• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET MASYARAKAT RURAL INDRAMAYU NOVEL AIB DAN NASIB KARYA MINANTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "POTRET MASYARAKAT RURAL INDRAMAYU NOVEL AIB DAN NASIB KARYA MINANTO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

POTRET MASYARAKAT RURAL INDRAMAYU NOVEL AIB DAN NASIB KARYA MINANTO

oleh Suci Ayu Latifah

Mahasiswa Program Magister Universitas Dr. Soetomo Surabaya Surel: mbaksuci33@gmail.com

ABSTRAK

Karya sastra, lahir atas keganjilan yang ada di lingkungan pengarang. Karenanya, tidak salah, karya sastra banyak menyuguhkan bangkai-bangkai yang disimpan di lumbung peradaban. Masyarakat dan segala keganjilannya memiliki andil besar terhadap gagasan-gagasan penting dalam sastra. Itulah karya sastra, pengarang, dan masyarakat memiliki keterjalinan yang memantik. Penelitian ini bertujuan merepresetasikan potret sosial kehidupan masyarakat rural dalam novel Aib dan Nasib karya Minanto. Novel keempat ini dikemas berbeda lewat simulactrum keterkejutan citra masyarakat pedesaan Indamayu. Tujuannya, mendapatkan informasi tentang: (a) potret sosial masyarakat rural Indramayu; dan (b) fungsi sosial sastra. Adapun objek penelitian novel Aib dan Nasib karya Minanto tahun 2020. Metode penelitian adalah deskriptif kualitatif. Analisis menggunakan studi pustaka dan analisis data. Hasil temuan, ditemukan potret kehidupan masyarakat rural Indramayu dari segi konteks kehidupan pengarang dan fungsi sosial. Potret-potret ini ditemukan lewat membaca pemahaman. Memanfaatkan deskripsi dan narasi pada stilistika penceritaan novel. Akhirnya, ditemukan potret keganjilan kehidupan masyarakat rural Indramayu.

Kata Kunci: Potret Sosial; Masyarakat Desa; Aib dan Nasib.

KANDE: Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

(2)

PENDAHULUAN

Masyarakat desa, atau istilahnya rural identik dengan kehidupan orang-orang terbelakang dan tertinggal dari berbagai aspek. Namun, masyarakat rural lebih diakrabi pada sentuhan hidup damai dan tentram. Dengan bahasa lain, harmonisasi sistem kekerabatan masyarakat terjalin baik. Asumsi saya, mereka (masyarakat) tidak terusik oleh carut-marut masa kini. Mereka pula, jauh dari kebisingan perkotaan yang dipenuhi ambisi. Pandangan ini senada pemikiran Yopi (2017), masyarakat desa memiliki hubungan pertalian kuat (kekerabatan) dalam mata pencaharian agraris.

Potret sosial masyarakat rural semacam itu terekspresi pada gagasan estetis Aib dan Nasib karya Minanto. Novel memiliki daya hipnotik berbeda, sehingga menjadi pemenang pertama DKJ 2019, sekaligus sastra pilihan Tempo 2020. Sebuah novel bercerita tentang lika-liku kehidupan masyarakat desa Tegalurung dan Tegalsembadra, Indramayu. Novel dari perandungan novelis ini, memotret kehidupan khas desa. Selain itu, masyarakat dalam arti pola pikir masyarakat pedesaan era sekarang. Masyarakat dengan pola pikir kekuno-an berkoar-koar tentang sebuah pandangan dunia. Kehidupan jauh dari peradaban.

Masyarakat dalam novel misalnya, memandang pendidikan (sekolah) hanyalah kesia-siaan belaka. Apabila kenyataannya menjadi buruh di luar negeri. Minanto sebagai masyarakat asli Indramayu secara totalitas merepresentasikan lingkungannya. Kehidupan dipenuhi permainan konflik. Penulis bermain puzzle cerita tanpa melupakan kutukan aib dan nasib. Guru Bahasa Inggris ini pula, sangat hati-hati menunjukkan potret keterkejutan masyarakat sebab-akibat teknologi. Kehidupan masyarakat rural (pedesaan) adalah tema besar Aib dan Nasib. Sebagai subjek kreator, pengarang menceritakan kehidupan desa lengkap dengan konflik kemiskinan. Kehidupan sosial yang rumit, lugu, dan kental pemikiran lama, seolah menjadikan fiksi nyata.

Lebih-lebih, kehidupan rural menurut Widyawati dipengaruhi dominasi jenis kelamin (2020:195). Proses kreatif ini, pengarang meminjam daya mimetis sebagai cermin sosial. Pengarang mengungkapkan segala sesuatu yang diketahui (Aisyah, 2019:230). Posisi pengarang dan karyanya bertindak sebagai mesin foto kopi bersifat subjektfitas. Wawancara bersama Minanto, kehidupan dalam novel hampir 90% realistis. Selebihnya, efek dramatik terbubuhi daya estetis guna menciptakan karya sastra eksostis.

Plato, lewat gagasan simulactrum memandang sastra memiliki hubungan nyata (the real) dengan tiruan (the copy) (Endaswara, 2013:139). Alasan inilah kemudian menjadikan karya sastra memiliki nilai kebaruan. Sastra, bagi Fatimah menjadi wadah sistem berpikir, sekaligus mengundang nilai kebenaran (2021:40). Karenanya, sangat menarik novel Aib dan

(3)

Nasib karya Minanto untuk dianalisis. Penganalisisan menghubungkan karya sastra berkenaan dengan konteks sosial masyarakat. Seperti pandangan Swingewood (1986:38), karya sastra novel tidak bereskapisme terhadap kehidupan pengarang sendiri.

