk bab kedua, ketiga, bab keempat, dan bab kelima.

Bab kedua tinjauan umum tentang toleransi beragama yang meliputi pengertian toleransi beragama, toleransi beragama pada masa rasulullah, toleransi beragama pada masa khulafa al-rasyidin, dialog antar umat beragama (pengertian dan hakikat dialog, dialog dalam pendekatan ilmu perbandingan agama).

Bab ketiga toleransi beragama menurut Nurcholish Madjid yang meliputi biografi Nurcholish Madjid (latar belakang Nurcholish Madjid, pendidikan dan karya-karyanya, pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama).

Bab keempat analisis tentang toleransi beragama menurut pendapat Nurcholish Madjid yang meliputi pendapat Nurcholish Madjid tentang toleransi beragama; relevansi toleransi beragama perspektif Nurcholish Madjid bagi kehidupan keagamaan di Indonesia

Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.

(23)

13 A. Pengertian Toleransi Beragama

Lawan kata "toleransi" yaitu "fanatik". Kata "fanatik" dalam Webster's New American Dictionary, Fanatic: one who is exaggeratedly zealous for a belief or cause (seorang fanatik: orang yang secara berlebih-lebihan akan suatu kepercayaan atau penyebab), Fanaticism: exaggerated, unreasoning zeal (fanatisme: yang dilebih-lebihkan, semangat omong kosong).1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fanatisme berarti keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dan sebagainya).2 Dengan singkat, Pius Partanto dan M.Dahlan al-Barry mengartikan fanatisme sebagai kekolotan.3

Term fanatisme merupakan antonim (lawan kata) dari toleransi, dan kata toleransi dalam Webster's New American Dictionary", diartikan sebagai leberality toward the opinions of others; patience with others,"4 Maksudnya, memberikan kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain. W.J.S. Poerwadarminta mengartikan toleransi itu dengan sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kelakuan dsb) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya: agama (ideologi, ras, dan sebagainya) dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu

1Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), Webster's New American Dictionary, (New York: Book, Inc, 1958), hlm. 347

2Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 313.

3Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 169

4Edward N. Teall, A.M. and C. Ralph Taylor A.M. (Editor), op. cit, hlm. 1050

(24)

kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.5 Demikian pula toleransi diartikan sebagai kesabaran, kelapangan dada.6

Dengan demikian toleransi merupakan kemampuan untuk menghormati sifat dasar, keyakinan dan perilaku yang dimiliki oleh orang lain. Dalam literatur agama (Islam), toleransi disebut sebagai tasamuh artinya adalah sifat atau sikap menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain yang bertentangan dengan pandangan kita.

Dalam suatu hadis ditegaskan:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

―aku wasiatkan kepada kamu sekalian agar kamu selalu bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap setiap muslim. Perangilah dengan nama Allah di jalan Allah setiap orang yang ingkar kepada Allah. Jangan kamu berkhianat, jangan kanu berlaku kejam, dan jangan kamu bunuh anak kecil, kaum wanita maupun orang tua bangka.

Jangan kamu bunuh orang yang mengasingkan dirinya dalam kuilnya dan jangan kamu rusak pohon kurma, pohon-pohon lainnya dan jangan kamu hancurkan rumah‖.

(H.R. al-Bukhari)

Sebagai prinsip metodologis, toleransi adalah penerimaan terhadap yang tampak sampai kepalsuannya tersingkap. Toleransi relevan dengan epistemologi. la juga relevan dengan etika sebagai prinsip menerima apa yang dikehendaki sampai ketaklayakannya tersingkap. Toleransi adalah keyakinan bahwa keanekaragaman agama terjadi karena sejarah dengan semua faktor

5W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, Cet. 5) 1976, hlm. 1084

6John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia Dictionary, (Jakarta: PT. Gramedia, 2000), hlm. 595

7Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al- Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M,hlm. 235

(25)

yang mempengaruhinya, kondisi ruang dan waktunya berbeda, prasangka, keinginan dan kepentingannya. Di balik keanekaragaman agama berdiri al-din al-hanif, agama fitrah Allah, yang mana manusia lahir bersamanya sebelum akulturasi membuat manusia menganut agama ini atau itu.8

Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaran- ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman dan tentram.9

Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu : ―a‖ berarti tidak dan ―gama‖

berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.10 Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “diin” (dari bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut ―religi”, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata “diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.

Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama, namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan ―agama‖.11 Kata agama selain disebut dengan

8Syamsul Ma'arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm. 13-14.

9Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, (Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universistas Muhammadiyah, 1989), hlm. 26.

10Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Wijaya, 1992), hlm. 112. buku lain yang membicarakan asal kata agama dapat dilihat dalam Nasrudin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1973), hlm. 76. Zainal Arifin Abbas, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, jilid 1, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984), hlm. 39.

11Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

(26)

kata diin dapat juga disebut syara, syari’at/millah. Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara.12

Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat bermacam-macam definisi agama. Harun Nasution telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.

2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.

3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.

5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.

6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib.

7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.

8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.13

Adapun masalah asal mula dan inti dari suatu unsur universal agama itu, tegasnya masalah mengapakah manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan masalah mengapakah manusia melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka warna untuk

Hoeve, 1997), hlm. 63.

12Taib Thahir Abdul Mu’in, op.cit, hlm. 121.

13Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm.10.

(27)

mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi, telah menjadi obyek perhatian para ahli pikir sejak lama. Mengenai soal itu ada berbagai pendirian dan teori yang berbeda-beda. Teori-teori yang terpenting adalah :

a. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mulai sadar akan adanya faham jiwa.

b. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi karena manusia mengakui adanya banyak gejala yang tidak dapat diterangkan dengan akalnya.

c. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi itu terjadi dengan maksud untuk menghadapi krisis-krisis yang ada dalam jangka waktu hidup manusia.

d. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena kejadian- kejadian yang luar biasa dalam hidupnya, dan dalam alam sekelilingnya.

e. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena suatu getaran atau emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai warga masyarakatnya.

f. Teori bahwa kelakuan manusia yang bersifat religi terjadi karena manusia mendapat suatu firman dari Tuhan.14

Setiap agama memiliki kebenaran, keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif oleh setiap pemeluk agama. Sering tampak ke permukaan yaitu terjadinya konflik antaragama sebagai akibat kesenjangan ekonomi, perbedaan kepentingan politik, ataupun perbedaan etnis.

Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknai dan dibahasakan. Sebab, perbedaan ini tidak dapat

14Romdhon, et. al, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 18-19. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 40-41. Koenjtaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1972), hlm. 222-223. Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap Aliran kepercayaan, Agama Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, di Indonesia), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 32-33.

(28)

dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil peyakin — dari konsepsi ideal turun ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Hal ini yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan (harakah) pada umumnya. Sebab, mereka mengklaim telah memahami, memiliki, dan bahkan menjalankan nilai-nilai suci itu secara murni dan konsekuen. Keyakinan tersebut menjadi legitimasi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mahzar sebagaimana dikutip Adeng Muchtar Ghazali menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme, dan agresivisme adalah "penyakit"

yang biasanya menghinggapi aktifis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual; eksklusivisme adalah kesombongan sosial;

fanatisme adalah kesombongan emosional; ekstremisme adalah berlebih- lebihan dalam bersikap; dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama adalah wakil resmi kesombongan (ujub). Dua penyakit terakhir adalah wakil resmi sifat berlebih- lebihan.15

Toleransi merupakan salah satu tata pikir yang diajarkan oleh Islam, terutama toleransi mengenai beragama. Salah satu ajaran Islam yang digariskan oleh Tuhan untuk menjadi pegangan kaum Muslimin dalam kehidupan beragama ialah ayat yang berbunyi:

Artinya: Tidak ada paksaan dalam agama (karena) sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Orang-orang yang tidak percaya kepada thagut (berhala, syaithan dan lain-lain) dari hanya percaya kepada Allah, sesungguhnya dan telah berpegang kepada tali yang teguh dan tidak akan

15Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan Dalam konteks Perbandingan Agama, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2005), hlm. 18 – 19

(29)

putus. Tuhan itu mendengar dan mengetahui". (Q.S. Al- Baqarah : 256).

