• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA KERJA DARI TINDAKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) SECARA SEPIHAK DI ERA COVID-19 JURNAL ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA KERJA DARI TINDAKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) SECARA SEPIHAK DI ERA COVID-19 JURNAL ILMIAH"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA KERJA DARI TINDAKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

SECARA SEPIHAK DI ERA COVID-19

JURNAL ILMIAH

Oleh :

SEPTIAN ATSURI JUNDI D1A017293

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM

2021

(2)

HALAMAN PERSETUJUAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TENAGA KERJA DARI TINDAKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

SECARA SEPIHAK DI ERA COVID-19

JURNAL ILMIAH

Oleh :

SEPTIAN ATSURI JUNDI D1A017293

Menyetujui, Pembimbing Pertama

Dr. Eduardus Bayo Sili, SH, M.Hum

NIP. 19690210 199903 1 002

(3)

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) SECARA SEPIHAK DI ERA COVID-19

SEPTIAN ATSURI JUNDI D1A017293

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK

Tujuan dari Penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang perlindungan hukum bagi Tenaga Kerja dari tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak di era Covid- 19 serta untuk menjelaskan upaya pemerintah dalam meminimalisir akibat Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak di era Covid-19. Penelitian ini adalan penelitian normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.

Hasil penelitian ini adalah perlindungan hukum yang harus diterima oleh pekerja/buruh dapat dibagi menjadi 2 yaitu pertama, perlindungan hukum pekerja/buruh dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja berarti pemutusan hubungan belum terjadi, berarti pekerja masih tetap pada kewajibannya dan pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dalam Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa, kedua perlindungan hukum pekerja/buruh setelah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja ada hak-hak pekerja yang harus diterima yang dimana terdapat pada Pasal 156 ayat (1), 156 ayat (2), 156 ayat (3), 156 ayat (4) dan Pasal 156 ayat (5) terdapat perubahan perhitungan uang pesangon.

Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Pemutusan Hubungan Kerja, Covid-19.

LEGAL PROTECTION FOR LABOUR FROM UNILATERAL TERMINATION OF EMPLOYMENT IN COVID-19 ERA

ABSTRACT

The purpose of this research is to define about legal protection for labour from unilateral termination of employment in the covid-19 era and the government’s endeavour to minimize unilateral termination of employment in covid-19 era. The method of this research is normative legal research using statute and conceptual approaches. The result of this research is legal protection that must be gained by labourers can be divided into 2. The first is that legal protection of labour in the termination of employment process, it means that the termination relationship has not occurred. The workers still have an obligation and rights based on the Article 155 Law Number 13 of 2003 concerning Labour. The second is legal protection of labours after termination of employment have rights that must be accepted by them which is regulated in the Article 156 paragraph 1, 156 paragraph 2, 156 paragraph 3, 156 paragraph 4 and 156 paragraph 5 there found a change in counting apportionment pay.

Key words: legal protection, termination of employment, covid-19.

(4)

I. PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 Pasal 28D Ayat (2) yang dinyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Terlepas dari adanya jaminan bagi setiap warga negara terkait hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, dalam dunia ketenagakerjaan merupakan salah satu masalah yang sering muncul yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), selanjutnya disingkat dengan PHK, yang tidak jarang juga, dapat menimbulkan konflik hubungan industrial, konflik antara pengusaha dengan pekerja/buruh, yang mengakibatkan terjadinya pengangguran.1 Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi, “Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/ buruh dan pengusaha”. PHK adalah salah satu hal yang seharusnya dapat dihindarkan, baik itu oleh pengusaha atau pun oleh pekerja/ buruh. Namun hal ini masih sering terjadi, masih cukup sering ditemui adanya kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan berbagai alasan atau penyebabnya2. kondisi seperti inilah yang sedang dialami oleh para pekerja/buruh di perusahaan-perusahaan swasta yang ada di Indonesia akibat pandemi Covid-19 saat ini.