Hal itu telah dilakukan Minanto pada novel ke empat ini, sehingga mampu menyuguhkan karya sastra kental dari segi-segi kemasyarakatan. Berkaitan penilaian semacam itu, karya sastra pada konteks masyarakat lebih mengena apabila dikaji menggunakan sosiologi sastra. Penting dipahami, sosiologi sastra hakikatnya, suatu kajian yang banyak membicarakan hubungan teks sastra dan masyarakat (Sari, 2020:155). Atau, bahasa sederhananya, kajian mendedah aspek-aspek kemasyarakaran.

Esensinya, karya-karya sastra yang dituliskan pengarang merupakan daya sentuh memotret lingkungan sekitar. Wahyudi berasumsi sastra menginventariskan segala fenomena dalam ruang lingkup sosial (2013:55). Penggambaran terhadap fenomena terbubuhi ekspresi seorang pengarang pengolah kreatifitas. Dalam aktivitas ini, tugas pengarang adalah menyalin, menuangkan ulang segala hal yang dirasakan dan ditangkap, serta disimpan oleh panca indera ke dalam bentuk tulisan.

Diperjelas Mahsa (2021:220), topik sastra dan sosiologi adalah sosial (masyarakat).

Buah karya sastra, peristiwa-peristiwa sosial tersuguhkan secara sistematis, rinci, dan detail.

Alhasil, teks-teks sastra yang dilahirkan mampu ‘menunjukkan’ realita estetis, sekaligus polemik terselubung. Sementara itu, eksistensi sosiologi sastra guna membongkar teks sastra berusaha meneliti fakta-fakta sosial dan fungsinya lebih dalam, dan utuh. Tujuannya, bagi Carolina mendapatkan potretisasi antara karya sastra, pengarang, dan masyarakat (2021:5268).

Ian Watt menawarkan pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama, sastra sebagai cermin dunia. Kedua, sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, dan ketiga pendekatan fungsi sosial sastra. Ketiga pendekatan ini secara harfiah ‘rumit’. Cermin sebuah bayangan nyata masyarakat (Carolina, 2021:5268). Dengan begitu, potret sosial masyarakat pedesaan di Indramayu menarik untuk dikaji-analisis. Teori sosiologi sastra, membantu membongkar kehidupan masyarakat rural sebagai daya sindir citra desa yang kita kenal selama ini.

Nahasnya, damai, tentram, dan rukun tidak menghias kehidupan Indramayu. Mengapa demikian, mungkinkah ada semacam kutukan aib dan nasib. Inilah teka-teki yang mesti dipecahkan.

Adapun penelitian terhadap novel tersebut pernah dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia. Penelitian Marta Widyawati tersebut berjudul Dekonstruksi Dominasi Laki-Laki Terhadap Perempuan Rural dalam Novel Aib dan Nasib

(4)

Karya Minanto. Penelitian termuat dalam Seminar Nasional Unpam, 3 Oktober 2020.

Selebihnya, novel ini belum dijadikan objek penelitian setahu peneliti. Karenanya, sangat menarik peneliti mencoba mengupas sisi lain. Sebuah kajian menguak potretisasi kehidupan masyarakat pedesaan Indramayu, lengkap dengan konflik-konflik di lingkungan sekitarnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian Potret Sosial Masyarakat Rural Indramayu Novel Aib dan Nasib Karya Minanto (Kajian Sosiologi Sastra). Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif. Berobjek novel Minanto berjudul Aib dan Nasib. Novel keempat penulis asal Indramayu ini ditulis setebal 263 halaman. Novel menjadi pemenang pertama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2019, sekaligus kategori 5 novel (sastra) pilihan Tempo tahun 2020. Buah karya menarik, novel telah diterbitkan oleh Marjin Kiri 2020.

Adapun teknik pengumpulan data, peneliti menggunakan studi pustaka. Kemudian, peneliti mengaplikasikan teknik analisis data deskriptif sebagai analisisnya. Di sini, penulis memfokuskan diri pada interpretasi dan analisis stilistika penceritaan yang mengandung kekhasan kehidupan masyarakat desa dalam novel. Setelah itu, penarikan simpulan dilakukan secara dalam, rinci, dan sistematis. Tujuannya, guna mempresentasikan kehidupan dalam novel Aib dan Nasib secara memikat dan mendalam.

HASIL PEMBAHASAN

Karya sastra, hakikatnya tidak terlepas dari kreativitas pengarang dalam memotret lingkunganya. Minanto, dalam Aib dan Nasib berhasil memotret secara totalitas kehidupan masyarakat pedesaan (rural) di Indramayu. Pengarang berproses kreatif pada aspek-aspek kemasyarakatan, sehingga kuat menciptakan potretisasi masyarakat. Dampaknya, pengkarakterisasi tokoh tergambar kokoh. Berikut merupakan potret sosial masyarakat desa Indramayu dalam novel. Adapun fokus penelitian adalah: (a) potret sosial masyarakat rural Indramayu; dan (b) fungsi sosial sastra.

