TENTANG KETENAGAKERJAAN
TESIS
OLEH
MAURITZ TRITANJAYA SIDABARIBA 187005014/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
iv Telah diuji
Pada tanggal: 19 Januari 2021
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum
Anggota : 1. Dr. Agusmidah, SH., M.Hum
2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH., M.Hum
3. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum
4. Dr. T. Keizeirina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum
v
Saya Mauritz Tritanjaya Sidabariba (NIM. 187005014/HK) dengan ini menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul: PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MENOLAK MUTASI BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN adalah karya orisinil saya, bukan plagiat dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Magister Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, 19 Januari 2021 Yang Menyatakan,
Mauritz Tritanjaya Sidabariba NIM. 187005014/HK
vi Saya yang bertandatangan di bawah ini:
NAMA : MAURITZ TRITANJAYA SIDABARIBA
NIM : 187005014
PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalty Non Ekslusif (Non Exclusive, Royalty Free Right) untuk mempublikasikan tesis saya yang berjudul: PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MENOLAK MUTASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.
Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmediakan/memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tesis saya selama tetap mencantumkan namasaya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Demikianlah persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.
Medan, 19 Januari 2021 Yang Menyatakan,
Mauritz Tritanjaya Sidabariba NIM. 187005014/HK
vii
melakukan pemutusan hubungan kerja karena adanya perselisihan yang terjadi antar kedua belah pihak.
Mutasi kerapkali disalahgunakan oleh pengusaha untuk menghindari kewajibannya memberikan pesangon sehingga dengan sendirinya, pekerja/buruh akan mengundurkan diri dari pekerjaannya apabila pekerja/buruh tersebut menolak mutasi.
Penelitian ini mengangkat masalah: Bagaimana bentuk perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh menolak mutasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Bagaimana akibat hukum terhadap pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena menolak mutasi? Bagaimana keabsahan pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi berdasarkan putusan pengadilan Nomor 123/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn jo. Nomor 310/K/Pdt.Sus-PHI/2016, putusan pengadilan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn dan putusan pengadilan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian ini menyimpulkan bahwa: Pertama, perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi dapat diatur secara otonom dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja dan/atau dalam perjanjian kerja bersama dengan tetap memperhatikan prinsip kesepakatan atau musyawarah untuk mufakat sebagaimana yang terkandung dalam hubungan kerja yang terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh. Kedua, mutasi yang dilakukan tanpa prinsip kesepakatan atau musyawarah untuk mufakat secara umum akan berakibat hukum pada perselisihan hubungan industrial yang berpotensi pada pemutusan hubungan kerja. Ketiga, sah atau tidaknya pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi harus terlebih dahulu memperhatikan apakah mutasi tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, peraturan perusahaan/perjanjian kerja dan/atau perjanjian kerja bersama atau tidak.
Kata Kunci: Pemutusan Hubungan Kerja, Mutasi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
viii
Disputes that lead to termination of employment are generally triggered by a lack of communication between workers/labor and employers. The workers/laborers are positioned as the party in need so they are very weak and vulnerable to various irregularities. In several cases, employers often make transfers to workers laborers before terminating the employment relationship due to disputes between the two parties. Mutations are often abused by employers to avoid their obligation to provide severance pay so that automatically, the worker/laborer will resign from his job if the worker/laborer refuses the transfer.
This research raises the problem: What is the form of legal protection in termination of employment because workers/laborers refuse transfer based on Law Number 13 of 2003 concerning Manpower? What is the legal effect on workers/laborers whose employment relationship has been terminated for refusing to transfer? How is the legality of termination of employment due to refusal to transfer based on court decision Number 123/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn jo. Number 310/K/Pdt.Sus- PHI/2016, court decision Number 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn and court decision Number 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn?
This research uses normative legal research methods and this research concludes that: First, legal protection in termination of employment due to refusal to transfer is not strictly regulated in Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, but legal protection in termination of employment due refusal to transfer can regulated autonomously in company regulations/work agreements and/or in collective working agreements with due observance of the principles of agreement or deliberation to reach a consensus as contained in the working relationship that occurs between the entrepreneur and the worker/laborer. Second, transfers made without the principle of agreement or deliberation to reach a consensus will generally result in legal consequences for industrial relations disputes that have the potential to terminate employment. Third, legal or wether or not a termination of employment is due to refusing a transfer must first consider whether the transfer is contrary to Law Number 13 of 2003 concerning Manpower, company regulations/work agreements and/or collective labor agreements or not.
Keywords: Termination of Employment, Transfer, Law Number 13 Year 2003 concerning Manpower.
ix
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul:
“PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MENOLAK MUTASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN”.
Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Hukum dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta dan keluarga besar penulis.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada:
1. Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Ketua Komisi Pembimbing/Dosen
x
5. Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan tesis ini.
6. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing III yang telah membimbing dan memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis ini.
7. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis ini.
8. Dr. T. Keizeirina Devi Azwar, S.H., CN., M.Hum selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis ini.
9. Seluruh Dosen Pengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai selama perkuliahan dan para Pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas SumateraUtara.