Pada ayat tersebut di atas ditegaskan bahwa agama (Islam) tidak mengenal unsur-unsur paksaan. Hal ini berlaku mengenai cara, tindak laku, sikap hidup dalam segala keadaan dan bidang, dan dipandang sebagai satu hal yang pokok. Islam bukan saja mengajarkan supaya jangan melakukan kekerasan atau paksaan, tapi diwajibkannya pula supaya seorang Muslim menghormati agama-agama lain dan menghargai pemeluk-pemeluknya dalam pergaulan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa toleransi merupakan prinsip yang dianjurkan Islam, dan sebaliknya fanatisme merupakan sikap yang tidak diajarkan dalam Islam. Sebab arti kata "Islam" sebagaimana diartikan oleh Mukti Ali adalah masuk dalam perdamaian, dan seorang muslim adalah orang yang membikin perdamaian dengan Tuhan dan dengan manusia.16

B. Toleransi Beragama Pada Masa Rasulullah

Agama Islam diturunkan guna kepentingan umat manusia itu sendiri.

Karena itu Islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama. Sebab agama Islam bukanlah suatu ideologi yang kosong, atau suatu ideologi yang mencari keuntungan dibaliknya.17 Demikian pula Rasulullah sebagai utusan Tuhan tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk agama yang dibawanya, karena itu ia dikagumi baik oleh yang seagama maupun non Islam.

Itulah sebabnya Michael H. Hart mengatakan :

Sebuah contoh yang mencolok mata tentang hal ini ialah tata urutan (rangking) yang saya susun yang menempatkan Muhammad lebih tinggi daripada Jesus (Isa), terutama disebabkan karena keyakinan saya bahwa Muhammad secara pribadi jauh lebih berpengaruh pada perumusan agama yang dianut orang Islam, daripada Jesus pada perumusan agama Kristen…Jatuhnya pilihan saya kepada Muhammad untuk memimpin di tempat teratas dalam daftar pribadi-pribadi yang paling berpengaruh di dunia

16Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 50

17Yunus Ali Almuhdar, Toleransi-Toleransi Islam, (Bandung: Iqra, 1983), hlm. 3 – 4

(30)

ini, mungkin mengejutkan beberapa pembaca dan mungkin pula dipertanyakan oleh yang lain, namun dia memang orang satu-satunya dalam sejarah yang telah berhasil secara unggul dan agung, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang keduniaan…Tambahan pula, berbeda dengan Jesus, Muhammad itu seorang pemimpin keduniaan dan sekaligus keagamaan. Nyatanya, sebagai kekuatan yang mendorong kemenangan- kemenangan orang-orang Arab (Muslim), dia seyogyanya menempati urutan sebagai pemimpin politik yang paling berhasil sepanjang masa.18

Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang berhasil dalam segala bidang. Ia memiliki beberapa keistimewaan antara lain tiga keistimewaan yang dimiliki oleh Muhammad SAW daripada Rasul-rasul terdahulu.

Pertama, beliau adalah Nabi/Rasul terakhir. Tidak akan datang lagi nabi dan rasul sesudahnya. Risalahnya sudah sempurna buat memimpin manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Kedua, beliau adalah nabi/rasul internasional. Risalahnya universal, ditujukan kepada seluruh manusia, semua ras, bangsa dan bahasa, sampai ke ujung zaman. Ketiga, Muhammad SAW adalah semulia-mulia Nabi dan Rasul daripada Nabi/Rasul terdahulu. Dari sekian Rasul yang dikisahkan dalam al-Qur'an sejak dari Adam a.s yang berjumlah 25 itu, maka lima di antaranya disebut “Ulul Azmi”

, artinya rasul-rasul yang terkenal keras kemauan dan cita-citanya. Mereka itu ialah Muhammad SAW, Nuh AS, Ibrahim AS, Musa A.S., dan Isa A.S.19

Menurut Philip K.Hitti, Muhammad adalah pembawa kitab yang diyakini oleh seperdelapan penduduk bumi sebagai sumber ilmu pengetahuan, kebijakan dan teologi.20 Muhammad Husain Haekal menggambarkan keteladanan Nabi Muhammad SAW dengan mengatakan:

Muhammad sendiri teladan yang baik sekali dalam melaksanakan kebudayaan seperti dilukiskan al-Qur'an. Terlihat misalnya bagaimana rasa persaudaraannya terhadap seluruh umat manusia dengan cara yang sangat tinggi dan sungguh-sungguh itu dilaksanakan. Saudara- saudaranya di Mekkah semua sama dengan dia sendiri dalam

18Michhael H. Hart, 1994, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam sejarah, Terj. Mahbub Djunaidi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), hlm. 27, 33 dan 39.