1) Potret Sosial Masyarakat Desa Indramayu

Potret, hakikatnya gambar atau visual. Potret sosial masyarakat rural berarti gambaran atau visualisasi tentang sekelompok masyarakat dalam dimensi pedesaan. Potret- potret dalam Aib dan Nasib memoles dengan hati-hati kehidupan—misteri aib dan nasib masyarakat Indramayu. Mesin dapur—kreativitas pengarang berangkat atas atas dasar realitas estetis berbingkai penyedap imajinatif.

(5)

(a) Konflik Kemiskinan dan Mata Pencaharian

‘miskin’ hakikatnya diksi yang sering sekali dipantaskan pada kehidupan masyarakat pedesaan. Kehidupan yang tak lekang oleh warna-warni konflik. Konflik kemiskinan, misalnya melingkar-lingkar setiap keluarga. Sebutan ‘melarat’ semacam kutukan bagi mereka. Sekalipun masyarakat ternarasikan memiliki mata pencaharian, seperti tukang becak, supir, buruh tani, pedagang, peternak, tukang cari rumput, gali kubur, ketua RT, penceramah, dan lainnya.

“Segala harapan seolah-olah pupus dari hidup Mang Sota. Ia bekerja seperti untuk hidup di hari itu saja. Ia tidak memedulikan hari kemarin tidak pula dengan hari esok. Seperti biasa, ia bangun lebih pagi daripada matahari, pergi ke sumur, pergi ke pangkalan becak di pasar, meninggalkan Uripah, dan pulang dengan beberapa lembar receh pada malam hari. Jika ingin sedikit pengalaman berbeda, ia akan membelokkan becak ke arah sawah, mengarit rumput untuk diberikan kepada kambing milik Kaji Basuki.” (ADN, 2020:43).

Memaknai kutipan tersebut mengantarkan pada identitas khas masyarakat pedesaan.

Ambisius pada mata pencaharian menandakan adanya sesuatu yang hendak didapatkan dari tindakan (usaha). Mang Sota sebagai tokoh yang dinarasikan berkehidupan di bawah rata- rata—tidak mampu memiliki pekerjaan serabutan. Tukang ojek becak adalah pekerjaan utama, selain menjadi tukang cari rumput. Pekerjaan itu dilakukan atas permintaan Kaji Basuki. Salah seorang tokoh berjaya di desa Tegalurung. Tokoh memiliki tanah berhektar- hektar dan puluhan ternak sapi.

Pendapatan dari kerja dengan Kaji Basuki dijadikan tambahan uang jajan Uripah, anaknya. Pasalnya, selama tokoh mengumpulkan pundi-pundi rupiah pagi sampai menjelang malam, Uripah dititipkan kepada Yuminah. Tema kemiskinan dalam novel dijadikan alat memotret identitas masyarakat rural secara umum. Masyarakat Indramayu tidak cukup bekerja di daerahnya sendiri. Beberapa dari mereka menjadi TKW. Suatu ironi masyarakat bekerja tanpa di negara lain, padahal tanah air terkenal kaya dan subur tanahnya. Dibalik usaha bekerja di luar, tetapi hidup tetap melarat. Kehidupan keluarga Saiful yang bekerja di Brunei begitu-begitu saja.

“Bapak dan ibumu cuma bisa makan dari sumbangan jamaah. Itu pun kalau bapakmu ini memberikan ceramah. Kalau tidak, tidak akan ada sumbangan.” (ADN, 2020:193).

Barangkali, memang terlalu ekspresif pengarang dalam pemberian judul novel.

Konflik kemiskinan seolah menjadi nasib yang mengakar pada aib. Sobirin, tukang ceramah keliling asal Tegalsembadra sering mengisi pengajian antardesa. Ironinya kebutuhan keluarganya tidak tercukupi. Kewibawaan dalam rumah tangga hanya mengandalkan

(6)

pesangon dari mengisi pengajian. Memaknai kutipan di atas di satu sisi tersirat keprihatinan dari segi pendapatan. Di sisi lain, ketakberdayaan laki-laki sebagai kepala keluarga.

Konflik kemiskinan sudah menjadi identitas masyarakat rural secara garis besar.

Novel-novel yang mengangkat kehidupan pedesaan tidak melepaskan pada konflik sosial ini. Barangkali, kemiskinan memang menjadi daya tarik yang memikat, sekaligus sebuah media sindiran terhadap pemerintah. Bilamana persoalan ekonomi belum selesai. Entah dapat tuntas atau tidak.

Dibalik kehidupan dalam Aib dan Nasib, peneliti membayangkan alangkah lebih mengerikan kehidupan masyarakat desa yang dihuni oleh mereka yang tidak bekerja. Sudah barang pasti, seperti sindiran Minanto pada fragmen cerita lain. Seperti burung yang setiap kali bertengger meninggalkan jejak (hutang atau bon). Terlepas dari persoalan di atas, bekerja tidak melulu ditempelkan pada tokoh laki-laki. Tokoh perempuan juga memiliki kiprah ‘kesempatan’ memungut rupiah. Hanya saja, peran gender ini tidak dialami oleh tokoh perempuan yang masih memiliki kepala keluarga.