10. Mirza Budiansyah, S.H dan Minggu Saragih, S.H., M.H selaku Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis untuk diwawancarai dan telah bersedia memberikan bantuan terhadap penulis selama penulis melakukan penelitian di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
11. Fred Kelly W. Simorangkir, S.H., M.AP selaku Kepala Seksi Penyelesaian Perselisihan pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara yang telah
xi
di Kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
12. Keluarga besarku: kedua orang tua tercinta: B. Sidabariba dan N. Saragi Turnip, sanak saudaraku: Lando Rimtho M. T. Sidabariba, SE; Devika F. Simbolon, S.Pd;
Henra M. Hutasoit; Yossie Aurina Sidabariba, S. Farm., Apt; Kevi Arsepta Sidabariba, S.Sos dan Dian Afriscilla Sidabariba, S.Pd dan keponakanku: Gwendova Rorisya Amaris Sidabariba dan Youra Jesica Ronatio Hutasoit. Terima kasih atas doa, dukungan dan motivasi yang selama ini telah kalian berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
13. Para Pengurus dan Pegawai YPK Don Bosco KAM yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan perkuliahan pada Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
14. RD. Michael Sheko Swandi Marlindo selaku Ekonom Keuskupan Sufragan Purwokerto yang telah memberikan dukungan, semangat dan bantuan material kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
15. Kaum kerabatku dalam organisasi OMK (Orang Muda Katolik) Santo Yohanes dari Salib Gereja Katolik Paroki Santo Paulus Pasar Merah Medan yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
xii
Konsentrasi Hukum Tata Negara Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Terima kasih untuk semua kebaikan dan bantuan dari teman-teman dan semoga persaudaraan kita tetap terjalin.
Akhir kata penulis berharap semoga buah karya akademik ini mempunyai nilai guna dan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum di masa yang akan datang.
Medan, 19 Januari 2021 Hormat saya,
Penulis,
Mauritz Tritanjaya Sidabariba NIM. 187005014/HK
xiii Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 08 Februari 1989 Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik
Kebangsaan : Indonesia
Status : Belum Menikah/Lajang
Alamat : Jalan Pelajar Timur Gang Mestika Nomor 7-A Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan 20228
Email : [email protected]
Latar Belakang Pendidikan Formal
Sekolah Tempat Tahun
SD SD Santo Antonius VI Medan 1995 – 2001
SMP SMP Trisakti 1 Medan 2001 – 2004
SMA SMA Negeri 8 Medan 2004 – 2007
S-1 (Strata) (SH)
Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, Bidang Kekhususan Peradilan & Advokasi
2010 – 2014
S-2 (Magister) (MH)
Fakultas Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Konsentrasi Hukum Tata Negara
2018 – 2021
xiv
LEMBAR PENGESAHAN……….... iii
TANGGAL UJIAN………. iv
PERNYATAAN ORISINILITAS……….. v
PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS………... vi
ABSTRAK……… vii
ABSTRACT………... viii
KATA PENGANTAR………. ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP……… xiii
DAFTAR ISI……… xiv
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Permasalahan……….. 11
C. Tujuan Penelitian……… 12
D. Manfaat Penelitian………. 13
1. Manfaat Teoritis………. 13
2. Manfaat Praktis……….. 13
E. Keaslian Penelitian………...13
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual……….. 16
1. Kerangka Teori……….. 16
2. Kerangka Konseptual………. 26
G. Metode Penelitian……….... 26
1. Jenis dan Sifat Penelitian………... 26
2. Metode Pendekatan……….... 28
3. Sumber Data………...29
4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data……….. 29
5. Analisis Data………... 31
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA PEKERJA/BURUH MENOLAK MUTASI………. 32
A. Ruang Lingkup Mutasi……… 32
B. Dasar Pengusaha Melaksanakan Mutasi……….. 36
1. Prestasi Kerja………. 36
2. Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh………. 38
a. Perjanjian Kerja……….. 41
b. Perjanjian Kerja Bersama……… 43
C. Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan………... 44
1. Prinsip Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh di Indonesia……… 45
2. Jenis Perlindungan Hukum Pekerja/Buruh di Indonesia………... 46
a. Perlindungan Ekonomis………..……. 47
xv
1. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang
Diputus Hubungan Kerjanya Karena Pekerja/Buruh Menolak Mutasi Pada PT. Tria Sumatera Coorporation/Novotel Soechi
International (Studi Kasus Putusan Nomor
123/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn jo. Putusan Nomor 310 K/
Pdt.Sus-PHI/2016)………. 53
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Diputus Hubungan Kerjanya Karena Pekerja/Buruh Menolak Mutasi Pada PT. TOR GANDA cq. PT. TOR GANDA PERKEBUNAN SIBISA MANGATUR (Studi Kasus Putusan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn)………. 59
3. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Diputus Hubungan Kerjanya Karena Pekerja/Buruh Menolak Mutasi Pada PT. Nada Indo Perkasa/Home Family Karaoke (Studi Kasus Putusan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn)………. 63
BAB III AKIBAT HUKUM BAGI PEKERJA/BURUH DALAM PELAKSANAAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MENOLAK MUTASI……….. 71
A. Tindakan Hukum yang Dapat Dilakukan Pekerja/Buruh yang Menolak Mutasi Pengusaha Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan………. 71
1. Penyelesaian Melalui Bipartit……….…… 74
2. Penyelesaian Melalui Mediasi……….... 75
3. Penyelesaian Melalui Konsiliasi………...…….. 76
4. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial………. 77