1 Ramlan dan Rizki Rahayu Fitri, Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Dari Tindakan PHK Perusahaan Dimasa Covid-19, Jurnal Program Studi Magister Hukum, Edisi Khusus, 2020, hlm 58-59

2 Ibid, hlm 59

(5)

Virus Covid-19 sudah masuk di Indonesia sejak 2 Maret 2020 silam yang mulai terdeteksi masuk ketika dua Warga Negara Indonesia (WNI) dinyatakan positif virus corona pada 2 Maret 2020. Kedua WNI itu sebelumnya pernah berkontak dengan seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang yang tinggal di Malaysia pada suatu acara di Jakarta. Berdasarkan data sampai dengan 1 Mei 2021 korban akibat virus corona bertambah 4.512 kasus, total kasus positif Covid- 19 menjadi 1.672.880 sejak pertama kali di umumkan Presiden Joko Widodo pada awal maret 2020 lalu, Merujuk data Satgas Penanganan Covid-19, dari jumlah kasus positif, sebanyak 1.526.978 di antaranya telah sembuh. Pasien Covid-19 yang sembuh di Indonesia bertambah 4.344 dari hari sebelumnya.3

Hal ini tentu memberikan dampak yang merugikan negara maupun masyarakat, seperti menyebabkan berbagai macam persoalan di seluruh sektor kehidupan masyarakat, mulai dari persoalan kesehatan, ekonomi, politik, sosial hingga ketenagakerjaan. Khusunya pada sektor Ketenagakerjaan, meluasnya penyebaran virus Covid-19 hampir di seluruh wilayah Indonesia sangat mempengaruhi kinerja, produktivitas, keuangan perusahaan maupun kewajiban pengusaha untuk memenuhi kebutuhan biaya operasional salah satunya membayar hak-hak normatif pekerja seperti upah. Disamping itu, adanya pembatasan aktivitas dan himbauan untuk bekerja dari rumah (work from home) menimbulkan

3 CNN Indonesia, “Update Corona” Dikutip dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210501142114-20-637338/tambah-4512-total-kasus- positif-covid-jadi-1672880/. Dikutip pada Mei 2021, pukul 21:00 WITA.

(6)

suatu masalah baru bagi perusahaan mengingat tidak semua jenis pekerjaan bisa dikerjakan di rumah oleh pekerja.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh karyawan. Hal ini dikarenakan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak perusahaan yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha. Adapun alasan perusahaan yang sering kali menggunakan alasan force majeure untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), padahal

perusahaan tersebut masih dapat memproduksi seperti sebelum adanya Covid-19 ini. Hal yang harus diketahui menjadi syarat penting dalam Pemutusan Hubungan Kerja adalah perusahaan mengalami penurunan atau kerugian secara terus menerus selama dua (2) tahun sedangkan Covid-19 ini belum mencapai dua (2) tahun.

Kementrian Ketenagakerjaan sudah mencatat angka Pemutusan Hubungan Kerja pada 31 juli 2020 akibat Covid-19 tembus 3,5 juta lebih. Tentunya hal ini meningkatkan pengangguran, Sebelumnya Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa memperkirakan jumlah penganggguran bisa mencapai 10,7 juta sampai 12,7 juta orang pada tahun 20214. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan hukum yang jelas bagi tenaga kerja.

4 CNN Indonesia. (2020). Pekerja Dirumahkan dan Kena PHK Akibat Corona Capai 3,05 Juta. Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/ek onomi/20200720114203-92- 526610/pekerja-dirumahkan-dankena-phk-akibat-corona-capai305-juta Dikutip Pada 3 Mei 2021 Pukul 20;30 WITA.

(7)

II. PEMBAHASAN

Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dari Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak di Era Covid-19.