“Warung Inem tidak pernah tutup; pagi hari ia berjualan nasi sarapan, siang hari menjual ciki-ciki untuk bocah dan rokok buat para bapak, kadang-kadang menjual pecel, malam hari ia menjual soto dan kopi. Yang membikin ia menjadi tersohor adalah soto hingga orang-orang Tegalurung Kidul atau Kulon dan Lor sering mencari-cari, “Di mana aku bisa mendapatkan soto-khas-Inem-si-Penjual-Seksi-dari- blok-Sigong?” (ADN, 2020:39).

Berdagang dan bertani merupakan representasi khas masyarakat desa menurut Koentjaraningrat (2009:267). Bi Inem dalam novel dinarasikan menjual makanan, jajanan, minuman, dan lainnya di desa Tegalurung. Selain Bi Inem, juga muncul Bi Sartinah sebagai penjual makanan keliling pada pagi hari. Bi Sartinah dalam Aib dan Nasib, serupa ibu Tupon pada novel Lintang Lantip karya Aishworo Ang. Novel berlatar Gunung Kidul tersebut juga bercerita tentang kehidupan masyarakat pedesaan. Ibu Tupon berjualan tempe bungkus keliling, dan sesekali menjadi buruh cuci.

(b) Dominasi Laki-Laki

Budaya patriarki membumi pada kehidupan masyarakat pedesaan. Aib dan Nasib menunjukkan bangkai-bangkai yang tersimpan di lumbung kulturalisasi. Potret dominasi secara langsung maupun tidak langsung menampakkan eksistensinya. Perempuan berada pada lingkup kekuasaan kaum laki-laki. Kaum laki-laki sebagai superior bagi keluarga mereka. Kartono sebagai tukang angkot berkuasa atas ketiga istrinya. Istri pertama ditinggalkan begitu saja tanpa bercerai. Istri kedua, Yati diterbangkan ke luar negeri,

(7)

kemudian istri ketiga dilakukan berbeda. Gulabia dilarang keluar rumah. Tokoh diminta mengurus Didim, anak Kartono dan Yati. Selebihnya, kesedian memenuhi hasrat nafsu Kartono.

“Sudah hampir setahun kita menikah dan kupikir kita bisa bersatu badan kapan pun kita mau.”

“Ya,” timpal Gulabia. “Tapi tidak sekarang, Kang. Kapan-kapan saja.” (ADN, 2020:7)

Gulabia merupakan tokoh tertindas. Kartono, tokoh superior. Perlakuan seksualitas tidak wajar diterima lewat paksaan dan makian, serta kekerasan. Kartono, tidak peduli keadaan Gulabia. Tokoh terlewat sinting dalam bercinta. Hakikat pernikahan hilang.

Gambaran kebahagiaan atas pernikahan hanyalah sebuah ironi.

Menilik novel-novel berlatar kehidupan masyarakat rural, superioritas laki-laki sering sekali menghias. Kartono pada kutipan di atas diceritakan secara dialogis mengajak berhubungan dengan Gulabia. Pada pernikahan ketiganya, tampak Kartono menjadikan Gulabia sebagai objek pelampiasan seksual. Dominasi laki-laki sangat tampak pada stilistika penceritaan kedua tokoh. Dibuktikan adanya unsur pemaksaan dan penyiksaan saat melakukan hubungan.

Mengamati dengan mencermati perlakuan Kartono terhadap Gulabia, seolah-olah Gulabia merupakan tokoh dibawah kekuasaannya. Tidak saja menyoal hubungan tetapi pada aspek lain. Misalnya Gulabia diminta selalu menuruti semua aturan dan perintah Kartono.

Serta, dilarang memotres ketika tidak diberi nafkah (uang). Tugas Gulabia adalah memasak, mencuci, dan mengurus Dindim.

“Gulabia mengangguk, dan disambarlah ia, “Ngangguk lagi. Ngangguk lagi. Sudah kubilang jangan mengangguk padaku.”

“… Gulabia, meringis. Setelah hampir menampar pipi Gulabia, Kartono melenggang pergi. Dengan demikian, Gulabia dapat bernapas lega dan barulah kemudian ia dapat membalurkan beras kencur ke punggung meski harus dengan bersusah-susah menekuk sikut. (ADN, 2020:12)

Stilistika penceritaan pada kutipan di atas, secara tidak langsung mengantarkan pada kehidupan dalam kekangan dominasi laki-laki. Sebagai istri, Gulabia wajib menuruti dan menerima apapun yang dilakukan suami. Potret semacam ini, juga terlukis pada keluarga Baridin dan Ratminah. Ratminah tidak memiliki kuasa untuk melindungi atau membela anaknya, Boled Boleng. Sekalipun, memang ada pada suatu kejadian Boled Boleng melakukan kesalahan.

(8)

“Boled Boleng dipukuli dengan gagang sapu dan ia bisa saja lumat jika tidak dilerai oleh Ratminah. Dengan agak terisak, Ratminah meminta Boled Boleng pergi. Dan dengan muka datar tanpa rasa bersalah Boled Boleng melenggang pergi, sedangkan Ratminah menarik-narik lengan Baridin agar anak mereka itu tidak sampai kena pukul.” (ADN, 2020:29).

Sikap keras dan kasar Baridin membuat Ratminah urung. Ratminah, sesekali memilih diam dan menangis atas perlakuan suaminya. Kaum perempuan dinilai gagal mendidik anak, sehingga berlakuan kurang baik. Baridin memandang Ratminah terlalu memanjakan Boled Boleng. Stilistika penceritaan novel, Ratminah ditugaskan mengurus rumah dan anak, sedangkan Baridin bekerja di luar rumah sebagai tukang becak.