19 Nasruddin Razak,, Dienul Islam, (Bandung: PT.al-Ma'arif, 1973), hlm. 194-195.

20Philip K.Hitti, History of The Arabs, Terj. R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 153

(31)

menanggung duka dan sengsara. Bahkan dia sendiri yang lebih banyak menanggungnya.21

Nabi besar Muhammad s.a.w., baik sebagai manusia biasa maupun selaku pemimpin ummat dan negara senantiasa menunjukkan sikap bersahabat terhadap pemeluk-pemeluk agama lain, yang mencerminkan sifat toleransi itu.

Perbedaan agama tidaklah menjadi halangan bagi beliau untuk mengunjungi upacara-upacara perkawinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Beliau kerapkali menjenguk orang-orang yang kematian (ta'ziah) yang berlainan agama. Beliau melihat mereka di waktu sakit, selalu berkunjung dan bertamu kepada keluarga- keluarga orang-orang Yahudi dan Nasrani. Yang dilakukan Nabi saat itu memberi nasihat-nasihat dengan bijak, misalnya sewaktu mengunjungi yang sakit, maka Nabi menyuruh bersabar, ketika menjenguk orang yang meninggal, maka Nabi menyuruh keluarganya untuk tabah.ketika memasak masakan yang banyak, maka Nabi menyuruh istrinya memberi kepada tetangga walaupun ia seorang Yahudi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. berkata:

―Wahai Abu Dzar, apabila kamu memasak gulai, perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu. (HR.

al-Bukhari).

Tatkala suatu delegasi orang-orang Nasrani dan Najran datang mengunjungi beliau, maka beliau membuka jubahnya dan membentangkannya di atas lantai untuk tempat duduk tamunya itu, sehingga utusan-utusan tersebut kagum terhadap penerimaan beliau yang begitu hormat. Seperti diketahui, utusan-utusan itu akhirnya memeluk agama Islam bahkan menarik pula kaum mereka masuk agama Islam. Jika pada suatu ketika beliau mengalami

21Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Terj. Ali Audah, (Jakarta:

Litera antar Nusa, 2003), hlm. 629

(32)

kesempitan dan memerlukan uang, maka biasanya beliau meminjam kepada orang-orang yang beragama Nasrani atau Yahudi, walaupun Sahabat-sahabat beliau yang akrab senantiasa siap-sedia meringankan kesulitan itu. Sengaja beliau meminjam kepada orang-orang yang berlainan agama untuk memberikan contoh yang bersifat pendidikan (edukatif) mempraktekkan sikap dan sifat toleransi itu.22

Menurut Nurcholish Madjid, kehadiran Nabi SAW sebagai pemilik syari'at yang berwenang penuh dan menjadi referensi hidup serta teladan nyata juga amat besar dalam penanggulangan setiap perselisihan.23Rasulullah senantiasa menunjukkan jiwa besar menghadapi pemeluk-pemeluk agama lain yang nyata-nyata melakukan sikap permusuhan terhadap beliau dan ummatnya, tanpu terguris sedikit jugapun dalam hati beliau untuk membalas dendam.

