• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Pengertian penyakit ginjal kronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Pengertian penyakit ginjal kronik"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Pengertian penyakit ginjal kronik

Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai adanya kelainan pada struktur ginjal atau fungsi yang bertahan selama lebih dari 3 bulan, ini mencakup 1 atau lebih hal berikut: (1) Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2; (2) albuminuria (yaitu, albumin urin 30 mg/24 jam atau rasio albumin-kreatinin urin 30 mg/g); (3) kelainan pada sedimen urin, histologi, atau pencitraan (imaging) yang menunjukkan kerusakan ginjal; (4) gangguan tubulus ginjal; atau (5) adanya riwayat transplantasi ginjal (KDIGO, 2013). Diagnosis pasien PGK ditetapkan dengan melihat LFG serta kadar albuminuria, perhitungan LFG yang akurat juga dibutuhkan selama proses kemoterapi atau untuk mengevaluasi fungsi ginjal (Forbes &

Gallagher, 2020)

Penanganan yang baik untuk PGK adalah dengan diagnosis yang lebih awal sehingga PGK dapat diterapi dengan maksimal. Direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan pada pasien dengan riwayat penyakit struktural pada ginjal, pasien hipertensi, diabetes, memiliki riwayat keluarga dengan PGK, dan pasien dengan penyakit autoimun (Kakitapalli et al., 2020).

2.1.2 Etiologi

Penyebab PGK mungkin sulit untuk dilihat tetapi umumnya diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya penyakit sistemik dan lokasi kelainan anatomi. Contoh penyakit sistemik termasuk diabetes,

(2)

gangguan autoimun, infeksi kronis, keganasan, dan kelainan genetik dimana ginjal bukan satu-satunya organ yang terkena. Lokasi anatomi dibagi menjadi penyakit glomerulus, tubulointerstitial, vaskular, dan kistik/bawaan, menentukan penyebab PGK memiliki implikasi penting pada prognosis dan pengobatan (Chen, Knicely, dan Grams, 2019).

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) dalam 11th Report of Indonesian Renal Registry tahun 2018 mencatat diagnosa etiologi pasien

gangguan ginjal akut yang menyebabkan penyakit ginjal kronik paling banyak disebabkan oleh penyakit ginjal hipertensi (39%) diikuti oleh nefropati diabetika (22%) dan nefropati obstruktif (11%), selain itu penyebab lainnya adalah lain-lain (12%), pielonefritis kronis (5%), glomerulonefritis primer (5%), tidak diketahui (3%), nefropati lupus (SLE) (1%), nefropati asam urat (1%), dan ginjal polikistik (1%) (Pernefri, 2018).

2.1.4 Patofisiologi

Terdapat 2 mekanisme terjadinya kerusakan pada ginjal yang berkaitan dengan PGK :

1. Mekanisme yang spesifik didasari oleh penyebabnya, contohnya : kelainan dalam perkembangan ginjal, deposit kompleks imun pada ginjal dan terjadi peradangan seperti glomerulonephritis, paparan toksin pada penyakit di tubulus ginjal atau interstitium (Harrison, 2018).

2. Hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron ginjal yang tersisa, hal ini terjadi akibat adanya penurunan massa ginjal dalam jangka waktu yang lama sehingga akan mengganggu fungsi ginjal. Berkurangnya jumlah nefron

(3)

mengakibatkan tubuh berusaha beradaptasi untuk mempertahankan LFG yang dimediasi oleh hormon vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Dalam jangka waktu yang lama adaptasi yang dilakukan tidak mampu dipertahankan seiring dengan peningkatan tekanan dan aliran di dalam nefron sehingga mengakibatkan kerusakan struktur ginjal, kelainan fungsi sel podosit, dan mengganggu proses filtrasi yang mengakibatkan sklerosis serta kematian sel nefron ginjal yang tersisa. Peningkatan aktivitas intrarenal pada sistem Renin- Angiotensin juga berkontribusi dalam proses terjadinya hiperfiltrasi, hipertrofi, dan sklerosis. Proses ini menjelaskan pengaruh dari penurunan massa ginjal terhadap progresifitas kerusakan ginjal (Harrison, 2018).