Dari sini, dominasi laki-laki dalam novel sejatinya meruang pada hampir setiap keluarga. Bentuk dominasi itu berbeda-beda, seperti larangan bekerja, berpendapat, dan lain sebagainya. Kehidupan keluarga Marlina dan Eni, juga demikian. Marlina bekerja di luar rumah, sedangkan Eni berkutat urusan rumah tangga. Dengan begitu, tampak jelas dominasi laki-laki melekat. Kaum laki-laki seolah-olah memiliki kekuatan untuk menopang kehidupan keluarganya (Widyawati, 2020:196). Tokoh ‘bapak’ digambarkan memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga.

(c) Sistem Kekerabatan

Masyarakat rural dengan keterbatasan dan ketercukupan membuat pertalian antarsesama baik. Mengutip Koentjaraningrat (2009:286), sistem kekerabatan pada kelompok masyarakat rural lebih baik dibanding masyarakat urban. Pertalian antarsesama terjalin hebat, meliputi hubungan antartetangga, orang tua dengan anak, anak dengan anak, dan lain sebagainya. Pemikiran semacam itu ternarasikan elok pada stilistika novel. Setiap fragmen menggambarkan sistem kekerabatan, seperti tolong-menolong, berbagi, peduli sosial, dan masih banyak lagi. Di balik itu, terkadang muncul kesalahpahaman titik ketegangan hubungan kekerabatan.

“Pagi selepas subuh, pengeras suara musala Nurul Bayyinah mengumumkan berita kematian Marlina. Kabar itu disiarkan tiga kali dan memohon kesudian orang-orang Tegalurung untuk bantu-bantu mengurus jenazah di rumah Nurumubin. Ketika langit agak merekah, barulah para bapak jamaah musala berbondong-bondong mendatangi rumah duka sedangkan para ibu mengekor sembari menjinjing kantong plastik berisi beras tanda belangsukawa. (ADN, 2020:4)

Sistem kekerabatan, paling dekat dan lumprah di lingkungan masyarakat sebagaimana ternarasikan kutipan di atas. Kutipan menggambarkan adanya hubungan baik—keakraban, saling membaur antarmasyarakat pada suatu peristiwa sosial. Minanto

(9)

bercerita suatu peristiwa kematian Marlina karena tertabrak mobil di jalan sekitaran pekuburan. Sistem kekerabatan Indramayu menggambarkan bagaimana harmonisasi masyarakat Tegalurung membantu prosesi penguburan Marlina.

Lewat narasi di atas, masyarakat beramai-ramai ke rumah bapak Marlina, Nurumubin. Diksi ‘berbondong-bondong’ pada teks bermakna adanya bentuk kepedulian atas duka keluarga Nurumubin. Memaknai pendeskripsian aktivitas masyarakat dalam novel mengandung nilai kemasyarakatan atas kepedulian (simpati) terhadap kejadian yang terjadi pada orang lain. Pertalian masyarakat semacam itu, juga tergambar pada kekerabatan Mang Sota dan Ratminah. Dua keluarga tersebut, merukun saling membantu dalam kesulitan. Hal itu, mengingatkan pada esensi hubungan kekerabatan.

Penting dipahami, hidup bersama pada lapisan sosial masyarakat hubungan kekerabatan penting terjalin dengan baik. Mengingat manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan orang lain. Baiknya, sebagai makhluk berkesadaran atas esensi hidup, sistem kekerabatan dibangun secara individual. Senantiasa saling merasakan (simpati), sekadar mendengarkan cerita, meminta pendapat, saran, kritik, atau lain-lainnya.

“Mang Sota melongokkan kepala saat tahu Yuminah membawa sepiring nasi dan tempe goreng. Tak lama tadi sewaktu azan maqrib ia juga sudah datang dari pintu depan membawakan jajanan sisa kondangan.”

“Ini untuk Duloh.” (ADN, 2020:5-6).

Kutipan dialogis di atas terjalin antara Mang Sota dan Yuminah, pada suatu sore di rumah Mang Sota. Kutipan menunjukkan hubungan kekerabatan antara satu orang dengan orang lain. Yuminah sebagai tetangga terdekat—bersebelahan rumah Mang Sota. Yuminah memberikan suatu makanan oleh-oleh dari kondangan pernikahan. Keberadaan tokoh terhadap Mang Sota, laiknya ‘kakak’. “Yuminah bukan sekadar tetangga tetapi lebih seperti seorang Kakak.” (ADN, 2020:37). Minanto melukiskan aktivitas tokoh melalui gerak sosial.

Yakni, pada konteks kutipan Yuminah untuk kedua kalinya memberikan makanan dan jajan untuk Duloh. Duloh adalah cucu Mang Sota, anak Uripah.

Dari pembacaan secara menyeluruh, hubungan kekerabatan kedua keluarga tampak mendominasi alur penceritaan Aib dan Nasib. Namun, tidak menutupkemungkinan kekerabatan keluarga lain tidak menonjol. Seperti kekerabatan antara Darto dan Baridin, Kaji Basuki dengan Nurumubin, dan lain-lainnya. Sejarah tentang kekerabatan dua keluarga atau lebih tidak terlepas dari karakter peduli sosial yang melekat setiap individu. Masyarakat rural dipandang lebih kental dengan nilai-nilai tradisiona tanpa mempertimbangkan hal lain.