B. Akibat Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Diputus Hubungan Kerjanya Karena Pekerja/Buruh Menolak Mutasi……….. 80
1. Akibat Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Diputus Hubungan Kerjanya Karena Pekerja/Buruh Menolak Mutasi Pada PT. Tria Sumatera Coorporation/ Novotel Soechi International (Studi Kasus Putusan Nomor 123/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn jo. Putusan Nomor 310 K/ Pdt.Sus-PHI/2016)……….. 81
2. Akibat Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Diputus Hubungan Kerjanya Karena Pekerja/Buruh Menolak Mutasi Pada PT. TOR GANDA cq. PT. TOR GANDA PERKEBUNAN SIBISA MANGATUR (Studi Kasus Putusan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn)……….. 83 3. Akibat Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Yang Diputus
xvi
BAB IV KEABSAHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA MENOLAK MUTASI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN, PERATURAN PERUSAHAAN/PERJANJIAN KERJA DAN PERJANJIAN KERJA
BERSAMA………... 87
A. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Menolak Mutasi Dalam Beberapa Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama……… 87
B. Keabsahan Pemutusan Hubungan Kerja yang Dilakukan Pengusaha kepada Pekerja/Buruh yang Menolak Mutasi Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Perusahaan/ Perjanjian Kerja dan Perjanjian Kerja Bersama……….. 97
1. Putusan Nomor 123/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn jo. Putusan Nomor 310 K/Pdt.Sus-PHI/2016..……….. 98
2. Putusan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn.………….………... 99
3. Putusan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn... 100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………... 104
A. Kesimpulan……… 104
B. Saran………... 106
DAFTAR PUSTAKA………... 107
1 A. Latar Belakang
Dalam berbagai tulisan tentang ketenagakerjaan kerapkali dijumpai adagium yang berbunyi “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”. Adagium tersebut tampaknya biasa saja seperti tidak mempunyai makna dan apabila dikaji lebih jauh akan kelihatan kebenarannya. Pekerja/buruh dikatakan sebagai tulang punggung karena memang dia mempunyai peranan yang penting. Tanpa adanya pekerja/buruh tidak akan mungkin perusahaan itu dapat jalan dan berpartisipasi dalam pembangunan.1
Pengusaha dan pekerja/buruh kerapkali mengalami perselisihan. Membahas perselisihan identik dengan membahas masalah konflik. Secara sosiologis, perselisihan dapat terjadi dimana-mana, di lingkungan rumah tangga, sekolah, pasar, terminal, lingkungan kerja, dan sebagainya. Secara psikologis, perselisihan merupakan luapan emosi yang mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain. Masalah perselisihan merupakan hal yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia itu sendiri.2 Sama halnya dalam bidang ketenagakerjaan, timbulnya perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh
1Asikin Zainal, dkk., Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016), Hal. 95.
2Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), Hal. 149.
biasanya berpokok pangkal karena adanya perasaan-perasaan kurang puas. Pengusaha memberikan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menurut pertimbangannya sudah baik dan akan diterima oleh pekerja/buruh, namun karena pekerja/buruh yang bersangkutan mempunyai pertimbangan dan pandangan yang berbeda-beda, maka akibatnya kebijaksanaan yang diberikan oleh pengusaha itu menjadi tidak sama. Pekerja/buruh yang merasa puas akan tetap bekerja dengan semakin bergairah sedangkan pekerja/buruh yang tidak puas akan menunjukkan semangat kerja yang menurun sehingga terjadi perselisihan- perselisihan.3
Perselisihan antara pengusaha dan pekerja/buruh disebut juga dengan istilah perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam 1 (satu) perusahaan.4
Perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh cenderung akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja yang menjadi salah satu permasalahan yang
3Asikin Zainal, dkk., Op.cit, Hal. 201.
4Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
sering muncul dalam hubungan kerja.5 Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruhadalah hubungan subordinasi, yaitu hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah dan/atau hubungan antara yang memberi upah dan yang menerima upah.
Konteks yang demikian seharusnya turut menjadi pertimbangan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.6 H. R. Abdussalam berpendapat bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara para pekerja/buruh masih diperlakukan secara sepihak oleh pengusaha.7 Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena adanya perselisihan akan membawa dampak terhadap kedua belah pihak, khususnya bagi pekerja/buruh yang dari sudut ekonomis mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan pengusaha.
Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja/buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis, dan finansial karena:
1. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, pekerja/buruh telah kehilangan mata pencahariannya;
2. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya harus banyak mengeluarkan biaya (keluar masuk perusahaan, di samping biaya-biaya lain seperti pembuatan surat- surat untuk keperluan lamaran dan fotokopi surat-surat lain); dan
3. Kehilangan biaya hidup untuk diri dan keluarganya sebelum mendapatkan pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.8
5Umar Kasim, Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja, (Jakarta: Jurnal Informasi Hukum Volume 2, 2004), Hal. 26.