2.1.5 Klasifikasi penyakit ginjal kronik

Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, kadar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus), dan kadar albumin (KDIGO, 2013) a. Klasifikasi berdasarkan etiologi

Klasifikasi PGK berdasarkan ada atau tidaknya penyakit sistemik dan lokasi di dalam ginjal dari pengamatan temuan patologis anatomi, lokasi temuan patologis anatomi didasarkan pada besarnya proteinuria, temuan dari pemeriksaan sedimen urin, pencitraan (imaging), dan patologi ginjal (Kidney International Supplements,, 2013)

b. Klasifikasi berdasarkan kadar LFG (Laju Filtrasi Glomerulus)

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

LFG (ml/mnt/1,73m2) = *)

(4)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Kadar LFG

Derajat Kadar LFG

(ml/mnt/1,73m2) Keterangan

G1 ≥90 Normal

G2 60-89 Penurunan LFG ringan

G3a 45-59 Penurunan LFG ringan-

sedang

G3b 30-44 Penurunan LFG sedang-berat

G4 15-29 Penurunan LFG berat

G5 < 15 atau dialisis Gagal ginjal (KDIGO, 2013)

Gejala pada pasien PGK derajat 1 dan 2 biasanya asimtomatik, sehingga bisa dikenali pada saat pasien melakukan pemeriksaan laboratorium dengan kecurigaan penyakit lain, sedangkan untuk pasien dengan derajat 3 dan 4, gejala dan hasil tes laboratorium lebih mudah diidentifikasi. Hampir semua organ akan terpengaruh, tetapi gejala yang paling banyak didapatkan adalah anemia dan sering merasa lelah;

penurunan nafsu makan dengan malnutrisi yang progresif, kelainan dalam kadar kalsium, fosfor, hormon pengatur mineral, sodium, potassium, air, dan asam basa homeostasis (Harrison, 2018).

c. Klasifikasi berdasarkan kadar Albumin

(5)

Klasifikasi PGK berdasarkan kadar albumin adalah:

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan kadar Albumin

Derajat Kadar Albuminuria

(mg/g) Keterangan

A1 <30 mg/g Normal-peningkatan

ringan

A2 30-300 mg/g Peningkatan sedang

A3 >300 mg/g Peningkatan tinggi

(KDIGO, 2013)

2.2 Hemodialisis

2.2.1 Pengertian hemodialisis

Definisi dari hemodialisis menurut Setiati et al (2014) adalah suatu proses pengubahan komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran semipermeabel (membran dialisis) pada prinsipnya hemodialisis adalah suatu proses pemisahan atau penyaringan atau pembersihan darah melalui suatu membran yang semipermeabel yang dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang kronis maupun akut.

2.2.2 Indikasi hemodialisis

Pada PGK tahap 5, inisiasi hemodialisis dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut:

1. Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan dan atau hipertensi.

2. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi

(6)

farmakologis.

3. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat.

4. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi pengikat fosfat.

5. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi.

6. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa penyebab yang jelas.

7. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.

8. Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah adanya gangguan neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan (Setiati et al., 2014).

Panduan dari Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) tahun 2015 lebih merekomendasikan inisiasi dialisis ginjal perlu dilakukan berdasarkan penilaian dari komplikasi penyakit ginjal meliputi gejala dan tanda uremia, protein-energy wasting (PEW), abnormalitas metabolik, dan kelebihan cairan daripada hanya berdasarkan level fungsi ginjal yang spesifik (Cabrera et al., 2017).

2.2.3 Kontraindikasi hemodialisis

Kontraindikasi untuk terapi hemodialisis terbagi menjadi 2 menurut Setiati et al (2014), yaitu “Kontraindikasi absolut untuk dilakukan

(7)

hemodialisis adalah apabila tidak didapatkannya akses vaskular.

Kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukan adanya kesulitan akses vaskular, fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan koagulopati.”

2.2.4 Komplikasi hemodialisis

Selama hemodialisis komplikasi yang timbul berupa mual, hipotensi, peningkatan suhu tubuh, kram, menggigil, emesis, reaksi hipersensitivitas terhadap dialiser, pasien juga mengalami sakit punggung saat proses hemodialisis karena tidak dapat bergerak selama berjam-jam (Mehmood et al., 2019)

2.2.5 Kecemasan pada pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis.

Terapi hemodialisis dapat mempertahankan nyawa,tetapi pasien harus menghadapi masalah fisik, sosial, dan psikologis seumur hidup yang berkaitan dengan penyakit mereka. Hemodialisis hanya dapat menggantikan sebagian, tetapi tidak semua dari fungsi ginjal (Alkhaqani, 2021)

Terapi hemodialisis juga menyebabkan perubahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari, menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, pernikahan, dan pergeseran peran sosial menimbulkan masalah keuangan, tantangan mendasar bagi pasien adalah adaptasi psikologis untuk menyesuaikan kondisi sosial disekitar pasien pasien dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis (Alkhaqani, 2022)

Pasien PGK yang menjalani hemodialisis mengalami tekanan psikologis, tekanan psikologis yang terjadi dalam bentuk kecemasan, insomnia, kesulitan berkonsentrasi, tidak nafsu makan, kehilangan harapan serta semangat dalam