Hanya saja paradigma ini, realitasnya mulai teracuni seiring pengaruh luar.

(10)

(d) Minus Pendidikan

Bukan lagi rahasia, masyarakat rural dengan identitasnya terlampaui minus dalam hal dunia pendidikan. Masyarakat dalam novel tidak menahu ‘ada kesempatan’ pada urusan pendidikan. Paradigma dan pola pikir masyarakat masih kuno. Hal yang dipikirkan adalah bekerja, bekerja, dan bekerja. Dampaknya, terlihat pada reranting sikap dan tindakan dalam kebijaksanaan menghadapi suatu masalah.

“Boled Boleng mempreteli sepeda motor anakmu.”

“Saat itu mereka masih bocah, Baridin.”

“Ya, karena itulah aku menceburkan dia ke dalam sumur hingga mati.” (ADN, 2020:97).

Kutipan dialogis di atas dilakukan oleh Darto dan Baridin. Berlatar di rumah Baridin keduanya mengobrol sebentar setelah pertengkaran antara Baridin dan Boled Boleng.

Mencermati kutipan dialogis membawa pada kekonyolan sinting orang tua terhadap anak.

Suatu fenomena fakta empiris dan fakta imajinatif pengarang. Sebab suatu kesalahan, Baridin marah sehingga menceburkan Boled Boleng ke dalam sumur.

Memaknai kutipan tersebut menunjukkan rendahnya pendidikan orang tua dalam mendidik, mengarahkan, dan menanamkan budi pekerti. Rendahnya pendidikan membuat tokoh kehilangan akal. Nahasnya, memang hal-hal yang berkutat pada anak dilimpahkan ada kaum perempuan. Kaum laki-laki terlalu sibuk dengan urusan luar, sehingga kemantapan keluarga mengalami kerumpangan. Mestinya, pendidikan keluarga sepenuhnya menjadi tanggung jawab bersama—orang tua.

Fenomena di atas merupakan kegagalan pendidikan dalam ruang lingkup keluarga.

Orang tua tidak memiliki latar belakang pendidikan tidak mampu mengantarkan dan menemani pembentukan karakter anak. Ratminah tidak berpendidikan, begitupula dengan suaminya. Alhasil, seperti perilaku Boled Boleng dengan membaca keseluruhan novel.

Begitupula dengan Bagong Badrudin, yang amat tidak berkarakter.

“Lihat sana ke kamar emakmu. Emakmu pingsan di kamar mandi gara-gara keseleo saat mbebasuh baju-baju dekilmu. Tidak ada siapa pun di rumah. Kalau pun dia mati, aku akan menyalahkanmu atas kematiannya.

“Emak masih hidup kan? Jadi tidak perlu kau berteriak-teriak membikin aku malu begitu, Pak.” (ADN, 2020:195).

Konteks kutipan menggambarkan minusnya pendampingan di keluarga Badrudin.

Orang tua, tidak menahu apa yang dilakukan anak di luar rumah. Mencermati sekaligus memaknai konflik di masyarakat, berangkali memang sebab-akibat dari rendahnya

(11)

pendidikan. Orang tua terceritakan tidak ada yang menganyam dunia pendidikan. Jangankan orang tua, anak-anaknya saja enggan disekolahkan lantaran ekonomi. Alhasil, perilaku anak di kehidupan masyarakat teramat buruk. Lebih-lebih, setelah teknologi masuk desa. Mereka akan pulang malam, bahkan dini hari menghabiskan waktu bermain PS dan bermedia sosial.

Potret semacam ini sungguh memilukan, dan pantas menjadi perhatian bersama.

(e) Budaya Pergunjingan

Tidak saja masyarakat rural, potret aktivitas sosial membicarakan orang lain meluas pada masyarakat urban. Budaya pergosipan laiknya dunia entertainment yang digandrungi.

Lebih-lebih, banyak siaran televisi yang menayangkan kehidupan selebritis dan prestasi publiknya. Dalam Aib dan Nasib, dapat dipastikan setiap ada perkumpulan, di situlah budaya pergunjingan dimulai. Hal-hal yang dibicarakan bisa apapun, bahkan kelewat batas.

Latar tepat pun bisa di mana saja, misal warung, pusat jual-beli, rumah warga, pos kampling, hingga ruang pengajian.

Mang Sota dapat mendengar jelas seorang tetangga menertawakanya setelah berkata,

“Itu si Sota mulai hilang pikiran. Masa Uripah diperlakukan seperti anak laki-laki.

Aku jadi kasihan.”

“Kau kasihan kepada siapa? Si Sota atau si Uripah?” timpal seseorang lain.

“Kaupikir aku arus mengasihani salah satu?” dan tergelak-gelaklah mereka. (ADN, 2020:57).

Suatu kepastian, celah kekurangan seseorang menjadi topik pembicaraan menarik.

Kebenaran belum tentu teruji, tetapi informasi bagai kapas diterbangkan. Potret sosial sebagaimana kutipan di atas sering kita jumpai. Seolah menjadi kebiasaan yang membiasa bagi masyarakat. Adapun, kutipan di atas dilakukan oleh Bi Sartinah dan pelanggannya pada suatu pagi. Latar tempat bercerita di halaman rumah Yuminah. Para tokoh sedang menggunjingkan kehidupan Mang Sota, dan kabar buruk kehamilan Uripah lantaran kebiadaban Mang Sota.