6Agusmidah, dkk., Bab-Bab Tentang Hukum Perburuhan Indonesia, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), Hal. 122.
7H. R. Abdussalam, Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) yang telah direvisi, (Jakarta: Restu Agung, 2009), Hal. 345-346.
8Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, (Jakarta: Rinneka Cipta, 1988), Hal. 97.
Sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan dengan adanya pemutusan hubungan kerja, khususnya bagi pekerja/buruh dan keluarganya, Imam Soepomo berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai keperluan hidup sehari- hari keluarganya, permulaan dari berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak, dan sebagainya.9
Dalam teori hukum ketenagakerjaan dikenal adanya 4 (empat) jenis pemutusan hubungan kerja, yaitu:
1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha.
Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh telah melakukan penipuan, pencurian, penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. Pekerja/buruh memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. Pekerja/buruh mabuk, minum-minuman keras, memakai atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat aktif lainnya, di lingkungan kerja;
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi, teman sekerja atau perusahaan di lingkungan kerja;
f. Membujuk teman sekerja atau perusahaan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-Undang;
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau perusahaan dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
9Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 1983), Hal. 124.
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan Negara; dan
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam hukuman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kesalahan berat dimaksud harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. Adanya pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh.
Pekerja/buruh berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan pihak pengusaha karena pada prinsipnya pekerja/buruh tidak boleh dipaksakan untuk terus menerus bekerja bilamana pekerja/buruh tersebut tidak menghendakinya. Dengan demikian, pemutusan hubungan kerja oleh pekerja/buruh dilakukan atas inisiatif pekerja/buruh yang bersangkutan untuk meminta diputuskan hubungan kerjanya dengan melakukan pengunduran diri atas kemauannya sendiri tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
3. Pemutusan hubungan kerja demi hukum.
Pemutusan hubungan kerja demi hukum pada umumnya putus dengan sendirinya tanpa perlu meminta penetapan dari lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:
a. Pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. Pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang- undangan; atau
d. Pekerja/buruh meninggal dunia.
4. Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan.
Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan adalah tindakan pemutusan hubungan kerja karena adanya putusan Hakim di Pengadilan. Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan disebabkan karena adanya perselisihan hak, kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan serikat pekerja/buruh dalam 1 (satu) perusahaan.10
Sehubungan dengan keempat jenis pemutusan hubungan kerja tersebut, maka dalam era pembangunan nasional yang menghendaki tercapainya masyarakat adil dan makmur secara merata, baik materiil maupun spiritual seharusnya pemutusan hubungan kerja tidak perlu terjadi.11
Pemutusan hubungan kerja dalam hukum ketenagakerjaan merupakan upaya terakhir setelah berbagai langkah telah dilakukan, namun tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pengusaha dan pekerja/buruh.12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan pemutusan hubungan kerja terjadi
setelah adanya penetapan dari penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Lembaga dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu di luar Pengadilan, yaitu
10Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Edisi Revisi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2018), Hal. 177.
11Asikin Zainal, dkk., Op.cit, Hal. 180.
12Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Mediator atau Konsiliator, sedangkan melalui jalur pengadilan, yaitu Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).13
Pengusaha kerapkali melakukan mutasi terlebih dahulu sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja karena adanya perselisihan yang terjadi antar kedua belah pihak.14 Mutasi itu sendiri ditentukan oleh pengusaha yang sangat berpengaruh penting terhadap kinerja perusahaan dan juga pekerja/buruh yang bersangkutan. Tentunya hal ini akan menjadi dilematis bagi pekerja/buruh, yaitu mengikuti kebijakan pengusaha dan siap meninggalkan keluarganya atau menolak mutasi dan siap untuk kehilangan pekerjaannya.
Pekerja/buruh yang menolak mutasi dianggap menolak perintah pengusaha dan dapat dikualifikasikan mengundurkan diri sehingga mengakibatkan pemutusan hubungan kerja dan pekerja/buruh tidak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja/buruh yang telah bekerja dan mengabdi bagi perusahaan selama bertahun-tahun.
Mutasi adalah pemindahan pekerja/buruh dari 1 (satu) lokasi ke lokasi lain yang sederajat. Penyebab terjadinya mutasi adalah karena permintaan sendiri dari pekerja/buruh yang bersangkutan dan dapat dilaksanakan dengan persetujuan dari pengusaha dan karena permintaan dari pengusaha langsung.15 Pelaksanaan mutasi pekerja/buruh berdasarkan
13Lalu Husni, Op.cit, Hal. 125.
14Laksana Kencana Law Firm, “Gugatan Perselisihan Hubungan Industrial tentang Pemutusan Hubungan Kerja dengan Register Perkara Nomor 257/Pdt.Sus-PHI/2018/PN. Mdn”.
15www.pengertianmenurutparaahli.com, “Pengertian Mutasi Pegawai Menurut Para Ahli”, www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-mutasi-pegawai-menurut-para-ahli/, 2016, diakses pada hari Senin, 16 Desember 2019.
perencanaan sebelumnya oleh pengusaha menurut kebijakan dan peraturan yang telah ditetapkan oleh pengusaha. Dasar kebijakan dan peraturan tersebut umumnya dilaksanakan untuk menjaga tingkat objektivitas yang maksimum dalam pelaksanaan mutasi dan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pekerja/buruh.