Perlindungan Hukum tenaga kerja sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertujuan untuk menjamin berlangsungnya hubungan kerja yang harmonis antara pekerja/buruh dengan pengusaha tanpa disertai adanya tekanan-tekanan dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Oleh karena itu pengusaha yang secara sosio-ekonomi memiliki kedudukan yang kuat wajib membantu melaksanakan ketentuan perlindungan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.5

Adapun tiga bentuk perlindungan tenaga kerja yang dikenal secara teoritis, yaitu sebagai berikut:6

1. Perlindungan yang dilihat dari segi ekonomis, yakni suatu bentuk perlindungan tenaga kerja yang diberikan kepada para pekerja/buruh yang mana hal tersebut berupa suatu imbalan atau penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi pekerja/buruh dan keluarga pekerja/buruh tersebut, perlindungan ini juga mengatur dalam hal pekerja/buruh tersebut tidak sanggup melakukan pekerjaannya karena suatu hal diluar yang dikehendaki pekerja/buruh tersebut perlindungan bentuk ini biasa umum disebut masyarakat sebagai jaminan social.

2. Perlindungan yang dilihat dari segi teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mana perlindungan ini bertujuan agar pekerja/buruh yang melakukan sebuah pekerjaan merasakan rasa aman dari segala bahaya yang dapat timbul

5 Rosyita, Ita, et al.Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Perusahaan Garmen, Jurnal Living Law, ISSN 2087-4936 Volume 8 Nomor 2, 2016, hlm.. 121

6 Zaeni Asyhadie, Hukum kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm,84

(8)

dari alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan oleh pekerja/buruh tersebut. Perlindungan ini biasa disebut masyarakat sebagai keselamatan kerja.

3. Perlindungan yang dilihat dari segi sosial, yaitu bentuk perlindungan yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mana perlindungan ini bertujuan memberikan hak kepada pekerja/buruh mengenai kesehatan dalam kehidupannya. Perlindungan ini dapat disebut sebagai kesehatan kerja.

Salah satu Pasal yang mengatur tentang perlindungan hak pekerja/buruh yang di PHK adalah Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjan menyatakan, dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/ atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak-hak yang seharusnya diterima.

Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja, karena tidak mampu untuk membayar kewajibannya terhadap pekerja/buruh7. Pasal 156 Ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah memberikan kepastian hukum bagi pekerja terdampak Covid-19 dengan adanya jaminan pemberian uang pesangon yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan atas kelangsungan hidup pekerja/buruh setelah di PHK. Adapun perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan karena alasan force majeure, telah diatur dalam Pasal 164 Ayat (1) Undang- Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa ;

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak

7 Syafrida, Safrizal, & Suryani, R. Pemutusan Hubungan Kerja Masa Pandemi Covid-19 Perusahaan Terancam Dapat Dipailitkan. Pamulang Law Review, 3(1),.

http://www.openjournal.unpam.ac.id/ index.php/palrev/article/view/6532, 2020, hlm 19-30

(9)

atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Perlindungan hukum terhadap pekerja setelah terjadinya PHK, apabila menelusuri berbagai literatur dan begitu pula dalam praktik maka akan diketahui, perlindungan hukum pekerja/buruh tercantum di dalam suatu perjanjian kerja bersama yang terdiri dari kewajiban-kewajiban dan hak-hak kedua belah pihak (pekerja dan pengusaha). Kemudian untuk dapat memperjelas perlindungan hukum yang harusnya diterima oleh pekerja/buruh dapat dipisahkan antara lain:8

1. Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh Dalam Proses Pemutusan Hubungan Kerja Proses pemutusan hubungan kerja yang berarti pemutusan hubungan belum terjadi, ini berarti pekerja masih tetap pada kewajibannya dan pekerja/buruh masih berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan yang diatur di dalam peraturan perundang- undangan yaitu pekerja/buruh dalam pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

2. Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh Setelah Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja. Dimana setelah terjadinya pemutusan hubungan kerja tersebut, selain upah atau uang pesangon tersebut ada hak-hak pekerja/buruh lain yang harus diterima oleh pekerja yaitu:

a. Imbalan kerja (gaji, upah dan lainnya) sebagaimana yang telah diperjanjikan bila ia telah melaksanakan kewajibannya.