“Ia pikir ia adalah satu-satunya gadis yang pernah melihat penis secara langsung, namun saat tak sengaja nimbrung dalam obrolan gadis-gadis lain, ia barulah tahu kalau melihat penis bukanlah pengalaman luar biasa.” (ADN, 2020:72-73).

Tidak bisa dimungkiri, selalu ada obrolan setiap perkumpulan. Pada kutipan di atas ternarasikan kumpulan anak-anak gadis usia SMA. Mereka adalah teman-teman Gulabia.

Diksi ‘ia’ merupakan Gulabia itu sendiri. Adapun yang dibicarakan adalah tentang dunia kelaki-lakian. Memaknai konteks pembicaraan dan konteks pelaku pergunjingan, pembahasan semacam itu sangat disayangkan. Lantaran pembicaraan mengarah pada aib seseorang. Menariknya, mereka seperti sudah terlatih mengobrolkan tentang lawan jenis.

(12)

Dilihat dari pendidikan budi pekerti, penarasian di atas menunjukkan minusnya karakter terpuji dari aspek sikap dan tindak tutur.

Memotret kehidupan masyarakat rural senantiasa memunculkan keunikan, keganjilan, dan kengerian mendalam. Kehidupan yang dibingkai budaya-sosial di lingkungan. Begitupula, pada Aib dan Nasib, kehidupan tokoh tidak melepas dari kulturalisasi. Baik di lingkup keluarga, sekolah maupun lingkungan pergaulan sehari-hari.

Dengan demikian, amat kental potret sosial masyarakat desa Indramayu. Selebihnya, masih banyak bermunculan potret-potret masyarakat lainnya.

Karenanya, kesungguhan Minanto dalam bercerita, barangkali sebentuk pemberontakan halus terhadap realitas. Keganjilan atas kehidupan masyarakat rural, sekaligus pandangan atau citra buruk terhadap masyarakat rural itu sendiri. Di sini, sastra bertindak penumpahan bangkai, yang bertujuan lain protes terhadap pemerintah atas kelayakan hidup. Akhirnya, aib dan nasib sungguh ‘menunjukkan’ realitas sekelompok masyarakat rural di Indramayu yang kehilangan identitas.

2) Fungsi Sosial Sastra

Membaca novel Aib dan Nasib, seolah-olah sedang menyaksikan layar lebar kehidupan masyarakat rural, pada umumya. Minanto sebagai pengarang asli Indramayu meramu fenomena fakta empiris dan fakta imajinatif. Pengarang teramat hebat

‘menceritakan’ sekaligus ‘menunjukkan’ potret-potret sosial masyarakat Indramayu dalam karyanya. Kehidupan yang dipenuhi warna-warni persoalan. Aib dan nasib, sungguh suatu istilah menggambarkan bangkai-bangkai yang tersimpan di lumbung kehidupan masyarakat.

Keberadaan fungsi sosial sastra menunjukkan, pertama paradigma kehidupan masyarakat rural yang terbelakang. Kedua, kehidupan masyarakat yang mulai teracun digitalisasi. Bagi masyarakat golongan orang tua, tetap kukuh pada pola pikir dan paradigma lama. Sedangkan, bagi masyarakat golongan muda, mulai keranjingan bermain-main di media sosial. Dan, ketiga potret masyarakat desa kehilangan identitas. Maksudnya, masyarakat yang terlepas dari keharmonisan bermasyarakat. Perselisihan diceritakan mencuat antarkeluarga. Potret-potret sosial ini, tampak nyata di kehidupan kita. Suatu potretisasi kehidupan yang bertitik balik dari esensinya.

Pada Aib dan Nasib, peneliti ditunjuksadarkan pada aspek-aspek masyarakat.

Sekelompok orang yang berkeputusasaan atas ketakdiran. Hidup, tidak seperti hidup, yang mati pun sebuah ketakutan nyata. Minanto lewat stilistika penceritaan menjadikan masyarakat Indramayu sebagai cermin dalam karyanya. Pencerminan sebagai bentuk kritik

(13)

sosial yang halus. Karenanya, novel Aib dan Nasib merupakan suara pengarang tentang lingkungan tempat tinggalnya. Sekalipun dibumbuhi imajinati, sesungguhnya peneliti mampu memahami suatu kehidupan yang memang sedemikian rupa.

Untuk itulah, fungsi sosial sastra ditunjukkan sebagai bentuk kesadaran dan pemahaman terhadap dunia secara nyata. Konflik-konflik sosial yang kunjung reda. Justru, semakin membara pada deretan konflik, meskipun meredup pada satu konflik lain.

Terpenting, eksistensi dari sebuah karya sastra tidak lain menunjukkan sisi-sisi lain—

sesuatu yang silap. Keunikan dan keganjilan yang dirasakan pengarang bereskapisme terhadap masyarakat dan lingkungannya.