Perkara yang menggambarkan keadaan ini adalah perkara antara:
1. ET (i.c. Penggugat/Termohon Kasasi) melawan Pimpinan PT. TSC/NSI (i.c.
Tergugat/Pemohon Kasasi), dimana pada 06 Oktober 2015, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan memberikan putusan terhadap gugatan Penggugat/Termohon Kasasi, yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Provisi:
- Menolak tuntutan provisi Penggugat/Termohon Kasasi.
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat/Termohon Kasasi untuk sebahagian;
- Menyatakan Penggugat/Termohon Kasasi tidak terbukti mengundurkan diri;
- Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat/Pemohon Kasasi dan Penggugat/Termohon Kasasi putus sejak tanggal putusan ini dibacakan;
- Menghukum Tergugat/Pemohon Kasasi membayar hak-hak Penggugat/Termohon Kasasi akibat pemutusan hubungan kerja berupa 2 (dua) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja dan 15% (lima belas per seratus) uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta upah yang belum dibayarkan sejak bulan Maret 2015 sampai dengan bulan Agustus 2015 sehingga total keseluruhannya adalah Rp. 67.200.000;
- Membebankan biaya yang timbul dari perkara ini kepada Negara sebesar Rp.
386.000; dan
- Menolak gugatan Penggugat/Termohon Kasasi untuk selebihnya.
Pada 20 Oktober 2015, Tergugat/Pemohon Kasasi mengajukan permohonan kasasi yang berisi keberatan terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri Medan. Terhadap permohonan kasasi Tergugat/Pemohon Kasasi, Majelis Hakim pada Mahkamah Agung Republik Indonesia menolak permohonan kasasi dari Tergugat/Pemohon Kasasi dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan sehingga seluruh amarnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Provisi:
- Menolak tuntutan provisi Penggugat/Termohon Kasasi.
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat/Termohon Kasasi untuk sebahagian;
- Menyatakan Penggugat/Termohon Kasasi tidak terbukti mengundurkan diri;
- Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat/Pemohon Kasasi Penggugat/Termohon Kasasi putus sejak tanggal putusan ini dibacakan;
- Menghukum Tergugat/Pemohon Kasasi membayar hak-hak Penggugat/Termohon Kasasi akibat pemutusan hubungan kerja berupa 2 (dua) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja dan 15% (lima belas per seratus) uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga total keseluruhannya adalah Rp.
55.200.000;
- Membebankan biaya yang timbul dari perkara ini kepada Negara sebesar Rp.
386.000; dan
- Menolak gugatan Penggugat/Termohon Kasasi untuk selebihnya.16
2. MS (i.c. Penggugat) melawan Pimpinan PT. TGPSM (i.c. Tergugat I) cq. Pimpinan PT.
TG (i.c. Tergugat II), dimana pada 10 Agustus 2017, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan memberikan putusan terhadap gugatan Penggugat, yang amarnya sebagai berikut:
16Pengadilan Hubungan Industrial Medan, “Putusan Nomor 123/Pdt.Sus- PHI/2015/PN.Mdn” jo. Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Nomor 310 K/Pdt.Sus- PHI/2016.
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
- Menyatakan putus hubungan kerja antara para Tergugat dan Penggugat terhitung tanggal 22 Juli 2016;
- Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan para Tergugat kepada Penggugat bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menghukum para Tergugat untuk membayar hak-hak Penggugat sebesar Rp.
93.144.452, dengan rincian 2 (dua) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja, 15% (lima belas per seratus) uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah proses selama 6 (enam) bulan ditambah dengan kekurangan Tunjangan Hari Raya (THR) dan hak cuti tahunan;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya; dan
- Membebankan ongkos perkara kepada Negara sebesar Rp. 1.011.000.17
3. SJ (i.c. Penggugat) melawan Pimpinan PT. NIP (i.c. Tergugat), dimana pada 15 November 2018, Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan memberikan putusan, yang amarnya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat.
Dalam Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;
- Menyatakan pemutusan hubungan kerja antara Tergugat dan Penggugat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Menyatakan hubungan kerja antara Tergugat dan Penggugat putus sejak tanggal putusan ini dibacakan;
- Menghukum Tergugat untuk membayarkan hak-hak Penggugat berupa total keseluruhan dari 1 (satu) kali uang pesangon, 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja, 15% (lima belas per seratus) uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan upah proses selama 6 (enam) bulan sebesar Rp. 19.655.879;
17Pengadilan Hubungan Industrial Medan, “Putusan Nomor 68/Pdt.Sus- PHI/2017/PN.Mdn”.
- Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Negara sebesar Rp.
611.000; dan
- Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.18
Ketiga perkara pemutusan hubungan kerja akibat mutasi tersebut menggunakan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus ketiga perkara pemutusan hubungan industrial akibat menolak mutasi tersebut di atas sehingga berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka menarik untuk dilakukan penelitian dalam penulisan tesis yang berjudul: Perlindungan Hukum Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Karena Menolak Mutasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat beberapa problematika perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi berdasarkan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk diteliti dan dibahas, yaitu:
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh menolak mutasi?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena menolak mutasi?