C. Toleransi Beragama Pada Masa Khulafa al-Rasyidin

Istilah Al-Khulafa Ar-Rasyidin menurut Abul Ala AI-Maududi adalah sebutan terhadap empat dari para sahabat Nabi yang diangkat sebagai khalifah secara bergantian. Umat Islam telah menanamkan sistem khilafah ini sebagai

"khilafah yang adil dan benar" (Al-Khulafa Ar-Rasyidin).24 Oleh karena itu, dari karakteristik kekhalifahan ini sedikitnya dapat diketahui bahwa Al- Khulafa Ar-Rasyidin pada dasarnya bukan hanya merupakan suatu pemerintahan politik, tetapi ia merupakan perwakilan sempurna dan menyeluruh dari nubuwwah, yakni memiliki fungsi bukan hanya menjalankan tatanan negara serta menjaga keamanan dan membela batas-batas negeri saja,

22M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt), hlm.

122-123.

23Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2000), hlm. 164

24Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Terj. Muhammad Al-Baqir, (Bandung: Mizan 1996), hlm. 111.

(33)

tetapi ia juga memerankan kewajiban-kewajiban seorang mursyid, guru, dan pendidik.25

Setelah Rasulullah wafat maka politik toleransi menghadapi agama- agama lain dan pemeluknya, begitu juga menghadapi musuh, dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Toleransi dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar Siddik (wafat 12 H/634 M), di antaranya tergambar dalam perintah-harian yang disampaikannya kepada Panglima Usamah bin Zaid serta pasukannya, tatkala Usamah diutus ke medan perang Ubna, di sebelah timur kota Syam. Beliau mengeluarkan satu perintah yang dinamakan dengan istilah "larangan yang sepuluh".

Abu Bakar Siddik mengatakan: "Saya amanahkan kepada kamu 10 (sepuluh) perkara, yang harus kamu pelihara sebaik-baiknya, yaitu:

1. Jangan berkhianat;

2. jangan membalas dendam;

3. jangan bertindak kejam;

4. jangan menyiksa orang;

5. jangan membunuh anak-anak;

6. jangan membunuh orang-orang tua;

7. jangan membunuh kaum wanita;

8. jangan menebang atau membakar pohon korma;

9. jangan menebang pohon yang sedang berbuah;

10. jangan menyembelih binatang ternak, kecuali jika perlu karena ketiadaan makanan.26

Kesepuluh larangan Khalifah Abu Bakar Siddik itu menunjukkan toleransi yang harus dipelihara di zaman perang, apalagi di zaman damai.

25Sistem ini yang membedakan dengan sistem kerajaan yang lebih bersifat dinasti dan hanya bersifat politis. Hal ini dapat dibedakan melalui perjalanan keempat sahabat yang terpilih menjadi khalifah (Al-Khulafa Ar-Rasyidin) dengan Bani Umayyah dengan sistem kerajaan. Berkuasanya Muawiyah merupakan tahapan peralihan dari sistem khilafah ke sistem kerajaan; Lihat A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, (Jakarta: AL-Husna Zikra, 1997), hlm. 309.

26M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup bagian Jilid 3, (Solo: Ramadhani, tt), hlm.

127 - 128

(34)

Umar ibn al-Khaththab, r.a. (wafat/terbunuh 22 H/ 644 M). Masa pembebasan (fat'h) dalam ekspansi militer dan politik ke daerah-daerah luar Jazirah Arabia. Islam menguasai "heart land" dunia yang terbentang dari sungai Nil ke Oxus (Amudarya). Praktek pemerintahan 'Umar dianggap contoh ideal pelaksanaan Islam sesudah masa Nabi, dan kelak menjadi bahan rujukan utama dalam usaha pencarian preseden hukum Islam.27 Di zaman Khalifah Umar bin Khattab, beliau memperbuat dan memperluas perjanjian- perjanjian persahabatan dengan pemeluk-pemeluk agama lain di negeri-negeri yang baru dikuasai. Tatkala tentara Islam merebut kemenangan di Iliya' (Baitulmakdis), Khalifah Umar bin Khattab sendiri berangkat ke kota itu melakukan pasifikasi. Di sana beliau menandatangani satu perjanjian dengan orang-orang Nasrani yang berisi jaminan terhadap jiwa, harta benda, gereja- gereja, salib-salib dan lain-lain berkenaan dengan soal-soal antar-hubungan agama. Gereja-gereja tidak boleh dijadikan asrama untuk tentara Islam, tidak boleh dirusak atau diruntuhkan. Dalam perjanjian tersebut dilarang melakukan tindakan kekerasan terhadap pemeluk-pemeluk agama Nasrani dan tindakan- tindakan lainnya yang merugikan kepada mereka.