(8)

menjalani hidup, hal ini terjadi karena pasien yang menjalani hemodialisis sangat tergantung pada alat, apabila pasien tidak menjalani terapi dapat menyebabkan kematian, dalam penelitian ditemukan sebagian besar gambaran gejala kecemasan pasien PGK di Rumah Sakit Khusus Ginjal Rasyida dalam kategori cemas ringan sebanyak 148 orang (86,5%) (Pradido

& Rahman, 2020)

Penelitian lainnya menemukan 50% dari jumlah responden mengalami gejala kecemasan sedang dan 20% lainnya mengalami gejala kecemasan berat (Nagar, Vaidya, dan Patel, 2018)

2.3 Kecemasan

2.3.1 Pengertian kecemasan

Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2007). Kecemasan dapat dianggap sebagai patologis ketika itu mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan, pencapaian tujuan yang diinginkan, atau kenyamanan emosional (Black & Andreasen, 2014)

Kecemasan yang patologis merupakan gangguan psikologis yang jauh lebih serius dan intens daripada kekhawatiran sehari-hari karena itu berdampak negatif pada kehidupan individu. Gangguan kecemasan bukan hanya satu penyakit tetapi sekumpulan penyakit yang dibedakan dengan gejala-gejala tertentu seperti perasaan sangat cemas, tidak nyaman, tertekan, dan ketegangan (Şen, 2021).

(9)

2.3.2 Etiologi kecemasan

Penyebab terjadinya kecemasan masih belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Kecemasan sendiri secara normal terjadi pada anak-anak.

Perasaan takut atau cemas saat bertemu orang asing didapatkan pada usia 7-9 bulan (Adwas, Jbireal, dan Azab, 2019).

Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (2007) menjelaskan secara biologis penyebab terjadinya suatu mekanisme kecemasan adalah:

1. Sistem saraf otonom.

Menurut teori James-Lange kecemasan muncul sebagai respon dari rangsangan fisik atau fenomena perifer. Rangsangan fisik atau fenomena perifer merupakan sebuah stimulus yang menstimulasi sistem saraf otonom menyebabkan munculnya gejala-gejala tertentu ; Kardiovaskular (contohnya takikardia), muskular (contohnya nyeri kepala, gastrointestinal (contohnya diare), dan pernapasan (contohnya napas cepat). Pada beberapa pasien dengan gangguan kecemasan mengalami adaptasi yang lambat terhadap stimulus yang berulang, serta berespon secara berlebihan terhadap stimulus yang sedang. (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2007)

2. Neurotransmiter

Terdapat 3 neurotransmitter utama yang berhubungan dengan kecemasan menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (2007), neurotransmiter tersebut adalah :

a. Norepinefrin : pada pasien dengan gangguan kecemasan mengalami disregulasi pada sistem noradrenergik sehingga dengan stimulus yang kecil dapat mengaktifkan kinerjanya. Penelitian pada manusia didapatkan

(10)

pemberian adrenergik beta seperti isoproterenol dapat mencetuskan serangan panik yang parah dan sering. Temuan lainnya pada pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki kadar metabolit noradrenergik dalam cairan serebrospinal dan urin yang meninggi.

b. Serotonin : terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa m- chlorophenyl piperazine (mCPP) yang merupakan obat dengan efek

serotonergik dan non serotonergik yang multipel dan fenluramide yang menyebabkan pelepasan serotonin mengakibatkan peningkatan kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan.

c. GABA (gamma-aminobutyric acid) : beberapa pasien dengan gangguan kecemasan memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal.

3. Perubahan struktural pada otak

Adanya perubahan struktural seperti peningkatan ukuran ventrikel serebral, defek yang spesifik pada lobus temporalis saat dilakukan pemeriksaan dengan tomografi komputer (CT) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI), penelitian lainnya menemukan adanya temuan abnormal pada hemisfer kanan, yang mengarahkan bahwa suatu jenis asimetrisitas serebral mungkin penting di dalam perkembangan gejala gangguan kecemasan pada pasien tertentu. Interpretasi dari data tersebut adalah bahwa beberapa pasien dengan gangguan kecemasan memiliki lesi struktural pada otak yang mungkin relevan sebagai sebab pada gejala gangguan kecemasan mereka.

5. Genetika

(11)

Dari penelitian yang dilakukan telah menghasilkan data yang kuat bahwa sekurangnya suatu komponen genetika berperan terhadap perkembangan gangguan kecemasan.

2.3.3 Tanda dan gejala

Sensasi kecemasan sering dialami oleh hampir semua manusia.

Perasaan tersebut ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan, dan samar-samar, seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, hiperhidrosis, palpitasi, tremor, kekakuan pada dada, serta gangguan lambung ringan. Seseorang yang cemas mungkin juga merasa gelisah sehingga tidak mampu untuk duduk atau berdiri lama, gejala yang muncul bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 2007).