18Pengadilan Hubungan Industrial Medan, “Putusan Nomor 200/Pdt.Sus- PHI/2018/PN.Mdn”.
3. Bagaimana keabsahan pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 123/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn jo. Nomor 310 K/Pdt.Sus- PHI/2016, Putusan Pengadilan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Nomor 200/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Mdn?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh menolak mutasi.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja/buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena menolak mutasi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 123/Pdt.Sus- PHI/2015/PN.Mdn jo. Nomor 310 K/Pdt.Sus-PHI/2016, Putusan Pengadilan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Nomor 200/Pdt.Sus- PHI/2018/PN.Mdn.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara khusus perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
ilmu hukum berkaitan dengan perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang menolak mutasi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh, praktisi hukum, akademisi hukum dan masyarakat yang memerlukan informasi dalam rangka menerapkan, mengembangkan dan membentuk hukum dan upaya menyelesaikan masalah-masalah yang timbul mengenai masalah perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang menolak mutasi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran yang dilakukan pada database Fakultas Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang sama dengan judul, yaitu pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang menolak mutasi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan tetapi ada beberapa hasil penelitian yang mempunyai keterkaitan dengan judul penelitian yang akan saya teliti:
1. Rika Jamin Marbun, 2015, Tesis dengan judul “Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan Dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Kabupaten Deli Serdang”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah keberadaan Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit Perusahaan di Kabupaten Deli Serdang?
b. Bagaimanakah peran dan fungsi Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
c. Bagaimanakah sanksi dan pelaksanaan sanksi dalam Pasal 190 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap perusahaan yang tidak membentuk Lembaga Kerjasama (LKS) Bipartit?
2. Helwan Kasra, 2009, Tesis dengan judul “Penyelesaian Perselisihan Antara Pekerja/Buruh Dengan Pengusaha Di Luar Pengadilan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha?
b. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha dan kekuatan mengikat dari kesepakatan/keputusan yang dikeluarkan lembaga di luar Pengadilan Hubungan Industrial tersebut?
c. Bagaimanakah pelaksanaan proses penyelesaian antara pekerja dengan pengusaha di luar Pengadilan Hubungan Industrial?
3. Teti, 2006, Tesis dengan judul “Tugas Dan Fungsi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Dalam Menyelesaikan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)”, yang rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana peranan Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja/buruh dalam sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
b. Bagaimana hak-hak yang dimiliki pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?
c. Bagaimana peranan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam menyelesaikan sengketa yang timbul akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)?
Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian- penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide peneliti sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku, informasi dari media cetak dan dari media elektronik. Mengacu kepada alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teori
Istilah teori berasal dari bahasa Yunani, yaitu theooria atau memandang atau memperhatikan (pertunjukan) dan theoorema, yaitu apa yang dipandang, pandangan, dan dalil. Pada umumnya teori mengandung arti suatu pandangan yang gunanya untuk memberi keterangan tentang hal tertentu. Di dalam ilmu pengetahuan, teori merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai dalil yang didapat dari dunia pengalaman dan hipotesis yang didasarkan pada asas tertentu.19 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan yang didukung oleh data dan argumentasi.20
Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir pendapat teori si peneliti mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan yang bagi si peneliti menjadi bahan perbandingan.21 Ada asumsi yang mengatakan bahwa bagi suatu penelitian, maka teori atau kerangka teori mempunyai beberapa kegunaan. Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:22
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
19H. Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi atau Skripsi Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2013), Hal. 34.
20Kamus Besar Bahasa Indonesia.
21Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, (Medan: PT. Softmedia, 2015), Hal. 90.
22Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI PRESS, 2008), Hal. 121.
2. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep dan memperkembangkan definisi-definisi;
3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;
4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang; dan
5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.
Ada beberapa kriteria ideal dari teori yang dikemukakan agar bersifat lebih konkrit, yaitu sebagai berikut:23
1. Suatu teori secara logis harus konsisten. Artinya, tidak ada hal-hal yang saling bertentangan di dalam kerangka yang bersangkutan;
2. Suatu teori terdiri dari pernyataan-pernyataan mengenai gejala-gejala tertentu, pernyataan-pernyataan mana mempunyai interrelasi yang serasi;
3. Pernyataan-pernyataan di dalam suatu teori harus dapat mencakup semua unsur gejala yang menjadi ruang lingkupnya dan masing-masing bersifat tuntas;
4. Tidak ada pengulangan ataupun duplikasi di dalam pernyataan-pernyataan tersebut; dan 5. Suatu teori harus dapat diuji di dalam penelitian.
Terkait dengan teori perlindungan hukum, hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia sehingga hukum mempunyai otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan, yaitu perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan
23Ibid., Hal. 123-124.
hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.24
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Selanjutnya menurut Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya perkara yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang represif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa termasuk penanganannya di lembaga peradilan.25 Menurut Lili Rasjidi dan I. B. Wysa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekadar adaptif dan fleksibel melainkan juga predektif dan antipatif.26
Uraian para ahli di atas memberikan pemahaman bahwa perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan
24Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2014), Hal. 53.