Ketika Khalifah Umar bin Khattab di kala itu sedang berada dalam gereja Al-Qiamah, datanglah waktu bersembahyang. Beliau lantas keluar dari dalam gereja itu dan bersembahyang pada suatu tempat di luar gereja tersebut.

Beliau menerangkan kepada pendeta gereja itu, bahwa sengaja beliau mencari tempat bersembahyang di luar gereja untuk menghindarkan kekhawatiran agar kaum Muslimin di belakang hari jangan menjadikan gereja jadi mesjid atau tempat bersembahyang.

Di lapangan kehidupan sosial, banyak pula contoh-contoh toleransi yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Pada suatu hari, beliau bertemu dengan seorang Yahudi yang sudah tua dan lemah sedang meminta- minta di tengah jalan. Beliau menuntun dan membawa Yahudi itu ke rumah beliau sendiri dan diberikannya keperluan-keperluan yang dibutuhkan oleh Yahudi tua itu. Kemudian diantarkannya Yahudi tua itu kepada pengurus Kas

27Nurcholish Madjid, op. cit, hlm. 165

(35)

Negara (Baitulmal) dengan surat pengantar yang berbunyi: "Perhatikan dan santunilah orang tua ini dan orang-orang lainnya yang menderita senasib seperti itu. Tidaklah adil apabila di zaman mudanya dipungut pajak (jizyah) daripadanya, dan kemudian di kala dia sudah tua dan lemah dibiarkan saja hidup terlantar dan terlunta-lunta".28

Diceriterakan pula dalam riwayat, bahwa seorang Yahudi pernah mengadu kepada Umar bin Khattab karena Yahudi tersebut merasa diperlakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan cara yang tidak pantas. Khalifah Umar mengkonfrontir antara kedua orang yang bersengketa itu. Pada kesempatan itu, Umar memberikan nasehat kepada Ali bin Abi Thalib supaya memperlakukan pemeluk-pemeluk agama lain seperti perlakuan terhadap pemeluk-pemeluk Islam. Ketika itulah keluar ucapan Umar bin Khattab yang penuh mengandung hikmat, yang berbunyi: "Kenapakah anda memperlakukan manusia sebagai seorang budak, pada hal manusia sama-sama dilahirkan dari perut ibunya masing-masing dalam keadaan merdeka?".29

D. Dialog Antar Umat Beragama

1. Pengertian dan Hakikat Dialog

Dialog selalu bermakna menemukan bahasa yang sama, tetapi bahasa bersama ini diekspresikan dengan kata-kata yang berbeda. Dialog didefinisikan sebagai pertukaran ide yang diformulasikan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, setiap usaha mendominasi pihak lain harus dicegah; kebenaran satu pihak tidak berarti ketidakbenaran di pihak lain. Bahasa bersama lebih dari sekadar kemiripan pembahasan; dia berdasarkan kesadaran akan masalah bersama, kita butuh alat untuk mencapai landasan bersama.30

28M.Yunan Nasution, op. cit, hlm. 128

29Ibid, hlm. 129

30Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 167

(36)

Akhir-akhir ini wacana tentang toleransi beragama, dialog antar agama, pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku, tulisan- tulisan media massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium, diskusi, dialog seputar hubungan antarumat beragama semakin sering disaksikan dalam berbagai tingkat, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab topik ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.

Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa wacana ini semakin marak. Di antaranya:

Pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan perdamaian dalam kehidupan umat manusia. Kedua, wacana agama yang pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama itu sendiri. Sebab pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama, dan semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi.

Oleh karena itu, wacana pluralitas ini perlu dikembangkan lebih lanjut di masyarakat luas. Hal ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan demi cita- cita agama itu sendiri, yaitu kehidupan yang penuh kasih dan sayang antarsesama umat manusia. Ketiga, ada kesenjangan yang jauh antara cita- cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di tengah masyarakat. Keempat, semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah- masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antarumat beragama. Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema

(37)

pluralitas agama dan cita-cita kerukunan menjadi semakin menarik untuk dikaji dan didalami.31

Lebih jauh, berdasarkan analisis Hugh Goddard, penulis dapat menyimpulkan bahwa akar dan sumber konflik adalah berikut ini.