2.3.5 Faktor resiko kecemasan pada pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis

Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian kecemasan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis telah diteliti oleh Huang et al (2021), ditemukan pasien jenis kelamin perempuan, usia lanjut, level pendidikan yang rendah, dan pendapatan rendah meningkatkan kejadian kecemasan pada pasien.

Lama menjalani terapi hemodialisis merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kecemasan pada pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis, pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis dalam waktu yang lama meningkatkan kejadian kecemasan (Gadia et al., 2020)

(12)

2.3.6 Patofisiologi

Sebuah penelitian menyatakan bahwa mekanisme terjadinya kecemasan dapat melibatkan berbagai sirkuit saraf. Salah satu teori menyatakan adanya pengaruh dari aktivitas hipokampus dan amigdala dalam HPA (hypothalamic pituitary adrenocortical) axis. Seperti yang diketahui hipokampus dan

amigdala adalah nukleus utama dari sistem limbik yaitu jalur yang dikenal memproses emosi. Hipokampus dan amigdala berfungsi sebagai penyimpanan memori dan emosi (Adwas, Jbireal, dan Azab,2019).

Amigdala sendiri memiliki pengaruh dalam respon takut.Saat informasi sensorik masuk ke lateral amigdala, informasi akan diteruskan ke nukleus pusat di amigdala, kemudian akan diproyeksikan ke beberapa sistem otak yang terlibat dalam respons fisiologis dan perilaku terhadap takut. Proyeksi ke berbagai wilayah hipotalamus mengaktifkan sistem saraf simpatik dan menginduksi pelepasan hormon stres, seperti CRH (corticotropin releasing hormone). Produksi CRH (corticotropin releasing hormone) di paraventricular nukleus di hipotalamus mengakibatkan pelepasan glukokortikoid dari korteks adrenal. Proyeksi dari nukleus ke bagian periaqueductal grey, mengaktifkan tipikal tanggapan defensif serta

modifikasi rasa sakit. Adanya disregulasi dari mekanisme tersebut dapat menyebabkan seseorang mengalami gangguan kecemasan (Adwas, Jbireal, dan Azab, 2019).

2.3.7 Tingkat kecemasan

Kecemasan (Anxiety) memiliki tingkatan, menurut Stuart, G.W (2013)

(13)

tingkatan ansietas, diantaranya:

1. Kecemasan ringan

Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan seseorang menjadi lebih waspada.

2. Kecemasan sedang

Memungkinkan seseorang untuk memfokuskan hal yang penting dan mengesampingkan hal yang lain. Manifestasi yang muncul kelelahan, denyut jantung meningkat, pernapasan dan ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit,mampu belajar tapi tidak optimal, mudah tersinggung, mudah lupa, marah dan menangis.

3. Kecemasan berat

Kecemasan berat sangat mengurangi persepsi seseorang,cenderung memusatkan pikiran pada sesuatu yang rinci dan spesifik sehingga tidak memikirkan hal lain,semua perilaku ditunjukkan untuk mengurangi ketegangan.Manifestasi yang timbul seperti mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, tidak mampu belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri, merasa tidak berdaya, bingung dan mengalami disorientasi.

4. Panik

Panik berhubungan dengan ketakutan akan sesuatu hal ditandai dengan kehilangan kendali. Tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan tanda dan gejala yang dialami seperti susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat

(14)

berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak-teriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi, dan mengakibatkan peningkatan motorik, penurunan kemampuan berhubungan dengan orang lain dan tidak mampu

berpikir rasional.

Referensi

Dokumen terkait

Karena RCTI memiliki penonton dari banyak kalangan dan merupakan stasiun televisi yang sudah lama ada di Indonesia serta di stasiun televisi ini belum ada acara sejenis, sehingga

Dalam aplikasi ini juga disertakan kuis guna menambah pemahaman pengguna dalam mengenal alat musik gamelan.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan

throle valve throle valve  membuka sedikit untuk mengatasi jumlah udara 'ang masuk ban'ak   membuka sedikit untuk mengatasi jumlah udara 'ang masuk ban'ak dan suplai

Dari 10 spesies yang diamati memiliki bentuk dua pasang polinia yang bermacam- macam, antara lain bentuk heart shape terdapat pada Dendrobium strepsiceros,

[r]

Visualisasi citra wayang, khususnya wayang kulit juga semakin terlihat dengan adanya penggunaan bayangan pada produk interior yang mengadaptasi seni pertunjukan

Hal ini menyatakan bahwa setiap sinyal periodik dapat dinyatakan oleh deret harmonik (karena output dari sebuah eksitasi sinus pada sistem statik dapat dinyatakan sebagai