25Ibid., Hal. 69.
26Lili Rasjidi dan I. B. Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2003), Hal. 118.
hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
Perlindungan hukum dari perspektif keilmuan hukum mempunyai makna sebagai perlindungan dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh hukum, ditujukan kepada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan tertentu, yaitu dengan cara menjadikan kepentingan yang perlu dilindungi tersebut ke dalam sebuah hak hukum.
Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh dalam literatur hukum ketenagakerjaan meliputi 2 (dua) hal mendasar, yaitu perlindungan dari kekuasaan pengusaha dan perlindungan dari tindakan pemerintah. Perlindungan hukum dari kekuasaan pengusaha terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan yang mengharuskan atau memaksa pengusaha bertindak seperti dalam peraturan perundang- undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis.
Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh di Indonesia dituangkan dalam konstitusi Indonesia, yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.27 Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dengan menjamin kesamaan, kesempatan dan perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Perlindungan hukum mengupayakan agar tujuan hukum dapat tercapai. Tujuan hukum memberikan peraturan-peraturan (petunjuk, pedoman) dalam pergaulan hidup untuk melindungi individu dalam hubungannya dengan masyarakat sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujud suatu keadaan aman, tertib dan adil.28 Menurut Achmad Ali, tujuan hukum secara terinci adalah sebagai berikut:29
1. Aliran etis yang menganggap pada asasnya tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan;
2. Aliran utilitis yang menganggap pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan; dan
3. Aliran yuridis yang menganggap pada asasnya tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian.
Keadilan adalah nilai penting dalam hukum, berbeda dengan kepastian hukum yang bersifat menyamaratakan. Keadilan bersifat individual sehingga dalam pelaksanaan dan penegakan hukum, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam penegakan hukum
27Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.
28Soedjono Dirjosiswono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 1984), Hal.
215.
29Achmad Ali, Mengembara di Belantara Hutan, (Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan UNHAS, 1990), Hal. 95.
tersebut, keadilan harus diperhatikan. Dalam pelaksanaan dan penegakan hukum harus dilaksanakan secara adil meskipun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, sedangkan keadilan bersifat individual.30
Keadilan dapat diartikan sebagai suatu nilai untuk menciptakan hubungan yang ideal antara manusia yang satu dengan yang lain sebagai sesama anggota masyarakat, dengan memberikan kepada manusia tersebut apa yang menjadi haknya sesuai dengan prestasinya dan membebankan kewajiban menurut hukum dan moral. Hal ini didasarkan dari pendapat beberapa ahli antara lain Plato yang menyatakan bahwa keadilan adalah kemampuan untuk memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.
Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil yang dapat diberikannya kepada masyarakat. Adapun Sudikno Mertokusumo mengartikan bahwa keadilan sebagai penilaian terhadap perlakuan seseorang terhadap yang lainnya dengan menggunakan norma tertentu sebagai ukurannya. Van Apeldoorn mengatakan bahwa keadilan bukanlah penyamarataan.
Keadilan bukanlah bahwa setiap orang memperoleh bagian yang sama.31
Menurut John Rawls, keadilan itu adalah fairness yang mengandung asas-asas bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingannya hendaknya memperoleh kedudukan yang sama pada saat memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka yang memasuki perhimpunan yang
30H. Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan & Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), Hal. 105.
31Sudikno Mertokusumo, Op.cit, Hal. 71-72.
mereka kehendaki yang mengatakan bahwa keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan itu merupakan ukuran tentang apa yang menjadi hak.32
Dari pendapat John Rawls tersebut terlihat bahwa keadilan tidak boleh ditawar- tawar dan harus diwujudkan ke dalam masyarakat tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat yang lain. Dengan demikian, maka keadilan adalah tujuan hukum. Putusan Hakim diharapkan sedapat mungkin memenuhi rasa keadilan, yaitu keadilan yang dirasakan para pihak dalam berperkara. Keadilan yang dimaksud sedapat mungkin keadilan substansial, bukan keadilan formal yang maknanya adalah sebagai suatu keadilan riil yang diterima dan dirasakan oleh para pihak berperkara. Sementara keadilan formal dimaknai sebagai keadilan yang berdasarkan atas hukum semata yang belum tentu dapat diterima dan dirasakan adil oleh para pihak.33
Dalam penelitian ini, teori perlindungan hukum dan teori keadilan dijadikan sebagai suatu pisau analisis untuk melakukan pembahasan terhadap permasalahan yang timbul dalam penelitian ini, yaitu bagaimana perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh menolak mutasi. Selanjutnya, bagaimana akibat hukum bagi pekerja/buruh dalam pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi dan bagaimana keabsahan pemutusan hubungan kerja karena menolak mutasi keabsahan pemutusan
32H. Margono, Op.cit, Hal. 107.
33Ibid., Hal. 109-110.
hubungan kerja karena menolak mutasi berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor 123/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Mdn jo. Nomor 310 K/Pdt.Sus-PHI/2016, Putusan Pengadilan Nomor 68/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Mdn dan Putusan Pengadilan Nomor 200/Pdt.Sus- PHI/2018/PN.Mdn.