b. Fasilitas dan berbagai tunjangan atau dana bantuan yang menurut perjanjian dan akan diberikan oleh majikan atau perusahaan kepadanya.

c. Perlakuan yang baik atas dirinya melalui penghargaan dan penghormatan yang layak, selaras dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

d. Perlakuan yang adil dan seimbang antara dirinya dan kawan- kawannya, dalam tugas dan penghasilannya masing-masing dalam angka perbandingan yang sehat.

e. Jaminan kehidupan yang wajar dan layak dari pihak majikan.

f. Jaminan perlindungan dan keselamatan diri dan kepentingannya selama hubungan kerja berlangsung.

8 Erica Gita Mogi, “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja yang di PHK Sepihak Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003”, Jurnal Lex Administratum:

Vol.V No.2, 2017, hlm. 62

(10)

g. Penjelasan dan kejelasan status, waktu dan cara kerjanya pada majikan perusahaan.

Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menetapkan bahwa:

“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

Kemudian dalam Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menetapkan: Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:

1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

8. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

9. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Selanjutnya dalam Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menetapkan: Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah

2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (duabelas) tahun, 4 (empat) bulan upah;

(11)

4. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;

5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;

6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (duapuluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

7. masa kerja 21 (duapuluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (duapuluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

8. masa kerja 24 (duapuluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

Kemudian dalam Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;

3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;

4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 156 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menegaskan Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(12)

Upaya Pemerintah dalam Meminimalisir Akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Secara Sepihak di Era Covid-19.

A. Regulasi Pemerintah dalam upaya Perlindungan Pekerja/Buruh yang di PHK di Masa Pandemi

Regulasi yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan pekerja/buruh di masa pandemi dapat diuraikan ke dalam beberapa bagian berikut:

1. Berkenaan dengan pengupahan bagi pekerja/buruh. Hal ini diatur dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor:

M/3/HK.04/III/2020 berikut:

a. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP) terkait Covid-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 (empat belas) hari atau sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh;

b. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan kasus suspect Covid-19 dan dikarantina/diisolasi menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan secara penuh selama menjalani masa karantina/isolasi;

c. Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena sakit Covid-19 dan dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan;

d. Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah di daerah masing-masing guna pencegahan

(13)

dan penanggulangan Covid-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.

2. Berkenaan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Implikasi pandemi yang paling terasa bagi pekerja/buruh adalah PHK. Jika merujuk pada ketentuan perundang-undangan sebelum masa pandemi namun masih relevan untuk diacu sebagai prosedur untuk membaca realitas PHK yang terjadi secara massal. Dari ketentuan yang ada, hampir sepenuhnya tidak memberikan ruang bagi PHK. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: 197/MEN/PHI-PPHI/V/2008 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), disebutkan bahwa sebelum perusahaan mengambil langkah PHK, maka terlebih dahulu dilakukan langkah- langkah berikut:

a. Meminta perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi, termasuk overhead perusahaan;

b. Mendorong pelaksanaan tindak lanjut kesepakatan Dewan Pengurus Nasional APINDO berdasarkan hasil pertemuan bipartit dengan pihak Serikat Pekerja/Serikat Buruh, agar setiap perusahaan dapat menaikan biaya makan dan biaya transportasi

(14)

kepada para pekerjanya, sesuai kemampuan perusahaan yang bersangkutan;

c. Meminta agar setiap pengusaha memerankan forum bipartit dan mengedepankan dialog antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan masing-masing.