SIMPULAN

Potret sosial masyarakat desa Indramayu, sejatinya mengambarkan kehidupan tokoh- tokoh kurang beruntung. Masyarakat Tegalurung dan Tegalsembadra tidak reda pada konflik yang melingkar-lingkar. Kemiskinan, seolah-olah sebuah potret ketakdiran yang mesti diterima. Adapun potret-potret yang terekam dalam novel terwakili pada seputaran visualiasi tentang: (a) konflik kemiskinan dan mata pencaharian; (b) dominasi laki-laki; (c) sistem kekerabatan; (d) minus pendidikan; dan (e) budaya pergunjingan. Selain potret-potret tersebut, sejatinya masih banyak. Akan tetapi, peneliti hanya mengambil potret sosial yang mendominasi setiap fragmen tokoh-tokohnya.

Sementara itu, fungsi sosial sastra berkenaan adalah bagaimana potretisasi kehidupan masyarakat rural sejatinya sesuatu yang bukan kebaruan. Kecuali konflik sosial berkaitan dengan digitalisasi. Akan tetapi, tidak mengurai kelayakan novel memotret kehidupan rural di Indramayu. Eksisensi pengarang, masyarakat, dan karya sastra bertindak sebagai penumpahan atas keganjilan bangkai peradaban. Kehidupan yang amat memilukan di tengah-tengah euforia digitalisasi.

Pemotretan masyarakat rural Indramayu dijadikan sebuah wacana atas banyak hal.

Bahwa karya sastra memasang layar kehidupan yang dilupa. Ketika hal-hal kecil di masyarakat kurang tersentuh. Lewat tangan kreatif dan pemikiran imajinatif pengarang segala kekurangan dan kebobrokan kehidupan, seolah-olah menjadi hiburan yang patut ditertawakan di satu sisi, dan di sisi lain pantas diperhatikan kelayakannya. Dengan begitu, potret sosial masyarakat rural Indramayu dapat dikenali masyarakat lain. Bilamana kehidupan perlu gebrakan menuju perubahan. Khususnya, paradigma berpikir.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Titin, Restu Wahyuni dan Wikanengsih. 2019. “Analisis Novel Saman Karya Ayu Utami: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Jurnal Parole Volume 2 Nomor 2, Maret 2019, hlm 219-298.

Carolina, Rilen, Missriani dan Yessi Fitriani. 2021. “Kajian Sosiologi Sastra dalam Novel Sang Pewarta Karya Aru Armando”. Jurnal Pendidikan Tambusai Volume 2 Nomor 2 Tahun 2021, hlm. 5267-5281.

Endaswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service.

Fatimah. “Nilai-Nilai Budaya Para Tokoh Utama dalam Novel Kembara Rindu Karya Habiburrahman El-Shirazy: Kajian Sosiologi Sastra”. Jurnal Academica Volume 5 Nomor 1, Januari-Juni 2021.

Mahsa, Masithah. 2021. “Representasi Masyarakat Bali dalam Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini (Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Jurnal Kande Volume 2 Nomor 2, Oktober 2021 hlm. 219-230.

Minanto. 2020. Aib dan Nasib. Tanggerang Selatan: Margin Kiri.

Sari, Masitah Intan, dkk. 2020. “Analisis Legenda Hnatu Sinakko Melalui Pendekatan Sosiologi Sastra”. Prosiding Seminar Nasional PBSI-iii Tahun 2020.

Swingewood, Alan. 1986. Socialogical Poetics and Aesthetic Theory. London: Macmillan Press.

Wahyudi, Tri. 2012. “Sosiologi Sastra Alan Swingewood Sebuah Teori”. Jurnal Poetika Volume 1 Nomor 1, Juli 2012.

Widyawati, Marta. 2020. “Dekonstruksi Dominasi Laki-Laki Terhadap Perempuan Rural dalam Novel Aib dan Nasib Karya Minanto”. Seminar Nasional Unpam, 3 Oktober 2020.

Yopi, Ahmais Sakinah. 2017. “Potret Sosial Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota dalam Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari. Sarjana Tesis.

Referensi

Dokumen terkait

Proses pembuatan keputusan utk formulasi kebijakan Proses pembuatan keputusan utk formulasi kebijakan publik, yang dilakukan oleh birokrasi & bersama dengan publik,

Prarencana Pabrik Kantongan Plastik Biodegradabel (LDPE-Cassava Starch) Dengan Kapasitas 14.669,469 Ton I Tahun.. Pada tabel L2 dapat dilihat sifat fisika-kimia gliserol pada

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku remaja putri menghadapi menarche sesuai dengan nilai dan budaya Batak di Jakarta dipengaruhi oleh informasi yang diterima, pola

.DQNHU ³'KDUPDLV´ VHSDQMDQJ WDKXQ -2012, lebih dari 38 kasus kanker pada anak pertahunnya yang ditangani oleh pihak rumah sakit. Mengingat pengobatan kanker yang

Saya menjaga sikap dengan berhati-hati dalam berbicara kepada pacar agar tidak..

Pembelajaran menulis teks negosiasi merupakan salah keterampilan yang harus dikuasai siswa.Menulis teks negosiasi,siswa akan berpikir kritis dalam menanggapi

Hubungan kuantitatif antara muatan bersih atom pada atom-atom penyusun kerangka utama senyawa 1,10-fenantrolin sebagai gambaran struktur elektronik menunjukkan hubungan

Dari tabel 19 tergambar bahwa paling banyak subyek mengatakan aplikasi komputer dapat digunakan untuk mengatasi masalah mahasiswa dalam menyusun instrumen yaitu sejumlah 58 dosen