Prints Darwan mengemukakan bahwa perlindungan hukum dalam ketenagakerjaan tidak boleh menciderai rasa keadilan di antara kedua belah pihak, baik bagi pihak pengusaha maupun bagi pihak pekerja/buruh.34
2. Kerangka Konseptual
Konsepsi berasal dari bahasa Latin, yaitu conceptus yang mempunyai arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, khususnya penalaran dan pertimbangan.35 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi antara abstraksi dan realitas.36
Suatu kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti tetapi merupakan suatu abstraksi dari kerangka tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta.
34Prints Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya, 2000), Hal. 132.
35Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), Hal. 122.
Di dalam penelitian hukum normatif dimungkinkan untuk menyusun kerangka konseptual yang didasarkan atau diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu.
Biasanya kerangka konseptual tersebut sekaligus merumuskan defenisi-defenisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami istilah atau konsep yang dipergunakan, maka peneliti akan memberikan defenisi operasional terhadap judul penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Pemutusan Hubungan Kerja.
Pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha karena suatu hal tertentu.37 Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat.38 Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pengusaha dan pekerja/buruh.39 Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh antara lain karena pengusaha hendak melakukan efisiensi, merger
37Abdul Khakim, Op.cit, Hal. 188.
38Pasal 1 angka 4 Keputusan Menteri Tenaga kerja Nomor Kep-15A/Men/1994 tentang Petunjuk Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja di Tingkat Perusahaan dan Pemerantaraan.
39Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
atau akusisi,40 atau jika pekerja/buruh melanggar ketentuan dalam Peraturan Perusahaan setelah diperingatkan sebelumnya41 atau karena pengusaha melakukan kesalahan.42
2. Mutasi.
Mutasi adalah kegiatan memindahkan pekerja/buruh dari suatu tempat kerja ke tempat kerja lain. Mutasi meliputi kegiatan memindahkan pekerja/buruh, pengoperan tanggung jawab, pemindahan status pekerja/buruh, dan sejenisnya. Mutasi adalah kegiatan yang berhubungan dengan proses pemindahan fungsi, tanggung jawab, dan status ketenagakerjaan pekerja/buruh ke situasi tertentu dengan tujuan agar pekerja/buruh yang bersangkutan memperoleh kepuasan kerja yang mendalam dan dapat memberikan prestasi dan kontribusi kerja yang maksimal pada perusahaan. Mutasi tidak selamanya ditujukan hanya untuk pembinaan dan pengembangan pekerja/buruh. Mutasi mungkin juga disebabkan oleh kondisi lain seperti menggantikan tugas dan pekerjaan pekerja/buruh yang meninggal dunia, keluar dari pekerjaan, atau karena kondisi fisik dan psikisnya sudah tidak sesuai dengan tugas dan pekerjaan tersebut. Proses pemindahan tersebut terjadi pada hierarki tugas dan pekerjaan maupun struktural yang sama.43
40Pasal 163 dan Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
41Pasal 161 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
42Pasal 169 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
43H. Sadili Samsudin, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2019), Hal. 254-255.
3. Pekerja/buruh.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.44
4. Pengusaha.
Pengusaha adalah:45
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
G. Metode Penelitian
Rangkaian kegiatan penelitian dilakukan mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilaksanakan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah sebagai berikut:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu kejadian ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari 1 (satu) atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, maka diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian
44Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
45Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.46
Penelitian hukum dapat dibagi dalam penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif, yaitu merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tertulis dan putusan-putusan Pengadilan serta norma-norma hukum yang ada pada masyarakat.47 Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan.48 Penelitian normatif sendiri mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.49
Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena yang dimaksud dapat berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antara fenomena yang satu dan fenomena lainnya yang berorientasi kepada
46Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2015), Hal. 38.
47Soerjono Soekanto, Op.cit, Hal. 52.
48Ediwarman, Op.cit, Hal. 25.
49Ibid., Hal. 30.
pemecahan masalah dengan mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah pada saat penelitian dilaksanakan dan kemudian hasil penelitiannya diolah dan dianalisis untuk memperoleh kesimpulan.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan normatif (legal research), yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutpaut dengan isu hukum yang sedang ditangani dan pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kajian pokok dalam pendekatan kasus (case approach) adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.50 Metode pendekatan normatif secara deduktif dimulai dengan menganalisis pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian. Metode penelitian ini digunakan dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan, yaitu hubungan antara 1 (satu) peraturan dan peraturan lain dan kaitannya dengan penerapannya dalam praktik.51
50Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal. 133-134.
51Ediwarman, Op.cit, Hal. 99-100.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder. Adapun data sekunder ini mencakup:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan-bahan hukum primer tersebut adalah norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang- undanganyang berhubungan dengan judul penelitian ini.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku, hasil karya dari kalangan hukum dan berbagai karya tulis ilmiah yang berhubungan dengan judul penelitian ini.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum penunjang. Bahan hukum tersier mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa asing sebagai alat bantu pengalibahasaan beberapa literatur asing, media massa dan media internet.
4. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data yang