B. Program Pemerintah Dalam Menunjang Hak Dan Kewajiban Para Pekerja Yang Di PHK Ditengah Pandemi Covid-19.

1. Kartu Prakerja

Pemerintah pada 11 April 2020 mengeluarkan kebijakan dengan merilis Program Kartu PraKerja. Pelaksanaan Kartu Prakerja 2020 merupakan implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Re-focusing Kegiatan, Realokasi Anggaran, serta Pengadaan Barang dan Jasa untuk Percepatan Penanganan Covid-19.9 2. Pemberian Insentif Sebesar Rp 5.000.000

Insentif tersebut digelontorkan untuk korban PHK melalui BP Jamsostek.Pemerintah akan memberikan dana sebesar Rp1 juta per pekerja per bulan ditambah insentif Rp1 juta, totalnya per peserta akan menerima Rp 5 juta. Pekerja yang sudah ikut BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) yang kena PHK akan dibantu mendapatkan dana ini.

3. Bentuk padat karya

Program padat karya ini dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga negara terkait sesuai bidang kerja masing-masing. Selain itu,

9 M.hukumonline, “Pengaturan Pesangon dan JKP dalam UU Cipta Kerja”

(https://m.hukumonline.com/berita/baca/d8fb234d82//, diakses pada tanggal 21-8-2021. Pukul 20.15 WITA)

(15)

terdapat padat karya tunai. Program ini utamanya ditujukan bagi masyarakat lapisan bawah di pedesaan yang terdampak pandemi Covid-19. Padat karya tunai juga dapat diterapkan secara masif menggunakan skema dana desa. Kepala Negara mengatakan bahwa dana desa dalam situasi saat ini setidaknya dapat dimanfaatkan untuk dua hal, yaitu sebagai bantuan sosial bagi warga yang terdampak serta sebagai program padat karya tunai di desa-desa.

4. JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan)

Di dalam omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja, terdapat pula aturan yang menegaskan bahwa pemerintah atau pekerja/buruh yang mengalami PHK, Undang-Undang Cipta Kerja mengatur ketentuan mengenai program jaminan kehilangan pekerjaan yang manfaatnya berupa uang tunai akses informasi pasar kerja, dan pasar kerja. JKP adalah program jaminan social baru. Pasal 82 Undang- Undang Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan yang ada pada Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 18 diubah. Sebelmunya, terdapat 5 jaminan sosial yakni : Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, Jaminan Kematian.

(16)

III. PENUTUP

Kesimpulan

1. Perlindungan hukum yang harus diterima oleh pekerja/buruh dapat dibagi menjadi 2 yaitu pertama, perlindungan hukum pekerja/buruh dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja berarti pemutusan hubungan belum terjadi, berarti pekerja masih tetap pada kewajibannya dan pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dalam Pasal 155 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaa. Kedua perlindungan hukum pekerja/buruh setelah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja ada hak-hak pekerja yang harus diterima yang dimana terdapat pada Pasal 156 ayat (1), 156 ayat (2), 156 ayat (3), 156 ayat (4) dan Pasal 156 ayat (5) terdapat perubahan perhitungan uang, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

2. Selanjutnya upaya pemerintah dalam meminimalisir Pemutusan Hubungan Kerja dengan cara mengeluarkan regulasi yaitu Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 dan Surat Edaran Meneker dan Transmigrasi No 197/MEN/PHI-PPHI/V/2008. Dan beberapa program pemerintah untuk menunjang hak dan kewajiban para pekerja/buruh ,Seperti mengeluarkan kebijakan kartu prakerja, Pemberian Insentif Sebesar Rp 5.000.000, Bentuk padat karya dan KP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan).

(17)

Saran

1. Perlindungan terhadap pekerja/buruh selama ini belum maksimal yang bisa dilakukan pemerintah, namun kita mengapresiasi aturan-aturan hukum yang dapat melindungi kepentingan pekerja/buruh, kita berharap kedepannya peraturan perUndang-Undangan yang dibuat semakin sempurna sehingga ada kepastian hukum dalam menjamin dan melindungi hak-hak dari pekerja/buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja secara sepihak khususnya pada kondisi Covid-19 sehingga kesejahteraan dan perlindungan kepada pekerja/buruh dapat terpenuhi.