1. Karena "ketidaktahuan". Di antara penganut agama, khususnya Kristen-Islam yang saling tidak tahu-menahu jauh lebih besar dibandingkan mereka yang saling pengertian. Ketidaktahuan tentang ajaran agama orang lain, dicontohkan kalangan kaum muslim bahwa orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Bagaimana pun, pandangan ini akan ditolak oleh sebagian besar orang Kristen dan sesuai dengan keyakinan Kristen yang sesungguhnya, harus dikatakan bahwa pandangan ini didasarkan atas ketidaktahuan. Saling ketidaktahuan ini menjadi rintangan untuk mencapai saling pengertian di antara penganut agama yang berbeda.

2. Ada hubungannya dengan yang pertama, akibat ketidaktahuan itu, hubungan antara umat beragama yang berbeda, khususnya muslim dengan Kristen adalah penerapan 'standar ganda'. Dengan kata lain, kaum muslim dan Kristen masing-masing menerapkan serangkaian standar atau kriteria untuk keyakinannya sendiri dan serangkaian standar yang sama sekali berbeda untuk kepercayaan orang lain.32

Penerapan standar ganda, sebenarnya bukan merupakan persepsi baru. Karl Marx yang pertama kali menerapkan standar ganda itu sehingga menarik perhatian ' teolog, menegaskan bahwa kepercayaannya sendiri berasal dari Tuhan, sedangkan kepercayaan orang lain hanyalah konsepsi manusia, sebagaimana terungkap dalam bukunya The Poverty of Philosophy.33

31Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:

Penerbit Kompas, 2001), hlm. ix

32Huge Goddard, Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim- Kristen, Terj. Ali Noerzaman, (Yogyakarta: Qalam, 2000), hlm. 2 – 3.

33Ibid, hlm. 3

(38)

Dari sudut pandang lain bahwa pada umumnya konflik yang mengatasnamakan agama disebabkan oleh penyimpangan arah proses sosial yang berkorelasi logis dengan bentuk-bentuk menyimpang interaksi sosial antarumat beragama. Apabila agama adalah cinta dan kasih, interaksi sosial antarumat beragama mestinya didasarkan pada prinsip- prinsip cinta dan kasih itu.

2. Dialog Dalam Pendekatan Ilmu Perbandingan Agama

Terjadinya dialog atau proses dialog ada hubungannya dengan pemahaman agama orang lain yang bukan hanya memahami agama kita sendiri. Oleh karena itu, memahami agama orang lain adalah penting bagi para pelaku dialog, sehingga tidak terjadi salah pengertian dan dialog pun berjalan secara harmonis. Secara akademik, memahami agama orang lain dapat dilakukan salah satunya, melalui ilmu perbandingan agama. Melalui disiplin ini pula, para penganut agama yang berbeda dapat terjalin saling pengertian, saling menghormati dan saling menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai universal yang ada pada masing-masing agama.

Sebab, kedua nilai itu merupakan "esensi kemanusiaan" yang diajarkan semua agama.

Untuk memahami agama orang lain haruslah pemahaman yang bersifat integral bukan parsial. Oleh karena itu, diperlukan beberapa persyaratan dan kelengkapan,

1. Sifatnya intelektual. Untuk memahami agama atau fenomena agama secara menyeluruh, informasi yang penuh perlu dimiliki. Salah satu kelengkapan intelektual yang sangat penting adalah mempelajari dan memahami bahasa agama.

2. Kondisi emosional yang cukup. Dalam memahami agama orang lain, harus ada feeling, perhatian, matexis, atau partisipasi. Salah satu cara untuk menimbulkan rasa simpati adalah dengan bergaul dengan mereka yang berbeda agama.

Referensi

Dokumen terkait

Napoleon meminta agar para tokoh terpandang di Mesir memberi tahu orang-orang Mesir bahwa sesungguhnya bangsa Prancis adalah kaum Muslim juga (qūlū li ummatikum inna