2. Langkah-langkah yang ditetapkan pemerintah dalam melindungi pekerja sudah sangat baik, namun belum maksimal dan signifikan, terutama berkenaan dengan persoalan PHK terhadap pekerja/buruh. Di sisi yang lain, pekerja/buruh pun harus proaktif dalam memperjuangkan hak-haknya dengan tetap bersandar pada peraturan perundang-undangan. Serta Kebijakan pemerintah dengan meluncurkan program Kartu Prakerja, Pemberian Insentif Sebesar Rp 5.000.000, Bentuk padat karya dan JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) dalam menangani permasalahan pengangguran di Indonesia dan menjadi jaminan bagi pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja secara sepihak di era Covid-19.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Zaeni Asyhadie, 2013, Hukum kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Rajawali Pers, Jakarta.

Internet

CNN Indonesia, “Update Corona” Dikutip dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210501142114-20-

637338/tambah-4512-total-kasus-positif-covid-jadi-1672880/. Dikutip pada Mei 2021, pukul 21:00 WITA.

CNN Indonesia. (2020). Pekerja Dirumahkan dan Kena PHK Akibat Corona Capai 3,05 Juta. Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/ek onomi/20200720114203-92- 526610/pekerja-dirumahkan-dankena-phk- akibat-corona-capai305-juta Dikutip Pada 3 Mei 2021 Pukul 20;30 WITA.

M.hukumonline, “Pengaturan Pesangon dan JKP dalam UU Cipta Kerja”

(https://m.hukumonline.com/berita/baca/d8fb234d82//, diakses pada tanggal 21-8-2021. Pukul 20.15 WITA)

Jurnal

Erica Gita Mogi, 2017, “Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja yang di PHK Sepihak Oleh Perusahaan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003”, Jurnal Lex Administratum: Vol.V No.2.

Ramlan dan Rizki Rahayu Fitri, 2020, Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Dari Tindakan PHK Perusahaan Dimasa Covid-19, Jurnal Program Studi Magister Hukum, Edisi Khusus.

Rosyita, Ita, 2016, et al.Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Perusahaan Garmen, Jurnal Living Law, ISSN 2087-4936 Volume 8 Nomor 2.

Syafrida, Safrizal, & Suryani, R. 2020, Pemutusan Hubungan Kerja Masa Pandemi Covid-19 Perusahaan Terancam Dapat Dipailitkan. Pamulang Law Review, 3(1),. http://www.openjournal.unpam.ac.id/

index.php/palrev/article/view/6532 Peraturan PerUndang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(19)

Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.39, 2003 Tenaga kerja, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).

Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tahun 2020 Tentang Perlindungan Pekerja/buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.

Surat Edaran Meneker Nomor SE-197/MEN/PHI-PPHI/X/2008 Tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Masal.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk perusa haan ini jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan pada setiap periode dapat dikatakan sudah tertentu dan independen dari pasar modal.. Oleh karena itu

Dengan kata “efisiensi” yang terdapat dalam Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi

Didalam Pancasila terdapat 3 nilai yang pertama nilai dasar yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu dan

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menarik kesimpulan yaitu Konsep perlindungan hukum terhadap buruh yang mendapatkan pemutusan hubungan kerja akibat Covid-19

Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak yang dilakukan pemutusan kontrak kerja konstruksi secara sepihak dalam perspektif Hukum Perdata?. Untuk mengetahui,

Terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh pengusaha dalam perkara ini, maka akibat hukum bagi pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi

Target untuk pengguna hilir SNR: Tidak ada bukti tenaga kerja anak atau bahwa usia minimum untuk tenaga kerja tidak dipatuhi oleh organisasi dan dapatkan jaminan dari pemasok SNR

Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pekerja dalam pemutusan hubungan kerja dengan alasan efisiensi akibat pandemi berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan adalah